Anda di halaman 1dari 16

Batak karo

Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Mergadalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah: 1. Karo-karo : Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu dll (Jumlah = 18) 2. Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero dll (Jumlah = 13) 3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata dll (Jumlah = 16) 4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll (Jumlah = 15) 5. Perangin-angin: Bangun, Kacinambun, Perbesi,Sebayang, Pinem dll (Jumlah = 18) Total semua submerga adalah = 84 Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada mergaSembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka. Rakut Sitelu Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: 1. kalimbubu 2. anak beru 3. senina Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. Tutur Siwaluh Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

1. puang kalimbubu 2. kalimbubu 3. senina 4. sembuyak 5. senina sipemeren 6. senina sepengalon/sedalanen 7. anak beru 8. anak beru menteri Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut: 1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang 2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:  Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.  Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.  Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan. 3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama. 4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat). 5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara. 6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anakanak yang memperisteri dari beru yang sama. 7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak

langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:  anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.  Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama. 8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Batak simalungun

Marga Harungguan Bolon Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR[10], yaitu:     Sinaga Saragih Damanik Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh). Keempat raja itu adalah
[11]

]Raja Nagur bermarga Damanik Artikel utama untuk bagian ini adalah: Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan(bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). ]Raja Banua Sobou bermarga Saragih Artikel utama untuk bagian ini adalah: Saragih Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Raja Banua Purba bermarga Purba Artikel utama untuk bagian ini adalah: Purba Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sinaga Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Marga-marga perbauran Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait. ]Perkerabatan Simalungun Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran(tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya aha marga ni ham? (apa marga anda) tetapi hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan puang bolon (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging. Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa [12] kategori sebagai berikut:

Tutur Manorus / Langsung Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.  Tutur Holmouan / Kelompok Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun  Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Batak mandailing
Adat Istiadat Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan aksara asli Minangkabau dan Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun bangsa Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha/pustaka, namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke - 19 M. Umumnya pustaha-pustaha/pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu ghaib, ramalan2 tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi dan bukan tentang sejarah. Kekerabatan Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di Batak, yang mengenal hampir 500 marga. Seperti halnya diKaro, Nias, Gayo, Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak. Marga-marga di Mandailing, antara lain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dal imunthe,Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae), Matondang, Hutasuhut. Marga-Marga Mandailing, menurut Abdoellah Loebis, di Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga).

Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat margamarga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Suku nias

Lompat Batu Tradisi Nias Selatan


By : Meiprieva

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam . Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja. Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.

Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dsb. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi ! 2 meter. Dahulu, melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Itu juga makanya, para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Di satu sisi, mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, namun di sisi lain mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. Bahkan ada juga yang meminta sampai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 sekali melompat, tergantung bargaining. Para pelompat telah mempunyai kelompok dan jaringan supaya tidak menjual murah. Sekarang ini harganya berkisar Rp 50.000 sekali melompat. Namun kalau wisatawan tidak menunjukkan minat dan menolaknya, para pelompat pun akhirnya dapat menerima harga yang lebih murah. Dari pada tidak dapat uang, lebih bagus melompat saja. Tradisi lompat batu yang telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler dan mampu membuat Nias dikenal oleh suku bangsa lain, kelihatannya sudah kurang digemari oleh generasi baru karena tingkat kesulitan untuk menguasainya. Selain itu, atraksi lompat batu juga sudah berubah fungsi. Di daerahdaerah tujuan wisata, para pemuda baru mau melompat, kalau bayarannya sesuai. Sudah tidak ada lagi olah raga melompat batu yang gratis. Yang ada adalah lompat batu komersil. Karena itu, dikuatirkan, jika turisme mati, maka tradisi lompat batu akan punah.

Tradisi china
Dalam perkawinan Cina, ada beberapa ritual acara yang dilakukan. Dari mulai lamaran sampai resepsi. Proses perkawinan Cina sendiri selama ini dilakukan menurut tradisi turun-temurun. Dimulai dari acara sanjit yang dilakukan beberapa hari sebelum resepsi. Sanjit merupakan seserahan dari pihak laki-laki pada pihak perempuan yang antara lain berisi koin emas, jamur, telur dan makanan khas Cina. Menurut tradisi Cina, setiap barang yang dibawa untuk sanjit mempunyai arti tersendiri.

Setelah upacara sanjit, dilakukan penataan kamar pengantin oleh orang tua. Ada kepercayaan beberapa orang untuk meminta anak kecil meloncat-loncat di atas tempat tidur pengantin. Hal ini menurut kepercayaan mereka mempunyai arti agar sang pengantin cepat mendapatkan keturunan. Meski tidak semua keluarga Cina menjalankan tradisi ini tetapi masih cukup banyak juga yang melakukannya. Kemudian pada hari pelaksanaannya, biasanya diadakan acara pengantin memasangkan jas kepada pengantin pria dilengkapi dengan sarung tangan. Lalu ditambah juga dengan bunga tangan yang akan diberikan kepada pengantin wanita. Sedangkan di pihak pengantin wanita juga diadakan acara pelepasan. Acara pelepasan ini disambung dengan acara temon, yaitu acara penjemputan ke tempat mempelai wanita. Bagi keluarga yang masih mengikuti tradisi Cina dan punya kepercayaan sendiri, saat untuk temonbiasanya diatur lebih dulu untuk mencari jam yang baik untuk penjemputan dan kapan waktu yang baik saat pengantin keluar rumah. Tradisi lainnya saat temon, orang tua dan pengantin wanita tidak boleh langsung bertemu dengan pengantin pria. Biasanya yang menerima pada saat pengantin datang adalah wali yang ditunjuk oleh orang tua pengantin wanita. Tapi ada juga yang langsung diterima oleh orang tua. Sedangkan pada saat pengantin turun dan mobil sebaiknya dibukakan pintu oleh best man pengantin pria atau adik laki-laki pengantin wanita, jika mengikuti tradisi tersebut, adik laki-laki pengantin wanita akan memberikan jeruk pada pengantin pria. Sebaliknya pengantin pria memberikan angpau untuk adik lakilaki pengantin wanita. Hal tersebut mempunyai arti ucapan terima kasih. Pengantin pria dengan pengantin wanita pun tak boleh bertemu di ruang tamu, namun langsung ke kamar pengantin. Setelah pemberian hormat kepada orang tua, pengantin pria langsung dibawa ke kamar. Dilanjutkan dengan pemberian bunga untuk pengantin wanita dan sebaliknya pengantin pria dipasangkan corsage oleh pengantin wanita. Di saat yang sama diadakan acara makan onde. Acara ini juga tergantung pada keluarga mempelai kedua belah pihak. Ada yang masih mengikuti tradisi tersebut, ada juga yang tidak. Sesuai tradisi Cina, beberapa hari sebelum resepsi biasanya diadakan acara tea pai di rumah keluarga pengantin pria dan di rumah keluarga pengantin wanita. Tea pai merupakan acara minum teh yang dilakukan untuk memperkenalkan keluarga masing-masing dan menghormati orang yang dituakan. Saat ini tea pai dilakukan sore hari sebelum resepsi perkawinan. Biasanya pengantin langsung memakai baju pengantin internasional. Tapi jika diadakan beberapa hari sebelum resepsi, pengantin bisa memakai baju cheongsam khas Cina. Tradisi Cina lainnya, ada yang menambahkan angco dan gula batu pada teh yang akan diberikan pada pihak keluarga. Bersamaan dengan pemberian teh dan pengantin, pihak keluarga memberikan angpau pada pengantin. Untuk perkawinan Cina yang lebih modern, acara tea pai dilakukan pada hari yang sama dengan resepsi dan tidak lagi dilakukan temon. Pengantin langsung bertemu di gereja saat pemberkatan. Keseluruhan prosesi perkawinan Cina saat ini sudah lebih singkat dan dibuat lebih modern. Upacara sanjit misalnya, tak selalu dilakukan, begitupun ritual perkawinan bisa dipersingkat menjadi hanya sehari saja.

Suku melayu
Musik Melayu tidaklah mempunyai satu cara tertentu, melainkan menggunakan kepada 5 bunyi (skala Petatonik) atau 7 bunyi (Heptatonik) saja, dan tiadalah pula menurut aturan tertentu. Hal ini boleh dilihat dari cara memainkan serunai yang di tiup, dari satu daerah dengan kawasan Melayu yang lain sangatlah berbeda, ianya lebih kepada selera masing-masing peniup. Mungkin hal yang sedemikian itu, merupakan salah satu kesulitan untuk menciptakan cara notasi pada semua alat musik Melayu, untuk diturunkan kepada keturunan berikutnya. Mungkin disebabkan karena peniruan atau pengaruh, maka banyaklah alat musik tradisional Melayu yang mempunyai persamaan dengan negeri-negeri lain di Asia. Misalnya canang (gong kecil) juga ada di Muangthai yang disebut Khong Wong Yai, di Birma juga ada, demikian juga di Sabah melalui alat kulintangnya. Demikian jugalah halnya dengan serunai, ada di banyak negeri-negeri Asia. Jenis alat seperti rebab, kecapi (alat musik bertali atau chordophone), ceracap yang menggunakan buloh (idiophone) dan alat gendrang dari perunggu (membranophone) sudah dikenal sejak zaman kebudayaan Dongson di Asia. Kemudian pula gendang menggunakan satu muka seperti gendang ronggeng, rebana dan lain-lainnya adalah mendahului gendang-gendang yang bermuka dua seperti gendang silat, gendang nobat dan lain-lain. Disebabkan zaman dahulu itu tidak menggunakan notasi tertulis, maka untuk memudahkan ingatan dalam memainkan alat tersebut, misalnya di dalam suatu irama tertentu atau untuk membedakan tinggi rendahnya bunyi nada (pitch), dipakailah suku kata yang menentukan tibre gendang seperti tak (bunyi tertutup atau bass yang dimainkan gendang induk), dan pong (pada bunyi nyaring yang dimainkan oleh gendang anak). Seperkara demikian juga ada pada cara memainkan musik India (Tala) dengan rumusan suku kata seperti ta, ka, dhin, na, tom, ki, ri, dha dan juga dengan memakai gerakan-gerakan tangan (petikan jadi, lambaian tangan, tangan tertutup dan terbuka serta lain-lainnya) sebagai pembagian metrumnya. Pemain gendang haruslah menghafal suku kata suku kata itu di luar kepala. Hal ini juga berlaku pada musik Karo dan Mandailing. Pada musik tradisional Melayu, lebih diberikan kepada keahlian sebenarnya hanya mempunyai peranan sampingan saja dari keseluruhan musik Melayu. Oleh karenanya hanya ada 3 buah alat musik Melayu yang paling penting yaitu:

