Anda di halaman 1dari 7

ppiljr mklim

PAPPILAJARANG MAKALIMA
KELONG MANGKASARAK

A. Kompetensi Dasar:
3.5 Mengidentifikasi istilah kekerabatan dan sapaan dalam bahasa Makassar
4.5 Menerapkan penggunaan istilah kekerabatan dan sapaan dalam kesantunan
berbahasa Makassar

Materi Pembelajaran

Kekerabatan adalah suatu unit sosial yang orang-orangnya mempunyai hubungan


keturunan atau hubungan darah. Hubungan kekerabatan merupakan seperangkat
hubungan berdasarkan keturunan dan perkawinan.

Setiap masyarakat dari suatu suku bangsa mempunyai ikatan kekerabatan tertentu yang
harus dijunjung tinggi oleh anggota keluarganya. Demikian pula, masyarakat Makassar
hubungan kekerabatan ini masih dipelihara dengan baik. Istilah kekerabatan dalam bahasa
Makassar disebut dengan "Bija Pammanakang".
Bija Pammanakang adalah orang-orang yang memiliki hubungan keluarga (famili) dengan
seseorang karena adanya nenek yang menghubungkan seseorang dari segi keturunan.
Kriteria Bija Pammanakang ada yang disebut Bija Ma'reppese' atau keluarga dekat, Bija
Bella atau keluarga jauh dan Bija Pasisambungan karena adanya hubungan pertalian
dengan keluarga lain.

Mari kita perhatikan istilah kekerabatan dalam bahasa Makassar melalui contoh berikut :

Ammakkuk Anrong Kalengku


Anrong tumalassukangku
Pa'rimpunganna
Pangngai ta matappukku

Dari contoh diatas terdapat kata Ammak, anrong, kalengku, tulassukangku yang berarti ibu
kandung. selain itu, terdapat pula kata yang bersinonim dengan ammak dan anrong,
yaitu mamak dan ummi.

Kodi Padeng kasia'na


Nikanayya tena mangge
Manna bijanta
Tumaraengji Ri Katte

Pada contoh diatas terdapat kata Mangge yang berarti ayah kandung.
Kata Mangge bersinonim dengan Bapak, Tetta, daek dan uak.

Anakku anak ku pala'


kukanro ri batarayya
Lompoko Nai'
Na nubalasakki te'ne

Pada contoh diatas terdapat kata anak yang pada dasarnya mengacu kepada anak kandung,
anak ao (anak tiri) dan anak kamanakang (keponakan).

Sari'battang tojeng-tojeng
Iaji kalli majarre'
Pindu cikali
naempoi ranggasela

Pada contoh diatas terdapat kata Sari'battang tojeng yang berarti saudara kandung,
kata cikali berarti saudara sepupu sekali, yaitu anak dari paman atau bibi saudara ayah
atau ibu, dan kata pindu' berarti saudara sepupu dua kali yaitu anak dari sepupu satu kali
ayah atau ibu. Sari'battang Ao atau saudara tiri yaitu anak dari ibu tiri atau ayah tiri. Jika
penyapa lebih tua dari pada yang disapa, maka mereka memanggil daeng. Sebaliknya, jika
lebih muda mereka memanggil andi'.

Bunting manai'mako mae


ri balla'na matoannu
matoang tuna
ipara kamase-mase

dari contoh diatas kata matoang berarti metua yaitu ayah atau ibu dari pihak suami atau
istri. Mertua laki-laki disebut matoang bura'ne dan mertua perempuan disebut matoang
baine. Matoang disapa seperti menyapa ayah atau ibu kandung. Kata ipara' berarti ipar
yaitu saudara dari pihak suami atau istri.

Panggilan, teguran, sapaan merupakan penanda ragam yang amat penting dan perlu
mendapat perhatian dari pemakai bahasa, termasuk pemakai bahasa Makassar, penanda-
penanda ini amat penting karena tempatnya paling awal pada setiap percakapan dan
menetukan ragam percakapan selanjutnya menjadi formal, informal, serius, lucu atau
diterima tidaknya dalam percakapan itu.

Dalam bahasa Makassar panggilan, teguran dan sapaan harus disesuaikan dengan budaya
dan istilah kekerabatan serta pemarkah pesona yang relevan dengan si tersapa. Apabila hal
ini tidak diperhatikan, maka orang yang disapa biasanya mengatakan "tena nusitarang
akkio' purina ri nakke" tidak pantas anda menyapa paman/bibi atau anak kepada saya. Oleh
karena itu, sebelum kita memanggil, menegur dan menyapa seseorang maka sebaiknya kita
mengenal lebih dahulu hubungan kekerabatan kita dengan orang yang akan disapa.

Di daerah Sulawesi Selatan sangat menonjol perasaan kekeluargaan. Hal ini mungkin
didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun.
Raja-raja di Sulawesi Selatan telah saling terikat dalam perkawinan, sehingga ikatan
hubungan kekeluargaan semakin erat. Menurut Sure’ Lagaligo (catatan surat Lagaligo dari
Luwu) bahwa keturunan raja berasal dari Batara Guru yang kemudian beranak cucu.
Keturunan Barata Guru kemudian tersebar ke daerah lain. Oleh karena itu perasaan
kekeluargaan tumbuh dan mengakar di kalangan raja di Sulawesi Selatan.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ditemukan sistem kekerabatan. Sistem kekrabatan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis
keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di
Makassar Sipa’anakang/sianakang, sedangkan orang Toraja
menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara
laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.
b. Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat
dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut
dengan istilah Sompulolo, orang Makassar mengistilkannya dengan Sipamanakang.
Mandar Sangan dan Toraja menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya
terdiri atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat
adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu
jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.c. Keturunan. Kekerabatan yang terjadi
berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya
menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di
daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan
ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat
Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija, Makassar menyebutnya
dengan istilah Sibali dan Toraja Sangrara Buku.
d. Pertalian sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah adanya
hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun
keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua
pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis
mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppang-teppang, Makassar Sikalu-kaluki,
Mandar Sisambung sangana dan Toraja Sirampe-rampeang.
e. Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung,
sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan
darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul
karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada
itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu
dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan.
Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar Sambori, suku
Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang
lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.

Panggilan Hubungan Kekerabatan Bugis Makassar - Berikut adalah sebutan dan/atau panggilan
untuk hubungan kekerabatan dalam bahasa Bugis Makassar, semoga bermanfaat :

Panggilan Kekerabatan
Ibu/Induk = Anrong (M), Amma' (M), Indo' (B), Emma' (B)

Ayah = Mangge (M), Ambo (B), Ambe' (B), Bapa', Etta (B), Tetta (M)

Image via Wikipedia

Anak = Ana' (BM)


Kakak = Daeng (BM)

Adik = Andi (BM)

Saudara = Saribbattang (M), Suressureng (B)

Sulung = Battoa (BM), Kaminang Toa (M), Ana' Bunge (B)

Bungsu = Bungko (BM), Kaminang Lolo (M), Paccucung (B Luwu)

Kakek = Dato' (M), Bapa' Toa (M), Lato' (B)

Nenek = Dato' (M), Amma Toa (M), Nene' (BM)

Buyut = Nene' Kolantu (M), Nene Uttu' (B)

Cucu = Cucu (M), Eppo (B) Cicit = Cucu Kolantu (M), Eppo Uttu' (B)

Cucunya Cucu = Cucu Pala' Bangkeng (M), Eppo Sarompeang (B)

Mertua = Matoang (M), Matua (B)

Menantu = Mintu (M), Menettu (B)

Suami = Bura'ne (M), Lakkai (B), Urane (B)

Istri = Baine (M), Turiballaka (M), Bine (B), Hine (B Sinjai), Makkunrai (B), Indo'Ana' (B), Toribolae (B)

Ipar = Ipara (M), Ipa' (B)

Keluarga = Kalabine (MB)

Kerabat = Bija (M), Wija (B), Sompung Lolo (B), Siajing (B)

Sepupu = Sampo (M), Sappo (B) Cappo'

Sepupu satu kali = Cikali (BM), Sampo sikali (M), Sapposiseng (B)

Cika' = bahasa gaul Bugis, kadang juga disingkat Sapposeng / cappo'

Sepupu dua kali = Pindu' (M), Sampo pinruang (M), Sappokkadua (B)

Sepupu tiga kali = Pinta' (M), Sampo pintallung (M), Sappokkatellu (B)

Paman dan Bibi = Purina (M)

Paman = Unda (M), Amure (B), Amaure (B), Pua' (B Luwu)

Tante = Bonda (M), Inaure (B)

Ponakan = Kamanakang (M), Anaure (B)

Sekampung = Sambori' (M), Sikkampong (B)


Belum ada dalam kamus Bahasa Indonesia

Ada beberapa istilah dalam Bahasa Bugis Makassar yang saya tidak tahu persisnya dalam bahasa
Indonesia.

1. LAGO (BM) = SELLALENG (B) = menantunya mertua yang lain / sesama menantu Misalnya :

A menikah dengan B,

C menikah dengan D

B dan C bersaudara

maka A dan D adalah LAGO

2. Suressureng Bali Salo' (B) = Saribbattang Limbang Binanga (M) Secara bahasa artinya :
Saudara Seberang Sungai Misalnya :

A (pria) dan B (wanita) menikah lalu melahirkan anak C, setelah itu bercerai

X (pria) dan Y (wanita) menikah lalu melahirkan anak Z, setelah itu bercerai

Lalu A dan Y menikah,

atau B dan X menikah

Maka C dan Z disebut Suressureng Bali Salo' (B) Saudara jenis ini termasuk bukan mahram
(boleh menikah)

3. Siteppa Teppangeng (B) = Bija Sirenrengang (M)

* Secara bahasa Siteppa-Teppangeng (Bugis) artinya saling menimpa, atau mendarat di tempat yang
sama.

