Anda di halaman 1dari 33

Tradisi Uang Japuik Pada Pernikahan Di Tanah Padang Pariaman

Dalam tulisan kali ini saya ingin menjelasan tentang budaya pernikahan yang ada di
tanah padang pariaman, karena didaerah ini memiliki budaya pernikahan yang sedikit
unik dari budaya lainnya yang ada di indonesia , di tanah padang pariaman ini untuk adat
upacara pernikahannya ada tradisi yang namanya yaitu tradisi uang jampuik atau yang
biasa disebut juga uang jemputan banyak orang yang bilang juga ini tradisi ini tradisi beli
laki – laki . disini saya ingin menjelaskan tentang tradisi unik ini . berikut penjelasannya .

Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang
minang dalam prosesi adat perkimpoian, karena dalam sistem matrilineal posisi suami
merupakan orang datang. Oleh karena itu, diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik
dalam pernikahan. Namun, di Pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk
tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga
kemudian dikenal dengan uang japutan (uang jemput), agiah jalang (uang atau emas
yang diberikan oleh pihak laki-laki saat pasca pernikahan) dan uang hilang (uang hilang).
pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian
kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak
Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya
setara dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya
kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga
pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau
Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh
pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga
marapulai itu sendiri. Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling
menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai
dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang atau
emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik atau dinamakan dengan agiah jalang.
Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki akan merasa malu kepada pihak perempuan jika
nilai agiah jalangnya lebih rendah dari pada nilai uang japuik yang telah mereka terima,
tapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula
istilah yang disebut dengan uang hilang.Uang hilang ini merupakan pemberian dalam
bentuk uang atau barang oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya
milik laki-laki yang tidak dapat dikembalikan.

Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG?


Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara
Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti
tentang masalah ini.
Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan,
Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan
ayah.
Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu :

1. gelar dari ayah


2. gelar dari mamak (paman)

Hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja,
misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman,
yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau
mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik
Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun
Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang).

Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh
yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman & Tiku pernah
dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda.
Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu
penyebar agama Islam didaerah Pariaman.

Kesimpulannya uang jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki
kewajiban dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam
bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara Manjalan
Karumah Mintuo.
Hal yang wajar bila ada kekhawatiran kaum ibu orang Pariaman, jika anak lelakinya yang
diharapkan akan menjadi tulang punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah
lupa dengan NASIB DAN PARASAIAN ibu dan adik-adiknya.
Banyak kasus yang terdengar walau tidak tercatat ketika telah menjadi orang Sumando
dikeluarga isterinya telah lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua dan saudara
kandungnya. Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati rezeki yang diperoleh
anak lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di Pariaman keberatan melepas anak
lelakinya segera menikah. Dikawatirkan bila anak lelakinya itu cepat menikah, maka
pupus harapannya menikmati hasil jerih payahnya dalam membesarkan anak lelakinya
itu. Lagi pula para kaum ibu itupun sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang
sudah menikah, akan beralih kepada isteri dan anaknya.

Sebagai tambahan disini saya akan menjelaskan proses dalam pemberian uang japuik ini ,
berikut adalah prosesnya :

Proses Pemberian Uang Japuik

Adat perkawinan padang pariaman, terdiri dari adat sebelum menikah, adat perkawinan
dan adat sesudah perkawinan. Dalam adat sebelum perkawinan di padang pariaman
terdiri dari maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang tando (maminang) dan
menetapkan uang jemputan. Lalu adat perkawinan yang terdiri dari bakampuang-
kampuanngan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik
marapulai, akad nikah, basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.
Kemudian adat setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu mengantar limau,
berfitrah, mengantar perbukoan, dan bulan lemang. uang japuik ditentukan saat sebelum
perkawinan dan diberikan saat adat perkawinan, yaitu saat manjapuik marapulai.

Ada dua pihak yang terlibat dalam adat perkawinan, yaitu pihak marapulai (calon
pengantin laki-laki) yang terdiri atas mamak marapulai (paman dari pihak ibu), ayah
marapulai dan ibu marapulai. Sdangkan dari pihak anak daro (calon mempelai wanita)
terdiri atas mamak anak daro (paman dari pihak ibu), ayah anak daro dan saudara laki-
laki anak daro. Biasanya diantara mereka ada perantara yang mengerti adat dan pepatah
petitih bahasa minang, yaitu kapalo mudo. Kapalo mudo marapulai dan kapalo mudo
anak daro yang akan saling bercakap-cakap dalam pepatah petitih bahasa minang, yang
isinya menyampaikan maksud keluarga tersebut.

Bila ada orang pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan
mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasa
cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut,
dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi
seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga kedua belah
pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga
perempuan akan bertandang kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai) dan
bermusyawarah.

Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan menyempaikan maksud
mereka kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua).
Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan
menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik akan
disiapkan oleh keluarga wanita. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga
akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian
dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang
besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.

Acara dilanjutkan dengan batimbang tando (meminang). Pada hari itu keluarga
perempuan akan mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan
yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan
perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai,
pembicaraan akan meningkat pada masalah uang japuik, mahar, dan hari pernikahan
(baralek). Kemudian acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo
mudo anak daro (pengantin perempuan) dan kapalo mudo marapulai (pengantin laki-
laki). Kapalo mudo adalah orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya
acara perkawinan tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkan uang
jemputan dan uang hilang. Jika marapulai merupakan orang keturunan bangsawan atau
mempunyai gelar, maka nilai uang japuiknya akan tinggi. Sekarang nilai uang japuik
ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan jabatan marapulai.(disarikan dari
jurnal Depdikbud Dirjen Kebudayaan, balai kajian sejarah dan nilai tradisional padang
1999/2000 berjudul Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat Padang Pariaman Dalam
Upacara Perkawinan. Halaman 29-59)

Besar uang japuik ditentukan dalam uang rupiah yang nilainya sama dengan 30 ameh
(emas), satu ameh setara dengan 2,5 gram emas. Semakin tinggi nilai uang japuik yang
diberikan, menunjukkan semakin tinggi status sosial marapulai. Pada zaman sekarang,
nilai uang jemputan bisa diganti dengan uang rupiah biasa, hewan atau kendaraan. Besar
uang japuik, bila orang biasa, misal profesinya tukang becak atau orang biasa, dia
dijemput dengan uang senilai Rp. 5.000.000, sedangkan bila ia adalah sarjana, guru,
dokter akan dijemput dengan uang senilai Rp. 35.000.000-Rp.50.000.000. belum lagi bila
mereka juga mempunyai gelar dari mamaknya, seperti sidi, bagindo atau sutan.

Setelah uang japuik diberikan, acara dilanjutkan dengan acara alek randam (persiapan)
dan malam bainai. Setelah semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan
maka keluarga anak daro yang terdiri dari mamak, ayah, kakak laki-laki akan menjemput
pengantin laki-laki (marapulai) di rumahnya membawa pakaian pengantin serta
persyaratan termasuk uang japuik. Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga
marapulai, maka mamak anak daro akan membuka percakapan dan diakhiri dengan
membawa marapulai, sedangkan uang japuik akan diserahkan kepada ibu marapulai.

Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara dilanjutkan dengan
pesta perkawinan (baralek). Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua
pengantin bersanding di rumah anak daro, maka dengan berpakaian adat lengkap dan
diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat, mereka mengunjungi rumah mertua
(mintuo) anak daro, acara ini disebut manjalang mintuo. Pada acara ini lah uang japuik
akan dikembalikan dalam betuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya
dilebihkan oleh ibu marapulai.
Kesimpulan :

Jadi kesimpulan dari artikel ini adalah negara indonesia adalah negara kepulauan dengan
banyak budaya yang beragam jenis nya , budaya uang japuik dalam upacara pernikahan
di pariaman ini merupakan salah satunya , banyak yang menganggap ini ,budaya yang
negatif karena dalam budaya ini mempelai laki – laki dibeli oleh mempelai wanitanya,
tapi jika tradisi ini di teliti lebih dalam budaya ini adalah budaya yang baik karena
pemberian uang ini kepada mempelai laki – laki adalah bentuk penghormatan dari
keluarga mempelai wanita kepada keluarga sang laki – laki yang telah merawatnya dari
lahir sampai dewasa , karena di dalam budaya orang pariaman laki – laki yang telah
menikah akan tinggal bersama keluarga mempelai wanitanya . jadi budaya ini bisa kita
anggap budaya yang baik , jadi ketika kita ingin memeberikan penilaian terhadap sesuatu
kita harus amati dan teliti dengan baik .
Uang Japuik, sebuah Cerita
by www.alatherbal.comJanuari 5, 2015

“Bara japuiknyo (Berapa uang jemputannya) ?, “Dibeli berapa kamu?”, “Mahal dong
harga loe?”.

