Anda di halaman 1dari 210

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF FIQH LINTAS AGAMA


(Membangun Paradigma Inklusif Pluralis)

TESIS

Oleh

ERWIN SETYO NUGROHO


NIM: 0839115011

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
2019

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF FIQH LINTAS AGAMA
(Membangun Paradigma Inklusif Pluralis)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Magister Hukum Islam (M.HI)

Oleh

ERWIN SETYO NUGROHO


NIM:0839115011

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
2019

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


ember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id
d — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id
ABSTRAK

Erwin Setyo Nugroho, 2019. Pernikahan Beda Agama Di Indonesia Dalam


Perspektif Fiqh Lintas Agama (Membangun Paradigma Inklusif
Pluralis). Tesis. Program Studi Hukum Keluarga Pascasarjana Institut
Agama Islam Negeri Jember. Pembimbing 1: Dr. H. Sutrisno, RS.,
M.HI. Pembimbing II : Prof. Dr. H. Mahjuddin., M.Pd.I
Kata Kunci : Pluralitas, Perkawinan, Fiqh Lintas Agama
Sejak dulu Islam selalu dihadapkan dengan pluralitas agama. Salah satu
fenomena yang muncul adalah perkawinan lintas agama. Para ulama berbeda
pendapat tentang perkawinan antar pemeluk agama, ada golongan yang
membolehkan dan ada golongan yang mengharamkan perkawinan jenis ini. Pada
konteks demikian, urgensi penelitian ini dilakukan. Penulisan tesis ini sangat tertarik
untuk mengkaji pernikahan beda agama dalam perspektif fiqh lintas agama.
Adapun hal yang menjadi sub fokus kajianya adalah pertama, Bagaimana
konsepsi pernikahan beda agama dalam perspektif legislasi hukum Islam di
Indonesia dan fiqh lintas agama di Indonesia?. Kedua, Bagaimana kontekstualisasi
dan dinamika pernikahan beda agama dalam membangun perspektif baru fiqh
inklusif pluralis di Indonesia?. Kedua sub kajian akan dikaji dengan pendekatan
kajian kepustakaan. Penelitian ini akan menggunakan data dan informasi dengan
bantuan berbagai macam material yang terdapat diruang perpustakaan seperti buku-
buku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah, sejarah, dokumen-dokumen dan lain-
lain. Tentu yang demikian ini diharapkan menemukan gambaran secara hal-hal
mengenai fokus kajian utama yang dipilih.
Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan, ada beberapa konklusi yang telah
disusun. Hal demikian itu adalah pertama, Fiqh lintas agama sama memakai kaidah
hifd ad-dzin, akan tetapi pemaknaanya tidak fundamental pada egositas sektoral
agama. hifd ad-dzin yang dimaksud lebih pada menjaga hak beragama sesama
makhluk Allah. Begitupun dengan dar’ul mafasid yang sama dipakai dalam istinbath
hukum fiqh pada umumnya. Mafasid yang dimaksud diartikan sebagai kerusakan hak
manusia. Keduanya kadah inilah yang kemudian secara umum berorientasi pada
pengutan nulai humani dan toleransi. Kedua, fiqh lintas agama menawarkan konsep
istinbath hukum yang mengacu pada kesadaran adanya keniscayaan kehidupan
multikultural. Paradigma fiqh pun harus dirubah berdasarkan kemaslahatan
pergaulan sosial multikultural. Tentu dalam masyarakat tersebut nilai yang harus
dijunjung tinggi adalah nilai inklusif dan plural. Sehingga menjadi tepat jika
paradigma inklusif pluralis menjadi pijak metodologis hukum Islam dalam masalah
pernikahan beda agama.

iv

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


ABSTRAK

Erwin Setyo Nugroho, 2019. Marriage of Different Religions in Indonesia in the


Interfaith Fiqh Perspective (Building a Pluralist Inclusive Pardigm).
Thesis. Postgraduate Family Law Study Program Institut Agama
Islam Negeri Jember. Pembimbing 1: Dr. H. Sutrisno, RS., M.HI.
Pembimbing II : Prof. Dr. H. Mahjuddin., M.Pd.I

Keywords: Plurality, Marriage, Interfaith Fiqh

Since the beginning, Islam has always been faced with a religions plurality.
The phenomenon is interfaith marriage. Some Ulama’ have different opinion on
marriage between religion believers. Some of them allow and the others forbid it. In
this context, the urgency of this research is carried out. The writing of this thesis is
very interested in studying interfaith marriages in the perspective of interfaith fiqh.
Some sub-focus of this study are first, how is the interfaith marriage
conception in the Islamic law perspective in legislation Indonesia and interfaith
fiqh?. Second, How is the contextualization and dynamics of interfaith marriages for
building a new perspective on pluralist inclusive fiqh in Indonesia? The two sub-
studies will be assessed using the literature review approach. This study will use data
and information with the help of material various kinds that contained in the library
space such as books, magazines, texts, notes, stories, history, documents and others.
Certainly, it is expected to find an overview of the main focus of the study selected.
Based on several studies conducted, there are several conclusions that have
been drawn up. These ara first, Interfaith Fiqh is the same as the hifd ad-dzin rule,
but its meaning is not fundamental to sectoral religious egos. hifd ad-dzin is meant
more to safeguard the religious rights of Allah fellow creatures. Likewise with the
same dar'ul mafasid that used in istinbath of general fiqh law. The intended Mafasid
is defined as damage to human rights. Both of these containers are then generally
oriented to grooving, starting with humanity and tolerance. Second, interfaith fiqh
offers the legal istinbath concept which refers to the awareness of the necessity of
multicultural life. The fiqh paradigm must be changed based on the benefit of
multicultural social relations. Certain, in that society the value that must be upheld is
inclusive and plural values. So it is right, if the inclusive pluralist paradigm becomes
the methodological stand of Islamic law in the matter of interfaith marriage

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


‫ملخص‬

‫إروين سيتيو نوغروهو ‪ .9102،‬اختالفات الزواج يف الدين يف إندونيسيا من منظور الفقه بني األديان (بناء منظور‬
‫شامل للتعددية)‪ .‬أطروحة‪ .‬برنامج الدراسات العليا لقانون األسرة يف معهد جيمرب احلكومي اإلسالمي‪ .‬املستشار‬
‫األول‪ :‬الدكتور حاج سوتريسنو ‪ ،‬ماجستري يف الشريعة اإلسالمية‪ .‬املشرف الثاين‪ :‬أستاذ دكتوراه حاج حمجدين‬
‫‪:‬ماجستري يف الرتبية اإلسالمية‬

‫الكلمات المفتاحية‪ :‬التعددية ‪ ،‬الزواج ‪ ،‬األديان الفقهية‬

‫دائما تعدد األديان‪ .‬الظاهرة هي الزواج بني األديان‪ .‬لدى بعض العلماء رأي خمتلف‬
‫منذ البداية ‪ ،‬كان اإلسالم يواجه ً‬
‫حول الزواج بني املؤمنني بالدين‪ .‬بعضهم يسمح والبعض اآلخر حيرم ذلك‪ .‬يف هذا السياق ‪ ،‬يتم تنفيذ هذا البحث‪.‬‬
‫‪.‬هتتم كتابة هذه األطروحة بدراسة الزجيات بني األديان من منظور الفقه بني األديان‬

‫بعض نقاط الرتكيز األساسية هلذه الدراسة هي أوالً ‪ ،‬كيف يتم مفهوم الزواج بني األديان يف منظور الشريعة اإلسالمية‬
‫يف التشريع اندونيسيا واألديان الفقهية؟‪ .‬ثانياً ‪ ،‬كيف يتم وضع سياق وديناميات زجيات األديان لبناء منظور جديد‬
‫حول الفقه التعددي الشامل يف إندونيسيا؟ سيتم تقييم الدراستني الفرعيتني باستخدام هنج مراجعة األدبيات‪.‬‬
‫ستستخدم هذه الدراسة البيانات واملعلومات مبساعدة أنواع املواد املختلفة املوجودة يف مساحة املكتبة مثل الكتب‬
‫واجملالت والنصوص واملالحظات والقصص والتاريخ واملستندات وغريها‪ .‬بالتأكيد ‪ ،‬من املتوقع أن جتد حملة عامة عن‬
‫‪.‬الرتكيز الرئيسي للدراسة املختارة‬

‫استنادا إىل العديد من الدراسات اليت أجريت ‪ ،‬هناك العديد من االستنتاجات اليت مت وضعها‪ .‬هذه اآلرا أوال ‪،‬‬
‫األديان الفقهية هي نفس حكم الدين الدزين ‪ ،‬لكن معناها ليس أساسيا للغرور الديين القطاعي‪ .‬املقصود باحملافظة‬
‫على األديان هو محاية احلقوق الدينية ألصدقائنا يف خملوقات اهلل‪ .‬وكذلك األمر مع نفس دار املسافيد اليت استخدمت‬
‫عموما إىل احلز ‪،‬‬
‫عرف املافصيد املقصود بأنه ضرر حلقوق اإلنسان‪ .‬م يتم توجيه كلتا احلاويتني ً‬
‫يف قانون الفقه العام‪ .‬يُ َّ‬
‫بدءًا من اإلنسانية والتسامح‪ .‬ثانياً ‪ ،‬الفقه بني األديان يقدم مفهوم استنبط القانوين الذي يشري إىل الوعي بضرورة‬
‫احلياة متعددة الثقافات‪ .‬جيب تغيري منوذج الفقه على أساس العالقات االجتماعية متعددة الثقافات‪ .‬بالتأكيد ‪ ،‬يف‬
‫صحيحا ‪ ،‬إذا أصبح النموذج‬
‫ً‬ ‫هذا اجملتمع ‪ ،‬القيمة اليت جيب التمسك هبا هي قيم شاملة ومتعددة‪ .‬حبيث يكون‬
‫التعددي الشامل هو املوقف املنهجي للشريعة اإلسالمية يف مسألة الزواج بني األديان‬

‫‪vi‬‬

‫— ‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬ ‫— ‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬ ‫— ‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬ ‫— ‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬ ‫— ‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬ ‫‪digilib.iain-jember.ac.id‬‬


KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan limpahan

nikmat-Nya, sehingga tesis dengan judul “Pernikahan Beda Agama Di Indonesia Dalam

Perspektif Fiqh Lintas Agama (Membangun Paradigma Inklusif Pluralis) ini dapat

terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad

SAW, serta para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang senantiasa berjalan dalam risalah-Nya

yang menuntun umatnya menuju Agama Allah sehingga tercerahkanlah kehidupan saat ini.

Dalam penyusunan tesis ini banyak pihak yang terlibat dalam membantu

penyelesaiannya. Oleh karena itu patut diucapkan terima kasih teriring doa jazakumullahu

ahsanal jaza kepada mereka yang telah membantu, membimbing, dan memberi dukungan

demi penulisan tesis ini.

1. Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE, MM selaku Rektor IAIN Jember

2. Prof. Dr. H. Halim Soebahar, M.A selaku Direktur Program Pascasarjana IAIN Jember.

3. Dr. H. Sutrisno, RS., M.HI Selaku Pembimbing 1 dan Prof. Dr. H. Mahjuddin., M.Pd.I

selaku Pembimbing II.

4. Para Dosen yang telah mendidik penulis selama mengikuti kuliah di Program Program

Pascasarjana IAIN Jember.

5. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini, dan tak bisa penulis uraikan satu

persatu

Selain ucapan terima kasih, penulis juga memberi kesempatan kepada pembaca

sekalian untuk memberikan sumbangsih pemikirannya demi kesempurnaan penulisan tesis ini,

karena penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki. Juga penulis

menyampaikan permohonan maaf apabila dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekeliruan

vii

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


dan kesalahan, baik dari segi redaksional maupun substansi, karena kurang sempurnanya

keilmuan yang penulis miliki.

Akhir kata jika terdapat kebenaran dalam penulisan dan kebenaran ilmiah dalam

penulisan tesis ini semata-mata datang dari Allah SWT, dan jika terdapat kesalahan dalam

penulisan ini maka semua itu hanyalah berasal dari kami selaku manusia biasa.

Jember, 8 Agustus 2019

Erwin Setyo Nugroho


NIM. 083 911 50 11

viii

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ iv
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................. vii
HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................. ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Konteks Penelitian................................................................................ 1
B. Fokus Kajian ....................................................................................... 18
C. Tujuan Kajian ....................................................................................... 18
D. Metode Kajian ...................................................................................... 18
E. Manfaat Kajian ..................................................................................... 20
F. Difinisi Istilah ....................................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 23

A. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 23


B. Kajian Teori .......................................................................................... 34
1. Tinjauan konsep Pernikahan Antar Agama ....................................... 34
a. Kontruksi Perkawinan ..................................................................... 34
b. Konsepsi Perkawinan Beda Agama ................................................. 43
c. Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif UU Perkawinan ......... 45
d. Dasar Konsepsi Nikah Beda Agama ............................................... 49
2. Konsepsi Fiqh Lintas Agama ............................................................ 58
a. Terminologi Fiqh Lintas Agama ..................................................... 58
b. Dasar Ijtihad Fiqh Lintas Agama .................................................... 60

ix

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


c. Pendekatan Fiqh Lintas Agama ....................................................... 67
d. Paradigma Fiqh Lintas Agama ........................................................ 71
e. Pijakan Keimanan Fiqh Lintas Agama ............................................ 81
f. Paradigma Pluralis Inklusif dalam Fiqh Lintas Agama ................... 93

C. Kerangka Konseptual ........................................................................... 98

BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS .......................................... 99

A. Konsepsi Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi Hukum

Islam Di Indonesia Dan Fiqh Lintas Agama Di Indonesia ................. 99

1. Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi Hukum

Islam ................................................................................................... 99

2. Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Fiqh Lintas

Agama ................................................................................................ 106

B. Kontektualisasi dan Dinamika Pernikahan Antara Agama dalam

Membangun Paradigma Pluralis Inklusif Di Indonisia ....................... 119

1. Kontekstualisasi Pernikahan Antar Agama di Indonesia ................... 119

2. Dinamika Pernikahan Antar Agama di Indonesia dalam Membangun

Paradigma Pluralis Inklusif .............................................................. 123

BAB IV PEMBAHASAN TEMUAN ............................................................ 134

A. Analisis Konsepsi Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi


Hukum Islam Di Indonesia Dan Paradigma Fiqh Lintas Agama
Di Indonesia ........................................................................................ 134
1. Analisis Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi
Hukum Islam ...................................................................................... 134

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


2. Analisis Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Fiqih Lintas
Agama ................................................................................................ 142
B. Kontekstualisasi dan Dinamika Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Dalam Membangun paradigma Baru Fiqh Inklusif Pluralis ................ 162
1. Kontektualisasi dan Dinamika Pernikahan beda Agama
Di Indonisia ........................................................................................ 154
2. Dinamika Pernikahan Antar Agama di Indonesia dalam
Membangun Paradigma Pluralis Inklusif........................................... 161

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 177


A. Kesimpulan ....................................................................................... 177
B. Saran-saran ........................................................................................ 179

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 181

LAMPIRAN
Lampiran 1. Pernyataan keaslian Tulisan
Lampiran 2. Surat Keterangan Cek Similaritas
Lampiran 3. Riwayat Hidup

xi

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 31

xii

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual .................................................................. 98


Gambar 4.1 Konstruksi Se-kufu Dalam Pandangan Jumhur Ulama’ ............... 141
Gambar 4.2 Kontruksi Se-kufu KHI dan MUI ................................................ 146
Gambar 4.3 Gambar 1.4 Differensiasi Fiqh Lintas Agama Terkait
Kawin Beda Agama .................................................................... 161
Gambar 4.4 Kontekstualisasi Nikah Beda Agama di Indonesia ..................... 168
Gambar 4.5 Dinamika dan Upaya Membangun Paradigma Inklusif-Plural .... 182

xiii

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


PEDOMAN TRANSLITERASI

No Arab Indo- Keterangan Arab Indo- Keterangan


nesia nesia
1 ‫ا‬ ‘ koma ‫ط‬ t} te dg titik
di atas di bawah

2 ‫ب‬ b be ‫ظ‬ z zed

3 ‫ت‬ t te ‫ع‬ ‘ koma di


atas

terbalik

4 ‫ث‬ th te ha ‫غ‬ gh ge ha

5 ‫ج‬ j je ‫ف‬ f ef

6 ‫ح‬ h} ha dg titik ‫ق‬ q qi


di bawah

7 ‫خ‬ kh ka ha ‫ك‬ k ka

8 ‫د‬ d de ‫ل‬ l el

9 ‫ذ‬ dh de ha ‫م‬ m em

10 ‫ر‬ r er ‫ن‬ n en

11 ‫ز‬ z zed ‫و‬ w we

xiv

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


12 ‫س‬ s es ‫ه‬ h ha

13 ‫ش‬ sh es ha ‫ء‬ ‘ Koma


di atas
14 ‫ص‬ s} es dg titik ‫ي‬ y es dg titik
di bawah di bawah
15 ‫ض‬ d} de dg titik - - de dg titik
di bawah di bawah

xv

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Pada era generasi millenial ini, dimana perkembangan teknologi

komunikasi begitu canggih telah menjadikan masyarakat pedesaan yang

semula eksklusif menjadi masyarakat yang inklusif, dari masyarakat yang

homogen di pedesaan telah banyak berinteraksi dengan masyarakat perkotaan

yang heterogen. Majunya komunikasi dan informasi membuka lebar

kesempatan yang lebih besar kepada anggota-anggota dari satu golongan

masyarakat, antar suku, ras, maupun agama, untuk berinteraksi dengan

masyarakat di luar golongannya. Dari interaksi tersebut bukanlah suatu yang

mustahil bila terjadi perkawinan antar suku, antar ras bahkan antar agama.1

Dan nampaknya hal ini juga telah digariskan oleh Allah SWT dalam al-

Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 :

         

            

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”.2

1
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2000), 34.
2
QS. Al-Hujurat ,49: 13.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


2

Ayat ini menjelaskan tentang manusia diciptakan dengan berbangsa-

bangsa dan bersuku-suku yang kesemuanya untuk saling mengenal antar suku

dan antar bangsa. Dari proses pengenalan itulah, terjadi proses komunikasi,

adaptasi dan tidak menutup kemungkinan juga mengarah kepada hubungan

pernikahan.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang secara umum berlaku bagi

semua makhluk hidup di muka bumi, manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan

tidak lain dalam rangka menjaga kelestarian hidup dengan berkembang biak

melalui proses perkawinan. Allah SWT menegaskan dalam QS.al-Rum: 21.

           

         

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS.al-Rum: 21).3

Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman dalam QS: Adz Dzariyaat

ayat 49:

       

3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Solo: Pustaka
Agung Harapan, 2006), 572.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


3

Artinya: ”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasangan-pasangan agar


kamu mengingat (kebesaran Allah). (QS: Adz Dzariyaat: 49).4

Juga firman Allah SWT dalam QS. Yasin ayat 36:

         

   

Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-


pasangan Baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui”.5 (QS. Yasin: 36)

Perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan

berkeluarga dan bermasyarakat yang diriḍai oleh Allah. Oleh karena itu

dalam memilih suami atau istri, Islam sangat menganjurkan agar

mendasarkan segala sesuatunya atas norma agama, sehingga pendamping

hidup nantinya mempunyai akhlak yang terpuji, tidak ada suatu ketimpangan

terhadap suatu keyakinan. Islam juga mengatur dan mengarahkan kepada

laki-laki maupun perempuan untuk menentukan pilihan pasangan hidupnya.

Hal ini dilakukan agar keduanya kelak dalam menjalankan kehidupan

berkeluarga dapat hidup secara damai, tentram, sejahtera, kekal, bahu

membahu dan saling tolong menolong sehingga terciptalah kehidupan

keluarga yang harmonis sesuai dengan asas pekawinan yakni selamanya

(tidak temporal).6 Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Islam mengatur

suatu pernikahan, bukanlah semata-mata berdimensi fisik. Bagaimanapun

4
Ibid., 756.
5
Ibid., 628.
6
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan
Sunah, cet. 1 (Jakarta: Akademi Pressindo, 2000), 46.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


4

juga Islam mengatur dalam pernikahan, tidak bisa dibebaskan dari dimensi

rohani dan juga agama7 sehingga terbentuklah syarat dan rukun pernikahan

dan menciptakan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Itulah tujuan

syar’iah dalam menciptakan suatu keseimbangan dalam kehidupan berumah

tangga.

Tujuan syari’ah ini dapat dilaksanakan melalui jalan perkawinan yang

sah menurut agama, diakui oleh undang-undang dan diterima sebagai bagian

dari budaya masyarakat.8 Hal ini sangat bermakna sekali untuk membangun

sebuah keluarga yang dilandasi oleh nilai-nilai norma agama.

Sejak dulu, Islam selalu dihadapkan dengan pluralitas agama.9 Salah

satu fenomena yang muncul adalah perkawinan lintas agama. Pada zaman

orde baru, pernikahan lintas agama sudah pernah terjadi. Contohnya saja artis

Jamal Mirdad yang beragama Islam menikah dengan Lidya Kandaw yang

beragama Kristen, kemudian Roy Martin yang beragama Kristen menikah

dengan Ana Maria yang beragama Islam. Kasus menghebohkan, pernikahan

lintas agama ini juga dialami oleh putri Cendekiawan Muslim Almarhum

Nurcholish Madjid,10 dan contoh yang sekarang ini dilakukan oleh Happy

7
Dian Herdiana, Studi Fatwa MUI Tentang Pelarangan Nikah Antara Muslim Dan
Kitabiyyah,” 21.
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,cet. ke-2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997),
220.
9
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan,
1999), 39.
10
Tim Kodifikasi Purna Siswa 2005 (KOPRAL), Kontekstualisasi Turāts (Telaah Regresif dan
Progresif), (Kediri: KOPRAL 2005), 254.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


5

Salma yang beragama Islam menikah dengan Tjokorda Bagus Dwi Santana

Max Kerthyasa yang beragama Hindu.11

Dari beberapa kasus artis yang menikah beda agama, putra seorang

cendekiawan muslim Nur Kholis Majid dalam hal ini Ahmad Nur Kholis,

meskipun sudah ada fatwa dari MUI tahun 2005 yang mengharamkan

menikah berbeda agama, namun demikian, pria tersebut tetap meneruskan

niatnya untuk menikahi Ang Mei Yong, perempuan Konghucu itu pada tahun

2003. Ahmad Nur Kholis memandang bahwa sikap MUI tersebut hanyalah

mewakili salah-satu dari sedikitnya tiga interpretasi dari dalam Islam terhadap

pernikahan beda agama. Ada beberapa pandangan dalam ajaran Islam,

Pertama, melarang secara mutlak baik bagi perempuan Muslim maupun laki-

laki Muslim untuk menikahi non-Muslim. Kedua, membolehkan secara

bersyarat, yaitu membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan

perempuan non-Muslim, tetapi perempuan Muslim tidak boleh menikahi laki-

kali non-Muslim. Ahmad Nur Kholis memahami pandangan yang ketiga,

bahwa baik laki-laki maupun perempuan Muslim boleh menikah dengan non-

Muslim," kata Nurcholish seraya menyebutkan, tafsir sejumlah ulama Islam

yang membolehkan pernikahan beda agama.12

Di dalam Al-Qur’an terdapat ketentuan hukum perkawinan beda agama

diantaranya adalah firman Allah SWT :

1. Q.S al-Baqarah (2): 221 :

11
http://celebrity.okezone.com/read/2010/10/03/33/378636/soal-agama-rahasia-berduahappy-
salma-cok-gus.Terakhir diakses tangal 20 Maret 2017.
12
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150629bincang_juni2015_nurcholish

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


6

           

            

            

       

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.13

Ayat tersebut menjelaskan tentang diharamkannya laki-laki Islam

menikahi wanita musyrik dan sebaliknya perempuan Islam dinikahi laki-laki

musyrik sehingga mereka mau beriman.

2. Q.S al-Māidah (5): 5

           

          

         

            



13
Al-Baqarah (2):221.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


7

Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan14 diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang
merugi”.15

Ayat tersebut menjelaskan tentang dihalalkannya menikahi perempuan

yang terjaga baik dari yang beriman dan yang berpegangan kitab (Ahl al-

Kitāb). Hal ini kemudian dipertegas oleh hadist Rasulullah Saw juga

menganjurkan agar umatnya menikah:

َ‫اللُ علي َِه وسلَّمَ قالَ تُنك ُحَ المرأَةُ ِِلربع‬


َ ‫اللُ عن َهُ ع ِنَ النَّبِيَ صلَّى‬ ِ ‫عَنَ أبِيَ ُهري رَة ر‬
َ َ‫ضي‬

َِ ‫ما لِها ولِ ِدينِهااظفرَ بِذ‬


‫أخرجه البخاري في‬. (َ‫ات الدي ِنَ ت ِربتَ يداك‬ َ ‫لِمالِها ولِحسبِهاوج‬
16
‫كتاب النكاح‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. (ia berkata), dari Nabi SAW. beliau
bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka hendaklah engkau memilih (perempuan) yang
baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung”.(dikeluarkan dari
HR. Bukhori dalam Kitab Nikah).17

Hadist di atas memberikan isyarat bahwa yang paling utama dari sebuah

perkawinan yang baik dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya adalah

14
Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
15
Al-Māidah (5): 5
16
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih al-Bukhari Juz 5,(Beirut,
Libanon: Daarul Kutub al-‘Ilmiah, 1992), hlm. 445
17
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadits Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 138

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


8

perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang

memiliki aqidah yang sama. Sementara ketiga kriteria lainnya sebagaimana

disebut dalam hadist tersebut di atas, merupakan bentuk ideal bagi seseorang

yang hendak membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Ini

mengandung arti yang sangat mendalam supaya perkawinan itu diterima oleh

masing-masing pihak dengan isi hati yang penuh keyakinan dan tidak digeser

oleh apapun jua. Sebab perkawinan dalam Islam mempunyai tanggung jawab

yang berat hingga ibu bapak dan keluarga kedua belah pihak ikut aktif

memelihara kelangsungan perkawinan anaknya, bahkan masyarakat pun ikut

menyaksikan keberlangsungan hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu jelas sekali bahwa perkawinan dalam Islam tidak semata

persoalan dan tanggung jawab dua manusia belaka, tetapi adalah persoalan

keluarga dua belah pihak bahkan masyarakat Islam seluruhnya dan juga

diikutsertakan Allah dan Rasul-Nya, sebab perkawinan adalah syari’at Allah

dan sunnah Rasul-Nya. Dalam soal ini yang dapat sama-sama melakukan

tanggung jawab itu ialah sekiranya suami istri itu dari satu kelompok yang

bersatu dalam aliran pikiran apa lagi agama. Kalau berlainan aliran agama

bahkan berlainan bangsa tentu akan membawa kepada ”conflik of law” yang

menimbulkan pertikaian berlanjut.18

Secara umum non Islam bisa digolongkan menjadi tiga golongan.

Pertama, golongan musyrik yang memiliki nabi dan kitab samawi. Golongan

tersebut disebut golongan Ahl al-Kitab. Kedua golongan Musyrik yang tidak

18
Fuad Mohd. Fachrudin, Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1993). 41.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


9

memiliki nabi dan kitab samawi, seperti Zoroaster (Majūsi), kaum Plaganis

(Waṡani), Hindu, Budha, murtad19 dan lain-lain. Ketiga Golongan Atheis atau

Komunis, yaitu golongan yang tidak mempercayai adanya Tuhan.20

Pada tanggal 1 Juni 1980, MUI pernah mengeluarkan fatwa haram

menikah beda agama, bahkan MUI mengeluarkan fatwa haram laki-laki

muslim menikah terhadap perempuan Ahl al-Kitāb, “seorang laki-laki

muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim”.21

Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-

Kitāb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa

mafsadahnya lebih besar dri pada mashlahahnya, Majelis Ulama Indonesia

memfatwakan bahwa perkawinan tersebut hukumnya haram”.22

Ada perbedaan pendapat tentang definisi dari Ahl al-Kitāb. Diantara

ulama yang mempunyai perbedaan pendapat mengenai pengertian dari istilah

Ahl al-Kitāb :

1. Menurut Imam asy-Syafi’i, istilah Ahl al-Kitāb meliputi pengikut agama

Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan Israil saja, sebelum

kedatangan Islam.23

2. Menurut Abu Hanifah, istilah Ahl al-Kitāb ditujukan kepada siapapun

yang percaya terhadap kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah SWT.

kepada para rasul dan nabi-Nya, tidak dikhususkan kepada pengikut Nabi

19
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah, wanita Murtad disamakan dengan wanita musyrik
Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, (Suriah: Dār al-Fikr, 1984), jilid IX, 6651.
20
Team Kodifikasi Abiturien , Manhaj Solusi Umat (Jawaban Problematika Kekinian),cet. 1
(Kediri: DIVA 2007), 167.
21
Atho’ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993):139.
22
MUI, Himpunan Keputusan Fatwa MUI, 122.
23
Ibid.,

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


10

Musa dan Isa yang disebut dengan orang Yahudi dan Nasrani. Menurut

Abu Hanifah, Ahl al-Kitābjuga mencakup suḥuf Ibrahim dan kitab Zabur

yang diturunkan kepada Nabi Dawud, bahkan Ahl al-Kitābjuga mencakup

Ṣābiʻin.24

3. Menurut Ahmad bin Hambal, istilah Ahl al-Kitāb adalah selain menunjuk

kepada Yahudi dan Nasrani, juga mencakup orang Majusi.

4. Menurut Ibnu Taimiyah, Ahl al-Kitāb adalah orang-orang yang memeluk

agama Yahudi dan Nasrani baik keturunan Bani Israil maupun bukan,

baik sebelum kedatangan Islam maupun sesudahnya.25

5. Menurut Wahbah az-Zuḥailī , dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh

istilah Ahl al-Kitāb adalah orang orang yang memeluk agama yahudi dan

nasrani yang masih berpegang teguh pada kitab yang masih original.26

Imam Syafi’i membatasi Ahl al-Kitāb dengan istilah sebelum masuknya

agama Islam, maka setelah terutusnya Nabi Muhammad SAW. Sudah tidak

ada Ahl al-Kitāb. Berbeda dengan itu, Imam Abu Hanifah menegaskan istilah

Ahl al-Kitāb ditujukan kepada siapapun yang percaya terhadap kitab-kitab

yang diturunkan oleh Allah SWT. Termasuf suḥuf Ibrahim dan Kitab zabur,

sementara isi dari kitab ini sebatas mau’idhoh saja, belum pada keyakinan.

Imam Ahmad bin Hanbal, istilah Ahl al-Kitāb adalah selain menunjuk kepada

Yahudi dan Nasrani, juga mencakup orang Majusi dan seterusnya.Wahbah

az-Zuḥailī berbeda pendapat. Dalam kitab al-Fiqh al- Islāmī wa Adillatuh

24
Ahmad ar-Rāzi al-Jaṣṣaṣ, Ahkām Al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), III: 135.
25
Ibnu Taimiyah, al-Fatāwā al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Ma’arif, t.t.), II: 189-190.
26
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, (Suriah: Dār al-Fikr, 1984), IX: 6653.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


11

istilah Ahl al-Kitāb adalah orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani

yang masih berpedoman pada kitab yang masih original.

Sementara itu, Wahbah az-Zuḥaili mengklasifikasikan dalam

pernikahan beda agama yang sah dan tidaknya menjadi dua yaitu

1. Laki-laki non muslim dengan wanita muslim. Wahbah az-Zuḥailī

berpendapat bahwa pernikahan ini haram mutlak.

2. Laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Wahbah az-Zuḥailī

membagi wanita tersebut menjadi dua, pertama wanita yang berpegang

pada agama langit besertaan dengan cakupannya, kedua wanita yang

tidak beragama dengan agama langit besertaan dengan cakupanya.

Istilah wanita yang berpegang pada agama langit, yakni wanita Ahl al-

Kitāb. Wahbah az-Zuḥailī berpendapat bahwa Ahl al-Kitāb adalah agama

Yahudi dan Nasrani yang tidak dibatasi dengan zaman masuknya Islam dan

tidak semua Yahudi dan Nasrani termasuk golongan Ahl al-Kitāb.

Pada kondisi saat ini, perkawinan antar agama terjadi sebagai suatu

realitas yang tak dapat dipungkiri dan masih aktual untuk dibicarakan.

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, telah jelas dan

tegas menyatakan bahwa perkawinan antar agama dilarang karena

bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Khususnya pada

pasal 2 Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 yang menyatakan:

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


12

”Perkawinan sah adalah apabila dilakukan menurut agamanya masing-masing

dan kepercayaannya itu”.27

Namun dalam kenyataannya perkawinan pemeluk antar agama masih

saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat dari interaksi sosial di antara

seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus yang

terjadi dalam masyarakat kita seperti perkawinan artis Jamal Mirdad (muslim)

dengan Lidiya Kandau (Kristen), Ari Sihasale (Kristen) dengan Nia

Zulkurnain (Muslimah), Deddy Corbuzier (Nasrani) dengan Kalina


28
(muslimah), Ina Indahyati (muslimah) Jeremi Thomas (Kristen) yang

akhirnya Ina masuk agama Kristen, dan banyak lagi kasus yang lainnya.

Sebahagian besar alasan mereka untuk tetap melakukan kawin antar agama

walaupun dengan memiliki agama yang berbeda adalah alasan yang cukup

klise yaitu karena cinta.

Data yang ada menunjukan bahwa jumlah pasangan yang kawin beda

agama terus meningkat. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) misalnya,

pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang kawin beda agama dari

1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18

kasus.29 Program yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on

Religion and Peace (ICRP) yaitu program Konseling dan Advokasi Keluarga

Harmoni, tercatat sejak 2005-2007, dari seratusan pasangan yang hendak

27
Peradilan Agama dan KHI di lndonesia, tentang larangan ‘Perkawinan Beda Agama pasal
44, (Medan: Duta karya, 1995), 75.
28
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), 195.
29
Abdul Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama:
Perbandingan
Beberapa Agama (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, 2011), 4.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


13

menjalani perkawinan beda agama, 60-an pasangan berhasil kawin dan

bertambah tahun berikutnya. Sejak tahun 2004-2012 tercatat perkawinan

KBA sudah mencapai 1.109 pasangan. Data tersebut terus meningkat dari

tahun ketahun..30

Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat l

dijelaskan bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

Islam. Henri Siahan yang telah berhasil mengkristenkan Nurafni Oktavia jelas

tidak mau Islam. Malah justru dengan melakukan pernikahan di Australia pun

menunjukan bahwa ia ingin menggiring Yuni Shara supaya masuk Kristen.

Paling tidak Yuni Shara tidak menolak menikah secara tidak Islam.

Bertolak dari kasus diatas, di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir

ini dihebohkan oleh munculnya pemikiran liberal, kelompok ini mengusung

kebebasan berdalam berfikir dan cenderung kepada pemahaman pluralis

agama. Teks-teks agama, mereka formalisasikan sesuai dengan selera mereka

bukan pemahaman yang dikembangkan para ulama selama ini. Di antaranya

perkawinan antar pemeluk agama yang kini menjadi polemik aktual. Masalah

ini mencuat setelah terbitnya buku Fiqih Lintas Agama. Buku tersebut

menyimpulkan bahwa kebolehan perkawinan antar pemeluk agama antara

muslim dan nonmuslim bersifat luas.

Tidak hanya perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahli kitab

yang selama ini dipahami jumhur ulama, bahkan lebih luas dari itu. Lebih

kongkritnya, berikut ini pernyataan mereka dalam buku Fiqih Lintas Agama :

30
Mohamad Monib, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009), 29.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


14

“Soal perkawinan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah merupakan


wilayah ijtihadi dan terikat dalam kontek tertentu, di antaranya konteks
dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat tidak sebesar saat ini,
sehingga perkawinan antar pemeluk merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihadi, maka
amat dimungkinkan bila ada dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim
boleh kawin dengan laki-laki nonmuslim, atau pernikahan beda agama secara
31
luas amat diperbolehkan apapun agama dan aliran kepercayaannya”.

Dari pernyataan tersebut jelas sekali, bahwa mereka menghalalkan

pernikahan beda agama secara mutlak. Bahkan dengan penuh keyakinan,

mereka mengakui pendapatnya telah sesuai dengan semangat yang dibawa

oleh Al-Qur’an. Dalam hal ini mereka mengajukan beberapa argumentasi

untuk menguatkan pendapatnya sebagai berikut :

Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak

bias dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka

membawa ajaran amal shaleh sebagai orang yang akan bersama-Nya nanti di

surga. Bahkan Tuhan secara eksplisit menyebutkan menyebutkan agar

perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang

lainnya saling kenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah

satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara

lebih dekat.

Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah

untuk membangun cinta kasih (mawaddah) dan tali kasih sayang (al-

rahmah). Di tengah rentanya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda

agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan

31
Nurcholish Majid dkk, Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis.
(Jakarta: Paramadina, 2004), 164.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


15

kesepahaman antara masing-,masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali

kasih sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.

Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan

belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Al-Qur’an sejak

larangan pernikahan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan bagi

pernikahan dengan Ahli Kitab merupakan tahapan pembebasan secara

evolutif. Dan pada saatnya kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas

dua dan bukan pula ahlu dzimmah dalam arti menekan, melainkan sebagai

warga negara.32 Bahkan lebih dari itu, mereka berani mengambil istinbath

(penetapan hukum) bahwa nikah beda agama adalah sesuatu yang dianjurkan

dalam Islam.

Budhy Munawar Rahman mengakui bahwa dalam beberapa tahun

terakhir ini menawarkan konseling bagi pasangan beda agama yang akan

melangsung pernikahan. Hal itu, menurutnya, berkaitan dengan kondisi

masyarakat kini yang plural akibatnya tak bisa dihindari adanya interaksi.

Bahkan Menurutnya negara berlaku ekslusif saat menetapkan Undang-

Undang Perkawinan yang tidak memberi ruang kepada perkawinan antar

pemeluk agama.

Tampaknya, bagi pasangan perkawinan antar pemeluk agama kini tidak

perlu bingung lagi untuk melakukan pernikahan. Mereka tidak perlu

melakukan pernikahan keluar negeri seperti yang selama ini dilakukan oleh

32
Ibid, 164-165.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


16

pasangan selebriti, sebab telah ada lembaga yang membuka diri untuk itu,

yaitu Yayasan Paramadina di Jakarta.33

Melihat kondisi di atas, terutama dikalangan para artis perkawinan antar

pemeluk agama dianggap tidak bermasalah,karena itu perlu ada fatwa ulama

yang meyakinkan mereka, sehingga mereka mengerti bahwa perkawinan

antar agama banyak mudharatnya dari manfaatnya.

Pada dasarnya pasangan-pasangan tersebut, mencoba mencari jalan

terbaik untuk menganut suatu agama ketika akan membentuk rumah tangga

mereka. Namun meninggalkan agama yang telah sejak lahir diyakini dan

memeluk agama baru bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilaksanakan.

