Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KONSEP SELF REGULATED LEARNING DAN MOTIVASI BELAJAR

2.1 Self Regulated Learning


2.1.1 Definisi Self Regulated Learning
Self Regulated pada hakekatnya merupakan teori kemampuan individu
dalam mengontrol perilaku dirinya sendiri terhadap suatu situasi tertentu. Pada
situasi akademis, Self Regulated Learning (SRL) diterapkan demi mencapai
perkembangan kemampuan siswa untuk menghadapi segala bentuk kesulitan yang
dihadapinya selama melakukan kegiatan belajar. Teori ini telah dikemukakan dan
dikembangkan oleh banyak ahli yang salah satunya adalah Barry J. Zimmerman,
yang mengungkapkan pengertian SRL yaitu “in general, student can be describe
as self-regulated learning to the degree that they are metacognitively,
motivationally and behaviorally active participants to their own learning ”
(Zimmerman, 1989, hlm. 1). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa secara umum
siswa yang dikatakan SRL adalah mereka yang aktif secara metakognisi, motivasi,
dan perilaku dalam proses atau kegiatan belajarnya.
Bandura (dalam Zimmerman, 1989, hlm. 2) menjelaskan self-regulation
sebagai kemampuan individu dalam mengontrol perilaku mereka sendiri dalam
mengerjakan suatu tugas yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Bandura mengungkapkan bahwa terdapat tiga langkah dalam self-regulation
yaitu: (1) observasi diri (self-observation), dimana individu melihat dirinya
sendiri, perilaku, dan menjaganya; (2) keputusan (judgment), yaitu
membandingkan apa yang dilihat dengan standar yang telah ditetapkan; dan (3)
respon diri (self-response), yaitu dimana seorang individu telah berupaya menjadi
lebih baik dari standar yang telah ditetapkan, kemudian penghargaan pada diri
pada dirinya sendiri.
Pintrich (1995, hlm. 33) mendefinisikan SRL sebagai sebuah proses aktif
yang dilakukan oleh siswa dalam kegiatan belajarnya dengan melibatkan
monitoring, motivasi, metakognisi, dan perilaku, yang berorientasi pada tujuan
belajar mereka dan segi kontekstual terhadap lingkungan. SRL secara umum
dicirikan sebagai sikap aktif pada diri siswa yang juga ditunjukkan dengan

7
8

kemampuannya dalam mengontrol secara efisien kegiatan belajarnya dengan


berbagai usaha yang dapat dilakukannya, seperti mengatur dan menentukan
lingkungan yang dapat menunjang kegiatan belajarnya menjadi lebih produktif
dan memanfaatkan berbagai sumber belajar secara efektif, mengorganisir materi
pelajaran, menjaga emosinya agar tetap positif dalam melakukan kegiatan belajar,
menjadikan kemampuannya sebagai motivasi, dan memperhitungkan berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi proses belajarnya.
Corno dan Mandinach (1983, hlm. 95) menjelaskan bahwa SRL merupakan
suatu upaya individu dalam memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif
dalam suatu bidang khusus (tidak terbatas hanya pada bidang akademik), dan
memonitor serta meningkatkan proses-proses yang mendalam. SRL merujuk pada
perencanaan yang baik dan monitoring terhadap segala bentuk proses kognitif dan
afektif yang tercakup dalam penyelesaian tugas-tugas akademik.
Dari definisi beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa SRL
adalah kemampuan siswa untuk menjadi pribadi yang aktif secara metakognisi
(kemampuan untuk mengontrol aspek kognisi), motivasi, serta perilaku selama
mengikuti kegiatan pembelajaran. Secara metakognisi, siswa SRL dapat
merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan diri, memonitor diri, dan
mengevaluasi diri dalam berbagai tingkatan yang bermacam-macam dari yang
telah dipelajai sebelumnya. Secara motivasi, siswa SRL memperlakukan diri
mereka sendiri sebagai pribadi yang memiliki kompetensi, efektif, dan mandiri.
Secara perilaku, siswa SRL memiliki kemampuan untuk menentukan, mengatur,
serta menciptakan lingkungannya sendiri dalam menunjang kegiatan belajarnya.

2.1.2 Aspek Self Regulated Learning


Zimmerman (1989, hlm 4) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek umum
dalam SRL yaitu kognisi, motivasi, serta perilaku. Berikut adalah penjelasannya.
a. Regulasi kognisi, yaitu siswa dituntut untuk dapat menyesuaikan dan
mengatur kognisinya dalam berbagai macam aktivitas kognitif serta
metakognitif.
9

b. Regulasi motivasi, yaitu siswa dituntut untuk dapat terlibat dalam kegiatan
yang bertujuan untuk memulai, mengelola keinginannya, menyiapkan tugas-
tugas yang akan datang, serta menyelesaikan kegiatan yang telah dimulai.
c. Regulasi perilaku, yaitu dimana siswa berupaya dalam mengatur
perilakunya sendiri. Proses perilaku dalam SRL yang dikemukakan oleh
Henderson dkk (dalam Zimmerman, 1990, hlm 5) diantaranya adalah
memilih, menyusun, dan menciptakan lingkungan untuk belajar. Siswa
mencari nasihat, informasi, dan tempat belajar yang sesuai. Siswa juga
melatih kemahiran dan menguatkan pembentukan performa.
Pintrich (1991, hlm. 42) mengungkapkan bahwa terdapat dua aspek penting
dalam SRL yaitu motivasi dan strategi belajar.
1. Motivasi
Motivasi yang dimaksud mengacu pada dorongan siswa yang timbul dari
dalam dirinya sendiri untuk terlibat dalam kegiatan belajar yang berorientasi pada
pencapaian prestasi belajarnya. Aspek motivasi meliputi komponen nilai (value
component), komponen harapan (expectancy component), dan komponen afektif
(affective component).
a. Komponen Nilai (Value Component)
1) Orientasi Tujuan Intrinsik (Intrinsic Goal Orientation)
Orientasi tujuan intrinsik digambarkan sebagai cara siswa memandang
alasannya untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan belajar. Orientasi tujuan
intrinsik meliputi tingkat partisipasi siswa dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya.
2) Orientasi Tujuan Ekstrinsik (Extrinsic Goal Orientation)
Orientasi tujuan ekstrinsik melengkapi orientasi tujuan intrinsik, yang
mencakup tingkatan partisipasi siswa dalam mengerjakan dan
menyelesaikan suatu tugas seperti nilai, hadiah, kinerja, evaluasi teman
sebaya, dan kompetisi.
3) Nilai Sebuah Tugas (Task Value)
Nilai sebuah tugas meliputi evaluasi siswa terhadap daya tarik, urgensi, dan
fungsi suatu diskusi. Nilai suatu tugas diukur dari sejauh mana siswa
melibatkan dirinya dalam kegiatan belaajar. Nilai suatu tugas dalam MSLQ
10

