Anda di halaman 1dari 34

Hubungan antara Forgiveness dengan Kebahagiaan pada remaja panti asuhan

yang memiliki kesulitan belajar

Disusun Oleh :
Nur Aini Alifatin (17610036)
Mellissa Julyane (17610028)
Miftahul Jannah ( )
Hosea Arsando ( )

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG
JANUARI 2020
BAB 1
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Manusia memiliki tahapan perkembangan dan pertumbuhan, dimana salah satu tahap
yang dilalui individu adalah fase remaja. Istilah remaja atau adolescence berarti tumbuh
dewasa. Masa remaja merupakan masa paling penting karena adanya masa transisi dalam
rentang kehidupan manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Fase
remaja di mulai dari usia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22
tahun.
Remaja akan berkembang secara optimal jika mendapatkan bimbingan dari orang tua.
Bimbingan dan arahan dari orang tua dapat mengantarkan remaja memperoleh tempat dalam
masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab, bahagia, serta dapat menjadi
penerus kehidupan di masa yang akan datang. Faktanya, saat ini tidak banyak remaja yang
dapat menikmati hidupnya dengan baik bersama dengan orang tua.
Berdasarkan data dari Pusat data dan Informasi Kesejahteraan Kementerian Sosial,
jumlah anak jalanan pada tahun 2015 sebanyak 33.400 anak yang tersebar di 16 Provinsi. Anak
jalanan yang mendapatkan layanan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) baru mencapai
6.000 pada 2016. Sedangkan jumlah anak di panti asuhan diperkirakan 500.000 anak, dan yang
mengejutkan adalah 90% dari anak-anak tersebut masih memiliki orang tua (dalam
http://www.kemsos.go.id). Hal tersebut terjadi akibat rendahnya ekonomi orang tua,
ketidaksiapan mempunyai anak atau bisa karena permasalahan keluarga, sehingga ada remaja
yang tinggal di yayasan atau lembaga seperti panti asuhan, karena ditinggalkan ataupun
dititipkan oleh orang tuanya.
Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial pada anak terlantar
dengan memberikan pelayanan pengganti orang tua atau keluarga untuk anak. Panti asuhan
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial kepada anak asuh
serta memberikan kesempatan yang luas untuk pengembangan kepribadiannya sesuai dengan
yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan berkembang secara
wajar (Depsos RI, 2004).
Menurut data dari Kementerian Sosial Indonesia pada tahun 2008, jumlah Panti Asuhan
di seluruh Indonesia diperkirakan antara 5.000 - 8.000 yang mengasuh sampai setengah juta
anak, ini yang kemungkinan merupakan jumlah panti asuhan terbesar di seluruh dunia (dalam
http://www.kemsos.go.id). Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada Januari 2017 di 2 (dua)
Panti Asuhan, anak-anak yang tinggal di Panti Asuhan sebagian besar merupakan kelompok
remaja. Pada masa remaja kesadaran sosial seseorang akan semakin tinggi, tetapi semakin
banyak tekanan sosial di setiap harinya, sehingga remaja dianggap sebagai populasi yang rentan
atau vulnerable untuk mengalami masalah. Guna menanggulangi permasalahan yang mungkin
dialami remaja, kebahagiaan bisa menjadi anteseden atau stimulus berbagai keuntungan,
contoh: kesehatan mental (Chaplin, Bastos, & Lowrey, 2010), sehingga kebahagiaan dianggap
sebagai hal yang sangat penting pada remaja (Diener dalam Argyle, 2001).
Seligman (2005) mengartikan kebahagiaan sebagai konsep yang mengacu pada emosi
positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang tidak memiliki komponen perasaan
negatif. Untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri tentunya setiap orang mempunyai cara yang
berbeda dalam mempersepsikannya termasuk remaja yang tinggal di panti asuhan, salah
satunya kebahagiaan yang dapat dicapai melalui emosi positif.
Aspek dari kebahagiaan menurut Seligman (2005) adalah (a) Masa lalu berkaitan dengan
emosi positif yang mencakup perasaan puas, bangga dan tenang. (b) Masa sekarang berkaitan
dengan emosi positif yang mencakup kenikmatan dan gratifikasi, kenikmatan adalah
kesenangan yang memiliki komponen indrawi yang jelas dan komponen emosi yang kuat.
Gratifikasi adalah kegiatan yang sangat disukai individu namun tidak harus disertai dengan
perasaan dasar. (c) Masa depan berkaitan dengan emosi positif yang mencakup perasaan
optimisme, harapan, kepercayaan, keyakinan, dan kepercayaan diri.
Seligman (2005) menyebutkan ada dua faktor yang memengaruhi kebahagiaan yaitu,
faktor eksternal yang berasal dari lingkungan (uang, pernikahan, kehidupan sosial, emosi
positif, usia, agama, kesehatan, pendidikan, iklim, ras dan gender) dan faktor internal seperti
masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Salah satu
faktor kepuasan terhadap masa lalu yang merupakan faktor internal adalah forgiveness.
Berdasarkan hasil wawancara oleh peneliti pada Januari, 2016 pada satu remaja panti
asuhan, dia mengatakan bahwa perasaan sedih, kecewa, terpukul karena ditinggalkan oleh
kedua orang tuanya dengan kondisi ekonomi yang mapan merupakan hal yang tidak bisa
dilupakan. Subyek merasa kejadian dirinya dibawa ke panti asuhan sebagai sebuah ketidak
adilan. Permasalahan yang dialami orang tua membawa dampak baginya, sehingga ia merasa
sedih, marah dan kecewa. Perasaan-perasaan yang dialami remaja tersebut merupakan salah
satu bentuk adanya transgressor dalam dirinya dan perlu adanya cara untuk mereduksi respon
negatif yang muncul salah satu caranya ialah melalui forgiveness (Fincham dalam Darmawan,
2016).
McCullough (2000) mendefinisikan forgiveness sebagai perubahan serangkaian perilaku
dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau
menghindar dari pelaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun keinginan untuk
berdamai dengan pelaku. Menurut McCullough (2000), memaafkan atau pemaafan memiliki
tiga aspek yaitu (a) Avoidance Motivation, penurunan motivasi untuk menghindari kontak
pribadi dan psikologis dengan pelaku. (b) Revenge Motivation, penurunan motivasi untuk
membalas dendam. (c) Beneviolence Motivation, ditandai dengan berbuat baik kepada pelaku.
Seseorang yang bisa memaafkan orang yang bersalah padanya sekalipun itu
menyakitkan, ia akan merasa jauh lebih lega dan bisa mencapai kebahagiaan. Hal ini juga
didukung oleh Diponegoro dan Mulyono (2015) dalam penelitiannya yang menunjukan hasil
bahwa pemaafan merupakan salah satu faktor dari kebahagiaan. Penelitian Maharani (2015)
mengenai tingkat kebahagiaan pada mahasiswa, memperoleh hasil bahwa kebahagiaan
tertinggi yang berasal dari kepuasan terhadap keadaan keluarga, seperti kehidupan yang
nyaman, keluarga yang aman dan perasaan pemenuhan.
Mencapai rasa bahagia itu sendiri akan dapat dirasakan dan diraih oleh individu apabila
individu tersebut mampu merasakan kenikmatan yang akan tumbuh apabila ada rasa syukur
lewat memaafkan. Apabila individu tidak bersyukur dan memaafkan, maka individu tidak dapat
merasakan kebahagiaan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Rana dan Nandinee (2014),
yang mengatakan bahwa remaja yang bahagia dapat mempertahankan kesehatan positif
dengan menanamkan kecenderungan pemaafan selama masa remaja, yang kemudian menjadi
sumber kebahagiaan dalam hidupnya.
Rana dan Nandinee (2014) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan yang
positif antara forgiveness dengan kebahagiaan pada remaja. Sikap remaja yang mudah
memaafkan dapat menurunkan tekanan darah, detak jantung, dan tubuh yang rentan terhadap
stres. Orang yang memaafkan merasa lebih bahagia, kurang khawatir, dan lebih positif dari
pada orang yang tidak pemaaf. Berbeda dengan Rana dan Nandinee, menurut hasil penelitian
Shekar, Jamwal dan Sharma (2014), forgiveness dengan kebahagiaan tidak memiliki hubungan
yang positif. Menurutnya Partisipan yang bahagia cenderung lebih mudah memaafkan ketika
anggota atau diluar anggota kelompok ada yang terluka, dibandingkan partisipan yang tidak
bahagia cenderung untuk memaafkan lebih sedikit ketika anggota atau diluar anggota
kelompok terluka.
Forgiveness berperan penting dalam kebahagiaan seseorang. Peningkatan forgiveness
dapat membantu seseorang dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Semakin tinggi
forgiveness individu, maka semakin tinggi kebahagiaan individu. Sebaliknya semakin rendah
forgiveness individu maka semakin rendah individu untuk mencapai kebahagiaan. Menurut
Enright, Freedman, dan Rique (dalam Shekhar, Jamwal & Sharma, 2014) orang yang memaafkan
merasa lebih bahagia, kurang khawatir, dan lebih positif, daripada orang yang tidak pemaaf.
Individu yang lebih pemaaf punya kemungkinan untuk menurunkan tekanan darah, detak
jantung terhadap stres.
Dalam belajar tidaklah selalu berhasil, tetapi sering kali hal-hal yang mengakibatkan
kegagalan atau setidak-tidaknya menjadi gangguan yang menghambat kemajuan belajar.
Kegagalan atau kesulitan belajar biasanya ada hal atau faktor yang menyebabkannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar adalah (a). Faktor internal yaitu faktor yang
datang dari dalam diri sendiri, (b). Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar diri
seorang. (Koestoer PartoWisastro, Pengajaran Remedial (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 11)

 Faktor Intelegensi
Intlegensi ini dapat mempengaruhi kesulitan belajar seorang anak. Keberhasilan belajar serang
anak ditentukan dari tinggi rendahnya tingkat kecerdasan yang dimilikinya, dimana seorang
anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi cendrung akan lebih berhasil dalam
belajarnya dibandingkan dengan anak yang intelegensinya rendah.

 Faktor Minat
Faktor minat dalam belajar sangat penting. Hasil belajar akan lebih optimal bila disertai dengan
minat. Dengan adanya minat mendorong kearah keberhasialan, anak yang berminat terhadap
suatu pelajaran akan lebih mudah untuk mempelajarinya dan sebaliknya anak yang kurang
berminat akan mengalami kesulitan dalam belajarnya.
Dari pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa minat sangat diperlukan dalam
belajar, karena minat itu sendiri sebagai pendorong dalam belajar dan sebaliknya anak yang
kurang bermitat terhadap belajarnya akan cenderung mengalami kesulitan dalam belajarnya.

1. Faktor Internal
Faktor internal faktor internal adalah faktor yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri,
yang dapat dibedakan atas beberapa faktor yaitu intelegensi, minat, bakat, dan kepribadian.
a) Faktor Bakat
Bakat ini dapat menyebabkan kesulitan belajar, jika bakat ini kurang mendapatkan
perhatian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menjelaskan bahwa: bakat setiap orang
berbeda-beda, orang tua kadang-kadang tidak memperhatikan faktor bakat ini(Singgih Gunarsa,
Psikologi Keluarga (Jakarta : PT. Bina Rena Pertama, 1992), 13.). Anak sering diarahkan sesuai
dengan kemauan orang tuanya, akibatnya bagi anak merupakan sesuatu beban, tekanan dan
nilai-nilai yang ditetapkan oleh anak buruk serta tidak ada kemauan lagi untuk belajar.
Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa adanya pemaksaan dari orang tua
didalam mengarahkan anak yang tidak sesuai dengan bakatnya dapat membebani anak,
memunculkan nilai-nilai yang kurang baik, bahkan dirasakan menjadi tekanan bagi anak yang
akhirnya akan berakibat kurang baik terhadap belajar anak di sekolah.
b) Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian dapat menyebabkan kesulitan belajar, jika tidak memperhatikan
fase-fase perkembangan (kepribadian) seseorang. Hal ini sebagaimana pendapatmenjelaskan
bahwa: fase perkembangan kepribadian seseorang tidak selalu sama (Ngalim Purwanto,
Psikologi Pendidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), 13). Fase pembentuk kepribadian ada
beberapa fase yang harus dilalui. Seorang anak yang belum mencapai suatu fase tertentu akan
mengalami kesulitan dalam berbagai hal termasuk dalam hal belajar.
Dari pendapat tersebut, menunjukkan bahwa tidak semua fase-fase perkembangan
(keperibadian) ini akan berjalan dengan begitu saja tanpa menimbulkan masalah, malah ada
fase tertentu yang menimbulkan berbagai persoalan termasuk dalam hal kesulitan dalam
belajar.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah merupakan faktor yang datang dari luar diri individu. Faktor eksternal
ini dapat di bedakan menjadi tiga faktor yaitu 1). Faktor keluarga 2). Faktor sekolah 3). Faktor
masyarakat.
a) Faktor Keluarga
Peranan orang tua (kelurga) sebagai tempat yang utama dan pertama didalam pembinaan dan
pengembangan potensi anak-anaknya. Namun tidak semua orang tua mampu melaksanakanya
dengan penuh tanggung jawab.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan persoalan yang bersumber dari keluarga adalah seperti:
a). sikap orang tua yag mengucilkan anaknya, tidak mepercayai, tidak adil dan tidak mau
menerime anaknya secara wajar, b). broken home, perceraian, percekcokan, c). Didikan yang
otoriter, terlalu lemah dan memanjakannya, d). Orang tua tidak mengetahui kemampuan
anaknya, sifat kepribadian, minat, bakat, dan sebagainya.( Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), 4-5)
Ada beberapa aspek yang dapat menimbulkan masalah kesulitan belajar seorang anak yaitu: a).
Didikan orang tua yang keliru, b). Suasana rumah yang kurang aman dan kurang harmonis, c).
Keadaan ekonomi orang tua yang lemah.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat menimbulkan persoalan
atau sumber permasalahan adalah sikap orang tua yang mengucilkan anaknya, tidak
mempercayai, tidak adil dan tidak mau menerima anaknya secara wajar, broken home,
perceraian, percekcokan dan orang tua yang tidak tau kemampuan anaknya.
b) Faktor Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal setelah keluarga dapat menjadi masalah pada
umumnya, dan khususnya masalah kesulitan belajar pada siswa.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa:
Lingkungan sekolah dapat menjadikan faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar seperti:
1). Cara penyajian pelajaran kurang baik.
2). Hubungan guru dan murid kurang harmonis.
3). Hubungan antara burid dengan murid itu sendiri tidak baik
4). Bahan pelajaran yang disajikan tidak dimengerti siswa, dan
5). Alat-alat pelajaran yang tersedia kurang memadai(Ibid, 31.)

c. Faktor Lingkungan Masyarakat


Faktor lingkungan masyarakat sangat berperan di dalam pembentukan kepribadian
anak, termasuk pula kemampuan/ pengetahuannya. Dimana lingkungan masyrakat yang
memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik, seperti: suka minum-minum minuman keras,
penjudi dan sebagainya, dapat menghambat pembentukam kepribadiaan dan kemampuan,
termasuk pula dalam proses belajar mengajar seorang anak.

 Lingkungan masyarakat yang dapat mempengaruhi kesulitan belajar adalah:


Mass Media, seperti bioskop, televisi, radio, surat kabar, majalah, komik
Corak Kehidupan tetangga, seperti orang terpelajar dan cendekiawan, tetangga yang suka
berjudi, pencuri, peminum, dan sebagainya(

