Oleh:
GARIEL NUIGRAHA
10070215114
Sebelum Revolusi Industri, proses produksi memerlukan waktu yang lama dan tidak
memiliki kepastian yang jelas. Pasar sasaran sering tidak terdefinisi dengan baik,
sehingga barang diproduksi berdasarkan pesanan saja. Namun, setelah Revolusi Industri,
situasi ini berubah secara drastis, meskipun memerlukan investasi modal yang besar
untuk memodernisasi peralatan produksi. Modernisasi teknologi peralatan produksi telah
membawa penurunan biaya dan peningkatan profitabilitas. Perubahan ini tidak hanya
memengaruhi perusahaan besar tetapi juga masyarakat di sekitarnya. Buka industri baru
menarik minat masyarakat untuk beralih dari pertanian ke pekerjaan di industri, memicu
urbanisasi tinggi, dengan banyak orang dari pedesaan beralih menjadi buruh pabrik.
Setiap tahun, ribuan kecelakaan kerja terjadi, mengakibatkan korban jiwa, kerusakan
materi, dan gangguan produksi. Meskipun peraturan tentang kesehatan dan keselamatan
kerja sudah ada (UU No. 1 tahun 1970), manajemen yang kuat dalam penerapan SOP
sangat penting untuk mencegah kecelakaan kerja.
Besarnya kerugian yang timbul dapat bervariasi tergantung pada tingkat frekuensi
dan tingkat keparahan kecelakaan yang terjadi. Oleh karena itu, kecelakaan yang terjadi
selama aktivitas kerja dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses produksi dan
kelangsungan hidup perusahaan. Dengan kata lain, kecelakaan yang menimpa pekerjaan
merupakan faktor penting yang memengaruhi produktivitas kerja.
Tota
Tahu Jumlah kecelakaan Kerja l
n Ju
Jan feb mar Apr May Jun l Aug Sep Oct Nov Dec
2016 3 1 2 2 1 1 0 1 1 1 1 0 14
2017 3 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 0 18
2018 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 5
Dalam penelitian sebelumnya oleh Anggoro (2011), disarankan bahwa perusahaan perlu
menjalankan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan harapan dapat
mengurangi insiden kecelakaan kerja dan penyakit akibat pekerjaan. