Anda di halaman 1dari 9

DIGLOSSIA

Kelompok 2:

 Muh. Hilmi Ash Shiddiqy


 Satria
 Sri Hardiyanti Prayetno
 Syahruni Sam
 Ririn Rahmadani

A. Diglossia

Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais,
seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan
oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu
simposium tentang "Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar" yang diselenggarakan oleh American
Anthropological Association di Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi
istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul "Diglosia" yang dimuat dalam majalah Word
tahun .1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed.). Language in Culture and Society
(1964:429-439): dan dalam Giglioli (ed.) Language and Social Contact (1972). Hingga kini artikel
Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia, meskipun Fishman (1967) dan
Fasold (1984) ada membicarakannya juga.

Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di


mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut:

Diglosia is a relatively stable language situation, in which in addition to the primary dialects
of the language, which may include a standard or regional standard, there is a very divergent,
highly codified, often gram- matically more complex, superposed variety, the vehicle of the
large and respected body or written literature, either of an earlier period or in an- other
speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written
and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary
conversation (Word. 15 (159):336)

1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah
dialek
2. Dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam
lain. dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar
regional.
3. Ragam lain (yang bukan dialek - dialek utama) itu memiliki ciri:
 sudah (sangat) terkodifikasi
 gramatikalnya lebih kompleks
 merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan Dihormati
 dipelajari melahui pendidikan formal
 digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
 tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari

Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah masyarakat tutur
dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah masyarakat tutur bahasa Arab, Yunani
modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengah-
kan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standarisasi, stabilitas,
gramatika, leksiokkon dan fonologi. Berikut kita bicarakan secara singkat.

Fungsi merupakan kriteria diglósia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat
diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T
atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Dalam bahasa
Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik, bahasa Al-Quran yang lazim disebut al -fusha, diaiek R-
nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab, yang lazim di sebut
addarij. Dalam bahasa Yunani dialek T-nya disebut katharevusa, yaitu bahasa Yunani murni dengan
ciri-ciri linguistik Yunani klasik: sedangkan dialek R-nya disebut dhimotiki, yakni bahasa Yunani lisan.
Dalam bahasa Jerman-Swis dialek T-nya adalah Jerman standar, dan dialek R-nya adalah berbagai
dialek bahasa Jerman. Di Haiti, yang menjadi dialek T-nya adalah bahasa Prancis, sedangkan dialek R-
nya adalah bahasa KreolHaiti, yang dibuat berdasarkan bahasa Prancis (Tentang Kreol lihat kembali
Bab 5).

Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situasi di mana hanya
dialek T yang sesuai untuk digunakan, dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan.
Fungsi T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan
santai. Bagan berikut memperlihatkan kapan digunakan dialek T, dan bilamana pula digunakan dialek
R.

digunakan
Situasi
T R
1. Kebaktian di gereja v -
2. Perintah kepala pekerja, pelayan, dan tukang - v
3. Surat pribadi - v
4. Pembicaraan di parlemen v -
5. Perkuliahan di universitas v -
6. Percakapan dengan keluarga dan teman sejawat - v
7. Siaran berita v -
8. Sandiwara radio - v
9. Editorial surat kabar v -
10. Komentar kartun politik - v
11. Puisi v -
12. Suara rakyat - v

Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa
disoroti, mungkin menimbulkan ejek cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat
mema menggunakan dialek R, tetapi banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa hanya
sastra/puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa. Dalam pendidikan formal
dialek T harus digunakan sebagai bahasa pengantar, namun seringkali sarana kebahasaan dialek T
tidak mencukupi. Oleh karena itu dibantu dengan menggunakan dialek R bahasa Indonesia, ragam T
digunakann dlam situasi formal seperti dalam pendidikan, sedangkan ragam R digunakan dalam
situasi nonformal sepeti dalam pembicaraan dengan teman karib dan sebagainya.

Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya meng anggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R
dianggap inferior; malah ada yang menolak keberadaannya. Menurut Ferguson banyak orang Arab
dan Haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu digunakan, meski- pun dalam percakapan
sehari-hari mereka menggunakan dialek R itu. Anjuran golongan terpelajar Arab dan Haiti itu tentu
saja merupakan kekeliruan, sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsinya masing-masing, yang
tidak dapat dipertukarkan. Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap
lebih bergengsi daripada ragam bahasa Indonesia nonbaku. Dalam masyarakat Melayu/Indonesia
beberapa puluh tahun yang lalu juga ada pembedaan bahasa Melayu T dan bahasa Melayu R, di
mana yang pertama menjadi bahasa sekolah, dan yang kedua menjadi bahasa pasar.