Itulah beberapa kalimat tanya yang sering AR dengar ketika mengobrol bersama kawan
baru. Begitu melekatnya adat bajapuik sehingga kalimat tanya di atas akan meluncur
pada detik pertama setelah mereka tahu AR dari Pariaman.

Sebelum menikah, agak panas juga kuping ini kalau disodorin pertanyaan legendaris itu.
Jawaban sederhana AR adalah Adat bukan Agama, kita tak dilarang untuk
mengubahnya/melanggarnya. Kini rasanya biasa saja, mereka hanya belum tahu
filosofinya.

Alhamdulillah AR bisa mengenal seorang pelaku sejarah, beliau pernah menjadi


Mahasiswanya Bung Hatta di Universitas Gajah Mada. Beliau sudah memasuki Kepala 8
dengan ingatan yang masih kuat, sekitar 81 tahun umurnya. AR ingat beliau berkisah
tentang pelariannya dari rumah kontrakan karena dikejar-kejar PKI (Partai Komunis
Indonesia) di tahun ’65-an. Beliau mau dibunuh karena menjadi seorang Muslim yang
taat.

Sejak baligh, beliau sudah dipercaya untuk Manjampuik Marapulai (menjemput


pengantin laki-laki). Prestasi yang luar biasa untuk anak SMP (Sekolah Menengah
Pertama). Manjampuik Marapulai memerlukan hapalan dan kemampuan berbalas pantun,
dalam Bahasa Minang tentunya. Seringkali keluarga mempelai pria terkaget-kaget
mengetahui yang menjemput seumuran dengan anak atau cucunya.

Salah satu fase kehidupan yang pasti melibatkan prosesi adat adalah pernikahan dan itu
berlaku hampir di seluruh Nusantara. Khusus Pariaman, Bajapuik adalah keistimewaan.
Setiap Mamak (Paman dari garis ibu) tertua pasti akan menjadi aktor utama dalam tradisi
Bajapuik. Mereka akan datang ke rumah calon mempelai pria, bertemu Mamak si Laki-
Laki, dan menyelesaikan prosesi Bajapuik.

Ini bukan lamaran, tak ada kedua calon mempelai di acara itu. Ini adalah adat yang
menjadi tanggung jawab Sang Mamak. Apakah pernikahan bisa berlangsung tanpa
melibatkan prosesi ini dan Sang Mamak? Bisa!!! Tapi semua ada konsekuensinya. Adat
pun bisa menghukum pelanggarnya.

Salah satu unsur yang paling penting dalam Bajapuik adalah Uang Japuik/Uang
Jemputan, ilustrasinya seperti ini:

Kedua orang Mamak akan menyepakati besaran uang japuik, misal Rp. 10.000.000.
Setelah menerimanya, Pihak Keluarga Laki-Laki akan menambahkan harta sesuai
kemampuannya (biasanya lebih besar dari pemberian Pihak Wanita), misal sebesar Rp.
10.000.000. Seluruh dana sejumlah Rp. 20.000.000 tersebut akhirnya akan diserahkan
kepada pasangan yang baru menikah (melalui mempelai wanita) untuk digunakan
sebagai modal awal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Kalau dalam akuntansi,
Uang Japuik itu semacam Stock Capital/Modal Kerja.

AR pernah mendengar cerita Bajapuik dari Paman Istri dimana Pihak Wanita
menyerahkan uang sekitar Rp. 100.000.000 dan pasangan baru menerima sebuah Rumah
dari Pihak Keluarga Laki-Laki yang nilainya di atas Rp. 200.000.000. Oleh karena itu,
AR menyebutnya sebagai Kado Pernikahan versi Pariaman.

Begitulah seharusnya, Keluarga Pihak Laki-Laki akan meminta Uang Japuik sebesar
kemampuannya. Tapi kini semua bergeser, mempelai wanita hanya menerima hadiah
kecil dari keluarga suaminya dalam prosesi Agiah Jalang. Saat ini, pemberian agiah
jalang itu biasanya hanya sekitar 10%-30% dari uang japuik. Banyak versi mengenai
musabab perubahan ini, salah satunya AR dengar dari Mahasiswa Sang Proklamator.
Begini ceritanya:
Sebagai daerah pesisir, pendatang diterima dengan baik di Pariaman. Ini dibuktikan
dengan beberapa nama kampung/desa atau kuburan, seperti: Kampung Jao (Kampung
Jawa), Kuburan Cino, Kuburan Belanda, Kampung Nieh (Kampung Nias), Kampung
Kaliang (Kampung Keling. Orang Minang menyebut pendatang berperawakan seperti
India Dravida sebagai Si Kaliang).

Alkisah, ada seorang Saudagar pendatang dari Nieh yang kaya raya. Dia memiliki
seorang Anak Gadis yang cantik jelita. Ayah kaya raya ini memiliki satu impian yaitu
bermenantu urang Piaman/Pariaman. Sungguh suatu kebanggaan luar biasa baginya
jika bermenantukan Ajo Piaman. Suatu kewajaranlah mengenai keinginan sang
Saudagar. Ada satu pepatah yang mengatakan “Di mana Bumi dipijak, di situ Langit
dijunjung”. Tentunya proses adaptasi atau pun akulturasi akan berjalan lebih mulus
melalui proses pernikahan.

Sudah kemana-mana Sang Saudagar mencari menantu tapi yang diharap tak kunjung
ketemu. Banyak alasan yang dikemukakan para target, mulai dari garis keturunan
sampai keyakinan. Keyakinan adalah alasan yang paling sering didengar Saudagar.
Urang Nieh tak beragama dulunya, mereka masih mempertahankan keyakinan nenek
moyangnya (animisme dan/atau dinamisme.red)

Muncullah akal Sang Saudagar, dicarinya target yang kurang berada karena dia dan
keluarganya pasti tak akan sanggup mengembalikan dua kali lipat dari Uang Japuik.
Berkatalah Saudagar itu kepada Mamak sang calon menantu “Kalian tak usah
mengembalikan Uang Japuik, ambil saja Uang Japuik itu. Anggap saja Uang Hilang”.
Akhirnya, menikahlah si Ajo Piaman dengan Putri nan Cantik Jelita.

Setelah pelanggaran pertama adat ini terjadi, pelanggaran lainnya pun muncul dan terus
menjamur.

Begitulah salah satu kisah mengenai penyebab pergeseran makna dan praktek Prosesi
Bajapuik. Penyelewengan ini makin menjadi hari-hari ini, Ajo Piaman makin “gila”
nilainya. Malah muncul pembenaran bahwa sudah sewajarnya keluarga Laki-Laki
meminta Uang Hilang karena mereka sudah mengeluarkan biaya membesarkannya.
Pembenaran ini sangat mudah dipatahkan karena keluarga Wanita pasti mengeluarkan
biaya yang tak kalah besar untuk mendidik anak gadisnya.

Harga Ajo Pariaman Piaman

(Sumber foto dari sini)

Tapi sanak, yang namanya manusia itu banyak akalnya. AR pernah mendengar kisah
mengenai keluarga calon mempelai laki-laki yang menyediakan uang japuik. Keluarga
wanita tak mengeluarkan uang sepeser pun.

Cinta yang suci akan menemukan jalannya.

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 240-242


27 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah


Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Dan orang-
orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS.
Al-Baqarah: 240) Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa.
(QS. Al-Baqarah: 241) Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya
(hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.” (QS. Al-Baqarah: 242)

Mayoritas ulama mengatakan, ayat ini mansukh (dihapuskan) dengan ayat sebelumnya,
yaitu firman Allah yang artinya: “(Hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).

Diriwayatkan melalui Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Jika
seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan isterinya, maka isterinya harus
menjalani iddah selama satu tahun di dalam rumahnya dengan diberi nafkah dari harta
mantan suaminya. Dan setelah itu Allah Ta’ala menurunkan firman: wal ladziina
yutawaffauna minkum wayadzaruuna azwaajay yatarabbashna bi-anfusiHinna arba’ata
asyHuriw wa ‘asyran (“Orang-orang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan isteri-isteri [hendaklah para isteri itu] menangguhkan dirinya [beriddah]
empat bulan sepuluh hari.”) Inilah masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya,
kecuali jika ia ditinggal mati dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai
melahirkan kandungannya. Dan firman Allah yang artinya: “Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan.” (QS. An-Nisaa’: 12)

Dengan demikian, Allah swt. telah menguraikan masalah harta pusaka (warisan),
peninggalan wasiat, dan pemberian nafkah.

Atha’ mengatakan, “Kemudian datanglah masalah pembagian warisan, maka dihapuslah


masalah tempat tinggal. Sehingga seorang wanita boleh menjalankan masa iddahnya di
mana saja yang ia kehendaki dan tidak haruskan tempat tinggal.”

Kemudian dari jalur Ibnu Abbas, Imam Bukhari meriwayatkan yang serupa dengan
pendapat yang disampaikan sebelumnya yang dinyatakan oleh Mujahid dan Atha’, bahwa
ayat ini tidak menunjukkan diwajibkannya iddah selama satu tahun, sebagaimana yang
dikemukakan oleh jumhur ulama. Dimana ketentuan tersebut mansukh dengan ketentuan
empat bulan sepuluh hari. Namun demikian, ayat tersebut menunjukkan perihal wasiat
kepada istri, yaitu agar mereka diperbolehkan tinggal selama satu tahun penuh di rumah
suaminya yang sudah meninggal tersebut, jika memang mereka memilih itu.

Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: washiyyatal li azwaajiHim (“Hendaklah berwasiat
untuk isteri-isterinya.”) Artinya, Allah Ta’ala mewasiatkan kepada kalian sebuah wasiat
mengenai diri mereka (para isteri). Hal itu sama seperti firman-Nya yang lain:
yuushiikumullaaHu fii aulaadikum (“Allah mewasiatkan [mensyariatkan] kepada kamu
tentang [pembagian harta pusaka untuk] anak-anak kamu. (QS. An-Nisaa’: 11)

Dan juga seperti firman Allah yang lainnya: washiyyatam minallaaHi (“Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah.”) (QS. An-
Nisaa’: 12). Ada juga yang mengatakan, dibaca manshub dengan pengertian, “Hendaklah
kamu mewasiatkan sebuah wasiat kepada mereka.” Tetapi ada juga yang membacanya
marfu’ dengan pengertian, “Diwajibkan kepada kamu berwasiat.” Yang terakhir ini
merupakan pilihan Ibnu jarir, namun para isteri tersebut tetap tidak dilarang dari hal itu,
sebagaimana firman-Nya: ghaira ikhraaj (“Dengan tidak disuruh pindah [dari
rumahnya].”)

Tetapi jika mereka telah menyelesaikan masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari
atau dengan melahirkan anak yang dikandungnya, mereka memilih untuk pergi dan
pindah dari rumah itu, maka mereka tidak boleh dihalang-halangi, berdasarkan pada
firman Allah Ta’ala: fa in kharajna falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusiHinna
mim ma’ruufin (“Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak dosa bagi kamu
[wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf
terhadap diri mereka sendiri.”)

Pendapat ini cukup terarah dan lafadz ayat itu sendiri mendukungnya. Pendapat ini
menjadi pilihan satu kelompok, di antaranya adalah Imam al-Abbas Ibnu Taimiyah.
Tetapi ada yang menolak pendapat ini, di antaranya Syaikh Abu Umar bin Abdul Barr.
Sedangkan pendapat Atha’ dan para pengikutnya menyatakan bahwa ketentuan itu telah
mansukh dengan ayat mengenai harta warisan (mirats), jika mereka bermaksud lebih dari
sekedar tinggal di rumah mantan suaminya selama empat bulan sepuluh hari, maka dapat
diterima. Tetapi jika yang mereka maksudkan adalah pemberian tempat tinggal selama
empat bulan sepuluh hari tidak wajib dalam harta pusaka, maka inilah titik perbedaan
yang terjadi di antara para imam. Keduanya adalah pendapat Imam Syafi’i
rahimahullahu.

Pendapat mereka yang mewajibkan memberi tempat tinggal di rumah mantan suami
adalah didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’,
dari Sa’ad bin Ishak bin Ka’ab bin Ajrah, dari bibinya, Zainab binti Ka’ab bin Ajrah,
bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, (saudara perempuan Abu Sa’id al-Khudri ra),
bercerita kepada (Zainab binti Ka’ab bin Ajrah) bahwa ia pernah datang kepada
Rasulullah untuk menanyakan apakah ia boleh pulang kembali ke keluarganya di Bani
Khudrah, karena suaminya pergi keluar rumah mencari beberapa budaknya, hingga ketika
ia menemukan mereka dipinggir daerah Qadum, mereka membunuhnya. Furai’ah
melanjutkan ceritanya, kemudian aku meminta kepada Rasulullah agar membolehkan aku
kembali kepada keluargaku di Bani Khudrah, kerena suamiku tidak meninggalkanku di
rumah miliknya dan tidak pula meninggalkan nafkah. Setelah itu, Nabimenjawab: “Ya.”
Lalu aku pun pulang hingga ketika aku berada di dalam kamar, Rasulullah memanggilku
atau menyuruh untuk memanggilku. Kemudian beliau berkata: “Bagaimana cerita yang
engkau sampaikan tadi?” Maka aku pun mengulangi kembali kisah yang telah
kusampaikan itu mengenai keadaan suamiku. Lalu beliau bersabda: “Tinggallah di
tempat tinggalmu hingga masa iddahmu selesai.” Furai’ah melanjutkan ceritanya, maka
aku pun menjalani iddah di sana selama empat bulan sepuluh hari. Dan ketika Utsman
bin Affan mengirim utusan kepadaku untuk menanyakan hal itu kepadaku, maka aku pun
memberitahukan kepadanya dan Utsman pun mengikutinya dan memberikan keputusan
(yang sama) dengannya.

Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i, dari Malik.
An-Nasa’i dan Ibnu Majah juga meiwayatkan hadits tersebut dari Sa’ad bin Ishak.
Menurut at-Tirmidzi hadits tersebut hasan shahih.

Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal
muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya]
mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa.”) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika turun firman Allah
Ta’ala: mataa’am bilma’ruufi haqqan ‘alal muhsiniin (“Pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”)(QS.
Al-Bagarah 236) Ada seseorang yang mengatakan: “Jika aku menghendaki untuk berbuat
kebajikan, maka aku akan mengerjakan, dan jika aku menghendaki aku tidak akan
mengerjakannya.”

Lalu turunlah ayat ini: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin
(“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah
menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) (QS.
Al-Baqarah: 241)

Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada
setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang
sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang
sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Dan pendapat ini pula
yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan
Ibnu jarir.

Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan


keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah Ta’ala berikut ini yang artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236).

Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan
beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang
masyhur. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: kadzaalika yubayyinullaaHu lakum aayaatiHii (“Demikianlah Allah


menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya].”) Maksudnya, dalam
hal yang menyangkut halal, haram, fardhu serta batasan-batasan mengenai apa yang
diperintahkan dan dilarang. Dia menjelaskan dan menafsirkan semuanya itu secara
gamblang serta tidak meninggalkannya secara mujmal (global) pada saat kalian
membutuhkannya, la’allakum ta’qiluun (“Supaya kalian memahaminya.”) Atau dengan
kata lain, memahami dan merenungkannya.