Banyak pasangan yang telah melaksanakan perkawinan antar agama tetap

menjalankan perintah agamanya masing-masing secara tertib dan tekun tanpa

terpengaruh oleh agama pasangannya. Kehidupan rumah tangga mereka

terlihat bahagia dan rukun-rukun saja. Mereka bukanlah orang-orang yang

tidak mengerti ajaran agama.34

Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan antar pemeluk agama,

ada golongan yang membolehkan dan ada golongan yang mengharamkan

perkawinan jenis ini. Hal ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang

menjelaskan perkawinan antar agama itu sendiri masih memerlukan

pemahaman yang mendalam. Artinya, dalil yang berkenaan dengan

perkawinan antar agama tidak memberikan kepastian hukum, sehingga

memerlukan ijtihad dalam hukum kebolehan dan keharamannya.

33
Yusuf Badri, Nikah Beda Agama (Bandung: Persis Press, 2009), 68.
34
Asmin, Status Perkawinan…, 81.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


17

Sebagian ulama yang tidak membolehkan perkawinan antar agama

berlandaskan pada surat al-Baqarah ayat 221, sementara ulama lain yang

berpendirian bahwa mengawini perempuan Ahli Kitab itu halal hukumnya,

tetapi siyasat tidak menghendakinya. Pandangan ini berlandaskan pada

pendapat umar bin Khattab yang pernah berkata kepada para sahabat yang

telah mengawini perempuan Ahli Kitab untuk menceraikannya.35

Pada zaman sekarang, kebebasan beragama dan berdialog muncul

karena suatu kesadaran baru. Dalam fakta interdependensi antarmanusia,

terdapat kebutuhan untuk belajar dari agama lain, terbuka terhadap agama

lain, dan siap bersama-sama menemukan kebenaran baru dari relasi itu.

Dalam konteks Indonesia, Azyumardi Azra menjelaskan suatu pemikiran

yang menarik.36 Dari sudut pandang Islam, Azra menjelaskan bahwa

Indonesia adalah negara dengan populasi Islam terbesar di dunia tetapi juga

hidup berdampingan dengan pemeluk agama seperti Kristen Protestan,

Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Menurut beberapa perkiraan, total

populasi Indonesia adalah 206 juta orang, dengan 87,21 % orang Muslim,

6,04 % orang Protestan, 3,58% orang Katolik, 1,83 % orang Hindu, dan 0, 31

% orang dari agama lain dan kelompok-kelompok keyakinan.37

35
K. H. Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Perkawinan (Jakarta: Pustaka Firdaus.
2003), 289.
36
Pemaparan Azra diambil dari Azyumardi Azra, “An Islamic Perspective of Religious
Pluralism in Indonesia: The Impact of Democracy on Conflict Resolution,” in Religious Pluralism
in Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe, and the United
States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan, Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung
(KAS), 2010, 225-240.
37
Ibid., 228.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


18

Oleh karena itu, terlepas dari berbagai silang pendapat di atas, maka

penulis sangat tertarik untuk mengkaji pernikahan beda dalam perspektif fiqh

lintas agama dalam bentuk karya ilmiah tesis.

B. Fokus Kajian

1. Bagaimana konsepsi pernikahan beda agama dalam perspektif legislasi

hukum Islam di Indonesia dan paradigma fiqh lintas agama di Indonesia ?

2. Bagaimana kontekstualisasi dan dinamika pernikahan beda agama dalam

membangun paradigma baru fiqh inklusif pluralis di Indonesia?

C. Tujuan Kajian

1. Mendeskripsikan konsepsi pernikahan beda agama dalam perspektif

legislasi hukum Islam di Indonesia dan paradigma fiqh lintas agama di

Indonesia.

2. Mendeskripsikan kontekstualisasi dan dinamika pernikahan beda agama

dalam membangun paradigma baru fiqh inklusif pluralis di Indonesia?

D. Metode Kajian

Adapun penelitian yang diterapkan di sini adalah jenis penelitian

kepustakaan (library research), yakni penelitian yang fokus penelitiannya

menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam material

yang terdapat diruang perpustakaan seperti buku-buku, majalah, naskah-

naskah, catatan, kisah, sejarah, dokumen-dokumen dan lain-lain.

1. Metode Pengumpulan Data

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


19

Karena penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library

research), maka dalam pengumpulan data penulis akan menggunakan

berbagai sumber yang terbagi dalam dua bagian :

a. Sumber data primer, adalah yang langsung diperoleh dari usmber data

pertama kali dilokasi penelitian atau objek penelitian.38 Yaitu data

yang terdapat dalam tafsir yang akan penulis gunakan untuk melihat

variasi perbedaan penafsiran masing-masing mufasir berikut sebab-

sebab perbedaan penafsiran dan implikasi adanya perbedaan tersebut.

b. Sumber data sekunder, adalah data yang diperoleh dari sumber kedua

atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan. Yaitu penulis

berusaha mengumpulkan tulisan dan data-data yang terkait dengan

tema pokok pembahasan yang dimaksud.39

2. Metode Pengolahan Data

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode

deskriptif-analisis, yaitu model penelitian yang berupaya

mendeskriptifkan kondisi-kondisi yang ada.

3. Metode Penarikan Kesimpulan

Metode kesimpulan yang akan digunakan dalam kajian ini adalah :

a. Induksi, yaitu metode pemahaman yang berpijak dari penjelasan

khusus yang kemudian diformulasikan dalam suatu kesimpulan

konspsial yang bersifat umum dalam rangka memperoleh gambaran

utuh tentang tema yang dibahas.


38
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi, & Kebijakan
Publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya. (Jakarta: Prenada Media, 2005), 22.
39
Ibid.,23

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


20

b. Deduksi, yaitu metode pemahaman yang berpijak pada konsep

umum untuk memperoleh gambaran holistik dari pemaparan tema.40

E. Manfaat Kajian

Secara garis besar, penelitian ini nanti diharapkan dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu :

1. Bagi peneliti, penelitian yang akan dilakukan ini akan memberikan

pemahaman yang utuh tentang konsepsi dan diskursus keilmuan tentang

pernikahan beda agama ditinjau dari berbagai perspektif kajian sehingga

peneliti dapat mengambil manfaat dibalik perkembangan diskursus dan

dinamika pandangan para ulama tersebut yang dapat dijadikan bekal ilmu

bagi peneliti dan terus memacu peneiti untuk mengkaji dan mendalaminya.

2. Bagi akademik, penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan mampu

memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan bagi akademisi

mengenai perkawinan beda agama dalam perspektif fiqh lintas agama,

sehingga akan menjadi pijakan dalam pengembangan penelitian-penelitian

lebih lanjut.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan pandangan dan pemikiran

bahwa untuk melihat fenomena pernikahan beda agama adalah persoalan

yang kompleks, tidak hanya sekedar memahami teks normatifitas agama,

namun bagaimana pemahaman terhadap teks agama mampu berdialog dengan

realitas dan dinamika masyarakat, sehingga dapat menemukan akar problem

dan alternatif solutif yang mendorong pada pemahaman yang utuh dan

40
Ibid.,24

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


21

langkah-langkah arif serta bijaknya menyikapi masalah pernikahan beda

agama.

F. Definisi Istilah

Judul tesis ini tersusun dari beberapa istilah atau kata yang pengertian-

pengertiannya didefinisi secara operasional untuk menjadi pedoman dan

menghindari kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut. Ada lima istilah yang

perlu didefinisikan untuk keperluan operasional dalam penelitian ini, yaitu :

1. Pernikahan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan mmbentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 41

2. Beda Agama

Ajaran dan keyakinan serta keimanan yang berbeda atas ajaran agama

yang dianut seseorang

3. Perspektif

Sudut pandang seseorang atau kelompok mengenai sesuatu.

4. Fiqh

Ilmu yang memepelajari seluk-beluk tentang hukum Islam.42

5. Lintas Agama

Keberagaman dan melingkupi seluruh agama-agama yang ada di

Indonesia

41
Undang-undang No. 01 Tahun 1974 Pasal 1.
42
Elha santoso. Kamus Praktis Modern Bahasa Indonesia. (Surabaya : Pustaka Dua, tt), 139

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


22

Dari definisi istilah diatas maka ditegaskan dengan judul ”Pernikahan

beda agama di indonesia dalam perspektif fiqh lintas agama” adalah suatu

penyelidikan tentang pandangan fiqh lintas agama terhadap praktek

pernikahan beda agamayang ada di Indonesia.

G. Sistematika penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penelitian ini, maka perlu

dipaparkan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab Pertama, adalah pendahuluan yang didalamnya memuat tentang latar

belakang, pokok dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi

istilah, penelitian terdahulu, pendekatan dan metode penelitian, serta sistematika

penulisan. Langkah tersebut dilakukan guna untuk pijakan awal dalam melakukan

penelitian yang akan berimplikasi terhadap tahapan penelitian selanjutnya.

Bab Kedua, membahas tinjauan umum perkawinan, konsepsi perkawinan

beda agama dalam perspektif peraturan perundang-undangan dan perspektif

ajaran Islam, dinamika peraturan dan ajaran islam tentang fenomena pernikahan

beda agama dan implikasinya terhadap pluralitas sosial keagamaan masyarakat.

Bab Ketiga, membahas pernikahan beda agama dalam perspektif fiqh

pluralis. Bab ini memuat diskursus kontekstualiasi konsep perkawinan beda

agama dalam perspektif fiqh pluralis sebagai alternatif

Bab Keempat, membahas prospek pernikahan beda agama dalam

perspektif fiqh pluralis dalam konteks legislasi hukum Islam di Indonesia.

Bab Kelima, penutup. Semua hasil dari penelitian akan dipaparkan dalam

bab ini. Bab ini merupakan bab terakhir, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran peneliti, ada beberapa penelitian yang

memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Kemiripan

tersebut bukan berarti menghilangkan keunikan dari penelitian ini, akan tetepi

lebih pada penguatan kajian yang akan dilakukan. Seluruh penelitian yang

ada, tidak satupun yang memiliki kesamaan fokus dengan penelitian ini.

Adapun penelitian terdahulu yang ditemukan adalah sebagaimana di bawah

ini:

a. Penelitian yang dilakukan oleh Zahidul Islam dengan judul “Interfaith

Marriage In Islam and Present Situation”. Penelitian ini dibuat dalam jurnal

Global Journal of Politics and Law Research Vol.2, No.1, pp. 36-47, March

2014.

Penelitian ini menyanggkut tentang beberapa kasus yang terjadi di

negara Malaysia. Dalam penelitian ini dikemukan bahwa pernikahan antar

agama di Malaysia hanya terjadi di beberapa tempat. Beberapa tempat yang

memperbolehkan perkawainan antar agama ini sebenranya juga memakai

prinsip istimbath hukum sesuai dengan atuaran syara’. Pernikahan antar

agama di daerah tersebut didasarkan pada prinsip siayasah sayri’ah. Pada

23
digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id
24

sisi ini, prisip yang dipakai adalah menjauh mafsadah didahulukan dari pada

masalahahnya, yakni (‫)درء المفاسد مق ّدم على جلب المصالح‬

b. Tesis Jon Kamil “Perkawinan Antar Pemeluk Agama Perspektif Fiqih Ibnu

Taymiyah” Program Studi: Hukum Islam / Konsentrasi Fiqih Program Pasca

Sarjana (PPS) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA)

Riau, 2011.

Menurut Kamil, para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan

antar agama, sebahagian ulama tidak membolehkan dan sebahagian yang

lain membolehkan. Ibnu Taymiyah adalah salah seorang ulama yang

membolehkan perkawinan antar agama khususnya dengan wanita Ahli

Kitab. Sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam,

bagaimana pendapat Ibnu Taymiyah tentang perkawinan antar agama? Dan

bagaimana relevansinya dengan kondisi saat ini?.

Penelitian Kamil tersebut adalah kepustakaan (Library research).

Data primer yaitu Majmu Fatawa Syaikh al-Islam IbnuTaymiyah.

Sedangkan metodologi yang digunakan adalah rekonstruksi biografi dan

content analysis.

Kamil menyimpulkan bahwa dalam perkawinan Antar pemeluk

agama menurut Ibnu Taymiyah, yakni: Perempuan muslim tidak boleh

menikah laki-laki nonmuslim. Laki-laki muslim tidak boleh menikah

dengan wanita non mulslim kecuali dengan wanita yang berasal dari Ahli

Kitab (dari kalangan ahlu zimmah) dengan alasan bahwa Ahli kitab tidak

termasuk musyrik, sebab sesungguhnya agama Ahli kitab tidak ada ajaran

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


25

tentang syirik, karena Allah SWT., mengutus para Nabi dengan ajaran

tauhid,dan mereka telah membuat kesyirikan yang tidak diperintahkan Allah

Swt., maka harus dibedakan sebagai orang musyrik. Dan menurut Ibnu

Taymiyah kebolehan mengawini wanita kitabiyah dengan alasan bahwa

Surah al- Baqarah :221 dinaskh oleh Surah al-Maidah : 5.

Dalam konteks Indonesia, Kamil kurang setuju dengan pendapat

Ibnu Taymiyah tentang kebolehan menikah dengan wanita Ahli Kitab.

Sebab perkawinan antar pemeluk agama khususnya laki-laki muslim dengan

wanita Kristen, merupakan salah satu upaya pengkristenan umat Islam dan

banyak mafsadat serta mudharat-nya dari maslahat-nya bagi kedua belah

pihak dan keturunannya.43

Penelitian Kamil dalam hal ini lebih menitikberatkan kepada

pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang pernikahan beda agama.

Selain itu, Kamil juga memfokuskan kajiannya kepada ahlul kitab.

Sementara itu, Peneliti sendiri memiliki kajian pendekatan yang berbeda

dengan Kamil, yaitu pernikhan beda agama dalam perspektif fiqh lintas

agama. Tentu hal tersebut menjadi barang baru dan pembeda antara Tesis si

Kamil dengan Tesis peneliti dalam Tesis ini.

c. Tesis Liza Suci Amalia “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam”

Program Studi Magister Kenotariatan Program Paskasarjana Universitas

Diponegoro, 2003 Semarang.

43
Jon Kamil “Perkawinan Antar Pemeluk Agama Perspektif Fiqih Ibnu Taymiyah” Program
Studi: Hukum Islam / Konsentrasi Fiqih Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) Riau, 2011.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


26

Tesis Amalia memiliki fokus penelitian mengkaji konsep hukum

Islam terhadap perkawinan beda agama dan konsep perkawinan beda agama

dalam hukum positif di Indonesia. Amalia menyimpulkan bahwa Hukum

Islam melarang praktek perkawinan beda agama di Indonesia. Meskipun

ulama’ madzhab yang selama ini menjadi rujukan oleh ulama’ di Indonesia

memperbolehkan perkawinan beda agama dalam hal laki-laki yang

menikahi perempuan ahli kitab. Namun, dengan adanya KHI, maka jelaslah

bahwa pernikahan beda agama di Indonesia terlarang di Indonesia.

Kemudian, dari sisi perundang-undangan Amalia menyimpulkan bahwa

UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak mengatur secara

eksplisit tentang Perkawinan Beda Agama di Indonesia.

Tesis Amalia mencoba mendeskripsikan perkawinan beda agama

dalam dua perspektif, yaitu hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

Dengan pendekatan hukum Islam yang dipakai oleh Amalia dalam

menganalisis konsep pernikahan beda agama terlalu umum. Padahal, hukum

Islam sendiri (fiqh) adalah nisbi dan memiliki banyak paradigm/ pendekatan

dan coraknya. Tentu, Fiqh lintas agama tidak terpakai dalam penelitian

Tesis yang dilakukan oleh Amalia.

d. Tesis yang ditulis oleh Hendra tahun 2013, mahasiswa Pascasarjana IAIN

Imam Bonjol Padang menulis Tesis dengan judul “Kehidupan Perkawinan

Keluarga Beda Agama Dalam Perspektif Maqashid as-Asyari’ah (Studi

Kasus di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Provinsi Sumatera Barat

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


27

dan Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera

Selatan)’.

Penelitian yang dilakukan oleh saudara Hendra ini mengungkapkan

bagaimana kehidupan keluarga beda agama di dua kecamatan dari dua

provinsi seperti yang tersebut dalam judul diatas, bagaimana pula usaha

keluarga tersebut mewujudkan tujuan pernikahan yang bahagia yaitu

membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, lalu dilihat

dari fakta yang terjadi bagaimana pula bila ditinjau dari perspektif Maqashid

as-Syari’ah. Setelah dipaparkan uraian-urainnya, akhirnya penulis tesis ini

menyimpulkan bahwa kehidupan perkawinan keluarga beda agama

bertentangan dengan Maqashid as-Syari’ah malah berdampak buruk bagi

kehidupan perkawinan itu sendiri, meskipun ada usaha untuk menciptakan

keluarga yang bahagia namun tidak sesuai dengan cita-cita Maqshid as-

Syari’ah karena tidak sesuai dengan tujuan syari’at perkawinan, yaitu

Muhafazhah ad-Din (menjaga agama) dan Muhafazhah an-Nasl (menjaga

keturunan).44

e. Tesis yang ditulis oleh Zakiyah Alatas tahun 2007 mahasiswa Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro ini menulis tesis dengan judul

“Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kabupaten

Semarang”.

44
Hendra, Tesis : Kehidupan Perkawinan Keluarga Beda Agama Dalam Perspektif Maqashid
as-Asyari’ah (Studi Kasus di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Provinsi Sumatera Barat dan
Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan) PPs IAIN Imam
Bonjol Padang, 2013

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


28

Penelitian yang dilakukan oleh saudara Zakiyah Alatas ini untuk

mengetahui apakah perkawinan beda agama sah ditinjau dari UU No. 1

Tahun 1974, bagaimana prosedur perkawinan beda agama di Kabupaten

Semarang dan upaya hukum yang bisa dilakukan oleh calon pasangan

perkawinan beda agama, apabila kantor catatan sipil menolak mencatatnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Gereja memberikan

dispensasi dalam hal pemberkatan perkawinan bagi pasangan beda agama,

pemberian dispensasi tersebut merupakan pengecualian aturan-aturan yang

telah ditentukan oleh hukum agama Kristen yang bersumber dari Injil,

dengan adanya dispensasi perkawinan beda agama antara orang yang

beragama Kristen dengan orang yang beragama Islam maka Gereja

mengeluarkan Surat Pemberkatan Perkawinan maka perkawinan tersebut

dinyatakan sah. 2). Pelaksanaan perkawinan beda agama di Kabupaten

Semarang, dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke

Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang, untuk melangsungkan pernikahan

beda agama dan pencatatannya, mengenai proses perijinan dan pencatatan

perkawinan beda agama, disertai dengan penetapan pengadilan mengenai

dapat dilangsungkan-nya perkawinan beda agama. 3). Upaya hukum yang

bisa dilakukan oleh pasangan perkawinan beda agama yang akan

melangsungkan perkawinannya, yang mendapatkan penolakan dari Kantor

Kependudukan Dan Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan beda

agama, yaitu dengan mengajukan permohonan di Pengadilan, untuk

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


29

diberikan ijin melangsungkan perkawinan beda agama dan perkawinan

tersebut bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

f. Penelitian Bruce A. Phillips dengan judul, “The Religiously Inefficient

Family Revisited: The Case of Interfaith Marriage among American Jews”.

Penelitian ini dimuat dalam jurnal the Association for the Study of Religion,

Economics, and Culture Washington DC April 14 2013.

Penelitian ini terbilang sangat radikal. Penelitian ini mengkaji

tentan bagaimana keimanan menjadi basis kesejahteran keluaragan. Yang

radikal adalah pada sisi menghubungkan kepercayaan pada pendapatan

keluarga. Penelitan ini mencari relasai prinsip kesatuan iman kepada

pendapatan kesajahteran khususnya dalam ekonomi keluarga.

Pada kesimpulan penelitian ini dikemukan bahwa ada perbedaan

peran anatara jawaban masyarakat tentanga peran kesamaan keyakinan.

Pada masayarakat dengan pendapatan kurang $50K, tidak begitu signifikan

perannya. Namun pada $50K hingga $100K perannya signifikan sekali.

Dengan demkian, dalam penelitian ini disimpulakan bahwa semakin tinggi

pendapatan keluarga akan semakin percaya bahwa keserasian keyakinaan

agama dalam pernikahan sangat penting.

g. Tesis M Syamsul Ma’arif, “Legalitas Perkawinan Beda Agama Dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Perkawinan”. Magister Al-Ahwal

Al-Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

2015.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


30

Penelitian tersebut memutuskan memakai jenis penelitian hukum

normatif, dengan menggunakan statute approach dan case approach. Hal

ini bertujuan untuk mempelajari lebih jauh terkait dengan pengaturan

perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006. Selain itu, penelitian ini juga

menganalisis beberapa kasus perkawinan beda agama yang telah terjadi.

Konklusi yang dimuat dalam penelitian ini menyatakan bahwa

polemik dan kontroversi perkawinan beda agama di Indonesia hingga saat

ini disebabkan masih adanya ketidakpastian hukum yang mengaturnya. Hal

ini menuntut adanya penyempurnaan terhadap peraturan atau perundang-

undangan terkait itu. Jika dilakukan dalam penelitian ini dikemukan bahwa

akan melahirkan kepastian hukum dan terciptanya keadilan dalam

masyarakat.

h. Tesis Nahrowi dengan judul, “Sinkronisasi Hukum Perkawinan Beda

Agama di Indonesia”. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

Pascasarjana Juli 2018.

Penelitian ini memiliki orientasi mencari dan mengkritisi

kesesuaian antarhukum (sinkronisasi) dan mengungkap akibat hukum.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian kepustakaan,

tentunya dilakukan melalui pendekatan hukum normatif. Dilakukan

demikian sebab sasarannya adalah peraturan perundang-undangan di

Indonesia yang masih ada kaitannya dengan perkawinan beda agama.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


31

Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, dapat dijelaskan

bahwa Pertama, Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan, dalam hal perkawinan beda agama terjadi keserasian.

Sikronisasinya adalah terhubung secara horizontal. Namun, jika dilaihat

secara vertikal cenderung antar peraturan saling terjadi kesesuaian (tidak

serasi).

Kedua, konsekuensi hukum perkawinan beda agama atas dasar

penetapan pengadilan antara lain: sahnya perkawinan beda agama yang

dicatatkan atas dasar penetapan pengadilan yang tercatat secara

administratif. Namun tentunya dianggap cacat secara hukum karena tidak

sesui dengan asas substansi perkawinan.

i. Tesis Kumsun Srusamai dengan judul, Peran Majelis Agama Islam Dalam

Pernikahan Beda Agama di Bangkok Thailand. Magister Al-Ahwal Al-

Syakhsiyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,

2016.

Penelitian tersebut merupakan field research. Artinya, semua

informasi didapatkan didasarakan pada pengalaman empiris. Hal demikian

dijelaskan bertujuan untuk lebih menekankan pada data lapangan sebagai

sasaran yang diteliti. Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan

pernikahan beda agama dan peran MAI.

Kesimpulan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa

pelaksanaan pernikahan beda agama di Thailand, diklasifikan menjadi dua.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


32

Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab dan

kedua, perempuan muslimah dengan laki-laki ahlul kitab. Sedangkan

pendapat dan peran MAI dalam konteks ini yaitu pelaksanaan pernikahan

laki-laki muslim perempuan ahlul kitab dapat diizinkan dan MAI bisa

menjadi wali hakim langsung serta juga mengurusi terkait perizinan dan

administrasinya.

Untuk memperjelas perbedaan dan persamaam penelitian-penelitian

terdahulu dengan penelitian, penulis berupaya menysun tabel sebagaimana di

bawah ini,

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Fokus Penelitian


Perbedaan Persamaan
1 Zahidul Interfaith Penelitian ini Penelitian ini juga
Islam Marriage In dilakukan di membahas tentang
Islam and Malasia. Penelitian pernikahan beda
Present Situation ini juga merupakan agama dalam Islam.
penelitian kualitatif
2 Jon Kamil Perkawinan Pada tesis jon kamil Sama-sama
Antar Pemeluk ini terfokus hanya membahas tentang
Agama pada sudut pandang perkawinan beda
Perspektif Fiqih Ibnu Taimiyah agama
Ibnu Taymiyah
3 Liza Suci Perkawinan Beda Pada tesis Liza Suci Sama-sama
Amalia Agama Menurut amalia ini membahas tentang
Hukum Islam menitikberatkan perkawinan beda
terhadap bagaimana agama
hukum islam
mengatur
ummatnya dalam
pelaksanaan
perkawinan beda
agama.
4 Hendra Kehidupan Penelitian ini Sama-sama

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


33

Perkawinan berjenis penilitian membahas tentang


Keluarga Beda kualitatif. Tentu perkawinan beda
Agama Dalam fokus kajiannya agama
Perspektif juga berbedasa
Maqashid as- karena menyoroti
Asyari’ah (Studi hal-hal yang
Kasus di empiris yang terjadi
Kecamatan Koto
Tangah Kota
Padang Provinsi
Sumatera Barat
dan Kecamatan
Sungai Lilin
Kabupaten Musi
Banyuasin
Provinsi
Sumatera
Selatan).
5 Zakiyah Pelaksanaan Penelitian ini juga Penelitian juga
Alatas Perkawinan Beda berjenis kualitatif menyoroti
Agama Setelah fenomenologi. pekawinan beda
Berlakunya Fokusnya adalah agama.
Undang-Undang peda fonomena
Nomor 1 Tahun yang terjadi pasca
1974 tentang berlakunya
Perkawinan di Undang-Undang
Kabupaten Nomor 1 Tahun
Semarang 1974 tentang
Perkawinan di
Kabupaten
Semarang
6 Bruce A. The Religiously Penelitian ini Penelitian ini juga
Phillips Inefficient berjenis penelitian tentang perkawinan
Family kuantitafi. beda keyakinan
Revisited: The penelitian ini
Case of Interfaith menyoroti tentang
Marriage among pengaruh efisiensi
American Jews perkawinan beda
kayakinan agama.
selain itu,
penelitian ini juga
terfokus pada
keimaman Yahudi.
7 M Syamsul Legalitas Penelitian ini hanya Penelitian ini
Ma’arif Perkawinan Beda menyoroti konsepsi merupakan
Agama Dalam perkawainan beda penelitian

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


34

Undang-Undang agama dalam kepustakaan yang


Nomor 1 Tahun hukum positif. menyoroti
1974 Tentang Tidak mengkaji perbedaan antar
Perkawinan dan tentang persepktif agama.
Undang-Undang fiqh.
Nomor 23 Tahun
2006 Tentang
Perkawinan

Melihat penelitian terdahulu, memang penelitian dengan judul ”

Pernikahan beda agama di indonesia dalam perspektif fiqh lintas agama”

belum ada yang menggunakan bahasa tersebut, walaupun pada dasarnya beda

agamar sepadan dengan lintas agama dan pada penelitian terdahulu banyak

digunakan katabeda agama, namun yang sangat membedakan dengan

penelitian terdahulu dan yang menunjukkan orisinalitas dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Pada penelitian ini adalah menginginkan adanya sudut pandang keilmuan

yang baru terhadap praktek pernikahan beda agama.

b. Pada penelitian terdahulu yang khusus dengan menggunakan penelitian

berbasis kualitatif masih belum ditemukan. Sepanjang penelusaran,

hanya peneltian Syamsul Ma`arif saja.

B. Kajian Teori

1. Tinjauan Konsep Perkawinan Antar Agama

a. Kontruksi Perkawinan

Untuk menemukan kontrusksi tentang hal yang demikian ini, sub

kontruksi dari yang menyusunnya. Pada sisi ada sub bahasan yang akan

dibahas. Pertama, terma perkawinan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

tidak memuat suatu ketentuan arti atau definisi tentang perkawinan, namun

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


35

pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, dalam pasal tersebut dikatakan bahwa undang-undang

memandang perkawinan hanya dari sudut perhubungannya dengan hukum

perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Dengan kata lain, bahwa Kitab

Undang-undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi nilai-nilai

perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat

masyarakat atau agama dan kepercayaan dari orang-orang yang

bersangkutan.45

Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP),

yang mana pengertian perkawinan menurut Pasal 1 adalah sebagai berikut:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa”.

Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 UUP dengan

pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 26 KUHPer, kalau

pengertian perkawinan di dalam KUHPer perkawinan merupakan ikatan

lahiriah namun tidak memperhatikan urusan batiniah, sedangkan UUP,

perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri, maksud dari ikatan lahir batin ialah bahwa ikatan

tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus

45
Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: CV. Gramada, 1992), 16.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


36

terwujud pula ikatan batin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi

satu kesatuan.

Ikatan batin merupakan dasar atau fondasi yang sifatnya tidak nyata,

hanya dapat dirasakan oleh pasangan suami isteri bahwa dalam batin

keduanya terkandung niat yang sungguh-sungguh dengan saling mencintai

dan saling menghargai untuk membentuk dan membina hubungan rumah

tangga yang bahagia, sedangkan ikatan lahir merupakan ikatan yang sifatnya

nyata, baik bagi pasangan suami isteri yang mengikatkan dirinya sebagai

suami isteri, maupun bagi pihak ketiga serta menimbulkan adanya hubungan

hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami

isteri.

Definisi perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dapat

dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan pada masing-masing pihak

telah terkandung maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan

memenuhi hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang telah ditetapkan oleh

negara, untuk mencapai keluarga bahagia.46

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan

seorang wanita sehingga tidak dimungkinkan terjadinya hubungan

perkawinan antara pasangan yang sama jenis kelaminnya. Persekutuan atau

ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita bisa dipandang sebagai

suami-isteri manakala ikatan mereka tersebut didasarkan pada perkawinan

46
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, (Bandung: Pionir
Jaya, 2000), 11.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


37

yang sah. Sebuah perkawinan dapat dikatan sah apabila dipenuhinya syarat-

syarat tertentu sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Hal ini sesuai dengan pengertian perkawinan menurut R. Wirjono

Projodikoro, di mana perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.47 Sementara

itu, Asyari Abdul Ghofar menyatakan bahwa, perkawinan itu merupakan

peristiwa penting yang mengakibatkan keluarnya warga lama di satu pihak

dan lain pihak berarti masuknya warga baru dan serta merta mempunyai

tanggung jawab penuh terhadap masyarakat persekutuannya.48

Kedua, Syarat perkawinan. Bagi pasangan yang hendak melangsungkan

perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu

perkawinan. Ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang

sebagai suami isteri, mana kala ikatan tersebut didasarkan pada adanya

perkawinan yang sah, untuk sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-

syarat tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Supaya perkawinan dapat dilangsungkan, maka calon mempelai harus

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat

perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.

47
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1984),
7.
48
Ghofar, Hukum Perkawinan..., 20.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


38

Menurut Ko Tjay Sing, syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam

Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat dikelompokkan sebagai berikut :49

a. Syarat-syarat Materiil

Adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak kawin dan ijin-ijin

yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh

undang-undang. Syarat-syarat materiil ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1) Syarat materiil mutlak

Syarat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan

perkawinan yang terdiri dari:

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami-

isteri (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan)

b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan

ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan)

c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan)

d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu

(Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan), yaitu :

(1)Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu

ditetapkan 130 hari.

49
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, (Semarang: Iktikad Baik, 1981),
134-135.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


39

(2)Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci

dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak

(3)berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

(4)Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan

hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

(5)Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan

antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.

2) Syarat materiil relatif

Syarat materiil relatif, adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak

dikawini, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak

diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang.

Dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat materiil relatif,50

syarat-syarat tersebut adalah:51

a) Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang :

(1)Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas.

(2)Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara

saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara

seseorang dengan saudara neneknya.

(3)Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu-bapak

tiri.
50
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata..., 102.
51
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Diponegoro
Semarang, 1996), 18.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


40

(4)Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi susuan.

(5)Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami beristeri

lebih dari 1 (satu) orang.

(6)Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku sekarang (Pasal 8 Undang- Undang Perkawinan).

b) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak

dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan

Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-Undang

Perkawinan).

c) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang

lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak

boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing

agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan

lain (Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan).

b. Syarat-syarat Formal

Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang mendahului

perkawinan.52 Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu :

1) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.

2) Penelitian syarat-syarat perkawinan Penelitian syarat-syarat

perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat

perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah

52
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata..., 114.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


41

terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut

undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti

mengenai:

3) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan

perkawinan.

Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan

terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditanda

tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang

akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan di mana

perkawinan itu akan dilangsungkan.53

Maksud dari persetujuan seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (1)

adalah persetujuan dari kedua belah pihak calon pasangan suami isteri untuk

melangsungkan perkawinan yang diberikan dalam keadaan bebas yaitu

dengan tidak adanya paksaan, penipuan maupun kekhilafan, persetujuan

tersebut menjadi landasan untuk membina hubungan suatu rumah tangga.

Bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan akan tetapi belum

memenuhi umur yang telah ditentukan, mereka harus mendapatkan ijin dari

kedua orang tua masing-masing calon suami isteri hal ini dikarenakan

perkawinan bukan semata-mata hubungan antara calon suami istreri saja

tetapi juga mempunyai hubungan antar keluarga.

53
Shaleh, Hukum Perkawinan..., 19.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


42

Ketiga, tujuan perkawinan adalah sesuatu yang sakral, perkawinan

adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan

agama, sering dianggap bahwa perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan

sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk

menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam

konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Bila

dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, maka

hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling

mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka. Karena itulah, tujuan

perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.

Keempat, Asas perkawinan dalam Undang-undang perkawinan. Dalam

kaitannya dengan perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi dasar

atau prinsip dari pelaksanaan perkawinan. Mengenai prinsip atau dasar

perkawinan tersebut telah ada pengaturannya di dalam UUP. Seperti yang

dikemukakan oleh Djaren Saragih bahwa dalam UUP ditentukan prinsip-prinsip

perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman

yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan umum dari UUP.54

Suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa didasari oleh agama atau

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dipandang sebagi

perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Bagi pasangan yang tetap hidup bersama seatap dengan tidak didasari oleh

perkawinan yang sah maka tak ubahnya pasangan tersebut sebagai pasangan

54
Djaren Saragih, Himpunan Peraturan-Peraturan Dan Perundang-Undangan Di Bidang
Perkawinan Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1980), 137-138.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


43

kumpul kebo yang tidak mempunyai perlindungan hukum baik bagi mereka

ataupun bagi anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak sah

tersebut.

b. Konsepsi Perkawinan Beda Agama

Masalah perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari

mereka yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan

masalah yang berkaitan dengan keagamaan yang erat sekali hubungannya

dengan kerohanian seseorang. Sebagai masalah keagamaan, karena setiap

agama mempunyai aturan sendiri-sendiri tentang perkawinan, maka pada

prinsipnya perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari ajaran

agama yang dianut.

Selain itu, di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena

perkawinan ini juga menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan

dapat dianggap juga sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya,

dimanapun juga pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan-

peraturan hukum adalah di bidang hukum perkawinan.55

Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini,

pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan

masyarakat yang lingkupnya kecil dan sempit, seperti pembatasan golongan,

suku, ras dan agama. Namun hubungan antar manusia telah berkembang begitu

pesatnya, sehingga menembus dinding-dinding yang sebelumnya menjadi

pemisah bagi kelangsungan hubungan mereka. Adakalanya apa yang terjadi di

55
Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978), 18.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


44

lingkungan masyarakat belum sepenuhnya diatur secara tegas oleh perangkat

peraturan-peraturan yang sudah ada, dalam kaitannya dengan masalah

perkawinan dapat diambil sebagai contoh masalah perkawinan beda agama.

Permasalahan yang timbul dari perkawinan beda agama ini adalah

belum diatur secara tegas mengenai dapat atau tidaknya perkawinan beda

agama dilaksanakan. Hal ini akan menimbulkan keragu-raguan bagi pasangan

yang akan melaksanakan perkawinan beda agama, keragua-raguan ini timbul

karena belum adanya kepastian hukum bagi pasangan yang akan melaksanakan

penikahan beda agama.

Semakin luas dan terbukanya hubungan antar manusia tersebut

mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, salah satu

dampak tersebut dapat kita lihat dalam masalah perkawinan, di mana terhadap

masalah perkawinan sering terjadi perkawinan beda agama. Perkawinan beda

agama di Indonesia dalam kenyataanya sudah sering terjadi, terutama pada

masyarakat perkotaan yang heterogen, dan ternyata perkawinan beda agama

sejak dahulu hingga sekarang masih menimbulkan persoalan, baik di bidang

sosial maupun dibidang hukum.

Perkawinan beda agama, adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai isteri, yang

memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Sebagai contoh, perkawinan antara pria yang beragama Islam dengan wanita

yang beragama Kristen atau sebaliknya seorang pria yang beragama Kristen

dengan wanita yang beragama Islam. Masalah perka winan beda agama bukan

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


45

merupakan masalah yang mudah untuk dipecahkan begitu saja, karena

permasalahan agama dan permasalahan perkawinan adalah masalah yang tidak

bisa dipisah-pisahkan begitu saja. Hal ini dikarenakan pesoalan perkawinan

telah diatur hukumnya oleh masing-masing agama, setiap agama mempunyai

aturan yang berbeda mengenai persoalan perkawinan.

c. Perkawinan beda agama dalam perspektif undang-undang perkawinan

Di dalam UUP sendiri tidak diatur tentang perkawinan beda agama.

Ketentuan secara tegas dilarang atau tidak dilarangnya perkawinan beda

agama, tidak dapat ditemukan dalam UUP dan Peraturan Pemerintah sebagai

peraturan pelaksananya. Dengan tidak adanya ketegasan perkawinan beda

agama dalam aturan-aturan perkawinan di Indonesia, di mana aturan-aturan

perkawinan masih menyerahkan sepenuhnya persoalan perkawinan kepada

agama, maka parkawinan mutlak dilakukan menurut agamanya masing-

masing.

Tidak adanya perkawinan yang dilangsungkan di luar hukum agama

dan kepercayaannya, maka aturan-aturan perkawinan dari agama berlaku

untuk setiap pelaksanaan perkawinan. Jadi bagi orang Islam tidak ada

kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri,

demikian juga bagi orang Kristen, dan bagi orang Hindu atau Hindu-Budha

seperti yang dijumpai di Indonesia.56

Apabila ditinjau dari Pasal 2 ayat (1) UUP dan Pasal 10 ayat (2)

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada intinya memberi suatu

56
Shaleh, Hukum Perkawinan..., 16.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


46

pengertian bahwa tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu, maka suatu perkawinan mutlak harus

dilakukan menurut agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan dan

apabila tidak demikian maka perkawinan menjadi tidak sah. Tidak adanya

perkawinan yang dilangsungkan diluar hukum agama dan kepercayaannya

maka aturan-aturan perkawinan dari agama berlaku untuk setiap pelaksanaan

perkawinan.

Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan

melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, dan

bagi orang Hindu atau Hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.57

Meskipun perkawinan beda agama telah banyak terjadi di Indonesia, namun

sampai saat ini masalah tersebut masih menjadi perdebatan antara boleh atau

tidaknya dilaksanakan perkawinan beda agama. Undang- Undang Perkawinan

sendiri belum memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, hal ini

dikarenakan belum diaturnya secara tegas mengenai perkawinan beda agama

dalam Undang-Undang Perkawinan, begitu juga dengan Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya.

Departemen Agama, sebagai pusat dalam hal keagamaan belum juga

memberikan jalan keluar menyangkut permasalahan perkawinan beda agama,

karena belum adanya kata sepakat dari para ahli Hukum Islam tentang halal

atau tidaknya perkawinan beda agama tersebut. Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974, menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-

57
Shaleh, Hukum Perkawinan..., 16.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


47

masing pihak untuk menentukan dilarang atau diperbolehkannya perkawinan

beda agama tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f)

Undang-Undang Perkawinan.

Sebelum diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

mengatur tentang perkawinan, sudah ada beberapa peraturan yang mengatur

masalah perkawinan yang berlaku bagi masing-masing golongan dalam

masyarakat. Dengan berpedoman Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974, yaitu :

”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan


perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie
Chiristen Indonesia S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regelling op de gemengde Huwelijke S.1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Maka peraturan-peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum

adanya Undang-undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Timbul suatu

permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan

dengan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, dimana Pasal 57 menegaskan :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang


ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Pemasalahan yang diatur dalam Pasal 57 adalah perkawinan yang para

pihak berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda dalam hal agamanya.

Sedangkan peraturan tentang perkawinan campuran sebelum Undang-Undang

Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


48

1898 No. 158, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa : ” Yang dinamakan

perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia

tunduk pada hukum-hukum yang berlainan.” Dalam Pasal 7 ordonansi

tersebut juga menegaskan bahwa :

Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan itu. Jadi ketentuan tersebut membuka
kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan perkawinan beda
agama.58

Melihat permasalahan tersebut diatas, Wantjik Saleh mengatakan,

yang tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa

peraturan yang telah ada sejauh hal-hal itu telah diatur dalam undang .-

undang yang baru ini. Jadi bukanlah peraturan perundangan itu secara

keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan

undang-undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai.”59 Dengan kata lain,

maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah

menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum

agamanya masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang

bersangkutan.60

Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, begitu juga

dengan perkawinan beda agama. Dalam perkawinan beda agama, syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak tidak berbeda dengan syarat-

58
Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158
59
Shaleh, Hukum Perkawinan..., 13.
60
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar..., 37.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


49

syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan

perkawinan tanpa adanya perbedaan agama dari masing-masing pihak.

Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia masih berpedoman

pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, jo Pasal 10 ayat

(2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sedangkan

peraturan yang lama yaitu Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158

masih terjadi silang pendapat, boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk

pelaksanaan perkawinan beda agama.

d. Dasar Konsepsi Nikah Beda Agama Dalam Islam

Permbahasan ini adalah terkait dengan konsepso nikah antar agama

yang ada dalam Nash Al-Qur’an. Secara tekstual, ada tiga ayat yang secara

khusus membicarakan perkawinan antara orang muslim dengan non-muslim

dalam al-Qur’an, yaitu QS. al-Baqarah (2): 221, al-Mumtahanah (60): 10, dan

al-Mâidah (5): 5.

Pertama, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221:

           

           

            

        


Artinya: Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik
sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik
daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Dan juga
janganlah kamu mengawinkan (perempuanmu) dengan laki-laki musyrik
sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


50

daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka


(kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka)61

Kedua, surat Al-Qur an surat al-Mumtahanah (60): 10

        

          

               

         

            

     


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-
orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami)
mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah
yang ditetapkan Nya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.62
Ketiga, Al-Qur an surat Al-Mâidah ayat 5:

           

          

61
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat 2 Ayat 221
62
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat (60): Ayat 10

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


51

         

            


Artinya: pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan. diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.63

Berdasarkan paparan tiga ayat di atas memiliki makna yang

bertingkat. Ayat pertama melarang kaum (mukhatab / audience / pengikut

Muhammad) mengawini orang musyrik, maupun sebaliknya. Ayat kedua

mengungkapkan larangan perempuan mukmin dikawinkan dengan laki-laki

kafir. Ayat ketiga memperbolehkan (mukhatab / audience / pengikut

Muhammad) mengawini perempuan Ahli Kitab.

Untuk memberikan kajian yang lebih mendalam difokuskan pada ayat

yang disebut pertama, al-Baqarah ayat 221. Tentu dua ayat yang lain akan

tetap dibahas, namun sekadar sebagai penjelas ayat pertama. Yang menjadi

pertimbangan peneliti memilih ayat pertama sebagai acuan utama adalah

karena ayat tersebut merupakan ayat paling kuat yang dijadikan dasar

konstruksi larangan kawin beda agama. Selain itu, ia memuat kompleksitas

masalah yang menarik dijadikan fokus, misalnya dari sisi asbâb an-nuzul

63
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat 60 Ayat

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


52

(latar turunnya ayat). Surat al-Baqarah diturunkan di Madinah, sehingga ia

dikelompokkan kedalam wahyu madaniyyah, penamaan surat al-Baqarah

yang berarti lembu betina, diambil dari legenda yang diuraikan dalam ayat ke

67 sampai 74 tentang perintah Nabi Musa kepada masyarakat untuk

menyembelih sapi (baqarah). Sebagian besar ayat-ayat dalam surat al-

Baqarah diturunkan pada tahun 1-2 H. Surat al-Baqarah secara umum

membicarakan masyarakat Yahudi dan perlawanan mereka terhadap pengikut

Muhammad.64

Apabila diperhatikan dari sub-sub bahasan (tema) dalam sebuah surat

tampak dengan jelas surat al- Baqarah memberikan porsi yang cukup besar

mengenai reaksi terhadap tradisi dan sistem keyakinan Yahudi. Surat al-

Baqarah terdiri dari 286 ayat yang diklasifikasikan menjadi 40 ruku.

Pada ruku kelima mulai membicarakan bangsa Israel yang diberitahu

bagaimana al-Qur an memenuhi ramalan yang terdapat dalam kitab suci

mereka, ruku keenam mendeskripsikan sikap keras kepala orang-orang

Yahudi, dan kemudian disusul dengan tiga ruku lagi yang membicarakan

kemerosotan martabat bangsa Israel, kecenderungan mereka menuju sapi,

serta kebengisan dan pelanggaran mereka terhadap perjanjian. ruku kesebelas

menggambarkan penolakan mereka kepada Nabi Muhammad. ruku kelima

belas memperingatkan bangsa Israel tentang perjanjian mereka dengan Nabi

Ibrahim, yaitu tentang dibangkitkannya seorang Nabi dari keturunan Ismail.

64
Maulana Muhammad Ali, Qur an Suci: Teks Arab, Terjemah Dan Tafsir Bahasa Indonesia,
alih bahasa Bachrun, (Cet. VI; Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1993) 7-8. Lihat juga al-Qur an
dan Tejemahannya Departemen Agama Republik Indonesia diterbitkan oleh (Bandung: Gema
Risalah Press 1993) 7

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


53

Sedang dalam ruku kedua puluh sampai ruku ketiga puluh satu

mengemukakan perbedaan-perbedaan aqidah (teologi) dan syari at antara

Islam dan Yahudi seperti prinsip umum tauhid, ketentuan tentang makanan,

hukum qishas, wasiat, perjanjian perkawinan, perceraian dan masalah janda.

Sementara ayat 221 dinarasikan dalam ruku kedua puluh tujuh didahului

empat ayat yang membahas pertanyaan seputar syari’at secara khusus

membahas larangan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Sebab turun al-

Baqarah ayat 221 menjadi polemik tersendiri di kalangan ahli tafsir al-Qur an

dari generasi ke generasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua periwayatan yang

berbeda mengenai sebab turunnya ayat tersebut, yaitu: Periwayatan pertama,

Diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi dari

Muqatil ia berkata: ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan kasus Abu

Martsad al-Ghanawi atau Martsad bin Abi Martsad yang meminta izin kepada

Nabi SAW untuk mengawini Inaq seorang perempuan musyrik. Lalu

diturunkannya ayat (janganlah kamu mengawini orang-orang musyrik hingga

mereka beriman).65 Sayangnya tidak didapatkan kepastian asbab an nuzul

yang dimaksud disini hanya untuk penggalan ayat tersebut atau untuk satu

ayat penuh. Tetapi bila dilihat polemik berikutnya, kemungkinan besar

kelompok yang memegangi riwayat ini, memaksudkan satu ayat penuh.

Kelompok ini mendeskripsikan lebih lanjut bagaimana hadist yang

diriwayatkan oleh al-Wahidi dan yang lainnya dari jalur Ibnu Abbas r.a

bahwa Rasulullah SAW mendelegasikan seorang laki-laki kaya bernama

65
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al Manâr, Jilid 2 (Bairut: Dâr Al-Fikr, t.t), 247.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


54

Martsad ibn Abi Martsad anggota persekutuan Bani Hasyim ke Mekkah yang

bertugas membantu evakuasi orang-orang muslim secara rahasia. Dahulu

ketika masih jahiliyah (di Mekkah) ia mempunyai seorang kekasih bernama

Anaq. Tapi setelah masuk Islam Martsad meninggalkan kekasihnya tersebut,

pada suatu ketika Anaq mendatangi Martsad dan berkata:

Wahai Martsad mengapa kita berpisah? Martsad menjawab


sesungguhnya Islam telah memisahkan diriku dan dirimu serta
mengharamkan (hubungan) kita, tapi jika engkau masih
menghendakiku untuk mengawinimu maka setelah saya pulang
kehadapan Rasulullah SAW, saya akan mohon izin kemudian
mengawinimu.

Kemudian Anaq berkata: engkau telah mengecewakanku. Lalu Anaq

menjerit dan berdatanglah orang-orang untuk memukul Matsad dengan

pukulan yang keras dan lalu membiarkannya pergi. Setelah menyelesaikan

tugasnya di Mekkah ia menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan

urusannya (semula) dan urusan Anaq Martsad berkata: Ya Rasulullah

halalkah diriku mengawininya. Kemudian turunlah ayat ini.66

Periwayatan Kedua Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur As-Suddi dari

Malik dari Ibnu Abbas dia berkata, ayat diturunkan berkaitan dengan kasus

Abdullah ibn Rawâhah menyesal (atas perlakuannya tersebut) lantas

mendatangi Nabi SAW, ia menceritakan kepada Nabi SAW. Dan berkata:

Sungguh saya akan memerdekakan dan mengawininya. Setelah itu ia

melaksanakan tekadnya itu. Sebagai imbasnya, banyak orang mencerca

66
Ibid., 347-348.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


55

Abdullah ibn Rawâhah karena mengawini budak, kemudian turunlah ayat

tersebut.67

As-Suyuti (w. 911 H) menulis, QS. al-Baqarah ayat 221 memang

memiliki dua asbâb an nuzul seperti di atas. Ia menambahkan bahwa Ibnu

Jarir meriwayatkan dari As-Suddi bahwa riwayat yang kedua di atas adalah

munqati (terputus).68

Sedangkan Al-Wahidi (w. 468 H) sendiri juga menulis demikian

dalam kitab asbâb an nuzul. Hanya saja ia mencantumkan rawi (periwayat)

hadist lebih terperinci matan (redaksi) hadist lebih detail, tapi masih dalam

satu pengertian dengan yang di atas.69

Menurut pendapat Rasyid Ridha, bahwa meskipun zhahir teks ayat

“wala’amatun mu’minatun” hingga ayat “walau a’jabatkum” sepertinya

memang diturunkan dalam peristiwa yang berlainan dengan peristiwa

diturunkannya teks ayat tapi sebenarnya ayat ini diturunkan dalam satu

peristiwa yang sama. Al-Alusi (w. 1310 H) juga berpendapat demikian. Ia

mengulas pendapat As-Suyuti sendiri dalam pendahuluan kitabnya, bahwa

kasus Abdullah bin Rawahah bisa saja hanya contoh penafsiran dari teks ayat.

Yang dikonstrukkan dan popular di kalangan sahabat.70

Disamping itu, penafsiran teks pada surat al-Baqarah ayat 221 yang

ada pada tiga kitab tafsir. Tafsir al-Kâbir Wa al-Mafâtih al-Ghayb karya

67
Ibid
68
As-Suyuti, Lubab An Nuqûl Fi Asbâb An Nuzul (Cet. 2; Riyad: Maktabah Ar Riyad
Alhadistah, t.t), 34-35
69
Al-Wahidi, Asbâb An Nuzul (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-Arabi Li Attab ah, 1338 H / 1968 M)
45-46.
70
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manâr, 347-348.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


56

Imam Muhammad Ar-Râzi (w. 604 H), Mâjanis At Ta wil karya Al-Qâsimi

(w. 1332 H/1914 M), Tafsir Al-Manâr karya Muhammad Rasyid Ridha (w.

1935 M). Secara substansial, dalam ketiga tafsir tersebut walaupun berasal

dari zaman atau masa yang berbeda tidak terdapat perbedaan mendasar atas

penafsiran masalah kawin beda agama.

Dengan dalil-dalil al-Qur'an serta pandangan Islam mengenai makna

al-Musyrik dan makna Ahlu Kitab di atas, para ulama pun menghukumi nikah

beda agama sebagai berikut:

Pertama, Islam melarang peRnikahan muslimah dengan laki-laki kafir

baik yang musyrik maupun Ahlu kitab. Hal itu didasarkan dengan QS. Al-

Baqarah: 221 yang sudah menjadi kesepakatan para ulama tentang batilnya

pernikahan tersebut. Yang demikian sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid

Sabiq,71 Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Ibnu Katsir,72 ash-Shabuni.73

Sehingga wajar bila MUI mengeluarkan fatwa haram.74

Kedua, Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik (selain

ahlu kitab) disandarkan pada QS. Al-Baqarah: 221 serta definisi wanita

musyrik. Berangkat dari dua sandaran tersebut maka dapat diambil hukum

71
Selain dalil yang lain di atas Sayid Sabiq juga menyitir ayat lain QS. Al-Mumtahanah: 10
dengan makna kurang lebih demikian: "...mereka (muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka...” Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh As-
Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1990). 95
72
Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Al-Misbah Al-Munir fie Tahdzibi Tafsier Ibn Katsir.
(Kairo: Al-Maktabah Al-Islamiyah, 2008)1217
73
Muhammad Ali as-Shabuni, tafsier ayat al-ahkaam min al-Qurán. (Beirut: Dar al-Qurán al-
Kariemm, 2004), 406
74
Lihat selengkapnya mengenai fatwa tersebut dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia. (Jakarta: Depag. 2003) 167-169. selain MUI juga sebelumnya telah lama Negara
mengesahkan UU Pernikahan No.1 Tahun 1974 beserta Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
disahkan dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dimana Negara tidak mengakomodir adanya Pernikahan
lintas agama di Indonesia.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


57

bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik tidaklah sah. Hal

tersebut sebagaimana diterangkan as-Syafi'i,75 Imām al-Syīrāzī,76 al-Kasani,77

Ibnu Abdil Bar,78 Ibnu Qudamah,79 . Dalam Ibnu Katsir disebutkan Ibnu

Abbas, Mujahid, Ikrimah, Saíd bin Jubair serta ahli tafsir lainnya juga

berpendapat demikian.80

Ketiga, Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab

disandarkan pada makna ahlu kitab khususnya pada QS. Al-Maidah: 5. dan

adanya an-Nasikh wa al-Mansukh dengan QS. Al-Baqarah: 221.

Sebagaimana pendapat Ibnu Umar ra yang mengharamkan wanita ahlu

kitab.81 Atau pendapat jumhur yang membolehkan dengan syarat.82 Di antara

mereka yang memberikan syarat adalah Ibnu Abbas,83 asy-Syafi'i,84 Abdul

Mutaál al-Jabri,85 Yusuf Qardhawi.86

75
Imām al-Syāfi‘ī, Ahkām al-Qur’ān, kompilasi: Imām Abū Bakar Ahmad ibn al-Husayn ibn
‘Alī ibn ‘Abd Allāh ibn Mūsā al-Bayhaqī al-Nīsābūrī (w. 458 H), (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1427 H/2006 M), 125-126.
76
Lihat: Syeikh Imām Abū Ishāq Ibrāhīm ibn ‘Alī ibn Yūsuf al-Fayrūz Abādī al-Syīrāzī, al-
Muhadzdzab fī Fiqh al-Imām al-Syāfi‘ī, (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, ttp.), 2: 44.
77
Lihat Al-Kasani, Badaai' Ash-Shanaai' , Dar al-Kutub al-Araby, II/271
78
Lihat Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, II/543
79
Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Maktabah ar-Riyad al-Haditsah, VI/472
80
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurán al-ázhim. (Kairo: Dar al-Hadits, 2005) 558
81
Selain memasukkan ahlu kitab dalam golongan orang musyrik pendapat Ibnu Umar ini juga
dimungkinkan ada kaitannya dengan pendapat yang menyatakan bahwa QS. Al-Maidah: 5 itu
dimansukh (dibatalkan) oleh QS. Al-Baqarah: 221. Sehingga pendapat itu juga dijadikan sebagai
pijakan syiáh Imamiyah dan sebagian dari zaidiyah yang mana mereka menjadikan ayat yang
khusus dimansukhkan dengan ayat yang umum . Lihat Ibnu Rusyd, Bidayayah al Mujtahid II ..
(Kairo: Dar al-Aqidah, 2004), 52, Lihat juga Lihat Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir ayat al-
ahkaam.... 203
82
Jumhur tidak memasukkan ahlu kitab dalam golongan orang-orang musyrik. Hal tersebut
dibuktikan firman Allah dalam beberapa ayat yang memisahkan antara kata musyrik dan ahli kitab
seperti dalam QS. Al-Baqarah: 105 dan QS. Al-Bayyinah: 1 & 6. dalam ayat-ayat pemisah antara
dua kata tersebut adalah huruf athf memiliki konsekwensi sesuatu yang berbeda. Lihat Muhammad
Ali as-Shabuni, Tafsir ayat al-ahkaam...204. Lihat juga Jamil Muhammad Ibn Mubarak,
Nazhariyatu ad-Dhorurah as-Syar’iyah. (tt: Dar al-Wafa’,2003). 259
83
Menurut Ibnu Abbas, pada masa hijrah, Nabi mengharamkan semua perempuan yang tidak
beragama Islam Namun dengan turunnya ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan ahlu kitab ini,
maka menurutnya, Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlu kitab dari kalangan

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


58

2. Konsepsi Fiqih Lintas Agama


a. Terminologi fiqih lintas agama
Fiqih itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Beberapa ulama’ memberikan
penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih merupakan suatu
ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-
Qur'an dan Sunnah.
Kata fiqih berasal dari bahasa Arab, fiqih secara etimologi
mengandung makna mengerti atau paham. Contohnya Firman Allah SWT
dalam surah al-Isra’ Ayat 44:

            

          

Yahudi dan Nasrani, hanya saja kebolehannya tersebut khusus hanya dengan ahli kitab yang
membayar jizyah (pajak bagi warga non-muslim, sebagai pengganti zakat yang wajib bagi
muslim). Ia berargumen QS. At-Taubah: 29, yang dapat disimpulkan bahwa perempuan ahli kitab
yang membayar jizyah boleh dinikahi oleh orang-orang Islam dan apabila tidak membayar jizyah
maka tidak diperbolehkan. Muhammad Ali as-Shabuni, tafsier ayat al-ahkaam ....204
84
Imam Syafi'i mensyaratkan dengan membatasi pengertian perempuan ahli kitab yang boleh
dinikahi adalah perempuan Yahudi dari keturunan asli Bani Israil yang dari generasi awalnya
beragama Yahudi dan juga perempuan Nasrani yang para leluhurnya telah beragama Nasrani
sebelum adanya perubahan kitab injil. Lihat Imam Syafi’i, Al-Umm, juz 4 , (Beirut: Dar al-Kutb al-
'Ilmiyyah, 1993), 193.
85
Ia berpendapat bahwa ayat dalam surat al-Maidah yang dimaksud bolehnya menikahi wanita
ahlu kitab di sini adalah wanita ahlu kitab sebelum datangnya Islam. Menurutnya, dalam QS. Al-
Maidah: 5 ketika Allah menerangkan kehalalan makanan ahlu kitab, digunakan lafazh umum tanpa
dibatasi kurun tertentu, akan tetapi ketika Allah menerangkan tentang dibolehkannya menikahi
Ahlu kitab, Allah memberikan sebuah syarat dengan lafazh ”min qablikum”. Dari hal tersebutlah
ia menyimpulkan bahwa yang dibolehkan adalah generasi ahlu kitab dengan batas kurun waktu
dan tidak berlaku bagi kurun waktu setelahnya Lihat Abdul Mutaál al-Jabri, Jariimat az-Zawaaj
Bighairil Muslimat.(Kairo: Maktabah Wahbah. 1983),24. kemudian diterjemahkan dengan Apa
bahayanya menikah dengan wanita nonmuslim? Tinjauan fiqih dan politik.. (Jakarta: GIP Cet.
Kedua, 2003), 64.
86
Qardhawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak
mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan. Pertama, Kitabiyah itu benar-
benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama
samawi. Kedua, Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari
perbuatan zina). Ketiga, bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum
muslimin

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


59

Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya,
bertasbihlah kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih
kepada-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti (memahami) tasbih
mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.87

Dengan demikian, jika seseorang berkata: (saya paham),

maksudnya: ia mengerti tujuan perkataan seseorang. Akan tetapi, sebagian

ulama menjelaskan, mengerti atau paham yang dimaksud dalam kata fiqih

(sebagai bagian dari kata ushul fiqih), bukanlah sekedar paham terhadap hal-

hal yang dengan mudah dapat dimengerti, melainkan pemahaman yang

mendalam.88

Lintas agama adalah kumpulan faham-faham antar agama yang

dicampurkan dengan tenggang rasa, toleransi, keterbukaan ijtihad,

nasionalisme, dan lain-lain, hingga lahirlah faham-faham yang dikenal oleh

kalangan masyarakat sebagai faham Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme,

Inklusif, dan Sinkretisme.

Dengan demikian, berdasarkan dari penjelasan diatas dapat

disimpulkan bahwa Fiqih Lintas Agama ialah sebuah pemahaman baru yang

mendalam, dengan paradigma baru, metode baru, serta kaidah baru yang

diambil dari sumber-sumber yang tidak terbatas, untuk menampung

pemahaman ke-Islaman, Kristen, yahudi, hindu, Budha, dan dari bermacam-

macam agama dan kepercayaan.89

87
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat 17 Ayat 44
88
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Cet. III; Jakarta: Amzah, 2014).
89
Nashruddin Syarief, Fiqih-Lintas-Agama, Http://PemikiranIslam.Net/2012/12/Fiqih-Lintas-
Agama, Diakses 17 Juli 2018

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


60

b. Dasar ijtihadi Fiqih Lintas Agama

Dalam berbagai diskursus diantara para ulama’ kontemporer dalam

menerjemahkan hukum islam dalam konteks pluralitas disatu sisi posisinya

fiqih sebagai produk ijtihad ulama’ klasik bahwa fiqih klasik dianggap sakral

dikalangan umat muslim yang menaruh perhatian terhadap kewibawaan

hukum Islam, namun disisi lain ada sebagian ulama’ pula yang juga

menganggap bahwa fiqih selaras dengan konteks kausalitas dinamika

kehidupan sosial yang semakin kompleks, mereka sadari bahwa kepatuhanya

terhadap fiqih menjadi batasan bagi dirinya sendiri dan menjadikan fiqih

menjadi ilmu yang tidak terjamah secara mendasar. Ulama’ kontemporer

mengakui bahwa fiqih sekarang ini mempunyai dilemma-dilema yang perlu

dikritisi lebih mendalam sehingga fiqih sebagai proses ijtihad dan dialektika

antara doktrin dan realitas dapat berkembang lagi atas zaman yang

kontekstual berbeda sekali dengan zaman dimana fiqih dikodifikasi.

Diantara dilema fiqih yang paling serius adalah hubungan atau

pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya yaitu non

muslim apapun agama dan aliran kepercayaanya. Dalam tataran ini fiqih

mengalami kelemahan. Dimensi keuniversalan fiqih dan kelenturan fiqih

seakan tersimpan atau mungkin hilang begitu saja.

Menurut Jamal al-Banna didalam kata pengantar bukunya yang

berjudul Manifesto Fiqih Baru 3 tentang memahami paradigma fiqih moderat.

Khazanah fiqih pada umumnya ditulis pada abad ke-3 dan 4 Hijriah.

Sedangkan kita hidup pada abad ke-15 hijriyah. Tentu saja ada rentang

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


61

sejarah yang cukup lama, antara pembentukan fiqih klasik dengan kenyataan

umat Muslim kontemporer. Rentang waktu telah melahirkan dinamika

kontekstual yang sangat besar. Jadi menurutnya diperlukan pemikiran besar

untuk melahirkan fiqih baru yang lebih senyawa dan sejalan dengan dinamika

masyarakat kontemporer.90

Menurut Mujiono Abdillah, hukum mempunyai bebrapa prinsip

dalam menentukan hukum, salah satunya prinsip keadaan, Ibn Qayyim

menyatakan bahwa “transformasi hukum Islam itu selaras dengan

transformasi keadaan”. Prinsif ini mengacu pada urgensi keadaan sebagai

kunci penyebab transpormasi hukum Islam.91

Keadaan suatu masyarakat cukup kuat pengaruhnya dan memiliki

daya transformatif cukup kuat dalam pembinaan hukum Islam. Bahkan

menurut Muhammad Fathi Utsman “kondisi itu lebih kuat pengaruhnya

terhadap hukum dibandingkan pengaruh hukum terhadap kondisi. Ini selaras

dengan pendapat Georges Gurvitch yang mengatakan bahwa “pada

umumnyaperubahan hukum itu lebih cenderung disebabkan oleh faktor

kondisi moralitas masyarakat.92

Asaf A.A. Fyzee, mengatakan bahwa “Hukum harus berubah pada

saat masyarakat mengalami perkembangan dan perubahan. Ini mengandung

arti bahwa fiqih-istilah lain dari hukum Islam, harus berubah mengikuti

90
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih Moderat, (Jakarta:
Erlangga, 2008).
91
Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam & Perubahan Sosial Sebuah Refleksi Sosiologi
atas Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Cet. I; Surakarta: Muhamadiyah University Press,
2003).
92
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


62

perkembangan zaman sehingga fiqih tidak boleh terpisah dari aspirasi

masyarakat pada tempat dan waktu tertentu.93

Selain itu penulis menemukan sebuah rujukan dari buku Fiqih

Maqashid Syariah yang disusun oleh Yusuf Al-Qaradhawi, ia berpendapat

bahwa didalam hukum ada sebuah hikmah, jika hikmah jelas, dia cenderung

untuk mengambil hikmah di dalam hukum. Dia pun berpendapat bahwa kita

bias menyebut maksud-maksud syariat dengan hikmah syariat, yaitu tujuan

luhur yang ada dibalik hukum. Hikmah terkadang tampak dalam keadaan

yang sangat jelas dan bisa diketahui dengan penelitian biasa. Sebagaimana

hikmah wanita dan laki-laki yang menerima harta warisan dengan laki-laki

dewasa dari harta peninggalan keluarga mereka yang meninggal. Berbeda

dengan tradisi Arab yang membatasi warisan kepada orang yang bias

mengangkat senjata maupun membela kabilah saja. Menurut orang Arab,

orang seperti itu sajalah yang berhak menerima harta warisan. Dengan

demikian, mereka tidak memeberikan harta warisan kepada wanita. Karena,

wanita tidak bias perang dan melindungi.94

Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik,

yaitu “murtad”, “musyrik” dan “kafir”. Sudah barang tentu fiqih akan

memberikan “kartu merah” sebagai peringatan keras dalam menghadapi

kalangan tersebut. Pernyataan-pernyataan tersebut membuat kesan yang

kurang baik terhadap Islam, Islam terkesan agama yang menebarkan

93
Muhyar Fanani, Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern. (Yogyakarta: PT.
LKis Printing Cemerlang, 2009).
94
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan
Aliran Liberal, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


63

permusuhan dan kekerasan. Pernyataan tersebut membuat kita harus meninjau

kembali fiqih klasik. Fiqih klasik perlu perspektif baru terhadap fiqih baru,

yaitu meletakan kembali menjadi produk budaya atau produk yang hadir

dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula.95

Syech Muhammad Mutawalli Sya’rawi mengatakan dalam

renungkan Al-Qur’an yang diterbitkan Tabloid Jum’at al-Liwa al-

Islamy,maka ibadah adalah apabila kamu mengikuti yang diperintah dan

menjauhi yang dilarang. Dan apabila tidak ada perintah dan larangan, maka

itu merupakan hal yang diperbolehkan. Bila suka dilakukan, bila tidak suka

jangan dilakukan. Apabila kehidupan secara direnungi, kita akan

mendapatkan lima persen dari yang bergerak masuk dalam wilayah perintah

dan larangan. Sedangkan sisanya dibolehkan.96

Menurut Jamal al-Banna, para ulama fiqih selama ini tidak

menempatkan kebebasan otentik ini secara proporsional. Mereka tidak

menelusuri ajaran ini secara lebih dalam dan tuntas. Mereka tidak

menghadirkan ajaran ini dalam dasar-dasar hukum fikih yang empat: Al-

Qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Mereka hanya menganggap ajaran ini sebagai

penyempurnaan yang biasanya disebut terakhir. Sebelumnya mereka

menyebut ajaranistihsan, istishhab, mashalih al-mursalah, syar,u man

qablana, dan terakhir kebebasan otentik (al-bara’ah al-ashliyah).97

95
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).
96
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 1 Memahami Diskursus Al-Qur’an, (Jakarta:
Erlangga, 2008).
97
Ibid, Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 1

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


64

Padahal, cakupan ajaran kebebasan kebebasan otentik lebih luas

ketimbang “hak-hak alami” dan kaidah “tidak sanksi kecuali melalui teks.”

Kebebasan otentik dapat berperan banyak dalam fiqih Islam bila mereka

menempatkannya secara proporsional. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya.

Seorang Muslim harus mengikuti kitab-kitab kuning untuk mengetahui,

apakah yang dilakukan halal atau haram.? Bila tidak menemukannya, mereka

harus meminta fatwa.98

Diantara dilema fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan dengan

pembahasan yang melibatkan kalangan diluar komunitasnya, yaitu non-

muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih

mengalami kelemahan yang amat luar biasa. Dimensi keuniversalan dan

kelenturan fiqih seakan-akan tersimpan di laci, atau mungkin hilang entah

kemana. Fiqih, secara implisit ataupun eksplisit, telah menebarkan kebencian

dan kecurigaan terhadap agama lain.99

Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali

sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk

komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka

fiqih seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya,

sehingga fiqih menjadi ilmu yang tak terjamah secara lebih mendasar.

Padahal, dari segi penamaannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Sebab, fiqih

tidak lahir dari kevakuman, melainkan sebagai respons faqih (ahli fiqih)

terhadap problem zamannya, dalam perkembangannya saat ini, fiqih


98
Ibid,
99
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


65

menyimpan sejumlah problematika serius, antara lain: mapannya paradigma

klasik dan lambannya upaya pembaruan, sehingga dengan mudah didapatkan

adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya

menyebabkan terjadinya kesenjangan.100

Oleh karena itu diperlukan pisau pembedah guna mendorongkrak

kesadaran kolektif para pengkaji fiqih kontemporer agar secara produktif

melakukan pembacaan ulang terhadap fiqih klasik. Disatu sisi, fiqih

merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan masyarakat muslim, tapi

disisi lain fiqih menjadi hambatan dalam menyikapi sebuah problematika

kehidupan yang tidak disentuh oleh para ulama terdahulu. Karena fiqih yang

tersedia adalah fiqih yang tidak lagi menyemangati zaman ini, dan bentuknya

pun sangat sederhana. Sementara itu, problem kemanusiaan terus bertambah

dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat maka pembuatan fiqih

menjadi solusi alternatif.

Oleh karena itu, fiqih baru mempunyai visi dan misi untuk

memajukan umat. Fiqih harus mempunyai landasan yang kuat di dalam Al-

Qur’an dan sunnah, tetapi di sisi lain harus mampu berinteraksi dengan

dinamika kontemporer dan kekinian.

Pembaruan fiqih harus segera dideklarasikan dengan cara

memandukan antara keinginan kuat dengan perangkat-perangkat modernitas

yang ada. Harus diakui, dengan spirit inilah negara-negara Barat mampu

menghasilkan pembaruan. Yang diperlukan dalam fiqih baru mempunyai

100
Ibid Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, 2004.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


66

beberapa karakter.101 Pertama, fiqih baru mempunyai Al-Qur’an sebagai

pedoman utama dalam mengambil kesimpulan hukum. Namun, dalam

menyikapi Al-Qur’an, Jamal al-Banna berbeda dengan para ulama tafsir

terdahulu. Menurtnya bukan dia tidak akan menjadikan tafsir mereka sebagai

sumber utama, karena tidak ada keharusan untuk taklid buta terhadap karya

mereka. Kedua, fiqih baru mempunyai perhatian pada sunnah. Hanya saja,

suannah yang dikodifikasi oleh ulama terdahulu pada umumnya adalah

sunnah yang masuk dalam katagori palsu.

Ada yang mengatakan jumlah hadis sebanyak satu juta. Imam Ibnu

Hanbal meriwayatkan 25.000 hadis. Dan Imam Bukhari dikatakan

meriwayatkan 5.000 hingga 7.000 hadis. Imam Syafi’i berkata bahwa sunnah

merupakan kitab yang paling absah setelah Al-Qur’an. Namun menurut Jamal

al-Banna pendapat itu tidak dapat dibenarkan, karena Al-Qur’an merupakan

satu-satunya sumber kebenaran yang bersifat otoritatif. Sedangkan sunnah

masih menimbulkan pertentangan di kalangan ulama tentang kedudukannya.

Oleh Karena itu, diperlukan cara pandang tentang baru terhadap sunnah.

Sejatinya cara pandang tentang sunnah adalah dengan menggunakan

paradigm Al-Qur’an, bukan paradigma para perawi hadis.102 Ketiga, fiqih

baru mempunyai perhatian terhadap hikmah. Di luar Al-Qur’an dan sunnah,

sebenarnya Tuhan juga menurunkan hikmah. Tuhan sendiri yang menunjuk

sikap yang berhak mendapat hikmah. Hikamah merupakan harta karun umat

Muslim yang tersebar di dunia, dan tugas umat Muslim untuk menggali dan
101
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 2 Redifinisi dan Reposisi al-Sunnah, (Jakarta:
Erlangga, 2008).
102
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 1..,23

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


67

menggunakan hikmah sebagai upaya untuk melakukan pembaruan fiqih.

Dalam hal ini, menyingkap hikmah sebagai upaya untuk melakukan

pembaruan fiqih, dan berarti pula menjadikan kemaslahatan sebagai landasan

filosofis atas fiqih.103

c. Pendekatan Fiqih Lintas Agama

Yusuf Qadhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih

direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al waqi’) dan fiqih prioritas (fiqih al

awlawiyah), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem

kemanusiaan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini syariat

tidak bercorak vertikalistis, yang hanya mengupas masalah hubungan

manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba menambah merambah masalah

kemanusiaan. Disini bisa dilihat wajahnya yang statis, eksklusif, dan

diskriminatif, menjadi syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianme.104

Imam asyatibi memberikan sinaran baru terhadap syariat,

menurutnya agama tidak hanya memuat ajaran yang memuat aspek ritual dan

peribadatan, tetapi juga membawa nilai misi kemaslahatan bagi manusia.

Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapreasi secara lebih mendalam

oleh pengkaji fiqih. Sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap ritual

belaka.

Dalam memahami fiqih menjadi etika sosial dan kemaslahatan,

Imam Syatibi membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan: pertama,

kemaslahatan yang bersifat primer (ad dharuriyah), yaitu kemaslahatan yang

103
Ibid
104
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama,34.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


68

pasti menjadi acuhan utama bagi implementasi syariat.105 Yang dimaksud

yaitu perlunya melindungi agama (hifzh al din), melindungi jiwa (hifzh nafs),

melindungi keturunan (hifzh nasab), dan melindungi harta (hifzh mal).

Kemaslahatan primer tersebut merupakn inti dari setiap ajaran agama.

Kedua, kemaslahatan bersifat sekunder (al hajiyat), yaitu

kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum,

melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah

hukum. Misalnya dalam hal ibadat, bahwa dalam menjalankan ibadat

diberikan dispensasi (al ruksaha al mukhaffafah) apabila dalam pelaksanaan

mendapat kesulitan. Kemaslahatan skunder ini memberi pesan bahwa dalam

pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka

memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga

bergama dan beribadah tidak merasa adanya kekerasan dan keterpaksaan.

Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al takhsiniyah),

yaiu kemaslahtan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan

etiket. Misalnya ajaran tentang berhias, kebersihan, shadaqah dan bantuan

kemanusiaan. Kemaslahatan ini menjadi penting dalam rangka

menyempurnakan kemaslahatan primer dan skunder.106

Ketiga kemaslahatan ini merupakan ruh yang terdapat dalam Islam,

antara satu dan yang lainya saling menyempurnakan. Imam Syatibi juga

menyebutkan bahwa kemaslahatan harus memperhatikan tradisi dan

kesepakatan harus memperhatikan tradisi dan kesepakatan kebanyakan

105
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, 56.
106
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


69

masyarakat. Bahkan kemaslahatan yang berkaitan dengan syariat dan masalah

ketuhan pun harus memperhatikan tradisi adat. Karena pada hakikatnya

antara kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukrawi tidak bertentangan.107

Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan

dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontaproduktif, dan kemudian

agama menjadi relative ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-

hari. Dalam hal ini Ada bentuk relativisme yang dapat dijadikan dasar

penghormatan atas yang lain. Pertama, relativisme kultural, Islam sebagai

sebuah ekspresi dan tatanilai sendiri yang berbeda dengan yang lain. Kedua,

epistimologi, kita dapat mengetahui kebenaran adsolut.Artinya kebenaran

yang kita yakini ternyata adalah kebenaran sepihak.Ketiga, relativisme

teologis.Islam adalah jalan kebenaran diantara jalan kebenaran yang lain,

artinya jalan kebenaran tidak harus melalui “Islam”. Oleh karena itu Islam

kemudian bediri sejajar dengan budaya yang ada.108

Persoalan yang masih menjadi perdebatan menarik dikalangan

pemerhati masalah-masalah kemanusiaan antara lain: fiqih hubungan

hubungan antar agama yang direkonstruksi, fiqih menyikapi hak minoritas

dan fiqih menyikapi kekerasan yang mengatasnamakn agama. Oleh karena itu

perlu adanya pembaharuan fiqih terutama dalam hal merajut kembali

hubungan antar agama yang sekian tahun ternodai.

