Anda di halaman 1dari 10

TEKNIK TARI ANGKOLA MANDAILING

Dosen Pengampu:
Dra. Dilinar Adlin, M.Pd.

Di susun oleh :

Tasya Salsabila

2193141016

PENDIDIKAN TARI
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah memberikan rahmat dan karuniaNya serta kesehatan kepada penulis, sehingga
mampu menyelesaikan tugas . Tugas ini di buat untuk memenuhi salah satu mata kuliah Saya
yaitu “Teknik Tari Angkola Mandailing ”.

Tugas ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua
dapat bertambah.Saya menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.

Apabila dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, Penulis mohon maaf
karena sesungguhnya pengetahuan dan pemahaman penulis masih terbatas. Hanya yang Maha
Kuasa yang paling sempurna, karena keterbatasan ilmu dan pemahaman penulis yang belum
seberapa. Karena itu penulis sangat menantikan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun guna menyempurnakan tugas ini. Saya berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, September 2020

Penulis
Anthropology mengenal Batak ethnic group atau suku bangsa Batak sebagai suku bangsa yang secara
geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang disebut sebagai

“tanah” (land) dengan5 sub-culture atau sub-ethnic group sebagai berikut:

Batak Angkola-Mandailing

Batak Toba

Batak Pakpak (Dairi)

Batak Karo

Batak Simalungun

Suku bangsa Batak secara geografis menjadi tuan tanah atau landlord atas wilayah-wilayah tertentu atau
tanah-tanah kediaman mereka. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan

Tanah Mandailing, Tanah Simalungun, Tanah Karo, dan sebagainya.

Subsuku Angkola–Mandailing berasal dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan —hingga tahun 2008
mengalami pemekaran wilayah menjadi 5 kabupaten yakni

Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Kota Padang Sidempuan (Pasid), Kabupaten Padang Lawas
(Palawas), Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta),dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina)— yang
terletak di antara Rao (Provinsi Sumatra Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudra Hindia, dan Rokan
Hulu (Riau). Batak Angkola-Mandailing mendiami wilayah yang dialiri dua sungai besar dan bertemu di
muara Batang Gadis menuju Samudra Hindia. Kedua sungai itu adalah Sungai Batang Angkola dari
Gunung Lubuk Raya, dan Sungai Batang Gadis dari Gunung Kulabu.

Subkultur Angkola-Mandailing ada juga yang menyebut diri mereka sebagai Orang Angkola, Orang
Mandailing, atau Orang Selatan (Par Selatan). Budaya etnis Angkola–Mandailing memadukan tradisi dan
agama Islam : “Hombar do adat dohot ugamo” (custom alongside religion) Adakalanya diungkapkan juga
dengan kata-kata: “Hombar do adat dohot ibadat” (adat dengan ibadat/agama adalah berdampingan ).
Penyebaran Islam di Tanah Angkola—Mandailing dilakukan oleh pasukan Paderi dari Minangkabau dari
dua arah yang berbeda, yakni Pasukan Tuanku Rao atau Pakih Muhammad Lubis dari Huta
Godangbergerak dari Muarasipongi menuju Panyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, dan Rura
Silindung (Tarutung-Tapanuli Utara) pada tahun 1816. Sedangkan, Pasukan Tuanku Tambusai atau
Hamonangan Harahap melalui Sibuhuan, Padang Lawas, Padang Bolak, dan Sipirok beberapa tahun
kemudian.

Orang Batak memiliki warisan budaya yang bernilai luhur dan memiliki filosofi yang mendalam dan
sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat orang Batak. Marga dan Taromb Marga ialah identitas
seorang Batak. Coba bayangkan, jika orang Batak tidak memiliki marga ..:)
Peran marga dalam kehidupan budaya Batak sangat penting dan berpengaruh. Selain daripada identitas,
marga juga merupakan bentuk terjemahan dan penerapan dari dalian na tolu sebagai landasan budaya
Batak. Istilah marga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal darI keturunan seorang
nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak laki-laki atau ayah
(patrilineal).

Pada umumnya orang Batak mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan tiap-
tiap marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek-moyang yang
berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka
tempatkan di awal silsilah keturunan (tarombo) mereka.

Tarombo ialah catatan tentang silsilah keturunan.Dengan adanya tarombo ini, setiap marga dapat
mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang.Tarombo menjadi sumber sejarah
asal-usul orang Batak di masa lalu.