Warisan Kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai
contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat
bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka
dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam T. Tradisi
kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan
kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Namun, kesusastraan itu tetap berakar, baik
di negara- negara berbahasa Arab, bahasa Yunani di Yunani, bahasa Prancis di Haiti, dan bahasa
Jerman di Swiss yang berbahasa Jerman.

Pemerolehan. Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal,


sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan. Oleh
karena itu, mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam
T sama sekali. Begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan formal kelaskelas awal. Mereka yang
mempelajari ragam T hampir tidak pernah menguasainya dengan lancar, selancar penguasaannya
terhadap ragam R. Alasannya, ragam T tidak selalu digunakan, dan dalam mempelajarinya selalu
terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan tata bahasa; sedangkan ragam R digunakan secara
reguler dan terus-menerus di dalam pergaulan seharihari. Dalam masyarakat diglosis banyak orang
terpelajar menguasai dengan baik kaidah-kaidah ragam T, tetapi tidak láncar menggunakan ragam
tersebut. Sebaliknya, mereka tidak tahu atau tidak pernah memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa
ragam R, tetapi dengan lancar mereka dapat menggunakan ragam tersebut. Dalam beberapa
masyarakat diglosis malah banyak penutur yang mengatakan bahwa ragam R tidak punya tata
bahasa. Di Indonesia pun banyak orang merasa sukar untuk menggunakan bahasa Indonesia ragam
baku, baik lisan maupun tulisan. Betapa banyak kritik dilontarkan orang mengenai kesalahan untuk
berbahasa Indonesia "yang baik dan benar". Ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa ragam T
memang tidak semudah menggunakan ragam R. Untuk menguasai ragam T kita harus belajar secara
formal, tetapi untuk menguasai ragam R tidak perlu.

Standardisasi. Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis
untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan. Jarang ada kajian yang
menyinggung adanya ragam R, atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada
biasanya dilakukan oleh peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan ditulis dalam bahasa lain. Sebagai
ragam yan dipilih, yang distandardisasikan, maka ragam T jelas akan menjadi ra yang lebih bergengsi
dan dihormati.

Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya tela berlangsung lama di mana ada
sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau
perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya
perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciriciri ragam T dan ragam R.
Peminjaman unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa; tetapi penggunaan unsur
leksikal ragam R dalam ragam T kurang begitu biasa, sebab baru digunakan kalau sangat terpaksa.
Gramatika. Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan
bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses indikatif
sederhana; sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina, dan satu
tenses sederhana. Nomina bahasa Prancis menunjukkan agreement dalam jumlah dan jenis (gender),
sedangkan nomina Kreol-Haiti tidak memiliki hal itu. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat
kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R
dianggap artifisial

Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam Tyang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata pada
ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T. Ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah
adanya kosakata yang berpasangan, satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R, yang biasanya
untuk konsep-konsep yang sangat umum. Umpamanya, dalam bahasa Yunani "rumah" untuk ragam T
adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti; "air" untuk ragam T adalah idhor dan untuk ragam R
adalah nero; dan "anggur" untuk ragam T adalah inos sedangkan untuk ragam adalah krasi. Dalam
bahasa Arab "apa" untuk ragam T adalah ma dan untuk ragam R adalah eh; "hidung" untuk ragam T
adalah anfun dan untuk ragam Radalah manakhir; dan "sekarang" untuk ragam T adalah al 'ana,
sedangkan ragam R adalah dilwa 'ti. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis hanya kosakata
ragam T yang bisa ditulis secara formal; dan hanya ragam R yang hanya diharapkan dalam
percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia kita pun dapat mendaftarkan sejumlah kosakata
yang berpasangan sebagai baku dan tidak baku. Antara lain, uang dan duit, buruk dan jelek, istri dan
bini, dan lurus dan lempeng.

Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R.
Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam
R sebenarnya merupakan sistem tunggal; namun, fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan
fonologi R, yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem. Fonologi T lebih dekat
dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan. Fonologi R lebih jauh dari
bentuk-bentuk yang mendasar.

Pada bagian akhir dari artikelnya itu Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa
bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat "tekanantekanan" yang dapat
melunturkannya. Tekanan- tekanan itu antara lain:

1. Meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara;
2. Meningkatnya penggunaan bahasa tulis;
3. Perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai
lambang kenasionalan suatu bangsa.

Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam
R. Menurut Ferguson para pendukung ragam T dan ragam R tentu mempunyai argumentasi untuk
menentukan ragam mana yang cocok untuk menjadi bahasa nasional; tetapi biasanya ragam mana
yang akan menang tidak mempunyai hubungan dengan argumenargumen itu. Dalam hal ini ada dua
kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai di
dalam masyarakat; dan kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal
saja

1. ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, dan
2. apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
Jika teori Ferguson itu benar, maka bahasa Arab klasik tidak akan menjadi bahasa nasional di
negara Arab mana pun, meskipun diberi nama bahasa nasional atau bahasa resmi; dan ragam
katherevusa akan menjadi bahasa nasional Yunani.

Konsep Ferguson mengenai diglosia, bahwa di dalam masyarakat diglosis ada pembedaan ragam
bahasa T dan R dengan fungsinya masing-masing dimodifikasi dan diperluas oleh Fishman (1972:92).
Menurut Fishma diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam pada
bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sam sekali tidak serumpun, atau pada
dua bahasa yang berlainan. Jadi, yang menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya pembedaan
fungsi kedua bahas atau variasi bahasa yang bersangkutan. Fishman (1972) mengartikan diglos
sebagai:

..... diglosia exists not only in multilingual societies which official recognize several 'language';
and not only in societies which emplo separate dialects, registers, or functionally
differentiated language, vaneties of whatever kind.

Sebagai contoh Fishman mengemukakan kasus di Paraguay di mana masyarakat mengenal


dua bahasa, yaitu bahasa Guarani, yang termasu rumpun bahasa Indian, dan bahasa Spanyol, yang
termasuk rumpun bahas Roman. Di Paraguay bahasa Spanyol dianggap sebagai bahasa T, sedangkan
bahasa Guarani adalah bahasa R. Lebih dari separuh penduduk Paraguay merupakan penutur
bilingual; bahasa Spanyol dan bahasa Guarani. Banya penduduk Paraguay di desa-desa yang tadinya
monolingual (Guarani), lalu menjadikan bahasa Spanyol sebagai alat interaksi sosial yang berhubunga
dengan pendidikan, pemerintahan, dan agama. Sebaliknya, banyak pendudu kota yang tetap
mempertahankan penggunaan bahasa Guarani untuk kegiatan kegiatan santai demi solidaritas
kelompok.

Kalau Ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaa fungsi ragam T dan ragam
R dalam sebuah bahasa, maka Fishman meliha diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai dari
perbedaan stilistik dar sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang
berbeda. Jadi, di dalamnya termasuk perbedaan yang terdapat antara dialek register, atau variasi
bahasa secara fungsional (Fishman 1972).

Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konse diglosia ini menjadi apa
yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). D dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak
hanya antara dua bahas atau dua ragam atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari du
bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaa masyarakat yang di dalamnya
ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia
ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear
polyglosia.

Yang dimaksud dengan double overlapping diglósia adalah adanya situasi pembedaan
derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,
seperti yang dilaporkan Abdulaziz Mkilifi dan dikutip oleh Fasold (1984). Di Tanzania ada digunakan
bahasa Inggris, bahasa Swahili, dan sejumlah bahasa daerah. Pada satu situasi, bahasa Swahili adalah
bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah. Pada situasi lain, bahasa
Swahili menjadi bahasa R, sedangkan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Swahili
mempunyai sta- tus ganda: sebagai bahasa T terhadap bahasa-bahasa daerah, dan sebagai bahasa R
terhadap bahasa Inggris.
Bahasa Inggris T
T Bahasa Swahili R
R Bahasa daerah

Realisasi tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah
sebagai berikut. Bahasa daerah dipelajari di rumah sebagai bahasa ibu, dan digunakan dalam
komunikasi antarkeluarga atau antarpenutur yang berbahasa ibu sama. Bahasa Swahili dipelajari di
sekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar, serta sebagai alat
komunikasi antarteman sekolah yang tidak berbahasa ibu sama. Maka, dari cara pemerolehan dan
fungsi penggunaanya bahasa daerah adalah bahasa R, dan bahasa Swahili berstatus sebagai bahasa T.
Kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar
bahasa Inggris sebagai mata pelajaran, dan menggunakannya sebagai bahasa pengantar. Oleh karena
bahasa Inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan, dan harus digunakan untuk situasi-situasi formal,
maka bahasa Inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa Swahili yang digunakan
dalam situasi-situasi informal. Mengapa menggunakan bahasa Swahili untuk interaksi informal, dan
mengapa bukannya bahasa daerah? Karena mereka, pelajar-pelajar dan pemuda- pemuda Tanzania
itu, masing-masing menggunakan bahasa daerah yang berbeda dan yang tidak dapat dijadikan lingua
franca di antara sesama mereka. Begitulah, dalam tingkatan yang lebih tinggi, bahasa Inggris menjadi
bahasa T terhadap bahasa Swahili yang menjadi R-nya. Lalu, dalam tingkatan 1yang lebih rendah,
bahasa Swahili menjadi bahasa T terhadap bahasa daerah yang menjadi bahasa R-nya.