&

Tentang iklan-iklan ini

Tradisi Uang Jemputan Bukanlah Adat di


Minangkabau……
12 Agustus 2009 pukul 15:59

Tradisi Uang Jemputan Bukanlah Adat di Minangkabau……


Pada awalnya, pemberian uang jemputan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak
laki-laki (calon menantu atau sumando), dilakukan terhadap calon menantu dari
lingkungan sosial masyarakat – yang dianggap terhormat, misalnya: gelar keturunan.
Yaitu Sidi, Bagindo, dan Sutan. Setelah itu berlanjut menjadi persyaratan dalam proses
peminangan atau tercapainya kesepakatan untuk menjodohkan seorang anak perempuan
dengan lelaki pilihannya. Pemberian uang jemputan ini lagi – lagi dipersyaratkan oleh
pihak keluarga laki-laki.
Uang jemputan itu, berbeda-beda besaran nilainya, bisa juga berupa non-uang seperti
mobil, rumah, atau lainnya.
Dahulu laki-laki yang bergelar Sidi – di daerah Pariaman – akan menerima uang
jemputan lebih tinggi dibanding yang lain. Sekarang, yang menjadi ukuran adalah para
kaum terpelajar, berpendidikan, dan memiliki profesi tertentu, sebagai dokter, sarjana
teknik, sarjana ekonomi serta kaum professional lainnya akan menjadi orang-orang
jemputan.
Ada juga orangtua pihak laki-laki, tidak mau menerima uang jemputan untuk suatu
pernikahan. Mereka merasa malu dan sadar bahwa tradisi uang jemputan – menimbulkan
beban moril bagi hubungan kekerabatan selanjutnya, Kemudian muncul istilah “uang
hilang” sebagai pengganti uang jemputan. Awalnya, uang hilang benar-benar digunakan
untuk penyelengaraan acara di rumah pihak pengantin laki-laki, seperti penyelenggaraan
acara “menjalang mintuo” (berkunjung kerumah mertua), dll, akan tetapi pada
perkembangan selanjutnya, kedua-duanya tetap menjadi tradisi dalam pra perkawinan.
Pemberian uang jemputan atau uang hilang ini kadang dianggap sebagai gengsi social,
baik bagi pihak keluarga laki-laki maupun pihak perempuan sendiri. Artinya, semakin
tinggi uang hilang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, berarti secara
prestise si laki-laki dianggap lebih dihargai status sosialnya dan sebaliknya bagi pihak
perempuan (yang memberi), mereka pun dianggap memiliki kemampuan memberikan
uang jemputan uang hilang itu.
Pada dasarnya “uang jemputan atau uang hilang” itu benar-benar dimafaatkan untuk
kepentingan pihak calon pengantin laki-laki, misalnya mempersiapkan seperangkat
kebutuhan nya , seperti baju, dll serta penyelenggaraan acara dirumah pihak laki-laki.
Konon pemberian uang juga dapat menaikkan derajat kedua keluarga – baik yang
memberi atau yang menerima.
Sepanjang pihak keluarga perempuan menyanggupinya tradisi ini, karena tanggung jawab
dalam mengisi tradisi uang jemputan ini berada pada tanggung jawab Ninik Mamak
pihak perempuan, maka diyakini tidak ada konflik internal yang terjadi dalam praktek
tradisi itu. Akan tetapi bagaimana sekiranya pihak keluarga pihak perempuan tidak
menyanggupinya ?. Bukan saja karena tidak sanggup secara materi, namun mengganggap
tradisi ini menyalahi eksistensi perempuan muda yang sama-sama memiliki kesempatan
dalam berkarya dan bekerja. Banyak perempuan – perempuan Minang yang cerdas yang
memperoleh peluang didunia kerja. Mereka mulai menganggap bahwa tradisi uang
jemputan – uang hilang ini, tidak layak lagi ditradisikan. Lagi pula tradisi uang jemputan
– memberikan image seakan lelaki minang itu pada umumnya bisa dibeli oleh
perempuannya.
Kami tidak menyatakan bahwa adanya emansipasi wanita/perempuan yang dikumandang
oleh kelompok feminism – yang meng-agungkan kesetaraan gender, yang menjadikan
tradisi tidak layak ditradisikan lagi. Akan tetapi adalah bagaimana menjaga image
terhadap lelaki minang itu sendiri sendiri bahwa ia dibeli oleh pihak perempuan. Lagi
pula gadis minang terkesan menjadi kelompok subordinasi lelaki minang. Sebab
bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, bila nilai uang jemput dan uang hilang
tetap menjadi tuntutan, bahkan harus lebih tinggi lagi, maka ini memang
memprihatinkan.

Tradisi uang jemputan atau uang hilang bukanlah pelaksanaan adat atau mengisi adat dan
lembaga, melainkan semata budaya yang berlaku diwilayah tertentu saja. Hal ini wajib
dikesampingkan dan dikikis, apabila tidak sesuai dengan norma-norma agama dan etika
bermasyarakat dan berbangsa.
Sementara itu jika uang jemputan dan uang hilang diberikan kepada keluarga mempelai
pria rendah nilai rupiahnya, maka keluarga perempuan akan dicemooh orang- orang
sekitarnya.
Untuk masa sekarang, pengikisan tradisi pemberian uang jemputan dan uang hilang
hendaknya dilakukan oleh kaum lelaki minang sendiri. Kaum lelaki minang harus sadar,
bahwa keberlangsungan rumah tangga yang berada di pundaknya jangan terusik oleh
hegemoni seorang lelaki, yang dianggap harus lunas untuk memenuhi persyaratan
perkawinannya melalui tradisi uang jemputan ini.

Tradisi Uang Jemputan berbeda dengan Menjemput Pengantin Pria (“manjapuik


marapulai”) :
Menjemput mempelai pria(marapulai) secara adat, dalam prosesi perkawinan adalah
bagian dari adat perkawinan di Minangkabau. Tata cara perkawinan ini berlaku diseluruh
lapisan masyarakat di Minangkabau. Ini adalah wujud dari penghargaan terhadap lelaki
minang.
Mengapa demikian ? Karena ia akan menjadi “ Semenda “ (sumando) dikeluarga
isterinya.

Minangkabau menganut system kekerabatan eksogami, dimana garis keturunan diambil


dari garis ibu. Kedudukan seorang suami – ayah, didalam sebuah Rumah Gadang adalah
bagaikan seorang tamu yang selalu disanjung dan dilayani sepanjang hidupnya dikeluarga
isterinya nanti. Karena ia menjadi seorang Semenda – urang Sumando didalam keluarga
isterinya, maka sebab itulah ia dijemput menurut tatacara adat perkawinan itu.
Sesungguhnya penjemputan pengantin pria (marapulai), yang dijemput dengan
mensyaratkan adanya uang jemputan atau uang hilang bukanlah adat perkawinan.
Pemberian uang jemputan – uang uang hilang hanya merupakan kebiasaan – tradisi
sepihak yang hanya ada di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman. Sementara
13 kota/kabupaten lain di Provinsi Sumatera Barat tidak menganut tradisi demikian.
Bagaimana cara menghapus tradisi itu ? Bisakah ?
Mari kita kembalikan kepada hati nurani kaum prianya. Apakah kebahagian rumah
tangganya nanti dapat terpenuhi dengan diperoleh dengan uang jemputan ?

Menggambarkan pelaksanaan tradisi itu – sama halnya menggambarkan tengah


berlangsungnya proses hegemoni kaum laki-laki dalam hubungan-hubungan sosial, yang
di dalamnya tersembunyi kepentingan komunitas laki-laki sebagai kelas yang superior.
Juga, terjadi penindasan hak-hak sosial perempuan sebagai anggota masyarakat. Ini
gambaran terjadinya proses diskriminasi antara pria dan wanita.
Bisa terjadi, setinggi apa pun prestasi – intelektual yang diraih perempuan – tetap saja
tidak memperlihatkan kesetaraan gadis minang dan lelaki minang.
Pada pasca reformasi – dimana perempuan diberi kesempatan untuk menduduki parlemen
sebesar 30 % – apabila masih melaksanakan tradisi uang jemputan itu – rasanya kok
sudah ketinggalan zaman…. Sebaliknya, ditengah kesempatan yang diberikan kepada
kaum perempuan untuk berkiprah di parlemen itu, tentu seorang perempuan tidak harus
mengubah “kodrat”nya untuk mengurus rumah tangga dan melayani suaminya. Ingatlah
……, ada rambu-rambu yang diberikan agama – Islam – bahwa ia mendapat predikat
wanita sholehah apabila ia mampu melaksananakan tugas pokok dalam kehidupan rumah
tangga dan menjadi makhluk social. Inilah hakikat sebuah perkawinan dimata agama dan
budaya.

Oleh karena itu, adanya kesempatan yang sama bagi kaum wanita dan pria dalam
berkarya – mengabdikan diri kepada masyarakat serta memperoleh imbalan yang sama
atas buah dan hasil karyanya itu, maka adanya ketidak adilan yang disebabkan adanya
tradisi uang jemputan atau uang hilang, hendaknya dikikis habis oleh : lelaki muda
minang itu sendiri. Termasuk kesadaran para orang tua si lelaki serta ninik mamak yang
ikut meminta dan menginginkan pelaksanaan tradisi ini.
Perempuan adalah makhluk individu yang mandiri dan potensial, Di Minangkabau –
kaum perempuan sangat diagungkan sebagai bundo kanduang. Bundokanduang adalah,
perempuan yang diposisikan sebagai yang dihormati, menduduki posisi sentral dan
penting dalam keluarga. Dalam rangka menciptakan keharminisan rumah tangga kelak
dikemudian hari, maka sebaiknya tradisi uang jemputan dan uang hilang pada masyarakat
Minangkabau, khususnya di wilayah Padang Pariaman dan Pariaman dihilangkan saja.
Saat ini tidak ada lagi istilahnya lelaki minang lebih unggul dari gadis minang karena
status sosialnya. Penggunaan gelar turunan semakin tidak berguna lagi bila dibanding
kualitas intelektual seseorang. Baik lelaki muda minang dan gadis minang saat ini
memperoleh kesempatan yang sama memperoleh kualitas intelektual itu. Yang
ditunjukkan dari gelar Perguruan Tinggi yang diperolehnya.