meliputi pandangan siswa terhadap daya tarik, urgensi, dan kegunaan suatu
materi pelajaran.
b. Komponen Harapan (Expectancy Component)
1) Kontrol Keyakinan/Kepercayaan (Beliefs Control)
Kontrol terhadap belajar meliputi rasa yakin yang dimiliki oleh siswa akan
usaha yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran dapat membuahkan
hasil yang positif. Hal tersebut berkaitan dengan persepsi siswa yang
memandang bahwa tujuan kegiatan belajar yang dilakukannya dapat
tercapai sesuai dengan sejauh mana mereka berusaha, dengan begitu maka
mereka akan lebih rajin belajar, lebih strategis dan efektif.
2) Efikasi Diri untuk Belajar dan Prestasi (Self-Efficacy for Learning and
Performance)
Item yang terdiri pada skala efikasi diri untuk belajar dan kinerja (Self-
Efficacy For Learning dan Performance) menilai dua aspek harapan yaitu
harapan untuk sukses dan self-efficacy. Harapan untuk sukses mengacu pada
ekspektasi kinerja dan berhubungan secara khusus untuk kinerja sebuah
tugas. Self-efficacy adalah penilaian diri dari kemampuan siswa untuk
menguasai sebuah tugas. Self-efficacy meliputi penilaian tentang
kemampuan siswa untuk menyelesaikan tugas serta kepercayaan siswa
dalam keterampilannya untuk melakukan tugas itu sendiri.
c. Komponen Afektif (Affective Component)
1) Kecemasan terhadap Ujian (Test Anxiety)
Kecemasan terhadap ujian diketahui memiliki hubungan yang negatif
dengan harapan serta hasil akademik. Terdapat dua komponen utama dalam
kecemasan terhadap ujian, yaitu komponen kognitif dan komponen
emosional. Komponen khawatir mencakup prestasi siswa yang terganggu
oleh pikiran-pikiran negatifnya, sedangkan komponen emosional mencakup
pandangan negatif siswa terhadap keadaan fisiknya. Tingkat kecemasan
terhadap ujian dapat dikurangi dengan dilakukannya latihan dalam strategi
belajar yang diterapkan secara efektif.
11

2. Strategi Belajar
Strategi belajar merupakan berbagai macam metode dalam belajar yang
diterapkan oleh siswa dalam meningkatkan pemahamannya, integrasi, serta
retensinya terhadap berbagai materi pelajaran yang mereka pelajari di sekolah
ataupun diluar sekolah. Strategi belajar meliputi dua komponen, yaitu strategi
kognitif dan metakognitif, serta strategi pengelolaan sumber daya (resource
management)..
a. Strategi Kognitif dan Metakognitif
1) Latihan (Rehearsal)
Strategi latihan dasar (rehearsal) meliputi pemahaman dan identifikasi
terhadap keseluruhan materi pelajaran. Strategi latihan dasar sangat cocok
diterapkan pada berbagai tugas yang sederhana dan cenderung pada
pengolahan informasi dalam kinerja memori daripada penerimaan informasi
baru dalam memori jangka panjang. Strategi latihan dasar diasumsikan
mempengaruhi perhatian dan proses pengkodean.
2) Elaborasi (Elaboration)
Strategi elaborasi dapat dilakukan oleh siswa untuk membantu menerapkan
materi pembelajaran ke dalam memori jangka panjang dengan membangun
koneksi internal antara materi yang akan dipelajari. Strategi elaborasi
termasuk parafrase (mengurai suatu informasi menjadi kata yang dibuat oleh
dirinya sendiri), meringkas, menciptakan analogi. Strategi elaborasi
membantu siswa dalam mengintegrasikan dan menghubungkan informasi
baru dengan pengetahuan yang dia miliki.
3) Organisasi (Organization)
Strategi organisasi dapat diterapkan oleh siswa dalam memilih sejumlah
informasi yang tepat dan kemudian menginisiasikannya. Strategi organisasi
dapat dicontohkan dengan pengelompokan, penguraian, dan pememilihan
topik utama pada suatu teks.
4) Berpikir Kritis (Critical Thinking)
Berpikir kritis meliputi penerapan pengetahuan yang sebelumnya telah
dilakukan oleh siswa dan kemudian dijadikan alternatif untuk
12

menyelesaikan masalah, pengambilan keputusan, serta mengevaluasi standar


keunggulannya secara kritis.
5) Pengaturan Metakognitif Diri (Metacognitive Self-Regulation)
Metakognitif meliputi kesadaran, pengetahuan, dan pengaturan siswa
terhadap proses kognisinya. Terdapat tiga proses umum yang membentuk
metakognitif dalam aktivitas pengaturan diri yaitu perencanaan, monitoring,
dan pengaturan. Perencanaan merupakan aktivitas dimana siswa
menetapkan tujuan dan menganalisis tugas yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan pemahamannya terhadap materi pelajaran dan kemudian
diintegrasikan dengan pengetahuan yang telah dia miliki. Pengaturan
mengacu pada fine-tuning dan penyesuaian terus menerus dari aktivitas
kognitif siswa. Aktivitas pengaturan diasumsikan untuk meningkatkan nilai
dengan membantu siswa dalam memeriksa dan mengoreksi perilakunya
ketika menyelesaikan suatu tugas.
b. Strategi Pengelolaan Sumber Daya
1) Waktu dan Lingkungan Belajar (Time and Study Environment)
Selain Self-regulation terhadap kognisi, siswa pun dituntut untuk dapat
mengatur waktu dan tempat belajarnya. Pengaturan waktu ini meliputi
penjadwalan, perencanaan, dan pengelolaan waktu belajar siswa.
Manajemen lingkungan belajar mengacu pada pengaturan siswa dalam
menentukan tempat untuk kegiatan kerja kelas. Idealnya, lingkungan belajar
siswa harus teratur, tenang, dan relatif bebas dari gangguan visual dan
pendengaran.
2) Pengaturan Upaya (Effort Regulation)
Pengaturan upaya yang dimaksud adaah kemampuan siswa dalam
mengendalikan upaya dan perhatiannya untuk mengatasi berbagai macam
gangguan dan ketidak tertarikannya terhadap suatu tugas. Pengaturan upaya
merupakan manajemen diri (self management), yang merefleksikan
komitmen siswa dalam mencapai tujuan belajarnya, meskipun ketika ada
kesulitan atau gangguan. Pengaturan upaya penting untuk keberhasilan
akademis siswa karena tidak hanya menandakan komitmen siswa terhadap
13

tujuan, tapi juga mengatur penggunaan dari strategi pembelajaran secara


lebih lanjut.
3) Teman Belajar (Peer Learning)
Berkolaborasi dengan teman atau kelompok belajar diketahui memiliki
dampak positif terhadap prestasi siswa. salam memahami lebih lanjut suatu
materi pelajaran siswa dapat melakukan diskusi dengan teman sekelasnya.
4) Mencari Bantuan (Help Seeking)
Pencarian bantuan (Help Seeking) yang dimaksud meliputi teman sebaya
dan guru. Siswa yang baik mengetahui ketika mereka tidak tahu sesuatu dan
mampu mengidentifikasi seseorang yang dapat memberikannya bantuan.
Ada sebagian besar hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bantuan
teman sebaya, tutor teman sebaya, dan bantuan guru dapat memfasilitasi
siswa untuk berprestasi.
Kemudian Pintrich (2000, hlm. 451) mengembangkan lagi bahwa SRL
terbagi kedalam empat area regulasi diri yaitu kognitif, motivasi, perilaku, dan
keadaan (context), dan keempat area tersebut selanjutnya digabungkan kedalam
tabel 2.1 yang menunjukkan tahapan-tahapan SRL: Pintrich juga menyatakan
bahwa memonitor, mengontrol, dan mengatur merupakan konteks yang penting
dalam SRL karena hal tersebut dapat membantu siswa untuk mengatur diri
sendiri serta lingkungannya dalam melakukan kegiatan belajar yang optimal
sesuai kemampuan yang dimiliki. Pada tabel 2.1 dsajikan kerangka untuk
mengklasifikasikan perbedaan tahapan dari keempat aspek tersebut yang telah
diadaptasi oleh Nuri Adilah Zakiah (2016).
14

Tabel 2.1
Tahapan dan Area Self Regulated Learning
(Adaptasi dari Pintrich, 2000, hlm. 452)
Aspek Self Regulated Learning
No. Tahapan
Kognitif Motivasi Perilaku Konteks
1. Pemikiran ke Penetapan Pemakaian Perencanaan Mempersepsi
masa depan sasaran tujuan orientasi tujuan waktu dan usaha kan tugas
(Forethought), Aktivasi Kemampuan Perencanan Mempersepsi
perencanaan pengetahuan mengambil observasi diri kan
(Planning), konten utama keputusan terhadap perilaku konteks/kead
dan aktivasi aan
(activation) Aktivasi persepsi kesulitan
pengetahuan belajar
metakognitif Aktivasi kualitas
tugas
Aktivasi minat/
perhatian
2. Pengamatan Kesadaran Kesadaran dan
Kesadaran dan Monitoring
(Monitoring) metakognitif monitoring monitoring perubahan
dan terhadap motivasi
terrhadap usaha, tugas dan
monitoring dan perasaan penggunaan kondisi
kognisi waktu, dan konteks/
kebutuhan akan keadaan
bantuan
Mengobservasi
perilaku diri
3. Kontrol Pemilihan dan Memilih dan Peningkatan/ Mengubah
(Control) adaptasi mengadaptasikan penurunan usaha atau
strategi strategi untuk merundingka
kognitif dalam mengelola, n tugas
belajar dan motivasi, dan
berfikir emosi
Bertahan/ Mengubah
menyerah atau
meninggalka
n konteks/
keadaan
Perilaku mencari
bantuan
4. Reaksi Pertimbangan Reaksi afektif Pemilihan Evaluasi
(reaction) dan kognitif perilaku terrhadap
refleksi tugas
(reflection) Atribusi Atribusi Evaluasi
terhadap
konteks/
keadaan

Tahap pertama dalam Tabel 2.1 menunjukkan bahwa yang mengaktivasi


persepsi dan pengetahuan terhadap tugas dan konteks adalah perencanaan dan
15

pengaturan target tujuan. Tahap kedua menunjukkan berbagai proses monitoring


terhadap kesadaran metakognitif dalam beberapa aspek yang berbeda. Tahap
ketiga menunjukkan usaha untuk mengontrol dan mengatur perrbedaan aspek
yang ada pada diri atau tugas dan keadaan. Tahap keempat menunjukkan berbagai
macam reaksi dan refleksi pada diri dan tugas ataupun keadaan.

2.1.3 Karakteristik Self Regulated Learning


Siswa yang dikategorikan sebagai siswa SRL memiliki kesadaran terhadap
hasil kinerja/ belajarnya (Zimmerman, dalam Latipah, 2010, hlm. 114).
Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004, hlm. 3) mengungkapkan bahwa
self regulating students dicirikan oleh partisipasi aktif siswa dalam belajar dari
metakognitif, motivasi, dan perilaku. Karakteristik yang berhubungan pada self
regulating persons serupa dengan karakteristik yang berhubungan dengan
performa yang tinggi, kecakapan siswa yang tinggi, sebagai lawan dari performa
yang rendah atau ketidak mampuan belajar. Zimmerman (1989, dalam Chen,
2002, hlm. 13) menyimpulkan bahwa siswa yang dapat meregulasi diri dalam
kegiatan belajarnya adalah mereka yang menggunakan kognisi, motivasi, dan
perilaku dalam proses belajar mereka. Berikut adalah beberapa karakteristik siswa
SRL.
a. Mereka mengetahui cara merencanakan, mengontrol dan mengatur proses
mental mereka terhadap pencapaian tujuan-tujuan personal.
b. Mereka menunjukkan sekumpulan kepercayaan motivasi (motivational
beliefs), seperti perasaan, pemakaian tujuan-tujuan belajar, serta
pengembangan emosi positif terhadap tugas-tugas (seperti kegembiraan,
kepuasan, dan semangat yang besar).
c. Mereka merencanakan dan mengontrol waktu dan upaya yang digunakan
untuk tugas-tugas, dan mereka mengetahui bagaimana membuat dan
membangun lingkungan belajar yang baik, seperti menemukan tempat
belajar yang cocok, dan pencarian bantuan (help-seeking) dari guru/teman
sekelas ketika menemui kesulitan.
d. Untuk perluasan konteks yang diberikan, mereka menunjukkan upaya-upaya
yang lebih besar untuk ambil bagian dalam kontrol dan pengaturan tugas-
16

tugas akademik, suasana dan struktur kelas, desain tugas-tugas kelas, dan
organisasi kelompok kerja.
Menurut Woolfolk (dalam Latipah, 2010, hlm. 114) siswa yang menerapkan
strategi SRL mampu mengetahui beberapa hal seperti, gaya belajar yang
disukainya, cara belajar yang mudah dan sulit baginya, cara mengatasi bagian-
bagian yang sulit, minat dan bakatnya, serta cara memanfaatkan kekuatan dan
kelebihannya. Segala tindakan, nilai, dan tujuan yang dimiliki siswa SRL
mencerminkan apa yang ada dalam diri mereka, dan menjadikan dirinya sebagai
orang yang bertanggung jawab atas nilai dan tujuan yang dibuatnya, serta
bekerjasama dengan kelompoknya untuk mencapai tujuan berssama. Dengan
demikian siswa dapat belajar dan mencapai tujuan belajarnya dan memperoleh
lingkungan yang saling memberikan timbal balik.
Berdasarkan hasil penelitian Corno (dalam Mukhid, 2008, hlmm. 227),
karakteristik siswa yang menggunakan strategi SRL adalah:
a. Siswa memiliki pemahaman terhadap penerapan strategi kognitif (repetisi,
elaborasi, dan organisasi) yang dapat membantunya untuk menyelesaikan,
mengubah (transform), mengatur (organize), mengelaborasi (elaborate),
dan memperoleh kembali informasi (recover information).
b. Siswa mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol, dan mengatur
proses mental mereka terhadap pencapaian tujuannya.
c. Siswa menunjukan motivasi, seperti self efficacy, tujuan belajar, dan
pengembangan emosi positif terhadap tugas-tugas (seperti kegembiraan,
kepuasan, dan semangat belajar yang besar).
d. Siswa merencanakan dan mengontrol waktu dan upaya yang digunakan
untuk mengerjakan tugas-tugas, serta mengetahui bagaimana membentuk
dan membangun lingkungan belajar yang baik dan kondusif.
e. Siswa menunjukan upaya yang lebih besar untuk ambil bagian dalam
mengontrol dan mengatur tugas akademik., suasana dan struktur kelas,
desain tugas kelas, dan organisasi kelompok kerja.
Schunk (dalam Akhmadi, 1998, hlm. 89) menjelaskan bahwa SRL akan
dapat diterapkan apabila seorang siswa memiliki kemampuan untuk mengontrol
perilaku serta kognisinya dengan melibatkan fokus perhatiannya pada instruksi
17

tugas-tugas, proses belajar, mengintegrasikan pengetahuan yang diterimanya,


mengingat informasi secara berulang, serta mengembangkan dan memelihara
keyakinan positif tentang kemampuan belajar (self efficacy) dan mampu
mengantisipasi hasil belajarnya.
Dengan kata lain, karakteristik siswa SRL adalah siswa yang mengatur
perilakunya sendiri, percaya belajar adalah proses proaktif, memotivasi diri
sendiri, menggunakan strategi-strategi yang memungkinkan meningkatkan hasil
akademik yang diinginkan, serta menentukan sendiri lingkungan belajar yang
sesuai dengan kemampuannya.

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning


Self regulated learning (SRL) berasal dari asumsi teori triadik
resiprokalitas. Menurut teori ini SRL terdiri dari tiga determinan yang saling
berkaitan yaitu diri (self), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment)
(Bandura 1997. hlm 6.). Selanjutnya dari tiga determinan tersebut terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi SRL. Zimmerman (1986. hlm 78-87) menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi SRL sebagai berikut :
a. Faktor Personal
Faktor personal meliputi pengetahuan siswa, proses metakognisi, tujuan
yang hendak dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd membagi pengetahuan
menjadi tiga yakni pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan kondisional (Paris & Winograd 2002). Menurut Zimmerman,
dari ketiga jenis pengetahuan itu yang merupakan pengetahuan bagi siswa
yang melaksanakan SRL adalah pengetahuan prosedural dan pengetahuan
kondisional, sedangkan pengetahuan deklaratif dan pengelolaan diri bersifat
interaktif. Ini artinya, dengan semakin baiknya pengetahuan prosedural
(yakni mengkomposisikan tugas untuk mencapai tujuan jangka pendek) dan
pengetahuan kondisional (yakni menggunakan strategi yang tepat untuk
memfasilitasi penyelesaian tugas), maka siswa yang melaksanakan SRL
akan dapat mencapai tujuanya.
18

b. Faktor Perilaku
Terdapat tiga unsur yang termasuk dalam faktor perilaku yaitu observasi diri
(self observation), penilaian diri (self judgement), dan reaksi diri (self
reaction).
1) Observasi diri mengacu pada respon siswa yang berkaitan dengan
pemantauan perilakunya secara sistematis.
2) Penilaian diri mengacu pada respon siswa yang berkaitan dengan
pembandingan secara sistematis terhadap kinerja mereka dengan
standar tujuan. Siswa yang melaksanakan penilaian diri memiliki
kinerja yang lebih tinggi, efikasi diri yang lebih baik, dan kesadaran
yang lebih baik.
3) Reaksi diri mengacu pada bagaimana individu merespon (positif atau
negatif) perilaku tergantung bagaimana perilaku diukur dan apa standar
pribadinya. Berdasarkan teori sosial kognitif, terdapat tiga jenis self
reaction (Zimmerman, 1989, hlm 8) yaitu:
a) behavioral self reaction yang digunakan siswa untuk
mengoptimalkan respon belajarnya (misalnya memuji atau
mengkritik diri sendiri),
b) personal self reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan
proses-proses dalam dirinya selama belajar (misalnya mengulang
materi dan menghafalkan)
c) environmental self reaction yang digunakan siswa untuk
meningkatkan atau memperbaiki lingkungan belajarnya (misalnya,
menyusun buku sedemikian rupa agar mudah dijangkau).
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan belajar yang kondusif merupakan faktor penunjang bagi siswa
untuk menerapkan strategi SRL, dan begitupun sebaliknya pada lingkungan
yang kurang kondusif siswa cenderung mengalami kesulitan untuk
mengontrol fokus perhatiannya dalam kegiatan belajar. Hasil penelitian
terhadap siswa gifted dan ungifted yang dilakukan Munandar menunjukkan
bahwa lingkungan belajar di rumah sangat mempengaruhi tingkat SRL dan
19

dapat berdampak pada meningkatnya prestasi belajar (Munandar, 2009. hlm


13-25).
Bandura (dalam Akhmadi, 2003, hlm. 125) menyatakan bahwa SRL
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah self efficacy, motivasi, dan
tujuan. Berikut adalah penjelasannya:
a. Self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan diri sendiri
untuk menyelesaikan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau mengatasi
hambatan dalam belajar.
b. Motivasi yang dimiliki siswa secara positif berhubungan dengan SRL.
Motivasi dibutuhkan oleh siswa untuk melaksanakan strategi yang akan
mempengaruhi proses belajar.
c. Tujuan (goals) merupakan kriteria yang digunakan siswa untuk memonitor
kemajuan mereka dalam proses belajar. Tujuan meiliki dua fungsi dalam
SRL, yaitu menuntun siswa untuk memonitor dan mengatur usahanya dalam
arah yang spesifik serta merupakan kriteria bagi siswa untuk mengevaluasi
prestasi dan progres yang telah dilakukan.

2.1.5 Strategi Self Regulated Learning


Zimmerman (1989. hlm. 11) menjelaskan bahwa dalam proses
pembelajarannya siswa yang dikatakan SRL perlu menerapkan berbagai strategi
khusus dalam pencapaian belajarnya. Self regulated learning (SRL) meliputi
berbagai strategi yang berorientasi pada tindakan serta proses yang diarahkan
pada penerimaan informasi dan kemampuan yang melibatkan perngorganisasian
(agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental seseorang. Agency adalah
dimana seorang siswa mampu dalam menginisiasi dan mengarahkan tindakannya
dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Purpose adalah tujuan yang telah
ditetapkan dalam setiap tindakan.
Zimmerman (1989, hlm. 11) dalam penelitiannya menemukan fakta-fakta
bahwa siswa meunjukan 10 tipe perilaku dalam proses mengatur dirinya saat
belajar yang dapat dikategorikan sebagai strategi belajar SRL. Strategi tersebut
sangat berkaitan dengan prestasi serta tingkatan mereka dalam meregulasi proses
20

belajarnya di kelas. Berikut adalah 10 kategori perilaku belajar siswa yang


dikategorikan sebagai strategi SRL:
a. Evaluasi diri (Self evaluating), yaitu siswa menginisiasikan evaluasi
terhadap kualitas atau progres kerja mereka.
b. Pengorganisasian dan transformasi (Organizing & transforming), yaitu
siswa menyusun sendiri materi pembelajaran untuk meningkatkkan
efektivitas proses belajarnya.
c. Penentuan tujuan dan perencanaan (Goal setting & planning), yaitu siswa
mengatur tujuan belajarnya dan melakukan perencanaan yang berkaitan
dengan waktu beajar.
d. Pencarian informasi (Seeking information), yaitu siswa menunjukan usaha
untuk memperoleh informasi dalam proses belajar dan pengerjaan tugas.
e. Membuat dan memeriksa catatan (Keeping record & monitoring), yaitu
siswa membuat dan menginisiasi catatan dalam proses belajarnya.
f. Mengatur lingkungan (Enviromental structuring), yaitu siswa menentukan
dan mengatur sendiri tempat dan suasana belajar yang sesuai dengan
kemampuannya.
g. Konsekuensi diri (Self consequences), yaitu siswa menunjukan
pemahamannya terhadap konsekuensi yang akan diterima atas hasil proses
belajarnya.
h. Berlatih dan mengingat (Rehearsing & memorizing), yaitu siswa menghafal
materi yang telah disampaikan oleh guru di kelas dan mencoba mengerjakan
soal-soal latihan yang ada.
i. Pencarian bantun (Social assistance seeking), yaitu siswa menunjukan usaha
untuk mencari bantuan dari teman, guru, atau orang dewasa lainnya dalam
proses belajar.
j. Mereview catatan belajar (Review record), yaitu siswa meninjau kembali
catatan, tugas, atau tes sebelumnya untuk mempersiapkan proses belajar
selanjutnya ataupun ujian yang akan datang.
Zimmerman (1990, hlm. 55) membuktikan bahwa keseluruhan strategi SRL
tersebut cukup efisien terhadap peningkatan prestasi belajar siswa, baik dalam
bidang matematika, kemampuan berbahasa inggris, kemampuan menulis cerita,
21

teknologi informasi dan medis. Bahkan untuk siswa yang mengalami kesulitan
belajar, strategi tersebut terbukti cukup efektif.

2.1.6 Instrumen Pengukuran Self Regulated Learning


Dalam mengungkap bukti bahwa terjadinya proses SRL perlu adanya suatu
alat ukur atau instrumen yang dikembangkan untuk menilai pencapaia proses-
proses tersebut. Zimmerman (1994. hlm 127-153) mengungkapkan bahwa
observasi, dorongan ingatan, interview, dan kuesioner, semuanya dapat digunakan
dalam setting kelas. Terdapat tiga instrumen yang dapat digunakan dalam menilai
SRL, yaitu :
a. The Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). Pengukuran
dengan MSLQ ini menggunakan skala Likert 7 nilai. Wigfield & Eccles
bersama Pintrich membuat 81 item alat laporan diri (self reporting) yang
didasarkan pada model motivasi nilai waktu harapan (expectancy) dengan
tujuan pengukuran komponen motivasional yang berbeda dan penggunaan
strategi belajar dalam pelajaran atau bahan pelajaran.
b. The Learning and Study Strategy Inventory (LASSI). LASSI adalah angket
laporan diri (self-reporting questionnaire) dengan 77 item yang didesain
untuk untuk mengukur strategi belajar yang digunakan oleh mahasiswa
universitas. Pada versi tahun 1987, item-item tersebut dikelompokkan ke
dalam 10 skala, yaitu: sikap, motivasi, organisasi waktu, kecemasan,
konsentrasi, pemrosesan informasi, pemilihan ide utama, penggunaan teknik
dan bahan-bahan dukungan, penilaian diri (self-assessment) dan strategi tes.
Instrumen ini merupakan pengembangan instrumen diagnostik untuk
mengukur strategi belajar individu yang ingin masuk pada pendidikan yang
lebih tinggi (higher education). LASSI dikembangkan untuk kebutuhan
instrumen diagnostik yang dapat digunakan oleh para penasehat akademik,
staf perguruan tinggi, atau para penasehat untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan mahasiswa.
c. The Componens of SRL (SRLIS). Instrumen SRLIS ini dikembangkan oleh
Zimmerman dan Pons. SRLIS merupakan salah satu prosedur interview
yang paling luas digunakan untuk mengukur self-regulated learning. SRLIS
22

merupakan tes pandu (pilot tested) dalam 6 konteks yang berbeda, yaitu:
kelas, rumah, tugas menulis di luar kelas, tugas matematika di luar kelas,
persiapan tes (test preparation), dan di saat motivasi lemah. Tujuan utama
SRLIS adalah mengukur strategi SRL. Sedang tujuan sekunder SRLIS
adalah untuk menentukan adakah korelasi antara penggunaan strategi SRL
dan jejak prestasi mahasiswa. Tujuan lain yang ingin dicapai SRLIS adalah
mengidentifikasi strategi SRL yang paling luas digunakan mahasiswa dalam
pencapaian prestasi yang tinggi.

2.2 Motivasi Belajar


2.2.1 Definisi Motivasi
Motivasi merupakan akar kata dari bahasa Latin movore, yang berarti gerak
atau dorongan untuk bergerak. Motivasi dalam Bahasa Inggris berasal dari kata
motive yang berarti daya gerak atau alasan. Motivasi dalam Bahasa Indonesia,
berasal dari kata motif yang berarti daya upaya yang mendorong seseorang
melakukan sesuatu. Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2007, hlm. 73),
motivasi merupakan perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri subyek untuk
melakukan aktivitas tertentu demi mencapai tujuan. Motif tersebut menjadi dasar
kata motivasi yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi
aktif (Sardiman, 2004, hlm. 73).
Koeswara (1989, hlm. 34) memandag motivasi sebagai dorongan mental
yang mampu menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia yang didalamnya
termasuk perilaku belajar. Motivasi dapat diwujudkan sebagai suatu keinginan
yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap serta
perilaku siswa pada kegiatan belajar.
Motivasi didefinisikan oleh G. R. Terry (dalam Malayu, 2005, hlm. 143)
sebagai kemauan yang timbul dari dalam diri seorang individu yang
mendorongnya pada suatu tindakan. Terdapat dua segi yang tercakup dalam
motivasi, yaitu segi aktif/ dinamis dan segi pasif/ statis. Segi aktif/ dinamis yaitu
dimana motivasi merupakan bentuk upaya positif dalam menggerakkan,
23

mengerahkan, dan mengarahkan energi dan potensi individu agar dirinya dapat
secara produktif menetapkan dan mencapai tujuannya. Segi pasif/ statis yaitu
dimana motivasi merupakan kebutuhan sekaligus sebagai pendorong untuk dapat
menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi individu kearah yang
diinginkan.
Sukmadinata (2007, hlm. 62) menyatakan bahwa motivasi merupakan
kekuatan (energi) yang dimiliki individu untuk dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan entusiasme dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang berasal
dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar dirinya. Motivasi merupakan
suatu kondisi dalam diri individu yang mendorong atau menggerakkan individu
melakukan kegiatan pencapaian suatu tujuan, contohnya adalah kebutuhan
seseorang akan tempat tinggal akan menuntut dirinya untuk melakukan berbagai
upaya dalam menghasilkan uang untuk membeli atau menyewa tempat tinggalnya.
Sebagai seorang pelajar, siswa tentunya menginginkan dirinya untuk dapat lulus
dari sekolahnya dengan nilai yang baik, hal itu akan menjadi dorongannya untuk
melakukan berbagai usaha seperti membeli buku pelajaran, berlatih materi
pelajaran, dan melakukan kegiatan belajar kelompok.
Dengan kata lain, motivasi dapat disimpulkan sebagai energi yang
didapatkan oleh individu dari rangsangan yang diterimanya, baik itu dari luar
maupun dari dalam diri individu tersebut, yang kemudian energi tersebut
digunakan sebagai pendorong untuk melakukan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh hasil atau tujuan tertentu.

