Anda di halaman 1dari 1

STUDI KASUS TRAGEDI KANJURUHAN

Salah satu peristiwa paling kelam dalam dunia sepak bola Indonesia adalah tragedi
Kanjuruhan yang terjadi beberapa bulan lalu. Tragedi ini tentu saja masih membekas dalam
ingatan kita hingga saat ini, bahkan menimbulkan trauma bagi para korban, keluarga, dan
orang-orang tercintanya. Selain itu, tragedi Kanjuruhan juga nampaknya mempunyai aspek
sosio-psikologis.
Aspek psikologis dari pertandingan sepak bola adalah sistem sosial yang terdiri dari orang-
orang yang berbeda dan peran mereka. Panitia penyelenggara mempunyai peran yang harus
dimainkan, memikul tanggung jawab atas jalannya pertandingan. Pemain bertindak sebagai
pesaing. Direktur biasanya PSSI yang mengontrol jalannya pertandingan. Suporter sebagai
penonton yang mendukung para pemain. Semua peran ini pasti berinteraksi dan bercampur
dalam pertandingan sepak bola sementara.
Keadaan kebersamaan ini setidaknya mempunyai beberapa ciri. Pertama, orang bertindak
tanpa nama atau anonim, yang menyebabkan hilangnya tanggung jawab pribadi. Kedua,
sugesti, artinya mudah dipengaruhi oleh tindakan orang lain. Yang ketiga adalah perilaku
menular yang diikuti orang lain. Keempat, hilangnya karakter pribadi yang mempengaruhi
perilaku. Menurutnya, di dalam stadion ada yang menunjukkan karakter tersebut, namun ada
juga yang tidak. Artinya, kepanikan tentu menimbulkan perilaku menular yang berujung
pada kekacauan, sehingga sulit menentukan pendekatan karena situasi kerumunan cenderung
kacau.
Lebih lanjut ia menekankan bahwa tidak ada niat dalam situasi kacau. Kekacauan tersebut
juga membuat sulit untuk mengidentifikasi penyebab utama kematian, ujarnya. Perilaku
kelompok dihasilkan dari pola pikir yang dikenal sebagai pola pikir tindakan kolektif. Situasi
di lokasi kejadian tentunya menjadi titik kritis yang mengawali segala aksi kekerasan dan
menyulitkan penentuan penyebabnya. Oleh karena itu, ia berpesan kepada pemerintah
termasuk kepolisian dan panitia penyelenggara untuk memperhatikan aspek psikologis dan
sosial yang muncul pasca peristiwa tersebut dengan melakukan beberapa hal. Pertama,
penanganan trauma untuk mengembalikan kondisi psikologis korban dan keluarganya
menjadi normal. Kedua, membantu memitigasi dampak sosial terhadap korban dan
keluarganya, misalnya jika korban adalah pencari nafkah.
Pernyataan ini juga dibenarkan oleh M.Sc. Dr.Andik Matulessy. Seperti Ketua Ikatan
Psikolog Indonesia yang hadir sebagai terdakwa. Ia menegaskan kembali bahwa akan sulit
untuk menyelesaikan prosedur pasca-pemberontakan sendirian. Hal ini karena aktivitas
kelompok cenderung terjadi secara spontan sehingga menimbulkan kondisi yang sulit
dijelaskan dan perilaku menular. Tragedi Kanjuruhan tentu juga menimbulkan gejala PTSD
(post-traumatic stress disorder) atau gangguan psikologis pasca trauma. Gangguan ini
biasanya muncul sebulan setelah tragedi yang memilukan, dan gejalanya meliputi
ketidakmampuan menerima kenyataan. Jika dibiarkan, gangguan ini berakibat fatal hingga
berujung pada gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, perlu adanya asesmen dan
trauma healing serta dukungan sosial bagi mereka yang terkena dampak. Di kepolisian,
adanya gangguan ini tentu menjadi kendala tersendiri karena korban sulit menceritakan
kejadiannya.
SUMBER

Anda mungkin juga menyukai