Ada tiga level yang dilakukan dalam pembaharuan fiqih. Pertama,

pembaharuan pada level metodelogi seperti halnya, interprestasi terhadap


107
Ibid
108
Azyumardi Azra, Nilai-Nilai Pluralism dalam Islam, Bingkai Gagasan yang Berserak,
(Bandung: Nuansa, 2005).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


70

teks-teks fiqih secara kontekstual, bermadzhab secara metodelogis dan

verivikasi antara ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’).

Pembaharuan pada pada level ini tidak harus membabat habis akar-akar fiqih

klasik, melainkan melakukan kontekstualisasi dan verivikasi. Ibarat hutan

belantara khazanah fiqih adalah khazanah yang luas dan kaya, sehingga

diperlukan pembaharuan yang bersumber dari tradisi fiqih.109

Kedua, pembaharuan pada level etis. Khazanah fiqih yang terlanjur

berkembang di masyarakat adalah khazanah yang seakan-akan menyediakan

sesuatu yang baku dan siap saji. Akibatnya produk fiqih adalah produk yang

formalistik dan legalistik.Disini perlu pembaharuan fiqih yang dapat

menghadirkan fiqih sebagai etika social. Fiqih tidak hanya membahas hukun

halal-haram, melainkan membahas panca jiwa fiqih (al kuliyat khamsah)

yaitu: melindungi agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Yang semangatnya

memberikan perhatian bagi segenap manusia, apapun agama, ras dan

sukunya.

Level ketiga, pembaharuan pada level filosofis. Kita tahu bahwa

selama ini fiqih hanya menggunakan “wahyu” sebagai sumber, dimasa

mendatang seharusnya fiqih semestinya bisa menjadi teori-teori social

modern sebagai rujukan dalam mengambil sebuah hukum.Seperti halnya fiqih

terhadap konsep kewarganegaraan dan demokrasi. Agar fiqih dapat

berinteraksi dengan konsep-konsep modern, sejatinya harus membuka diri

dan memahami konsep tersebut secara mendasar, tidak imparsial. Fiqih tidak

109
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


71

hadir sebagai konsep yang menafikan konsep lain, melainkan fiqih dapat

memberi ruh terhadap teori-teori modern.110

d. Paradigma Fiqih Lintas Agama

Paradigma fiqih lintas agama mencoba mengkontekstualisasikan

teks dengan konteks dengan menjadikan teks bersifat inklusif yaitu menerima

keragaman dengan tidak mengenyampingkan kewibawaan teks normatif. Hal

ini disebut teologi inklusif pluralis.

Secara etimologi, kata teologi, berasal dari bahasa

Yunani. Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu. Jadi, teologi berarti

“Ilmu tentang Tuhan atau “Ilmu Ketuhanan”.111 Secara terminologi, Fergilius

Ferm menyatakan, teologi adalah “The discipline which concerns God and

God’s relation to the World,”artinya: teologi merupakan suatu disiplin ilmu

yang secara kongkrit membicarakan tentang Ketuhanan, dan pemikiran

sistematis yang berhubungan dengan alam semesta.112

Pengertian teologi yang hampir serupa, ditemukan pula

dalam Encyclopedia of Philosophy, disebutkan tentang pengertian teologi,

yakni “Science of religion, dealing therefore with God, and man in his

realtion to God”, artinya : teologi merupakan pengetahuan tentang agama,

110
Ibid
111
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi II, Cet.
I (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
112
Fergilius Ferm “Theology” dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion,vol.
VII(New York: Macmillan Library Reference USA, 1995).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


72

yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam

pertaliannya dengan Tuhan.113

Kemudian A. Hanafi menambahkan bahwa lapangan pembahasan

teologi berfokus pada masalah kepercayaan-kepercayaan dalam agama. Ini

berarti bahwa masalah iman yang menjadi bahasan utama dalam teologi yang

tentunya terkait juga dengan masalah akidah.114

Sedangkan kata inklusif menurut Nurcholish Madjid, mempunyai

dua pengertian, yang pertama adalah pandangan kelompok agama lain,

pengertian ini sebagai bentuk emplisit dari kelompok agama tertentu.

Kemudian yag kedua, adalah perilaku toleran dan sikap yang terbuka

terhadap kelompok agama non Muslim.115 Dalam pandangan Alwi Shihab

yang dikutip dalam sebuah jurnal, teologi inklusif berkaitan erat dengan

pandangan Karl Rahner, seorang teolog Katolik yang intinya adalah menolak

pandangan bahwa Tuhan mengutuk meraka yang tidak meyakini Injil.116

Inklusivisme dalam Islam Perbedaan umat manusia, baik dari sisi

suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat- istiadat, budaya, bahasa serta agama

dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi

ketetapan Allah SWT.

113
Paul Edward (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V(New York:Macmillan
Publishing Co. Inc. 1997)
114
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam(Cet. V; Jakarta, Pustaka al-Husna,1992)
115
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, Dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1994), 234
116
Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I.M dan Suhandano, Dialektika Inklusivisme Islam
Kajian Semantic Terhadap Tafsir Al Quran Tentang Hubungan Antar Agama, Kawistara, Vol 3
(2013), 59

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


73

Hal ini tidak berarti kegiatan da’wah dalam Islam dihentikan. Malah

sebaliknya, seruan kepada Islam tetap menjadi suatu kewajiban bagi setiap

muslim sepanjang hayatnya, namun dilakukan dengan penuh

”kebijaksanaan”, apalagi hal itu dilakukan dalam rangka amar-ma’ruf dan

nahi-munkar. Terhadap semua umat manusia, ajaran agama juga

memerintahkan untuk selalu berbuat baik dalam segala urusan. Bahkan

terhadap semua jenis makhluk lain dan lingkungan alam fisik di bumi ini pun,

agama sangat melarang umatnya untuk bertindak dhalim dan berbuat

kerusakan. Untuk meraih kepentingan bersama dan saling menguntungkan,

Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk membangun kerja sama yang

harmonis.117

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada

interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling

menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama

(koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme

dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial

yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan

dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Pluralisme Agama (Religious Pluralisme) adalah istilah khusus

dalam kajian agama-agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak

dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah

‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai

117
Dewi Utami, Inklusivisme dalam Islam Peradaban Umat Manusia, dimuat dalam website
Akademia.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


74

satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama

yang ada.118

Jadi dasar fiqih ini bukan aqidah Islam, melainkan teologi inklusif-

pluralis. Sesuai dengan penjelasan diatas bahwa Pluralisme berasal dari kata

“plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang

berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan. Sedangkan

inklusif secara etimologi merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari

bahasa inggris “inclusive” yang memiliki makna “termasuk di dalamnya”.

Dalam hal ini, inklusifisme merupakan sikap yang berpandangan bahwa

diluar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan jalan keselamatan,

meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang di anutnya. Inklusif

pluralisme adalah sebuah asumsi yang meletakkan kebenaran agama-agama

sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi

setara, apapun jenis agama itu.

Pluralisme agama meyakini bahwa semua agama adalah jalan-jalan

yang sah menuju Tuhan yang sama. Atau, paham ini menyatakan, bahwa

agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap tuhan yang mutlak,

sehingga karena kerelatifannnya maka seluruh agama tidak boleh mengklaim

atau meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain atau

meyakini hanya agamanya yang benar.119

Berdasarkan Al Qur’an Surat Al Ankabut, Ayat 46 yaitu:

118
Raymond Sutanto, Teologi Pluralisme, dalam http://putrakaranganyar.blogspot.com
/2012/06/teologi-pluralisme-kumpulan dari.html. diakses pada 19 Agustus 2018.
119
Anis Malik Thoha, Tren Pluralism Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


75

            

          

   


Artinya:“Kamu janganlah berbantah-bantahan dengan penganut kitab suci
yang lain melainkan dengan suatu (cara) yang lebih baik
(misalnya; sopan, tenggang rasa), terkecuali terhadap orang-orang
yang zalim dari mereka. Dan katakanlah “kami beriman kepada
dengan ajaran (kitab suci) yang diturunkan kepada
kamu.Tuhanmu dan tuhanku adalah satu, dan kita (semua) pasrah
(muslimun) kepadanya.”120

Inklusif pluralis tidak hanya berkembang pada masa sekarang saja,

namun inklusif pluralis juga sudah ada pada zaman nabi Muhammad SAW,

sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an: [30] Al Maidah, Ayat: 43.

         


Artinya: “Dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim
mereka sedangkan mereka mempunyai taurat yang di dalamnya
ada hukum Allah, nanti mereka berpaling dari putusanmu setelah
itu, sungguh mereka bukanlah orang yang beriman.”121

Dari ayat diatas diceritakan bahwa Allah menolak sikap kaum

Yahudi ketika mendatangi Nabi Muhammad Saw untuk memutuskan perkara

mereka dengan hukum yang berasal dari Al-Quran. Tapi bagaimana mereka

(kaum Yahudi) meminta keputusan kepadamu (Muhammad), sedangkan

mereka mempunyai kitab sendiri yang bernama Taurat, di dalamnya ada

hukum-hukum Allah. Jadi pluralisme beragama sudah ada sejak masa Nabi.

120
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat 29 Ayat 46
121
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital In Microsoft Word, 2007, Surat 30 Ayat: 43

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


76

Istilah Pluralisme dalam dunia barat, semula merupakan terminologi

filsafat yang berkembang di dunia Barat. Istilah ini muncul dari pertanyaan

ontologis tentang ”yang ada” (what is being?). Dalam menjawab pertanyaan

tersebut kemudian muncul empat aliran yaitu: monisme, dualisme,

pluralisme dan agnotisisme. Monisme beranggapan, bahwa “yang ada” itu

hanya satu, yang serba spirit, serba roh dan serba ideal. Aliran ini kemudian

dikenal dengan monisme-idealisme yang dipelopori oleh Plato. Dualisme

beranggapan, bahwa ”yang ada” itu terdiri dari dua hakikat, yaitu materi dan

roh. Aliran ini dipelopori oleh Descartes. Pluralisme beranggapan ”yang ada”

itu tidak hanya terdiri dari materi dan roh atau ide, melainkan terdiri dari

banyak unsur. Lalu agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk

mengetahui hakikat materi maupun rohani termasuk juga yang mutlak dan

transenden.122

Wacana pluralisme yang digulirkan oleh baik John Locke (1634-

1704), Leibniz (1664-1716) maupun Rousseau (1712-1778) dilakukan untuk

menetralisir kontroversi antara Gereja Anglikan dan Gereja Katolik serta

kemunculan denominasi (sekte-sekte) yang ada dalam Protestan. Dari sinilah

kemudian para filsuf itu menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada

dominasi kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas Protestan di

Perancis abad 17.123

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Haryatmoko, bahwa ajaran

toleransi dan kebebasan beragama yang digagas oleh Locke, terdapat tiga
122
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), 25-
26
123
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2 (Jakarta: Kanisius, 1980), 36.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


77

poin: pertama, hanya ada satu jalan atau agama yang benar; kedua, tidak

seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya pada agama yang

benar; ketiga, kepercayaan tersebut diperoleh manusia melalui akal budi dan

argumen, bukan melalui kekuatan untuk mempropagandakan kebenaran dan

keselamatan. Oleh karena itu tidak seorangpun, baik secara pribadi maupun

kelompok dan bahkan lewat institusi berhak menggunakan kekuatan untuk

tujuan tersebut. Sejalan dengan Locke, keprihatinan Leibniz terhadap konflik

Katolik-Kristen yang berujung perang selama 30 tahun (1618-1645)

mendorongnya untuk berpikir secara plural. Dalam pandangan Leibniz, dunia

ini terdiri dari bagian-bagian kecil atau substansi-substansi sederhana yang

disebut monade, setiap monade mencerminkan dunia secara keseluruhan

(universal). Oleh sebab itu, konflik atau perang berarti berlawanan dengan

harmoni universal dunia.124

Di kalangan agamawan Indonesia, baik Islam maupun Kristen,

pluralisme agama juga direspon dan dimaknai secara berbeda-beda (terdapat

pro dan kontra). Bagi kelompok Islam radikal seperti Majlis Mujahidin

Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam

(FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Sebagaimana yang

ditegaskan oleh Ismail Yusanto, juru bicara HTI, bahwa pluralisme agama

adalah absurd. Senada dengan Anis, Yusanto menegaskan, bahwa pluralisme

agama adalah paham dari Barat yang dikembangkan dari teologi inklusif yang

bertentangan dengan QS. 3: 85; “Barang siapa yang mencari agama selain

124
Haryatmoko, Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1999).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


78

Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima, dan di akhirat dia termasuk orang

yang merugi”. Berdasarkan ayat tersebut, Yusanto yakin, bahwa kebenaran

hanyalah milik dan monopoli umat Islam.125 Di kalangan Kristen, pandangan

ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama, sehingga dikenal

ungkapan extra ecdesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja).

Tokohnya antara lain Karl Bath dan Hendrick Kraemer dan pada umumnya

para teolog evangelis.126

Teologi inklusif dan pluralis dikembangkan untuk mendukung upaya

dialog antar agama. Dari kalangan Kristen, nama-nama seperti Karl Rahner,

Raimundo Panikkar, George Khodr dan Hans Kung dikenal sebagai tokoh-

tokoh inklusif, sementara W.C. Smith, Paul Kritter dan John Hick dianggap

sebagai tokoh-tokoh pluralis. Di kalangan Islam, teologi inklusif

dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,

Thabathaba’i, dan Jawad Mughniyah. Mereka ini mendasarkan pandangannya

pada Q.S. al-Baqarah (2): 62 dan al-Maidah (5): 69, yakni ayat-ayat yang

menjanjikan keselamatan kepada penganut agama Kristen, Yahudi dan

Shabi’in. Sementara itu Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan

Fazlurrahman dianggap sebagai tokoh-tokoh yang mewakili pandangan

pluralis. Sebagai contoh, Fazlurrahman yang berpegang pada semangat al-

Qur’an surat al-Baqarah (2):148 dan al-Maidah (5):48 menegaskan tentang arti

125
Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizbut
Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, Disertasi (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel, 2006), 13.
126
Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam”..., 171.
Lebih detail pembahsan ini bisa dibaca dalam tulisan Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-
Agama,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), 31-86

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


79

pentingnya perbedaan agama dan agar setiap pemeluk agama saling kompetitif

untuk berbuat kebajikan bukan sebaliknya, saling bermusuhan, dan di akhirat

kelak Tuhan akan menjelaskan perbedaan-perbedaan itu.127 Di kalangan

Muslim Indonesia, yang tergolong inklusif misalnya Mukti Ali, Alwi Shihab

dan Abdurrahman Wahid, sementara yang tergolong pluralis seperti Djohan

Effendi dan Nurcholish Madjid.

Mengamati dinamika dan diskursus tentang teologi inklusif pluralis,

dalam menajamkan komitmen toleransi dan pluralism fiqih, diperlukan

hermeneutika yang setidaknya dapat melakukan perubahan yang sangat

mendasar dalam tradisi fiqih klasik. Pertama, mengimani teks sebagai produk

budaya. Teks dan budaya adalah dua mata uang logam yang tidak bisa

dipisahkan, jadi tatkala berbicara tentang teks bearti berbicara tentang

budaya, dan begitu juga sebaliknya. Karenanya perlu dilakukan dekonstruksi

keyakinan teologis dari eksistensi teks sebagai wahyu tuhan, menjadi wahyu

yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya. Kedua, mengimani teks

sebagai wahyu progresif, sehingga tidak lagi menjadi idiologis dan dijadikan

alat justifikasi kekuasaan politik. Apabila terjadi pertentangan antara teks

dengan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat

digunakan. Ketiga, mengimani adanya paradigma emansipatoris yang sejalan

dengan komitmen wahyu, seperti al quran sebagai teks terbuka, kesetaraan,

127
Nurcholish Madjid et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-
Pluralis (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004),
207. Bandingkan dengan Jamal al-Bana, Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama Islamy (Kairo: Dar al-Fikr
al-Ismay, 2001), 27.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


80

kemanusiaan, pluralism, pembebasan, keadilan jender, tidak diskriminatif.128

Menurut Nurcholish Madjid, dengan demikian, tidak berarti bahwa agama

yang satu tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain. Maksudnya setiap

agama itu partikular tidak singular. Setiap agama itu mempunyai keunikan,

tetapi tidak eksklusif.

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, artinya

setiap agama mempunyai partikulasi dan kekhasan sendiri-sendiri dan tidak

dapat begitu saja disamaratakan dengan yang lain. Namun itu tidak berarti

tidak ada agama yang begitu singular dan unik, sehingga tidak ada

bandinganya. Dengan tetap menghormati kekhasan masing-masing agama,

kita seharusnya mengatakan bahwa semua agama pada dataran yang sama.

Ada perbedaan namun they are different in degree, but not in kind. Berbeda

dalam banyak hal tetapi tidak dalam hakikat.

Selain itu menurut Nurcholish Madjid, umat beragama harus

menyadari bahwa sumber terjadinya konflik antar agama sebenarnya bukan

dari ajaran atau norma-norma agama, melainkan dari sikap keberagaman

yang kurang dewasa dan tidak sanggup merespon kondisi zaman yang

semakin plural. Tidak satu agamapun yang yang melegitimasi tindak

kekerasan dan kekejaman terhadap umat beragama lain. Semua agama

megajarkan agar manusia bersedia menolong sesama dan mencintainya

sebagai wujud dari kecintaan pada tuhan.129

128
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).
129
Nurcholish Madjid. Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Beragama, (Jakarta: Buku
kompas. 2001).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


81

Setidaknya ada dua hal penting yang seharusnya dilakukan umat

beragama untuk melakukan dialog konstruktifis.

1) Melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang

agama dan masyarakat untuk menuju suatu era pemikiran baru

berdasarkan solidaritas historis dan integrasi social.

2) Melakukan reformasi dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju

kritisme radikal dan pemikiran teologis yang inklusif, terbuka, dan

pluralis dan bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman dialog

untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan kita.

Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang

demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan

(pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkanya sebagai suatu

keniscayaan. Masyarakat yang majemukan ini tentu mempunyai budaya dan

aspirasi yang beranekagam, tetapi seharusnya mereke memiliki kedudukan

yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok social

dengan lainya. Akan tetapi kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan

konflik antar mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi masalah ini

dimunculkan konsep atau paham kemajemukan pluralisme.

e. Dasar Keimanan Fiqih Lintas Agama

Bagi umat beragama, keimanan merupakan masalah fundamental

dan asasi. Fundamental karena setiap umat beragama harus memiliki

keimanan, dan asasi karena ia menjadi dasar keberagamaan. Sedemikian

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


82

urgennya masalah keimanan sehingga ia menjadi awal bagi setiap orang yang

hendak menganut suatu agama.130

Penulis memulai masuk kedalam bagian Fiqih Lintas Agama dengan

yang berkaitan dengan paham keimanan pluralis sebagaimana yang tertera

dalam buku Fiqih Lintas Agama. Dari masalah tersebut akan berlanjut kepada

beberapa peristilahan yang banyak disebutkan dalam buku ini seperti istilah

din dan syir’ah, ajaran kehanifan (hanafiyyah), makna Islam, ahli kitab, dan

kalimatun sawa’.

Terdapat beberapa pendapat atau pandangan utama dalam kajian

buku Fiqih Lintas Agama dan menjadi pokok pembahasan dalam kajian teori

ini, antara lain:

1) Teologi pluralis sangat diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam

membangun dan menjaga hubungan harmonis antaragama. Teologi

pluralis dalam arti ini adalah teologi teoritis dan karena itu ia

membutuhkan sebuah teologi praktis yang merupakan pedoman untuk

mempraktikkannya dalam situasi kongkrit hubungan antar agama. Teologi

pluralis membutuhkan fiqh pluralis. Fiqh hubungan antaragama yang

sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis. Fiqh ekslusivis hanya

sesuai dengan teologi eksklusivis.131

2) Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari

kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni:

130
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).
131
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


83

jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak

menghendaki umat manusia itu satu dan sama dalam segala hal.132

Inti agama (Arab: din) dari seluruh rasul adalah sama (QS. 42:13), dan

umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang

tunggal (QS. 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para

nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama.

Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari

kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni,

jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak

menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal.

Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada

berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan

kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia

itu (QS. 5:48).

Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah

ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan mereka yang harus mereka

laksanakan. Berkaitan dengan ini adalah keterangan dalam al-Qur’an

bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wihjah (tempat

mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci

seperti Makkah dengan Masjidil Haram dan Ka’bahnya untuk kaum

muslim. Umat manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wihjah untuk

masing-masing golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-

132
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


84

lomba menuju berbagai kebaikan. Di manapun manusia berada, Allah akan

mengumpulkan mereka semua menjadi satu (jami’an).

Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar

agama yang dapat diturunkan dari al-Qur’an, yang menegaskan adanya

pluralitas agama.

3) Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan

titik inti pandangan Ketuhanan yang maha Esa atau tawhid; sedangkan

perkataan muslim menunjukkan pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah

total hanya kepada kemurnian, kesucian dan kebenaranan itu, yang di atas

segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa

(Islam).133

Kisah Nabi Ibrahim di atas mengantarkan kita pada pokok ajarannya,

yang sekarang dikenal dengan istilah tradisi agama Ibrahim. Menurut al-

Qur’an, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Kristen, melainkan seorang

yang hanif dan muslim. Dua istilah hanif dan muslim itu menunjukkan

kepada pengertian “generik,” yaitu ajaran yang belum tertundukkan oleh

ruang dan waktu (sejarah) yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian

serta memunculkan sifat sektarian.

Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar

dengan titik inti pandangan Ketuhanan yang Maha Esa atau tauhid.

Sedangkan perkataan “muslim” menunjukkan kepada pengertian sikap

tunduk (din) dan pasrah total hanya kepada kemurnian, kesucian dan

133
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


85

kebenaran itu, yang di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Kedua pengertian itu merupakan hakikat

kemanusiaan yang paling asasi dan abadi, sebagai kelanjutan atau

konsekuensi adanya perjanjian primodial antara manusia dan Tuhan untuk

menghamba kepada-Nya, dan berbuat kebaikan yang bakal menghantarkan

kembali kepada penciptanya itu.

Dalam rangkaian seruan untuk menerima agama yang hanif, yang

merupakan fitrah manusia, diingatkan agar manusia memiliki semangat

kembali kepada-Nya, bertakwa kepada-Nya, menegakkan sembahyang,

dan janganlah tergolong kaum musyrik, yaitu mereka yang memecah belah

agama mereka, lalu menjadi berkelompok-kelompok, setiap golongan

membanggakan apa yang ada pada mereka (akibatnya, antara lain merasa

paling benar). Maka, sementara agama kehanifan yang menurut al-Qur’an

memiliki sifat utama pandangan yang serba inklusivistik, sistem

keagamaan sektarian dan komunalistik memiliki sifat utama pandangan

serba eksklusivistik yang sering muncul dalam keagamaan kultus.134

Maka kembali kepada ajaran Ibrahim, sebutan sebagai “Bapak para

nabi” adalah justru karena secara geneologis menjadi nenek moyang para

Nabi Timur Tengah, termasuk Nabi Muhammad SAW, akan tetapi sebutan

itu juga merupakan lambang bahwa agama yang diajarkan, yaitu kehanifan

dan kemusliman sebagai agama dan fitri, merupakan induk semua agama

dimana saja. Kehanifan dan kemusliman adalah agama semua nabi dan
134
Dalam kaitannya ini patut direnungkan sebuah peringatan dalam al-Qur’an agar manusia
waspada terhadap para pemimpin yang terlalu dipuja (seperti yang ada dalam sisten kultus), sebab
mereka kelak di Akhirat akan melepaskan tanggung jawab dari para pengikut mereka (QS. 2: 166).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


86

rasul yang telah diutus Tuhan kepada setiap umat. Jika wujud lahiriahnya

berbeda-beda, maka perbedaan itu di akibatkan ketetapan syir’ah dan

minhaj yang berlainan untuk setiap kelompok dalam kurun waktu tertentu.

Adanya perbedaan tersebut tidak perlu merisaukan manusia, sebab yang

penting ialah bagaimana masing-masing berlomba-lomba dalam barbagi

kebaikan. Hanya Allah yang punya hak untuk menjelaskan perbedaan itu

kelak.

Hakikat makna hanif dan muslim begitu mendasar, sehingga wajar

jika al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak akan menerima pandangan

hidup selain ajaran sikap pasrah dan tunduk patuh kepada-Nya

sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul. Lebih jauh lagi,

sesungguhnya semua penghuni seluruh jagad raya ini tunduk patuh kepada

Allah, Sang Maha Pencipta. Maka barang siapa menganut suatu

pandangan hidup selain tunduk patuh kepada Allah, yaitu al-islam ia

dengan sendirinya akan tertolak, karena menyalahi hukum alam yang

paling hakiki itu.

4) Sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-

islam tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara

harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang

muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab.135

Dari sudut pandang kaum Muslim, agama alam semesta ialah al-

islam, sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci

135
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


87

memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan dan

kepasrahan alam semesta kepada Tuhan.

Dari segi tasrif, perkataan Islam adalah masdar dari kata kerja aslama-

yuslimu, sama halnya dengan perkataan iman yang merupakan masdar dari

kata kerja amana-yu’minu yang artinya mempercayai atau memasrahkan

diri atau bersikap pasrah.

Manusia disebut sebagai puncak ciptaan Tuhan karena ia mampu

mengenali benar dan salah, baik-buruk dan berkebebasan untuk menerima

atau menolaknya. Meskipun begitu, Islam menuntut manusia untuk tidak

melupakan hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang harus taat dan

pasrah kepada-Nya. Bahkan tugas kekhalifahan itu pun harus dijalankan

dalam rangkaian kesatuan dengan tugas pengabdian. Manusia diwajibkan

mematuhi hukum-hukum yang telah ditetapkan untuk alam semesta, yaitu

hukum ketundukan dan kepasrahan. Jika tidak, berarti manusia menentang

hukum alam semesta, yang juga berarti tidak hidup sejalan dengan sesama

ciptaan Allah.

Pada setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai

dengan adanya perjanjian primodial (terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam

suatu kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang

Maha Esa.

Akibat adanya perjanjian primodial, dalam diri manusia terdapat bibit

kesucian dan kebaikan yang muncul sejak dari penciptaan asal yang suci

(fitrah). Akan tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia dilahirkan dalam

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


88

fitrah yang suci, tidak selamanya manusia memiliki sensitifitas fitrah yang

diperlukan untuk menangkap kebenaran. Meskipun manusia dapat

menggunakan akal untuk bertahan pada fitrah, tidak semua kebenaran dan

kebaikan hakiki dapat ditangkapnya. Akal merupakan perlengkapan hidup

manusia sebagai anugerah yang amat penting dari Tuhan. Manusia

diperintahkan untuk menggunakan akalnya, karena dengan itu ia dapat

rintisan jalan ke arah kebenaran dan kebaikan.

Sebagaimana dari pengertian Islam itu sendiri yaitu sikap tunduk dan

taat kepada Tuhan. Ajaran islam universal inilah yang merupakan satu-

satunya ajaran ketundukan atau din yang dibenarkan oleh Tuhan Yang

Maha Esa. Di sini perlu digaris bawahi bahwa sekalipun para nabi

mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam, tidaklah berarti

bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiyah ajaran mereka al-

islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu

adalah peristilahan dalam bahasa arab, sementara para nabi dan rasul

sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dibangkitkan Allah dengan

menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Oleh karena itu

penyebutan para nabi dan rasul beserta para pengikut mereka sebagai

orang-orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai al-islam dalam

arti generik tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit melibatkan

masalah kebahasaan.136

136
Berdasarkan penjelasan dari Ibn Taimiyah, membedakan antara “islam khusus” (al-islam al-
Khaslish) dan “Islam umum” (al-islam al-‘amm) sebagai berikut: manusia berselisih tentang orang
terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? ini
adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-islam al-khashsh) yang dengan ajaran

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


89

5) Ahl al-kitab dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan

tradisi agama-agama Ibrahim. Ahli kitab secara harfiah berarti “yang

mempunyai kitab” ialah konsep yang memberikan pengakuan tertentu

kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci.137

Sehubungan dengan pandangan mengenai titik temu agama-agama,

konsep Islam mengenai ahl al-Kitab dapat dipahami sebagai petunjuk

tentang kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim. Ahli kitab ialah

konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama di

luar islam yang memiliki kitab suci. Sikap ini tidaklah bermaksud

memandang semua agama sama. Suatu hal yang mustahil, mengingat

agama-agama yang ada berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipal.

Akan tetapi, sikap Islam ini bermaksud memberi pengakuan sebatas hak

masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan menjalankan agama

mereka masing-masing.138

Sebutan Ahli Kitab dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan

muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum muslim sendiri meskipun

mereka ini juga menganut kitab suci yaitu al-Qur’an. Ahli kitab tidak

tergolong kaum muslim, karena mereka tidak mengakui atau bahkan

menentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad serta ajaran yang

beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an mereka

itu Allah mengutus Nabi Muhammad SAW al-islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan
dengan hal ini. Adapun “islam umum” (al-islam al-‘amun) yang bersangkutan dengan islam-nya
setiap umat yang mengikuti seorang nabi dari para Nabi itu.
137
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis
(Jakarta: Paramadina, 2004).
138
Ibid Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama.. 2004).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


90

disebut kafir yakni menentang atau menolak ajaran yang dibawa Nabi

Muhammad SAW.

Umat Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam

pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama

kaum Muslim (Islam). Dengan kata lain, umat islam mempercayai bahwa

agama mereka adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari dua agama

tersebut. Inti ajaran yang di sampaikan Allah kepada nabi Muhammad

adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan kepada semua nabi.

Oleh karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah

umat yang tunggal.139

Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sangat positif dan simpatik kepada

kaum ahli kitab, sementara tafsiran menyatakan bahwa karena sikap

penerimaan mereka terhadap kebenaran tersebut, mereka bukan lagi kaum

Ahli Kitab, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. akan tetapi karena

dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada

Rasulullah Muhammad SAW, meskipun mereka percaya kepada Allah dan

hari kemudian sebagaimana agama-agama mereka sendiri sudah

mengajarkan, mereka secara langsung ataupun tidak langsung termasuk

yang menentang nabi atau bukan golongan Muslim. tetapi, bagaimanapun

oleh karena sikap positif mereka kepada Nabi dan kaum beriman, kaum

muslim dipesan untuk juga tetap bersikap positif dan adil selama mereka

tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum beriman itu.

139
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


91

Maka, meskipun al-Qur’an melarang kaum beriman untuk bertengkar

atau berdebat dengan kaum ahli kitab khususnya berkenaan dengan

masalah agama, kaum beriman dibenarkan untuk membalas setimpal

terhadap mereka yang telah berbuat zalim.140

6) Ahli kitab bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja, tetapi Hindu, Budha,

Majusi dan sebagainya juga termasuk ahli kitab.141

Setelah kita melihat adanya konsepsi Ahli Kitab yang inklusif di atas,

terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah ada

ahli kitab diluar kaum Yahudi dan Nasrani. Imam syafi’i menganggap

bahwa istilah Ahli Kitab hanyalah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani

keturunan Israel, bukan bangsa-bangsa lain. Tetapi pendapat ini dibantah

oleh Imam Abu Hanifah yang menganggap bahwa siapapun yang

mempercayai seorang nabi yang pernah di turunkan Allah maka ia adalah

ahli kitab. Al-Qur’an sendiri menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai

yang jelas-jelas ahli kitab. Akan tetapi Al-Qur’an juga menyebutkan

beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum majusi dan sabi’in.142

Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, apakah Ahli Kitab

termasuk musyrik atau tidak. Fahrurrazi, seorang penulis Tafsir al-Kabir

misalnya secara tegas menyebut mereka itu sebagai musyrik, sehingga

status hukum tertentu yang berlaku bagi mereka sama dengan yang

diterapkan pada kaum musyrik. Akan tetapi sebagian besar ulama tidak

berpendapat demikian.Namun Ibn Taimiyah menolak pandangan itu


140
Ibid
141
Ibid
142
Ibid

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


92

dengan argumen sebagai berikut: sesungguhnya ahli kitab tidaklah

termasuk ke dalam kaum musyrik. Menjadikan (memandang) ahli kitab

bukan kaum musyrik dengan dalil firman Allah QS. 22: 17.143

7) Bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama

bukanlah hal yang asasi; yang asasi ialah pengertiannya.144

Meskipun para pemeluk kitab suci: al-qur’an, taurat dan injil

menyadari beberapa perbedaan di antara mereka, al-qur,an dan didukung

oleh kajian keagamaan modern lebih banyak memandang adanya titik-titik

persamaan dibandingkan titik-titik perbedaannya. Maka pada prinsipnya

kitab-kitab suci tersebut tidak boleh di konfrontasikan, tetapi justru harus

dicari dan dihayati dasar-dasar pertemuannya.145

Al-Qur’an seperti sudah di katakan di atas, melarang orang Islam

berdebat dengan para penganut kitab suci, kecuali dengan cara yang lebih

baik atau sopan. Kaum muslim diperintahkan untuk menyatakan kepada

ahli kitab bahwa mereka beriman kepada ajaran yang diturunkan kepada

ahli kitab, dan bahwa tuhan mereka dan tuhan ahli kitab adaah samayaitu

tuhan yang maha esa, dan semuanya adalah orang-orang yang pasrah

kepada tuhan yang maha esa. Segi persamaan yang sangat asasi antara

semua kitab suci adalah ajaran ketuhanan Yang Maha Esa.146

Perbedaan tentang konsep sesembahan ini tetap ditegaskan al-qur’an.

Hal itu menunjukkan bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan.

143
Ibid
144
Ibid
145
Ibid
146
Ibid.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


93

Masalah nama bukanlah hal yang asasi, yang asasi ialah pengertiannya.

Atas dasar persamaan tersebut, al-Qur,an memuat perintah Allah kepada

Nabi saw agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul

dalam titik kesamaan yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.147

f. Paradigma Pluralis Inklusif dalam Fiqh Lintas Agama

Paradigma Pluralis inklusif merupakan pijak paradigma yang

sebenarnya merupakan konsekuensi terhadap konsepsi islam yang terbuka

pada seluruh ummat (rahmatulil `alaimin). Dalam buku Fiqih Lintas Agama:

Membangun Masyarakat Inklusif- Pluralis yang diedit Mun’im A. Sirry,

wacana fiqih (termasuk fiqih kawin campur) menurutnya perlu

direkonstruksi. Menurut Suhadi, hal tersebut dikarenakan produk fiqh klasik

dianggap tidak mencerminkan toleransi dan menjadi pengahambat pola

hubungan umat manusia.148

Berdasarkan anggapan bahwa fiqh tradisional cenderung dogmatis ini,

kemudian disusulkan sebuah paradigma baru tentang fiqh yang prulis dan

iklusif. Wacana dalam buku ini guna menjadi mediator untuk merekatkan

hubungan agama yang dijamin dengan adanya produk-produk fiqih yang

memberikan ruang gerak bagi agama lain.149 Suhadi sebagai seorong penliti

147
Bahkan kepada kaum yahudi dan kaum nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran
yang ada dalam kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak menjalankan ajaran yang
diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang dzalim, dan orang-orang fasik. Baca.
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama.56
148
Wacana fiqih ini tidak sebatas direkonstruksi, melainkan didekonstruksi terlebih dahulu
untuk kemudian dikonstruksi. Hal ini diakui dalam “Pengantar Redaksi”. Suhadi, Kawin Lintas
Agama, Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006), vi.
149
Mun’im A. Sirry [ed.], Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif- Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004), 15.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


94

kawin beda agama menjelaskan hal penting dalam konteks ini. Ia

mengatakan,

Jika secara teologis disepakati bahwa sebuah wacana pluralis yang pro
existance, maka secara muamalah pun seharusnya memiliki landasan
yang kuat untuk applicability. Karena itu, sebenarnya tidak ada
larangan untuk melintas batas agama dalam bidang perkawinan.150

Pada konteks ini sebenarnya akarnya terkait pluralis inklusif sebagai p

aradigma dianggap sangat perlu untuk kepentingan hal-hal yang pro terhadap

eksitensi yang berbeda ini penting dalam fiqih. Secara historis, kontruksi ini

sebenarnya banyak mengalami pertentangan yang signifikan dalam dialekika

dasar fiqh di Indonesia. Gagasan pluralisme sebagai paradigma fiqh

mengalami gelombang prokontra yang tak berkesudahan. Berbagai elemen

masyarakat memberikan persepsi dan penilaian yang multi perspektif dalam

mencermati pluralisme.Bahkan, gagasan ini, mengalami titik tidih yang

kulminatif ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa

pengharaman pluralisme.

Posisi MUI yang berdiri tegas dalam menolak pluralisme menuai protes

keras pula dari berbagai elemen masyarakat, ulama, intelektual, dan kalangan

lainnya.151 Beberapa intelektual muda mengatakan bahwa pluralisme perlu

ditegakkan sebagai cara pandang dalam melihat orang lain sebagai bagian

150
Suhadi, Kawin Lintas...,VI
151
Faisal Ismail menegaskan “tidak ada agama yang mengandung ajaran yang mutlak. Dan
beranggapan bahwa tidak ada yang salah dengan pluralisme agama. Yang terlihat salah, menurut
pendapat saya, adalah sinkretisme agama. Salah seorang pimpinan MUI di sebuah televisi
menjelaskan, yang diharamkan MUI adalah pluralisme agama yang ditarik ke sinkretisme
agama.”. Hal ini kemudian juga diceriakan dalam Zuhairi Misrawi, Al Qur’an Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 207. Dalam buku ini,
Zuhairi juga menegaskan kesalah-fahaman MUI dalam memahami dan menginterpretasi gagasan
pluralism.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


95

dari sistem sosial yang harus dihargai.152 Pluralisme merupakan dasar

pemahaman yang inklusif dalam menentukan pandangan terhadap agama-

agama lain. Melalui hal yang demikian, akan bisa arif melihat setiap

perbedaan yang ada di dalam kemajemukan, dan bisa jadi akan memotivasi

antara satu dengan yang berbeda untuk saling berlomba menuju kebaikan.153

Inti dari argumentasi kelompok pro paradigma pluralis sebenarnya

adalah konsep humanitarian yang menurutnya melekat pada keyakinan

agama. Cara pandang bernuansa humanitarian ini menemukan konteksnya

pula bila dirujuk kepada berbagai ayat yang menguraikan pentingnya sikap

saling menghargai perbedaan. Di antara beberapa firman Allah dalam

berbagai ayat yang sangat popular yang membincang perihal ini adalah ayat

yang berbunyi:

         

            
Artinya:Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulian diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling takwa di antara kamu. Seseungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi maha mengenal.154

Berdasarkan sumber ayat di atas menjadi bukti bahwa faham pluralisme

bukanlah sesuatu yang unik dan tabu untuk dilestarikan dalam kehidupan

masyarakat.Karena, secara fundamental, pluralisme menjadi fitrah dalam

152
Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-ide Kritis, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001) 174
153
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001) 46-48.
154
QS: Al Hujarat:13

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


96

kehidupan manusia yang telah dicipta dalam keragaman multi latar. Bahkan,

agama Islam mengajarkan sikap yang inklusif dalam bermasyarakat, dan

mengakui kemajemukan dalam masyarakat antara lain disebabkan oleh

kemajemukan keagamaan para pemeluknya.155

Realitas tentang homogenitas manusia menjadi tidak terelakkan. Allah

menciptakan manusia denganberagam bentuk dan varian. Keberagaman inilah

yang kemudian mendorong adanya upaya trasfomasi paradigma dalam fiqh.

