Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENURUNKAN STRES KERJA PADA ANGGOTA


KEPOLISIAN

Dosen pengampu : Yulis Dwi Susanto, S.Psi.,MM

Disusun oleh :

Mellissa julyane ( 17610028)

FAKULTAS ILMU SOSIAL & BUDAYA

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG

MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas izin-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah “Perubahan dan Perkembangan Organisasi”
Makalah ini berisikan tentang faktor dan proses berubah dan berkembangnya sebuah
organisasi. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
perkembangan organisasi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
menyusun makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberkati kita semua. AMIN.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pelatihan adalah pengalaman belajar terstruktur yang dimaksudkan untuk


mengembangkan kemampuan menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap.
Kemampuan tersebut adalah potensi fisik, mental, atau potensi psikologis. Keterampilan adalah
aplikasi/penerapan khusus dari satu atau lebih potensi yang ada. Sebagaimana orang berbeda
dengan berbagai kemampuan mereka, mereka mempunyai tingkatan keterampilan yang
berbeda yang mereka peroleh dari hasil pelatihan.
Dalam hal pelatihan potensi psikologi seperti regulasi emosi adalah penting karena
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi, mengelola dan mengungkapkan
emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Kemampuan yang tinggi
dalam mengelola emosi akan memampukan individu untuk menghadapi ketegangan dalam
kehidupannya(Gross, 1998). Banyak pekerjaan yang diharuskan untuk meregulasikan emosinya
karena tuntutan pekerjaan yang beresiko seperti contohnya adalah berprofesi sebagai anggota
kepolisian.
Republik Indonesia merupakan negara yang berlandaskan dan menjunjung tinggi
hukum. Hal ini sesuai dengan pasal 27 UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan
pemerin- tahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar
Negara Republik 1945 di atas, maka dibentuklah aparat negara penegak hukum, yaitu Polisi
Republik Indonesia (Polri). Sesuai dengan UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia pasal 13, tugas polisi adalah sebagai berikut: “Tugas Pokok Kepolisian dalam
mengemban tugasnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat”.
Dalam hal ini profesi sebagai anggota kepolisian sangat beresiko mengalami stress
karena dituntut untuk menguasai berbagai cabang ilmu agar mampu memberikan solusi atas
masalah yang belum terpecahkan serta jam kerja yang sangat Panjang memungkinkan waktu
istirahat yang kurang dan menimbulkan keseimbangan emosionalnya terganggu.

ii. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari regulasi emosi?
2. apa saja strategi dalam meregulasi emosi ?
3. apa saja aspek – aspek dalam regulasi emosi ?
4. apa saja faktor – faktor penyebab stress kerja ?

III. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari regulasi emosi
2. Untuk mengetahui apa strategi dalam meregulasi emosi
3. Untuk mengetahui aspek-aspek dalam regulasi emosi
4. Untuk mengetahui apa saja faktor – faktor stress kerja

BAB II
PEMBAHASAN
1. Kepolisian
Polisi adalah sebuah profesi kerja yang bertugas untuk menjamin penegakan hukum dan
terjaganya keamanan masyarakat. Terkait dengan tugas penegakan hukum polisi bekerja
untuk memerangi kejahatan, yaitu dengan menekan tingkat kejahatan yang terjadi di
lingkungan. Melalui sebuah proses penegakan hukum yang objektif. Terjaga keamanan
masyarakat sangat terkait dengan tugas untuk bisa melindungi masyarakat, dari
sebuahtindakan yang merugikan yang dilakukan oleh sekelopok orang ataupun seseorang.
Polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Salah satu di antaranya adalah direktorat reserse
kriminal (reskrim). Reskrim terbagi menjadi dua, yaitu Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) dan
Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus). Kedua direktorat tersebut merupakan unsur pelaksana
utama Kepolisian Daerah (Polda) yang bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum maupun khusus, termasuk
fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum,
koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan
hukum serta peraturan yang berlaku.
Direktorat Reskrim memiliki tugas untuk menindak segala jenis perilaku kriminal. Kriminal,
menurut Lectric Law Library (2008), adalah suatu bentuk perilaku yang melanggar hukum.
Kriminalitas merupakan suatu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum
yang berlaku di masyarakat. Sullivan (1977) menyatakan bahwa setiap anggota polisi kriminal
dituntut untuk menguasai berbagai cabang ilmu agar mampu memberikan solusi atas masalah
yang belum terpecahkan. Kesaksian dari pihak-pihak yang terkait juga dibutuhkan di
persidangan. Hal ini menjadi tekanan tersendiri bagi anggota polisi reskrim, yang berasal dari
kehadiran keluarga tersangka dan pihak pers yang mengikuti persidangan tersebut. Tekanan
lain yang muncul adalah berkaitan dengan waktu, di mana mereka dituntut untuk selalu siap
sedia selama 24 jam.
Oleh karena itu, menurut Sullivan (1977), jika dibandingkan dengan bidang kepolisian
lainnya, polisi kriminal dianggap sebagai “urat nadi” kepolisian. Tantangan dan tekanan yang
dihadapi seorang polisi dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya dapat memicu timbulnya
stres. Zakir dan Murat (2011) berpendapat bahwa profesi polisi dianggap sebagai pekerjaan
dengan tingkat stres tinggi karena jam kerja yang panjang, struktur kepemimpinan serta
kekhawatiran akan keselamatan atau dalam artian memiliki resiko yang cukup tinggi. Profesi
polisi rentan terhadap stres karena harus siap siaga dalam melayani dan mengayomi
masyarakat. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk menjaga keamanan negara. Sesuai dengan
peneli- tian yang dilakukan oleh Cooper (Vitarini, 2009) yang menunjukkan bahwa stres kerja
banyak terjadi pada individu dengan latar belakang di bidang pelayanan, yaitu orang-orang
yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan serta berkaitan erat dengan masyarakat,
misalnya perawat, polisi, pekerja sosial, guru, konselor, dan dokter.
Oktavia (2014) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa kondisi stres yang
berlarut-larut seringkali menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Kondisi ini mengakibatkan
dampak yang luar biasa terhadap kehidupan anggota polisi sehari-hari, bukan hanya dalam hal
psikologis, tetapi juga fisik maupun perilaku. Salah satunya adalah pengambilan keputusan
buruk pada individu. Hal ini berdampak pada kondisi psikologis anggota polisi reskrim yang
berpengaruh pada perilaku mereka, di mana yang dapat kita lihat bahwa akhir-akhir ini marak
terjadi pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Individu menjadi mudah
marah dan tersinggung sehingga tidak mampu berpikir jernih. Beberapa kasus yang
menunjukkan penyimpangan anggota polisi sehingga menimbulkan antipati dan menurunkan
citra polisi, di antaranya adalah berita pada tahun 2014 tentang anggota Polda Metro Jaya
menembak kepala atasannya hingga tewas setelah keduanya berseteru. Sementara itu, kasus
lainnya adalah berita pada tahun 2016 ini, di mana seorang anggota Brimob ACK menembak
istrinya tepat di kening karena ada permasalahan rumah tangga
(http://batampos.co.id/2016/03/13/).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Neta S. Pane (http://news.okezone. com), yang
merupakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) bahwa anggota polisi yang merasa
frustasi akibat tekanan psikologi akan berdampak pada dua hal. Dampak yang pertama adalah
terjadinya aksi bunuh diri. Kemudian yang kedua adalah polisi mudah lepas kontrol dan
cenderung emosional. Hal ini membuat anggota polisi terutama yang diberikan inventaris
berupa senjata api menjadi mudah untuk melepaskan tembakan, bahkan kepada keluarga,
rekan, atau atasannya sendiri. Begitu pula yang diungkapkan oleh Mantan Kepala Korps Brimob
Komjen Purnawirawan Imam Sudjarwo (http://news.liputan6. com/16/8/16), di mana kasus
bunuh diri polisi sering terjadi karena tekanan kerja yang membebankan pikiran. Menurut data
IPW (http://sumsel.tribunnews.com /16/8/16), terhitung bulan Maret 2016 sudah tercatat
enam kasus bunuh diri yang dilakukan anggota polisi. Angka ini cenderung meningkat,
mengingat sepanjang tahun 2011 hanya ada satu kasus di Sumut, tahun 2012 naik menjadi dua
orang, dan tahun 2013 naik drastis hingga tujuh kasus. Kemudian sepanjang 2014 ada tiga kasus
dan pada 2015 sudah terjadi enam kasus polisi bunuh diri. Bahkan jumlah anggota polisi yang
bunuh diri tahun 2013 meningkat 300 persen lebih jika dibandingkan tahuntahun sebelumnya
(http://www.posmetro. com/4/7/16).

2. Pengertian Regulasi Emosi


Regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi,
mengelola dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan
emosional. Kemampuan yang tinggi dalam mengelola emosi akan memampukan individu untuk
menghadapi ketegangan dalam kehidupannya(Gross, 1998).
Menurut Gross (2006), respon emosional yang tidak tepat dapat menuntun individu ke
arah yang salah. Pada saat emosi tampaknya tidak sesuai dengan situasi tertentu, individu
sering mencoba untuk mengatur respon emosional agar emosi tersebut dapat lebih bermanfaat
untuk mencapai tujuan, sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat diterapkan untuk
menghadapi situasi emosional berupa regulasi emosi yang dapat mengurangi pengalaman
emosi negatif maupun tingkah laku maladaptif. Individu yang mengendalikan emosinya dapat
mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, hal ini dinyatakan oleh Karl C. Garrison (dalam
Mappiare, 2003), bahwa kebahagiaan seseorang dalam hidup ini bukan karena tidak adanya
bentukbentuk emosi dalam dirinya, melainkan kebiasaannya memahami dan menguasai emosi.
Proses pengendalian emosi ini juga disebut sebagai proses regulasi emosi. Regulasi emosi
merupakan cara individu untuk menentukan emosi apa yang dirasakan, kapan emosi tersebut
dirasakan dan bagaimana mengekspresikan dan mengetahui emosi tersebut(Fridja dalam Gross,
2006).
Gross (1998) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu mempengaruhi emosi
yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau
mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu
yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001).
Gross (1998) mengemukakan bahwa tujuan dari regulasi emosi sendiri bersifat spesifik
tergantung keadaan yang dialami seseorang. Sebagai contoh, pada suatu situasi seseorang
menahan emosi takutnya agar ketakutannya tersebut tidak dimanfaatkan orang lain. Dalam
situasi yang lain, seseorang dapat dengan sengaja menaikan rasa marahnya untuk membuat
orang lain merasa takut. Cukup sulit untuk mendeteksi tujuan dari regulasi emosi pada tiap
individu, namun satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa regulasi emosi berkaitan
dengan mengurangi dan menaikkan emosi negatif dan positif. Emosi positif dan emosi negatif
ini muncul ketika individu yang memiliki tujuan berinteraksi dengan lingkungannya dan orang
lain. Emosi positif muncul apabila individu dapat mencapai tujuannya dan emosi negatif muncul
bila individu mendapatkan halangan saat akan mencapai tujuannya. Hal yang termasuk emosi
positif diantaranya adalah senang dan gembira, sedangkan yang tergolong emosi negatif
diantaranya adalah marah, takut dan sedih.
3. strategi – strategi untuk meregulasi emosi
Menurut Garnefski (2001) terdapat beberapa macam strategi-strategi untuk meregulasi
emosi, yaitu :
a. Self blame disini mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri. Beberapa
penelitian menemukan bahwa self blame berhubungan dengan depresi dan pengukuran
kesehatan lainnya.
b. Blaming others mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain atas kejadian yang
menimpa dirinya.
c. Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang
menimpa dirinya. Acceptance merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif
dengan pengukuran keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan
pengukuran kecemasan.
d. Refocus on planning mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa yang harus
diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami. Perlu diperhatikan kalau dimensi ini
hanya pada tahap kognitif saja, tidak sampai kepelaksanaan. Refocusing on planning
merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran
keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran
kecemasan.

4. aspek – aspek regulasi emosi


Aspek-aspek kemampuan regulasi emosi menurut Thompson (dalam Gross, 1998) terdiri
dari:
a. Memonitor emosi (emotions monitoring)
Memonitor emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari dan memahami
keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri, seperti: perasaan, pikiran, dan latar belakang dari
tindakan. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lain. Artinya kesadaran diri akan
membantu tercapainya aspekaspek yang lain. Memonitor emosi membantu individu terhubung
dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran, dan keterhubungan ini membuat individu mampu
menamakan setiap emosi yang muncul.
b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)
Mengevaluasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan
emosi-emosi yang dialami. Kemampuan mengelola emosiemosi khususnya emosi negatif
seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak
terbawa dan terpengaruh secara mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak mampu lagi
berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci,
kemudian mampu menerima perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha menolak, dan
berusaha menyeimbangkan emosi tersebut secara konstruktif.
c. Modifikasi emosi (emotions modifications)
Modifikasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi sedemikian rupa
sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa,
cemas, dan marah (Gross, 2006). Kemampuan ini membuat individu mampu menumbuhkan
optimisme dalam hidup. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah
yang membebani, mampu terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar, dan tidak
mudah putus asa serta kehilangan harapan
Gross (dalam Strongman, 2003) juga menjelaskan berbagai aspek-aspek regulasi emosi,
antara lain:
a. Pemilihan situasi (situation selection). Pemilihan situasi dapat dilakukan dengan
mendekati atau menjauhi orang, tempat, atau objekobjek tertentu.
b. Modifikasi situasi (situation modification). Modifikasi situasi berhubungan dengan
strategi pemecahan masalah. Penyebaran perhatian (attentional deployment). Penyebaran
perhatian berhubungan dengan kebingungan, konsentrasi, dan atau perenungan.
c. Perubahan kognitif (cognitive change). Perubahan kognitif menyangkut evaluasi dari
modifikasi yang telah dibuat, termasuk pertahanan psikologis, dan menurunkan perbandingan
sosial (misalnya dia lebih salah daripada saya). Pada umumnya perubahan kognitif merupakan
transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh emosional yang kuat dari suatu situasi.
d. Modifikasi respon (response modification/modulation). Contoh modifikasi respon
adalah cara agar tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang, mengkonsumsi alkohol. Modulasi
respon mengacu pada mempengaruhi respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku selangsung
mungkin. Upaya untuk meregulasi aspek-aspek fisiologis dan pengalaman emosi adalah hal
yang lazim dilakukan. Obat mungkin digunakan untuk mentarget respon-respon fisiologis
seperti ketegangan otot (anxiolytics) atau hiperaktivitas (sistem-syaraf) simpatik (beta
blockers). Olahraga dan relaksasi juga dapat digunakan untuk mengurangi aspek-aspek fisiologis
dan pengalaman emosi negatif, dan, alkohol, rokok, obat, dan bahkan makanan, juga dapat
dipakai untuk memodifikasi pengalaman emosi. Bentuk lazim lain dari modifikasi respon
melibatkan regulasi perilaku yang mengekspresikan emosi (Gross, & John, 2003). Banyak studi
menunjukkan bahwa menginisiasi perilaku ekspresif-emosi sedikit meningkatkan perasaan
tentang emosi itu.Menariknya, mengurangi perilaku ekspresif-emosi tampaknya mempunyai
efek menurunkan pengalaman emosi positif tetapi tidak menurunkan pengalaman emosi
negatif dan benar-benar meningkatkan aktivasi (sistem syaraf) simpatik (Gross, 1998).
5. Proses regulasi emosi
Menurut Gross dan Thompson (1998), regulasi emosi meliputi semua kesadaran dan
ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan, memelihara, dan menurunkan satu
atau lebih komponen dari respon emosi. Komponen, perasaan, perilaku, dan respon-respon
fisiologis, proses regulasi emosi terjadi dua kali, yaitu pada awal tindakan (antecedent-focused
emotion regulation/reappraisal) dan regulasi yang terjadi pada akhir tindakan (responsefocused
emotion regulation/suppression). Regulasi awal terdiri dari perubahan berpikir tentang situasi
untuk menurunkan dampak emosional, sedangkan regulasi akhir menghambat keluaran tanda-
tanda emosi. Lazarus (1991) mengemukakan teori proses model regulasi emosi, yaitu:
a. Individu memasuki situasi tertentu.
b. Individu memberikan perhatian pada aspek-aspek tertentu dari situasi, daripada
orang lain.
c. Individu menafsirkan, atau menilai, aspek-aspek situasi dengan cara yang
memudahkan respons emosional.
d. Kemudian individu mengalami emosi meledak penuh, termasuk perubahanperubahan
fisiologis, perilaku impuls, dan perasaan subjektif.
Bonanno & Mayne (dalam Gross, 1998) mengemukakan tiga dasar kategori dalam
regulasi emosi psikologis, yaitu:
a. Kontrol regulasi Kontrol regulasi merupakan proses pencapaian keseimbangan
emosional (emotionalhomeostasis). Keseimbangan emosional adalah konseptualisasi masalah
terhadap tujuan yang mencakup frekuensi ide-ide, intensitas atau durasi pengalaman, ekpresi
atau channel fisiologis dari respon emosional. Apabila kontrol regulasi tidak berhasil, maka
terjadi pemisahan emosi, tekanan, dan ekspresi. Apabila kontrol emosi dapat dicapai, maka
orang memasuki regulasi selanjutnya.
b. Regulasi awal Regulasi awal dilakukan untuk mencapai atau terpeliharanya
keseimbangan emosional. Jika regulasi awal tidak dapat dipelihara, maka terjadi beberapa
reaksi, misalnya mencari atau menghindari, kemudian seseorang memasuki tahap selanjutnya.
c. Eksplorasi regulasi Eksplorasi regulasi adalah mencoba perilaku baru, melakukan
kegiatankegiatan dalam rangka mempelajari emosi-emosi mereka, dan keseimbangan
emosional ini sebenarnya tidak pernah tercapai. Akan tetapi, orang akan selalu
Adapun strategi-strategi untuk meregulasi emosi, yaitu : Self blame, Blaming others,
Acceptance dan Refocus on planning. Sedangkan, aspek pada regulasi emosi adalah Memonitor
emosi (emotions monitoring), Mengevaluasi emosi (emotions evaluating) Modifikasi emosi
(emotions modifications), Pemilihan situasi (situation selection), Modifikasi situasi (situation
modification), Perubahan kognitif (cognitive change) dan Modifikasi respon (response
modification). Lalu berikutnya, proses regulasi emosi dapat disimpulkan sebagai berikut;
Individu memasuki situasi tertentu, individu memberikan perhatian pada aspekaspek tertentu
dari situasi, daripada orang lain; individu menafsirkan, atau menilai, aspek-aspek situasi dengan
cara yang memudahkan respons emosional, dan kemudian individu mengalami emosi meledak
penuh, termasuk perubahanperubahan fisiologis, perilaku impuls, dan perasaan subjektif.

6. Stress kerja
Tujuan yang dicapai perusahaan tidak akan terlepas dari peran dan adil setiap karyawan
yang menjadi penggerak kehidupan organisasi, sehingga sudah selayaknya peran dari pemimpin
para manajer perusahaan untuk dapat memahami kondisi para karyawannya, apabila karyawan
terdapat beban masalah yang dapat menghambat kinerja peerusahaan maka secepatnya
pimpinan dapat mengurangi dan menyelesaikan beban karyawan tersebut, terutama mengenai
stress kerja yang seharusnya dikelola dengan penuh berkesinambungan agar tidak
menghambat jalannya kinerja perusahaan.
“Menurut Pace & Faules (1998) stress adalah penderitaan jasmani, mental atau emosional
yang diakibatkan interpretasi atas suatu peristiwa sebagai suatu ancaman bagi agenda pribadi
seorang individu. Dalam suatu perusahaan, semakin besar suatu perusahaan maka makin
banyak karyawan yang bekerja di dalamnya sehingga besar kemungkinan timbulnya
permasalahan di dalamnya, dan permasalahan manusianya”. Banyak permasalahan manusiawi
ini tergantung pada kemajemukan masyarakat dimana para karyawan itu berasal, makin maju
suatu masyarakat maka semakin banyak permasalahan. Makin tinggi kesadaran karyawan akan
hak-haknya, makin banyak permasalahan yang muncul. Makin beragam nilai yang dianut para
karyawannya, makin banyak konflik yang berkembang. Salah satu dari permasalahan tersebut
adalah munculnya stress kerja pada karyawan.
“Menurut Robbins (2008) stress adalah suatu kondisi dinamik yang didalamnya seorang
individu di konfrotasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan
apa yang sangat diinginkan dan hasilnya di persepsikan sebagai tidak pasti dan penting.
Sedangkan menurut Hasibuan (2003) stress adalah suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses pikir, dan kondisi seseorang. Orang-orang yang mengalami stress
menjadi nerveous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi marah-marah,
agresif, tidak dapat rileks, atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif”.
Stres sebagai suatu istilah payung yang merangkumi tekanan, beban, konflik, keletihan,
ketegangan, panik, perasaan gemuruh, kemurungan dan hilang daya. Stress kerja adalah suatu
kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang
mempengaruhi emosi, proses pikir, dan kondisi seorang karyawan. Stress yang terlalu besar
dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya,
pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu
pelaksanaan kerja mereka (Rivai, 2004).
Stress merupakan suatu respon adoptif terhadap suatu situasi yang dirasakan menantang
atau mengancam kesehatan seseorang. Kita sering mendengar bahwa stress merupakan akibat
negatif dari kehidupan modern. Orang-orang merasa stress karena terlalu banyak pekerjaan,
ketidakpahaman terhadap pekerjaan, beban informasi yang terlalu berat atau karena mengikuti
perkembangan zaman (Sopiah, 2008). Stress kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa
tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan.
Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang,
suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup,
tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan (Mangkunegara, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stress kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara fisik dan psikis yang dapat mempengaruhi
proses dan kondisi karyawan, sehingga orang yang mengalami stress kerja menjadi nerveous.
Oleh karena itu, penanganan stress kerja harus dilakukan dengan baik dan berkesinambungan
dan pemimpinan harus cepat tanggap terhadap hal tersebut, karena akan berdampak pada
kinerja karyawan.