* Sedangkan Bija Sirenrengan (Makassar) artinya Kerabat Berkaitan / Kerabat Sepegangan Tangan
Yaitu semua hubungan kekerabatan yang terjadi akibat terjadinya pernikahan.

Termasuk disini mertua, menantu, ipar, paman dan bibinya pasangan, sepupunya pasangan,
saudaranya ipar, iparnya saudara, dan sebagainya. Pasangan yang menjadi penghubung kedua
keluarga besar itu disebut Appang.

Sebenarnya kesamaan dalam sebutan atau panggilan dalam hubungan kekerabatan bisa saja
menunjukkan kesamaan marga dalam masyarakat Bugis Makassar.

Panggilan Etta, Puang dan Daeng

Misalnya orang yang sama-sama memanggil Etta (Bugis) atau Tetta (Makassar) kepada bapaknya
berarti masih satu marga. Berhubung orang Bugis Makassar tidak mengenal nama PAM. Dan karena
alasan itu juga seharusnya panggilan-panggilan tersebut dilestarikan dalam keluarga. .
Beberapa panggilan dalam masyarakat Bugis Makassar itu memang digunakan hanya dikalangan
tertentu saja, yaitu dalam marga mereka. Dan apabila digunakan di luar marga mereka maka akan
memberikan makna yang berbeda. Misalnya: Panggilan "Puang", (Fuang di Sinjai, dan Pung di
Soppeng).

Itu adalah panggilan untuk kalangan bangsawan yan berlaku di kalangan mereka, dalam marga
mereka.

Budak/ hamba sahaya mereka pun memanggil seperti itu kepada tuannya sebagai tanda
penghormatan dan ketundukan. Tetapi orang-orang Bugis Makassar itu gengsinya tinggi, sehingga
tidak akan mau memanggil Puang kepada yang dianggap tidak berhak menyandangnya (bukan
bangsawan).

Misalnya bagaimanapun populernya Pak Jusuf Kalla (JK), tidak ada orang di Sulsel yang
memanggilnya Puang, paling beliau cuma dipanggil Daeng Ucu', berhubung beliau memang bukan
dari kalangan bangsawan yang dianggap berhak dipanggil Puang.

Dan masih terkait dengan gengsi yang tinggi itu, alasan orang Bugis Makassar tidak mau memanggil
Puang kepada yang dianggap tidak berhak atau bukan marganya, itu karena dengan memanggil
seseorang dgn panggilan Puang padahal dia adalah orang lain yang bukan semarga, maka dianggap
sama saja dengan memposisikan dirinya sebagai budak dari orang itu. Berhubung orang memanggil
Puang di kalangan mereka yang bukan marganya hanyalah pada budak mereka.

Jadi -- pada contoh di atas -- orang yang tidak ada sama sekali hub keluarga dengan Pak Jusuf Kalla
tapi memanggil Pak JK dgn sebutan "puang", maka itu akan dipahami sebagaimerendahkan dirinya
sampai ke level budak dari Pak Jusuf Kalla.

Hal yang perlu diperhatikan

Hati-hati memanggil Emma', Amma', Mama dan Bapa' kepada orang BugMaks yang sama sekali
tidak ada hubungan kekeluargaan dgn mereka. Mungkin maksud Anda adalah untuk menghormati
dan mengakrabkan diri, atau memposisikan diri sebagai anak dihadapan mereka. Tapi panggilan itu
justru bisa dipahami sebagai penghinaan terhadap mereka.

Di kalangan orang Bugis Makassar, panggilan Amma atau Emma dan Bapa' ditujukan kepada orang
tua mereka, dan bisa juga ditujukan kepada para tante dan om alias paman dalam keluarga besar
mereka.

Tapi panggilan Amma dan Bapa' yang ditujukan kepada yang bukan keluarga mereka, hanya
ditujukan kepada para budak mereka.

Sehingga jika Anda datang ke keluarga seseorang di Sulawesi selatan, lalu Anda diperlakukan
sebagai seorang anak, jangan sekali-kali Anda memanggil mereka dengan panggilan Bapa' dan
Amma/Mama kalau Anda sama sekali tidak punya pertalian darah dengan mereka. Karena mereka
bisa saja tersinggung dan merasa dihina dan dianggap budak oleh Anda.

Cukup panggil mereka dgn sebutan Tante, Ibu, Om, Bapak dsb (bukan Bapa' yg disambung dgn
namanya spt Bapa' Amir, Bapa' Dulla, Bapa' Ullah dll).
Demikian penjelasan Panggilan Hubungan Kekerabatan Bugis Makassar mudah-mudahan
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara, Makassar,
Balai Litbang Agama Makassar.
Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16
Fakultas Sastra UNHAS.
------------, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.

Anda mungkin juga menyukai