Sumber

Uang Jemputan dalam Adat Pariaman 26 November 2009 04:32:00 Diperbarui: 26 Juni
2015 19:11:23 Dibaca : 11,322 Komentar : 4 Nilai : 0 Sebagai orang minang yang hidup
diperantauan saya sering ditanya masalah "uang jemputan" ini padahal saya sendiri tidak
sepenuhnya mengerti mengenai masalah ini karena ditempat saya sendiri (Bukittinggi)
tidak ada tradisi tersebut karena memang di Sumatera Barat tradisi tersebut hanya berlaku
di daerah Pariaman. Tetapi untuk sekedar berbagi maka saya mencoba untuk memposting
artikel yang saya dapat dari sebuah milist di internet, mudah-mudahan bermanfaat bagi
kita semua. Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG ?
Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara
Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti
tentang masalah ini. Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang
hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut
nasab atau garis keturunan ayah atau patriachat. Dengan demikian di Pariaman berlaku 2
macam gelar, yaitu : yang satu gelar dari ayah yang satu lagi gelar dari mamak, hanya
saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dennicandra/uang-jemputan-dalam-adat-
pariaman_54ff2f6ea333115e4550fc6b
UANG HILANG SALAH SATU ADAT NAN DIADATKAN

Oleh. M.Yunis**

Kabupaten Padang-Pariaman ialah salah satu daerah budaya yang terkesan unik dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Sumatra Barat. Keunikan tersebut dapat dilihat dari adat istiadat
yang berlaku, salah satunya sitem perkawinan. Dengan cara yang berbeda yaang dimiliki oleh
orang Pariaman ternyata mampu mengaburkan perepsi orang luar dalam memandangnya.
Sitem perkawinan di sini, juga dimulai dari meminang, tunangan, pernikahan tak obahnya
dengan dengan daerah lain. Perbedaan terletak pada berlakunya sistem uang hilang yang
sampai sekarang masyarakat Pariaman masih menjalankannya.
Uang hilang adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada laki-laki
dengan jumlah yang tergantung kesepakatan kedua belah pihak, tapi masih
mempertimbangkan titel si laki-laki yang akan menikah. Namun, momok uang hilang sangat
penakutkan bagi wanita sekarang, baik yang berasal dari Pariaman maupun luar Pariaman, dan
bahkan sebagian orang takut terikat perkawinan dengan laki-laki Pariaman. Seloroh atau serius
muncul ungkapan bahwa orang pariaman babali, seperti barang dagangan saja.
Kenapa muncul uang hilang?menurut pemikiran penulis ada beberapa sebab lahirnya uang
hilang di Pariaman, pertama faktor hukum alam, manusia dilahirkan tidak pernah sempurna,
cantik, gagah, jelek adalah wajar. Nah, begitu pula di daerah Pariaman. Sangat dimungkinkan
bahwa konsep uang hilang lahir berawal dari pihak perempuan, sebab kata pepatah, ’’condong
mato kanan rancak, condong salero ka nan lamak’’. Tak hayal jika anak perempuan yang
memiliki fisik yang kurang sempurna sulit mencari jodoh. Oleh karena itu, timbul keinginan dari
pihak perempuan untuk memberikan imbalan kepada pihak laki-laki yang mau menikah dengan
si anak perempaun tadi. Uang yang dibayarkan kepada laki-laki ini pada akhirnya dinamakan
dengan uang hilang, artinya memang benar-benar hilang dari pihak perempuan. Jika kebiasan
seperti ini berlangsung secara terus menerus, maka kebiasan itu dapat dijadikan konsep dasar
adat nan diadatkan, ini dapat disebut dengan adat salingka nagari. Konsep ini dirasa cocok bagi
orang pariaman dan cocok pula dengan dengan konsep bamamak di Minangkabau, sebab
mamak termasuk salah seorang yang berhak menentukan berapa besar uang hilang. Hak
tersebut secara spontanitas diperoleh mamak, karena besarnya peran mamak dalam
membimbing kemenakan dirasa cukup untuk dijadikan jawaban.
Namun dalam realitas sekarang, timbul keresahan dari kalangan generasi muda hingga
memunculkan persepsi bahwa laki-laki Pariaman itu babali seperti barang dagangan. Kenapa
orang Pariaman tetap memakai konsep uang hilang? Seperti kata pepatah sasek di tangah jalan
babaliak ka pangka jalan, itu yang seharusnya dilakukan. Kita harus berangkatlah dari adat
istiadat Minangkabau, bahwa anak dididik oleh mamak bukan Ayah, secara tidak langsung anak
laki-laki maupun perempaun sangat diperhatikan oleh mamaknya, baik pendidikan maupun
bimbingan, mamaklah yang memikirkan semua. Tapi khusus pada kemenakan laki-laki sedikit
berbeda dari kemenakan perempuan, sebab laki-laki akan menjadi pemimipin di dalam kaumnya
atau sekurang-kurangnya di dalam rumah tangga. Karena besarnya peran mamak dalam
mendidik kemenakan inilah timbul pameo bagi orang Minang ketika anak berbuat salah yang
ditanyai bukan siapa ayahnya, tapi siapa mamaknya.
Oleh karena itu, mamak sebagai orang yang pernah berjasa kepada kemenakan menggagas
sebuah cara sehingga dapat menggambarkan bahwa dalam mendidik seorang anak laki-laki
tidaklah segampang mendidik anak perempuan, sebagai pengingat jasa-jasa itu maka mamak-
mamak di Pariaman melegalkan konsep uang hilang.
Oleh karena uang hilang dikategorikan ke dalam adat nan diadatkan, maka keberadaan uang
hilang pun termodifikasi. Fakta di lapangan semakin banyak konsep ini diabaikan. Kita pun tahu
bahwa mamak tidak begitu berfungsi dalam membimbing kemenakan, mamak sudah beralih
tugas menjadi ayah tulen sebab setelah menikah laki-laki membopong istrinya ke rantau
seberang. Hal ini akan mempertipis hidupnya kembali fungsi mamak, sebab tempat berdomosili
kemenakan sudah jauh dari mamak dan sementara kekuasaan mamak hanya ada di Rumah
Gadang, oleh karena itu mamak tidak begitu berperan dalam hidup kemenakanya, secara
spontan tugas-tugas itu sudah beralih kepada ayah dan jikalau mamak pergi ke tempat
kemenakan, kedudukan mamak hanya sebagai tamu saja.
Namun begitu, bukan berarti uang hilang raib dan tidak dipakai lagi di Pariaman. Masyarakat
yang berada di kabupaten misalnya, sistem perkawinan dirasa kurang afdol jika tidak dilengkapi
dengan adanya uang hilang, hal itu juga telah menjadi kebanggaan bagi masyarakat itu,
dengan cara ini masyarakat telah menghargai adat istiadat setempat. Kemudian terdapat pula
laki-laki yang sengaja memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan calon istri kemudian
saat prosesi pernikahan berlangsung pihak perempuan memberikannya kembali kepada pihak
laki-laki atas nama uang hilang, hal ini hanya semata-semata untuk menghargai adat istiadat
setempat.
Seiring dengan itu, terjadi pula kesepakatan kedua belah pihak tidak memakai konsep uang
hilang sama sekali, suka sama suka mejadi dasar kesepakatan tersebut dan diperkuat lagi
bahawa kedua calon mempelai tidak dapat dipisahkan lagi. Hal ini wajar terjadi di dalam adat
nan diadatkan, lagi pula konsep-konsep adat tersebut tetap dimusyawarahkan terlebih dahulu
sebelum dipakaikan, tidak terkecuali dengan uang hilang.
Di samping uang hilang di Pariaman berlaku pula uang jemputan yang juga dibayarkan oleh
perempuan kepada laki-laki sebelum perikahan terjadi. Jumlahnya agak besar dari uang hilang.
Jika dilihat sepintas lalu, adat istiadat ini memang terkesan tidak adil bagi perempuan. Tetapi
bagi orang yang telah meyaksikan upacara perkawinan itu dari dekat mungkin akan berkata
lain. Bahwa di dalam prosesi perkawinan di Pariaman terdapat rentetan upacara yang
dinamakan dengan manjalang dilaksanakan pada malam kedua waktu uapacara. Di sini pihak
perempaun datang ke rumah mempelai laki-laki diikuti dengan andan pasumandan, inilah yang
dinamakan dengan manjalang Pada saat uapacara manjalang ini usai, mempelai wanita
mendapatkan berbagai macam perhisan dari pihak laki-laki bahkan sampai memenuhi ke 10 jari
mempelai wanita. Perhiasan ini, berasal dari isi kado dari besan-besan yang lebih dahulu telah
mengikat tali perbesanan dengan keluarga mempelai laki-laki, adik mempelai laki-laki, orang
tua mempelai laki-laki, kakak mempelai laki-laki pun tidak ketinggalan. Jika ditafsir, harga
perhisan yang diperoleh mempelai wanita bisa mencapai puluhan juta sebab tidak hanya
perhiasan yang diterima oleh mempelai wanita, berikutnya adalah berbagai jenis pakaian
(survei lapangan bersama Flas Studio Fakultas satra, 8 dan 9 Februari 2006, dalam helat
perkawinan Imral Tuanku Imam di Toboh Gadang). Begitulah konsep uang hilang dalam realitas
dan sekarang masih dipakai oleh masyarakat Pariaman.
**Alumni Sastra Daerah Minangkabau