Di sisi inilah paradigma plurasilis inklusif lahir. Paradigma pluralis ingin

menjadikan fiqh bernuansa ideologis bukan teologis. Artinya paradigma

pluralis sebenarnya dalam mazhab fiqh meletakkan konsep paradigma pada

sisi idelogis karna menjauhi puritiriansm.156

Berdasarkan penjelasan ini kemudian menjadi jelas bahwa pluralisme

adalah mengupayakan terciptanya sebuh sudut pandang yang melihat setiap

perbedaan sebagai kesatuan sistem sosial yang harus dihargai. 157 Pluralisme

nanti akan menjadi dorongan terciptanya kondisi inklusifitas yang dapat arif

hidup dalam perbedaaan. Bahkan paradigmanya ini akan membentuk

semangat kuat untuk saling berlomba-lomba dalam mengupayakan

kebajikan.158

155
Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992) 177
156
Maksutnya, Patut disadari, apabila pluralism diletakkan pada wilayah teologis, maka akan
melahirkan kelompok puritan teologis yang akan selalu mengakui bahwa agamanya adalah yang
paling benar dan memahami ajarannya secara literlek yang kemungkinan besarnya akan turut
mengkafirkan ummat lain yang berbeda agama. Lebih jelas baca, Abdullah Saeed, Pemikiran
Islam: Sebuah Pengantar, terj (Yogyakarta: Kaukaba, 2014) 264-266.
157
Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-ide Kritis (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001) 174
158
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001) 46-48.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


97

Beberapa gagasan yang mendukung penjelasan ini adalah beberapa

contoh pemikiran yan dilahirkan KH Abdurahman Wahid. Menurutnya

pluralism itu ada tiga, yakni pertama, pluralisme di level pemikiran (plural in

mind). Kedua, pluralisme di level perilaku (plural in attitude).Ketiga,

pluralism di level tindakan (plural in action). Ketiga peneglompokkan ini

sebenarnya sebagai upaya peningkatan sikap plural yang komprahensif.

Komprehensif artiya sikap pluralisme harus ada dalam seluruh element

masnusia, baik dari akal, prliaku dan tindakan.159

Pada inti paradigma plurailis dalam pemikiran yang pernah digagas di

Indonesia, terutama dalam fiqh adalah berkaitan dengan cara memandang

perbedaaan. Fiqh iklusif inti paradigman adalah memandang kesetaraan

sesema bangsa (ukhuwah wathaniyah) atau lebih besarnya memandang kita

merupakan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Kedua prinsip pandang

ini dalam paradigma pluralism diutamakan dari sekedar ukhuwah Islamiyah

atau persaudaraan sesama Islam saja.160

Berdasarkan penjelasan ini menjadi jelas bahwa paradigma pluralisme

dalam fiqh adalah merupakan upaya transformasi paradigma dari teologis

kepada ideologis. Pluralism melahirikan fiqh yang iklusif. Artinya, fiqh yang

memandang bahwa ukhuwah bashoriyah atua sikap huminiatrian penting

untuk diterapkan dalam masayarakat yang homogen.

159
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj (Jakarta: Paramadina, 1999), 395
160
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan transformasi
kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) 71-77

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


98

C. Kerangka Konseptual
Gambar 2.1

Pernikahan

1. Syarat pernikahan Perkawinan


Beda Agama
2. Rukun Pernikahan
1. UU Perkawinan
3. Tujuan Pernikahan
2. Kajian Tafsir
4. Hukum Pernikahan
3. Legislasi Hukum
Islam

4. Fiqih Lintas Agama

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


99

BAB III
PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

A. Konsepsi Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi Hukum

Islam Di Indonesia Dan Paradigma Fiqh Lintas Agama Di Indonesia

1. Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi Hukum

Islam

Adapun terkait dengan konsepsi beda agama dalam peraturan

perundang-undangan, tidak secara tegas penjelas terkait dengan hukum

perkawinan antar agama. Baik dari UU perkawinan muapun Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, belum secara tegas mengaturnya. Bahkan

departemen agama pun dianggap belum sepenuhnya tegas dalam sisi

aturannya.

Kejelasannya bisa dianggap sebagai ketidak jelasanya sebagai hukum

yang mengikat. Misalnya, aturan yang ada dalam UU perkawinan Pasal 2 ayat

(1) jo Pasal 8 huruf (f), dinyatakan bahwa hukum perkawinan beda agama

diserahkan kepada ajaran masing-masing agama.161 Padahal ajaran agama

dalam menghukuminya akan tentu mengalami perbedaan. Tentu yang

demikian tersebut akan menyebabkan ajaran agama yang homegen ini akan

menemukan kesulitan menghadapi yang demikian tersebut.

Ada juga yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama disearahkan

dengan konsep pernikahan campuran. Ini pun tidak tepat, sebab perkawinan

campuran yang dimaksud adalah bukan perkawinan antar agama. Hal ini

161
Lihat Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

99

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


100

sebagaimana diungkapkan dalam Ordonansi perkawian Campuran tahun

1898. Dalam Surat tersebut dijelaskan bahwa perkawain campuran

merupakan perkawinan yang tunduk pada dasar legal hukum yang berbeda.162

Hal demikian ini kemudian sangat diperjelas sekali pada penjelasan

berikutnya. Seolah menjadi penguat, pada ordononsi pasal 7 dinyatakan

bahwa beda agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi

halangan untuk perkawinan itu. Ketentuan ini dianggap sebegai aturan yang

membuka seluas-luasnya kesempatan untuk mangadakan perkawinan beda

agama.163

Untuk memperjelas penjelsan di atas, ada tokoh yang menganalisa

aturan-aturan tersebut. Salah satunya adalah Shaleh, dalam bukunya ia

menjelaskan bahwa adanya aturan ini menguatkan bahwa perkawinan beda

agama secara legal hukum positif tidak dilarang. Aturan diserahkan pada

ajaran agama yang dianut. Hal ini tentu memberikan jalan lebar agar

pernikahan antar agama dapat dilaksanakan dengan tanpa melanggar ajaran-

ajaran yang diyakini oleh pelakunya.164

Berdasarkan aturan yang ada inilah, kemudian agama Islam

merumuskan formula atau konsep ajaran agama yang menyangkut

perkawinan beda agama. Dalam upayanya, ada beberapa aturan hukum yang

dibuat didasarkan pada ajaran agama Islam. Yang yang demikian, di

Indonesia yang diakui dalam masyarakat, sebenarnya mengacu kepada dua

162
Lihat, Surat Ordonansi Perkawinan campuran tahun 1898 No. 158 Pasal 1
163
Surat Ordonansi Perkawinan campuran tahun 1898 No. 158 Pasal 7
164
Shaleh, Hukum Perkawinan...,13. Hal ini juga ada dalam penjelasan tokoh-tokoh lain.
Salah satunya dalam, Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar..., 37.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


101

sumber hukum, yakni dalam KHI dan Fatwa MUI.165 Adapun dalam secara

umum ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang diatur dalam KHI pada

pokoknya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur

dalam undang-undang No.1 tahun 1974, tetapi sekaligus dibarengi dengan

penjabaran atas ketentuan-ketentuan itu. Hal ini bertujuan untuk membawa

ketentuan-ketentuan undang-undang perkawinan itu ke dalam ruang lingkup

yang bernafas dan bernilai hukum Islam.166

Persoalan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) salah

satunya larangan ialah perkawinan. Istilah kitab fiqih menyebutnya sebagai

mawani al-nikah. Dalam pasal 39-44 KHI dikemukakan larangan perkawinan

baik yang bersifat abadi maupun sementara. Persoalan larangan perkawinan

ini ditegaskan dalam Al-Qur‟an, antara lain dalam an-Nisa’ ayat 22-24, dan

al-Baqarah ayat 221. Dalam kategori larangan perkawinan ini salah satunya

meliputi perkawinan beda agama.

Penjelasan hal ini adalah sebagaimana di berikut ini,

a. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan

antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

1) Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan

pria lain.

165165
Keduanya kedudukan KHI dapat dikatakan dalam teori hukum sebagai comunis opinion
doctorum artinya dilihat dari segi subastansi belum dapat dikatakan sebagai suatu hukum tidak
terulis. Untuk memperoleh kedudukan demikian dalam lingkungan tata hukum positif nasional,
masih diperlukan pengembangan dan peningkatan menjadi comunis opinion dan tahap berikutnya
menjadi comunio opinion necessitates. Lihat dalam, Moh. Koesnoe, Kedudukan Kompilasi Hukum
Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Varia Peradilan, No. 122 (1995), 156.
166
Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), 79.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


102

2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.167

b. Pasal 44 KHI;

”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seorang pria yang tidak beragama Islam.”168

c. Pasal 61 KHI;

”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan

kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.169

d. Pasal 116 KHI;

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi

dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut

tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.

e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

167
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), 32
168
Ibid. 33
169
Ibid., 39

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


103

f. Suami melanggar taklik talak.

g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.170

Jika dianalisis ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh

Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam

satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab

larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan

perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya

perkawinan.

Adapun MUI terkait hal ini, menegaskan larangan pernikahan beda

agama di Indonesia melalui fatwa tahun 1980 dan tahun 2005 secara khusu

membahas pada level pengharamannya. Pada tanggal 1 juni 1980, MUI

menetapkan atau mengeluarkan fatwa Nomor 05/Kep/Munas II/MUI/1980.

Aturan tanggapan atas bertambahnya perhatian masyarakat terhadap makin

seringnya terjadi perkawinan beda agama.171

Fatwa ini meliputi dua masalah yang terkait beda agama. Pertama,

bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan

dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam. Kedua, bahwa seorang

laki-laki muslim tidak diijinkan menikah dengan seorang wanita yang bukan

muslim.

Amat Penting untuk dicatat, fatwa tersebut dibahas dan diputuskan

dalam konferensi tahunan pada tahun 1980, bukannya rapat-rapat biasa

170
Ibid., 58-59
171
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), 99.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


104

komisi fatwa. Hal ini menunjukkan perhatian MUI yang besar terhadap

masalah perkawinan beda agama. Pada perkembangannya, fatwa ini

kemudian dipertegas lagi pada tahun 2005.172

Fatwa pada tahun 2005 yang merupakan fatwa yang dipakai hingga hari

ini menetapkan beberapa hal yakni sebagaimana di bawah ini,

a. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;

b. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul

mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Adapun pertimbangan yang dicantumkan dalam aturan tersebut adalah

sebagaimana beberapa hal di bawah ini,

a. Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama;

b. Perkawinan beda agama ini bukan saja mengandung perdebatan di

antara sesama umat Islam, akan tetapi juga mengandung keresahan

di tengah-tengah masyarakat;

c. Dewasa ini masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan

perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan

kemaslahatan

d. Untuk mewujudkan dan memelihara ketenteraman kehidupan

berumahtangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang

perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman sebagaimana

disebutkan di atas.173

172
Ditetepakan dalam Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005
173
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2011), 472-477.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


105

Pada inti pembahasan aturan ini, sebenarnya ada dua hal yang

signifikan. Adapun keduanya adalah pertama, pernikahan beda agama haram

dan pernikahan yang tidak sah tanpa ada qayyid. Kedua, khusus pernikahan

laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab yang dihukumi haram dan tidak

sah. Dalam hal ini fatwa item kedua ini yang sesungguhnya banyak

dipersoalkan, karena dalam al-Qur.an, hadis maupun literatur fiqih klasik

pernikahan model ini secara mendetail telah dibahas dan jumhur ulama

membolehkannya.

Selain itu, dikatakan bahwa aturan tersebut berdasarkan dasar nash

kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah. Tentunya juga dijelaskan

tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma’, qiyas yang mu’tabar

dan didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah

mursalah, dan sadz al-dzari’ah.174 Jika memang demikian, dalam

penetapannya, MUI sudah berdasar pada prosedur penetapan fatwa yang telah

ditetapkan. Dalam menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama, MUI

juga mengacu pada prosedur penetapan fatwa tersebut. Artinya, fatwa yang

dikeluarkan MUI secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil yang

digunakan serta melalui kaiah-kaidah baku dalam mengeluarkan fatwa.

Adapun dasar nash yang dicantum dalam aturan tersebut ini, lumayan

banyak. Terutama dasar-daser yang berasal dari kitab suci. Diantaranay

adalah QS. An-nisa‟ ayat 3 dan 25, QS. Ar-Rum ayat 30, QS. At-Tahrim ayat

174
Lihat, Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Pedoman
Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : U-596/MUI/X/1997

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


106

6, QS. Al-Maidah ayat 5, QS. Al-Baqarah ayat 221 serta QS. Al-Mumtahanah

ayat 10.175

Terkait dengan kaidah ushuliyyahnya yang dipakai adalah sadz al-

dzari’ah. Hasbi as-Shiddiqy mendefinisikan bahwa sadz al-dzari’ah adalah

mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan

atau menyumbat jalan menyampaikan sesorang pada kerusakan. 176 Pada

konteks ini, perlu adanya tindakan preventif untuk mencegah terjadinya

kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang

Islam dengan non Islam.

Sedangkan kaidah fiqhiyyah yang digunakan adalah dar al-mafasid

muqaddam ‘ala jalb al-masalih.177 Sehingga dapat dipahami bahwa

pernikahan seorang Muslim dan non Muslimah, terutma Ahl al-Kitāb pada

awalnya boleh dan legal, tetapi karena suatu pertimbangan siyāsah

shar‘iyyah, dan demi menutup pintu munculnya fitnah dan mafasid yang

lebih besar atau bertentangan dengan maqāṣid al-syar’iyyah, maka kebolehan

itu diperketat, bahkan ditutup.

2. Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam paradigma Fiqh Lintas Agama

Secara umum, pada dasarnya ada dua klasifikasi kitab fiqih umum yang

membahas tentang pernikahan secara umum, yakni kitab-kitab fiqh yang

merupakan istinbath hukum dari empat mazhab sunni, sperti kitab fiqh

mazhadzibul arba’ah karangan Abdurahman Al Jaziri dan kitab-kitab yang

berisi istinbath hukum modern seperti kitab Sayyid Sabiq yang berjudul fiqh
175
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI., 473-476.
176
Hasbi As-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Rizki Putra, 1997), 220.
177
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI., 477.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


107

Sunnah. Untuk membahas tentang pernikahan fiqih lintas agama ini, tentu

lebih dahulu dan lebih baiknya, penjelasan dasar pandangan kedua klasifikasi

kitab ini dipahami.

Kedua kelompok kitab ini sama mengharamkan perkawinan muslim

dengan non-muslim. Namun, ada beberapa pengecualian terutama akibat

ketentuan khusus dari QS. Al-Mâidah ayat 5 sehingga menjadikan pergeseran

tingkat hukum haram menjadi makruh, mubah atau lainnya pada kasus laki-

laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab. Untuk lebik jelasnya ada

beberapa hal yang secara mendasar dikaji. Adapun hal tersebut adalah

sebagaimana di bawah ini,

a. Perempuan Muslim Dengan Laki-Laki Non Muslim Semua Ulama

sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin

dengan laki-laki non muslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik.

Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. Al-Baqarah

ayat 221 juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10 yaitu: Wahai

orang-orang yang beriman apabila perempuan-perempuan mukmin

datang berhijrah kepada kalian, maka hendaknya kamu uji (keimanan)

mereka. Allah sesungguhnya mengetahui keimanan mereka, jika kamu

mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian

mengembalikan mereka pada orang-orang kafir. Mereka (perempuan

mukmin) tidaklah halal bagi mereka (laki-laki kafir), dan mereka (laki-

laki kafir) juga tidak halal bagi mereka (perempuan mukmin).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


108

Pada konsteks ini, Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen

sebab diharamkannya perempuan muslim kawin dengan laki-laki non-

muslim sebagai berikut:

1) Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-

Nisa ayat 141 artinya dan Allah tak akan memberi jalan orang kafir itu

mengalahkan orang mukmin

2) Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya

yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari

ajaran Nabi.

3) Sedangkan Ahli Kitab dapat mengerti agama istrinya sebab ia

mengimani kitab dari Nabi-Nabi terdahulu.

4) Dalam rumah tangga tidak mungkin suami istri hidup bersama dengan

perbedaan (keyakinan).178

b. Laki-laki Muslim Dengan Perempuan Musyrik diharamkan

Para Ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan

perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini

mencakup perempuan penyembahan berhala (al-watsaniyyah), zindiqiyyah

(Atheis), perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut aliran

libertin (al-ibahah), seperti paham wujudiyah.179

c. Laki-laki Muslim Dengan Perempuan Ahli Kitab dihalalkan

Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini

perempuan Ahli Kitab. Hal demikian berdasarkan pengkhususan QS. al-

178
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Juz. II (Bairut: Dâr Al-Kitab al-Arabi, 1985) 105-106.
179
Ibid., 99

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


109

Mâidah ayat 5. Hal ini karena pengertian Ahli Kitab disini mengacu pada

dua agama besar maupun rumpun semitik sebelum Islam.

Beberapa penjelasan di atas, ada satu yang menjadi dalam ajaran

agama, yakni pada point c. Ada beberapa ulama’ yang dalam pandanganya

malah menggaramkan yang demikian tersebut. Sayyid Sabiq mencatat hanya

ada satu sahabat yang mengharamkannya, yakni Ibnu Umar. Namun

pandangan Ibnu umar ini, menurutnya dianggap berlawan dengan relitas

historis yang sudah dipahami bersama. Dikatakan olehnya bahwa ada

beberapa sahabat mengawini perempuan Ahli Kitab. Sahabat-sahabat tersebut

diantaranya, Utsman R.A. kawin dengan Nailah Binti Qaraqishah Kalbiyyah

yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk Islam, Hudzaifah

mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan Sa ad ibn

Abu Waqas pernah kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada masa

penaklukan Kota Makkah (fathul makkah).180

Adapun penjelasan empat mazhab terkait hal demikian ini, juga sebagai

berikut:

1) Madzhab Hanafi

Para ulama madzhab Hanafi menentukan hukum haram bagi seorang

laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di

wilayah yang sedang berperang dengan Islam (dâr al harb). Alasan

adalah karena mereka tidak tunduk pada hukum orang-orang Islam

sehingga bisa membuka pintu fitnah. Laki-laki muslim yang kawin

180
Ibid 101

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


110

dengan perempuan Ahli Kitab sangat dirasa khawatir patuh terhadap

sikap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya memeluk agama

di luar agama Islam. Pada sisi ini, ada anggapan bahwa suami muslim ini

akan tidak berdaya dalam menjaga agama dan tidak menghiraukan

keimaman serta ajaran agamanya yang luhur.

2) Madzhab Maliki

Adapun pendapat madzhab imam Malik diklasifikasikan menjadi

dua. Pertama, mengawini perempuan Ahli Kitab, baik di dar al-harb

maupun dzimmiyyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan

pada dar al-harb kualitasnya lebih berat. Kedua, tidak makruh mutlak,

sebab zahir QS. al-Mâidah ayat 5 membolehkan secara mutlak. Tetapi

tetap saja makruh sebab kemakruhannya berkaitan dengan hifdun ad-

dzin.

3) Madzhab Syafi i

Fuqaha madzhab Syafi i memutuskan hukumnya makruh mengawini

perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di dar al-Islam. Bahkan menurut

mereka sangat dimakruhkan bagi yang berada di dar al-harb. Pada sisi

ini sebenarnya hampir senada dengan pendapat fuqaha Malikiyah.

Fuqaha Syafi iyah memandang kemakruhan tersebut apabila

a) Tidak terbesit calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak

perempuan Ahli Kitab itu masuk Islam

b) Masih ada perempuan muslimah yang shalih,

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


111

c) Apabila tidak mengawini Ahli Kitab itu ia bisa terperosok pada

perbuatan zina.

4) Madzhab Hambali

Muslim laki-laki hukumnya diperbolehkan dan bahkan sama sekali

tidak dimakruhkan mengawini perempuan Ahli Kitab berdasarkan

keumuman QS. al-Mâidah ayat 5. Namun, disyaratkan agar wanita

tersebut adalah wanita merdeka.181

Selain perempuan Ahlul Kitab, beberapa ulama’ juga berpolemik

dalam kontruksi Ahlul Kitab ini. Dalam Qur`an sebenarnya ada banyak

sebutan jenis perempuan yang non muslim. Salah satunya misalnya adalah

kaum perempuan shabi’ah, Majusi dan Lainnya.

Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, al-Qur an juga beberapa kali

menyebutkan pemeluk agama Shabi’ah (QS. al-Baqarah: 26, QS. al-Mâidah:

69, QS. Al-Hajj: 17), Majusi (QS. Al-Hajj: 17) serta orang-orang yang

berpegang pada suhuf (lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim yang bernama syit,

dan suhuf Nabi Musa yang bernama Taurat (QS. al- A la:19) dan kitab Zabur

yang diturunkan pada Nabi Dawud.

Mengenai perempuan Shabi’ah, para fuqaha Madzhab Hanafi

berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli Kitab, hanya saja

kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka dipersamakan dengan

pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga laki-laki mukmin boleh

mengawininya. Sedangkan para fuqaha Syafiiyah dan Hanabilah

181
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala al-Madzâhib al-Arba ah 76-77.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


112

membedakan antara Ahli Kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut

mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-

hal pokok agama membenarkan Rasul-Rasul dan mengimani kitab-kitab.182

Adapun tentang mengawini perempuan Majusi, Abdurahman ibn Auf

(w. 31 H) berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda,

perlakukanlah mereka (pemeluk majusi) seperti memperlakukan Ahli Kitab.

Logikannya, mereka bukan termasuk Ahli Kitab dan haram mengawininya.

Tetapi Abu Tsur berpendapat lain. Ia menghalalkan mengawini perempuan

Majusi karena agama mereka juga diakui dengan berlakunya membayar

jizyah (pajak) sebagaimana yang diberlakukan kepada orang Yahudi dan

Nasrani.183

Pada intinya kontruksi pembahasan dan penentuan hukum fiqh umum

terkait dengan perkawinan antar agama, didasarkan pada terminologi makna

nash ajaran Agama. Pola penafisiran sebagaimana dijelaskan di atas

dilakukan dengan mengutamakan pencarian pada makna setiap kata yang ada

di Qur’an maupun hadist. Pada pola yang demikian inilah, kontruksi fiqh

lintas agama muncul sebagai model baru yang sangat berbeda dengan metode

kajian dalam penentuan hukumnya-hukumnya.

Perbedaan yang sangat signifikan adalah adanya bangunan kontruksi

fiqh lintas agama yang menyoroti kemaslahatan realitas manusia multi-

religius. Pandangan fiqh yang demikian ini bermula dari pemikiran

cendikiwan muslim, Nurkholis Madjid dan beberapa tokoh paramadina.

182
Ibid
183
Ibid 104

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


113

Mengenai perkawinan beda agama, nash yang dipakai oleh Nurkholis

adalah tiga ayat, yakni QS. al-Baqarah ayat 221, QS. al-Mumtahanah ayat

10,QS.al-Mâidah ayat 5. Tiga ayat ini yang kemudian yang dikaji secara

mendalam oleh beberapa pakar yang ingin menggas tentang fiqh lintas

agama.

Untuk memperinci perspektif fiqh lintas agama ini, tentunya satu

persatu mari dibahas terlebih dahulu nash-nash yang menjadi kajian.

Pertama, Pada surat Al Baqoroh yang menjelaskan tentang larangan

mengawani perempuan musyirik sebelum mereka menyatakan beriman. Ayat

221 ini menurut ar Razi merupakan ayat madhaniyah yang secara jelas

mengatur pelarangan nikah dengan perempuan musyrik dan sebaliknya.184

Kedua, surat al-Mumtahanah ayat 10. Ayat ini menjelaskan tentang

salahn satu pertimbangan yang ahrus dilakukan dalam melakukan proses

nikah adalah pengujian keimanannya. Dikatakan dalam ayat tersebut, jika ada

perempuan yang mendatang laki-laki, hendaknya laki-laki tersebut menguji

keimanannya, begitupun sebaliknya. Ayat ini pada intinya sama dengan ayat

yang pertama. Ar Razi menjelaskan ayat ini juga merupakan ayat madhaniyah

yang menjelaskan tentang larangan menikah baik bagi laki-laki maupun

peremuan dilarang mengambil pasangan kafir dan musyrik.185

Ketiga, surat al-Mâidah ayat 5. Ayat ini berbeda dengan kedua ayat

sebelumnya. Ayat nampak membuka kesempatan untuk menikah dengan

orang yang non Islam. Perempuan yang tidak Islam dalam ayat ini
184
Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Kabîr wa Mafâtih Al-Ghayb (Beirut:Dâr al-Fikr, 1996), 34
185
Jelasnya baca kitabnya ar Razi tentang ma yuhallu dan ma yuhramu. Lengkap dalam Ibid,
34-35.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


114

diperbolehkan dinikahi, ayat dia mengetahui kitab yang turun sebelumnya.

Dengan kata lain, penjelasan ayat ini menghalalkan perempuan ahli kitab.

Jika dipahami sepintas, tentu ayat ketiga ini membuat sebuah distorsi

yang sangat berbeda dengan ayat sebelumnya. Pada konteks dialektika inilah

kemudian perlunya menyusun dan mepertemukan penjelasan yang sebenar-

benarnya ada dalam penjelasan ketiga ayat ini. Pada sisi inilah, Nurkholis

Madjid dan beberapa pakar paramadina, berfikir dan berupaya mengkajinya

secara serius. Kajian mereka dilakukan dengan membencangkan lebih dahulu

kontruksi “musyirik” yang sebenarnya.186

Tentang hal ini, beberapa ulama ada yang berpandangan bahwa yang

disebut musyirik adalah dua agama samawi yang menyekutukan Tuhan.

Penjelasan ini didasari pada QS; At-Taubah ayat 30-31 berikut ini:

           

             

 

         

             

 

186
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,155

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


115

Artinya: Orang-orang Yahudi berkata Uzair putera Allah dan orang Nasrani
berkata Al-Masih itu putera Allah . Demikian itulah ucapan mereka
dengan mulut mereka, meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu.
Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka selain
Tuhan selain Allah, dan juga (mereka mempertuhankan) Al-Masih
putera maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Maha Esa, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Ia. Maka Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.187

Berdasarkan ayat ini dijelaskan bahwa musyrik sama dengan dua agama

samawi yang disebut itu, karena kaum Yahudi menganggap Uzair sebagai

anak Tuhan, sementara Kristen menganggap Isa Al-Masih sebagai anak

Tuhan.188 Salah satu ulama` yang menjelaskan demikian adalah ar Razi.

Nurkholis dan beberapa pakar paramadina kemudian menentang

argumentasi yang demikian tersebut. Nurkholis membantah hal tersebut

dengan juga membawa nash. Ia menjelaskan bahwa ada nash lain yang dapat

membantah hal itu. Ia menukil sebuah dua ayat berikut ini: 189

           

            

  

Artinya:Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang (kafir) musyrik


tidak mengingikan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki Nya (untuk
diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang
besar.190

187
QS; At-Taubah:30-31.
188
Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Kabîr...,61
189
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,156
190
QS; Al Baqoroh:105

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


116

          

 

Artinya: Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan melepaskan (kepercayaan
mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.191

Penjelasan ayat ini merupakan paparan tentang adanya diferensiasi kata

musyrik dengan Ahlul Kitab. Pandangan ini didasarkan kontruksi teks ayat

yang menggunakan kata waw di dalamnya. Huruf tersebut tentu bermakna

bahwa kafir berbeda secara terminologi dengan Ahlul Kitab. Dasar anggapan

inilah yang menurut mereka menjadi dasar yang harusnya dalam membangun

fiqh lintas agama dipertimbangkan. Pada perkembangannya, pemikiran fiqh

lintas agama ini, kemudian dibantah oleh ulama’ setelahnya.192

Perbedaan cara pandang para pengupayaan lintas agama ini,

menimbulkan banyak polemik. Ada yang menyetarakan Ahlul Kitab sama

dengan kafir dan musyrik. Sehingga pernikahan dengan orang-orang yang

demikian tersebut dilarang oleh agama. Perspektif fiqh lintas agama

memandang ada perbedaan arti Ahlul Kitab dengan kafir dan musyrik.

191
QS: Al Bayyinah:1
192
Pejelasan ini pada perkembangan dibantah mufasir asal Indonesia, Qurays Shihab.
Menurutnya, memang dua ayat ini menjelaskan ada dua macam orang kafir, pertama Ahli Kitab,
dan kedua orang-orang musyrik. Itu adalah istilah yang digunakan oleh al-Qur an untuk satu
substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yaitu Ahli Kitab dan al-
Musyrikun. Ini lebih kurang sama dengan kata korupsi dan mencuri. Walaupun substansi
keduannya sama, yakni mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaannya
berbeda, seperti pegawai yang mengabil bukan haknya disebut sebagai koruptor, sementara bila
orang biasa bukan pegawai dinamai dengan pencuri. Lengkapnya, baca. Qurash Shihab, Tafsîr al-
Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, Vol. 1, 3, 14 (Cet. IX, Tangerang: Lentera
Hati) 474

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


117

Musyirik sebutan bagi orang-orang yang menyekukan Allah. Apabila

mengimani berbeda agama, maka itu bukan musyrik.193

Untuk menunjukkan perbedaan Ahlul Kitab dengan musyrik, beberapa

pakar paramadina mengambil contoh dari realiatas hukum yang terjadi di Islam

sendiri. Jika syirik itu diartikan sebagai sesutu sikap tidak menyekutuan Allah

dengan siapun. Pada nyatanya ummat Islam pun kadang dalam prakteknya

menyekutan Tuhan dengan benda, harta dan sebagainya. Coba pikir pada

kondisi berkeluarga, salah satu pasangan mempercaya sesuatu melebihi

percayanya pada kuasanya Tuhan. Apakah mereka harus bercerai dalam

kondisi tersebut. Tentu, yang demikian tidak akan terjadi.

Mereka mengemukakan bahwa musyirik yang dimaksud di Al Qur’an

bukan syarik persekutuhan Tuhan, akan tetepi syirik dalam arti luas. Pada

konteks inilah perspektif fiqh lintas agama berbeda pemahaman dalam melihat

realitas perkawinan beda agama ini.

Jadi, pada intinya ada beberapa hal yang membuat para pakar Fiqh lintas

agama menolak anggapan dengan non-muslim itu musyrik. Alasan-alasannya

tentu adalah nash dan realitas dari nash tersbut. Pada konteks realitasnya, untuk

mengistinbathkan pernikahan antar agama tentun harusnya memperhatikan

bagaimana nabi mengupayakan terbitnya Piagam Madinah yang merupakan

kesepakan antara komunitas muslim, Kristen dan Yahudi. Kedua agama ini jika

memang merupakan musyrik, kenapa mencipatkan konsensus dengan

193
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,158

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


118

mereka.194 Bahkan ada beberapa ayat sebenarnya secara eksplisit memandanga

ketiga agama samawi ini sama. Ada pun ayang tersbut adalah sebagiamana di

bawah ini,

‫آم َن بِاللَّ ِه َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر َو َع ِم َل‬َ ‫ين َم ْن‬


ِِ َّ ‫ادوا والنَّصارى و‬
َ ‫الصابئ‬ َ َ َ َ ُ ‫ين َه‬
ِ َّ
َ ‫آمنُوا َوالذ‬ َ ‫ين‬
ِ َّ ِ
َ ‫إ َّن الذ‬
195
.‫ن‬ ٌ ‫َج ُرُه ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َوَل َخ ْو‬
َ ‫ف َعلَْي ِه ْم َوَل ُه ْم يَ ْح َزنُو‬ ِ
ْ ‫صال ًحا فَ لَ ُه ْم أ‬
َ
Artinya:Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Selain itu, padangan mereka tentang dua nash ini yang disebutkan

sebelumnya telah dinasakh ayat ketiga yang disebut di awal. Hal tersebut dapat

diasumsikan karena kedua ayat sebelumnya diturunkan di Madinah, sedangkan

ayat ketiga diturunkan di Mekkah. Pemikiran ini yang kemudian menjadi dasar

dihalalkan perkawinan beda agama dalam perspektif fiqh lintas agama.196

Pada kesimpulannya, fiqh lintas agama menolak adannya larangan yang

didasarkan pada kedua nash yang disebutkan itu. Fiqh lintas agama lebih

memahami bahwa pernikahan adalah proses menuju tali kasih (al-mawaddah)

dan tali sayang (al-rahmah). Ahlul Kitab dalam kontruksi nikah antar agama

dalam perspektif fiqh lintas agama tidak lebih diapahami sekedar ahlul

dzimmih. Atau dengan kata lain, dianggap sebagai penduduk negara yang

sama-sama manusia.

194
Ibid, 158
195
QS:Al Baqoroh; 62
196
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,162

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


119

B. Kontektualisasi dan Dinamika Pernikahan Antara Agama dalam

Membangun Paradigma Pluralis Inklusif Di Indonisia.

1. Kontekstualisasi Pernikahan Antar Agama di Indonesia

Untuk memulai data dan analisa konteks dalam pembahasan ini, tentu

secara mendasar harus dikontekskan dalam kontruksi legal hukum yang ada.

Ada dasar yang sebutkan dalam UU Perkawinan 1974. Dijelaskan dalam aturan

tersebut bahwa perkawinan pertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal

dan bahagia didasarkan dalam pada keyakinan pada Tuhan yang maha esa.197

Penjelasan UU tersebut masih sangat umum sehingga, yakni dasarnya

kepercayaan pada Tuhan yang maha Esa. Apalagi aturan yang lain

sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dijelaskan bahwa perkawinan antar

agama dipasrahkan pada kepercayaan agama masing-masing. Hal inilah yang

kemudian menjadi ambigu. Sebab realitas kepercayaan kepada agama

masyarakat sangat bervarian. Sebagaimana dipahami bersama bahwa ada 5

agama yang banyak dianut di Indonesia, yakni Islam, Kristen Khatolik,

Protestan, Budha dan Hindu.

Beberapa agama ini, tentu memiliki segi ekslusifitas ajaran dalam

menanggapi perkawinan agama. Agama Islam di Indonesia misalnya

melaranga secara tegas perkawinan agama ini bahkan dalam persoalan

perwaliannya.198

197
Djaja S. Meliala, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan,
(Bandung, Nuansa Aulia, 2008),1.
198
M Anwar mengatakan bahwa Bagi orang Islam tidak diperbolehkan menikahkan (menjadi
wali) anak perempuannya yang kafir, dan orang kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahkan
(menjadi wali) anak perempuannya yang Muslimah, sebab hubungan kewalian di antara keduanya

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


120

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Islam memiliki larangan

keras menikahi laki-laki non muslim. Ada yang mengungkapkan bahwa hal ini

demi terawatnya agama si perempuan. Jika terjadi perkawinan tersbut

dikhwatirkan keyakinan perempuannya akan hancur karena peran suaminya.

Begitupun dalam agama kriten katholik, ummat mereka memahami

bahwa perkawinan beda agama tidak boleh dilakukan. Alasannya dalah kerena

perkawinan dianggap sebagai sakramen. Sakramen sendiri merupakan sebuah

kesepakatan manusia dengan Tuhan Allah. Jadi, dengan menerima Sakramen,

artinya orang itu berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus.199

Pandangan yang demikian nampaknya sama juga dengan apa yang

dipahami oleh beberapa penganut agama kristen protesten. Terkait dengan

larangannya adalah disebabkan adanya aturan yang ada dalam al-kitabnya.

Perkwanan menurut pemahaman ummat kriatiani prostestan adalah

diisyaratkan harus seiman. Hal ini semua sebagaimana yang ada dalam ajaran

beberapa ayat di kitab suci mereka.200

Keyakinan senada juga ada dalam penganut agama Hindu. Gde Pudja,

salaha satu cendikiawan Hindu mengatakan bahwa seorang pria dan wanita

sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna

terputus. Lihat dalam, Moch Anwar, Dasar–dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), 18
199
Jadi perkawinan menurut agama Kristen Katholik adalah perbuatan yang bukan saja
merupakan perikatan cinta antara kedua suami isteri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah
yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila
kedua mempelai sudah dibaptis. Hal dapat dibaca dalam, Hardikusuma Hilman, Hukum
Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan ke-3,
(Bandung: Mandar Maju, 2007),11
200
Lihat. Dalam Kejadian 38:1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan), Kejadian
46: 10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan), Kejadian 41:45 (Yusuf denganAsnat,
anak.Potijera, imam di On-Mesir), Kejadian 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Becri orang HeI).
Bilangan 12:1 (Musa - sang pemimpin Israel menikah dengan seorang perempuan Kusy).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


121

mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah

orangtuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual

menurut agama Hindu Weda Smrti. Jika perkawinan tidak dilangsungkan

dengan upacara menurut Hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah.201

Ajaran agama yang berbeda dalam hal ini adalah agama Budha. Agama

Budha memahami perkawanan saja bukan perintah wajib agama. Jadi mau

nikah atau tidak, tak ada yang mewajibkan. Namun pada konteks nikah antar

agama. Sebenarnya masih terasa ekslusif juga.

Menurut penganut agama Budha, Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

batin antara seorang pria sebagai suami, dan seorang wanita sebagai isteri yang

berlandaskan Cinta Kasih (Metta), Kasih sayang (Karuna) dan Rasa

Sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga

(rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/ Tuhan

Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa’.202

Berdasarkan aturan itulah kemudian perkawinan beda agama dalam

agama Budha wajib memakai ritual agama Budha. Hal tersebut tujuannya

untuk mendapatkan restu dari sang Budha. Jika direstui sang Budha maka

suami istri tersebut menurut merekan sudah mengamalkan ajaran Budha. Atau

dengan bahasa lain, sudah masuk agama Budha. Dengan penjelasan demikian,

nampaknya memang agama Budha sebenarnya juga eksklusif dalam persoalan

agama.