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara forgiveness dengan kebahagiaan
pada remaja panti asuhan yang memiliki kesulitan belaja
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi positif, psikologi lintas budaya
dan psikologi kesulitan belajar, mengenai hubungan antara forgiveness dengan
kebahagiaan pada remaja panti asuhan yang memiliki kesulitan belajar.
2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan informasi
kepada remaja di panti asuhan mengenai hubungan antara forgiveness dengan
kebahagiaan pada remaja yang tinggal di panti asuhan yang mengalami kesulitan
belajar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebahagiaan
Pengertian Kebahagiaan Kebahagiaan menurut Al-Farabi (Jaapar & Azhari, 2011)
merupakan kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan dan berperilaku sesuai dengan
keyakinan. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa kebahagiaan terdiri atas dua jenis, yaitu
kebahagiaan materi (jism al-sa’adah) dan kebahagiaan psikologis (nafs al sa’adah). Kebahagiaan
materi pada dasarnya hanya sebatas pada hal-hal material saja dan bersifat menipu, sedangkan
konsep kebahagiaan psikologis mirip dengan kesejahteraan psikologis di mana kebehagiaan
jenis ini akan dapat membawa manusia ke derajat para malaikat. Menurut Al Ghazali (2009)
kebahagiaan itu berasal dari transformasi diri, dan terletak pada pemahaman dirinya. Al-Ghazali
menyebutkan hanya sedikit orang yang mampu mencapai puncak kebahagiaan yaitu orang-
orang yang dekat dengan Allah SWT seperti para Nabi dan orang-orang shalih.
Kemudian, menurut Mustofa (2008) kebahagiaan adalah kesenangan, kesukaan, dan
kepuasan hati tentang tentang segala peristiwa yang terjadi. Franklin (2010) melihat bahwa
kebahagian adalah suatu cara hidup bukan keadaan sementara yang bisa datang dan pergi.
Semakin individu tumbuh 13 menjadi dirinya sendiri maka akan semakin baik hidupnya.
Kebahagiaan tumbuh dari pemenuhan potensi yang berada di dalam diri manusia sehingga
kebahagiaan lebih cepat muncul bila individu mampu mengaktualisasikan diri. Kebahagiaan
memenuhi kemungkinan potensi yang berada didalam diri.
Selain itu, menurut Carr (2004) kebahagiaan tergantung pada evaluasi kognitif kepuasan
dalam berbagai domain kehidupan seperti keluarga, pekerjaan, pengaturan, dan pengalaman
afektif. Diener (2009) menyebutkan kebahagiaan adalah suatu keadaan yang menggambarkan
bahwa individu dapat memfungsikan kapasitas-kapasitas yang ada pada dirinya secara optimal
dalam menjalankan kehidupannya.
Seligman (2005) menyebutkan bahwa kebahagiaan umumnya mengacu pada emosi
positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang disukai oleh individu. Kebahagiaan
dipengaruhi lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal merupakan pemicu yang
berasal dari luar diri kita, seperti agama, pernikahan dan kehidupan sosial yang memuaskan.
Lingkungan internal merupakan pemicu yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan bahagia
yang ditandai dengan adanya keadaan emosi positif masa lalu, masa sekarang dan masa depan.
Emosi positif masa lalu meliputi perasaan bangga, puas dan tenang. Emosi positif masa
sekarang meliputi semangat, riang, gembira, ceria pada aktivitas yang disukai. Sedangkan emosi
positif masa depan meliputi optimis, keyakinan, harapan, kepercayaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan aktivitas positif yang disenangi oleh
individu, hal ini mengacu pada teori Seligman (2005).
Aspek-Aspek Kebahagiaan Komponen kebahagiaan yang dikemukakan oleh Seligman
(2005) adalah sebagai berikut:
a. Emosi positif akan masa lalu Emosi positif tentang masa lalu adalah kepuasan, kelegaan,
kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Pemahaman dan penghayatan yang tidak
memadai atas peristiwa baik pada masa lalu dan terlalu menekankan peristiwa buruk
menyebabkan turunnya kepuasaan, kelegaan, dan ketenangan.
b. Emosi positif pada masa sekarang Emosi positif tentang masa sekarang terdiri atas
berbagai keadaan yang berbeda dari masa lalu dan masa depan. Kebahagiaan pada
masa sekarang mencakup dua hal, yaitu:
1) Kenikmatan (pleasure) Kenikmatan adalah kesenangan yang berhubungan
dengan indrawi yang jelas dan emosi yang kuat, yang disebut oleh para filsuf
sebagai “perasaan-perasaan dasar” (raw feels): ekstase, gairah, orgasme, rasa
senang, ceria, riang dan nyaman. Semua ini bersifat sementara dan hanya
sedikit melibatkan pikiran, atau malah tidak sama sekali.
2) Gratifikasi (gratification) Gratifikasi datang dari aktivitas yang sangat di sukai,
namun tidak disertai oleh perasaan dasar. Gratifikasi membuat individu terlibat
secara penuh hingga kehilangan perhatian terhadap lingkungan sekitar.
Menikmati percakapan yang bermanfaat, memanjat tebing, membaca buku
bagus, menari, melakukan slam dunk saat bermain basket adalah contoh
kegiatan yang didalamnya waktu seakan berhenti bagi seorang individu.
Gratifikasi bertahan lebih lama daripada kenikmatan dan melibatkan banyak
pemikiran serta interpretasi.
c. Emosi positif di masa depan Emosi positif masa pan meliputi kepercayaan, keyakinan,
kepastian, optimisme, dan harapan. Optimisme dan harapan memberikan daya tahan
dalam menghadapi depresi ketika situasi buruk melanda, meningkatkan kinerja dalam
bekerja, menjadikan kesehatan fisik yang lebih baik. Selanjutnya, aspek-aspek
kebahagiaan menurut Carr (2004):
1) Aspek Afektif Aspek ini mewakili pikiran positif dan pengalaman emosional
seperti rasa senang, riang, gembaira dan berbagai emosi positif lainnya.
2) Aspek Kognitif Aspek ini mewakili evaluasi kognitif dan kepuasan terhadap
berbagai domain dalam kehidupan individu. 16 Menurut Myers (1995), terdapat
empat aspek kebahagiaan yaitu :
 Menghargai diri sendiri Menghargai diri sendiri adalah kecenderungan individu untuk
menyukai dirinya sendiri dengan menyetujui pernyataan seperti “Saya adalah orang
yang menyenangkan” dan “Saya punya ide bagus”.
 Optimis Optimis adalah kepercayaan untuk berhasil saat melakukan sesuatu yang baru,
sehingga cenderung lebih sukses, sehat, dan bahagia. Individu yang optimis menyetujui
pernyataan seperti “ketika saya melakukan sesuatu yang baru, saya berharap untuk
berhasil”.
3) Terbuka Individu yang tergolong extrovert cenderung lebih terbuka terhadap
orang lain serta lebih mudah bersosialisasi dibandingkan orang-orang yang
tergolong introvert sehingga lebih merasa bahagia.
4) Mampu mengendalikan diri Mengendalikan diri adalah kontrol individu terhadap
diri sendiri sehingga ia lebih mampu memahami kelebihan di dalam diri yang
membuatnya menjadi lebih berdaya. Berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, peneliti menggunakan aspek yang
dijelaskan oleh Seligman (2005) mengenai kebahagian yang ditunjukkan dengan
emosi positif pada masa lalu, emosi positif pada masa sekarang dan emosi positif
pada masa depan. Hal ini di dasarkan pada aspek kebahagiaan yang ditawarkan
oleh Seligman (2005) 17 lebih mudah dipahami dan lebih sesuai dengan fokus
pembahasan dalam penelitian ini.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan Menurut Seligman (2005)


ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pada individu, di antaranya:
a. Uang Penilaian individu terhadap uang dapat mempengaruhi kebahagiaan, lebih
daripada uang itu sendiri. Individu yang menempatkan uang di atas tujuan yang lainnya
cenderung menjadi kurang puas dengan penghasilan dan kehidupannya secara
keseluruhan. Uang memiliki pengaruh yang sedikit terhadap kebahagiaan hidup
seseorang.
b. Pernikahan Pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan, individu yang
menikah cenderung lebih bahagia daripada mereka yang tidak menikah. Kebahagiaan
orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan ini berlaku
baik pada laki-laki maupun perempuan. Individu yang memiliki ‘pernikahan tidak
bahagia’ cenderung memiliki tingkat kebahagian rendah daripada individu yang tidak
menikah atau bercerai.
c. Kehidupan Sosial Individu yang bahagia jauh berbeda dengan individu rata-rata yang
tidak bahagia. Individu yang memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi umumnya
memiliki kehidupaan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak waktu
bersosialisasi. Individu yang bahagia lebih disukai sehingga mempunyai kehidupan sosial
yang lebih luas.
d. Emosi Negatif Kegembiraan tertinggi terkadang datang setelah terlepas dari ketakutan-
ketakutan terburuk, sehingga semakin sedikit emosi negatif pada individu maka akan
ada kemungkinan untuk bahagia.
e. Usia Sebuah studi mengenai kebahagiaan terhadap 60.000 orang dewasa di 40 bangsa
membagi kebahagiaan ke dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek
menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan. Kepuasan hidup yang meningkat
perlahan seiring dengan usia, afek menyenangkan menurun sedikit, dan afek tidak
menyenangkan tetap. Usia memiliki pengaruh yang lebih sedikit terhadap kebahagiaan.
f. Kesehatan Kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah kesehatan
yang dipersepsikan oleh individu (kesehatan subjektif), bukan kesehatan yang
sebenarnya dimiliki (kesehatan objektif). Masalah ringan dalam kesehatan tidak lantas
menyebabkan ketidakbahagiaan, tetapi sakit yang parah yang menyebabkannya.
Individu yang hanya memiliki satu masalah kesehatan kronis menunjukkan peningkatan
kebahagiaan pada tahun berikutnya, sedangkan individu yang memiliki lima atau lebih
masalah kesehatan menunjukkan penurunan kebahagiaan seiring berjalannya waktu.
g. Agama Individu yang religius lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupannya
dibandingkan individu yang tidak religius. Agama mengisi manusia dengan harapan akan
masa depan dan mencipatakan makna dalam hidup. Selain itu, keterlibatan dalam
agama juga dikaitkan dengan gaya hidup sehat secara fisik dan psikologis yang ditandai
dengan kesetiaan dan perilaku altruistik prososial di mana salah satu bentuk perilaku
altirustik prososial adalah pemaafan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Carr (2011) menemukan faktorfaktor yang
mempengaruhi kebahagiaan, yaitu:
a. Kepribadian Individu yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil
kepribadian yang khas. Budaya Barat menunjukkan bahwa individu
yang bahagia mempunyai sifat stabil, teliti, menyenangkan, optimis,
memiliki harga diri yang tinggi, dan locus of control internal.
Sebaliknya, individu yang tidak bahagia cenderung memiliki tingkat
neurotisisme tinggi, introvert, dan menunjukkan tingkat kesungguhan
dan kesetujuan yang lebih rendah. Menariknya, hubungan antara ciri-
ciri kepribadian dengan kebahagiaan tidak universal di semua budaya.
Genetik dan lingkungan mempengaruhi sifat kepribadian. Anak
dengan tingkat aktivitas yang tinggi dan pengaruh positif menjadi
ekstravert sehingga jadi lebih mungkin untuk bahagia sedangkan anak
yang mudah marah, penakut,menunjukkan tingkat neurotika yang
tinggi di kemudian hari dan lebih mungkin untuk menunjukkan
efektivitas negatif.
b. Lokasi geografis dan lingkungan fisik Lingkungan fisik yang lebih
menyenangkan secara moderat diasosiasikan dengan kebahagiaan,
perasaan positif semakin kuat bila berada di lingkungan yang alami
daripada buatan. Cuaca yang baik menginduksi suasana hati yang
positif. Namun, orang beradaptasi dengan kondisi cuaca yang tidak
menguntungkan, sehingga tidak ada korelasi antara iklim dan
peringkat kebahagiaan.
c. Budaya dan politik Sebuah penelitian melibatkan ratusan ribu
responden dari 90 negara, menunjukkan bahwa faktor budaya dan
sosial politik memainkan peran penting dalam menentukan
kebahagiaan. Individu yang tinggal di lingkungan demokrasi yang
stabil dan makmur tanpa penindasan politik dan konflik militer, serta
lingkungan budaya di mana ada kesetaraan sosial menunjukkan
kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di
negara yang sejahtera, di mana institusi umum berjalan dengan baik
serta efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga
dengan anggota birokrasi.
d. Agama dan spiritualitas Individu yang terlibat dalam agama mungkin
lebih bahagia. Sistem kepercayaan agama memungkinkan individu
memahami kesulitan, tekanan dan kerugian yang tak terelakkan yang
terjadi selama siklus 21 hidup dan menjadi optimis tentang akhirat di
mana kesulitan ini akan teratasi. Keterlibatan dalam komunitas
keagamaan memberikan dukungan sosial kepada individu.
Keterlibatan dalam agama juga dikaitkan dengan gaya hidup sehat
secara fisik dan psikologis yang ditandai dengan kesetiaan
perkawinan, perilaku altruistik prososial, tidak berlebihan dalam
makan dan minum, serta bekerja keras.
e. Peristiwa kehidupan Peristiwa hidup yang positif dan negatif memiliki
efek jangka pendek pada kebahagiaan, tetapi dalam banyak kasus ini
tidak bertahan lama. Individu orang dapat beradaptasi dengan
peristiwa kehidupan negatif yang signifikan menunjukkan
kebahagiaan yang lebih baik. f. Kekayaan Tingkat kebahagiaan relatif
di sejumlah negara yang berbeda dapat dilihat bersama dengan
kekayaan relatif mereka. Individu yang tinggal di negara maju dan
sangat kaya secara konsisten menjadi sedikit lebih bahagia dibanding
individu dengan upah rata-rata. Secara ekonomi, individu yang tinggal
di negara maju dan menilai bahwa menghasilkan uang merupakan
tujuan utama dari tujuan lain merasa kurang bahagia dengan standar
hidupnya.
f. Kesehatan Penilaian subjektif individu dalam memandang kesehatan
pribadi berkorelasi dengan kebahagiaan. Emosi positif memungkinkan
kita untuk meningkatkan toleransi kita terhadap rasa sakit. Individu
yang 22 mampu beradaptasi dengan masalah kesehatan relatif cepat
mengembangkan persepsi diri tentang kesehatan secara konsisten
dapat meningkatkan kebahagiaan. Semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat mempengaruhi kesehatan
melalui dampak pada sistem kekebalan tubuh, sistem kekebalan
tubuh individu yang bahagia bekerja lebih efektif daripada individu
yang tidak bahagia.
g. Pernikahan Individu yang menikah lebih bahagia daripada yang tidak,
apakah karena bercerai, atau tidak pernah menikah. Individu yang
lebih tidak bahagia adalah individu yang terjebak dalam pernikahan
yang kurang membahagiakan. Tingkat kebahagiaan antara wanita
menikah dan yang belum menikah sama dengan pria. Individu yang
bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada yang tidak bahagia.
Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang, di antaranya keintiman psikologis dan
fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menguatkan identitas
serta menjalani peran sebagai pasangan dan orang tua.
h. Kekerabatan Hubungan yang mendukung antara orang tua dan anak,
antara saudara kandung, dan di antara anggota keluarga besar
meningkatkan dukungan sosial serta kebahagiaan. Mempertahankan
hubungan dengan anggota keluarga tidak hanya membawa
kebahagiaan tetapi juga meningkatkan fungsi sistem kekebalan
tubuh.
i. Persahabatan dan pertemanan Mempertahankan beberapa
hubungan pertemanan berkorelasi dengan kebahagiaan. Hubungan
pertemanan yang erat memenuhi kebutuhan individu untuk
berafiliasi dan membuat individu merasa bahagia dan puas.
Pertemanan yang erat juga memberikan dukungan sosial pada diri
individu.
j. Olahraga Olahraga dalam waktu berjangka menginduksi keadaan
mood positif sedangkan olahraga yang rutin mengarah pada
kebahagiaan yang lebih tinggi. Efek jangka pendek dari olahraga
mengarah pada pelepasan endorfin, yang diproduksi di otak
sedangkan efek jangka panjangnya dapat mengurangi depresi,
kecemasan, meningkatkan kecepatan, keakuratan kerja,
meningkatkan konsep diri, meningkatkan kebugaran yang mengarah
pada fungsi kardiovaskular yang lebih baik. Olahraga teratur juga
memperlambat atau mencegah penambahan berat badan serta
penuaan, mengurangi risiko penyakit jantung dan kanker.

B. Forgiveness
1. Pengertian Forgiveness
Forgiveness menurut McCullough dkk (1997) merupakan seperangkat motivasi untuk
mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk
memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk
konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Snyder (2003) mengemukakan definisi
pemaafan (forgiveness) sebagai penyusunan terhadap sebuah peristiwa pelanggaran yang
dialami, di mana individu dihadapkan pada pelaku pelanggaran, peristiwa pelanggaran, dan
akibat dari pelanggaran tersebut, sehingga terjadi transformasi terhadap efek negatif menjadi
netral atau positif.
Thompson (Lopez & Snyder, 2003) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan proses
intrapersonal yang diarahkan pada diri sendiri, situasi dan orang lain serta mampu
menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian rupa hingga respon seseorang
terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari pelanggaran tersebut diubah dari negatif menjadi
netral atau positif. Bannan, Davis dan Biswas-Diener (2016) menyebutkan bahwa pemaafaan
adalah keputusan altruistik yang melepaskan pikiran pembalasan, penghindaran, dan rasa
bersalah dengan mengganti perasaan marah, pengkhianatan, ketakutan, dan sakit hati dengan
emosi prososial. Nashori (2014) mendefinisikan pemaafan dengan kesediaan untuk
meninggalkan hal-hal tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal
dengan menumbuhkan dan mengembangkan perasaan, pikiran dan hubungan yang lebih positif
dengan orang yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Berdasarkan penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pemaafan adalah proses
intrapersonal pada diri sendiri, situasi dan orang lain serta mampu mengubah peristiwa buruk
yang dirasakan dari negatif menjadi bersifat netral atau positif menurut teori Thompson (Lopez
& Snyder, 2003).
2. Aspek-aspek Forgiveness
Menurut Thompson (Lopez & Snyder, 2003), dimensi pemaafan mengandung 3 aspek,
yaitu:
a. Forgiveness pada diri sendiri Tindakan individu merilis perasaan dalam dirinya untuk
menerima suatu kesalahan. Tindakan ini merupakan bagaimana seseorang melihat
dirinya (self view) misalkan ketika diliputi perasaan bersalah.
b. Forgiveness pada orang lain Suatu tindakan individu untuk memaafkan orang lain yang
telah melakukan kesalahan terhadap dirinya. Sebagai contoh, seseorang tentu saja
memiliki keinginan untuk menghukum, membenci atau mengeluarkan perasaan negatif
terhadap orang yang berbuat kesalahan 28 padanya namun individu tersebut lebih
memilih untuk memaafkan.
c. Forgiveness pada situasi Memaafkan situasi yang menyebabkan munculnya perasaan
negatif dalam diri individu misalkan bencana, meninggalnya orang tua dan lain lain.
Selanjutnya, dimensi pemaafan berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Nashori (2012),
yaitu:
a) Dimensi Emosi Pemaafan Dimensi emosi berhubungan dengan perasaan individu yang
menjadi korban terhadap individu yang menjadi pelaku. Indikator yang berkaitan
dengan dimensi ini, yaitu; meninggalkan perasaan marah, sakit hati serta benci, mampu
mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh pelaku, merasa iba dan
kasih sayang terhadap pelaku, dan merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku.
b) Dimesi Koginisi Pemaafan Dimensi kognisi berkaitan dengan pemikiran individu atas
peristiwa tidak menyenangkan yang dirasakannya. Indikator yang berkaitan dengan ini,
yaitu; Memiliki penjelasan nalar terhadap sikap individu lain yang menyakitinya,
meninggalkan penilaian negatif terhadap individu lain ketika hubungannya dengan
individu lain tidak seperti yang diharapkan, dan memiliki pandangan yang berimbang
terhadap pelaku.
c) Dimensi Interpersonal pemaafan Dimensi interpersonal berkaitan dengan dorongan
perilaku individu untuk memberikan maaf terhadap individu yang menyakitinya.
Ketuntasan dalam memaafkan dapat dilihat dari upaya musyawarah antara korban
dengan pihak yanag pernah menjadi pelaku. Korban berupaya agar di masa depan
mempu menciptakan keadaan yang damai. Indikator yang berkaitan dengan dimensi ini,
yaitu; meninggalkan perilaku atau perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku,
meninggalkan perilaku acuh tak acuh, meninggalkan keinginan balas dendam,
meninggalkan perilaku menghindar, meningkatkan upaya konsiliasi dengan pihak yang
menyakiti
Sedangkan menurut McCullough,dkk (1998), terdapat 3 aspek pemaafan, yaitu:
1. Motivasi menghindar Semakin menurun motivasi untuk menghindari pelaku, membuat
individu membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang
telah menyakitinya.
2. Motivasi membalas dendam Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam,
membuat individu membuang keinginan untuk melakukan tindakan balas dendam
terhadap orang yang telah menyakiti.
3. Motivasi berdamai Semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai
dengan pelaku meskipun pelanggaranya termasuk tindakan berbahaya, keinginan unuk
berdamai atau melihat kebahagiaan orang yang menyakitinya.
Berdasarkan aspek-aspek pemaafan yang telah diutarakan oleh para ahli tersebut,
penulis menggunakan aspek pemaafan yang ditawarkan oleh teori Thompson (Lopez & Snyder,
2003) yaitu pemaafan pada diri sendiri, pemaafan pada orang lain dan pemaafan pada situasi
untuk menilai pemaafan disposisional seseoraang. Hal ini dikarenakan aspek pemaafan tersebut
lebih mudah dipahami serta lebih komprehensif dalam ruang lingkupnya. Oleh karena itu,
peneliti membahas penelitian ini menggunakan aspek dari Thompson (Lopez & Snyder, 2003).
C. Hubungan antara forgiveness dengan Kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan salah satu dimensi yang signifikan dari pengalaman dan
kehidupan emosional manusia (Lyubomirsky, 2007). Tentu hal ini menjadi penting bagi setiap
orang terlebih pada remaja. Seligman (2005) menyebutkan bahwa kebahagiaan umumnya
mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang disukai oleh
individu. Remaja yang bahagia tentu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain,
mampu mengontrol emosi serta memiliki penyesuaian sosial. Lazarus (Raharjo, 2007)
mengatakan bahwa kebahagiaan mewakili bentuk interaksi manusia dengan lingkungan. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia saling berhubungan satu sama lain untuk dapat bahagia.
Banyak cara dilakukan agar seseorang dapat bahagia salah satu caranya dengan
memaafkan. Rana, Hariharan, Nadinee dan Vincent (2014) menyebutkan bahwa pemaafan
terbukti memiliki hubungan yang positif dengan kebahagiaan pada remaja, perilaku memaafkan
membantu individu untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain. Memberikan maaf bisa
menjadi salah satu kunci tercapainya kebahagiaan karena dengan memberikan maaf seseorang
dapat menghapus luka-luka yang dirasakan. Karremans, dkk (2003) menunjukkan bahwa
pemaafan dapat menjadikan seseorang lebih bahagia karena dapat membebaskan emosi
negatif dalam dirinya. Individu yang memaafkan dapat melewati proses adaptif dalam
memperbaiki hubungan dengan memulihkan perasaan positif antara korban dan pelanggar,
menawarkan kedamaian batin dari kedua pihak serta meningkatkan kebahagiaan diri (Brannan,
Davis, dan Biswas-Diener, 2016).
Pemaafan memiliki beberapa komponen yang dapat memberikan gambaran bagaimana
pemaafan dapat mempengaruhi kebahagiaan. Komponen-komponen ini dijelaskan oleh
Thompson (Snyder & Lopez, 2003) yang terdiri dari tiga komponen yaitu pemaafan pada diri
sendiri, pemaafan pada orang lain, dan pemaafan pada situasi.
Pertama, pemaafan pada diri sendiri yaitu keadaan di mana remaja mampu melepaskan
dirinya dari perasaan bersalah yang dirasakannya. Macaskill, Maltby dan Day (2002)
menyebutkan bahwa remaja cenderung memberikan penilaian yang tinggi pada dirinya sendiri
daripada orang lain yang membuat remaja cenderung lebih bisa memaafkan situasi negatif
daripada memaafkan diri sendiri. Afif (Hidayati & Habibi, 2017) menjelaskan bahwa dalam
proses pemaafan akan selalu ada proses tawarmenawar yang berat di dalam diri. Perasaan
bingung berlebihan memperlihatkan kesulitan remaja dalam memaafkan, yang secara logis juga
menunjukkan bahwa remaja kurang mampu memaafkan dirinya sendiri. Memaafkan pada diri
sendiri artinya remaja mampu menerima segala kelebihan dan kekurangannya di masa lalu,
sehingga mampu melakukan pendekatan yang kreatif untuk melakukan perubahan ke depan
yang menyebabkan perasaan tenteraman pada diri (Umayah, 2013).
Kedua, pemaafan pada orang lain. Pemaafan pada orang merupakan seperangkat
motivasi untuk tidak menjauhi, mengubah seseorang untuk tidak melakukan balas dendam dan
meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta
meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti (McCullough,
Rachal, Sandage, Everett, Wortington, Brown, dan Hight, 1998). Remaja yang mampu
memaafkan dapat meningkatkan emosi positif serta meredakan emosi negatif yang dimilikinya
sehingga memunculkan rasa kebajikan dan niat baik di dalam diri (Chan, 2013). Remaja seperti
ini,
meskipun telah menjadi korban, ia dapat bertindak tidak seperti situasi awal yang marah
dan sakit hati tetapi lebih memilih untuk berlaku baik pada yang telah menyakitinya (Bono dkk,
2008). Remaja yang memaafkan pelaku kesalahan, cenderung memiliki tingkat kebahagiaan
yang lebih tinggi, sedangkan remaja yang cenderung membalas dendam atau menghindari,
cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah (Brannan, Davis, & Biswar-Diener,
2016).
Remaja yang memaafkan memiliki efek positif jangka panjang dalam kehidupannya
karena memaafkan dapat menurunkan tekanan darah, terjauhkan dari stress, serta
meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis (Toussaint, Shield, Slavich, 2016). Penurunan
tingkat stress ini terkait dengan neuroendokrin yang reaktif saat orang berpikir tentang
pelanggaran yang dialaminya (Bono & McCullough, 2006). Worthington dan Scherer (2004)
menyatakan bahwa pemaafan merupakan strategi emotion focused coping untuk meredakan
stres, mendapat kesehatan yang lebih baik, dukungan sosial, serta kualitas hubungan dan
agama. Perilaku memaafkan dapat digunakan oleh remaja untuk bisa melepaskan semua beban
penderitaan seperti stres, menyimpan dendam, beban pikiran dan perasaan sakit. Dampak
positif lain pada remaja yang memaafkan adalah peningkatan berpikir optimis, meningkatkan
efikasi diri, mendapatkan dukungan dan emosional sehingga individu akan merasa lebih
bahagia (Bono & McCullough, 2006).
Ketiga, pemaafan terhadap situasi. Situasi yang dimaksudkan adalah situasi yang di luar
kendali siapapun seperti kematian keluarga, orang tua, kecelakaan, bencana alam dan lain-lain.
Thompson dkk (Snyder & Lopez, 2007) menyebutkan bahwa adanya situasi buruk seperti
kematian, kecelakaan dan bencana alam membuat remaja merasa marah, kesal, sedih, kecewa
namun tidak berdaya untuk melawan sehingga solusinya hanya dengan memaafkan. Thompson
dkk (Snyder & Lopez, 2007) menyebutkan bahwa pemaafan terhadap situasi merupakan
prediktor terbesar kebahagaain bila dibandingkan dengan pemaafan terhadap diri sendiri dan
orang lain. Pemaafan pada remaja secara tidak langsung juga mengembangkan mental yang
sehat pada diri setiap individu (Toussaint & Webb, 2005). Remaja yang mampu bersikap tenang
dan bisa memaafkan dapat meningkatkan kesehatan mental dan kesehatan rohani yang
kemudian menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup. Temuan ini menunjukkan pentingnya
menambahkan pemaafan dan kebahagiaan sebagai bagian dari nilai pendidikan moral selama
masa remaja (Rana, Hariharan, Nadinee & Vincent, 2014).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi adanya pemaafan pada diri remaja
membuat dirinya dapat berpikir dan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, orang lain
maupun pada situasi yang menimpanya. Sikap pemaaf pada remaja membuat dirinya menjadi
lebih mudah dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di dalam kehidupannya sehingga
dapat disimpulkan pemaafan mampu meningkatkan emosi positif dan 35 menurunkan emosi
negatif sehingga hidup menjadi lebih tenang, tenteram, bahagia, sejahtera, karena tidak ada
lagi rasa curiga, dendam dan rasa permusuhan.
c. Kesulitan belajar
Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Learning
Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan kesulitan” untuk
memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain
learning disabilities adalah learning difficulties dan learning differences. Ketiga istilah tersebut
memiliki nuansa pengertian yang berbeda. Di satu pihak, penggunaan istilah learning
differences lebih bernada positif, namun di pihak lain istilah learning disabilities lebih
menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk menghindari bias dan perbedaan rujukan, maka
digunakan istilah Kesulitan Belajar. Kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar , istilah
kata yakni disfungsi otak minimal ada yang lain lagi istilahnya yakni gannguan neurologist.
Defenisi yang dikutip dari Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985): Kesulitan belajar
khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan , berpikir , berbicara, membaca,
menulis, mengeja , atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti
gannguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut
tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal
dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena
tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau
ekonomi. Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan yang
nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan/atau
dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya
disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain
(misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan
(misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan
eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi
faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah ada.
ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning Disabilities) dalam
Lovitt, (1989) mengatakan bahwa kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang
diduga bersumber dari masalah neurologis, yang mengganggu perkembangan kemampuan
mengintegrasikan dan kemampuan bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar
memiliki inteligensi tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan
untuk belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem sensoris. Sedangkan NJCLD (National
Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Lerner, (2000) berpendapat bahwa kesulitan
belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis

Kesulitan Belajar
kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi ini
bukan karena kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan,
melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat mempersepsi dan
melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang diinderainya. Kesulitan belajar adalah
kondisi dimana anak dengan kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun
memiliki ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan
dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian,
penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003).
Berdasarkan pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi
yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan belajar
spesifik (spesific learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah
emosional. Kelompok anak dengan Learning Dissability (LD) dicirikan dengan adanya gangguan-
gangguan tertentu yang menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan
tersebut adalah gangguan latar-figure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran,
intersensory, berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan
konsep diri.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan
beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena
faktor internal individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal otak. Kesulitan belajar bukan
disebabkan oleh faktor eksternal berupa lingkungan, sosial, budaya, fasilitas belajar, dan lain-
lain. Tidak seperti cacat fisik, kesulitan belajar tidak terlihat dengan jelas dan sering disebut
“hidden handicap”. Terkadang kesulitan ini tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya
anak yang mengalami kesulitan belajar sering diidentifikasi sebagai anak yang underachiever,
pemalas, atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami perasaan frustrasi, marah, depresi,
cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, 2001).

FAKTOR PENYEBAB KESULITAN BELAJAR


Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada literatur dan hasil riset
(Harwell, 2001), yaitu :
1. Faktor keturunan/bawaan
2. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau premature
3. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu yang
merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau meminum alkohol selama masa kehamilan.
4. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi, trauma kepala, atau pernah
tenggelam.
5. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita. Anak dengan kesulitan belajar
biasanya mempunyai sistem imun yang lemah.
6. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium, arsenik,
merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun-tahun awal kelahiran sampai
umur 4 tahun adalah masa-masa kritis yang penting terhadap pembelajaran ke depannya.
Stimulasi pada masa bayi dan kondisi budaya juga mempengaruhi belajar anak. Pada masa awal
kelahiran samapi usia 3 tahun misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar
lagu, berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa kondisi, interaksi ini
kurang dilakuan, yang bisa saja berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak
yang dapat membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001)
Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab kesulitan belajar
sebagai berikut:

1. Faktor Disfungsi Otak


Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika Serikat pada
akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa,
hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology yang
menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer
kiri otak berhubungan dengan kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal;
hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori
termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non verbal. Temuan
Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa anak-anak dengan
kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan kinerja yang lebih baik daripada
kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk
ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa
15% dari anak yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk
& Ghallager, 1986).
2. Faktor Genetik
Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa, yang faktor herediter
menentukan ketidakmampuan dalam membaca, menulis dan mengeja diantara orang-orang
yang didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan oleh Hermann (dalam Kirk & Ghallager,
1986) yang meneliti disleksia pada kembar identik dan kembar tidak identik yang menemukan
bahwa frekwensi disleksia pada kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik
sehingga ia menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah
sesuatu yang diturunkan.
3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi
Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia awal kehidupan
merupakan dua hal yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan
belajar pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan
bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara malnutrisi dan kesulitan belajar,
malnutrisi berat pada usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan
belajar serta berkembang anak.
4. Faktor Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih
menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk &
Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi
hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986)
membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa
alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan
kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada
anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Pada sebagian anak, diet ini berhasil namun ada
juga yang tidak cukup berhasil. Beberapa ahli kemudian menyebutkan bahwa memang ada
beberapa anak yang tidak cocok dengan bahan makanan. Mulyono Abdurrahman mengatakan
bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor
Internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problema
belajar adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru,
pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian
ulangan penguatan.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi faktor neurologis yakni :


1. Faktor genetic
2. Luka pada otak (kekurangan Oksigen)
3. Faktor Biokimia
4. Pencemaran Lingkungan
5. Gizi yang tidak memadai (Nutrisi)
6. Pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan anak.

KARAKTERISTIK KESULITAN BELAJAR


Mencermati definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki
beberapa karakteristik utama, yaitu:

1. Gangguan Internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak
itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan
perseptualnya terhambat. Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi
visual (proses pemahaman terhadap objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman
terhadap objek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemahaman terhadap
objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal tersebut menjadi penyebab kesulitan
belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti faktor lingkungan keluarga,
budaya, fasilitas, dan lain-lain.
2. Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi
Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa
diantaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi
akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara
potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan
belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis
(disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).
3. Tidak Adanya Gangguan Fisik dan/atau Mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau
mental. Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut ini:
a. Tunagrahita (Mental Retardation)
Anak tunagrahita memiliki inteligensi antara 50-70. Kondisi tersebut menghambat
prestasi akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.
b. Lamban Belajar (Slow Learner)
Slow learner adalah anak yang memiliki keterbatasan potensi kecerdasan, sehingga proses
belajarnya menjadi lamban. Tingkat kecerdasan mereka sedikit dibawah rata- rata dengan IQ
antara 80-90. Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran. Slow learner
disebut anak border line (“ambang batas”), yaitu berada di antara kategori kecerdasan rata-rata
dan kategori mental retardation (tunagrahita)
c. Problem Belajar (Learning Problem)
Anak dengan problem belajar (bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami
hambatan belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi lingkungan
keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat
temporer/sementara dan mempengaruhi prestasi belajar. Menurut Valett (dalam Sukadji,
2000) terdapat tujuh karakteristik yang ditemui pada anak dengan kesulitan belajar. Kesulitan
belajar disini diartikan sebagai hambatan dalam belajar, bukan kesulitan belajar khusus.

1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali


Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-ulang. Tampaknya
memantapkan harapan untuk gagal sehingga melemahkan usaha.
2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang
terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik
awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak adanya reinforcement.
Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung merendahkan mutu tindakan, mengurangi minat
untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan
lain.
4. Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang
akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap
kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan,
ketidaknyamanan, dan semacam keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk
melamun atau tidak memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak jarang
perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena naik
turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran. Ketidakstabilan dan perubahan yang
tidak dapat diduga ini lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang anak berdasarkan
informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang lengkap seorang anak digolongkan
keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan
anak yang keterbelakangan mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman belajarnya tidak
mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan itu
sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-
kadang pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar

KLASIFIKASI KESULITAN BELAJAR

1. Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)


Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi:
a. Gangguan Perkembangan Motorik (Gerak)
Gangguan pada kemampuan melakukan gerak dan koordinasi alat gerak. Bentuk-bentuk
gangguan perkembangan motorik meliputi; motorik kasar (gerakan melimpah, gerakan
canggung), motorik halus (gerakan jari jemari), penghayatan tubuh, pemahaman keruangan
dan lateralisasi (arah).
b. Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)
Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan
tersebut mencakup pada proses penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan
pengecap.
c. Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yangdiinderai)
Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari proses penginderaan
sehingga menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:

 Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek yang


didengarkan.
 Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang dilihat.
 Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami objek yang
bergerak atau digerakkan. Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan
pendek.
 Gangguan dalam Pemahaman Konsep.
 Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang.
d. Gangguan pada kemampuan menata dan mengendalikan diri yang bersifat internal dari
dalam diri anak. Gangguan tersebut meliputi:
 ADD (Attention Deficit Disorder) atau gangguan perhatian
 ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan perhatian yang
disertai hiperaktivitas
2. Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan Belajar akademik terdiri atas:
a. Disleksia atau Kesulitan Membaca
Disleksia atau kesulitan membaca adalah kesulitan untuk memaknai simbol, huruf, dan angka
melalui persepsi visual dan auditoris. Hal ini akan berdampak pada kemampuan membaca
pemahaman. Adapun bentuk-bentuk kesulitan membaca di antaranya berupa:

 Penambahan (Addition) Menambahkan huruf pada suku kata


Contoh : suruh à disuruh; gula à gulka; buku à bukuku

 Penghilangan (Omission) Menghilangkan huruf pada suku kata


Contoh : kelapa à lapa; kompor à kopor; kelas à kela

 Pembalikan kiri-kanan (Inversion)


Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik kiri-kanan.