Posted by Musafir Kesejatian at 17.28

Labels: ARTIKEL

Tidak ada komentar:

Poskan KomeTEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

BAB I

PENGARUH SANKSI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT BAGI PELAKU HUKUM :


PENERAPAN TEORI BEHAVIORISME

A. Teori Behaviorisme

Dalam ilmu sosiologi, teori behaviorisme adalah berkarakter psikologi. Teori ini
mengajarkan bahwa manusia tidak di pengaruhi oleh bawaan lahirnya (kecerdasan, emosional,
ketahanan tubuh, penyakit bawaan, genetik). Tetapi faktor yang lebih penting untuk mengetahui
sikap tindakan manusia dan yang memengaruhi serta yang membentuk tingkah laku manusia
ialah kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagai respon atas lingkungannya. Respon ini
dapat diidentifikasi dan dapat diukur untuk mengetahui seberapa besar respon yang di berikan
akibat stimulus yang berasal dari internal ataupun eksternal.

Kaum behaviorisme adalah para pendukung teori Tabula rasa, yaitu sebuah teori yang
menyakini bahwa manusia lahir tidak membawa apa-apa (seperti kertas putih), dimana sikap dan
watak amnusia itu berbeda-beda karna pengaruh dari lingkungannya semenjak dia menjalani
proses kehidupan.

Paham behaviorisme awal mula lahir pada awal abad ke-20, yang muncul sebagai reaksi
dan oposisi terhadap paham yang sudah lebih dahulu ada dan sangat dominan saat itu, yaitu
paham introspeksionisme. Paham introspeksionisme ini adalah merupakan suatu studi tentang
kesadaran manusia (consciousness) melalui eksaminasi diri (self examination) yang menurut
kaum behaviorisme, kesadaran manusia ini tidak dapat di ukur.
Disamping psikologi behaviorisme yang mempelajari sikap dan tingkah laku tersebut,
ada juga psikologi kognitivisme yang mempelajari aktivitas berpikir dan penalaran dari
seseorang. Di lain pihak ada juga apa yang disebut dengan behaviorisme sosial yang merupakan
posisi teoritis dalam ilmu sosiologi yang menganggap faktor individu dan interaksinya dengan
individu yang lain, sebagai dasar dari analisis sosiologi (george A. Theodorson. Et al., 1969: 28).
Sehingga, kedalam ruanglingkup behaviorisme sosial dalam ilmu sosiologi ini di masukkan pula
paham interaksionisme simbolis, dan teori aksi sosial.

Disamping itu, sebenarnya bukan ilmu sosiologi dan ilmu psikologi saja yang
berkepentingan dengan analisis behaviorisme manusia, tetapi banyak disiplin ilmu lain, seperti
antropologi budaya, filsafat, ilmu hukum bahkan beberapa aspek dari ilmu ekonomi dan ilmu
politik.kesemua displin ilmu yang ikut berkepentingan dan membahas tentang behaviorisme
manusia ini sering di kelompokkan kedalam “ilmu behavioral” (behavioral science).

Kesadaran tentang pentingnya peranan teori behaviorisme dalam ilmu sosial bahkan juga
dalam ilmu psikologi itu sendiri baru muncul setelah munculnya berbagai pendapat dari Skinner,
misalnya dalam bukunya tahun 1971, dan Albert Bandura di tahun 1969, meskipun sebenarnya
teori behaviorisme ini awal mulanya telah diirumuskan oleh J.B. Watson.

a. Konsep responden dan operan


Untuk mengukur tingkat kecendrungan dari manusia untuk melakukan sesuatu, dapat di
gunakan konsep “responden” dan “operan”. Ada perbedaan antara konsep responden,
sebagaimana yang di lakukan oleh Pavlov dan Watson, dengan konsep operan sebagaimana yang
di lakukan oleh Skinner (Anthony Giddens, et al., 2008: 86).

Dengan konsep responden seseorang akan bereaksi secara otomatis (refleks) jika di
berikan stimulus tertentu terhadap orang atau subjek tersebut. Misalnya mata akan secara refleks
berkedip jika ada benda asing yang mendekatinya.

Adapun dengan konsep operan, maka pemberian stimulus tidak serta-merta orang atau
hewan tersebut melakukan hal-hal yang sudah di desain sebelumnya. Sebab, bagi hewan yang
memiliki intelegensi tinggi dan manusia, banyak faktor yang mempengaruhi putusan untuk
melakukan suatu tindakan. Misalnya faktor-faktor sebagai berikut :

1. Adanya dorongan lapar, dahaga, seks, kesenangan, dan sebagainya.


2. Kekuatan dorongan berbeda-beda antara satu manusias/ hewan dengan manusia/hewan yang lain.
3. Banyaknya stimulus yang berbeda-beda antara satu manusia/hewan dengan manusia/hewan yang
lainnya.
4. Bisa jadi terhadap seseorang yang terhadapnya, sebelumnya telah di praktikkan beberapa
kebiasaan yang berbeda yang juga menjadi mkebiasaannya.
b. Kaidah-kaidah dalam teori behaviorisme
Ada lima kaidah utama yang berhubungan dengan teori behaviorisme ini, yaitu:
1. Kaidah mengenai akibat (the law of the effect), yaitu jika suatu tindakan atau perbuatan di ikuti
dengan pemberian hadiah, maka pelaku perbuatan itu cenderung untuk mengulangi perbuatannya,
bahkan cenderung untuk menyempurnakan.
2. Kaidah mengenai penyesuaian, yaitu jika dibuat kondisi tertentu yang mirip dengan kondisi yang
dimana pelaku perbuatan (manusia/hewan) mendapatkan pengahargaan, maka manusia/ hewan itu
cenderung mengulang kembali perbuatannya jika di berikan atau berada pada saat kondisi yang
serupa dengan itu.
3. Kaidah mengenai akibat relatif, yaitu jika manusia/hewan atau pelaku perbuatan di beriakan
pilihan beberapa keadaan yang menguntungkan baginya, dan itu dilakukan secara berulang kali,
maka akhirnya akan memilih keadaan yang paling menguntungkan terlebih dahulu, kemudian
baru yang kurang menguntungkan, setelah menjalani masa penyesuaian terlebih dahulu, yakni
masa pengenalan mana yang paling menguntungkan dan yang kurang menguntungkan.
4. Kaidah menahan kepuasan, yaitu bahwa terhadap suatu tindakan yang memuaskan, kepuasannya
semakin lama semakin berkurang.
5. Kaidah rasa agresi-frustasi, yaitu adanya sikap amarah yang bersifat emosional dan memicu
prilaku agresif, yakni ketika kepada seseorang di berikan hukuman terhadap tindakannya, atau
tidak di berikan penghargaan, atau di berikan penghargaan tapi tidak cukup.
Memang menjadi sebuah bahan diskusi yang tidak habis-habisnya, tentang apakah benar
manusia itu di lahirkan seperti kertas putih (tabula rasa) sebagaimana yang di pahami oleh para
penganut behaviorisme, dimana penentuan wataknya tergantung pada kebiasaan, pembelajaran,
dan lingkungannya selama dia masih hidupn, ataukah yang dominan seseorang dalam hidupnya
dalam berfikir dan bertindak adalah karna faktor genetika.

