NILAI KEKERABATAN
ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat
N
dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau
yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan
yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak
dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga
seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai
bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang
lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam
kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan
kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang
sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis
(nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak
kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan
dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik
sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau
3 Sahih Muslim ; hadits no. 2213. teguran N abi saw . dalam kasus perkelahian seorang
pem uda M uhajirin dengan pem uda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak m em beri
sem angat m endukung kelom poknya m asing-m asing seperti m asa jahiliyah.
4 Ibidem No. 1540.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam,
bahwa malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-.
Selain itu, budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso
jo pareso dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya
Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan
binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan "co kambiang mangawan"5
terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di
tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak
senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan
kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak
(kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya
bataratik atau kenal sopan santun. Dan 'rang semenda akan diberi
teguran oleh mamak rumah6 nya secara kias, bila anak-anaknya
berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu
mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando
niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab
kelahiran dalam korong orang).
Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga
dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih; bidal),
a.l: di cancang pua7 - ta garik andilau8; (di cencang puar,
tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang
(disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya
dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya,
bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang
senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari
suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing
dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka
6 m am ak ru m ah;
seb utan terhad ap saud ara lelaki istcri dari sisi seoran g su am i (rang
sem end a) di su atu kaum , b aik sekan d un g atau h an ya sep esukuan.
7 p ua;p uar; sejenis kapu lag a (b an yak variasinya), dib eberap a nag ari
salo.
d isebu t
8 andilauatau endilau;pohon dengan nam a tatinnya Com m ersonis bartram ia M ERR.
dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak
melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa
tersinggung akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa
sosok atau tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional,
maka yang akan merasa malu adalah semua orang Minang atau
yang merasa turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera
Baratnya.
Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola
dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang
meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang
yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau
Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga
meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang
Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber
gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka - si cerek9 ta bao
rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum
nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat
pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak
famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman,
meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah
diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun
dengan Firman Allah Swt:
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus
menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari
kalangan (sekitar) kamu 10.
Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban
(hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat,
teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga
terlihat dianut oleh Hukum Pidana11 yang berlaku di Indonesia,
9 sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat
tradisional;
10 Q .S. 8-al Anfal/25
11 M e nurut catata n se jarah ilm u huk um , Kitab U ndang -U nda ng H ukum P idana Indone sia
in i, sem ula adalah konkordans dari K U H P N egeri B e landa, b ersum be r dari C ode N apole on ,
meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak
pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan
dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita
bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum,
dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul
beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara
pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat
beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber
masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau
mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap
individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se
propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan
sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk
menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan
rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari
pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan,
lupo manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat
adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut
dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang
menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
13 Ib id em l; i h a t j i l i d1 h a la m a n 2 3 .
orang tuanya. Sedangkan harta pusaka (collectief bezit),
hampir semuanya sudah habis terindividualisasikan kepada
anggota kaum. Malah sudah dibuku tanahkan (sertifikat)
atas nama mereka masing-masing.
Perobahan-perobahan demikian, sekaligus juga merombak
beberapa sisi beban tanggung jawab yang selama ini
berada
"
pada kewenangan mamak, terutama dalam urusan kekerabatan.
Sedikit atau banyak telah menggeser dan memberi peran kepada
suami para kemenakan (urang sumando). Akan tetapi, sepanjang
urang sumando (suami para kemenakan) masih merasa perlu
dihormati atau disegani oleh urang sumando nya sendiri di
kaumnya, jaringan kekerabatan seperti semula tidak akan
mengalami gangguan, karena iapun masih harus bertenggang rasa
dengan mamak-mamak dalam kaum isterinya.
Namun tatanan kekerabatan masa lalu akan berombak total,
apabila turunan mereka tidak lagi dididik perlunya dalam
kebersamaan, betapa pentingnya rasa malu, berbasa-basi,
bertenggang rasa seperti yang sudah-sudah, apabila prilaku
nafsi-nafsi (individualistis) dan nan ka lamak di awak surang
secara materialisasi sudah pula mengedepan. Apalagi bila
ditunjang oleh mapannya kehidupan keluarga inti dan sudah
dirasa berat memberikan bantuan pada kaum.
Saya sendiri, sebagai advokat-pengacara, telah berkali-kali diminta
ikut menyelesaikan kasus perkawinan dari mereka yang bersanak ibu
(ibu mereka bersaudara handling). Satu diantaranya terjadi di
antara warga dari salah satu nagari di Luhak Nan Tuo (Tanah
Datar), meskipun kejadiannya di rantau. Agama Islam memang tidak
melarang perkawinan demikian, akan tetapi tidak pula menyuruh
untuk saling kawin mengawini diantara mereka yang sekaum
sepusaka. Apalagi menyuruh sesuatu yang dampaknya akan
berakibat pecah atau kacaunya kesatuan sebuah kaum.
