Muslihun, M.Ag.
Dosen Fakultas Syariah IAIN Mataram dan Mahasiswa S3 IAIN Walisongo
Semarang. Email: muslih2009@yahoo.com.
42
sosial mempunyai nilai normatif yang disebut aji krame. Strata sosial
dan subsistem aji krame itu dinampakkan mulai dari pergaulan sehari-
hari sampai ke dalam adat perkawinan. Strata yang direkayasa oleh
penjajah Hindu-Bali ini bertujuan untuk kepentingan raja dan
kerajaan.4 Starata masyarakat yang masih berlaku pada masyarakat
Sasak saat ini, menurut H. Syamsur Rijal, adalah merupakan pengaruh
dari budaya Hindu-Bali yang sampai saat ini masih kental melekat pada
adat Sasak. Pendapat serupa juga diperkuat oleh L. Sukardi, bahwa
dampak dari pengaruh budaya tersebut nampak dalam kehidupan
keluarga, dimana laki-laki lebih dominan dalam penentuan kebijakan
keluarga.5
Nilai ajikrama lambang adat ini nampak pada saat upacara
perkawinan yang disebut sorong serah (ijâb-qabûl menurut adat Sasak).
Menurut kebiasaan atau keputusan yang tidak tertulis, nilai tersebut
disamakan dengan harga uang yang berlaku pada masa itu, disesuaikan
dengan kondisi dan situasi. Menurut asas triwangsa, keluarga yang
berstrata rendah tidak boleh mengawini perempuan dari keluarga yang
berstrata di atasnya dan seterusnya. Namun, bukan sebaliknya, keluarga
berstrata tinggi boleh mengawini perempuan yang berstrata di
bawahnya dan perkawinan seperti ini tidak mengakibatkan stratanya
menjadi turun peringkatnya kecuali jika yang bersangkutan mengawini
perempuan sepangan, panjak pirak atau hamba sahaya. Jika itu terjadi
tidak otomatis naik peringkatnya, bahkan bisa turun karena ia telah
melakukan kesalahan prosedur yang biasa disebut sanyak (kotor).6
Namun demikian, secara sederhana tingkatan pemberian pisuka
itu dapat dibagi menjadi tiga sebagaimana diutarakan Gde Perman di
atas, yakni utama, madya, dan nista. Rincian pisuka/gantiran tersebut
disebutkan oleh Gde Perman dalam bahasa Sasak sebagai berikut:
4
Adat merari’ yang sama dengan adat Hindu-Bali dalam bentuk kawin lari
dipertahankan dengan kekuasaan dan peraturan kerajaan pada waktu itu. Model
seperti ini masih membudaya sangat kuat di suku Sasak sampai sekarang. Lihat Fath.
Zakaria, Mozaik Orang Mataram, Cet. I (Mataram: Yayasan “Sumurmas al-Hamidy”,
1998), h. 82.
5
Syamsur Rijal, (Tokoh agama Praya Lombok Tengah), L. Sukardi (Tokoh
Adat Praya Lombok Tengah), wawancara tanggal, 23 Agustus 2005
6
Faisol, “Intan…, h. 192.
46
Gantiran utama:
Sampi : 2 (dua)
Beras : 120 catu
Kayu : 30 lembah
Minya : 10 botol
Rangirengo : secukupna
Madya:
Sampi : 1 (sopo)
Beras : 60 catu
Kayu : 15 lembah
Byiur : 100 (seratus)
Rangirengo : secukupna
Nista:
Sampi : setengah (1/2)
Beras : 30 catu
Kayu : 30 lembah
Minya : 3 botol
Rangirengo : secukupna
2005.
48
2005.
49
13H. Nurudin, Salah seorang Keluarga Penganten Suku Sasak di Kec. Sakra
kedua kata tersebut sebagai dua kata yang tidak berlainan, misalnya
Subhi Mahmassani dan Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa
kata ‘âdah dan ‘urf itu mempunyai arti yang sama (al’urfu wa al-‘âdah bi
maknan wâhid). Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, dalam tulisan
ini kedua istilah dipergunakan dengan pengertian yang sama yaitu adat,
kebiasaan atau adat istiadat.14
‘Âdah atau ‘urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat diakui
oleh Islam sebagai salah satu sarana pembangunan dalam tata aturan
hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dalam banyak hal, adat
terbukti sangat efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak
terdapat jawaban konkritnya dalam al-Qur‟an dan al-Hadis.15 Lebih dari
itu, fakta menunjukkan bahwa sejak masa awal masa pertumbuhan
hukum Islam kriteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan
praktek hukum yang dikabarkan berasal dari Nabi sendiri.16 Dengan
kata lain, adat merupakan salah satu sumber hukum Islam yang harus
diperhatikan dalam setiap proses kreasi hukum Islam.