Dengan tarombo, seseorang mengetahui, apakah ia harus memanggil satu sama lain dengan kahanggi
(saudara semarga), namboru atau bouk (saudara perempuan Ayah), udak (paman, saudara laki-laki
Ayah), iboto atau ito (saudara perempuan), ompung, tulang, nantulang, borutulang, amangboru,
amangtua, amanguda, nanguda, inangtua atau nattobang, pariban, dan seterusnya.

Marga dan tarombo adalah warisan budaya Batak yang memiliki nilai-nilai luhur. Menurut sejarahnya,
leluhur asli suku bangsa Batak ialah Si Raja Batak yang bermukim di daerah Pusuk Buhit di kampung
Sianjur Mula-Mula, di pinggiran Danau Toba, lebih kurang 8 km arah barat Kota Pangururan, ibukota
Kabupaten Samosir. Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Si Raja Batak
memiliki tiga orang anak, yaitu Guru Tateabulan, Raja Isombaon, dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah
dipercaya terbentuknya marga-marga Batak. Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru
Tatea Bulan memperoleh 5 orang putra— Si Raja Biak-Biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala
Raja, Malau Raja— dan 4 orang putri, yaitu: Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Si Boru Biding
Laut, Si Boru Nan Tinjo. Si Boru Pareme yang kawin dengan Tuan Sariburaja melahirkan seorang putra
yang diberi nama Si Raja Lontung. Si Raja Lontung yang merupakan putra pertama dari Tuan Sariburaja
mempunyai 7 orang putra—Tuan Situmorang (keturunannya bermarga Situmorang), Sinaga Raja
(keturunannya bermarga Sinaga), Pandiangan (keturunannya bermarga Pandiangan), Toga Nainggolan
(keturunannya bermarga Nainggolan),Simatupang (keturunannya bermarga Simatupang), Aritonang
(keturunannya bermarga Aritonang), Siregar (seluruh keturunannya bermarga Siregar)— dan 2 orang
putri, yaitu: Si Boru Anakpandan yang kawin dengan Toga Sihombing, Si Boru Panggabean yang kawin
dengan Toga Simamora. Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka
mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina (Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu), Pasia
Boruna Sihombing Simamora. Siregar merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara ini.

Menurut hikayat, Si Raja Lontung bermukim di Desa Banuaraja yang terletak di daerah perbukitan
sebelah atas Desa Sabulan, di pinggiran Danau Toba, berseberangan dengan Pangururan di Pulau
Samosir. Pada suatu masa, terjadi banjir besar yang melanda Desa Banuaraja dan Sabulan Anak-anak
keturunan Si Raja Lontung terpaksa mengungsi. Sinaga dan Pandiangan ke Urat-Samosir, Nainggolan ke
Nainggolan-Samosir, Simatupang dan Aritonang ke Pulau Sibandang, dan Siregar ke Aeknalas-Sigaol.
Sedangkan, Situmorang hanya sampai di Sabulan. Suatu ketika Aritonang memanggil adiknya Siregar dari
Aeknalas-Sigaol ke Desa Aritonang di Muara, yang akhirnya kemudian menetap dan beranak-pinak di
situ. Selanjutnya dari Desa Aritonang-lah marga Siregar menyebar ke sekitar Muara.

Konon kabarnya, kemarau panjang pernah melanda Muara yang menyebabkan gagal panen sehingga
beberapa keturunan marga Siregar merantau ke arah Siborongborong-Humbang dan langsung
membangun kampung di sana yang diberi nama Lobu Siregar.

Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dari sini ada sebagian dari mereka yang menjelajah ke arah
Pangaribuan dan sebagian lagi menuju Desa Sibatangkayu. Setelah bermukim beberapa lama, dari sini
mereka berangkat lagi ke Bungabondar, Sipirok hingga ke Angkola-Tapanuli Selatan.

Mendengar saudara-saudaranya berhasil di perantauan, keturunan marga Siregar yang masih tinggal di
Muara, akhirnya berpindah ke Tarutung-Silindung dan mendirikan kampung yang diberi nama Desa
Simarlala Pansurnapitu. Dari desa itu, mereka berpindah lagi menuju Pantis-Pahae dan beranak-pinak di
sini. Keturunan marga Siregar yang dari Pantis ini menjelajah dan mendirikan kampung di Onanhasang,
di sekitar Pahae. Dari Onanhasang, keturunannya merantau lagi dan mendirikan kampung di
Simangumban dan Bulupayung.