2.2.2 Definisi Motivasi Belajar


Motivasi untuk belajar disebut motivasi belajar, yang menurut Brophy
(2004. hlm 249) “motivation to learn is primarily a cognitive response involving
attempts to make sense of the activity, understand the knowledge it develops, and
master the skills that it promotes”, yang berarti motivasi belajar merupakan suatu
respon kognitif yang di upayakan untuk memahami kegiatan, memahami
pengetahuan yang berkembang, dan menguasai keterampilan yang dapat
mengangkat diri.
24

Motivasi belajar adalah kesanggupan siswa untuk melakukan kegiatan


belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam
dirinya ataupun yangg datang rdari luar. Kegiatan dilakukan dengan kesungguhan
hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan. (Uno, 2008, hlm. 23).
Amier Daein (dalam Fathurrohman dan Sulistyorini, 2014, hlm. 143)
mengemukakan bahwa motivasi belajar adalah kekuatan-kekuatan atau tenaga-
tenaga yang dapat memberikan dorongan pada kegiatan belajar siswa.
Selebihnya Sardiman (2004, hlm. 75) mengemukakan bahwa motivasi
belajar merupakan dorongan yang terdapat dalam diri siswa untuk mengarahkan
serta melibatkan dirinya pada kegiatan belajar yang berorientasi pada pencapaian
tujuan belajarnya. Sehingga motivasi belajar dapat digambarkan sebagai faktor
psikis yang bersifat non-intelektual dan memiliki peranan dalam menimbulkan
gairah, rasa senang, dan semangat untuk belajar.
Dari beberapa definisi ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi
belajar merupakan dorongan atau stimulus (yang berasal dari luar ataupun dari
dalam diri siswa) yang diubah menjadi suatu energi yang ditunjukan dalam
perilaku dan semangat siswa untuk melakukan proses belajar secara sungguh-
sungguh demi mencapai tujuan tertentu dalam peningkatan prestasi belajar.

2.2.3 Urgensi Motivasi Belajar


Bahri (2002, hlm. 134) menyatakan bahwa Apabila terdapat dua siswa yang
memiliki kemampuan sama dan memperoleh peluang dan kondisi yang sama
untuk mencapai tujuan, kinerja dan hasil yang dicapai oleh siswa yang termotivasi
akan lebih baik di bandingkan dengan siswa yang tidak termotivasi. Secara
sederhana dapat dikatakan apabila siswa tidak memiliki motivasi belajar, tidak
akan terjadi kegiatan belajar pada diri siswa. Meskipun begitu, kadang-kadang
menjadi masalah karena motivasi bukan suatu kondisi. Apabila motivasi belajar
siswa rendah umumnya akan diasumsikan bahwa prestasi siswa tersebut rendah.
Selanjutnya Bahri (2002, hlm. 135) menyatakan bahwa motivasi belajar
dalam diri siswa berfungsi untuk: (1) menyadarkan kedudukan pada awal belajar,
proses, dan hasil akhir, (2) mengindikasikan tingkat usaha belajar, (3)
mengarahkan kegiatan belajar, dan (4) memupuk semangat belajar.
25

2.2.4 Peran Motivasi Belajar


Uno (2008. hlm 27-29) mengungkapkan secara umum terdapat tiga peranan
penting motivasi dalam belajar, yaitu:
a. Peran motivasi dalam menentukan penguatan belajar, motivasi dapat
berperan dalam penguatan belajar apabila seseorang anak yang belajar
dihadapkan pada suatu masalah yang memerlukan pemecahan, dan hanya
dapat dipecahkan berkat bantuan hal-hal yang pernah dilaluinya. Sesuatu
dapat menjadi penguat belajar seseorang apabila dia senang dan mempunyai
motivasi untuk belajar sesuatu.
b. Peran motivasi dalam memperjelas tujuan belajar, peran motivasi dalam
memperjelas tujuan belajar yang erat kaitannya dengan kemaknaan belajar.
Siswa akan tertarik untuk belajar sesuatu, jika dipelajari itu sedikitnya sudah
diketahui atau dinikmati manfaatnya bagi siswa.
c. Motivasi menentukan ketekunan belajar, seorang siswa yang telah
termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan
baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Berdasarkan
hal tersebut, tampak bahwa motivasi untuk belajar menyebabkan seseorang
tekun belajar, dan begitupun sebaliknya.
Ormrod (2009. hlm 27-29) juga menyatakan bahwa motivasi memiliki
beberapa pengaruh terhadap proses pembelajaran dan perilaku siswa, yang
mencakup:
a. Motivasi mengarahkan perilaku ketujuan tertentu.
b. Motivasi meningkatkan usaha dan energi.
c. Motivasi meningkatkan prakarsa (inisiasi) dan kegigihan terhadap berbagai
aktivitas.
d. Motivasi mempengaruhi proses-proses kognitif.
e. Motivasi menentukan konsekuensi mana yang memberi penguatan dan
menghukum.
f. Motivasi dapat meningkatkan performa.
26

2.2.5 Aspek Motivasi Belajar


McClelland dan Atkinson (dalam Siregar, 2006, hlm. 18-19) menyatakan
bahwa motivasi yang paling penting dalam pendidikan adalah motivasi
berprestasi, yaitu di mana individu cenderung berjuang untuk mencapai
kesuksesan. Sebagai siswa, motivasi yang dimaksudkan adalah motivasi belajar
untuk berprestasi agar dapat meningkatkan kualitas hidup di masa depan yang
berguna bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian, dalam skripsi
penggunaan istilah motivasi berprestasi dan motivasi belajar dipergunakan dalam
arti yang sama.
Kemudian McClelland dan Atkinson (dalam Siregar, 2006, hlm. 25)
menjabarkan 7 aspek motivasi belajar untuk berprestasi, yaitu sebagai berikut:
a. Kebutuhan berprestasi (N), menunjukkan adanya keinginan, harapan,
penentuan untuk mencapai sesuatu hasil yang dinyatakan secara eksplisit.
Keinginan atau harapan berkenaan dengan sesuatu pekerjaan atau tugas
yang bersifat umum.
b. Kemampuan mengantisipasi tujuan (Ga), menggambarkan bagaimana
individu mengantisipasi pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Antisipasi
dapat menunjukkan keberhasilan atau kegagalan.
c. Kegiatan berprestasi (I), merupakan usaha-usaha atau cara-cara yang
dilakukan individu untuk mencapai tujuan. Usaha yang dimaksud baik
bersifat jasmaniah maupun rohaniah.
d. Kemampuan mengatasi hambatan (Bp, Bw), menggambarkan upaya
individu mengatasi rintangan-rintangan dan kesukaran-kesukaran dalam
usaha mencapai tujuan. Hambatan-hambatan dapat bersumber pada diri
individu ataupun pada faktor-faktor di luar dirinya.
e. Suasana perasaan (G), menggambarkan perasaan-perasaan yang dihayati
individu dalam usaha mencapai tujuan. Perasaan ini meliputi perasaan
positif atau negatif.
f. Pemanfaatan bantuan (Nup), menunjukkan kemampuan individu
memanfaatkan adanya orang-orang yang bersimpati, membantu dan
mendorong untuk mencapai tujuan. Bantuan ini berupa ke arah pencapaian
tujuan yang lebih bersifat kontinu bukan insidental.
27

g. Merencanakan karir masa depan, yakni mengaitkan atau memikirkan karier


masa depan sebagai tujuan.
Proses tingkah laku individu dimulai dengan adanya kebutuhan (N).
Berlandaskan kepada kebutuhan individu dalam menentukan tujuan yang ingin
dicapai (G). Untuk mencapai tujuan, pada diri individu mungkin terdapat
antisipasi (Ga+) dengan tujuan yang hendak dicapai, dan (Ga-) menunjukkan rasa
cemas terhadap kemungkinan kegagalan. Individu mulai melakukan kegiatan-
kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan (1). Dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, individu mendapati hambatan (B), baik hambatan dalam diri
individu (Bp), maupun hambatan yang datangnya dari luar individu (Bw). Dalam
usahanya tersebut, individu sering mendapatkan bantuan dan simpati dari pihak
luar sehingga mendorongnya untuk mengarah pada tujuan yang ingin dicapai
(Nup).