Teori behaviorisme dalam ilmu sosiologi telah memiliki paling tidak ada dua teori
turunan, yaitu teori metodologi individualistis dan teori kaidah pencakupan. Teori metodologi
individualistis mengajarkan bahwa meskipun individu-individu itu hidup berkelompok dalam
masyarakat, tetapi bagaimana dia dan persepsinya dalam masyyarakat tetap berasal dari individu
ini, meskipun pengaruh lingkungan atau pengalaman tetap ada.

Menurut teori behaviourisme ini, meskipun masing-masing individu hidup dalam sebuah
kelompok masyarakat, tetapi sifat individualnya tetap muncul, karena mereka adalah tetap
manusia, terlepas bagaimana bawaan lahir, tetapi yang paling utama adalah pengalaman hidup
mereka.

Selanjutnya, menurut teori pencakupan, dalam masyarakat terdapat berbagai variabel,


dimana variabel-variabel itu di hubungkan oleh berbagai proposisi secara deduktif.pendeduksian
dalam hal ini bukan hanya menggabung-gabungkan sejumlah fariabel yang ada, tetapi harus
mampu juga mengungkapkan hakikat dari hubungan tersebut.

Seperti telah di sebutkan bahwa adanya kesamaan pandangan dalam bentuk kesadaran
yang menghasilkan sikap dan kesadaran yang universal dalam suatu kelompoknya (seperti
kesadaran bahwa manusia tidak boleh mencuri), tidak berarti bahwa manusia telah melepass sifat
individunya.

Kita tahu bahwa potret suatu masyarakat adalah merupakan refleksi potret dari masing-
m,asing individun itu juga, maka proposisi behaviornya yang umum tetap sama, dan berlaku bagi
semua anggota kelompok. Proposisi behavior ini kemudian berkembang menjadi sebuah
kebenaran yang universal sifatnya. Misalnya proposisi bahwa karena adanya reward yang positif
dalam berbagai bentuk, akan menyebabkan orang cenderung melakukan hal yanmg
mengahasilkan reward ini. Atau adanya kesadran atau proposisi bersama bahwa jika ada anggota
kelompok yang melakukan kejahatan harus di hukum, terlepas apapun bentuk hukumannya.

B. Penerapan teori psikologi dalam hukum

Penerapan teori-teori psikologi dalam hukum memang sangat penting, bahkan memang
ilmu psikologi berguna hampir di seluruh bidang ilmu hukum. Misalnya, banyak kasus pela
nggaran hukum yang ketika pelakunya hendak di adili, ternyata ada banyak faktor mengapa
kemudian sampai perbuatan itu di lakukannya, hal ini bisa seperti yang di bahas dalam teori
behaviorisme itu, ilmu psikologi disini juga memainkan perannya. Atau ketika kita hendak
mengetahui mengapa suatu hukum atau kebijakan itu di terapkan, disini kita pun bisa
menggunakan teori behaviorisme dalam melihat medan dimana hukum itu di konstruksikan dan
juga keadaan para pembuat hukum itu.

Selanjutnya manfaat lain dari teori-teori psikologi terhadap ilmu hukum ialah untuk
menelaah kepribadian dan kejiwaan dari seorang pelaku kriminal, atau yang di duga pelaku
kriminal, atau pihak yang menduduki posisi-posisi yang rentan dengan tanggung jawab yang
besar, seperti analisis personaliti terhadap pilot, hakim, jaksa, dan polisi. Berbagai metode di
perkenalkan ilmu psikologi untuk melakukan analisis kepribadian dan kejiwaan seseorang.
Misalnya dengan menggunakan metode-metode sebagai yang di kemukakan oleh psikolog
terkenal, Bapak Sarlito Wirawan, yaitu :

1. Metode eksperimental,
2. Metode pengamatan alamiah,
3. Metode catatan biografi,
4. Metode wawancara,
5. Metode pemeriksaan psikologis.
Penganalisaan perilaku menyimpang karena persoalan-persoalan yang menyangkut
dengan psikologis sangat penting bagi hukum, untuk mengetahui bagaimana terapi yang tepat
baginya, dan sejauh mana yang bersangkuttan tidak lagi mengulang kejahatan atau perbuatan
trouble maker-nya. Sehingga dapat pula di ketahui berapa lama hukuman harus dijalankannya,
dan seberapa jauh efek jera dari hukum berpengaruh baginya. Sayangnya memang, di Indonesia
bahkan secara universal, analisis-analisis yang bersifat psikologis seperti ini kurang di hayati oleh
para penegak hukum sehingga menyebabkan banyaknya timbul hukuman yang tidak layak,
banyak residivis, bahkan gejala rumah penjara sebagai tempat les dan pendidikan untuk
melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.

Namun demikian, yang harus di akui pula bahwa efek psikologis individu dari pelaku
kejahatan bukan satu-satunya faktor yang harus di perhatikan dalam hubungan dengan hukuman
pidana tersebut. Masih ada faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu:

1. Efek jera bagi pelaku kejahatan,


2. Efek jera bagi masyarakat,
3. Efek pembalasan, dan
4. Efek pendidikan.
Selain dalam hubungan dengan penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan, analisis
psikologi terhadap hukum juga di perlukan untuk mengukur atau mengetahui:

1. Perasaan hukum masing-masing individu dalam masyarakat,


2. Kesadaran hukum dari masyarakat secara keseluruhan atau dari kelompok masyarakat tertentu,
3. Tingkat kepatuhan hukum dari masyarakat,
4. Tingkat kepatuhan hukum dari pelaksana/ppenegak hukum,
5. Model pembelajaran hukum dan penyuluhan hukum yang ampuh bagi masyarakat tertentu,
6. Tingkkat pengetahuan hukum dari masyarakat.
Jadi memang penganalisisan hukum dari sudut pandang psikologis sangat penting artinya,
misalnya dalam pengkajian hukuman yang sesuai dengan pelaku kejahatan, khususnya jika dilihat
dari sektor individu pelaku kejahatan ini. Bagaimnapun juga, pertimbangan pada faktor
psikologis individu merupakan salah satu faktor penting yang harus di pertimbangkan ketika
suatu hukuman di jatuhkan oleh hakim, dituntut oleh jaksa, atau ketika di rumuskan ancaman
pidana oleh para pembuat undang-undang di bidang hukum pidana. Hukuman penjara yang harus
di jatuhkan pada pembunuh yang psikopat, misalnya lebih tinggi berhubung sulitnya di
sembuhkan penyakit jiwanya tersebut untuk menghindari dia menjadi residivis kelak. Dan aspek
pendidikan (bahkan aspek pengobatan jiwa) selama dalam rumah penjara harus lebih di
intensifkan untuk orang-orang berkelainan jiwa seperti ini. BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Era Reformasi sampai saat ini telah menghembuskan udara kebebasan di benak rakyat.
Kebebasan ini mencakup kebebasan untuk berekspresi maupun kebebasan untuk menuntut
hak-hak yang belum terpenuhi. Namun, kebebasan tanpa ada batasan jelas yang mengatur
tentang kebebasan itu sendiri pada akhirnya akan membawa dampak yang dapat berakibat pada
menurunnya moralitas bangsa. Kebebasan berekspresi terutama melalui dalam dunia seni dan
perfilman telah semakin mengaburkan nilai-nilai kesopanan di tengah-tengah masyarakat. Hal
ini bisa kita lihat dari banyaknya situs-situs, acara-acara televisi maupun film yang menyajikan
tayangan ‘seronok’. Sebut saja seperti film “Buruan Cium Gue” (2005) yang dulu sempat dicekal
oleh Lembaga Sensor Film Indonesia, karena dinilai terlalu banyak menampilkan adegan yang
tidak senonoh, dan kurang layak untuk dikonsumsi masyarakat. Terakhir, film “Suster Keramas”
(2009), diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia karena dianggap mengusik tatanan kesusilaan
masyarakat. Kasus serupa yang masih lekat di ingatan kita yaitu pencekalan terhadap penyanyi
asal daerah Lamongan, Jawa Timur, Inul Daratista di sejumlah daerah Indonesia. Pencekalan itu
terjadi lantaran aksi jogetnya yang dianggap telah melampaui batas kesopanan moral dan adat
beragama.