Dengan demikian, penelusuran asal-muasal Toga Siregar berawal dari perjalanan panjang perantauan
marga Siregar; mulai dari Banuaraja-Sabulan di Pangururan, Kabupaten Samosir, menyebar ke daerah
Muara, Humbang Hasundutan (Dolok Sanggul), Pangururan, Bungabondar, Sipirok, Pahae,
Simangumban, dan Bulupayung. Meskipun, ada yang berpindah-pindah, tetapi di tiap-tiap
perkampungan yang dibuat selalu ada keturunannya yang tinggal di sana, berkembang-biak dan
beranak-pinak serta memiliki tanah, desa atau “huta”. Itulah sebabnya mengapa orang-orang bermarga
Siregar selalu mengatakan dirinya berasal dari huta-huta tersebut.

Toga Siregar memiliki 4 orang anak (yang kemudian akan menjadi marga-marga), yaitu: Silo, Dongoran,
Silali, dan Siagian.

Keempat keturunan Toga Siregar ini sering dijuluki Si Opat Ama.

Dari keempat anak ini lahir pulalah marga-marga Siregar:

Silo (dari kata Silogo-logo=nama sejenis kuda)

Silo

Sormin

Baumi

Dongoran

Dongoran
Salak

Pahu

Silali (dari kata lali=nama sejenis burung elang)

Silali Toruan (=Ritonga)

Silali Dolok

Siagian

Marga Siregar digolongkan ke dalam subsuku Batak Angkola-Mandailing.Nama-nama marga lainnya


adalah: Harahap, Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Pulungan, Lubis, Nasution, Rangkuti, Parinduri, Daulae,
Matondang, Batubara, Tanjung

dan Lintang.

Marga Siregar yang umumnya bermukim di daerah Tapanuli Selatan berada di wilayah Angkola
(Padangsidempuan dan sekitarnya), Batangtoru, Mandailing (Panyabungan—Kotanopan), Padang Lawas

(Gunung Tua dan sekitarnya), Sibuhuan, dan Sipirok.

Orang-orang bermarga Siregar ini pun sudah berbaur maupun kawin campur antarsubkultur dan
menyebar ke seluruh pelosok nusantara dan seantero dunia.

MUSIK
Musik tradisi Batak bermula di Mandailing dan Angkola. Suatu situs kuno dimana terdapat pengaruh
India dan Tiongkok. Musik tradisi Batak kali pertama dicatat di Mandailing dan Angkola. Dalam
perkembangannya, musik tradisi Batak di Mandailing dan Angkola mengalami hambatan dengan
masuknya pengaruh Islam, namun indiferensi pemerintah kolonial Belanda musik tradisi Batak terus
eksis. Orang Belanda terheran-heran, ketika mereka datang tidak menyangka di Mandailing dan Angkola
menemukan ensambel-ensambel musik (gondang dan ogung yang dikombinasikan dengan instrumen
lain) yang mirip orchest atau band di Eropa–sesuatu yang tidak ditemukan di tempat lain di nusantara
(lihat TJ Willer, 1845).. Sementara di tempat lain, di Silindoeng dan Toba para misionaris melarang musik
tradisi Batak, tetapi pengikut Sisingamangaradja tetap melestarikannya. Oleh karenanya, musik tradisi
Batak dalam kenyataannya tetap eksis di Tanah Batak. Para perantau Batak kemudian membawa musik
tradisi Batak ke Batavia (kini Jakarta). Di perantauan, oleh orang-orang Sipirok musik tradisi Batak
mengalami transformasi menjadi musik modern Batak. Pada tahun 1937, Karl Halusa, doktor (PhD)
dalam bidang musik dari Universitas Wina mengunjungi Tanah Batak unruk mempelajari musik tradisi
Batak. Dr. Halusa menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik yang dimainkan laki-
laki maupun perempuan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938). Meski
musik modern Batak semakin berkembang di perantauan (Batavia), musik tradisi Batak juga tetap
dilestarikan. Grup musik modern Batak pertama di Batavia adalah Sinondang, suatu grup musik orang-
orang Sipirok, dimana kemudian Gordon Tobing ikut bergabung.

Catatan terawal adanya musik tradisi Batak dilaporkan oleh TJ Willer, Asisten Residen pertama
Mandheling en Ankola (1840-1845). TJ Willer dalam bukunya yang terbit tahun 1846 (kata Pengantar TJ
Willer, Panjaboengan, Agustus 1845) menceritakan pertama kali melihat musik tradisi Batak dihadirkan
ketika ada satu keluarga mengalami musibah yang mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak
disebutnya dimana apakah di Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik ini disebutnya untuk
mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik tradisi tersebut sebagai berikut:

Inskripsi candi Sitopayan di Padang Lawas: Tortor sudah dikenal?