201
Gde Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, (Mayasari, Denpasar,
1975), 9
202
Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam, Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal (1)

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


122

Ada kesamaan eksklusivitas ini tentu membuat perkawinan anatar agama

di Indonesia sedikit sekali yang melakukannya. Akan tetapi dari beberapa

penelitian, penulis menemukan bahwa signifikan terkait hal yang demikian ini.

Menurut peneliti mengkaji bahwa ada pengaruh kuantitas penganut

agama pada angka nikah beda agama di Indonesia. Hal yang dimaksud adalah

terkait dengan agama minoritas dan mayoritas. Semakian mayoritas agama

tersebut, angka laki-lakinya yang melaksanakan nikah beda agama akan

semakian sedikit. Sebalikinya, semakin sedikit penganut agamanya, akan

semakan banyak orang laki-lakinya yang melaksanakan nikah beda agama.203

Adapun terkait dengan pertumbuhannya perkawinan beda agama di

Indonesia menunjukkan trend peningkatan yang signifikan. Hal demikian ini

karena secara sosiologis, warga Indonesia saat ini adalah warga negara yang

memiliki mobilitas sosial yang tinggi. Warga negara Indonesia bisa saja tinggal

di negara lain. BPS menyatakan ada peningkatan tren ini dari tahun-ke tahun.

Salah satu penyebabnya adalah kesenjangan pembangunan, yang selanjutnya

meningkatkan keinginan penduduk untuk pindah. Arus perpindahan penduduk

biasanya bergerak dari daerah yang agak terbelakang pembangunannya ke

daerah yang lebih maju. Akibatnya, daerah yang sudah padat menjadi semakin

padat. Di samping itu ada juga daerah-daerah yang penduduknya mempunyai

kebiasaan merantau.204

203
Abd. Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama
(Perbandingan Beberapa Negara), (Badan Pembinaan Hukum Nasional(Bphn) Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta, 2011), 6.
204
Achmad Muchaddam F, “Hukum Perkawinan Beda Agama”, Jurnal Kesejahteraan Sosial,
Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014, 10.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


123

Pada konteks ini tentu, setiap seorang warga negara berpotensi akan

menikah dengan siapa pun. Karena itu, negara harus menjamin hakhak setiap

warga negaranya agar memiliki status hukum yang jelas. Negara harus

membiarkan masyarakat untuk memutuskan berdasarkan hati nuraninya sendiri

untuk mengikuti atau tidak mengikuti ajaran agama dan kepercayaan yang

dianut. Akibatnya, perkawinan warga negara tidak lagi terpaku dengan nilai-

nilai luhur agama dan kepercayaannya.

Pada kesimpulanya, kontekstualisasai kontruksi pernikahan agama di

Indonesia menjadi sebuah keicayaan. Walau ada eksludifitas pememahaman

agama-agama, akan tetepi realitas yang terjadi mendorong peningkatan atau

dorongan perkenihan beda agama itu terjadi. Dengan demikian, harus diadakan

konstruksi pemahaman kembali tentang pernikahan agama di tengah-tengah

masyarakat yang heterogen ini.

2. Dinamika Pernikahan Antar Agama di Indonesia dalam Membangun


Paradigma Pluralis Iklusif

Peraturan Hukum (Positif) di Indonesia Terdapat kesulitan tersendiri

dalam merumuskan secara pasti peraturan masalah kawin beda agama bagi

umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama sebagai peradilan bagi orang-orang

yang beragama Islam yang diantarannya mempunyai sumber hukum dari

HIR/R.Bg., Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan

Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

diantaranya tidak mengatur tentang perkawinan beda agama.205

205
O.S., Eoh, Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996) 36-37

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


124

Berkaitan dengan pendapat yang sering dianut oleh para Hakim

Pengadilan Agama yang menganggap tidak boleh dilakukannya kawin beda

agama, baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim atau

sebaliknya perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Pendapat

demikian disandarkan pada KHI pada pasal 40 butir c, yang berbunyi:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu: .... seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Selanjutnya dalam KHI pada pasal 44, yaitu: Seorang wanita Islam

dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

Islam.206 Larangan tersebut menjadi lebih kuat karena Undang-undang

Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamannya dan

kepercayaannya itu. Disamping itu juga merujuk UUP pasal 8 (f), yakni:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (f) mempunyai hubungan yang

oleh agamannya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.207

Pertimbangan pelarangan kawin beda agama dalam KHI antara lain:

Pertama, pandangan bahwa kawin beda agama lebih banyak menimbulkan

persoalan, karena tedapat beberapa hal prinsip yang berbeda antara kedua

mempelai. Dalam hal ini memang terdapat pasangan perkawinan yang berbeda

agama dapat hidup rukun dan mempertahankan ikatan perkawinannya, namun

yang sedikit ini dalam pembinaan hukum Islam belum dijadikan acuan. Karena

206
KHI dalam Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992) 122-123
207
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-undang
Perkawinan

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


125

hanya merupakan eksepsi (pengecualian). Kedua, KHI mengambil pendapat-

pendapat Ulama di Indonesia dan termasuk juga di dalamnya adalah pendapat

Majelis Ulama Indonesia (MUI).208

Sebagaimana diketehui, pada tanggal 1 Juni tahun 1980 Majelis Ulama

Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kawin beda agama.

Fatwa tersebut merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai kawin

beda agama yang telah dibicarakan sebelumnya pada Konferensi Tahunan pada

tahun 1980. fatwa tersebut menghasilkan dua butir ketetapan sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk

dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki

muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempan bukan muslimah,

termasuk pula Kristen (Ahli Kitab).209

Selain dinamika aturan ini KHI dan MUI, ada juga pendapat-penadpat

yang keluar dari ormas besar keagaaamaan. Wacana yang berkembang di tubuh

Ormas Keagamaan seperti Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiah, memiliki

kebijakan dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) Nahdhatul Ulama secara resmi belum

pernah membahas masalah kawin beda agama. Namun, menurut Masyhuri Jika

diteliti kembali pembahasan masail diniyyah (masalah-masalah agama) dari

hasil sidang-sidang dalam Mukhtamar NU ke-1 tahun 1926 di Surabaya sampai

208
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesi (Jakarta: Rajawali Press, 1995) 345
209
Mohammad Atho Muzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993) 99

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


126

Mukhtamar NU ke-29 tahun 1994 di Tasikmalaya tidak ditemukan

pembahasan kasus kawin beda agama.210

Namun berdasarkan beberapa dokumen yang dikumpulkan oleh penulis,

ada beberapa dokumen yang memuat tentang hukum kawan beda agama.

Dokumen yang ditemukan ini adalah data hasil muktamar XXVII di

Yogyakarta pada November 1989. Data tersebut menjelaskan bahwa Nikah

beda agama hukumnya haram, baik dengan musyrik ataupun Ahlul Kitab.

Alasaannya adalah karena kemudharotannya lebih besar.211

Kedua, Muhammadiyah secara umum, berpandangan bahwa dalam

masalah kawin beda agama sama dengan jumhur (mayoritas) fuqaha. Laki-laki

muslim tidak dibenarkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan

perempuan muslimah juga tidak dibenarkan dikawini dengan laki-laki musyrik

atau Ahli Kitab. Sedangkan mengenai laki-laki muslim menikahi wanita Ahli

kitab, semula Muhammadiyah cenderung sepakat dengan pendapat para Ulama

yang membolehkan berdasarkan pengkhususan QS. al-Maidah ayat 5. pada

awalnya lembaga ini mengeluarkan argument bahwa Nabi sendiri pernah

kawin dengan Maria Qibtiyah seorang perempuan Nasrani Mesir, disamping

itu juga banyak dari Sahabat yang melakukan praktek perkawinan dengan

perempuan Ahli Kitab.212

Tapi kemudian ada beberapa pertimbangan lain. Menurunya, hukum

mubah (boleh) harus dihubungkan dengan alasan mengapa perkawinan itu

210
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Mukhtamar dan Munas Nahdhatul
Ulama (Surabaya: Dinamika Press, 1997)
211
Lihat Putusan Lajnah Batsul Masail Nadlotul Ulama’ November 1989 Yogyakarta.
212
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,.....,143- 145

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


127

boleh. Hal ini tidak terlepas karena salah satu hikmah dibolehkannya laki-laki

muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab bagi Muhammadiyah adalah

untuk berdakwah kepada mereka dengan harapan bisa mengikuti agama

suaminya (Islam). Namun, jika keadaan justru sebaliknya, maka hukum mubah

bisa berubah jadi haram.213

Beberapa putusan akhir kedua ormas besar ini sama memutuskan haram.

Artinya berawanan dengan KHI yang menghalalkan menikahi Ahlul Kitab.

Dinamika dialektika wacara ini tentu sangat membingungkan masyarakat.

Bahkan dari beberapa analisa reseach yang dilakukan ada yang mengatakan

istinbath hukum haram dari beberapa hasil kajian tersebut dinilai melanggar

Hak Asasi manusia (HAM). Salah saru kajian yang paling ngetrend adalah

hasil kajian sejumalah mahasiswa UI yang mengajukan yudicial review terkait

dengan aturan perkawinan yang harus didasarkan pada agama.

Berdasarkan hasil kajian ini, dikatakan bahwa agama memuliki aturan

yang eksklusif kepada kemanusian. Pemutusan hukum haram di beberapa

agama dapat dianggap melanggar HAM. Seharusnya semua manusia atau

rakyat Indonesia dijaga haknya, termasuk hak memilih pasangan.214

Selain dari pada itu, sebagaimana dijelaskan di awal pertumbuhan

manusia yang secara atroplogis dewasa ini mendorongan terjadinya kehidupan

sosial intensitasnya tinggi. Apalagi di era globalisasi ini dan di negara yang

homenitasnya tinggi, Menjadi suatu keniscayaan, nikah beda agama akan

213
Ibid, 146
214
Tri Agung Kristanto, “Aturan yang Tetap Hangat Setelah 30 Tahun Lebih”, 50 Tahun
Kompas Memberi Makna (Jakarta: PT. Gramedia, 2015), 59.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


128

tumbuh secara signifikan. Pelarangan terhadap nikah beda agama tentu dapat

saja dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Mengingat pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,

dinyatakan bahwa setiap warga dinegara secara bebas dapat menentukan

pasangannya sendiri.215 Artinya, jika ada hukum atau suatu keadaan yang

membuat mereka tidak melaksanakan pernikahan, tentunya itu merupakan

pelanggaran hak asasinya.

Pada sisi ini, nampak sekali bahwa kontruksi perkawinan beda agama

dalam persepktif ajaran agama berhadap-hadapan dengan aturan HAM. Agama

dianggap tidak berpihak pada HAM. Tentu hal ini sebenarnya juga menjadi

ambnigu jika ditela’ah dari misi agama itu sendiri. Dalam Islam sendiri

misalnya, hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, terletak pada

universalitas ajaran Islam. Universalitas hak asasi manusia telah digaransi di

dalam prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci

maupun kontruksi pemikiran ulama.216

Differensitas legal yang diatur dalam UU perkawinan dan UU HAM

merupakan hal dapat dianggap sebagai bagian dari dinamika dilematis hukum

negara ini. Yang demikian ini tentu perlu cara kongkrit yang secara

komprahensif dapat menjadi solusi problem dilematis ini. Pada kontesk inilah

kemudian dewasa ini muncul kembali gagasan tentang fiqh lintas agama.

Fiqh lintas agama nampaknya menjadi jalan bagaimana ajaran agama

ingin mempertemukan nilai-nilainya pada realitas kehidupan sosial era ini.


215
Lengkapnya lihat, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
216
Candra Perbawati, Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi Dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah Vol.12, No. 2 (2015)

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


129

Homegenitas multikultur yang merupakan keniscayaan kehidupan sosial

masyarakat Indonesia mendorong adanya upaya legal yang tidak mempersemit

kehidupan yang sedang berjalan ini. Dengan kata lain, paradigma ekslusifitas

sudah harus segera ditransformasikan menjadi paradigma inklusifitas yang

pantas menjadi tata dasar konsensus masyarakat multikultural negara

Indonesia.

Untuk mengoptimal upaya tersebut, ada beberapa pemikiran yang

ditawarkan dalam dinamika hukum nikah beda agama di Indonesia. Yang

menarik adalah dari pemikiran Nurkhlos Madjid sebagaimana dijelaskan sejak

awal. Dalam pemikirannya ini, dijelaskan beberapa argumentasi dalam

menanggapi problem nikah agama ini.

Nurkholis Madjid dalam hal ini menawarkan paradigma pluralis inklusif.

Menurutnya paradigma pluralitas wajib ada dalam tata agama di kehidupan

masyarakat dewasa ini. Pluralisme merupakan hal yang sunnatullah. Tentu

adanya tidak dapat dihindari maupun diingkari.217

Adapun dasar dari pendapatnya ini sebenarnya dalam Qur’an. Adapun

salah satunya adalah sebagaimana tertuang dalam QS: Al Maidah:44 berikut ini,

           

         

217
Hal ini dikemukan dalam bukunya Budi Munawar. Lengkapnya, lihat, Budhy Munawar
Rachman (Ed.) et. Al., Ensiklopedi Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban
(Cet. I, Jakarta: Mizan & Yayasan Wakaf Paramadina, 2006) 2704

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


130

            

         
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga
yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.218

Ayat diatas sebenarnya merupakan ayat yang Qishos. Namun ayat ini

sebenrnya mengakui keimanan nonmuslim juga. Hukum Allah artinya harus

juga sama kepada mereka. Tidak beda-bedakan. Nurkholis Madjid menjelaskan

yang demikian ini dinyatakan bahwa agama Islam Ahlul Kitab yang disebut

dalam al-Qur’an sebagai orang halal dinikahi adalah menyangkut pada semua

manusia ciptaan Tuhan. Kaum Majusi dan Zoroastrian misalnya, sudah sejak

zaman Nabi dipesankan agar diperlakukan sebagai Ahli Kitab, dan hal

demikian juga menjadi Khalifah Umar begitu pula dengan Panglima kenamaan

Muhammad ibn Qasim pada tahun 711 ketika membebaskan Lembah Indus

dan melihat orang-orang Hindu di kuil mereka, dan setelah beliau mengetahui

bahwa mereka itu juga mempunyai kitab suci, seketika itu juga beliau

menyatakan bahwa kaum Hindu termasuk kaum Ahli Kitab.219

Berdasarkan penjelasan ini maka paradigma Pluaralis yang merupakan

sunnatullah ini, mendorong adanya kewajiban bagi semua pemuluk agam untuk
218
QS: Al Maidah:44
219
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Islam” dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.) et. Al.,
Ensiklopedi Nurcholish....,2704

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


131

inklusif menerima perbedaan. Sikap inklusif ini bukan hanya dalam wacana

saja, akan tetapi harus ada dalam ruh hubungan sosial juga. Dengan demikian

inklusifitas ini merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Qur’an juga.220

Pandangan yang demikian ini, nampak sebagai upaya rekonstruksi

pemahaman sosiologis fiqh. Hal utama yang sebenarnya ditransformasikan

adalah dogmatis ilmu fiqh dan Ilmu tafsir. Keberadaan kedua ilmu ini harusnya

dianggap sama dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti tasawuf, ilmu kalam dan lain

sebagainya. Karena dogma ini, banyak istinbath hukum yang terus secara

memakai acauan tradisional dalam memahami realitas perkembangan sosial.

Jika terus demikian tentu ilmu tafsir dan fiqh akan kaku menghadapi realitas.

Padahal kedaunya ada berbasis perkembangan realitas.221 Termasuk didalam

meliputi hukum nikah beda agama. Harusnya juga mengacu pada realitas yang

berkembang.

Paradigma Pluralis inklusif ini mendorong hukum Islam diharapkan tidak

lagi hanya bercorak vertikalistik yang hanya mengupas masalah hubungan

manusia dengan Tuhannya, melainkan mencoba merambah pada masalah-

masalah kemanusiaan. Dalam hal ini, fikih didesak untuk menyentuh isu-isu

kesetaraan gender (fiqh al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh aldawlah),

kewarganegaraan (fiqh al-muwâthanah) dan lain sebagainnya. Dengan

demikian akan semakin terlihat, bahwa mendinamisasikan fikih merupakan

langkah awal guna mendekonstruksi syari at dari wajahnya yang statis,

220
Hal ini menurut Nurkholis Madjid sesuai dengan apa yang ada dalam Surat Al Imron ayat
64.
221
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,1

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


132

eksklusif dan diskriminatif menjadi syari at yang dinamis, inklusif,

egalitarianistik.222

Pada perspektif fiqh lintas agama, dalam memutuskan hukumnya, harus

diperbarui secara paradigmatik. Menurut Nurcholis, dalam ijtihad tentang

nikah beda agama yang harus diperbaiki dahulu adalah terkait dengan metode

penetapannya. Ada tradisi fiqih yang mewajibkan adanya dekontruksi dan

rekonstruksi dalam penetapan hukum. Tradisi tersebut dikenal dengan

muhâfadhah alâ al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîdil ashlah. Tradisi

ini tentu yang merupakan kebolehan mengubah dogmatis metode yang

dilakukan dalam Istinbath hukum. Dengan kata lain, dalam penetapan hukum

nikah beda agama ini perlu secara berani diupayakan mempertemukan realitas

baru dengan klasik.

Kemudian, setelah diupayakan reformasi ideologinya. Kemudian perlu

diupayakan pengkajian secara komprehensif tentang substansi yang ada dalam

hukum yang akan ditetapkan. Pada aspek ini ketentuan tersebut, dilakukan

terhadap realitas tentang masalahahnya. Sebagaimana yang dipahami bahwa

kuliyat khomsah kemaslahatan dalam ajaran Islam.223 Kelima kemaslahatan

yang disebut dalam fiqh ini tentunya harus diarahkan pada orientasi

implementasi hukum harusnya manjadi rahmatal lil’alamin. Dengan kata lain,

semangatnya memberikan perhatian bagi segenap manusia, apapun agama, ras,

dan sukunya.224

222
Ibid, 8
223
Menjaga agama (hifdz al-dîn), akal (hifdz al- aql ), jiwa (hifdz al-nafs), harta (hifdz al-
mâl), dan keturunan (hifdz al-nasab).
224
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,8

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


133

Selain dari pada upaya penguatan etis, peng-istinbath-an juga harus

didukung dengan penguatan proses inkusif yang filosofis. Artinya harus ada

upaya penguatan proses yang diadakan secara terbuka untuk penguatan

konsepsi hukum yang berdasar pada realitas.225 Pada kontek hukum lintas

agama, harus memasukkan pihak yang ahli masuk dalam proses istinbth

hukumnya. Misalnya, ahli psikologi keluarga dan sebagainya.

Pada kesimpualannya, paradigma plural iklusif pada istinbath hukum

nikah beda agama adalah upaya transfomasi proses pembuatan hukum

didasarkan pada perkembangan realitas. Hal ini sebagai upaya implementasi

hukum fiqih yang bermuara toleransi pada Heterogenitas manusia. Yang

Tentunya, telah diyakini bahwa heterogenitas tersebut adalah sunnatullah.

225
Ibid, 9.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


BAB IV

PEMBAHASAN TEMUAN

A. Analisis Konsepsi Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi

Hukum Islam Di Indonesia Dan Paradigma Fiqh Lintas Agama Di

Indonesia

1. Analisis Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi

Hukum Islam

Sebelum Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan,

telah diatur secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka

pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini

berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah

undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan

dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku

bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak

merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan,

maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.

M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama”

dalam pasal ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang

tidak teliti dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap

bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal

134

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


135

yang dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang

termasuk perkawinan antar agama. Menyamakan perbedaan agama dengan

perbedaan suku dan daerah asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya

suatu perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran

Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu

misionaris.226

Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya

perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu

pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan,

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam
penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang
ini”.

Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahami bahwa

undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk

menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut,

disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi

apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon

mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping

tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang

226
M. Rasjidi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), 10-12.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


136

No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya

masing-masing.

Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda

agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama

yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f)

bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang; mempunyai hubungan

yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.

Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 yang menyatakan,

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan


perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Dalam ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR

(STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat

diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang

bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri

sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu,

rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan

rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

berbunyi

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


137

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang


ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga

negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara

sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan,

termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan

perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

Maka dari itu, secara legal positif perkawinan antar agama dapat

dimasukkan dan mengacu kepada aturan dasar yang mengaitkan agama dan

perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

bahwa perkawinan antar agama dipasrahkan pada agamanya masing-

masing.227 Jadi untuk menentukan apakah syahnya perkawinan antar agama

ini disesuaikan dengan syahnya menurut aturan agama sendiri. Artinya, bagi

orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum

agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, dan bagi orang Hindu

atau Hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia.228

227
Shaleh, Hukum Perkawinan..., 16.
228
Pada sisi, selain Islam agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen
sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik,
maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan
kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada
prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama,
tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada
penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja
atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal
perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan
agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain
asal dilakukan menurut tata cara agama Budha. Lihat, O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam
Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 118-125

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


138

Jadi dengan demikian, untuk melihat hukum perkawinan antar agama

adalah melihat aturan legal masing-masing agama. Adapun perkawinan beda

agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari

ketentuan empat pasal. Jika dianalisis ketentuan peraturan yang ada dalam

batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak

berada dalam satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan

dalam bab larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab

pencegahan perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab

putusnya perkawinan.

Secara terperinci penjelasannya yakni pertama, pada pasal 40 KHI.

Pada pasal ini ada beberpa yang menjadi larangan bagi perkawanan laki-laki

dan perempuan. Larangan-larangan ini tentu berlandaskan pada hukum

syara`. Larangannya ada tiga hal yakni, wanita yang bersangkutan masih

terikat satu perkawinan dengan pria lain, seorang wanita yang masih berada

dalam masa iddah dan seorang wanita yang tidak beragama Islam.229

Tiga larangan ini yang berhubungan dengan perkawinan perbedaan

agama adalah larangan ketiga, yakni larangan menikahi seorang wanita yang

yang tidak beragama Islam. Berdasarkan hal ini dapat dijelaskan perkawinan

antar agama yang masing-masing se-kufu adalah muslim dengan muslimah

dan muslim laki dengan perempuan Ahlul Kitab. Artinya, hanya ada dua arah

yang dianggap se-kufu. Yang demikian ini sebagaimana dijelaskan dalam

pasal selanjutnya. Dalam hal ini, dipertegas sebagaimana pendapat pada

229
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), 32

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


139

ulama` tentang kafa’ah. Baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hambali

memandang penting faktor agama, sebagai unsur yang harus diperhitungkan.

Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur

ketaatan dalam beragama sebagai konsturksi pertimbangan Kafa’ah.230 Jika

ditela`ah larangan ini bersumber dari Al Qur an yang berbunyi:

           

           

            

        


Artinya: Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum
mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Dan juga janganlah
kamu mengawinkan (perempuanmu) dengan laki-laki musyrik
sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik
daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu.
Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka).231

Surat Al Baqorah ayat 221 satu ini kemudian dikuatkan oleh surat surat

al-Mumtahanah ayat 10. Beberapa tokoh yang menyebut ayat ini merupakan

pengharaman mutlak perkawinan dengan wanita yang tidak muslim. Artinya

tidak ada tawar menawar tentang larangan tersebut.

Tokoh-tokoh yang kemungkinan menjadi sandaran dalam perumusan

KHI ini, adalah mayotitas ahli tafsir.232 Mayoritas ahli tafsir berpandangan

senada bahwa wanita dilarang dikawini sebelum mereka beriman. Sebenarnya

selain pandangan ini ada yang juga mengatakan bahwa ada pengecualian
230
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fqh ‘ala madzahib al-Arba’ah…, Jilid IV, h. 58-61.
231
Mohamad Taufiq, Software Al Quran Digital... Surat 2 Ayat 221
232
Didasarkan pada kesamaan istimbath hukum yang telah dirumuskan.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


140

masalah iman perempuan ini. Argumentasi ini menurut pandangan mayotis

ulama` seperti as-Syafi'i,233 Imām al-Syīrāzī,234 al-Kasani,235 Ibnu Abdil

Bar,236 Ibnu Qudamah237 dan lain sebagainya.238

Menurut beberapa jumhur ulama’ sebagaimana yang disebut dia atas,

larangan ini ada pengecualiannya. Larangan ini hanya diperuntukkan bagi

perempuan musyirik. Para ulama’ membedakan perempuan musyirik dengan

perempuan ahlu kitab. Mayoritas nampaknya memilik pandangan sama. Dari

beberapa ayat sebagaimana dijelaskan dalam kajian teori menjelaskan satu

kesimpulan, yakni pada membedakan perempuan musyirik dengan

perempuan ahlu kitab. Beberapa ulama’ yang menghukumi perempuan halal

nikah dengan ahlul kitab ini, meisyarata beberapa hal. Hal tersebut seperti

jizyah dan sebaganya.

Jadi, dalam pandangan ulama’ sebenarnya ada pasangan dianggap

sekufu adalah selain sesama muslim, juga perkawinan antara laki-laki dengan

Ahlul Kitab. Beberapa ulama’ menilai hukum pernikahan tersebut halal

bersyarat. Jumhaur ulama’ mengatakan mereka dapat sekufu asal memenuhi

syarat tersebut.

Pada titik inilah perberbedaan istinbath hukum dalam legislasi hukum

di Indonesia sangat berbeda dengan jumhur ulama’. Artinya, konsepsinya pun

233
Imām al-Syāfi‘ī, Ahkām al-Qur’ān,....125-126.
234
Syeikh Imām Abū Ishāq, al-Muhadzdzab fī Fiqh ...44.
235
Lihat Al-Kasani, Badaai' Ash-Shanaai' ,..271
236
Lihat Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, II/543
237
Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni...472
238
Bahkan dalam Ibnu Katsir menyebutkan Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Saíd bin Jubair
serta ahli tafsir lainnya juga berpendapat sama. Lengkapnya baca Ibn Katsir, Tafsir al-Qurán....
558.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


141

tentu juga akan berbeda. Sebegaimana dijelaskan sebelumnya adalah pada

konsepsi sekufu pasangan ahlul kitab. Untuk mengetahui kontruksinya ini,

lihatlah gambar di bawah ini,

Gambar 4.1 Konstruksi Se-kufu Dalam Pandangan Jumhur Ulama’

Lak-Laki Perempuan
Se-Kufu

Muslim Tidak-kufu Tidak Se-kufu Muslim


Se-kufu

Tidak Se-kufu
Tidak Se-kufu

Tidak Se-kufu
Kafir Kafir

Se-kufu Bersyarat

Tidak Se-kufu

Ahlul Kitab Ahlul Kitab

Pada konteks ini nampak menjelaskan bahwa konsepsi se-kufu239 itu

juga menyangkut keimanan dalam agama. Perempuan yang tidak beriman,

dalam hal ini dalam KHI disebut yang tidak muslim adalah perempuan yang

tidak se-kufu jika dinikahi. Dalam konteks Ahlul Kitab

Kedua, Pasal 44 KHI. Penjelasan tentang konsepsi se-kufu ini kemudian

diperjelas dalam pasal selanjutnya ini. Dalam pasal ini dijelaskan, Seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

tidak beragama Islam.240 Yang demikian ini mengacu kepada konsepsi

tentang posisi pihak wanita dianggap tidak serasi ketika wanitanya muslim

dan si laki-laki non muslim.

239
Konsepsi sekufu berasal dari konstruksi terminologi Kaff’ah. Yang demikian ini memiliki
makna adanya keserasian, keseimbangan atau lebih umum dikenal sebagai konsepsi perkawinan
yang serasi. Lengkapnya baca, Kamal Mukhtar, “Asas-asas Hukum Islam tentangPerkawinan”,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 69.
240
Ibid. 33

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


142

Gagasan demikian ini nampaknya merupakan hukum yang didasarkan

QS. Al-Baqarah 221. Gagasan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama

tentang kebatilan pernikahan ini. Yang demikian ini sebagaimana

diungkapkan oleh Sayyid Sabiq,241 Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Ibnu

Katsir,242 ash-Shabuni.243 Sehingga wajar bila MUI mengeluarkan fatwa

haram.244

Setelah membaca penjelasan ini konsepsi se-kufu menjadi tambah jelas

apa yang sebenarnya diatur dalam KHI. Aturan KHI sebagaimana dalam

pandangan mayotas ulama’ yakni menekan pada tercapainya penjagaan

agama yang komprahensif. Namun berbeda dalam pengambilan

keputusannya. Hal dikarenakan KHI didasarkan pada realitas ahlul kitab yang

ada di Indonesia.

Ketiga, Pasal 61 KHI. Dalam pasal ini dikatakan, tidak se-kufu tidak

dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak se-kufu

karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.245 Pasal ini menjelaskan KHI

lebih menekankan adanya se-kufu berdasarkan agama sebagaimana garis

pijak pada gambar di atas.

241
Selain dalil yang lain di atas Sayid Sabiq juga menyitir ayat lain QS. Al-Mumtahanah: 10
dengan makna kurang lebih demikian: "...mereka (muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka...” Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh As-
Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1990). 95
242
Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Al-Misbah Al-Munir fie Tahdzibi Tafsier Ibn Katsir.
2008 Kairo: Al-Maktabah Al-Islamiyah hlm. 1217
243
Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsier ayat ..., 406
244
Lihat selengkapnya mengenai fatwa tersebut dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.(Jakarta: Depag. 2003), 167-169. selain MUI juga sebelumnya telah lama Negara
mengesahkan UU Pernikahan No.1 Tahun 1974 beserta Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
disahkan dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dimana Negara tidak mengakomodir adanya Pernikahan
lintas agama di Indonesia.
245
Ibid., 39

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


143

Agama Islam menjadikan keimanan seseorang sebagai pijak dasar

penentuan hukum perkawinan antar agama. Adanya keserasian lain, tidak

dipertimbangkan atau tidak dasar perse-kufu-an antar calon memperlai. Pada

sisi ini dapat dimisalkan dua calon laki maupun perempuan yang merasa

serasi karena mereka sama kaya misalnya, namun yang perempuan muslin

dan laki-lakinya kafir. Keduanya tetap tidak boleh melaksanakan nikah secara

agama. Bahkan, jika ditela`ah lebih jauh, pernikahan keduanya dilarang

secara legal positif. Yang demikian ini karena didasarkan pada UU

Perkawinan yang belaku. Sebagaiman dijelaskan sebelumnya bahwa

perkawinan antar agama dilaksanakan menurut kepercayaan agamanya.

Keempat, Pasal 116 KHI. Pasal ini menjelaskan tentang segala sesuatu

yang menyebabkan atau menjadi alasan diperbolehkan perceraian. Dalam

aturan ini tujuh alasan yang dapat mensyahkan terjadinya perceraain. Yang

paling menarik dari ketujuh hal tersebut adalah adanya tidak se-kufu karena

pindah agama. Kaliamat lengkapnya adalah demikian, peralihan agama atau

murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah

tangga.246

Pada penjelasan pasal ini dikemukan adanya perbedaan substansi

penjelasan sebelumnya. Pada kondisi dimana salah seorang baik laki dan

perempuan yang terikat dalam pernikahan, dapat batal pernikahannya

disebabkan adanya alih agama. Namun dalam pasal ini dijelaskan alih agama

yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan. Dengan kata lain, terjadi

246
Ibid., 58-59

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


144

ketidak se-kufu-an disebabkan adanya peralihan agama dari Islam ke non

Islam. Pada sisi ini, ketidaktentaraman menjadi satu kesatuan hal yang

menjadi alasan dalam syahnya pernikahan.

Penjelasan tentang alasan ini jika ditela`ah lebih lanjut, sebenarnya

menjadi sesuatu yang membungungkan. Dikatakan demikian karena pasal-

pasal sebelumnya nampak sangat patuh pada ajaran murni agama. Penjelasan

sebelumnya memberikan pemaham bahwa yang menjadi utama dalam

konsturksi se-kufu adalah signifikan iman atau agama yang dianut. Dengan

kata lain, keimanan menjadi yang utama dalam menentukan perkawinan

tersebut haram apa tidak.

Berbeda dari sebelumnya, penjelasan pada pasal ini nampak lebih

dinamis. Seolah memandang perbedaan agama tergantung pada akibat yang

disebabkan. Dapat diasumsikan ini disebabkan pasal ini menyangkut tentang

perceraain, sedangkan pasal sebelumnya menyangkut hal-hal terkait

pertimbangan pra perkawinan. Asumsinya secara mendasar, perkawinan yang

sudah berlangsung dipandang sudah dapat menjalankan keluarga sakinah

mawaddah wa rahmah.

Walaupun diasumsikan demikian tetap saja keputusan ini sangat

membingungkan. Nampaknya ada perusakan epistemologi dasar istinbath

hukum. Pasal 116 ini nampak menitegrasikan dua variable berbeda kedalam

sebagai syarat syah melakukan perceraian. Padahal jika komitmen pada pasal

61 KHI, tentu tidak demikian. Dalam pasal 61 se-kufu yang diakui adalah

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


145

serasi dalam agama atau keimanan. Se-kufu merupakan syarat dasar yang

nampak berdiri sendiri.

Hal demikian tentu sangat berbeda dengan apa yang ada dalam pasa

116. Dalam pasal ini dijelaskan perceraian syah jika alasannya salah satu

pasangan pindah agama dan hal tersebut menyebabkan ketidak rukunan. Hal

ini menandakan adanya pengakuan se-kufu lain selain agama yang

disyaratkan menjadi alasan syah perceraian. Perbedaan ini tentu merupakan

satu titik yang membingungkan dan menimbulkan banyak ambiguitas.

Keambiguan terletak pada bagaimana jika salah satu pasangan pindah agama

Islam, tetapi masih rukun.

Disamping aturan yang dalam KHI, berbicara legal hukum di Indonesia

sendiri didapati juga telah keluar Fatwa dari MUI. Keputusan Majelis Ulama

Indonesia tahun 1980.247 Senada dengan yanga ada dalam KHI fatwa ini

menjelasakan bahwa Perkawinan wanita yang beragama Islam dengan laki-

laki yang tidak beragama Islam hukumnya haram. Begitupun juga sebaliknya,

laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah hukumnya

juga haram. Adapun terkait dengan perkawinan antara laki-laki muslim

dengan wanita Ahlul Kitab terdapat perbedaan pendapat. Namun Setelah

mempertimbangkan bahwa mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar

247
Fatwa tersebut dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, sebagai tanggapan atas bertambahnya
perhatian masyarakat makin seringnya terjadi pernikahan antar agama. Menurut kenyataannya,
pembicaraan mengenai fatwa ini diadakan pada konferensi tahunan kedua MUI pada tahun 1980
dan bukannya dalam rapat-rapat biasa komisi fatwa. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Hamka,
Ketua Umum, Kafrawi, dan Sekretaris MUI. Yang juga menarik bahwa fatwa itu dibubuhi tanda
tangan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira Negara. Dijelaskan dalam, Pagar, Perkawinan
Beda Agama: Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Ciptapustaka Media,
2006), 65.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


146

daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memutuskan hal tersebut

haram.248

Pada konteks Ahlul Kitab inilah KHI dan MUI berbeda dengan hasil

keputusan jumhur ulama’. KHI dan MUI melarang seoranga laki-laki muslim

nikah dengan perempuan ahlu bait. Sedangkan jumhur ulama’ menolak

secara tegas hal tersebut. Perbedaannya sebagaimana di bawah ini,

Gambar 4.2 Kontruksi Se-kufu KHI dan MUI

Lak-Laki Perempuan
Se-Kufu

Muslim Muslim
Tidak-kufu Tidak Se-kufu

Tidak Se-kufu
Tidak Se-kufu
Tidak Se-kufu
Kafir Tidak Se-kufu Kafir

Tidak Se-kufu
Tidak Se-kufu

Ahlul Kitab Ahlul Kitab

Berdasarkan gambar di atas, MUI dan KHI hanya pada satu point garis

se-kufu, yakni hanya muslim dnegan Dasar MUI menetapkan ini haram

disebabkan adanya pendapat bahwa bahwa non Muslim dewasi ini bukan lagi

dianggap sebagai sebagai ahli kitab, mereka telah berbeda dengan ahli kitab

yang dimaksudkan oleh Q.S. Al-Ma’idah: 5.249

Penulis mencoba menela`a terjadinya perbedaan yang ada dalam KHI

dan MUI dengan pandangan jumhur ulama’ ini. Penulis dapat memahami

seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl

248
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama, 2003),
169.
249
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993),
99-104.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


147

Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan

yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan

hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin apabila pasangan

suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya.

Mahmud Syaltut–sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya-

menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya

perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan

perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang.

Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan

sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin

secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam. Adapun jika sang

suami muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya

sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan

dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut

disepakati – untuk dibubarkan.

Pada konteks ini penting juga memperhatikan penjelasan Rasyid Ridha

dan Muhammad Abduh. Mereka mengungkapkan bahwa yang dimaksud

dengan ahli kitab adalah ahli tauhid (orang yang mengesakan Allah SWT.)

dari orang-orang sebelum Islam kemudian mereka ditimpa oleh fitnah

kemusyrikan dari orang musyrik yang memeluk agama mereka, kemudian

mereka terputus dengan masa lalu mereka.250 Jika ditela`ah lebih dalam

250
Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh,Tafsir al-Manar, juz 6.(Beirut: Dar al-
Fikr, t.t), 177

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


148

pandanga ini merupakan penjelasan yang memandang perempuan Ahlul Kitab

perempuan yang beriman dan belum mengenal Islam.

Selain penulis juga menemukan gagasan Hazairin yang menjelaskan

bahwa kebolehan mengawini wanita kitabiyah tersebut seperti yang

dikemukakan Allah Swt. dalam Q.S. Al-Ma’idah:5 adalah berupa dispensasi,

karena suatu keadaan di mana ada kesulitan bagi pria muslim untuk

mendapatkan wanita muslimah di sekitar mereka, karena memang jumlah

wanita muslimah saat itu sangat sedikit.

Sehubungan dengan kondisi Indonesia yang ada sampai saat ini ternyata

tidak demikian halnya, karenanya dispensasi tersebut tidak boleh digunakan,

artinya tidak boleh menikahi non muslim dengan alasan sulit untuk

menemukan wanita msulimah, sedang mereka itu adalah tergolong wanita

kitabiyah. Kemungkinan kebolehan menikahi wanita kitabiyah ini hanya

dapat dilakukan di negeri-negeri yang penduduknya minoritas muslim,

sedangkan wanita kitabiyah banyak dijumpai di sana. Dengan demikian tidak

diperkenankan bagi seorang muslim di Indonesia ini untuk menikahi wanita

non muslim dengan alasan bahwa mereka itu aalah tergolong wanita

kitabiyah.251

Bila dilihat ragam pandangan ulama, baik yang menerima keberadaan

komunitas non muslim yang dalam hal ini adalah ahli kitab (seperti Yahudi

dan Nasrani), dalam kaca mata metodologis, sesungguhnya kesemuanya telah

melakukan upaya pemahaman dan penalaran agama yang sering dikenal

251
Ibid., 85- 66

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


149

dengan ijtiihadi. Pada hanya secara mendasar pada makna Ahlul Kitab itu

sendiri.

