Disusun Oleh :
Nur Aini Alifatin (17610036)
Mellissa Julyane (17610028)
Miftahul Jannah ( )
Hosea Arsando ( )
Faktor Intelegensi
Intlegensi ini dapat mempengaruhi kesulitan belajar seorang anak. Keberhasilan belajar serang
anak ditentukan dari tinggi rendahnya tingkat kecerdasan yang dimilikinya, dimana seorang
anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi cendrung akan lebih berhasil dalam
belajarnya dibandingkan dengan anak yang intelegensinya rendah.
Faktor Minat
Faktor minat dalam belajar sangat penting. Hasil belajar akan lebih optimal bila disertai dengan
minat. Dengan adanya minat mendorong kearah keberhasialan, anak yang berminat terhadap
suatu pelajaran akan lebih mudah untuk mempelajarinya dan sebaliknya anak yang kurang
berminat akan mengalami kesulitan dalam belajarnya.
Dari pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa minat sangat diperlukan dalam
belajar, karena minat itu sendiri sebagai pendorong dalam belajar dan sebaliknya anak yang
kurang bermitat terhadap belajarnya akan cenderung mengalami kesulitan dalam belajarnya.
1. Faktor Internal
Faktor internal faktor internal adalah faktor yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri,
yang dapat dibedakan atas beberapa faktor yaitu intelegensi, minat, bakat, dan kepribadian.
a) Faktor Bakat
Bakat ini dapat menyebabkan kesulitan belajar, jika bakat ini kurang mendapatkan
perhatian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menjelaskan bahwa: bakat setiap orang
berbeda-beda, orang tua kadang-kadang tidak memperhatikan faktor bakat ini(Singgih Gunarsa,
Psikologi Keluarga (Jakarta : PT. Bina Rena Pertama, 1992), 13.). Anak sering diarahkan sesuai
dengan kemauan orang tuanya, akibatnya bagi anak merupakan sesuatu beban, tekanan dan
nilai-nilai yang ditetapkan oleh anak buruk serta tidak ada kemauan lagi untuk belajar.
Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa adanya pemaksaan dari orang tua
didalam mengarahkan anak yang tidak sesuai dengan bakatnya dapat membebani anak,
memunculkan nilai-nilai yang kurang baik, bahkan dirasakan menjadi tekanan bagi anak yang
akhirnya akan berakibat kurang baik terhadap belajar anak di sekolah.
b) Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian dapat menyebabkan kesulitan belajar, jika tidak memperhatikan
fase-fase perkembangan (kepribadian) seseorang. Hal ini sebagaimana pendapatmenjelaskan
bahwa: fase perkembangan kepribadian seseorang tidak selalu sama (Ngalim Purwanto,
Psikologi Pendidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), 13). Fase pembentuk kepribadian ada
beberapa fase yang harus dilalui. Seorang anak yang belum mencapai suatu fase tertentu akan
mengalami kesulitan dalam berbagai hal termasuk dalam hal belajar.
Dari pendapat tersebut, menunjukkan bahwa tidak semua fase-fase perkembangan
(keperibadian) ini akan berjalan dengan begitu saja tanpa menimbulkan masalah, malah ada
fase tertentu yang menimbulkan berbagai persoalan termasuk dalam hal kesulitan dalam
belajar.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah merupakan faktor yang datang dari luar diri individu. Faktor eksternal
ini dapat di bedakan menjadi tiga faktor yaitu 1). Faktor keluarga 2). Faktor sekolah 3). Faktor
masyarakat.
a) Faktor Keluarga
Peranan orang tua (kelurga) sebagai tempat yang utama dan pertama didalam pembinaan dan
pengembangan potensi anak-anaknya. Namun tidak semua orang tua mampu melaksanakanya
dengan penuh tanggung jawab.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan persoalan yang bersumber dari keluarga adalah seperti:
a). sikap orang tua yag mengucilkan anaknya, tidak mepercayai, tidak adil dan tidak mau
menerime anaknya secara wajar, b). broken home, perceraian, percekcokan, c). Didikan yang
otoriter, terlalu lemah dan memanjakannya, d). Orang tua tidak mengetahui kemampuan
anaknya, sifat kepribadian, minat, bakat, dan sebagainya.( Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), 4-5)
Ada beberapa aspek yang dapat menimbulkan masalah kesulitan belajar seorang anak yaitu: a).
Didikan orang tua yang keliru, b). Suasana rumah yang kurang aman dan kurang harmonis, c).
Keadaan ekonomi orang tua yang lemah.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat menimbulkan persoalan
atau sumber permasalahan adalah sikap orang tua yang mengucilkan anaknya, tidak
mempercayai, tidak adil dan tidak mau menerima anaknya secara wajar, broken home,
perceraian, percekcokan dan orang tua yang tidak tau kemampuan anaknya.
b) Faktor Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal setelah keluarga dapat menjadi masalah pada
umumnya, dan khususnya masalah kesulitan belajar pada siswa.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa:
Lingkungan sekolah dapat menjadikan faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar seperti:
1). Cara penyajian pelajaran kurang baik.
2). Hubungan guru dan murid kurang harmonis.
3). Hubungan antara burid dengan murid itu sendiri tidak baik
4). Bahan pelajaran yang disajikan tidak dimengerti siswa, dan
5). Alat-alat pelajaran yang tersedia kurang memadai(Ibid, 31.)
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara forgiveness dengan kebahagiaan
pada remaja panti asuhan yang memiliki kesulitan belaja
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi positif, psikologi lintas budaya
dan psikologi kesulitan belajar, mengenai hubungan antara forgiveness dengan
kebahagiaan pada remaja panti asuhan yang memiliki kesulitan belajar.
2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan informasi
kepada remaja di panti asuhan mengenai hubungan antara forgiveness dengan
kebahagiaan pada remaja yang tinggal di panti asuhan yang mengalami kesulitan
belajar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebahagiaan
Pengertian Kebahagiaan Kebahagiaan menurut Al-Farabi (Jaapar & Azhari, 2011)
merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan dan berperilaku sesuai dengan
keyakinan. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa kebahagiaan terdiri atas dua jenis, yaitu
kebahagiaan materi (jism al-sa’adah) dan kebahagiaan psikologis (nafs al sa’adah). Kebahagiaan
materi pada dasarnya hanya sebatas pada hal-hal material saja dan bersifat menipu, sedangkan
konsep kebahagiaan psikologis mirip dengan kesejahteraan psikologis di mana kebehagiaan
jenis ini akan dapat membawa manusia ke derajat para malaikat. Menurut Al Ghazali (2009)
kebahagiaan itu berasal dari transformasi diri, dan terletak pada pemahaman dirinya. Al-Ghazali
menyebutkan hanya sedikit orang yang mampu mencapai puncak kebahagiaan yaitu orang-
orang yang dekat dengan Allah SWT seperti para Nabi dan orang-orang shalih.
Kemudian, menurut Mustofa (2008) kebahagiaan adalah kesenangan, kesukaan, dan
kepuasan hati tentang tentang segala peristiwa yang terjadi. Franklin (2010) melihat bahwa
kebahagian adalah suatu cara hidup bukan keadaan sementara yang bisa datang dan pergi.
Semakin individu tumbuh 13 menjadi dirinya sendiri maka akan semakin baik hidupnya.
Kebahagiaan tumbuh dari pemenuhan potensi yang berada di dalam diri manusia sehingga
kebahagiaan lebih cepat muncul bila individu mampu mengaktualisasikan diri. Kebahagiaan
memenuhi kemungkinan potensi yang berada didalam diri.
Selain itu, menurut Carr (2004) kebahagiaan tergantung pada evaluasi kognitif kepuasan
dalam berbagai domain kehidupan seperti keluarga, pekerjaan, pengaturan, dan pengalaman
afektif. Diener (2009) menyebutkan kebahagiaan adalah suatu keadaan yang menggambarkan
bahwa individu dapat memfungsikan kapasitas-kapasitas yang ada pada dirinya secara optimal
dalam menjalankan kehidupannya.
Seligman (2005) menyebutkan bahwa kebahagiaan umumnya mengacu pada emosi
positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang disukai oleh individu. Kebahagiaan
dipengaruhi lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal merupakan pemicu yang
berasal dari luar diri kita, seperti agama, pernikahan dan kehidupan sosial yang memuaskan.
Lingkungan internal merupakan pemicu yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan bahagia
yang ditandai dengan adanya keadaan emosi positif masa lalu, masa sekarang dan masa depan.
Emosi positif masa lalu meliputi perasaan bangga, puas dan tenang. Emosi positif masa
sekarang meliputi semangat, riang, gembira, ceria pada aktivitas yang disukai. Sedangkan emosi
positif masa depan meliputi optimis, keyakinan, harapan, kepercayaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan aktivitas positif yang disenangi oleh
individu, hal ini mengacu pada teori Seligman (2005).
Aspek-Aspek Kebahagiaan Komponen kebahagiaan yang dikemukakan oleh Seligman
(2005) adalah sebagai berikut:
a. Emosi positif akan masa lalu Emosi positif tentang masa lalu adalah kepuasan, kelegaan,
kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Pemahaman dan penghayatan yang tidak
memadai atas peristiwa baik pada masa lalu dan terlalu menekankan peristiwa buruk
menyebabkan turunnya kepuasaan, kelegaan, dan ketenangan.
b. Emosi positif pada masa sekarang Emosi positif tentang masa sekarang terdiri atas
berbagai keadaan yang berbeda dari masa lalu dan masa depan. Kebahagiaan pada
masa sekarang mencakup dua hal, yaitu:
1) Kenikmatan (pleasure) Kenikmatan adalah kesenangan yang berhubungan
dengan indrawi yang jelas dan emosi yang kuat, yang disebut oleh para filsuf
sebagai “perasaan-perasaan dasar” (raw feels): ekstase, gairah, orgasme, rasa
senang, ceria, riang dan nyaman. Semua ini bersifat sementara dan hanya
sedikit melibatkan pikiran, atau malah tidak sama sekali.
2) Gratifikasi (gratification) Gratifikasi datang dari aktivitas yang sangat di sukai,
namun tidak disertai oleh perasaan dasar. Gratifikasi membuat individu terlibat
secara penuh hingga kehilangan perhatian terhadap lingkungan sekitar.