 Pembalikan atas-bawah (ReversalI)


Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas-bawah.

 Penggantian (Substitusi) Mengganti huruf atau angka.

b. Disgrafia atau Kesulitan Menulis


Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol simbol bunyi menjadi
simbol huruf atau angka. Kesulitan menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap aktivitas
menulis, yaitu:

 Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau
tulisan dari suku kata/kata. Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain
(1) Decoding atau kemampuan menguraikan kode/simbol visual; (2) Ingatan auditoris
dan visual atau ingatan atas objek kode/simbol yang sudah diurai tadi; untuk (3)
Divisualisasikan dalam bentuk tulisan.
 Menulis Permulaan (Menulis cetak dan Menulis sambung) yaitu aktivitas membuat
gambar simbol tertulis.
Sebagian anak berkesulitan belajar umumnya lebih mudah menuliskan-huruf- cetak yang
terpisah-pisah daripada menulis-huruf-sambung. Tampaknya, rentang perhatian yang pendek
menyulitkan mereka saat menulis-huruf-sambung. Dalam menulis-huruf-cetak, rentang
perhatian yang dibutuhkan mereka relatif pendek, karena mereka menulis “per huruf”.
Sedangkan saat menulis huruf-sambung rentang perhatian yang dibutuhkan relatif lebih
panjang, karena mereka menulis “per kata”.
Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain:

1. Ketidakkonsistenan bentuk/ ukuran/proporsi huruf


2. Ketiadaan jarak tulisan antar-kata
3. Ketidakjelasan bentuk huruf
4. Ketidakkonsistenan posisi huruf pada garis

Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga terjadi pada kesulitan membaca,
seperti:
1) penambahan huruf/suku kata
2) penghilangan huruf/suku kata
3) pembalikan huruf ke kanan-kiri
4) pembalikan huruf ke atas-bawah
5) penggantian huruf/suku kata
c. Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi merupakan aktivitas menulis yang bertujuan
mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk tulisan. Aktivitas ini membutuhkan (1)
kemampuan berbahasa ujaran; (2) membaca; (3)mengeja; (4) menulis permulaan. Diskalkulia
c. atau Kesulitan Berhitung
Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir,
mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah.
Kemampuan berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar
sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut
tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat,
kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan
pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian
dan pembagian.
1. Developmental Learning Disabilities
a. Perhatian (attention disorder).
Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak
ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat mempertahankan perhatian yang
cukup lama untuk belajar dan tidak dapat mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu
hal.
b. Memory Disorder
Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah dilihat atau
didengar ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat memiliki kesulitan dalam
me-recall kata-kata yang ditampilkan secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan
masalah pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa lisannya.
c. Gangguan persepsi visual dan motorik
Anak-anak dengan gangguan persepsi visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu
lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual yang lain. mereka tidak dapat
menangkap arti dari sebuah gambar atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya.
Contohnya seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat mengenali
teman sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat orang ybs berbicara atau menyebutkan
namanya. Pada anak dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami
orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi spasial serta pembelajaran
secara motorik.
d. Thinking disorder
Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah
pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat dengan gangguan
dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap 237 siswa dengan gangguan
dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan
yang normal dalam tes visual dan motorik namun berada di bawah rata-rata pada tes persepsi
auditori, ekspresi verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.
e. Language Disorder
Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak pra-sekolah. Biasanya
anak-anak ini tidak berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan
verbal.
2. Academic Learning Disabilities
Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses belajar yaitu dalam
membaca, mengeja, menulis, atau menghitung. Ketidakmampuan ini muncul pada saat anak
menampilkan kinerja di bawah potensi akademik mereka.
ASSESMEN FORMAL DAN IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR
Identifikasi dalam hal ini merupakan proses untuk menemuk dan mengenali individu agar
diperoleh informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Untuk mengantisipasi
kekeliruan dalam klasifikasi dan agar dapat diberikan layanan pendidikan pada anak
berkesulitan belajar. Melalui identifikasi akan diperoleh informasi tentang klasifikasi kesulitan
belajar yang dialami anak. Dari klasifikasi tersebut dapat disusun perencanaan program dan
tindakan pembelajaran yang sesuai. Pada umumnya karakteristik peserta didik dapat dikenali
setelah 3 bulan pertama setelah mengikuti pembelajaran di kelas.
Harwell (2001) mengungkapkan bahwa sebaiknya assesmen dan identifikasi siswa
berkesulitan belajar dilakukan oleh team yang terdiri dari berabagi disiplin ilmu, yaitu :
1. Psikolog sekolah: memperoleh informasi tentang kondisi keluarga, sosial, dan budaya,
mengukur inteligensi dan perilaku melalui alat ukur yang terstandar, dan memperoleh
gambaran tentang kelebihan dan kekurangan siswa.
2. Guru kelas dan orang tua: memberi informasi tentang perkembangan anak,
keterampilan yang telah diperoleh anak, motivasinya, rentang perhatiannya,
penerimaan sosial, dan penyesuaian emosional, yang dapat diperoleh dengan mengisi
rating scale tentang perilaku anak.
3. Ahli pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus: melakukan penilaian akademik
dengan menggunakan berbagai tes individual, mengobservasi siswa dalam situasi
belajar dan bermain, melihat hasil pekerjaan siswa, dan mendiskusikan performa siswa
denga guru dan orangtua.
4. Perawat sekolah : memperoleh data perkembangan kesehatan siswa. Perawat bisa
meminta siswa untuk menunjukkan aktivitas motorik sederhana, melakukan tes
pendengaran dan penglihatan siswa, dan jika ada masalah kesehatan, perawat bisa
mendiskusikannya ke dokter.
5. Administrator sekolah: memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait dan menyediakan
dana. Dan terkadang juga melibatkan pihak lain seperti guru olahraga, terapis wicara,
terapis okupasi, pekerja sosial, atau dokter anak.

Ada beberapa aspek penilaian yang harus dilakukan dalam assesmen, yaitu:
1) Intelectual assesment. Penilaian kemampuan intelektual ini meliputi beberapa hal, yaitu
(1) IQ yang bisa diukur dengan tes inteligensi terstandar;(2) Peserpsi visual untuk
melihat interpretasi otak terhadap apa yang dilihatnya, dapat diketahui dengan tes
Visual Motor Integration (VMI) untuk anak usia 3-18 tahun atau The Bender Visual
Motor Gestalt Test untuk usia 4-11 tahun; (4) Persepsi Auditori untuk melihat
kemampuan proses menerima informasi melalui stimulus auditori yang bisa dilakukan
melalui observasi kelas atau tes-tes auditori; (5) Ingatan untuk melihat kemampuan
anak dalam mengingat informasi yang diterimanya, bisa diketahui melalui subtes digit
span WISC atau tes lainnya.
2) Academic assesment. Penilaian ini dilakukan untuk menilai kemampuan
membaca/mengeja, menulis, dan berhitung yang dapat dilihat melalui test terstandar,
observasi kelas dan saat bermain atau hasil kerjanya sehari-hari.
3) Language assessment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan bahasa
anak yang meliputi pengetahuan terhadap arti kata, pengetahuan untuk meletakkan
kata dalam kalimat, dan kemampuan memanipulasi kata sehingga memiliki arti yang
bermakna. Penilaian dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah sebagai
berikut :

a. Melihat hasil kerja anak dan bagaimana ia merespon huruf, kata, dan kalimat.
b. Bahasa yang diucapkan, seberapa banyak kosa katanya, apakah kata yang dipilihnya
sesuai atau tidak.
c. Mendengar, apakah anak dapat mendengar dan mengikuti pembicaraan.
d. Observasi percakapannya dengan teman-teman sebayanya, dengan yang lebih muda,
dengan yang lebih tua. Apakah Ia bisa menyesuaikan bahasa yang tepat.