   

Gendang Rebab (kemudian digantikan oleh biola) Gong atau Tetawak (kemudian digantikan peranannya oleh bass). Barulah kemudiannya diikuti oleh alat-alat musik lainnya seperti Serunai, bermacam-macam jenis gendang, telempong, kesi (cymbal), ceracap dan alat-alat perkussi lainnya.

Suku minang

Tradisi pernikahan Minangkabau


Tradisi perhelatan pernikahan menurut adat Minangkabau lazimnya melalui sejumlah prosesi yang hingga kini masih dijunjung tinggi untuk dilaksanakan serta melibatkan keluarga besar kedua calon mempelai, terutama dari keluarga pihak wanita. Berikut beberapa tradisi dan upacara adat yang biasa dilakukan baik sebelum maupun setelah acara pernikahan:

1. Maresek

Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.

2. Meminang dan Bertukar Tanda

Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamakdan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan. Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah.

Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.

3. Mahanta / Minta Izin

Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamakmamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

4. Babako - Babaki

Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.

5. Malam Bainai

Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. Busana khusus untuk upacara bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.

6. Manjapuik Marapulai

Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesisambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

7. Penyambutan di Rumah Anak Daro

Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.

Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.

8. Tradisi seusai akad nikah

Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki. * Memulangkan tanda Setelah resmi sebagai suami istri maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak. *Mengumumnkan gelar pengantin pria Gelar sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamakkaumnya. *Mengadu Kening Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan. *Mangaruak Nasi Kuning Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning. *Bermain Coki Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.

Suku jawa

RUWATAN
Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita "wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi ,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan

pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden). Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sbb : 1. 2. 3. 4. Alat musik jawa (Gamelan) Wayang kulit satu kotak (komplit) Kelir atau layar kain Blencong atau lampu dari minyak

Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa: 1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.

2. Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan. 3. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih. 4. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah). 5. Bermacam-macam nasi antara lain : a. Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb. b. Nasi wuduk dilengkapi dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, kedele hitam. c. Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana. 6. Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur). 7. Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen). 8. Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong. 9. Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang. 10. Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang. 11. Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan. 12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.

Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.

Batak toba

Salam Khas Batak


Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya 1. Pakpak Njuah-juah Mo Banta Karina! 2. Karo Mejuah-juah Kita Krina! 3. Toba Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna! 4. Simalungun Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona! 5. Mandailing dan Angkola Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!

Suku pakpak
Ketika Barcihen atau bersin, orang disekitar akan merasa terganggu sehingga dalam tradisi Pakpak harus mersintabi dulu. Sintabi, hakciiiiiiii sambil menutup mulut agar orang di sekitar kita tidak kehujanan seperti Tukul Arwana yang sering menyemprot audiensnya. Itulah kehebatan budaya Pakpak mau bersin aja harus mersintabi, permisi dulu karna takut mengganggu orang disekitarnya. Betapa berbudayanya kita, bermartabat tinggi dan menghargai orang lain. Tradisi ini belum saya temukan di suku-suku lain. Saya pernah mendengar di daerah pedesaan sekitar pegunungan Shiga, Japan. Sebelum bersin dia mersintabi, Sumimasen, hakciiiiiii Anata wa barcihen kah? Haik..Watashi wa barcihen desu ka . Sumimasen ini artinya persis sama dengan sintabi kalau diartikan menjadi permisi, punten, kulanuwun atau excuse me agak kurang tajam. Permisi artinya kira-kira minta ijin, misalnya mau numpang lewat , mau memotong pembicaraan maka kita ucapkan permisi, punten, kulanuwun atau excuse me. Kalau sintabi selain minta ijin juga mengandung nilai penghormatan tertinggi. Misalnya kalau melewati orang tua yang lagi duduk bersila, kita mengatakan sintabi partua nami sambil membungkuk dan menurunkan tangan kanan didepan mendahului badan kita sementara tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan atau kita lipat di dada. Pernahkah terpikir oleh anda bahwa hal ini mencerminkan budaya yang bermartabat tinggi ?. Makanya kaltu janganlah mela berbahasa Pakpak apalagi mela sebagai kalak Pakpak.

Anda mungkin juga menyukai