Menikmati percakapan yang bermanfaat, memanjat tebing, membaca buku
bagus, menari, melakukan slam dunk saat bermain basket adalah contoh
kegiatan yang didalamnya waktu seakan berhenti bagi seorang individu.
Gratifikasi bertahan lebih lama daripada kenikmatan dan melibatkan banyak
pemikiran serta interpretasi.
c. Emosi positif di masa depan Emosi positif masa pan meliputi kepercayaan, keyakinan,
kepastian, optimisme, dan harapan. Optimisme dan harapan memberikan daya tahan
dalam menghadapi depresi ketika situasi buruk melanda, meningkatkan kinerja dalam
bekerja, menjadikan kesehatan fisik yang lebih baik. Selanjutnya, aspek-aspek
kebahagiaan menurut Carr (2004):
1) Aspek Afektif Aspek ini mewakili pikiran positif dan pengalaman emosional
seperti rasa senang, riang, gembaira dan berbagai emosi positif lainnya.
2) Aspek Kognitif Aspek ini mewakili evaluasi kognitif dan kepuasan terhadap
berbagai domain dalam kehidupan individu. 16 Menurut Myers (1995), terdapat
empat aspek kebahagiaan yaitu :
Menghargai diri sendiri Menghargai diri sendiri adalah kecenderungan individu untuk
menyukai dirinya sendiri dengan menyetujui pernyataan seperti “Saya adalah orang
yang menyenangkan” dan “Saya punya ide bagus”.
Optimis Optimis adalah kepercayaan untuk berhasil saat melakukan sesuatu yang baru,
sehingga cenderung lebih sukses, sehat, dan bahagia. Individu yang optimis menyetujui
pernyataan seperti “ketika saya melakukan sesuatu yang baru, saya berharap untuk
berhasil”.
3) Terbuka Individu yang tergolong extrovert cenderung lebih terbuka terhadap
orang lain serta lebih mudah bersosialisasi dibandingkan orang-orang yang
tergolong introvert sehingga lebih merasa bahagia.
4) Mampu mengendalikan diri Mengendalikan diri adalah kontrol individu terhadap
diri sendiri sehingga ia lebih mampu memahami kelebihan di dalam diri yang
membuatnya menjadi lebih berdaya. Berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, peneliti menggunakan aspek yang
dijelaskan oleh Seligman (2005) mengenai kebahagian yang ditunjukkan dengan
emosi positif pada masa lalu, emosi positif pada masa sekarang dan emosi positif
pada masa depan. Hal ini di dasarkan pada aspek kebahagiaan yang ditawarkan
oleh Seligman (2005) 17 lebih mudah dipahami dan lebih sesuai dengan fokus
pembahasan dalam penelitian ini.
B. Forgiveness
1. Pengertian Forgiveness
Forgiveness menurut McCullough dkk (1997) merupakan seperangkat motivasi untuk
mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk
memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk
konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Snyder (2003) mengemukakan definisi
pemaafan (forgiveness) sebagai penyusunan terhadap sebuah peristiwa pelanggaran yang
dialami, di mana individu dihadapkan pada pelaku pelanggaran, peristiwa pelanggaran, dan
akibat dari pelanggaran tersebut, sehingga terjadi transformasi terhadap efek negatif menjadi
netral atau positif.
Thompson (Lopez & Snyder, 2003) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan proses
intrapersonal yang diarahkan pada diri sendiri, situasi dan orang lain serta mampu
menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian rupa hingga respon seseorang
terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari pelanggaran tersebut diubah dari negatif menjadi
netral atau positif. Bannan, Davis dan Biswas-Diener (2016) menyebutkan bahwa pemaafaan
adalah keputusan altruistik yang melepaskan pikiran pembalasan, penghindaran, dan rasa
bersalah dengan mengganti perasaan marah, pengkhianatan, ketakutan, dan sakit hati dengan
emosi prososial. Nashori (2014) mendefinisikan pemaafan dengan kesediaan untuk
meninggalkan hal-hal tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal
dengan menumbuhkan dan mengembangkan perasaan, pikiran dan hubungan yang lebih positif
dengan orang yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Berdasarkan penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pemaafan adalah proses
intrapersonal pada diri sendiri, situasi dan orang lain serta mampu mengubah peristiwa buruk
yang dirasakan dari negatif menjadi bersifat netral atau positif menurut teori Thompson (Lopez
& Snyder, 2003).
2. Aspek-aspek Forgiveness
Menurut Thompson (Lopez & Snyder, 2003), dimensi pemaafan mengandung 3 aspek,
yaitu:
a. Forgiveness pada diri sendiri Tindakan individu merilis perasaan dalam dirinya untuk
menerima suatu kesalahan. Tindakan ini merupakan bagaimana seseorang melihat
dirinya (self view) misalkan ketika diliputi perasaan bersalah.
b. Forgiveness pada orang lain Suatu tindakan individu untuk memaafkan orang lain yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya. Sebagai contoh, seseorang tentu saja
memiliki keinginan untuk menghukum, membenci atau mengeluarkan perasaan negatif
terhadap orang yang berbuat kesalahan 28 padanya namun individu tersebut lebih
memilih untuk memaafkan.
c. Forgiveness pada situasi Memaafkan situasi yang menyebabkan munculnya perasaan
negatif dalam diri individu misalkan bencana, meninggalnya orang tua dan lain lain.
Selanjutnya, dimensi pemaafan berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Nashori (2012),
yaitu:
a) Dimensi Emosi Pemaafan Dimensi emosi berhubungan dengan perasaan individu yang
menjadi korban terhadap individu yang menjadi pelaku. Indikator yang berkaitan
dengan dimensi ini, yaitu; meninggalkan perasaan marah, sakit hati serta benci, mampu
mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh pelaku, merasa iba dan
kasih sayang terhadap pelaku, dan merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku.
b) Dimesi Koginisi Pemaafan Dimensi kognisi berkaitan dengan pemikiran individu atas
peristiwa tidak menyenangkan yang dirasakannya. Indikator yang berkaitan dengan ini,
yaitu; Memiliki penjelasan nalar terhadap sikap individu lain yang menyakitinya,
meninggalkan penilaian negatif terhadap individu lain ketika hubungannya dengan
individu lain tidak seperti yang diharapkan, dan memiliki pandangan yang berimbang
terhadap pelaku.
c) Dimensi Interpersonal pemaafan Dimensi interpersonal berkaitan dengan dorongan
perilaku individu untuk memberikan maaf terhadap individu yang menyakitinya.
Ketuntasan dalam memaafkan dapat dilihat dari upaya musyawarah antara korban
dengan pihak yanag pernah menjadi pelaku. Korban berupaya agar di masa depan
mempu menciptakan keadaan yang damai. Indikator yang berkaitan dengan dimensi ini,
yaitu; meninggalkan perilaku atau perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku,
meninggalkan perilaku acuh tak acuh, meninggalkan keinginan balas dendam,
meninggalkan perilaku menghindar, meningkatkan upaya konsiliasi dengan pihak yang
menyakiti
Sedangkan menurut McCullough,dkk (1998), terdapat 3 aspek pemaafan, yaitu:
1. Motivasi menghindar Semakin menurun motivasi untuk menghindari pelaku, membuat
individu membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang
telah menyakitinya.
2. Motivasi membalas dendam Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam,
membuat individu membuang keinginan untuk melakukan tindakan balas dendam
terhadap orang yang telah menyakiti.
3. Motivasi berdamai Semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai
dengan pelaku meskipun pelanggaranya termasuk tindakan berbahaya, keinginan unuk
berdamai atau melihat kebahagiaan orang yang menyakitinya.
Berdasarkan aspek-aspek pemaafan yang telah diutarakan oleh para ahli tersebut,
penulis menggunakan aspek pemaafan yang ditawarkan oleh teori Thompson (Lopez & Snyder,
2003) yaitu pemaafan pada diri sendiri, pemaafan pada orang lain dan pemaafan pada situasi
untuk menilai pemaafan disposisional seseoraang. Hal ini dikarenakan aspek pemaafan tersebut
lebih mudah dipahami serta lebih komprehensif dalam ruang lingkupnya. Oleh karena itu,
peneliti membahas penelitian ini menggunakan aspek dari Thompson (Lopez & Snyder, 2003).
C. Hubungan antara forgiveness dengan Kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan salah satu dimensi yang signifikan dari pengalaman dan
kehidupan emosional manusia (Lyubomirsky, 2007). Tentu hal ini menjadi penting bagi setiap
orang terlebih pada remaja. Seligman (2005) menyebutkan bahwa kebahagiaan umumnya
mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang disukai oleh
individu. Remaja yang bahagia tentu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain,
mampu mengontrol emosi serta memiliki penyesuaian sosial. Lazarus (Raharjo, 2007)
mengatakan bahwa kebahagiaan mewakili bentuk interaksi manusia dengan lingkungan. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia saling berhubungan satu sama lain untuk dapat bahagia.
Banyak cara dilakukan agar seseorang dapat bahagia salah satu caranya dengan
memaafkan. Rana, Hariharan, Nadinee dan Vincent (2014) menyebutkan bahwa pemaafan
terbukti memiliki hubungan yang positif dengan kebahagiaan pada remaja, perilaku memaafkan
membantu individu untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain. Memberikan maaf bisa
menjadi salah satu kunci tercapainya kebahagiaan karena dengan memberikan maaf seseorang
dapat menghapus luka-luka yang dirasakan. Karremans, dkk (2003) menunjukkan bahwa
pemaafan dapat menjadikan seseorang lebih bahagia karena dapat membebaskan emosi
negatif dalam dirinya. Individu yang memaafkan dapat melewati proses adaptif dalam
memperbaiki hubungan dengan memulihkan perasaan positif antara korban dan pelanggar,
menawarkan kedamaian batin dari kedua pihak serta meningkatkan kebahagiaan diri (Brannan,
Davis, dan Biswas-Diener, 2016).
Pemaafan memiliki beberapa komponen yang dapat memberikan gambaran bagaimana
pemaafan dapat mempengaruhi kebahagiaan. Komponen-komponen ini dijelaskan oleh
Thompson (Snyder & Lopez, 2003) yang terdiri dari tiga komponen yaitu pemaafan pada diri
sendiri, pemaafan pada orang lain, dan pemaafan pada situasi.
Pertama, pemaafan pada diri sendiri yaitu keadaan di mana remaja mampu melepaskan
dirinya dari perasaan bersalah yang dirasakannya. Macaskill, Maltby dan Day (2002)
menyebutkan bahwa remaja cenderung memberikan penilaian yang tinggi pada dirinya sendiri
daripada orang lain yang membuat remaja cenderung lebih bisa memaafkan situasi negatif
daripada memaafkan diri sendiri. Afif (Hidayati & Habibi, 2017) menjelaskan bahwa dalam
proses pemaafan akan selalu ada proses tawarmenawar yang berat di dalam diri. Perasaan
bingung berlebihan memperlihatkan kesulitan remaja dalam memaafkan, yang secara logis juga
menunjukkan bahwa remaja kurang mampu memaafkan dirinya sendiri. Memaafkan pada diri
sendiri artinya remaja mampu menerima segala kelebihan dan kekurangannya di masa lalu,
sehingga mampu melakukan pendekatan yang kreatif untuk melakukan perubahan ke depan
yang menyebabkan perasaan tenteraman pada diri (Umayah, 2013).
Kedua, pemaafan pada orang lain. Pemaafan pada orang merupakan seperangkat
motivasi untuk tidak menjauhi, mengubah seseorang untuk tidak melakukan balas dendam dan
meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta
meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti (McCullough,
Rachal, Sandage, Everett, Wortington, Brown, dan Hight, 1998). Remaja yang mampu
memaafkan dapat meningkatkan emosi positif serta meredakan emosi negatif yang dimilikinya
sehingga memunculkan rasa kebajikan dan niat baik di dalam diri (Chan, 2013). Remaja seperti
ini,
meskipun telah menjadi korban, ia dapat bertindak tidak seperti situasi awal yang marah
dan sakit hati tetapi lebih memilih untuk berlaku baik pada yang telah menyakitinya (Bono dkk,
2008). Remaja yang memaafkan pelaku kesalahan, cenderung memiliki tingkat kebahagiaan
yang lebih tinggi, sedangkan remaja yang cenderung membalas dendam atau menghindari,
cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah (Brannan, Davis, & Biswar-Diener,
2016).
Remaja yang memaafkan memiliki efek positif jangka panjang dalam kehidupannya
karena memaafkan dapat menurunkan tekanan darah, terjauhkan dari stress, serta
meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis (Toussaint, Shield, Slavich, 2016). Penurunan
tingkat stress ini terkait dengan neuroendokrin yang reaktif saat orang berpikir tentang
pelanggaran yang dialaminya (Bono & McCullough, 2006). Worthington dan Scherer (2004)
menyatakan bahwa pemaafan merupakan strategi emotion focused coping untuk meredakan
stres, mendapat kesehatan yang lebih baik, dukungan sosial, serta kualitas hubungan dan
agama. Perilaku memaafkan dapat digunakan oleh remaja untuk bisa melepaskan semua beban
penderitaan seperti stres, menyimpan dendam, beban pikiran dan perasaan sakit. Dampak
positif lain pada remaja yang memaafkan adalah peningkatan berpikir optimis, meningkatkan
efikasi diri, mendapatkan dukungan dan emosional sehingga individu akan merasa lebih
bahagia (Bono & McCullough, 2006).
Ketiga, pemaafan terhadap situasi. Situasi yang dimaksudkan adalah situasi yang di luar
kendali siapapun seperti kematian keluarga, orang tua, kecelakaan, bencana alam dan lain-lain.
Thompson dkk (Snyder & Lopez, 2007) menyebutkan bahwa adanya situasi buruk seperti
kematian, kecelakaan dan bencana alam membuat remaja merasa marah, kesal, sedih, kecewa
namun tidak berdaya untuk melawan sehingga solusinya hanya dengan memaafkan. Thompson
dkk (Snyder & Lopez, 2007) menyebutkan bahwa pemaafan terhadap situasi merupakan
prediktor terbesar kebahagaain bila dibandingkan dengan pemaafan terhadap diri sendiri dan
orang lain. Pemaafan pada remaja secara tidak langsung juga mengembangkan mental yang
sehat pada diri setiap individu (Toussaint & Webb, 2005). Remaja yang mampu bersikap tenang
dan bisa memaafkan dapat meningkatkan kesehatan mental dan kesehatan rohani yang
kemudian menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup. Temuan ini menunjukkan pentingnya
menambahkan pemaafan dan kebahagiaan sebagai bagian dari nilai pendidikan moral selama
masa remaja (Rana, Hariharan, Nadinee & Vincent, 2014).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi adanya pemaafan pada diri remaja
membuat dirinya dapat berpikir dan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, orang lain
maupun pada situasi yang menimpanya. Sikap pemaaf pada remaja membuat dirinya menjadi
lebih mudah dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di dalam kehidupannya sehingga
dapat disimpulkan pemaafan mampu meningkatkan emosi positif dan 35 menurunkan emosi
negatif sehingga hidup menjadi lebih tenang, tenteram, bahagia, sejahtera, karena tidak ada
lagi rasa curiga, dendam dan rasa permusuhan.
c. Kesulitan belajar
Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning
Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan kesulitan” untuk
memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain
learning disabilities adalah learning difficulties dan learning differences. Ketiga istilah tersebut
memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning
differences lebih bernada positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih
menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar. Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar , istilah
kata yakni disfungsi otak minimal ada yang lain lagi istilahnya yakni gannguan neurologist.
Defenisi yang dikutip dari Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985): Kesulitan belajar
khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan , berpikir , berbicara, membaca,
menulis, mengeja , atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti
gannguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut
tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal
dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena
tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau
ekonomi. Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang
nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau
dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya
disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain
(misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan
(misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan
eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi
faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.
ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam
Lovitt, (1989) mengatakan bahwa kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang
diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan
mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar
memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan
untuk belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem sensoris. Sedangkan NJCLD (National
Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Lerner, (2000) berpendapat bahwa kesulitan
belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis
Kesulitan Belajar
kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini
bukan karena kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan,
melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan
melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang diinderainya. Kesulitan belajar adalah
kondisi dimana anak dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun
memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan
dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian,
penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003).
Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi
yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan belajar
spesifik (spesific learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah
emosional. Kelompok anak dengan Learning Dissability (LD) dicirikan dengan adanya gangguan-
gangguan tertentu yang menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan
tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran,
intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan
konsep diri.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan
beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena
faktor internal individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal otak. Kesulitan belajar bukan
disebabkan oleh faktor eksternal berupa lingkungan, sosial, budaya, fasilitas belajar, dan lain-
lain. Tidak seperti cacat fisik, kesulitan belajar tidak terlihat dengan jelas dan sering disebut
“hidden handicap”. Terkadang kesulitan ini tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya
anak yang mengalami kesulitan belajar sering diidentifikasi sebagai anak yang underachiever,
pemalas, atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami perasaan frustrasi, marah, depresi,
cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, 2001).
1. Gangguan Internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak
itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan
perseptualnya terhambat. Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi
visual (proses pemahaman terhadap objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman
terhadap objek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemahaman terhadap
objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal tersebut menjadi penyebab kesulitan
belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti faktor lingkungan keluarga,
budaya, fasilitas, dan lain-lain.
2. Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi
Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa
diantaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi
akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara
potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan
belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis
(disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).
3. Tidak Adanya Gangguan Fisik dan/atau Mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau
mental. Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut ini:
a. Tunagrahita (Mental Retardation)
Anak tunagrahita memiliki inteligensi antara 50-70. Kondisi tersebut menghambat
prestasi akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.
b. Lamban Belajar (Slow Learner)
Slow learner adalah anak yang memiliki keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga proses
belajarnya menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit dibawah rata- rata dengan IQ
antara 80-90. Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran. Slow learner
disebut anak border line (“ambang batas”), yaitu berada di antara kategori kecerdasan rata-rata
dan kategori mental retardation (tunagrahita)
c. Problem Belajar (Learning Problem)
Anak dengan problem belajar (bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami
hambatan belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi lingkungan
keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat
temporer/sementara dan mempengaruhi prestasi belajar. Menurut Valett (dalam Sukadji,
2000) terdapat tujuh karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan
belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan belajar khusus.
Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau
tulisan dari suku kata/kata. Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain
(1) Decoding atau kemampuan menguraikan kode/simbol visual; (2) Ingatan auditoris
dan visual atau ingatan atas objek kode/simbol yang sudah diurai tadi; untuk (3)
Divisualisasikan dalam bentuk tulisan.
Menulis Permulaan (Menulis cetak dan Menulis sambung) yaitu aktivitas membuat
gambar simbol tertulis.
Sebagian anak berkesulitan belajar umumnya lebih mudah menuliskan-huruf- cetak yang
terpisah-pisah daripada menulis-huruf-sambung. Tampaknya, rentang perhatian yang pendek
menyulitkan mereka saat menulis-huruf-sambung. Dalam menulis-huruf-cetak, rentang
perhatian yang dibutuhkan mereka relatif pendek, karena mereka menulis “per huruf”.
Sedangkan saat menulis huruf-sambung rentang perhatian yang dibutuhkan relatif lebih
panjang, karena mereka menulis “per kata”.
Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain:
Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga terjadi pada kesulitan membaca,
seperti:
1) penambahan huruf/suku kata
2) penghilangan huruf/suku kata
3) pembalikan huruf ke kanan-kiri
4) pembalikan huruf ke atas-bawah
5) penggantian huruf/suku kata
c. Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi merupakan aktivitas menulis yang bertujuan
mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk tulisan. Aktivitas ini membutuhkan (1)
kemampuan berbahasa ujaran; (2) membaca; (3)mengeja; (4) menulis permulaan. Diskalkulia
c. atau Kesulitan Berhitung
Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir,
mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah.
Kemampuan berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar
sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut
tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat,
kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan
pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian
dan pembagian.
1. Developmental Learning Disabilities
a. Perhatian (attention disorder).
Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak
ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat mempertahankan perhatian yang
cukup lama untuk belajar dan tidak dapat mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu
hal.
b. Memory Disorder
Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah dilihat atau
didengar ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat memiliki kesulitan dalam
me-recall kata-kata yang ditampilkan secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan
masalah pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa lisannya.
c. Gangguan persepsi visual dan motorik
Anak-anak dengan gangguan persepsi visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu
lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual yang lain. mereka tidak dapat
menangkap arti dari sebuah gambar atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya.
Contohnya seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat mengenali
teman sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat orang ybs berbicara atau menyebutkan
namanya. Pada anak dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami
orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi spasial serta pembelajaran
secara motorik.
d. Thinking disorder
Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah
pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat dengan gangguan
dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap 237 siswa dengan gangguan
dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan
yang normal dalam tes visual dan motorik namun berada di bawah rata-rata pada tes persepsi
auditori, ekspresi verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.
e. Language Disorder
Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak pra-sekolah. Biasanya
anak-anak ini tidak berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan
verbal.
2. Academic Learning Disabilities
Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam
membaca, mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada saat anak
menampilkan kinerja di bawah potensi akademik mereka.
ASSESMEN FORMAL DAN IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR
Identifikasi dalam hal ini merupakan proses untuk menemuk dan mengenali individu agar
diperoleh informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Untuk mengantisipasi
kekeliruan dalam klasifikasi dan agar dapat diberikan layanan pendidikan pada anak
berkesulitan belajar. Melalui identifikasi akan diperoleh informasi tentang klasifikasi kesulitan
belajar yang dialami anak. Dari klasifikasi tersebut dapat disusun perencanaan program dan
tindakan pembelajaran yang sesuai. Pada umumnya karakteristik peserta didik dapat dikenali
setelah 3 bulan pertama setelah mengikuti pembelajaran di kelas.
Harwell (2001) mengungkapkan bahwa sebaiknya assesmen dan identifikasi siswa
berkesulitan belajar dilakukan oleh team yang terdiri dari berabagi disiplin ilmu, yaitu :
1. Psikolog sekolah: memperoleh informasi tentang kondisi keluarga, sosial, dan budaya,
mengukur inteligensi dan perilaku melalui alat ukur yang terstandar, dan memperoleh
gambaran tentang kelebihan dan kekurangan siswa.
2. Guru kelas dan orang tua: memberi informasi tentang perkembangan anak,
keterampilan yang telah diperoleh anak, motivasinya, rentang perhatiannya,
penerimaan sosial, dan penyesuaian emosional, yang dapat diperoleh dengan mengisi
rating scale tentang perilaku anak.
3. Ahli pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus: melakukan penilaian akademik
dengan menggunakan berbagai tes individual, mengobservasi siswa dalam situasi
belajar dan bermain, melihat hasil pekerjaan siswa, dan mendiskusikan performa siswa
denga guru dan orangtua.
4. Perawat sekolah : memperoleh data perkembangan kesehatan siswa. Perawat bisa
meminta siswa untuk menunjukkan aktivitas motorik sederhana, melakukan tes
pendengaran dan penglihatan siswa, dan jika ada masalah kesehatan, perawat bisa
mendiskusikannya ke dokter.
5. Administrator sekolah: memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait dan menyediakan
dana. Dan terkadang juga melibatkan pihak lain seperti guru olahraga, terapis wicara,
terapis okupasi, pekerja sosial, atau dokter anak.
Ada beberapa aspek penilaian yang harus dilakukan dalam assesmen, yaitu:
1) Intelectual assesment. Penilaian kemampuan intelektual ini meliputi beberapa hal, yaitu
(1) IQ yang bisa diukur dengan tes inteligensi terstandar;(2) Peserpsi visual untuk
melihat interpretasi otak terhadap apa yang dilihatnya, dapat diketahui dengan tes
Visual Motor Integration (VMI) untuk anak usia 3-18 tahun atau The Bender Visual
Motor Gestalt Test untuk usia 4-11 tahun; (4) Persepsi Auditori untuk melihat
kemampuan proses menerima informasi melalui stimulus auditori yang bisa dilakukan
melalui observasi kelas atau tes-tes auditori; (5) Ingatan untuk melihat kemampuan
anak dalam mengingat informasi yang diterimanya, bisa diketahui melalui subtes digit
span WISC atau tes lainnya.
2) Academic assesment. Penilaian ini dilakukan untuk menilai kemampuan
membaca/mengeja, menulis, dan berhitung yang dapat dilihat melalui test terstandar,
observasi kelas dan saat bermain atau hasil kerjanya sehari-hari.
3) Language assessment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan bahasa
anak yang meliputi pengetahuan terhadap arti kata, pengetahuan untuk meletakkan
kata dalam kalimat, dan kemampuan memanipulasi kata sehingga memiliki arti yang
bermakna. Penilaian dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Melihat hasil kerja anak dan bagaimana ia merespon huruf, kata, dan kalimat.
b. Bahasa yang diucapkan, seberapa banyak kosa katanya, apakah kata yang dipilihnya
sesuai atau tidak.
c. Mendengar, apakah anak dapat mendengar dan mengikuti pembicaraan.
d. Observasi percakapannya dengan teman-teman sebayanya, dengan yang lebih muda,
dengan yang lebih tua. Apakah Ia bisa menyesuaikan bahasa yang tepat.
4) Health assesment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui riwayat kesehatan siswa.
5) Behavior assesment. Penilaian perilaku ini dilakukan untuk melihat dampak perilaku
anak terhadap keberhasilannya di sekolah., yang dapat dilakukan melalui observasi,
wawancara dengan orangtua dan guru, penggunaan rating scale, penggunaan inventori
keprbadian, dan tes proyektif. Ketika menilai perilaku siswa, ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu:
Kemampuan komunikasi siswa
Pengetahuan mereka akan komunitasnya
Kemampuan untuk mengarahkan diri (self directing)
Kesadaran akan kesehatan dan keselamatan · Kemampuan untuk menjaga diri
sendiri
Perkembangan kemampuan social
Kebiasaan kerja dan kesadaran akan pekerjaannnya
Penggunaan waktu luang
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang sering diberikan adalah modifikasi perilaku. Dalam halini anak akan
mendapatkan penghargaan langsung jika dia dapat memenuhi suatu tugas atau tanggung
jawab atau perilaku positif tertentu. Di lain pihak, ia akan mendapatkan peringatan jika jika
ia memperlihatkan perilaku negative. Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung
ini maka diharapkan anak dapat mengontrol perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di
sekolah maupun di rumah.
c. Psikoterapi Suportif
Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk memberi pengertian dan
pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga dapat menimbulkan motivasi yang
konsisten dalam usaha untuk memerangi kesulitan ini.
B. Definisi Operasional
1. Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah skor yang diperoleh oleh subjek saat mengisi skala kebahagiaan.
Skala ini disusun oleh Ridha (2014) yang mengacu pada teori Seligman (2005) yang terdiri dari
aspek keadaan emosi positif pada masa lalu, emosi positif pada saat ini dan emosi positif pada
masa depan. Skor tinggi yang diperoleh subjek menunjukkan tingginya tingkat kebahagiaan
pada subjek sedangkan skor rendah yang diperoleh subjek menunjukkan rendahnya tingkat
kebahagiaan pada subjek.
2. Forgiveness
Pemaafan adalah skor yang diperoleh oleh subjek saat mengisi skala pemaafan. Skala
pemaafan ini merupakan hasil adaptasi dan modifikasi skala Heartland Forgiveness Scale
menurut Thompson (Lopez & Snyder, 2003) yang terdiri dari aspek pemaafan pada diri sendiri,
pemaafan pada orang lain dan pemaafan pada situasi. Skor tinggi yang diperoleh subjek.
menunjukkan tingginya tingkat pemaafan pada subjek sedangkan skor rendah yang diperoleh
subjek menunjukkan rendahnya tingkat pemaafan pada subjek.
3. Kesulitan belajar
C. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di panti asuhan yang berlokasi di
Malang. Adapun karakteristik subjek adalah sebagai berikut:
1. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan
2. Memiliki rentang usia antara 12-21 tahun (Monks, dkk, 2006)
3. Belum menikah
1. Validitas
Validitas bermakna sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Tes yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran memiliki
validitas rendah (Azwar, 2012). Prasetyo dan Jannah (2005) menyatakan bahwa validitas
merupakan suatu hal yang sulit untuk dicapai karena adanya ketidakseimbangan antara
konsep yang ingin diukur dengan indikator. Dalam penelitian ini untuk menilai validitas alat
ukur, peneliti melakukan pengecekan tata bahasa menggunakan format yang disesuaikan
dengan bahasa sehari-hari, membuat blue print, melaksanakan tryout, melakukan
perbandingan jawaban untuk melihat perbedaan pada masing-masing usia, jenis kelamin
dan tingkat pendidikan. Adanya langkah-langkah penelitian validitas isi di atas maka dapat
dikatakan validitas alat ukur penelitian ini dinyatakan cukup baik.
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan pengukuran yang bila dilakukan beberapa kali pengambilan data
pada subjek yang sama memperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2012). Hasil tes yang
tidak reliabel menjadikan tes tersebut kurang baik karena tidak mempertimbangkan faktor
luar yang mengganggu (Setyosari, 2010). Reliabilitas dalam penelitian ini akan dihitung
menggunakan koefisien Cronbach Alpha yang mana angkanya bergerak dari rentang 0
sampai 1. Pada penelitian ini skala dikatakan reliabel apabila cronbach alpha berada di atas
atau sama dengan 0.7 (Cronbach alpha ˃ 0,7). Reliabilitas pada penelitian ini akan dihitung
dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Packagefor Social Science) version
23 for windows.
F. Metode Analisis
Data Data penelitian ini akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan software
SPSS (Statistical Packkage for Social Science) version 23.0 for windows menggunakan teknik
korelasi Spearman Rho.