7. Faktor stress kerja


Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja Menurut Robbins (2008) ada 2 faktor yang dapat
menyebabkan stress yaitu:
1. Faktor organisasi meliputi tuntutan tugas, tuntutan peran dan tuntutan antar personal.
Tidak sedikit faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan stress. Tekanan untuk
menghindari kesalahan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang singkat, beban
kerja yang berlebihan, atasan yang selalu tidak peka dan rekan kerja yang tidak
menyenangkan adalah beberapa diantaranya sehingga dapat dikelompokkan menjadi
tuntutan tugas, peran dan antar personal. Tuntutan tugas adalah faktor yang terkait
dengan pekerjaan seseorang. Tuntutan tersebut meliputi desain pekerjaan individual
(otonomi, dan keragaman tugas), serta kondisi kerja. Serupa dengan hal tersebut,
bekerja diruangan yang terlalu sesak atau lokasi yang selalu terganggu oleh suara bising
dapat meningkatkan kecemasan dan stress. Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan
yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya
dalam organisasi. Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk
diselesaikan atau dipenuhi. Beban peran yang berlebihan dialami ketika karyawan
diharapkan melakukan lebih banyak daripada waktu yang ada. Tidak adanya dukungan
dari atasan dan hubungan antar pribadi yang buruk dapat menyebabkan stress,
terutama diantara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial tinggi.

2. Faktor personal meliputi persoalan keluarga, persoalan ekonomi, dan kepribadian.


Berdasarkan hasil survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sanagat
mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. Berbagai kesulitan dalam hidup
perkawinan, retaknya hubungan dan masalah anak adalah bebrapa contoh masalah
hubungan yang menciptakan stress bagi karyawan, yang lalu terbawa sampai ketempat
kerjanya. Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang
adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stress bagi karyawan dan mengganggu
konsentrasi kerja mereka. Kepribadian maksudnya stress yang timbulnya dari sifat dasar
seseorang. Misalnya Tipe A cenderung mengalami stress disbanding kepribadian Tipe B.
bebrapa cirri kepribadian Tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam
menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan
pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya),
cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yan
non kompetitif.
BAB III
PENUTUP

i.KESIMPULAN
Stres kerja yaitu tuntutan kerja melebihi kemampuan individu. Stres kerja seringkali
didefinisikan sebagai sesuatu yang negatif, masalah-masalah kecil dan remeh, terjadi dengan
cara yang sama dan serupa pada setiap orang, dan semata-mata bersifat mental serta tidak
berkaitan dengan fisik. Padahal stres kerja ini merupakan reaksi yang normal pada setiap orang
dari segala usia.
Individu tidak hanya sekedar memiliki emosi, namun emosi ini juga perlu untuk diatur
dalam diri individu tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa individu perlu mengambil
sikap terhadap emosi yang muncul serta menerima konsekuensi dari setiap tindakan emosi
mereka. Kondisi ini biasa disebut dengan regulasi emosi. Beberapa riset menunjukkan bahwa
berprofesi sebagai polisi menunjukkan banyaknya kegiatan yang dilakukan dalam satu hari
sangat mempengaruhi dalam hal stress. Oleh karena itu para anggota polisi memerlukan
bagaimana melatih regulasi emosinya agar tidak terkena stress karena pekerjaan yang beresiko
dan memakan banyak waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, D. R. (2016). Pelatihan regulasi emosi untuk meningkatkan resiliensi pada pendamping
(caregiver) skizofrenia. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Magister Psikologi Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Arisona, A. A. (2015). Perbedaan tingkat stres kerja antara anggota polri fungsi reserse dengan
satlantas di salatiga. Tugas Akhir (tidak diterbitkan). Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana.

Cahyono, A. S. D. & Koentjoro. (2015). Appreciative inquiry coaching untuk menurunkan stres kerja.
Gadjah

Anda mungkin juga menyukai