‘Akhirnya muzijk bergabung di sini (dalam suatu kemalangan). Para pemain bermain satu melodi yang
tidak menyenangkan yang diiringi oleh (alat perkusi) drum, banyak variasi dalam drum dari segi ukuran
ditambah dengan kekuatan gong, untuk membuat suara mengusir roh jahat dan instrumen begitu
melengking di udara. Ini kita bisa menyebut satu mandolin Batak yang juga berasal dari instrumen
lainnya. (Lebih lanjut Willer menguraikan) perihal instrument musik tradisi Batak tersebut sebagai
berikut: Musik instrumental berpusat pada pasangan drum dengan ukuran yang berbeda, yang biasa
tergantung di di dalam rumah seorang pamoesoek (radja). Juga tampak gong dan simbal. Sebuah gong
besar menjadi bagian dari kekayaan radja. Seroeneh of hobo; rabab of viool (biola), dari nama
menunjukkan asal asing; asopi of mandoline, yang terbuat dari wadah kayu, dengan sisi lebar bawah dan
sisi sempit ke atas, leher seperti gitar, di sentuhan dibelah dua dan disediakan sekrup, string kawat,
hanya dua jumlahnya, yang dimainkan dengan pena. Dibanding instrumen lain, asopi tampak banyak
daya invention dengan kesempurnaan, bahwa alat ini bisa diragukan atau justru alat yang mungkin
berasal (asli) Batak. Alat lainnya berupa fluite yang disebut sordam dan oejoep-oejoep; juga gendang
boeloe (bamboo), dimana kulit seperti dipotong menjadi string yang dengan kedua ujung tetap melekat
pada ujung bamboo yang disangga dengan kayu agar string tegang dan alat itu digunakan dengan
tongkat kecil. Musik tersebut mengiringi tarian, dan harus diakui bahwa Batak dengan semangat sejati
seni, dimana ras ini cukup piawai paduan suara baik laki-laki maupun perempuan. Mereka kerap terlihat
menari oleh lima atau enam gadis-gadis muda yang diantaranya adalah seorang pemuda dengan
gerakan pendek. Pertunjukkan mereka sangat jarang terlihat karena memang tidak pernah diadakan
dalam upacara publik, sehingga orang Eropa jarang memiliki kesempatan untuk melihatnya. Manortor
atau tarian yang bersemangat yang saya tahu paling penuh perhatian dari banyak orang. Gambaran ini
seperti tarian yang lama dari Skotlandia, gerakan pendek, sangat cepat dan agak kaku tidak seperti
dalam gerakan tarian Jawa maupun Bali. Di dala Batak permainan menghibur dengan pantomim. Saya
beberapa kali hadiri ini sudah cukup efektif untuk kepentingan rakyat karena begitu sedikit hiburan yang
dimiliki. Namun hal itu perlu dilakukan rehabilitasi agar hiburan di Batak ini cukup tersedia, tapi dengan
dominasi penganut agama Mahomedaansche sudah sangat jauh berkurang kegiatan pertunjukannya
(lihat’Verzameling der Battahsche Wetten en Instellingeb in Mandheling en Pertibie, Gevolgd van een
Overzigt van Land en Volk in die Streken’ door TJ Willer, di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie,
1846).

TARI
Sebagai salah satu suku adat di Sumatera Utara, suku Mandailing juga memiliki beragam kesenian dan
budaya tradisi. Salah satunya adalah tari tradisional. Berbagai jenis kebudayaan lokal di Kabupaten ini
telah mengalami perubahan dan disesuaikan dengan norma-norma agama. Berikut ini adalah tarian
tradisional yang berasal dari Mandailing, Sumatera Utara :

1. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tari Endeng Endeng


Tari Endeng-Endeng adalah sebuah tari tradisional yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Selatan
Provinsi Sumatera Utara. Tari Endeng-Endeng ini menggambarkan semangat dan ekspresi gembira
masyarakat sehari-hari, serta ungkapan kegembiraan Naposo Nauli Bulung (Muda-Mudi) saat tertanam
dan panen raya.

