Anda di halaman 1dari 15

KEKERABATAN

Oleh H. Mas’oed Abidin


ekerabatan; sebutan yang berakar pada kata karib;

K tepatnya qaf, ra dan ba; qaruba, qurbaan - wa


qurbaanan, dari bahasa Arab dengan makna dekat, hampir
atau sesuatu yang mendekatkan sesuatu pada lainnya. Dan
telah jadi salah satu kosa-kata dalam bahasa Minangkabau. Dalam
pengucapan sehari-hari bisa juga jadi karik, misalnya nan ba karik
(kaum kerabat dekat). Atau dalam sebutan karik-ba 'ik (jauah -
dakek; jauh dekat) ataupun karib kirabat sebutan untuk kerabat
campuran berbagai kelompok .
Pada masyarakat hukum adat Minangkabau, sebutan karib-ba 'id
dipakai dalam himpunan semua keluarga besar, Bukan saja se suku
tetapi termasuk ipar besan (andan sumandan dan ando sumando),
anakpisang (anak pusako, anak mamak) atau induak bako (kaum
ayah) - bako-baki. Bila orang Minang berada di rantau —jauh atau
dekat-, kadangkala sebutan karib-ba'id diperluas menjadi orang
yang seasal nagari, sekecamatan, sekabupaten, sesama Minang
atau malah asal ada bau-bau Minangnya;
Kekerabatan pada struktur masyarakat hukum adat Minangkabau
akan terlihat berlapis-lapis dan berbidang-bidang, yaitu: la bisa di
ungkap dalam hubungan nasab (turunan) menurut struktur budaya-
adat Minangkabau yang matrilinel dengan sebutan nan batali
darah dan dalam lingkungan yang terbatas antara orang-orang
yang sekaum atau sesuku (gambar B). Akan terungkap dalam
sebutan nan sajari, satampok, sajangka, sa eto dan seterusnya.
Dan bias meliputi wilayah yang luas di beberapa nagari
malah antar beberapa kabupaten kini dengan sebutan nan
ba sapiah ba balahan, nan ba kuduang bakaratan; Pepatah
menyebut, dakok mancari indu, jauah mancari suku.
Ia bisa diungkap dalam kekerabatan yang terjadi karena
sebab perkawinan anggota kaum yang lelaki sebagai biang
kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang
dilahirkan, disebut anak pisang (lihat Gambar A dan C)

2. Dengan penjelasan, tiga kelompok kaum, A, B dan C


dengan fokus pada B, dalam perkawinan menurut budaya-
adat Minangkabau yang matrilineal dan matrilokal (yaitu si
suami tinggal di rumah isteri bersama mertuanya):
Secara umum, A, B dan C adalah berkerabat karena
sebab perkawinan dan masing-masing kelompok
berkerabat karena turunan matrilineal. Anak-anak
kelompok B angka 3 (a-d) adalah anak pisang dari
kelompok A. Perempuan (angka 4) dalam kelompok A dan
angka 5 pada C dari sisi pandang kelompok B akan
disebut pasumandan, kedua kelompok itu akan
dihimbaukan sebagai andan sumandan, karena anak lelaki
mereka (3a dan 3d) bersemenda ke kaum itu. Pada saat
yang sama seluruh warga dari kelompok B akan disebut
induak bako oleh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan
perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak
pisang oleh seluruh anak-anak dari perempuan angka 4/A dan
perempuan pada angka 5/C, juga akan disebut sebagai anak pisang
oleh seluruh warga kelompok B. Perkawinan antara lelaki angka
3a ke perempuan angka 4 atau lelaki angka 7 ke perempuan angka
6d akan disebut pulang ka bako, karena masing-masing mereka
menikah dengan kemenakan ayahnya. Atau dari sisi pihak
perempuan akan disebut ma ambiak (pulang) anak pisang.
Demikian juga sebutan bagi hubungan lelaki angka 6a pada B yang
menikah dengan perempuan angka 8 pada C, dari sisi B akan
disebut pulang ka anak pisang, sedangkan dari isi perempuan
angka 8/C akan disebut ma ambiak induak bako.
Dan bisa diungkap dalam bentuk kekerabatan yang terjadi karena
sebab perkawinan antar etnis, dengan basaluak budi, ma angkek
induak dan sebagainya. Dari perkawinan antar etnis, budaya
Minangkabau punya solusi penyelesaian. Yaitu dengan
memasukkan calon menantu (lelaki atau perempuan) ke kaum
induak bako sebagai kemanakan nan mancari induak. Bila lelaki
akan juga diberi gelar secara Minangkabau. Bila tidak demikian,
menantu lelaki dari etnis lain akan berdiri sendiri dalam lingkungan
kerabat isterinya atau menantu perempuan akan dianggap orang
tak berkerabat. Pergaulan mereka hanya sebatas di dalam rumah
tangga dan keluarga mertuanya. Dimasa sebelum 50-an, saya
banyak menemukan perantau lelaki etnis Cina atau etnis lain yang
diterima sebagai kemenakan dan diberi suku sepanjang yang
bersangkutan beragama agama Islam.
Hubungan baik dalam pergaulan bagi perantau etnis lain di Ranah
Minang, secara bertahap akan menumbuhkan hubungan yang
akrab dan membaur dan diakui menjadi masyarakat Minangkabau.
Ini terlihat dari kedudukan Bustanil Arifin, SH, mantan Ka Bulog dan
Menkop serta A.A. Navis di mata masyarakat Minangkabau sebagai
sudah membaur. Demikian, bila Minangkabau dilihat dari sudut
kebudayaan, bukan genealogis.
Hubungan kekerabatan yang seluas dan sekompleks itu dalam
budaya (adat) Minangkabau, sangat dipelihara dan saling
memelihara. Terungkap dalam pepatah siang ba liek-liek -malam
danga-dangakan atau dakek, janguak bajanguak -jauah jalang
manjalang. Pepatah yang sifatnya membimbing semua anggota
kaum, bukan saja agar tetap berhubungan dalam suka dan duka,
tapi juga menumbuhkan kewajiban dan rasa tanggung jawab individu
untuk saling menjaga atau mengontrol supaya jangan terjadi
sesuatu yang dapat membuat malu, bukan saja anggota kaum
kerabat lainnya, tapi juga suku, kampung halaman bahkan teman
sepergaulan pun. Dalam hal ini, kita melihat ada garis lurus dengan
ajaran dan anjuran memelihara silaturrahmi dalam Islam.
Selain itu, terungkap juga dalam pepatah pola memelihara
silaturrahmi antara kerabat (jauh dan atau dekat) salah basapo,
sasek batunjuak-an; lupo bakanakan (ba ingek-an), takalok
bajagokan. Sekaligus dapat disebut sebagai Kewajiban Azasi seperti
yang diajarkan dalam Islam,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.( Q .S . 1 0 3 -al'A shr/3
)

Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan


saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.
Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi - nan tuo
dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat
kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik seperti yang diajarkan
oleh Rasulullah saw. "Bukanlah dari golongan kami, mereka yang
tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh
berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran ". (HR Turmudzi dan
Ahmad).1

NILAI KEKERABATAN
ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat

N
dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau
yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan
yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak
dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga
seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai
bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang
lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam
kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan
kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang
sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis
(nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak
kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan
dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik
sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau

1 DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.


bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua
(termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau
mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya
berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau
yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak
individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki
menghadapi saudara perempuannya. Namun pada saat yang
sama menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara
mereka yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut.
Bahwa seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan
saparinduan, (yang sekaum sepusaka - sepandam sepekuburan)
atau yang sepesukuan (yang sepayung penghulu), yang se surau, se
sasaran maupun yang se korong kampung – se tepian tempat
mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang
ba kuduang - nan bakaratan, basapiah nan babalahan
dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah
ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso,
sa ino sa main. Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah
sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila
berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di
korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak
di nagari mamaga nagari. Pepatah yang sering juga di salah
artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara
atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata
salah menurut ukuran umum. Sehingga masa kini pun
masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang, ba
nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau
buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk
memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah
induknya yaitu: syarak mangato - adat mamakai. Sesuai
patron Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah. Dan
itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.:
Bersabda Rasulullah saw: "Bantulah saudaramu yang
menganiaya maupun yang teraniaya"; Ditanyakan: "Wahai
Rasulullah, aku -bisa- menolong yang teraniaya, lalu
bagaimana aku -akan- menolong yang menganiaya ? ". Rasul
menjelaskan: "Kamu mencegahnya dari perbuatan
menganiaya, demikianlah bentukpertolongan kepadanya ".2
Hadits di atas dapat dibandingkan dengan lafaz berbeda
karena langsung menyangkut masalah:
Sabda Nabi saw. "Tidak mengapa (saling bersorak, tapi) seseorang
hendaklah menolong saudaranya yang menganiaya maupun yang
dianiaya". Dengan uraian penjelasan "Jika dia menganiaya,
cegahlah dia; jika dia dianiaya bantulah dia".3
Dengan demikian, pengertian tagak di korong mamaga korong,
tagak disuku mamaga suku dstnya tersebut bukanlah dengan ikut
masuk (terjun) dalam masalah yang sedang terjadi. Akan tetapi
dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain dengan masing-
masingnya menjaga prilaku supaya tidak memalukan korong atau
suku nya. Juga dengan memberi nasehat pada sanak famili atau
kaum kerabat supaya dalam bergaul dengan pihak lain akan selalu
memelihara tingkah laku, jauh dari hal-hal yang bisa mengundang
masalah dan memalukan korong kampung atau suku sebagai
tindakan pencegahan. Selain itu, tindakan berupa aksi langsung
memberikan perlindungan (jika mampu dengan kekuatan sendiri)
atau memberikan pembelaan (dengan berbagai kemungkinan yang
terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila
menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits:
Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak
balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan
kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.4 termasuk
dalam pengertian ini.