I.2 Rumusan Permasalahan

a) Apakah yang dimaksud dengan pornografi & pornoaksi dan bagaimana perkembangannya di
Indonesia?

b) Berapakah persentase pertumbuhan kasus porno di Dunia & di Indonesia ?

c) Apakah dampak yang di timbulkan dari melihat aksi pornogarafi & pornoaksi?

d) Bagaimana caranya meningkatkan kesadaran dan penanggulangan terhadap bahaya Pornografi


dan Pornoaksi?

e) Bagaimana aturan hukum negara kita untuk memberi aturan terhadap aksi pornogarafi &
pornoaksi?

I.3 Tujuan Penulisan Makalah ini

a) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pornografi dan bagaimana perkembangannya di
Indonesia.

b) Untuk mengetahui persentase pertumbuhan kasus porno di Dunia & di Indonesia.

c) Untuk mengetahui apakah dampak yang di timbulkan dari melihat aksi pornogarafi &
pornoaksi.

d) Untuk mengetahui bagaimana caranya menanggulangi dan meningkatkan kesadaran


masyarakat terhadap bahaya pornografi dan pornoaksi.
e) Untuk mengetahui bagaimana aturan hukum negara kita untuk memberi aturan terhadap aksi
pornogarafi & pornoaksi .

I.4 Manfaat Penulisan Makalah ini

a. Secara teoritis, sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam usaha untuk
meningkatkan kesadarn terhadap bahaya pornografi dan pornoaksi yang penulis dapatkan
setelah melalui serangkaian penghimpunana data.

b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan dan menumbuhkan kesadaran dalam jiwa
individu, masyarakat, dan pemerintah terhadap bahaya pornografi dan pornoaksi dalam
kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara serta memerikan dorongan agar masing-
masing individu, masyarakat dan pemerintah tersebut dapat memberikan kontribusi sesuai
dengan perannya masing-masing untuk meminimalisir bahaya pornografi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

I.5 Metode Penulisan

Metode yang kami gunakan adalah metode library riset dan cyber riset.

Libarary riset ialah metode yang merupakan tempat menghimpun data, informasi, berita,
& opini, yang di ambil dari Perpustakaan Pribadi Penulis, Perpustakaan Universitas Riau &
Perputakaan Kota Wilayah Pekanbaru pada tanggal 24 Juni 2010 – 30 Juni 2010.

Cyber riset ialah metode yang merupakan tempat menghimpun data, informasi, berita, &
opini, yang di ambil dari internet yang bersumber dari alamat terpercaya yang kami tuliskan di
bagian bab literatur, pada 24 Juni 2010 – 30 Juni 2010

BAB II

Pembahasan

II.1 Sekilas Tentang Pornografi dan Pornoaksi serta Perkembangannya di Indonesia


Pengertian ‘pornografi’ secara umum telah dipahami oleh setiap individu. Dengan pola
pikir individu yang berbeda, kata ‘pornografi’, terlepas dari konotasi positif dan negatifnya,
memiliki sejumlah arti yang hampir sama dalam keragaman komunitas masyarakat kita.
Pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang
dipertontonkan (khususnya perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau
indidu yang menyaksikan terangsang layaknya manusia normal.

Secara terminologi, pornografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yang berasal
dari kata dalam Bahasa Yunani ‘porne’ dan ‘graphos’ yang berarti gambaran atau tulisan
mengenai wanita jalang. Atau dalam arti lain adalah tulisan tentang wanita susila. Berikut ini
beberapa definisi mengenai pornografi:

· Menurut definisi RUU Pornografi, "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh
manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat
membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

· Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Pornografi adalah penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan
yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.

· Oxford English Dictionary : Pornografi adalah pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang
mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni.

RUU Pasal 1 ayat 1, menyebutkan, “Pornografi adalah substansi dalam media atau alat
komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika.” Pasal 1 ayat 2: “Pornoaksi adalah perbuatan mengekploitasi
seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.

II.2 Persentase Pertumbuhan Kasus Porno di Dunia & di Indonesia

Persentase di Dunia :

Berdasarkan data yang diperoleh dari


Media Ide » Blog Archive » Statistik Situs Porno.htm, 12% situs di dunia ini

mengandung pornografi, 25% yang dicari melalui search engine adalah pornografi, 35% dari data
yang diunduh dari internet adalah pornografi, setiap detiknya 28.258 pengguna internet melihat
pornogafi, setiap detiknya $89.00 dihabiskan untuk pornografi di internet, setiap harinya 266
situs porno baru.

Muncul kata “sex” adalah kata yang paling banyak dicari di internet, pendapatan US dari
pornografi di internet tahun 2006 mencapai $2.84 milyar, pengguna pornografi di internet 72%
pria dan 28% wanita, 70% traffic pornografi internet terjadi pada hari kerja jam 9.00 – 17.00,
diperkirakan kini ada 372 juta halaman website pornografi, Website pornografi diproduksi 3%
oleh Inggris, 4% oleh Jerman, dan 89% oleh US, Website pornografi yang traffic-nya paling tinggi:
AdultFriendFinder, menduduki peringkat ke-49 dengan 7.2 juta pengunjung, sedangkan negara-
negara yang melarang pornografi yaitu Saudi Arabia, Iran, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab,
Kuwait, Malaysia, Indonesia, Singapura, Kenya, India, Kuba, dan Cina.

Data lainnya menyebutkan, rata-rata usia anak berkenalan dengan internet pornografi
antara usia 11 tahun, sedangkan konsumen terbesar pornografi internet adalah kelompok
berumur 12-17 tahun yang dapat dikatakan sebagai remaja. (www.indonesia.go.id).

Persentase di indonesia :

Berdasarkan data yang diperoleh dari buku “Kumpulan Kisah Inspiratif” dari Kick Andy,
Metro TV & BENTANG, yang berjudul “Jangan Bugil diDepan Kamera” menuliskan bahwa: Saat
ini lebih dari 500 video porno buatan Indonesia baik berbentuk VCD,DVD,bahkan dari Ponsel ke
Ponsel. Sangat mengejutkan 90 % dibuat oleh mahasiwa dan pelajar yang setiap hari nya lebih
dari dua film porno di produksi.

Hasil penelitian Sony Ady Setyawan, mahasiswa Yogyakarta mengungkapkan, sebagian


besar video porno di buat secara amatiran,berdasarkan keisengan belaka. Kebanyakan
menggunakan medi Ponsel yang direkam mulai dari adegan telanjang sampai hubungan seks
atau perkosaan. Sesungguhnya kita telah memasuki gelombang keempat dalam dunia porno
grafi seperti yang terjadi di Jepang.

Pornografi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Sony Setyawan, penulis buku 500


Gelombang Video Porno Indonesia dan penggagas kampanye “ Jangan Bugi didepan Kamera”
mengungkapkan pada 2001 menemukan 6-8 buah video porno buatan orang Indonesia.
Awalnya ia meramalkan lima tahun lagi jumlah video porno “Made in Indoneia” naik sepuluh kali
lipat. Tapi Ramalannya salah besar karena jumlah peningkatannya lebih besar beberapa kalilipat
dari dugaan sebelumnya, yaitu pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 500 buah!, 60 %
berisi hubungan intim. Berdasarkan paparanya Sony membuat tingkatan atau gelombang
tentang Video Porno yaitu :

1. Video Porno yang dibuat secara amatiran/iseng.


2. Video Porno yang dibuat atas nama cinta.
3. Video Porno yang dengan Candid Camera ( Kamera Tersembunyi).
4. Video Porno yang dibuat karena ada unsur Komersial.
5. Video Porno yang dibuat dengan adegan kekerasan/pemerkosaan.
6. Video Porno yang dibuat dengan melibakan anak-anak.
Lantas Indonesia Sekarang Sudah di posisis mana?

Ya... Indonesia sudah dipossisi Ke lima karena dapat kita hitung pada tahun 2006 Video Porno
telah mencapai 500 buah bagai mana pada tahun 2010 ini. Berdasarkan data Sony atas
temuannya lagi di Negara kita ini setiap harinya ada 8-11 video Porno baru yang di Produksi. Bila
tak segera di henikan Kita akan sama dengan Jepang bukan karena kepintarannya tapi
kebodohan & kemiskinan moral jiwa.

Berikut ini adalah data Top Rank Negara yang tercatat paling sering mengakses cyberporn
melalui internet berdasarkan pengamatan Googletrends dari tahun 2005-2010:
ntar

Anda mungkin juga menyukai