Dalam penampilannya, tari Endeng-Endeng dimainkan oleh sepuluh pemain yakni dua orang bertugas
sebagai vokalis, satu orang pemain keyboard, satu orang pemain tamborin, lima orang penabuh
gendang dan seorang pemain ketipung (gendang kecil). Biasanya lagu yang dibawakan berbahasa
Tapanuli Selatan. Setiap tampil, kesenian ini memakan waktu empat jam. Daya tarik kesenian ini adalah
joget dan tariannya yang ceria, sesuai dengan lagu-lagu yang dibawakan.

2. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung

Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung adalah merupakan jenis tarian Tor-Tor Sumatera Utara yang khusus di
tarikan oleh pemuda-pemuda dan pemudi secara berpasangan. Penampilan tari Tor-Tor Naposo Nauli
Bulung biasanya terdiri dari 3 penari wanita dan 3 penari pria, dibarisan terdepan (Na Isembar) adalah
para anak gadis yang memiliki marga yang sama misalnya Nasution, maka dibarisan belakang
(Pengayapi) adalah para pemuda yang (Harus) bermarga lain misalnya Lubis atau sebaliknya para anak
gadis di barisan depan (Na Isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang (Panyembar)
harus bermarga Lubis atau marga-marga lain seperti Rangkuti, Pulungan, Matondang, Daulae, dan
Batubara.

3. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Guro-Guro Aron Terang Bulan

Tari Guro-Guro Aron adalah arena muda-mudi untuk saling kenal dan sebagai lembaga untuk mendidik
anak muda-mudi mengenal adat. Dahulu acara ini dibuat sebagai salah satu alat untuk membudayakan
seni tari agar dikenal dan disenangi oleh muda-mudi dalam rangka pelestariannya. Acar ini dilengkapi
dengan alat-alat musik khas yakni : Sarune, Gendang (Singindungi dan Singanaki) juga dari penganak.

4. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tor-Tor Tepak

Tor-Tor Tepak dilakukan pada saat upacara perkawinan Horja Godang Haroan Boru (Datangnya
pengantin/ Horja Godang untuk perkawinan). Tortor Tepak adalah jenis tari persembahan atau tari
pembuka untuk sidang adat pada masyarakat Mandailing yang dilaksanakan pada saat upacara
perkawinan Horja Godang Haroan Boru, yang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, atau tujuh hari
tujuh.

5. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Sarama Datu


Dalam upacara ritual seperti Paturun Sibaso (Marsibaso) atau disebut juga pasusur begu, tarian Sarama
diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan penarinya satu orang yang dinamakan
Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi lama orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu.

Di masa lalu, upacara ritual Paturun Sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta atau banua
terjadi musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera dan musim kemarau atau sebaliknya musim
penghujan yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktifitas pertanian penduduk setempat, yang
pada akhirnya akan menimbulkan kelaparan karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan
pokok mereka. Untuk mengatasi Bala Na Godang (Bencana Besar) tersebut, mereka meminta
pertolongan begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan Sibaso karena menurut keyakinan mereka
dahulu hanya Sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu.

Upacara ritual Paturun Sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (Halaman Luas) dari Bagas Godang
(Istana Raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan Najaji (Penduduk Setempat) dan seorang
tokoh supranatural bernama Datu yang sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin
pelaksanaan upacara-upacara ritual. Ketika itu, datu dipandang sebagai "Gudang Ilmu" karena ia
memiliki berbagai macam kearifan tradisional (Traditional Wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk
kesempurnaan hidup komunitas huta atau banua.

Dalam upacara ritual Paturun Sibaso disediakan makanan khusus untuk Sibaso, yaitu parlaslas, yang
diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi Garing (Ikan Jurung) yang dibakar dan Pege
(Lengkuas), serta Ngiro (Air Nira) di dalam Tanduk Ni Orbo (Wadah yang terbuat dari tanduk kerbau).
Setelah Gordang Sambilan dimainkan dengan Gondang (Repertoar Musik) khusus bernama Mamele
Begu, Sibaso pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (Trance). Dalam keadaan kesurupan
ini, Sibaso meminta makan dan minum. Setelah makan dan minum, Sibaso kembali menari-nari. Tidak
lama kemudian, sang Datu menghampiri Sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa Bala Na
Godang (Musibah Besar) yang sedang melanda penduduk dan memohon kepada Sibaso agar berkenan
menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena pemduduk sudah tidak
mampu lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, Sibaso memberitahukan apa penyebab dan bagaimana
caranya mengatasi musibah besar itu kepada sang Datu. Setelah itu, Sibaso pun terjatuh, lalu tidak
sadarkan diri (Pingsan). Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya
sebelum upacara ritual tersebut dimulai.

Anda mungkin juga menyukai