2 S un an A l Tiim idzi; H adits N o. 2356, d en gan nilai sah ih .

3 Sahih Muslim ; hadits no. 2213. teguran N abi saw . dalam kasus perkelahian seorang
pem uda M uhajirin dengan pem uda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak m em beri
sem angat m endukung kelom poknya m asing-m asing seperti m asa jahiliyah.
4 Ibidem No. 1540.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam,
bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-.
Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso
jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya
Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan
binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan "co kambiang mangawan"5
terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di
tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak
senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan
kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak
(kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya
bataratik atau kenal sopan santun. Dan 'rang semenda akan diberi
teguran oleh mamak rumah6 nya secara kias, bila anak-anaknya
berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu
mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando
niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab
kelahiran dalam korong orang).
Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga
dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal),
a.l: di cancang pua7 - ta garik andilau8; (di cencang puar,
tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang
(disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya
dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya,
bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang
senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari
suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing
dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka

5 "co kam biang m an gaw (b


anagai
" kam bing tu ru t kaw an , kejar-kejaran cari pasan gan di
m anapun).

6 m am ak ru m ah;
seb utan terhad ap saud ara lelaki istcri dari sisi seoran g su am i (rang
sem end a) di su atu kaum , b aik sekan d un g atau h an ya sep esukuan.
7 p ua;p uar; sejenis kapu lag a (b an yak variasinya), dib eberap a nag ari
salo.
d isebu t
8 andilauatau endilau;pohon dengan nam a tatinnya Com m ersonis bartram ia M ERR.
dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak
melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa
tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa
sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional,
maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau
yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera
Baratnya.
Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola
dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang
meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang
yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau
Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga
meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang
Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber
gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka - si cerek9 ta bao
rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum
nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat
pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak
famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman,
meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah
diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun
dengan Firman Allah Swt:
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus
menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari
kalangan (sekitar) kamu 10.
Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban
(hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat,
teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga
terlihat dianut oleh Hukum Pidana11 yang berlaku di Indonesia,
9 sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat
tradisional;
10 Q .S. 8-al Anfal/25
11 M e nurut catata n se jarah ilm u huk um , Kitab U ndang -U nda ng H ukum P idana Indone sia
in i, sem ula adalah konkordans dari K U H P N egeri B e landa, b ersum be r dari C ode N apole on ,
meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak
pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan
dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita
bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum,
dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul
beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara
pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat
beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber
masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau
mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap
individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se
propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan
sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk
menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan
rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari
pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan,
lupo manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat
adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut
dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang
menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.

dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak


atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak
tersebut". (HR Bukhari)12 Atau dalam formula Minang akan disebut:
"nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah ". Maksudnya
adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga
diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.

se be lum n ya di kutip dari H uku m -H uk um y ang berlaku di C ordoba y ang Islam .

12 Say yid M uham m ad NAuh; afaatvn 'A lath-Thariq;


D arul W afa, M e sir, C et.V 141 3 H /1993
M ; sudah diterje m ahkan ke dalam bahasa Indon esia de ngan judul "P cnye bab G agalnya
D akw ah"; lihat jilid 1 halam an 30.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud,
budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang
materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama,
rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan,
sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau
sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk
kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah
Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan
lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.

ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG


1 . Ancaman Dan Tantangan.
ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang
terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara
hubungan kekerabatan menurut budaya - adat Minangkabau,
yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu. Atau dalam
kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang. Dimasa lalu,
hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh ninik mamak
peraangku adat, melalui berbagai instrumen tradisional. Antara lain
terpusatnya sumber mata pencaharian anggota kaum (berupa harta
pusaka), tatacara mencarikan jodoh (suami) atau menerima lamaran
(untuk isteri) bagi anak-kemenakan, sekaligus sebagai ipar besan
bagi kaum ada pada kewenangan Mamak Kepala Wans. Dan
hubungan kekerabatan yang dipelihara untuk membuat setiap
individu dalam kerabat itu merasa, aman dan diperlukan. Selain
untuk mempertahankan diri sendiri dalam kebersamaan, juga
untuk melindungi serta keutuhan kebersamaan dalam
kekerabatan tersebut.
Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek
samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan
yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan
masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran
Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan
betapa pentingnya kebersamaan umat., bila kita simak hadits Nabi
saw:

Barang siapa yang memisahkan dirinya dari jama'ah -walau-


satu jengkal, berarti dia sudah melepaskan ikatan Islam
dari lehernya. (HR Bukhari)13.
Dan dalam konteks dengan kekerabatan dalam budaya-
adat Minangkabau, mereka yang menyimpang dari
kebersamaan yang telah dipolakan, akan terkena risiko
dalam berbagai tingkatan. Sejak yang dikucil dari pergaulan
sebelum membayar denda penyesalan pada nagari, sampai
yang dikenai hukum buang sapanjang adat (buang sapah,
buang habis). Bila terkena hukuman adat yang terakhir ini,
maka segala hak-haknya yang tumbuh karena hubungan
adat akan dicabut.
Akan tetapi, masuknya budaya luar (sistem pemerintahan
dan usaha) tentang sumber mata pencaharian, yang
memungkinkan anak kemenakan bekerja sebagai pegawai,
(negeri atau swasta) atau usaha-usaha yang non agrarisch
lainnya, telah sekaligus merobah, setidaknya
mempengaruhi struktur tradisional kekeluargaan orang
Minangkabau. Semula berdiam di rumah orang tua, akan
berpindah ke rumah yang didirikan sendiri, juga bukan lagi di
atas bagian tanah pusaka kaum, tetapi di atas tanah yang
dibeli dengan hasil pendapatan sendiri. Ujung-ujungnya
adalah kekuasaan Mamak Kepala Waris terhadap anggota
kaumnya tidak sama lagi dengan sebelumnya. Selain itu,
peranan dan tanggung jawab seorang suami pada anak-
isterinya pun mengalami perobahan 180°. Semua suami, yang
juga adalah mamak dalam kaumnya sudah akan (hampir)
sepenuhnya mengurus kepentingan keluarganya, tidak lagi
seperti masa lalu, sibuk mengurus sawah ladang kaum

13 Ib id em l; i h a t j i l i d1 h a la m a n 2 3 .
orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit),
hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada
anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat)
atas nama mereka masing-masing.
Perobahan-perobahan demikian, sekaligus juga merombak
beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini
berada
"
pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan.
Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada
suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang
urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu
dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di
kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan
mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa
dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total,
apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam
kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi,
bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku
nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang
secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila
ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah
dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.
Saya sendiri, sebagai advokat-pengacara, telah berkali-kali diminta
ikut menyelesaikan kasus perkawinan dari mereka yang bersanak ibu
(ibu mereka bersaudara handling). Satu diantaranya terjadi di
antara warga dari salah satu nagari di Luhak Nan Tuo (Tanah
Datar), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak
melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh
untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum
sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan
berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.
Lalu ada lagi sesebutan: kok indak ameh di pinggang –dunsanak
jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis,
betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya
emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan
menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri.
Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu
ditempatkan pada posisi yang benar.
Bahwa secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian.
Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah
kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun
sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan
seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali
seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan
ada kemungkinan secara internal dan ekstemal. Bila hanya
dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang
membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim.
Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu
membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang
perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah
bagi yang belum mampu secara objektif, berhak rnenerima zakat
sebagai fakir atau miskin. Padahal semua kita tahu, baliwa Allah
swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim
yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong
untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat
berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi
pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan
budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau,
haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi.
Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka
kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya
sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan
kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu,
secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta
pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini
seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada
ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.
2. Peluang;
Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa
nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa
susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang
disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang - ba adat
ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku
tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa
iriang anakjo panyakik - sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan
dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi
dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas..
Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi
rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman,
setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta
lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik
ntndiang dinuinuangkan.

KESIMPULAN.
A dapun kesimpulan dari pendapat yang saya kemukakan di atas,
saya pulangkan saja pada kita bersama, karena yang disebut
Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso
di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut
budaya - adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar
selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian disana-
sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita
biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa
bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja
sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.
Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang
tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk
yang juga disebut khalifah. Dalam kata lain adalah subjek yang
membentuk, bukan objek yang dibentuk. Generasi masa kini punya
kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam
keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan
menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri
mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:
Hendaklah takut pada -azab dan kemurkaan Allah- semua
mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang
mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik,
kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik).

Anda mungkin juga menyukai