2. Analisis Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Fiqih Lintas

Agama

Untuk membahas tentang konsepsi pernikahan beda agama dalam fiqh,

tentu lebih harus memahami tentang fiqh itu sendiri. Fiqh dalam pengertian

produk pemikiran Islam di bidang hukum, merupakan hasil interaksi antara

dimensi nash252 dengan dimensi penalaran manusia. Dimensi nash dimaksud

adalah Al-Quran dan Hadis, sedangkan penalaran yang dimaksud adalah

pola istinbat yaitu qiyas istihsan mashalih al- mursalah, istishhab, ‘urf, sadd

dzari’ah dan lainnya. Dengan demikian fiqh merupakan hukum Islam yang

bersumber dari wahyu pada satu sisi, dan di sisi lain hukum Islam juga

melibatkan dimensi kemanusiaan dalam memberikan bentuk dan rupa dari

produk hukumnya.

Dalam pola penalaran dimaksud dalam studi ini, akan mencakup apa

yang dimaksud dalam usul fikih sebagai al-qawa’id al-

lughawiyah dan qawa’id al tasyri’iyyah serta dalil-dalil253 selain Al-Qur’an

dan Hadis. Selanjutnya pola penalaran ini dibedakan ke dalam tiga kelompok,

yaitu: pola penalaran/ijtihad bayani, ta’lili, dan istishlahi.254

252
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terjemahan Agah Garnadi, (Bandung:
Pustaka, 1984), 110. Lihat juga, Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,, (Kairo: Mathba’ah ‘Ali
Subeih, 1968), 8 dan 119.
253
Dalil secara bahasa berarti petunjuk (penunjuk) jalan atau panduan. Secara teknis adalah
sesuatu yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa yang dicari (fa huwa ma yumkinu al-
tawashshul bihi ila al-‘ilm bimathlubin khabariyin).
254
Pengelompokan yang mirip seperti dikemukakan di atas, diberikan ad-Dawalibi, dalam
kitabnya, al-madkhal ila ‘ilm ushul al-fiqh, (Beirut: Dar al- Kitab al-Jadid, 1965), . 389 dan 422.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


150

Adapun yang dimaksud dengan pola penalaran atau

ijtihad bayani adalah penalaran yang pada dasarnya bertumpu kepada kaidah-

kaidah kebahasan (semantik). Dalam usul fikih, kaidah-kaidah ini telah

dikembangkan sedemikian rupa,di bawah judul al-qawa’id al-lughawiyah

atau al-qawa’id al-istinbathiyyah, yang mungkin dapat diterjemahkan secara

bebas dengan istilah “semantik untuk penalaran fikih”. Di dalamnya dibahas

antara lain, makna kata (jelas tidak jelasnya, luas sempitnya), arti-arti perintah

(al-amr) dan arti-arti larangan (an-nahy), arti kata secara etimologis, leksikal,

konototif, denotatif dan seterusnya, cakupan makna kata yaitu: universal

(‘am), partikular (khash), dan ambiguitas (musytarak), serta teknik-teknik

mengartikan susunan kalimat atau rangkaian kalimat.255

Sementara itu, yang dimaksud dengan penalaran ta’lili adalah penalaran

yang berusaha melihat apa yang melatar belakangi suatu ketentuan dalam Al-

Qur’an ataupun Hadist. Dengan kata lain, apa yang menjadi ‘illat (rasio

logis), dari suatu peraturan. Para ulama melihat bahwa semua ketentuan

ada ‘illatnya, karena tidak mungkin Allah memberikan peraturan tanpa

maksud dan tujuan.256

Beliau membaginya kepada : (1) al-ijtihad al-bayani, (2) al-ijtihad qiyasi,(3) al-ijtihad al-
istishlahiy.Tetapi dia sendiri tidak puas dengan katagori ini, karena tidak tegas kriterianya.Sebagai
contoh misalnya, dalil istihsan dapat masuk dalam katagori pola penalaran qiyasi, namun mungkin
juga dapat masuk dalam kategori pola penalaran istishlahi.Dalam upaya menegaskan dari
ketidakjelasan tersebut maka istilah yang dipakai di sini adalah pola penalaran ta’lili, karena istilah
ini mencakup semua kategori dari pemahaman tentang istihsan tersebut.
255
Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarkhasi, dengan tahqiq Abu al-Wafa’ al-Afghani, (Kairo:Dar al-
Kitab al-‘Arabi, 1372), jilid 1, h. 11.
256
Jumhur ulama usul fikih berpendapat bahwa perintah dan larangan Allah mempunyai
sasaran yang ingin dicapai..Lebih lanjut lihat. Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-
Islamiyyah, 1986), 150.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


151

Dalam Al-Qur’an dan Hadis sendiri ada ketentuan-ketetntuan yang

disebutkan langsung ‘illat-nya. Dari ketentuan yang tidak disebutkan ‘illat-

nya secara langsung, ada yang gelap namun dapat ditemukan melalui

perenungan yang dalam, namun ada yang tetap gelap dan sampai sekarang

belum terungkap. Kebanyakan peraturan-peraturan yang tidak diketahui íllat-

nya adalah peraturan-peraturan di bidang ibadat mahdhah (murni). Para

ulama telah merumuskan cara-cara menemukan ‘illat dari ayat dan Hadis

serta menyusun kategori-kategorinya.

Adapun yang dimaksud dengan penalaran istishlahiy adalah penalaran

yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadis yang mengandung

“konsep umum” sebagai dalil atau sandarannya. Misalnya ayat-ayat yang

menyuruh berlaku adil, tidak boleh mencelakakan diri sendiri/ orang lain.

Dalam pola penalaran istislahi termasuklah di dalamnya dalil-dalil

seperti mashalih mursalah, sadd adz-dzari’ah, ‘urf dan istishab.

Untuk lebih terperincinya, pembahasan ini akan menganalisa beberapa

kitab fiqh yang membahasa tentang hal demikian tersebut. Sepanjangan

catatan penulis ada dua klasifikasi kitab fiqh yang dapat dianalisa. Pertama,

kitab-kitab fiqh yang merupakan istinbath hukum dari empat mazhab sunni.

Yang demikian ini seperti kitab fiqh mazhadzibul arba’ah karangan

Abdurahman Al Jaziri dan beberapa kitab sejenis lainnya. Kedua, kitab-kitab

yang berisi istinbath hukum modern seperti kitab Sayyid Sabiq yang berjudul

fiqh Sunnah.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


152

Pembahasan pada point ini akan menyangkut tentang beberapa istinbath

hukum perkawainan antar agama yang merupakan interaksi antara dalil

agama dengan akal manusia. Dengan kata lain, beberapa analisis dalam

pembahasan akan mendiskusikan ulang beberapa hasil pemikiran yang

dikorelasikan pada nash-nash agama. Kemudian, secara terpadu akan

mengkaji pada pandangan konsepsi lintas agama di dalamnya.

Untuk lebih detailnya pembahasan, tentu perlu untuk mengkaji

bagaimana kontruksi pernikahan dalam perspektif fiqh lintas Agama. Adapun

yang dimaksud fiqh lintas agama, sebenarnya merupakan ijtihad salah satu

cendikiawan muslim yang berupaya memahami fiqh secara kontekstual. Fiqh

lintas agama ini dianggap sebagai yang lebih teloren, plural dan sebagainya.

Sebelum membahas tentang perkawainan antar agama dalam

persepektif fiqh lintas agama ini, lebih bijak untuk membahas tentang

pandangan umum pernikahan antar agama. Pernikahan sendiri menurut

beberapa pandangan mayoritas ulama fiqh merupakan suatu hal yang sakral

(suci) yang harus dipegang teguh. Sebab kata pernikahan disertai dengan

kata aqad. Dalam bahasa Arab, kata aqad berarti menghubungkan dua ujung

dan mengikatnya dengan kokoh.

Seseorang yang memasuki kehidupan rumah tangga seperti orang yang

akan berlayar mengarungi lautan untuk mencapai suatu pulau idaman yang

penuh dengan segala kenikmatan. Dalam menjalani kehidupan berumah

tangga setiap insan harus memiliki kesamaan pandangan tentang hakikat

pernikahan yaitu sebagai amanah Allah yang harus dipertanggung jawabkan

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


153

kepada-Nya. Sebab itu sebagai amanah Allah, maka segala masalah yang

timbul dalam kehidupan rumah tangga harus diatur sesuai dengan hukum

Allah dan Rasul-Nya dan bukan diputuskan dengan dorongan hawa nafsu dan

bisikan setan.257

Rasulullah sangat menganjurkan pernikahan dan memberi tuntunan

kepada umatnya dalam memilih pasangan hidupnya. Kriteria yang beliau

ajarkan sangatlah memperhatikan dimensi duniawi dan ukhrawi. Namun

beliau sangat menekankan faktor agama yang harus menjadi prioritas utama

dalam memilih pasangan hidup. Sebab pada hari kiamat beliau akan bangga

jika umatnya banyak dan melebihi umat para Rasul sebelumnya. Generasi

muslim harapan Rasulullah ini tentunya hanya akan lahir dari pasangan

sesama muslim. Adapun dari pasangan beda agama, sangat sulit diharapkan

lahir generasi Islam.

Sebagian ulama’ berendapat bahwa pernikahan seorang muslimah

dengan seorang nonmuslim, baik orang musyrik ataupun kafir Ahli Kitab

hukumnya haram secara mutlak. Hal tersebut berdasarkan QS al Baqarah 221

dan QS al Mumtahanah:10. Berkenaan dengan masalah ini, para pendukung

pernikahan beda agama mengusung metode historis kontekstual dalam

menafsirkan nash Al Qur’an dan Hadits. Hal demikian sebagaimana yang

dijelaskan oleh Sayyid Sabiq,258 Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Ibnu

257
Nata, Abuddin, Pendidikan Spiritual Dalam Tradisi Keislaman : 100
258
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah...,95

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


154

Katsir,259 ash-Shabuni.260 Hal senada juga ada dalam hukum yang kelaurkan

MUI.

Ada beberapa ulama yang secara mutlak mengharamkan pernikahan

beda agama termasuk laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab karena

menurut mereka Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah berbuat kemusyrikan.

Mereka mengacu pada pendapat Abdullah Ibn Umar yang mengatakan bahwa

tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dibandingkan wanita yang meyakini

bahwa Isa Ibn Maryam adalah Tuhan-Nya.261

Selain hukum keharamannya, jumhur ulama membolehkan pernikahan

tersebut. Pendapat ini mengacu pada QS al Maidah:5. Ada hadits yang

menguatkan ayat di atas diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar,

Utsman, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat lainnya yang semuanya

menunjukkan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab.

Pernikahan Rasulullah saw dengan Mariyah al Qibthiyyah dan di antara

sahabat pun ada yang mempraktekannya. Dengan demikian kebolehan ini

dapat dikatakan ijma’ sahabat.

Didasarkan dengan penjelasan tersebut, mayoritas ulama’

kemudian memutuskan hukumnya mubah bersyarat. Adapun syaratnya

sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas yakni membayar Jizyah.

259
Shafiyu ar-Rahman al-Mubarakfuriy, Al-Misbah Al-Munir ,,,.1217
260
Muhammad Ali as-Shabuni, tafsier ayat ...., 406
261
Huzaimah Tahido Yanggo dkk, Membendung Liberalisme..., 142. Baca juga Huzaimah
Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah....,158-159

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


155

Ada juga juga yang berpendapat, syaratnya harus merupakan keturunan

nasrani.262

Para ulama memang berbeda pendapat dalam memahami term Ahli

Kitab sebagaimana penulis kemukakan pada bab sebelumnya tentang Ahli

Kitab. Namun pendapat yang rasanya lebih kuat adalah pendapat Imam

Syafi’i yang mengatakan bahwa Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan

Nasrani dari keturunan Bani Isra’il dengan alasan, Nabi Musa as dan Nabi Isa

as hanya diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada bangsa-bangsa lainnya.

Bukan Yahudi dan Nasrani yang ada pada saat ini sebab mereka memiliki

keyakinan syirik.

Berdasarkan pendapat ini, maka penganut agama Yahudi dan Nasrani

Kristen yang ada di Indonesia bukanlah Ahli Kitab sebab mereka bukan

keturunan Bani Israil. Jadi berdasarkan pendapat di atas maka hukum

pernikahan dengan Ahli Kitab sama dengan hukum pernikahan dengan orang

musyrik. Yang secara tegas dinyatakan keharamannya dalam QS al

Baqarah:221 dan QS al Mumtahanah:10. Pada konteks ini kemudian

istintabth hukum yang dihasilkan adalah haram.

Berdasarkan hal demikian di atas, istinbath yang dilakukan oleh

beberapa ulama` di atas adalah berasal dari proses interaksi nash dan akal

melalui beberapa dasar epistimologi fiqhiyah. Pertama, merujuk pada

maqosidus syari`ah. maqosidus syari`ah ini dikenal dengan masalahah

sebagaimana dalil berikut ini,

262
Yang demikian ini dijelaskan dalam, Muhammad Ali as-Shabuni, tafsier ayat al-ahkaam
....204 dan Imam Syafi’i, Al-Umm, juz 4..., 193.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


156

‫ومقصودالشرع من الخلق خمسة وهوان يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم‬


263
.‫ونسلهم ومالهم بكل مايتضمن حفظ هده األصول الخمسة فهو مصلحة‬
Artinya : Adapun tujuan syara` dalam setiap makhluk yakni ada lima, yakni
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Melalui
segala apapun yang dapat menjaga katehanan yang lima ini maka
disebut masalahah.

Untuk menentukan hukum sya’riat hendaknya merujuk kepada

maqashid as syariah (tujuan dan filosofi sya’riat) yang memuat pertimbangan

dan prioritas kemaslahatan. Dalam maqashid as syariah yang telah

dikembangkan oleh al Ghozali dalam kitabn Mustasfa, Hifzh ad din

(memelihara agama) menjadi prioritas utama. Hal ini beda dengan para

reformis yang melihat sengaja memutar balikkan konsep as Syatibi tentang

Hifzh ad din dan kemudian mencocokannya dengan gagasan mereka.

Sehingga makna yang terkandung dalam Hifzh ad Din menurut ulama fikih

berbeda dengan yang dipahami oleh kaum pendukung pernikahan beda

agama.

Para ulama fikih memahami Hifzh ad-din dengan memelihara agama

maksudnya adalah agama Islam yang mencakup aqidah, syariah dan akhlaq

sebagai salah satu tujuan hukum Islam. itu menjadi kewajiban kaum

muslimin. Sedangkan mereka kaum liberal memahami Hifz Ad-din yang

dalam hal ini dipelopori Musdah Mulia, memahaminya dengan “memelihara

hak kebebasan beragama”, yang menurutnya bahwa salah satu tuntutan

263
Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustasfa fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Dâr al Qalam, 1993), 384-387.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


157

agama yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa

memandang jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, bahkan agama.264

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, kita patut

juga merenungkan dan menimbang kembali aspek mudharat dan mashlahat

yang timbul dari pernikahan beda agama. Pertimbangan tersebut antara lain

kaidah fiqh sadd adz dzariah265 yang menekankan sikap preventif dan

antisipatif bersadarkan pengalaman dan analisis psikologis dan sosiologis

untuk mencegah terjadinya pemurtadan dan hancurnya rumah tangga akibat

konflik ideologis dan akidah akibat pernikahan beda agama.266

Kedua, kaidah dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih yang

mengajarkan skala prioritas dalam menetukan pilihan hidup yaitu

menghindari resiko, dalam hal ini berupa pemurtadan dan broken

home, daripada mencari kemaslahatan berupa menarik pasangan hidup dan

anak-anak serta keluarganya yang nonmuslim menjadi pemeluk agama Islam.

Apalagi masih banyak orang muslim yang belum memahami betul ajaran

Islam, sehingga sulit sekali jika ingin menarik pasangannya memeluk agama

Islam. Seperti orang yang tidak bisa mengendarai sepeda lalu ingin melatih

orang yang tidak bisa sepada supaya bisa mengendarai sepedanya. Yang

264
Huzaimah Tahido Yanggo dkk, Membendung Liberalisme : 118-120
265
Kaidah menghalangi atau meyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau
maksiat. Lihat Kamus Ilmu Ushul Fikih : 293
266
Courtenay Beale dalam bukunya Mariage Before and After memberikan warning bahwa
pasangan suami istri yang terdapat religious antaginism (konflik kepercayaan agama) seperti pria
Katolik dan wanita Protestan atau Yahudi, masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran
agama atau ideologinya, maka sulit sekali menciptakan sebuah kehidupan rumah tangga yang
harmonis dan bahagia dan bahagia lahir-bathin.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


158

terjadi bukan yang diajari itu bias, sebaliknya justru dirinya akan binasa

ditangan atau terjatuh.

Berdasarkan penjelasan di atas, sebenranya kajian proses pe-istinbath-

an hukumnya sudah sesuai dan secara umum sudah sesuai dengan kerangka

pada umumnya. Beberapa kaidah yang digunakan juga sudah tepat. Lantas

bagaimana dengan pandangan fiqh lintas agama.

Perbedaan pandangan fiqh umum di atas dengan fiqh lintas agama,

nampak ada dalam beberapa penjelasan. Pada intinya dalam kajian tefsirnya

tentang kontruksi Ahlul Kitab dan penembatan kerangka kaidahnya.

Kontrukinya tentang terminiloginya dan posisi kaidah fiqh yang dipakai

dalam perspektif lintas agama, lebih berorientasi pada nilai-nilai universalitas.

Tentang Tafsir misalnya, ada pemahaman yang berbeda tentang tiga

ayat dalam al-qur’an yang dijelaskan di awal. Ayat al Maidah ayat 5 dalam

pandangan fiqh lintas agama, menjadi ayat yang menasakh ayat kedua

sebelumnya (QS. al-Baqarah ayat 221, QS. al-Mumtahanah ayat 10). Menurut

Nurkholis ayat ini sebenarnya merupakan nasakh pada larangan menikahi non

muslim. Ayat merupakan ayat yang menghalal perempuan non Islam untuk

dinikahi. Inilah yang menjadi dasar angagapan bahwa Islam sangat torleransi

pada kemanusiaan.267

Untuk memperkuat hal ini, kemudian fiqh lintas agama menawarkan

kontruski Ahlul Kitab yang dianggap sangat berbijak pada huminitas. Yang

ditawarkan adalah ayat Al Bayyinah ayat 1. Penjelasan ayat ini menjelaskan

267
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,162

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


159

adanya perbedaan Ahlul Kitab dengan orang kafir. Jadi menurut mereka

menjadi satu kesalahan jika kontruksi Ahlul Kitab disamakan dengan

kontruksi Ahlul Kitab.268

Selain itu, dalam persepktif fiqh lintas agama memandang bahwa Allah

SWT sebenarnya memrintahkan untuk tidak membedakan manusia dalam

menjanjalan amal sholeh. Manuasi yang sama menganut agama Samawi

sebenarnya juga beriman kepada Allah. Orang yang beramal shilah dari

kalangan nonmuslim pun akan diberikan pahala kebaikan juga. Yang

demikian ini diperkuat dalam penjelasan fiqh lintas agama tentang ayat QS:Al

Baqoroh;62.

Jadi pada inti tinjauannya tentang pernikahan ini dalam sudut tafsirnya

ialah lebih memuat nilai universalitas dan kemanusian. Fiqh lintas agama

menggagap pernikahan beda agama, tertutama dalam pernikahan dengan

perempuan ahul bait, menekankan pemahaman adanya kontruksi terminologi

yang komprehesif dengan melihat humanitas sebagai ruh dari ajaran agama

membangaun konsepsi siapa sebenarnya Ahlul Kitab.

Sedangkan dalam metodelogi fiqhiyahnya, differensianya adalah pada

kaidah fiqh apaayang disebut hifd ad dzin sebagai bagian dari maqosidus

syara’. hifd ad dzin dalam kaidan fiqh lintas agama ditafsiri sebagai

penjagaan terhadap hak beragama. Jadi syarat hukum nikah agama dalam sisi

ini adalah diisyartka untuk toleran pada kayakinan agama masing. Karena

268
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,158

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


160

yang demikian ini menurutnya merupakan masalahah dari nikah itu sendiri.

Pandangan ini nampaknya senada penjelasan di bawah ini,

‫قرر كل مصلحة تكون من جنس المصالح التى يقررها الشارع اإلسالمى بأن يكون‬
‫فيها محافظة على النفس أو الدين أو النسل أو المال ولكن لم يشهد لها أصل‬
‫خاص حتى تصلح قياسا فإنها يؤخذ بها على دليل قائم بذاته وهذه هى التى تسمى‬
269
‫مصلحة مرسلة أو استصالحا‬
Artinya: Penetapan setiap kemaslahatan disesuaikan dengan jenis
kemaslahatan tersebut yang ditetapkan oleh syariat agama Islam
yaitu terjaganya hak hidup, hak menjalankan peribadatan, hak
keberlangsungan keturunan, hak kepemilikann harta.Tidak ada
ditemukan dalil secara khusus sehingga bisa diqiyaskan karena
maslahat itu didasari dalil sendiri inilah yang disebut dengan
maslahah mursalah.

Berdasarkan penjelasan di atas, nikah bedah agama keharaman

menikahi Ahlul Kitab, harus pelanggaran hak dan toleransi bukan pada

kontruksi Ahlul Kitab yang dianggap sebagai kafir. Dengan demikian,

menjadi sangat jelas bahwa ada perbedaan fiqh lintas agama dengan

pandangan fiqh pada umumnya. Inti perbedaannya adalah pandangann yang

lebih humanistis. Fiqh lintas agama lebih memandang bahwa Islam itu

memuliakan semua manusia. Sehingga dalam permasalahan kawin beda

agama, hukumya berdasarkan pada adanya nilai toleransi yang sebenarnya

adalah ajaran agama Islam.

Begitupun terkiat dengan kaidah fiqh dar’ul mafasidnya, kaidah

tersebut dipahamai berbeda. Mafasid yang dimaksud adalah perlanggaran

kemaslahatan. Sebagaimana dipahami pelanggaran maqosid syari’ah.

269
Muhammada Abi Zahra, Ushul al Fiqh, (Dar al-Fikr al-Araby, tt), 279.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


161

Pelanggaran tersebut tentu juga disebut sebagai pelanggaran hak asasi atau

hak hidup manusia. Senada dengan penjelasan di atas, hak tersebut meliputi

hak beribadah, hak memilih pasangan dan lain sebagainya.

Pada inti pemabahasan ini, hukun kawin beda agama, sebegaiamana

dijelaskan sebelumnya, dalam pandangan fiqh lintas agama yang terpenting

adalah terarahkannya pada keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Dengan kata lain yang tepenting adalah tercipatanya kemakmuran kelaurga

yang diikat oleh tali kasih. Tercapainya hal yang demikian ini adalah dengan

memahami secara koprahensif nilai-nilai toleransi yang telah Allah ajarakan.

Untuk membedangan dengan pandangan fiqh pada umumnya penulis

mencoba gambar sederhananya seabagaimana gambar di bawah ini,

Gambar 4.3 Differensiasi Fiqh Lintas Agama Terkait Kawin Beda Agama

Mawaddah Wa
Rahmah
Hifd Ad-dzin (Menjaga agama Dar’ul Mafasid (Menjauhi
Islam) Kerusakan )

Fiqh Pada Umumnya


Nabi dan para Sahabat Pernah Melakukan Mubah Bersyarat Al-Mâidah:5 dan QS:Al Baqoroh;62
(Jizyah dan Keturunan)

QS. al-Baqarah ayat 221, QS. al-Mumtahanah;10


Ahlul Kitab Indonesia Syirik Haram

Laki-laki Muslim Wanita Ahlul Kitab


Fiqih Lintas Agama

Nabi dan para Sahabat Pernah Melakukan


Mubah Bersyarat
(Orientasi Kebaikan) Al-Mâidah:5 dan QS:Al Baqoroh;62

Hifd Ad-dzin (Menjaga Hak Dar’ul Mafasid (Menjauhi


Beragama) Kerusakan Hak Manusia )

Mawaddah Wa
Toleransi Rahmah
Humanis

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


162

B. Kontekstualisasi dan Dinamika Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Dalam Membangun Perspektif Baru Fiqh Inklusif Pluralis

1. Kontekstualisai Penikahan Beda Agama Di Indonesia

Pada pembahasan temuan ini, kontekstualisan nikah beda agama akan

dibahas dalam beberapa hal, yakni kontekstualisasi pada aturan dan kemudian

relitas masyarakatnya. kontruksi legal hukum yang ada. Pada sisi legal hukum

positf, ada penejelasan terkait yang dasar demikian ini. Dalam UU Perkawinan

1974 menjelaskan bahwa perkawinan pertujuan untuk membentuk keluarga

yang kekal dan bahagia didasarkan dalam pada keyakinan pada Tuhan yang

maha esa.270

Penjelasan ini menyampaikan adanya ikatan serius dalam nikah. Ikatan

harus dijalan tidak dengan lahir saja, akan tetapi dengan batin juga. Aspek

batin meliputi keyakinan dan kepercayaan, di dalamnya tentu juga diasumsikan

agama. Pada sisi inilah dianggap memiliki pertalian erat dengan kayakinan

agama.

Menghadapi yang demikian ini hukum positif kemudian mengatur

perkawinan dipasrahakan pada agamanya yang dianut masyarakat masing-

masing. Termasuk di dalam adalah hukum perkwinan beda agama. Nikah beda

agama juga berkaitan dengan arat atau dipasrahkan pada aturan masing-masing

agama. Aturan yang demikian, ada dalam aturan yang ada dalam UU

perkawinan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f), dinyatakan bahwa hukum

270
Djaja S. Meliala, Himpunan peraturan....,1.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


163

perkawinan beda agama diserahkan kepada ajaran masing-masing agama.271

Pada sisi kontekstualisasi inilah kemudian ajaran agama begitu signifikan

untuk merumuskan hal menyangkut pernikahan beda agama.

Penjelasan UU yang masih sangat umum, yakni dasarnya kepercayaan

pada Tuhan yang maha Esa, tidak memberikan konsensus hukum yang

mengikat. Sebab, kepercayaan pada Tuhan yang maha Esa ini memungkin

makna yang sanag luas. Sedangkan agama yang diakui ada lima agama dengan

ajaran yang berbeda. Tentu upaya pencapaian konsesus akan semakin sulit.

Kelima agama ini tentu menyebabkan varian pemahaman masyarkat.

Telah diketahui bersama, ada 5 agama yang banyak dianut di Indonesia,

yakni Islam, Kristen Khatolik, Protestan, Budha dan Hindu. Berdasarkan data

pustaka yang dikumpulkan, kelima agama ini memiliki kayakin berbeda-beda

dalam memamahaimi nikah beda agama. Namun, dari sekian perbedaan ini,

sikat ekslusifitas ajarannya begitu sangat nampak. Mayoritas agama tidak

menghendaki ummatnya menikah dengan pasangan beda agama.

Agama Islam sendiri misalanya, melarang pernikahan beda agama. Ada

yang menghalalkan akan tetapi dengan syarat. Ini artinya masif ekslusif.

Bahkan, eksklusifitasnya terjadi pada bebeberapa prosedur pernikahan. Agama

Islam di Indonesia misalnya melarang secara tegas perkawinan agama ini

bahkan dalam persoalan perwaliannya. Bagi orang Islam tidak diperbolehkan

menikahkan (menjadi wali) anak perempuannya yang kafir, dan orang kafir,

271
Lihat Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


164

dan orang kafir tidak boleh menikahkan (menjadi wali) anak perempuannya

yang Muslimah, sebab hubungan kewalian di antara keduanya terputus. 272

Fakta ajaran Islam yang seperti ini, tentu mengacu kepada realitas

masyarakat Indinosia yang dihuni oleh non muslim kafir dan musyrik. Beberpa

ulama’ sepakat bahwa ummat agama lain di Indonesia adalah musyirik,

sehinga mengawininya adalah haram hukumnya.

Agama kriten katholik pun demikian, ummat mereka dalam memahami

bahwa perkawinan beda agama, sangat eksklusi juga. Perkawinan menurut

kalangan katolik adalah sakramen. Sakramen adalah kesepakatan manusia

dengan Tuhan. perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara

kedua suami isteri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh

kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah

apabila kedua mempelai sudah dibaptis. Jadi, ikatan perjanjiannya merupakan

perjanjian pada Tuhannya. Ini berarti mempersyaratkan mempelai pada janji

setia Yesus Kristus juga.273

Sikap eksklusi ini juga ada dalam ajaran kristen protesten. Kitab-kitab

sucinya juga melarang ummatnya melakukan perkawinan beda agama.

Perkawinan menurut pemahaman ummat kristiani prostestan adalah

diisyaratkan harus seiman. Hal ini semua sebagaimana yang ada dalam ajaran

beberapa ayat di kitab suci mereka.274 Walaupun ada yang beranggapan bahwa

ada kewajiban menikahkan pasangan yang sudah syah menurut negara, akan

272
Lihat dalam, Moch Anwar, Dasar–dasar Hukum ...., 18
273
Hardikusuma Hilman, Hukum Perkawinan ....,11
274
Salah satu ayat dalam kitab sucinya, ada yang menceritakan yehuda menikah dengan non
kritsen. Lihat dalam, Kejadian 38:1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan).

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


165

tetapi dasar konsepsi pernikahan dalam agama prostestan mensyarat adanya

kesepahaman iman dan bahkan dijelas harus merupakan jema’at sebuah

gereja.275 Ini artinya sebenrnya pamahaman mereka masih eksklusif.

Adapun terkait dengan ajaran Hindu, nampanyak juga senada. Konstruksi

pernikahannya harus dilaksanakan dengan ritual kepercayaan agama Hindu.

Gde Pudja mengatakan bahwa ada kewajiba bagi setiap mempelai untk

menyematkan keturuan merekan neraka yang mereka sebut sebagai neraka Put.

Untuk menyematkannya, dalam Hindu Weda Smrti harus dilakukan ritual

pemujaan kepadan Tuhan mereka. Jadi ketika tidak melaksanakan tersebut

pernikahannya tidak akan diberkati.276

Ajaran agama yang berbeda dalam hal ini adalah agama Budha. Agama

Budha memahami perkawanan saja bukan perintah wajib agama. Jadi mau

nikah atau tidak, tak ada yang mewajibkan. Namun pada konteks nikah antar

agama. Sebenarnya masih terasa ekslusif juga.

Hal ini nampaknya juga terjadi dalam agama Budha. Mesekipun ada

yang mengatkan sebenarnya perkawinan dalam agama Budha hukumnya

mubah. Dengan kata lain, diperbolehkan nikah atau tidaknyam, terserah yang

mau menjalankan. Titik orientasi pernikah dalam agama Budha harus dijalan

dengan Metta, Karuna dan Mudita. Semua ini dianggap tercapai jika diberkati

oleh Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para

Bodhisatwa-Mahasatwa’.277 Pada kontesk inilah kemudian juag diperlukan

275
O.S. Eoh, Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), 60.
276
Gde Pudja, Pengantar Tentang ......, 9
277
Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam, Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


166

adanya mengimana kuasa mereka. Jadi perkawinan beda agama dalam agama

Budha juga diwajibkan menajalan ritual ibadah agama Budha. Hal tersebut

tujuannya untuk mendapatkan restu dari sang Budha.

Berdasarkan analisis data, penulis menemukan adanya kesamaan dari

ajaran agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kesamaannnya

adalah pada sisi eksklusifitasnya. Kondisi ini tentu menandakan bahwa tidak

satupun agama yang di Indonesia yang menerima secara ikliusif pernikahan

beda agama. Ajaran dari masing-masing agama bergerak menghindari kondisi

perkawinan beda agama.

Kondisi ini sepertinya bergerak berbalik pada kondisi realitas kehidupan

dewasa ini. Penulis mendapat adanya peningkatan kuantitas pernikahan beda

agama di Indonesia. Yang signifikan adalah penikahan oleh laki-lakinya

dengan perempuan yang tidak seiman. Abdur Razak misalnya menyebutkan

bahwa peningkatan yang amati tinggi dipengaruh oleh mayor dan minor jumlah

penganutnya. Semakin minoritas, semakin banyak laki-lakinya yang menikahi

perempuan yang beda agama. Kondisi tentu menunjukkan bahwa kaum

monoritas penganut agam, untuk melanjut keturunannya melumrahkan

perbedaaan agama dalam pernikahannya. Pelaksanaan pernikahaan beda agama

dilaksanakan karena keadaan tertentu.278

Pertumbuhannya jumlah perkawinan beda agama di Indonesia ini, juga

mengindaksikan adanya konsdisi yang mendoronga terlakasannya pernikahan

278
Abd. Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum...., 6.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


167

beda agama. Sebab sosiologisnya adalah karena bangsa Indonesia dewasa ini

memiliki mobilitas sosial yang trendnya tinggi.

Ahmad Muhaddam mengatakan bahwa kondisi ini juga dipengaruhi dari

segi keaddaan antropolgi masyarakat. Diketahui bersama bahwa warga negara

Indonesia berpindah-pindah dari suatu daeah ke daerah lainnya. Yang demikian

ini dikarena kabSalah satu penyebabnya adalah kesenjangan pembangunan,

yang selanjutnya meningkatkan keinginan penduduk untuk pindah. Arus

perpindahan penduduk biasanya bergerak dari daerah yang agak terbelakang

pembangunannya ke daerah yang lebih maju. Akibatnya, daerah yang sudah

padat menjadi semakin padat. Di samping itu ada juga daerah-daerah yang

penduduknya mempunyai kebiasaan merantau, tentu pertemuan dengan orang

yang agamnya menjadi suatu keniscayaan.279

Pada konteks yang terbentuk tanpa sengaja ini, setiap seorang warga

negara berpotensi besar menikah dengan siapa pun bahkan dengan orang ayang

tidak sepaham dengan mereka. Ini tentunya merupakan probelem penting yang

harus dia atas. Jika kontekstualisasi aturan nikah masih dilematis sebagaimana

dewasa ini tenu akan membuat masyarakat terejemebab dalam ambiguitas

konsensus.

Bukan tidak mungkin kemudian, hal ini akan menimbulkan sengketa

yang berkepanjangan. Apalagi era dewasa ini adalah era globalisasai dimana

setiap ioarang bergaul secara bebas. Jika hukum masih dilematis bisa jadi

pergaulan mereka akan terbentur pada kepercayaan yang memetak-metakan.

279
Achmad Muchaddam F, “Hukum Perkawinan Beda Agama”, Jurnal Kesejahteraan Sosial,
Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014, 10.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


168

Bahkan bisa saja aturan nikah beda agama yang dilematis ini akan

menimbulkan asumsi terhadap pembukaan kesempatan pelanggaran hak asasi

manusia.

Pada intinya, pembahasan ini menyimpulkan bahwa kontekstualisasai

pernikahan agama di Indonesia menjadi sebuah keicayaan. Walau ada

ekslusifitas pememahaman agama-agama, akan tetapi secara antropologis

keadaan mendorong peningkatan pernikahan beda agama itu terjadi. Jadi untuk

mengataasi ini dalam pengembangan konsensus yang berdasarkan realitas

kebutuhan masyarakat. Negera sudah semestinya memikirkan kondisi

heteroneitas masyarakat yang kehidupan sosialnya tinggi. Ini tentunya demi

terjalin keutuhan negara multikultural yang menjadi keniscayaan bangsa ini.

Guna penejelasan yang komprahensis dan sederhana, penulis menyusun

konteks pernikahan beda agama di Indonesia sebagaimana di bawah ini,

Gambar 4.4 Kontekstualisasi Nikah Beda Agama di Indonesia

Islam

Katholik Budha

Eksklusifitas
Nikah Beda
Agama

Protestan Hindu

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


169

2. Dinamika Pernikahan Beda Agama Di Indonesia Dalam Membangun

Perspektif Baru Fiqh Inklusif Pluralis

Banyak resistensi dari masyarakat tentang pernikahan beda agama yang

umumnya adalah persoalan halal-haramnya menurut agama. Dalam pandangan

Islam sendiri pun terjadi dinamika yang signifikan untuk dikaji. Hal yang

demikian ini karena para ulama ada menafisirkan secara literal QS.2 (al-

Baqarah): 221, ada juga yang tidak. Jika membaca ayat di atas secara literal,

akan didapatkan kesimpulan yang bersifat serta merta, bahwa menikahi non-

muslim hukumnya haram. Cara pandang seperti ini dikarenakan sebagian

masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori

musyrik adalah non-muslim, termasuk Kristen dan Yahudi. Namun, ada juga

pandangan yang menghalal dengan bersyarat, misalnya seperti imam Syafi’i

dan lain sebagainya.

Dinimikan hukum yang berbeda ini kemudian dinamikanya diperkeruh

kembali oleh adanya aturan hukum positif memberikan kesempatan bagi

agama untuk mensyahkan pernikahan. Hal ini kemudian menimbulkan

dinamika hukum yang tidak jelas muaranya. Sebagaimana dibahas sebelumnya,

jika disesuaikan dengan agama, maka sama hal negera ekslusif pada hal

tersebut. Yang demikian ini kerena pemahaman agama eksklusif hal itu.

Padahal gerak pertumbuhan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang

heterogen, mendorongan terjadi ikatan sosial (termasuk keluarga) yang toleran

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


170

saling menerima perbedaaan. Faktor inilah yang kemudian menyebabkan

proses rekonstruksi hukum Islam perlu disusun kembali untuk menjawab

masalah tersebut.

Menurut O.S., Eoh, tidak ada satupun yang mengatur nikah beda agama

ini.280 Jadi agamalah yang harus merumuskan hal ini, kerena secara tidak

langsung diamanahi oleh UU. Faktor ini yeng menjadi dasar beberapa

penganut agama Islam melakuan kajian dalam merumuskan fatwa-fatwa terkait

hal demikian ini.

Sebagaimana telah dikaji sebelumnya bahwa dalam Islam ada hukum dua

aturan yang telah dirumuskan oleh pemerintah yakni keputusan dalam KHI dan

Fatwa MUI. Kaduanya ini nampak ingin melengkapi aturan yang diamanahkan

UU perkawinan.