2.2.6 Karakteristik Motivasi Belajar


Tinggi rendahnya motivasi belajar menunjukkan pada perbedaan
kecenderungan individu dalam berusaha untuk meraih suatu prestasi. McClelland
(dalam Surya, 1992, hlm. 104) mengemukakan beberapa karakteristik individu
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, yaitu: (1) menyenangi situasi yang
menuntut tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikan masalah, (2) cenderung
mengambil resiko yang moderat dibanding dengan resiko rendah/tinggi, dan (3)
selalu mengharapkan timbal balik yang jelas (concrete feedback) dari kinerjanya.
Miharja (2001, hlm. 15) mengemukakan: bahwa individu yang mempunyai
dorongan untuk berprestasi yang tinggi menyenangi sesuatu yang lebih baik dan
lebih menantang dengan karakteristik sebagai berikut : (1) berpikir positif, optimis
dan percaya diri, (2) mempunyai keinginan untuk berprestasi sebaik-baiknya, (3)
mengadakan antisipasi yang berencana, (4) melakukan kegiatan dan kreasi untuk
mencapai cita-cita, (5) mempunyai perasaan yang kuat dalam mencapai tujuan, (6)
mempunyai keberanian dalam mengambil resiko, dan (7) mempunyai perasaan
tanggung jawab personal.
Selanjutnya Sardiman (1986, hlm. 54) mengemukakan bahwa ciri-ciri
motivasi yang ada pada diri individu adalah:
28

a. Tekun dalam menghadapi tugas atau dapat bekerja secara terus menerus
dalam waktu yang lama.
b. Ulet menghadapi kesulitan dan tidak mudah putus asa dan tidak cepat puas
atas prestasi yang diperoleh.
c. Menunjukan minta yang besar terhadap bermacam-macam masalah belajar.
d. Lebih suka bekerja sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
e. Tidak cepat bosan dengan tugas-tugas rutin.
f. Dapat mempertahankan pendapatnya.
g. Tidak mudah melepaskan apa yang diyakininya serta senang mencari dan
memecahkan masalah.
Sedangkan menurut sudjana (dalam Farozin, 2011, hlm. 57), terdapat enam
karakteristik siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi, yaitu sebagai berikut:
a. Kesenangan atau kenikmatan untuk belajar, yaitu menaruh perhatian dan
minat terhadap kegiatan-kegiatan belajar dan merasa senang mengarjakan
tugas-tugas sekolah dan rumah.
b. Orientasi terhadap penguasaan materi, yaitu suatu kemampuan yang dimiliki
siswa dalam menguasai materi-materi yang didapat di kelas.
c. Hasrat ingin tahu, yaitu keinginan siswa dalam mencari hal-hal baru.
d. Keuletan dalam mengerjakan tugas, yaitu siswa memusatkan perhatiannya
untuk menyelesaikan tugas dan tidak mudah menyerah atau putus asa.
e. Keterlibatan pada tugas, yaitu siswa tekun dalam mengerjakan tugas,
berkonsentrasi pada tugas dan meluangkan waktu untuk belajar.
f. Orientasi terhadap tugas-tugas yang menantang, sulit, dan baru.

2.2.7 Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar


Uno (2008. hlm 23) menjelaskan untuk dapat membangkitkan motivasi
belajar diperlukan faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan
faktor yang dapat berfungsi dengan sendirinya tanpa perlu rangsangan dari luar,
dikarenakan individu itu sendiri telah memiliki dorongan dalam dirinya dalam
melakukan suatu kegiatan. Faktor ekstrinsik adalah keadaan yang datang dari luar
setiap individu yang mendorong untuk melakukan kegiatan belajar. Faktor
ekstrinsik timbul karena pengaruh lingkungan sekitar. Kedua faktor tersebut
29

mempunyai peranan yang sama dalam membangkitkan motivasi dan kedua faktor
motivasi tersebut saling bekaitan menjadi satu sistem motivasi yang
menggerakkan seseorang untuk belajar.
a. Faktor Intristik
Faktor ini terbagi menjadi dua yaitu faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Faktor fisiologis merupakan keadaan tubuh seseorang yang menunjang
dirinya dalam melakukan suatu kegiatan (belajar). Sedangkan faktor
psikologis berkaitan dengan intelegensi, minat, serta bakat yang ada dalam
diri seorang siswa yang mendorong dirinya untuk belajar.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ini meliputi (1) keluarga, yaitu seperti cara orang tua mendidik,
hubungan antar anggota keluarga, serta keadaan ekonomi keluarga. (2)
Teman, mungkin untuk sebagian siswa belajar adalah kegiatan yang lebih
tepat untuk dilakukan sendiri, tapi tidak sedikit pula siswa yang memerlukan
interaksi sosial dalam kegiatan belajarnya. Interaksi sosial dengan teman
sebaya merupakan faktor yang yang dapat membantu siswa dalam
meningkatkan semangat belajarnya. (3) Keadaan cuaca, faktor ini sedikit
banyak berpengaruh terhadap keinginan siswa untuk belajar. Keadaan cuaca
yang mendukung akan memberikan stimulus terhadap siswa untuk semangat
belajar.
Selanjutnya Rosleny (2007, hlm. 35) di lain sisi menyatakan ada beberapa
faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, sebagai berikut:
a. Cita-cita atau aspirasi, cita-cita atau apirasi adalah suatu target yang ingin
dicapai. Penentuan target tidak sama bagi semua siswa. Target diartikan
sebagai tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung
makna bagi seseorang.
b. Kemampuan, dalam belajar dibutuhkan kemampuan. Kemampuan meliputi
beberapa aspek psikis yang terdapat dalam diri siswa, misalnya pengamatan,
perhatian dan daya pikir fantasi.
c. Kondisi siswa, kondisi siswa meliputi kondisi fisik dan kondisi psikologis.
Biasanya guru lebih cepat melihat kondisi fisik karena jelas menunjukkan
gejalanya dari pada kondisi psikologis.
30

d. Kondisi lingkungan, kondisi lingkungan siswa meliputi lingkungan


keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga unsur
lingkungan dapat mendukung dan menghambat motivasi belajar.
e. Unsur-unsur dinamis dalam belajar. Unsur-unsur dinamis dalam belajar
adalah unsur-unsur yang keberadaannya dalam proses belajar tidak stabil,
kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang sama sekali,
khususnya kondisi-kondisi yang sifatnya kondisional misalnya emosi siswa,
gairah belajar, situasi belajar, situasi dalam keluarga.
f. Upaya guru dalam mengajar, upaya yang dimaksud adalah bagaimana guru
mempersiapkan diri dalam mengajar siswa mulai dari penguasaaan materi,
cara menyampaikannya, menarik perhatian siswa, mengevaluasi hasil
belajar siswa. Bila upaya dilaksanakan dengan berorientasi pada
kepentingan siswa diharapkan menimbulkan motivasi belajar siswa.