4) Health assesment. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui riwayat kesehatan siswa.
5) Behavior assesment. Penilaian perilaku ini dilakukan untuk melihat dampak perilaku
anak terhadap keberhasilannya di sekolah., yang dapat dilakukan melalui observasi,
wawancara dengan orangtua dan guru, penggunaan rating scale, penggunaan inventori
keprbadian, dan tes proyektif. Ketika menilai perilaku siswa, ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu:
 Kemampuan komunikasi siswa
 Pengetahuan mereka akan komunitasnya
 Kemampuan untuk mengarahkan diri (self directing)
 Kesadaran akan kesehatan dan keselamatan · Kemampuan untuk menjaga diri
sendiri
 Perkembangan kemampuan social
 Kebiasaan kerja dan kesadaran akan pekerjaannnya
 Penggunaan waktu luang

PENANGAN KESULITAN BELAJAR


Penangan yang diberikan pada kasus anak dengan kesulitan belajar tergantung pda hasil
pemeriksaan yang komprehensif dari tim kerja. Penanganan yang diberikan pada anak dengan
kesulitan belajar meliputi :
A. Penatalaksana dibidang Medis
a. Terapi Obat
Pengobatan yang diberikan adalah sesuai dengan gangguan fisik atau psikiatrik yang
diderita oleh anak, misalnya:

 Berbagai kondisi depresi dapat diberikan dengan obat golongan antidepresan


 GPPH diberikan obat golongan psikostimulansia, misalnya Ritalin,dll

b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang sering diberikan adalah modifikasi perilaku. Dalam halini anak akan
mendapatkan penghargaan langsung jika dia dapat memenuhi suatu tugas atau tanggung
jawab atau perilaku positif tertentu. Di lain pihak, ia akan mendapatkan peringatan jika jika
ia memperlihatkan perilaku negative. Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung
ini maka diharapkan anak dapat mengontrol perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di
sekolah maupun di rumah.

c. Psikoterapi Suportif
Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk memberi pengertian dan
pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga dapat menimbulkan motivasi yang
konsisten dalam usaha untuk memerangi kesulitan ini.

d. Pendekatan Psikososial Lainnya


 Psikoedukasi orang tua dan guru
 Pelatihan keterampilan social bagi anak
· Pelatihan keterampilan social bagi anak

B. Penatalaksana di bidang Pendidikan


Dalam hal ini terapi yang paling efektif adalah terapi remedial, yaitu bimbingan langsung oleh
guru yang terlatih dalam mengatasi kesulitan belajar anak. Guru remedial ini akan menyusun
suatu metoda pengajaran yang sesuai bagi setiap anak. Mereka juga melatih anak untuk dapat
belajar baik dengan teknik-teknik pembelajaran tertentu (sesuai dengan jenis kesulitan belajar
yang dihadapi anak) yang sangat bermanfaat bagi anak dengan kesulitan belajar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel
1. Variabel Tergantung : Kebahagiaan
2. Variabel tergantung : kesulitan belajar
3. Variabel Bebas : Forgiveness

B. Definisi Operasional
1. Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah skor yang diperoleh oleh subjek saat mengisi skala kebahagiaan.
Skala ini disusun oleh Ridha (2014) yang mengacu pada teori Seligman (2005) yang terdiri dari
aspek keadaan emosi positif pada masa lalu, emosi positif pada saat ini dan emosi positif pada
masa depan. Skor tinggi yang diperoleh subjek menunjukkan tingginya tingkat kebahagiaan
pada subjek sedangkan skor rendah yang diperoleh subjek menunjukkan rendahnya tingkat
kebahagiaan pada subjek.
2. Forgiveness
Pemaafan adalah skor yang diperoleh oleh subjek saat mengisi skala pemaafan. Skala
pemaafan ini merupakan hasil adaptasi dan modifikasi skala Heartland Forgiveness Scale
menurut Thompson (Lopez & Snyder, 2003) yang terdiri dari aspek pemaafan pada diri sendiri,
pemaafan pada orang lain dan pemaafan pada situasi. Skor tinggi yang diperoleh subjek.
menunjukkan tingginya tingkat pemaafan pada subjek sedangkan skor rendah yang diperoleh
subjek menunjukkan rendahnya tingkat pemaafan pada subjek.

3. Kesulitan belajar

C. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di panti asuhan yang berlokasi di
Malang. Adapun karakteristik subjek adalah sebagai berikut:
1. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan
2. Memiliki rentang usia antara 12-21 tahun (Monks, dkk, 2006)
3. Belum menikah

D.metode pengumpulan data


Metode pengumpulan data menggunakan alat ukur dengan model penelitian kuantitatif.
Data penelitian diperoleh menggunakan alat ukur berupa angket atau kusioner untuk
mengungkap hal yang berkaitan dengan atribut psikologis penelitian. Skala yang digunakan
terdiri dari dua jenis, yaitu skala kebahagiaan dan Forgiveness.
1. Skala Kebahagiaan
Skala yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan merupakan skala yang disusun
oleh Ridha (2014) berdasarkan aspek seligman (2005). Aspek skala ini terdiri dari emosi
positif masa lalu, emosi positif masa sekarang dan emosi positif masa depan. Skala ini
berjumlah 27 item. Skala kebahagiaan ini terdiri dari pernyataan favourable dan
pernyataan unfavourable.
Pernyataan favourable merupakan pernyataan yang mendukung, sedangkan butir
pernyataan unfavourable merupakan pernyataan yang menentang. Pemberian skor
dalam setiap item bergerak dari angka 1 sampai dengan 4. Tipe skala kebahagiaan
memiliki beberapa alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai
(TS), sangat tidak sesuai (STS). Pada item yang bersifat favorable diberikan nilai 4 untuk
jawaban sangat sesuai, nilai 3 untuk jawaban sesuai, nilai 2 untuk jawaban tidak sesuai,
dan nilai 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai. Sedangkan pada item unfavourable,
diberikan nilai 1 untuk jawaban sangat sesuai, nilai 2 untuk jawaban sesuai, nilai 3 untuk
jawaban tidak sesuai, dan nilai 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai. Semakin tinggi skor
yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat kebahagiaan individu. Semakin rendah skor
yang diperoleh, maka semakin rendah tingkat kebahagiaan individu.
2. Skala Forgiveness
Skala yang digunakan untuk mengukur Forgiveness merupakan hasil adaptasi
dan modifikasi Heartland Forgiveness Scale berdasarkan aspek Thompson (Lopez &
Snyder, 2003). Aspek yang diukur adalah Forgiveness pada diri sendiri, Forgiveness
pada orang lain dan pemaafan pada situasi. Skala ini berjumlah 18 item.
Skala Forgiveness ini menggunakan beberapa alternatif jawaban, yaitu sangat
sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Adapun penilaian
setiap alternatif jawaban bergerak dari angka 1 sampai dengan 4. Pada setiap item
favorable nilai 4 diberikan pada jawaban Sangat sesuai, dan nilai 1 diberikan pada
jawaban sangat tidak sesuai. Namun pada setiap item unfavorable nilai 4 diberikan
pada jawaban sangat tidak sesuai dan nilai 1 diberikan pada jawaban sangat sesuai.
Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat pemaafan individu.
Semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin rendah pemaafan individu.

3. Skala kesulitan belajar

1. Validitas
Validitas bermakna sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Tes yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran memiliki
validitas rendah (Azwar, 2012). Prasetyo dan Jannah (2005) menyatakan bahwa validitas
merupakan suatu hal yang sulit untuk dicapai karena adanya ketidakseimbangan antara
konsep yang ingin diukur dengan indikator. Dalam penelitian ini untuk menilai validitas alat
ukur, peneliti melakukan pengecekan tata bahasa menggunakan format yang disesuaikan
dengan bahasa sehari-hari, membuat blue print, melaksanakan tryout, melakukan
perbandingan jawaban untuk melihat perbedaan pada masing-masing usia, jenis kelamin
dan tingkat pendidikan. Adanya langkah-langkah penelitian validitas isi di atas maka dapat
dikatakan validitas alat ukur penelitian ini dinyatakan cukup baik.
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan pengukuran yang bila dilakukan beberapa kali pengambilan data
pada subjek yang sama memperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2012). Hasil tes yang
tidak reliabel menjadikan tes tersebut kurang baik karena tidak mempertimbangkan faktor
luar yang mengganggu (Setyosari, 2010). Reliabilitas dalam penelitian ini akan dihitung
menggunakan koefisien Cronbach Alpha yang mana angkanya bergerak dari rentang 0
sampai 1. Pada penelitian ini skala dikatakan reliabel apabila cronbach alpha berada di atas
atau sama dengan 0.7 (Cronbach alpha ˃ 0,7). Reliabilitas pada penelitian ini akan dihitung
dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Packagefor Social Science) version
23 for windows.
F. Metode Analisis
Data Data penelitian ini akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan software
SPSS (Statistical Packkage for Social Science) version 23.0 for windows menggunakan teknik
korelasi Spearman Rho.

Anda mungkin juga menyukai