Terkait dengan apa yang ada dalam KHI, dalam pasal 40 butir c

menjelaskan kriteria wanita yang tidak boleh nikahi. Diantara syarat yang

disebut ada butir yang menyebutkan kondisi yang berhubungan dengan

keyakinan si mempelai perempuan ini. Penjelasan yakni perempuan yang boleh

dinikahi harus beragama Islam. Sebaliknya juga dalam pasal 44 dijelaskan

wanita pun tidak melaksanakan perkawinan dengan yang bukan Islam.281

Pertimbangan pelarangan kawin beda agama dalam KHI antara lain:

Pertama, pandangan bahwa kawin beda agama lebih banyak menimbulkan

persoalan, karena tedapat beberapa hal prinsip yang berbeda antara kedua

mempelai. Dalam hal ini memang terdapat pasangan perkawinan yang berbeda

280
O.S., Eoh, Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996) 36-37
281
Lihat KHI pasal 40 dan 44

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


171

agama dapat hidup rukun dan mempertahankan ikatan perkawinannya, namun

yang sedikit ini dalam pembinaan hukum Islam belum dijadikan acuan. Karena

hanya merupakan eksepsi (pengecualian). Kedua, KHI mengambil pendapat-

pendapat Ulama di Indonesia dan termasuk juga di dalamnya adalah pendapat

MUI.282

Sebagaimana diketehui, pada tanggal 1 Juni tahun 1980 Majelis Ulama

Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kawin beda agama.

Fatwa tersebut merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai kawin

beda agama yang telah dibicarakan sebelumnya pada Konferensi Tahunan pada

tahun 1980. fatwa tersebut menghasilkan dua butir ketetapan sebagai berikut:

Pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk

dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki

muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempan bukan muslimah,

termasuk pula Kristen (Ahli Kitab).283

Fatwa MUI yang kemudian menjadi dasar KHI mengambil keputusan

yang sama dan senada dengan apa yang diputuskan MUI. Pada

perkembangannya keputusan keduanya ini menjadi polemik yang begitu

signigfika sebab ada beberapa kalangan yang menanyakan kenapa ada

differensiasi dengan pendapat jumhur ulama’ yang menghalalkan menikahkan

ahlul bait dengan syarat-syarat tertentu.

Selain dua aturan yang keluar dari pemerintah ini, sebenarnya ada juga

beberapa hasil kajian yang dihasilkan dari beberapa ormas tertentu. Ormas-
282
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesi (Jakarta: Rajawali Press, 1995) 345
283
Mohammad Atho Muzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993) 99

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


172

ormas tersebut misalnya seperti Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiah. Adapun

hal demikian ini NU nampaknya memutuskan hukum senada dengan apa yang

ada dalam KHI dan MU.

Ada yang mengatakan NU secara resmi belum pernah membahas

masalah kawin beda agama. Menurut Masyhuri, ia tidak menemukan dokumen

yang membahas tentang hukum beda agama ini sejak Mukhtamar NU ke-1

tahun 1926 di Surabaya sampai Mukhtamar NU ke-29 tahun 1994 di

Tasikmalaya.284 Namun hal yang demikian ini dapat dibantah sebab penulis

menemukan hasil kajian NU yang membahas tentang hukum kawan beda

agama. Dokumen tersebut yakni hasil muktamar XXVII di Yogyakarta pada

November 1989. Data tersebut menjelaskan bahwa hukum nikah beda agama.

Dalam data tersebut dijelaskan bahwa hukum nikah beda agama baik dengan

musyrik ataupun Ahlul Kitab adalah sama haramnya. Dijelaskan dalam data

tersebut bahwa alasannya kuatnya didasarkan pada kaidah fiqhiyah dar’ul

mafasid muqodimu ‘ala jalbil ima sholeh. Dengan kata lain, dasar hukumnya

adalah realitas hukum agama yang dianalisa lebih banyak mudhotratnya.285

Adapun terkiat dengan ijtihad hukum yang diputuskan oleh

Muhammadiyah, pada awalnya lembaga ini mengeluarkan argument bahwa

Nabi sendiri pernah kawin dengan Maria Qibtiyah seorang perempuan Nasrani

Mesir, disamping itu juga banyak dari Sahabat yang melakukan praktek

perkawinan dengan perempuan Ahli Kitab.286

284
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Mukhtamar dan Munas Nahdhatul
Ulama (Surabaya: Dinamika Press, 1997)
285
Lihat Putusan Lajnah Batsul Masail Nadlotul Ulama’ November 1989 Yogyakarta.
286
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,.....,143- 145

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


173

Namun pada perkembangannya, kebijakan tersebut kembali dikaji lagi.

Akhirnya memutuskan mubah bersyarat. Hal ini karena menurut pemahaman

ormas ini nikah dengan ahlul kitab diperboleh karena hikmah. Dengan kata

lain, bagi Muhammadiyah adalah untuk berdakwah kepada mereka dengan

harapan bisa mengikuti agama suaminya (Islam). Jika keadaan justru

sebaliknya, maka hukum mubah bisa berubah jadi haram.287 Muhammadiyah

dalam posisi ini sebenarnya memiliki orientasi sama, yakni komitemen dakwah

penguatan Agama Islam.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang dibahas nampaknya, beberapa

aturan hukum Islam, baik yang lahir dari pemerintah maupun ormas memiliki

ekslusif terhadap ummat agama lain. Sebab semunya secara umum melarang

menikahi orang yang tidak seiman. Hal demikian inilah yang kemudian

ditentang oleh beberapa kalangan.

Istinbath hukum haram yang demikian tersebut dari beberapa hasil kajian

dinilai melanggar Hak Asasi manusia (HAM). Salah saru kajian yang paling

ngetrend adalah hasil kajian sejumalah mahasiswa UI sebagaimana yang

dijelaskan di awal. Adanya beberapa agama yang secara esklusif ini dianggap

merupakan hal yang dapat melanggar hak asasi manusia. Berdasarkan hasil

kajian ini, dijelaskan bahwa agama memuliki aturan yang eksklusif kepada

kemanusian. Menurut para pengkaji rakyat Indonesia punya hak untuk memilih

pasangan.288

287
Ibid, 146
288
Tri Agung Kristanto, “Aturan yang Tetap..., 59.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


174

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah menjelaskan

bahwa warga negara memiliki hak untuk menentukan pasangan sendiri.289 Jadi

jika ada yang mengukung hak ini tentu namanya adalah pelanggaran HAM. Di

titik inilah, begitu nampak sekali dalam dinamikanya yang terjadi. Kontruksi

perkawinan beda agama berhadap-hadapan secara berlawanan dengan aturan

HAM. Agama dianggap tidak berpihak pada HAM. Tentu yang demikian ini,

sebenarnya menjadi ambnigu bahkan dilematis jika ditela’ah dari misi agama

itu sendiri. Dalam Islam sendiri misalnya, hubungan antara Islam dan hak asasi

manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam. Universalitas hak asasi

manusia yang meliputi nilai-nilai toleransi dan huminis telah diajarkan prinsip-

prinsip dasar hukum Islam baik dalam teks maupun kontruksi pemikiran

ulama. Intinya ya satu, menjadi rahmat bagi seluruh alam.290

Selain adanya beberapa pihak yang protes, hukum ini dianggap tidak

layak dan tidak relevan pada kondisi masyarakat dewasa ini. Sebagaimana

dijelaskan di awal bahwa era globalisasi adalah era yang membuka pintu

pertumbuhan kehidupan sosial yang lebih universal. Apalagi globalisasi hari ini

terjadi di negara yang heterogenitas masyarakatnya tinggi, tentu kehidupan

sosialnya akan berkembangan secara multikultural.

Pada kondisi ini, fiqh lintas agama digagas sebagai sebuah jalan yang

mempertemukan nilai-nilai luhur agama pada realitas kehidupan sosial

masyarakatnya. Sudah dipahami bersama bahwa realitas multikultur yang

merupakan keniscayaan ini perlu didukung oleh adanya legal hukum yang
289
Lengkapnya lihat, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
290
Candra Perbawati, Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi Dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah Vol.12, No. 2 (2015)

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


175

menjamin tidak adanya pelanggaran hak. Artinya, perlu adanya perlawanan

pada paradigma ekslusifitas. Harus ada paradigma yang mampu

mentransformasikan paradigma tersebut menjadi nilai-nilai yang harus ada

dalam masyarakat multikultural. Pada sisi ini tersformasi yang dimaksud

adalah paradigma inklusifitas yang pantas menjadi tata dasar legal konsensus

yang mengikatb sekaligu menjamin terselenggaranya masyarakat herterogen

yang beradab.

Pada sektor masalah paradigma ini, Nurkholis Madjid membangunnya

dengan sebuah kontruksi pluralis inklusif. Paradigma ini berdasarkan anggapan

bahwa paham pluralism merupakan satu-satunya paham yang dapat

menguatkan kehidupan sosial masyarakat multikultural yang sunnatullah.

Jika kehidupan multikultural di Indonesia merupakan kesnicayaan. Tentu

sikap-sikap dan nilai-nilai yang harus dalam masyarakat mulitikultural juga

merupakan keniscyaan. Keniscayaan ini maksudnya, adanya tidak boleh

dihindari atau diingkari.291

Sebenarnya realitas multikultural di Indoensia ini, merupakan garis yang

telah digambarkan oleh Allah SWT dalam kitab sucinya. Misalnya al Maidah

ayat 44 dijelaslkan bahwa ada realitas multi agama di masyarakat. Semua

agama memiliki ajaran tertentu. Ajaran tersebut sama-sama diperintahkan agar

dipelihara oleh yang menerima ajaran tersebut.292

291
Hal ini dikemukan dalam bukunya Budi Munawar. Lengkapnya, lihat, Budhy Munawar
Rachman (Ed.) et. Al., Ensiklopedi Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban
(Cet. I, Jakarta: Mizan & Yayasan Wakaf Paramadina, 2006) 2704
292
QS: Al Maidah:44

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


176

Bedasarkan penjelasan ayat ini, nampaknya ada upaya penguatan

terhadap pliuralism untuk mengahadapi realitas heterogenitas tersebut. Ada

beberapa ayat yang menjelas tentang hal yang demikian ini. Bahkan ada ayar

Qishos sekalipun, misalnya pada apa yang ada dalam Al Maidah ayat 44 dan

45. Dalam penjelasan sebenarnya ahlul kitab juga harus dikenak hukum yang

sama dengan kaum muslimin lainnya.

Bahkan Nukholis juga menceritakan dalam bukunya bahhwa salah satu

panglima Islam, Muhammad ibn Qasim, pernah mengusasi suatu daerah yang

didalam ada orang-orang Hindu. Mereka memiliki kitab suci juga, disebut oleh

panglima besar Islam ini sebagai Ahlul Kitab. Kala itu diceritakan panglima

besar tersebut menghormati keyakinan mereka.293

Cerita Nurkholis ini mengindakasikan adanya nilai-nilai plural dalam

agama Islam sendiri. Hal ini sama dengan pejelasan Moh Shofan dalam

bukunya, ia mengatakan bahwa nilai-nilai pluralism dalam sebenarnya

merupakan upaya pendorongan kesadaram menerima perbedaaan. Dengan kata

lain merupakan upaya terciptanya pemahaman inklusidifitas agama yang

beroriantasi membentu toleransi dan keprimanusiaan. Secara radikal Shofan

menyebutkan bahwa radikalisme inilah yang menjadi kekuatan penyelamat

eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat heterogen ini.294

Ada juga penjelasan para sufi tentang pluralisme ini, salah satunya adalah

gagasan Al-Hallaj. Ia menjelaskan bahwa semua manusia dicipatkan oleh

293
Nurcholish Madjid, “Pluralisme Islam” dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.) et. Al.,
Ensiklopedi Nurcholish....,2704
294
Moh. Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agam-agama, (Yogyakarta: Samudra Biru,
2011), 52.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


177

Alllah. Baik yang beragama Islam maupun lainnya sama diciptakan olehNya.

Walaupun agamanya berbeda, namun hakikatnya dan tujuan yang sama.

Tujuan dan hakekatnya adalah sebenarnya sama ingin mengabdi pada Tuhan

yang sama pula.295

Gagasan Al Hallaj ini sebenarnya ada dalam Al-Qur’an. Sebenernya ada

penjelasan yang nampak menjelsakan secara komprhensif bahwa setiap

manusia memiliki kiblat agamanya sendiri. Setiap manusia hanya memiliki

kewajiban berlomba-lomba melakukan kebaikan. Hal ini sebagaiman ayat

berikut:

             

        


Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.296

Berdasarkan penjelasan ini maka paradigma plural yang merupakan

sunnatullah ini, mendorong adanya kewajiban bagi semua pemuluk agama

untuk inklusif menerima perbedaan. Sikap inklusif ini bukan hanya dalam

wacana saja, akan tetapi harus ada dalam ruh hubungan sosial juga. Dengan

demikian inklusifitas ini merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Qur’an

295
Nama konsepnya adalah Wahdat al Adyan. Konsep wahdat al-adyan didapatkan dari
pengembaraan intelektual yang panjang oleh al-Hallaj. Dalam konsep wahdat al-adyan, pada
dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok yang satu, karena memancar
dari cahaya yang satu. Lengkapnya baca, Fatimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme
Agama, (Yogyakarta: LKiS,2002),12.
296
QS:Al-Baqoroh, 148.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


178

juga.297 Jika dipahami dalam sudut padang Shofan, kewajiban pluralis ini

semata untuk hifd ad dzin.

Selain itu, cara padang ini merupakan upaya rekonstruksi pemahaman

sosiologis fiqh. Upaya intinya adalah adanya proses trasformasi dogmatis ilmu

fiqh dan Ilmu tafsir. Sebagaimana dipahami bersama fiqh sebenanrnya memilki

karekter hukum yang dogmatis. Acuannya selalu mendasari pada konsepsi

tekstual tradisional. Aturan fiqh yang dianggap tidak patuh pada konsepsi fiqh

tradisional dianggap sebagai paham liberalisme yang ingin menghancurkan

ajaran Islam itu sendiri.

Hal demikian berpengaruhi besar pada konsespsi istinbath hukumnya.

Prosesnya akan jauh pada persoalan realitas yang terjadi. Artinya, pesoalan

realitas sosila pun tidak dirangkul oleh proses istinbath hukum yang dilakukan.

Hal ini kemudian menyebabkan terjadi stagnasi hukum Islam yang tak mampu

menjadi dasar kehidupan sosial. Tentu karena hukum yang putuskan jauh pada

akar masalah yang terjadi. Padahal ilmu fiqh oleh para ulama’, dikembangkan

dan dibuat untuk menghadapi ketimpangan realitas sosial yang terjadi.298

Pada konteks masalah hukum beda agama ini, dituntut adannya

paradigma plural ini. Yang sebenarnya juga upaya untuk mendoronga

terciptanya inklusifitas agama. Jadi pada tesis ini, penulis sepakat dan senada

pada paradigma yang ditawarkan oleh Nurkholis, yakni paradigma iklusif

plural. Paradigma ini mendambakan adanya proses transaformasi paradigma

297
Hal ini menurut Nurkholis Madjid sesuai dengan apa yang ada dalam Surat Al Imron ayat
64.
298
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,1

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


179

istinbath hukum yang dogmatis, tentunya yang terkait dengan hukum beda

agama.

Selain itu, paradigma inklusif pluralis ini mengupayakan hukum Islam

agar tidak lagi hanya bercorak vertikalistik. Artinya, tidak mengharap hanya

mengupas mengurusi masalah hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan

fokus pada masalah-masalah kemanusiaan yang tentu juga diamanahkan oleh

Allah SWT.299 Sehingga fiqh atau istinbath hukum yang dilakukan akan lebih

membumi. Bisa juga hal ini dianggap sebagai upaya trasfomasi fiqh teologis

pada fiqh yang antro-teologis atau bisa juga disebut sebagai fiqh antrososio

teologis.

Transformasi paradigma fiqh ini, sebenarnya juga merupakan

transformasi intrpertatif dasar hukum nash fiqhnya. Sebagaimana dijelaskan di

pembahasan sebelumlumnya. Beberapa dasar dalil dasar atau kaidah-kaidah

yang dipakai dalam fiqh lintas agama melalui pendekatan realitas sosial yang

heterogen. Dengan demikian paradigma yang disebutkan ini, lebih tepat jika

disebutkan sebagai upaya mempertemukan nash sebagai penjawab dari realitas

yang ada.

Paradigman iklusif plural ini menekan pada proses perubahan fiqh agar

lebih dinamis dan lebih menyadari multi entitas masyarakat yang berbeda ras,

etnis, kepercayaan dan sebagainya. Melalui paradigma ini, ada upaya

perlawanan terhadap fiqh dogmatis yang dianggap kaku dalam menerima

keberagama sebagai salah satu sunnatullah yang niscaya.

299
Ibid, 8

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


180

Upaya rekonstruksin fiqh dengan paradigma ini, oleh sebagian kalangan

disebut sebagai upaya revolusi dogma fiqh yang kaku. Fiqh lintas agama

mempermaslah acaun proses peng-istinbath-an yang hanya disarkan pada

pendapat fiqh tradisional. Proses kajian hukum dalam kajian fiqh selama ini

cendrung apatis pada kaidah muhâfadhah alâ al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu

bi al-jadîdil ashlah. Pada hal kaidah ini penting sekali dalam rangka

menghadirkan fiqh pada realitas kehidupan masyarakat yang majemuk ini.

Kaida fiqh yang demikian tersebut sebenarya memberikan tawaran bagaiman

setiap tahun fiqh berkembang mengkuti era kehidupan masyarakat.

Pada konteks pernikahan beda agama, Istinbath hukum yang dilakukan

harusnya dengan berani mempertemukan realitas sebagai sebuah keniscayaan

dan fiqh sebagai solusi kemaslahatan. Kehidupan yang multi ragam ini,

menuntut adanya pertemuan atau kehidupan sosial yang mendorong tercitanya

ikatan kesatuan dalam perbedaan. Pada sisi ini, yang terpenting adalah

menemukan konsensus pemahaman dalam ragam perbedaan yang ada.

Tentunnya, konsensus ini yang berlandaskan pada konsens kemaslahatan

sebagaimana yang dalam kaidah maslahat pada umnumnya.300

Tentu kemaslahatan yang dimaksud adalah konsepsi maslaha yang

dikonteskan pada realtitas heterogen masuyarakat sebagai sebuah keniscayaan.

Nurkholis mengatakan interpretasi kemaslahatannya harus memberikan

perhatian bagi segenap manusia, apapun agama, ras, dan sukunya.301 Dalam

300
Sebagaimana yang dipahami bahwa kuliyat khomsah kemaslahatan dalam ajaran Islam adalah
Menjaga agama (hifdz al-dîn), akal (hifdz al- aql ), jiwa (hifdz al-nafs), harta (hifdz al-mâl), dan
keturunan (hifdz al-nasab).
301
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas...,8

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


181

konteks perkawinan beda agama, proses istinbath hukumnya harus benar-benar

maslahah dan tolerans terhadp perbedaan yang ada. Kesimpualannya,

paradigma plural iklusif pada istinbath hukum nikah beda agama adalah upaya

transfomasi proses pembuatan hukum didasarkan pada perkembangan realitas.

Hal ini sebagai upaya implementasi hukum fiqih yang bermuara toleransi pada

heterogen kehidupan sosial manusia.

Fiqh lintas agama menawarkan konsepsi perses istinbath hukum yang

lebih terbuka pada realitas. Perkawinan beda agama harus secara terbuka

dipahami sebagai dorongan untuk mepertemukan pemahaman dan menjauhi nir

toloransi yang kadang merusak kehidupan sosial itu sendiri. Fiqh lintas agama

dengan paradigmanya hadir sebagai penguat kosntruksi fiqh tolerasi yang dapat

secara komprehensif menguatkan nilai-nilai agama yang rahmatal lil alamin.

Fiqh lintas agama dalam persoalan hukum nikah beda agama ini

menwarkan keterbukaan tinjauan yang orientasi penguatan terhadap nilai

toleransi masyarakat. Hukum beda agama dalam fiqh lintas agama harus

dirumuskan berdasarkan nilai-nilai kemanusian dan toleransi. Selain itu,

pengakajian hukumnya pun harus juga diadakan terbuka, tidak hanya

mementingkan dogmatism kalsikal fiqh. Akan tetepi membukan pekajian

secara signifikan untuk memahami realitas kemajemukan dan segi mafasid

yang dikhawatirkan. Artinya, perumusan hukum harus dikaji secara terbuka

oleh beberapa orang ahli. Tentu bukan ahnya ahli ilmu agama. Akan tetapi,

lebih secara terbuka harus dikaji oleh ahli psikologi keluarga yang rientasiny

adalah menghidandari mafasid.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


182

Untuk menjabarkan beberapa penjelasan ini, secara sederhana penulis

gambarkan sebagaimana di bawah ini:

Gambar 4.5 Dinamika dan Upaya Membangun Paradigma Inklusif-Plural

Perkawinan Beda Agama


Aturan UU Perkawian
Ajaran Agama

Didasarkan Pada Agama Masing-masing


1. Dogmatis Fiqh
Tradisional
2. Tidak Menerima
EKSKLUSIF Realitas Hetoregen
Masyarakat
Transformasi Fiqh Dogmatis
3. Nash Besifat
Telogis An SIch
Heterogenitas Sebagai Sunnatullah

Transformasi Teologis pada Atrososial Teologis

Kemaslahatan Multikultural Masyarakat Realitas Heterogen Sosial

Menjauhi Mafasidul Ummah


Era Globalisasi

IKSKLUSIF Pertumbuhan Sosio-Antroplogis


Masyarakat

Paradigma Iklusif Plural Sebagai Nash Plural (Ajaran Pluralitas Agama)

Kontruksi Fiqh Lintas Agama

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


183

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari bab-bab yang telah dilalui, ada beberapa hal

yang dapat ditarik sebagai konlusi penelitian ini. Beberapa hal ini adalah

menyengkut fokus masalah yang dianggkat. Beberapa hal ini kemudia menjadi

satu kajian yang secara integrasi menjelaskan pernikahan beda agama di indonesia

dalam perspektif fiqh pluralis. Adapun kesimpulan terperincinya adalah

sebagaimana berikut ini

1. Analisis Konsep Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Legislasi Hukum

Islam

Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan menyatakan konsepsi nikah

beda agama dalam tata hukum Islam sebenarnya merupakan respon terhadap

adanya pemasrahan hukum atau amanah dari UU Pernikahan 1974. Konsepsi

nikah agama beda agama dalam hukum positif dipasrahkan pada agamanya

masing-masing. Karena hal inilah kemudian beberapa instusi agama Islam

mengeluarkan aturan menyangkut tentang nikah beda agama ini.

Fiqh lintas agama walaupun sama memakai kaidah hifd ad-dzin, akan tetapi

pemaknaanya tidak fundamental pada egositas sektoral agama. hifd ad-dzin yang

dimaksud lebih pada menjaga hak beragama sesama makhluk Allah. Begitupun

dengan dar’ul mafasid yang sama dipakai dalam istinbath hukum fiqh pada

183

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


184

umumnya. Mafasid yang dimaksud diartikan sebagai kerusakan hak manusia.

Keduanya kadah inilah yang kemudian secara umum berorientasi pada pengutan

nulai humani dan toleransi. Seluruh istinbath ini didasarkan Nash juga yakni Al-

Mâidah:5 dan QS:Al Baqoroh;62. Sehingga hukum pernikahan beda agama adalah

boleh dengan syarat orienatasinya pada kebaikan dan bermuara pada peningkatan

toleransi dan kemanusiaan.

2. Kontekstualisasi dan Dinamika Pernikahan Beda Agama di Indonesia Dalam

Membangun Perspektif Baru Fiqh Inklusif Pluralis

Pada kontekstulaisasinya, pernikahan beda agama dalam konteks hukum

positif menghadapi ketidak jelasan hukum. Hukum positif nampak tidak tegas

karena mengamanahkan syahnya perkawinan disesuaikan dengan agamanya

masing-masing. Hal ini kemudian mendorong upaya kontekstualisasi konsep

pernikahan beda agama menurut ajaran agama masing-masing.

Pada konteks itu, fiqh lintas agama menawarkan konsep istinbath hukum

yang mengacu pada kesadaran keniscaya kehidupan multi kultural. Paradigma fiqh

pun harus dirubah berdasarkan kemaslahatan pergaulan sosial multikultural. Tentu

dalam masyarakat tersebut nilai yang harus dijunjung tinggi adalah nilai inklusif

dan plural. Sehingga menjadi tepat jika paradigma iklusif plural menjadi pijak

metodologis hukum Islam dalam masalah pernikahan beda agama.

B. SARAN

Berdasarkan beberap temuan yang didapat, penulis menyusun sebuah

saran sebagiam kebermanfaatan dalam penelitian ini. Adapun hal tersebut adalah

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


185

Pertama, disebabkan adanya ketidak pastian hukum dalam permasalah nikah beda

agama, tentunya beberapa pihak yang berwenang sudah mengkaji hal-hal tersebut.

Hal demikian tersebut guna perumusan hukum beda agama yang jelas,

komprhensif dan berpijak pada perkembangan kehidupan sosial masyarakat.

Kedua, berdasarkan temuan, penulis menghimbau kepada semua lembaga

maupun semua pihak tidak memberi penafsiran jelas agar tidak membingungkan

masyarakat. Baik instusi agama maupun lainnya, harus sudah mulai mengkaji

ulang agar masyarakat tidak bingung.

Ketiga, Penulis juga menghimbau kepada semua masyarakat agar tidak

melakukan perkawinan beda agama dengan mendasari kepercayaan agama yang

terintegrasi dengan nilai-nilai multikultural kehidupan sosialnya.

Keempat, peneliti tentu masih menyadari ada kekurangan dalam penelitian

ini, maka peneliti memberi rekomendasi untuk dilanjutkan pada penelitian

berikutnya. Jadi, kepada semua kalangan dalam taraf sinkronisasi vertikal maupun

horizontal peraturan mengenai perkawinan beda agama harus terus dikaji. Yang

demikian ini kerena kepastian hukum nikah beda agama penting dalam menjaga

nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


DAFTAR PUSTAKA

A. Sastra, Abd. Rozak, 2011. Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama
(Perbandingan Beberapa Negara), Badan Pembinaan Hukum
Nasional(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta
Abdillah, Mujiono, 2003. Dialektika Hukum Islam & Perubahan Sosial Sebuah
Refleksi Sosiologi atas Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Surakarta:
Muhamadiyah University Press.
Abdurahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo.
Ad-Dawalibi.1965. al-madkhal ila ‘ilm ushul al-fiqh, Beirut: Dar al- Kitab al-Jadid.
Al Ghazali, Abu Hamid.1993. Al Mustasfa fi Usul al-Fiqh, Beirut: Dâr al Qalam.
Al-Amidi.1968. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,, Kairo: Mathba’ah ‘Ali Subeih, 1968.
al-Banna, Jamal.2008. Manifesto Fiqih Baru 2 Redifinisi dan Reposisi al-
Sunnah, Jakarta: Erlangga.
al-Banna, Jamal.2008. Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih
Moderat, Jakarta: Erlangga.
Ali, Maulana Muhammad.1993. Qur an Suci: Teks Arab, Terjemah Dan Tafsir
Bahasa Indonesia, alih bahasa Bachrun, Cet. VI; Jakarta: Darul Kutubil
Islamiyah.
al-Jabri, Abdul Mutaál.1983. Jariimat az-Zawaaj Bighairil Muslimat.Kairo:
Maktabah Wahbah. 1983.
al-Jaṣṣaṣ, Ahmad ar-Rāzi,1993. Ahkām Al-Qur’an, Beirut: Dār al-Fikr.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh Ala al-Madzâhib al-Arba ah 76-77.
Al-Kasani.t.t Badaai' Ash-Shanaai' , Dar al-Kutub al-Araby, II
al-Mubarakfuriy, Shafiyu ar-Rahman.2008. Al-Misbah Al-Munir fie Tahdzibi Tafsier
Ibn Katsir. Kairo: Al-Maktabah Al-Islamiyah.

187

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


186

Al-Qaradhawi, Yusuf.2007. Fiqih Maqashid Syariah Moderasi Islam antara Aliran


Tekstual dan Aliran Liberal, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar/
Al-Sarakhsi.1272. Ushul al-Sarkhasi, Kairo:Dar al-Kitab al-‘Arabi.
al-Syāfi‘ī, Imām.2006. Ahkām al-Qur’ān, Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
Al-Wahidi.1968. Asbâb An Nuzul Kairo: Dâr al-Ittihâd al-Arabi Li Attab ah.
al-Zuhailī, Wahbah.1984. al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Suriah: Dār al-Fikr.
Anwar, Moch.1991. Dasar–dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama, Bandung: CV. Diponegoro.
Ar-Razi, Muhammad.1996. Tafsir Al-Kabîr wa Mafâtih Al-Ghayb Beirut:Dâr al-Fikr.
Asmin.2000. Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta: PT. Dian Rakyat.
as-Shabuni, Muhammad Ali.2004. tafsier ayat al-ahkaam min al-Qurán. Beirut: Dar
al-Qurán al-Kariemm.
As-Shiddiqy, Hasbi.1997. Pengantar Hukum Islam Semarang: Rizki Putra.
As-Suyuti.t.t. Lubab An Nuqûl Fi Asbâb An Nuzul, Riyad:Maktabah Ar Riyad
Alhadistah.
Azra, Azyumardi.2005. Nilai-Nilai Pluralism dalam Islam, Bingkai Gagasan yang
Berserak, Bandung: Nuansa.
Azra, Azyumardi.2010. “An Islamic Perspective of Religious Pluralism in Indonesia:
The Impact of Democracy on Conflict Resolution,” in Religious Pluralism in
Democratic Societies: Challenges and Prospect for Southeast Asia, Europe,
and the United States in the New Millenium, edited by K.S. Nathan,
Singapore: Konrad-Adenauer- Stiftung (KAS).
Badri, Yusuf.2009. Nikah Beda Agama,Bandung: Persis Press.
Bar, Ibnu Abdil.t.t Al-Kafi, Riayad:Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah. II
Barton, Greg.1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj Jakarta: Paramadina.
Bunyin, Burhan.2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi, &
Kebijakan Publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media.
Dahlan, Abd. Rahman.2014. Ushul Fiqih, Cet. III; Jakarta: Amzah.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


187

Departemen Agama Republik Indonesia. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Solo:


Pustaka Agung Harapan.
Departemen Agama RI.1993. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Djamil, Faturrahman.1989. Metode Ijtihad Majelis Tarjih MuhammadiyahBuku
Panduan Muktamar Majlis Tarjih XXII, Malang:1989.
Eoh, O.S.1992. Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek Jakarta: Srigunting.
Fachrudin, Fuad Mohd.1993. Kawin Antar Agama dan Prof. Yusuf Syu’aib, Jakarta:
Kalam Mulia.
Fanani, Muhyar.2009. Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern. Yogyakarta: PT. LKis Printing Cemerlang.
Ghofar, Asyari Abdul.1992. Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama
Islam, Kristen Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: CV. Gramada.
Hasan, Ahmad.1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terjemahan Agah
Garnadi,Bandung: Pustaka
Hendra.2013. “Kehidupan Perkawinan Keluarga Beda Agama Dalam Perspektif
Maqashid as-Asyari’ah (Studi Kasus di Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang Provinsi Sumatera Barat dan Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten
Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan PPs IAIN Imam Bonjol Padang.
Herdiana, Dian. 2004. Studi Fatwa MUI Tentang Pelarangan Nikah Antara Muslim
Dan Kitabiyyah,” Jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Heru Nugroho, 2001, Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Hilman, Hardikusuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan ke-3, Bandung: Mandar Maju.
Hosen, Ibrahim.2003. Fiqih Perbandingan Masalah Perkawinan Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Ibn Mubarak, Jamil Muhammad.2003. Nazhariyatu ad-Dhorurah as-Syar’iyah. tt:
Dar al-Wafa’.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


188

Ishāq, Imām Abū.t.t.al-Muhadzdzab fī Fiqh al-Imām al-Syāfi‘ī, Beirut-Lebanon: Dār


al-Fikr.
Jaiz, Hartono Ahmad.2005. Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Junaedi, Dedi.2000. Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-
Qur’an dan Sunah, Jakarta: Akademi Pressindo.
Kamil, Jon.2011.“Perkawinan Antar Pemeluk Agama Perspektif Fiqih Ibnu
Taymiyah” Program Studi: Hukum Islam / Konsentrasi Fiqih Program Pasca
Sarjana (PPS) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA)
Riau.
Katsir, Ibn.2005. Tafsir al-Qurán al-ázhim. Kairo: Dar al-Hadits.
Koesnoe, Moh. .1995. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Varia Peradilan, No. 122 1995.
Kristanto, Tri Agung.2015. “Aturan yang Tetap Hangat Setelah 30 Tahun Lebih”, 50
Tahun Kompas Memberi Makna Jakarta: PT. Gramedia.
Madjid, Nurchalis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina.
Madjid. Nurcholish.2001. Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Beragama, Jakarta:
Buku kompas.
Mahfud MD (ed.).1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia Yogyakarta: UII Press.
Majelis Ulama Indonesia.2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Majid, Nurcholish. Dkk.2004. Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis. Jakarta: Paramadina.
Masyhuri, Abdul Aziz.1997. Masalah Keagamaan Hasil Mukhtamar dan Munas
Nahdhatul Ulama Surabaya: Dinamika Press.
Meliala, Djaja S, 2008. Himpunan peraturan perundang-undangan tentang
Perkawinan, Bandung, Nuansa Aulia.
Misrawi, Zuhairi, 2007. Al Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme Jakarta: Fitrah.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


189

Muchaddam F, Achmad, 2014 “Hukum Perkawinan Beda Agama”, Jurnal


Kesejahteraan Sosial, Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014
Mudzhar, Atho’.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS.
Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.t.t.Tafsir al-Manar, juz 6.Beirut:
Dar al-Fikr.
Mukhtar, Kamal.1974. “Asas-asas Hukum Islam tentangPerkawinan”,Jakarta: Bulan
Bintang.
Mulyadi.1996. Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum
Diponegoro Semarang.
Nata, Abuddin.2003.Pendidikan Spiritual Dalam Tradisi Keislaman.Bandung :
Angkasa.
Nugroho, Heru.2001. Menumbuhkan Ide-ide Kritis, Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis,(Jakarta: Paramadina, 2004).
O.S. Eoh, 1996. Perkawinan antar-Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada).
Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158
Pagar, 2006. Perkawinan Beda Agama: Wacana dan Pemikiran Hukum Islam
Indonesia, Bandung: Ciptapustaka Media.
Peradilan Agama dan KHI di lndonesia.1995.‘Perkawinan Beda Agama pasal 44,
Medan: Duta karya.
Perbawati, Candra.2015. Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi Dalam
Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah Vol.12, No. 2.
Projodikoro, Wirjono.1984. Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung.
Pudja, Gde, 1975. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari,
Denpasar.
Putusan Lajnah Batsul Masail Nadlotul Ulama’ November 1989 Yogyakarta.
Qudamah, Ibnu.t.t. Al-Mughni, Maktabah ar-Riyad al-Haditsah, VI.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


190

Rachman, Budhy Munawar, 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam


di Kanvas Peradaban.Mizan & Yayasan Wakaf Paramadina.
Rafiq, Ahmad, 1995. Hukum Islam di Indonesi Jakarta: Rajawali Press.
Rahman, Budhy Munawar.2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina.
Rasjidi, M, 1974. Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan
Kristen Jakarta: Bulan Bintang.
Ridha, Muhammad Rasyid.t.t. Tafsir Al Manâr, Jilid 2 Bairut: Dâr Al-Fikr.
Riduan Syahrani dan Abdurrahman, 1978. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di
Indonesia Bandung:Alumni.
Rofiq, Ahmad, 1997. Hukum Islam di Indonesia,cet. ke-2/Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Rusli dan R. Tama, 2000. Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya,
Bandung: Pionir Jaya.
Rusyd, Ibnu, 2004. Bidayayah al Mujtahid II Kairo: Dar al-Aqidah.
Sabiq Sayyid, 1985. Fiqh al- Sunnah, Juz. II Bairut: Dâr Al-Kitab al-Arabi.
Sabiq, Sayyid, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT.
Al Ma’arif.
Saeed, Abdullah.2-14. Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar, terj Yogyakarta:
Kaukaba.
Santoso. Elha.t.t. Kamus Praktis Modern Bahasa Indonesia.Surabaya:Pustaka Dua.
Saragih, Djaren.1980. Himpunan Peraturan-Peraturan Dan Perundang-Undangan
Di Bidang Perkawinan Indonesia, Bandung: Tarsito.
Shaleh, Wantjik.1980. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Shihab, Alwi.1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama,
Bandung: Mizan.
Shihab, Qurash.2008. Tafsîr al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an,
Vol. 1, 3, 14 Tangerang: Lentera Hati.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


191

Shofan, Moh, 2011. Pluralisme Menyelamatkan Agam-agama, Yogyakarta: Samudra


Biru.
Sing, Ko Tjay, 1981. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Semarang: Iktikad
Baik.
Sirry, Mun’im A. [ed.].2004. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, Jakarta: Paramadina.
Suhadi, 2006. Kawin Lintas Agama, Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta:
LKiS.
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Pedoman
Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : U-596/MUI/X/1997
Syafi’i, Imam.1993. Al-Umm, juz 4 , Beirut: Dar al-Kutb al-'Ilmiyyah.
Syalabi, 1986. Ta’lil al-Ahkam, Beirut: Dar al-Basya’ir al- Islamiyyah.
Taimiyah, Ibnu.t.t. al-Fatāwā al-Kubrā, Beirut: Dār al-Ma’arif.
Tim Kodifikasi Abiturien, 2007. Manhaj Solusi Umat (Jawaban Problematika
Kekinian),cet. 1 Kediri: DIVA.
Tim Kodifikasi Purna Siswa (KOPRAL). 2005. Kontekstualisasi Turāts (Telaah
Regresif dan Progresif), Kediri: KOPRAL.
Thoha, Anis Malik.2005. Tren Pluralism Agama, Jakarta: Perspektif.
Tim Penyusun, 2003. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Depag.
Undang-undang No. 01 Tahun 1974 Pasal 1.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Usman, Fatimah, 2002. Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama,Yogyakarta:
LkiS.
UU Pernikahan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Wahid, Abdurrahman.2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
transformasi kebudayaan Jakarta: The Wahid Institute.
Yanggo, Huzaimah Tahido.2009. Membendung Liberalisme Yogyakarta:Republika.
Zahra, Muhammada Abi.t.t. Ushul al Fiqh, Dar al-Fikr al-Araby.

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id


c.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id
BIODATA PENULIS

1. DATA PRIBADI

Nama : Erwin Setyo Nugroho


Tempat/Tanggal Lahir : Jember, 24 Mei 1980
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Otto Iskandar Dinata No. 4
Ajung Pancakarya Jember
Status : Belum Menikah
Handphone (Whatsap) : 081232437494
Email : erwinthewel9@gmail.com

2. RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan Formal :
- TK. Pertiwi Teladan Jember
- SD Al-Furqon .
- SMP Negeri 2 Jenggawa
- SMA Negeri 4 Jember
- S.1 Universitas Merdeka Malang
- S.2 IAIN Jember 2015 - Sekarang

3. PENGALAMAN ORGANISASI

- Anggota Pecinta Alam SMP 2 Jenggah

digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id — digilib.iain-jember.ac.id

Anda mungkin juga menyukai