Meskipun demikian, tidak semua praktek adat dapat diadopsi
begitu saja sebagai bagian dari hukum Islam, mengingat adat yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat ada yang baik (al-‘âdah al-
sahîhah) dan ada pula yang buruk (al-‘âdah al-fasîdah). Dalam teori
hukum Islam, adat yang dapat diterima hanyalah adat yang baik,
sementara adat yang buruk harus ditolak bahkan dihilangkan.17 Dalam
konteks inilah, para yuris muslim menformulasikan berbagai kaidah
hukum yang berkaitan dengan adat, seperti al-‘âdah muhakkamah (adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum), al-ma’rûf ‘urfan ka al-masyrut syartan
14Pengertian ‘adah dan ‘urf ini dapat dilihat dalam Muhammad Mustafa Syalabi,
oleh Joseph Schact, yaitu satu tulisan yang diambilnya dari Muwaththa‟ tentang hadis
yang menyatakan bahwa Nabi memberikan kepada masing-masing dalam suatu
transaksi jual beli, hak untuk memilih sepanjang mereka secara fisik belum berpisah.
Hadis ini ditolak oleh Malik bin Anas, ahli hukum Madinah dengan alas an bahwa
hak memilih tersebut bukan praktek hukum yang biasa dilakukan di Madinah.
17Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Bina
Utama, 1996), h. 32. Lihat juga M. Hasbi as-Shiddiqy, Falsafat Hukum Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1932), h. 477.
51
(yang baik itu menjadi „urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat), al-sabit bi al-‘urf ka al-tsabit bi al-nash (yang ditetapkan melalui ‘urf
sama dengan yang ditetapkan melalui nash).18
Persoalannya adalah cara mengetahui adat yang baik dan adat
yang buruk itu? Dalam hal ini para ulama telah menetapkan
persyaratan-persyaratan tertentu. „Abdul Wahhab Khallaf misalnya
mengatakan bahwa adat yang baik adalah adat yang tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syara‟, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak
pula menggugurkan kewajiban, sedangkan adat yang buruk adalah
sebaliknya.19 Senada dengan ini, Hasbi al-Shiddiqy mengatakan bahwa
‘urf yang sahîh adalah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti
kebiasaan menyuguhkan minuman keras kepada para tamu dalam
upacara perkawinan.20 Sobhi Mahmassani secara lebih rinci
menetapkan syarat-syarat diterimanya suatu adat kebiasaan sebagai
berikut:
a. Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik, yaitu bisa
diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan yang waras atau
dengan pendapat umum.
b. Hal-hal yang dianggap sebagai adat harus terjadi berulangkali.
c. Yang dianggap berlaku bagi perbuatan mu‟amalat adalah adat
kebiasaan yang lama bukan yang terakhir.
d. Suatu kebiasaan tidak boleh diterima apabila di antara dua belah
pihak terdapat syarat yang berlainan, sebab adat itu kedudukannya
sebagai yang implisist syarat yang sudah dengan sendirinya.
e. Adat kebiasaan hanya dapat dijadikan sebagai alasan hukum apabila
tidak bertentangan dengan ketentuan nass dari ahli fiqh.21
h. 477.
21Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyrî’ fi al-Islâm, alih bahasa Ahmad Sudjono,
22Ibid.
23Lihat dalam Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy, A Study of
Abu Ishaq as-Syatibi’s Life and Thought, alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka, 1996), h. 314.
24Ibid.
53
Juli 2010.
29Moh. Asyik Amrulloh, Pelaku Pernikahan dengan sesama Suku Jawa,
2010.
56
Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok", Jurnal
Istinbath No. 1 Vol. 4 Desember 2006, h. 73-75.
57
Penutup
Setiap orang pasti senang dan suka jika mendapatkan uang dalam
jumlah yang lebih besar. Hanya akan lebih senang lagi jika jumlah yang
besar itu didapatkan dengan cara yang elegan, yakni tidak menyusahkan
orang lain. Sebab, jika itu yang dilakukan, maka kita telah tertawa di
bawah penderitaan orang lain. Tentu saja hal ini sangat tidak baik
dibudayakan oleh suku manapun di dunia ini. Penomena pergeseran
praktik uang pisuka ini bisa saja terjadi di suku-suku lain di dunia
dengan label atau bungkus yang berbeda. Anehnya, budaya uang pisuka
yang dipraktekkan saat ini yang seringkali dengan tawar-menawar,
selain menimbulkan kesan konsumerisme dan terhambatnya prosesi
pernikahan, ternyata merupakan pergeseran bahkan penyimpangan
adat Sasak sendiri.
Oleh karena itu, budaya Sasak ini mestinya harus dikembalikan
pada makna pisuka dan budaya Sasak era masa lalu, dan harus segera
meninggalkan semangat zaman sekarang yang serba konsumerisme,
markentelisme, sekulerisme, dan berbagai isme-isme yang lain yang
nota benenya adalah warisan Kapitalisme-Barat. Sebagai alternatifnya
adalah harus kembali kepada semangat perkawinan dalam Islam yang
semangat awalnya adalah tidak boleh memberatkan salah satu pihak,
sebaliknya semua anggota keluarga harus mendorong terjadinya
perkawinan secara elegan jika telah sampai usia kawin dan terpenuhi
syarat-syaratnya.
59
Daftar Pustaka
Wawancara