Yang dimaksud dengan double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat


multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan, s sebagai bahasa T, dan yang lain
sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau
dialek yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil
keadaan kebahasaan di Khalapur, sebuah desa di utara Delhi, India, sebagaimana dideskripsikan oleh
Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur Khalapur ada dua bahasa, yaitu bahasa Hindi dan bahasa
Khalapur, yaitu salah satu variasi bahasa Hindi dengan sejumlah persamaan dan perbedaan dalam
bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Bahasa Khalapur dipelajari d rumah, dan
digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari. hari. Sedangkan bahasa Hindi
dipelajari di sekolah, atau melalui warga yang bermukim di kota, maupun melalui kontak luar. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa Khalapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa Hindi sebagai
bahasa T, dan bahasa Khalapur sebagai bahasa R. Namun, di samping itu, baik bahasa Hindi maupun
bahasa Khalapur sama-sama juga mempunyai variasi bahasa T dan variasi bahasa R. Bahasa Khalapur
mempunyai dua variasi, yang satu disebut Moti boli, dan yang lain Safboli. Variasi Moti boli (bahasa
kasar) digunakan dalam hubungan informal, sedangkan Saf boli menghindari karasteristik Moti boli
dan cenderung ke arah bahasa Hindi dalam hubungannya dengan perbedaan Khalapur-Hindi. Jadi,
Moti boli merupakan ragam R; dan Saf boli merupakan ragam T di dalam bahasa Khalapur. Bahasa
Hindi yang digunakan di Khalapur juga mempunyai dua buah variasi, yaitu variasi yang digunakan
dalam percakapan biasa (conversational style) dan variasi yang digunakan dalam ceramah-ceramah
formal (oratorical style). Dengan demikian dapat dikatakan variasi conversational style atau gaya
percakapan adalah ragam R, sedangkan oratorical style atau gaya oratoris adalah ragam T di dalam
bahasa Hindi. Jadi, kalau dibagankan situasi kebahasaan di Khalapur, yang double nested diglosia itu
adalah sebagai berikut:
T Gaya orotaris
HINDI T
R Gaya percakapan
T Saf boli
KHALAPUR R
R Moti boli

Bisa dilihat dari bagan itu bahwa bahasa Hindi adalah bahasa T dan bahasa Khalapur adalah
bahasa R. Tetapi, baik pada bahasa Hindi bahasa Khalapur ada ragam T dan ragam R lagi.

Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan linear polyglosia Fasold (1984) mengemukakan hasil
penelitian Platt (1977) mengenai situasi kebahasaan masyarakat Cina yang berbahasa Inggris di
Malaysia dan Singapura.

Masyarakat Cina di kedua negara itu mempunyai verbal repertoire yang terdiri dari bahasa Cina
(yang antaranya dominan secara regional), bahasa Inggris formal (dan berbagai jenis bahasa Inggris
informal), bahasa Melayu standar (bahasa Malaysia), dan bahasa Melayu bukan standar. Kalau kita
mengikuti pola yang terjadi di Khalapur, maka dapat dilihat ada tiga pasangan diglosia, yaitu

1. bahasa Cina yang dominan versus bahasa Cina yang tidak dominan,
2. bahasa Inggris formal versus bahasa Inggris nonformal, dan
3. bahasa Melayu standar versus bahasa Melayu nonstandar.

Kalau dalam situasi kebahasaan di Khalapur disebut doublenested diglosia, maka di kedua negara
itu bisa disebut triple-nested diglosia. Konsep seperti yang dipakai di Khalapur menghendaki bahwa
bentuk R-nya bahasa yang mana pun mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada bentuk T bahasa
yang lain dalam rangkaian itu, seperti halnya bahasa Hindi R, yaitu bahasa Hindi percakapan lebih
tinggi daripada bentuk T bahasa Khalapur, yang disebut Saf Boli. Namun, hal ini tidak terjadi pada
masyarakat Cina Malaysia yang terdidik dalam bahasa Inggris. Bahasa Melayu tinggi, yaitu bahasa
Malaysia merupakan variasi linguistik tertinggi kedua yang digunakan dalam masyarakat itu.
Sedangkan bahasa Melayu informal yang disebut bahasa Melayu Bazar mempunyai kedudukan yang
sangat rendah, berada di bawah bahasa manapun. Bahasa Inggris dan variasi bahasa Cina
kedudukannya lebih tinggi dari bahasa Melayu Bazar ini. Di samping itu terdapat bahasa Cina
Mandarin yang mempunyai kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan repertoire
bahasa itu. Penataan terhadap repertoire bahasa-bahasa penduduk Cina Malaysia yang berbahasa
Inggris di Malaysia ini, secara aktual disebut linear polyglosia. Perhatikan bagan di halaman berikut!