2.2.8 Indikator Motivasi Belajar


Dalam menilai motivasi pada siswa menurut Makmun (2009. hlm 40)
diperlukan aspek-aspek yang terukur. Selanjutnya terdapat beberapa indikator
motivasi dalam term-term tertentu yang diidentifikasi sebagai berikut:
a. Durasi kegiatan (berapa lama kemampuan penggunaan waktunya untuk
melakukan kegiatan)
b. Frekuensi kegiatan (berapa sering kegiatan dilakukan dalam periode waktu
tertentu)
c. Persistensi (ketetapan dan kelekatannya) pada tujuan kegiatan
d. Ketabahan, keuletan, dan kemampuannya dalam menghadapi rintangan dan
kesulitan untuk mencapai tujuan
e. Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan
jiwanya atau nyawanya) untuk mencapai tujuan
f. Tingkatan aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita, sasaran atau target, dan
idolanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan
g. Tingkat kualifikasi prestasi atau produk atau output yang dicapai dari
kegiatannya (berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak)
h. Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatan (positif atau negatif)
31

Sedangkan menurut Handoko (1992. hlm 59) Untuk mengetahui kekuatan


motivasi belajar siswa dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :
a. Kuatnya kemauan untuk berbuat
b. Jumlah waktu yang disediakan untuk belajar
c. Kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain
d. Ketekunan dalam mengerjakan tugas

2.3 Hubungan Self Regulated Learning dengan Motivasi Belajar Siswa


Zimmerman (1989. hlm 3-6) mengemukakan bahwa SRL mengacu pada
siswa yang mengintergrasikan pikiran, perasaan, dan tindakannya secara
terencana dengan berorientasi pada tercapainya tujuan belajar. SRL terdiri dari
tiga unsur utama yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku partisipasi aktif.
Zimmerman juga menjelaskan bahwa terdapat tiga karakter umum pada diri siswa
yang memiliki kemampuan pengaturan diri dalam belajar yaitu, menerapkan
strategi SRL, merespon keadaan disekitarnya yang dapat menunjang efektivitas
kegiatan belajar, dan mengandalkan motivasi dalam dirinya.
Menurut Mc. Donald (Djamarah, 2008. hlm 148) mengemukakan bahwa
motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai
dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi
dalam belajar yaitu daya penggerak di dalam pribadi siswa untuk menumbuhkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dihendaki dapat
tercapai.
Kedua penjelasan tersebut membuktikan bahwa terdapat hubungan positif
antara SRL dengan motivasi secara teori. Hal ini didukung oleh pernyataan cobb
(2003, hlm. 13) yang menjelaskan bahwa tingkat motivasi yang terdapat pada diri
siswa secara positif dipengaruhi oleh sejauh mana siswa tersebut menerapkan
strategi SRL dalam kegiatan belajarnya. Siswa yang menerapkan strategi SRL
dengan baik akan mampu menghadirkan motivasi pada dirinya untuk melakukan
kegiatan belajar dengan berorientasi pada tercapainya tujuan belajar. Sedangkan
siswa yang memiliki motivasi rendah cenderung memiliki pengaturan diri yang
buruk.
32

2.4 Penelitian Terdahulu dan Posisi Peneliti


Terdapat beberapa penelitiaan yang telah dilakukan mengenai SRL dan
motivasi belajar. Beberapa penelitian tersebut menjadi dasar peneliti untuk
mengetahui hubungan antara SRL dengan motivasi belajar pada siswa kelas XI
SMA Angkasa Lanud Husein Sastranegara Bandung Tahun Ajaran 2017/2018.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara beberapa penelitian tersebut dengan
penelitian ini. Sejumlah penelitian tersebut selanjutnya dipaparkan dengan
membandingkan dengan posisi peneliti.
Zimmerman (1989) mengembangkan self regulated dalam ranah belajar
atau biasa disebut self regulated leaning (SRL). Zimmerman mengkontruksikan
SRL sebagai upaya meningkatkan metakognitif, motivasi, dan perilaku partisipasi
aktif siswa yang juga melibatkan pertanyaan mengenai aturan emosi yang dimiliki
siswa. Siswa yang memiliki kemampuan SRL (variabel Y) dapat dilihat dari
partisipasi aktifnya dalam mengarahkan proses-proses metakognitif. motivasi. dan
perilakunya (variabel X). Sedangkan pada penelitian ini yang akan diungkap
adalah bagaimana hubungan SRL (variabel X) dengan motivasi belajar siswa
(variabel Y).
Pintrich dan Elisabeth (1990) meneliti korelasi antara orientasi motivasi,
SRL, dan performa akademik pada 173 siswa kelas VII bahasa dan VIII ilmu
alam. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa nilai intrinsik pada diri individu
tidak memiliki pengaruh lansung terhadap kinerja tetapi sangat terkait dengan self
regulated dan penggunaan strategi kognitif (terlepas dari tingkat prestasi
sebelumnya). Sedangkan dalam penelitian ini korelasi yang diteliti adalah korelasi
antara SRL dengan dengan motivasi belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Yusup Hidayat dan Didin Budiman (2010)
pada 40 siswa kelas V SD Negeri Cisitu 1 Kota Bandung, yang menghasilkan
bahwa penerapan pendekatan model pembelajaran SRL memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Sedangkan dalam penelitian ini
hal yang di ungkap adalah tingkat SRL pada siswa dan hubungannya dengan
motivasi belajar yang dimilikinya.
Ratih Nurhadiyanti (2016) melakukan penelitian pada 191 siswa kelas XI
SMK Sangkuriang 1 Cimahi, yang menghasilkan bahwa SRL memiliki hubungan
33

yang signifikan positif dengan motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa. Dalam
hasil penelitiannya dikemukakan bahwa siswa yang menerapkan strategi SRL
dalam kegiatan belajarnya cenderung memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Adapun sebaliknya yaitu siswa yang tidak menerapkan strategi SRL cenderung
memiliki motivasi belajar yang rendah. Perbedaan dengan penelitian pada skripsi
ini adalah tempat dan subjek yang diteliti, yaitu siswa kelas XI SMA Angkasa
Lanud Husein Sastranegara Bandung Tahun Ajaran 2017/2018.

2.5 Kerangka Penelitian

Bagan 2.1
Kerangka Penelitian
Keterangan :
Hubungan antara Self regulated learning (SRL) sebagai variabel independen
dengan motivasi belajar sebagai variabel dependen bersifat positif (+). Semakin
tinggi kemampuan SRL yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi pula
motivasi belajarnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kemampuan SRL
yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin rendah pula motivasi belajarnya.

Anda mungkin juga menyukai