Lalu ada lagi sesebutan: kok indak ameh di pinggang –dunsanak
jadi urang lain; adalah sepenggal pepatah bernuansa sarkatis,
betapa akibatnya bila lelaki Minang dalam keadaan tidak punya
emas (tidak berpunya). Seolah saudara-saudaranya akan
menghindar darinya dan akan membiarkan diri melarat sendiri.
Sebentuk sikap yang dimuat dalam pepatah tersebut, perlu
ditempatkan pada posisi yang benar.
Bahwa secara prinsip, agama Islam pun menganut sikap demikian.
Pelajari saja dengan tenang salah satu Rukun Islam adalah
kemampuan membayar zakat. Kewajiban dan menjadi rukun
sahnya seseorang menjadi muslim, tanpa embel-embel penjelasan
seperti menunaikan haji ke Mekah dengan catatan tambahan sekali
seumur hidup jika ada kemampuan internal, ada kesempatan dan
ada kemungkinan secara internal dan ekstemal. Bila hanya
dipahamkan secara sepotong-sepotong, maka hanya mereka yang
membayar zakat sajalah yang boleh disebut sebagai Muslim.
Apakah dengan demikian, bagi yang masih belum mampu
membayar zakat belum boleh disebut Muslim ?. Ada hal-hal yang
perlu disimak, yaitu adanya ketentuan rukhsah (dispensasi). Malah
bagi yang belum mampu secara objektif, berhak rnenerima zakat
sebagai fakir atau miskin. Padahal semua kita tahu, baliwa Allah
swt lebih menyukai Muslim yang kuat berbanding dengan Muslim
yang lemah. Demikian, maka rukun zakat adalah rukun pendorong
untuk membentuk sikap individu setiap Muslim supaya giat
berusaha sampai mampu membayar zakat dan mencegahnya jadi
pengemis.
Begitu jugalah dengan adagium Minangkabau diatas. Adat dan
budaya Minangkabau menghendaki setiap lelaki Minangkabau,
haruslah punya kemampuan, selain ilmu juga secara materi.
Diperlukan untuk membantu dan menambah harta pusaka
kaumnya, selain memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya
sendiri. Malah mendorong mereka untuk merantau, dan silakan
kembali- setelah dirasa berguna untuk kaum dan korong kampung.
Namun bagi yang belum terbuka kesempatan menjadi lelaki mampu,
secara hukum adat pun terbuka peluang untuk menggarap harta
pusaka kaumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya pun. Harta kaum yang digarap untuk anak bini
seperti itu, disebut arato bao (harta bawaan), yang tunduk pada
ketentuan bao kumbali-dapatan tingga.
2. Peluang;
Bagaimana pun bagi orang Minangkabau yang menyadari betapa
nikmatnya hidup berkerabat dan bermasyarakat serta betapa
susahnya hidup sendiri, menyendiri dan dijauhi seperti yang
disindirkan gurindam lama nan ba taratak ba koto asiang - ba adat
ba limbago surang, ba banak di ampu kaki, ba kitab di buku
tangan, tantangan keadaan akan diolahnya menjadi peluang. Sa
iriang anakjo panyakik - sa iriang padijo Siangan, sudah diamati dan
dialami. Penyakit di obat, Siangan di siangi. Masalah dihadapi
dengan tenang dan diselesaikan dengan baik, tak usah sesak nafas..
Orang baru akan menikmati hasil, bila ia mampu mengatasi
rintangan. Orang baru akan merasa betapa nikmatnya minuman,
setelah mengalami betapa perihnya tenggorok dikala haus. Ta
lumbuak hiduak di kelok kan, ta tumlnuik kuto di pikiri, la liinihiuik
ntndiang dinuinuangkan.
KESIMPULAN.
A dapun kesimpulan dari pendapat yang saya kemukakan di atas,
saya pulangkan saja pada kita bersama, karena yang disebut
Minangkabau adalah kebersamaan kita. Raso di bao naiak, pareso
di bao turun. Apakah sistem dan nilai kekerabatan menurut
budaya - adat Minangkabau yang kita alami, kita lihat dan kita dengar
selama ini akan kita pelihara dengan revisi penyesuaian disana-
sini (usang-usang di barui, lapuak-lapuak dikajang), atau akan kita
biarkan saja perkembangannya pada generasi mendatang tanpa
bimbingan karena mereka yang akan memakai?. Lalu dianggap saja
sebagai kebebasan individu atau Hak Azasi Manusia ?.
Akan tetapi sedikit pesan ajaran agama yang sudah dipahami orang
tua-tua masa lalu, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk
yang juga disebut khalifah. Dalam kata lain adalah subjek yang
membentuk, bukan objek yang dibentuk. Generasi masa kini punya
kewajiban untuk meninggalkan generasi penggantinya dalam
keadaan lebih baik, tetap kuat menghadapi dan mengolah tantangan
menjadi peluang yang menguntungkan. Bukankah Islam sendiri
mengajarkan, malah memerintahkan umatnya:
Hendaklah takut pada -azab dan kemurkaan Allah- semua
mereka yang seandainya akan meninggalkan anak cucu dibelakang
mereka dalam keadaan yang serba lemah (baik ilmu, pisik,
kesehatan, kemampuan, kekuasaan dan politik).