Kalau kita lihat pembedaan kederajatan bahasa dalam linear polyglosia di atas, tidak lagi
menggunakan model biner seperti dalam double-nested diglosia di Khalapur. Di sini tingkat
kederajatan itu dijajarkan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Urutan kederajatan itu
dibuat berdasarkan sikap penutur. Jadi, berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik dalam bahasa
Inggris di Malaysia (juga Singapura).

Bahasa Inggris Malaysia formal T1


Bahasa Malaysia T2
Bahasa Mandarin DH
Bahasa Inggris Malaysia informal M1
Bahasa Cina yang dominan M2
Bahasa Cina “asli” R1
Bahasa-bahasa Cina yang lain R2
Bahasa Melayu Bazar/infromal Rn

Bahasa Inggris Malay- sia formal adalah bahasa T pertama dan bahasa Malaysia standar
adalah bahasa T kedua. Tanda panah vertikal antara Tl dan T2 dalam bagan di atas menunjukkan
bahwa bahasa Malaysia memperoleh dasar karena bahasa Inggris sebagai T❝atas" (Platt 1977:374).
Bahasa Mandarin berstatus sebagai Dummy High (DH), yaitu bahasa atau variasi bahasa yang
memiliki signifikansi dalam masyarakat hampir secara eksklusif pada variasi tinggi; tetapi tidak
digunakan dalam masyarakat untuk segala tujuan, memiliki sedikit pengetahuan dan mengandung
prestise. Bahasa Inggris Malaysia informal menduduki status bahasa menengah pertama (M1), dan
bahasa Cina yang dominan menjadi yang kedua (M2). Lalu, bahasa Cina “asli" menduduki tingkat
bahasa rendah pertama (RI), bahasa-bahasa Cina yang lain menduduki peringkat rendah kedua (R2);
sedangkan bahasa Melayu Bazar menduduki derajat subrendah (R-).

B. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia

Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung
sudah dibicarakan di atas, tetapi untuk lebih jelas dan lebih eksplisit berikut ini kita bicarakan lagi.
Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi
T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam
masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti
tampak dalam bagan berikut.

Diglosia
+ -
Bilingualisme 1. Bilingualisme dan 3. Bilingualisme tanpa
+
diglosia diglosia
2. Diglosia tanpa 4. Tidak diglosia tidak
-
bilingualisme bilingualisme

Dari bagan itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu

1. bilingualisme dan diglosia,


2. bilingualisme tanpa diglosia,
3. diglosia tanpa bilingualisme, dan
4. tidak bilingualisme dan tidak diglosia.

Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia,
hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau
bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani,
salah satu bahasa asli Amerika, berstatus sebagai bahasa R, dan bahasa Spanyol yang merupakan
bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan fungsinya masing-masing.
Bahasa Guarani untuk komunikasi santai, Menurut percakapan sehari-hari dan informal; sedangkan
bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang
bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa
yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang mana pun untuk
situasi dan tujuan apapun. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah
masyarakat di Montreal, Kanada, seperti sudah kita bicarakan sebelum ini.

Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi. kemudian berubah menjadi
masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya "bocor". Dalam
kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes" ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi
atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi
baru (kalau T dan R mempunyai struktur y sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain
(kalau T dan R tidak sama strukturnya) Sebuah contoh bilingualisme tanpa Diglosia dimana sebelum
ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman. Di sana, peralihan ke bahasa Perancis dari bahasa
Jerman berlangsung dengan disertai bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan
untu berbagai tujuan.

Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok
penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok ruling group yang hanya
bicara dalam bahasa T Sedangkan kelompok kedua, yang biasanya lebih besar, tidak memiliki
kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak
kita jumpai di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama. Misalnya, dalam satu periode sejarah Czar
Rusia, para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa Prancis, sedangkan masyarakat Rusia yang
lebih luas hanya berbicara dalam bahasa Rusia dengan berbagai dialeknya Sesungguhnya masyarakat
yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur, sebab
kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter
atau menggunakan bahasa pijin.

Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang
tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual
tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam
tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitif atau terpencil, yang dewasa
ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair
(self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain (Fishman 1972:106)

Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu

1. diglosia dengan bilingualisme, dan


2. diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah
terletak pada bilingualismenya.

Anda mungkin juga menyukai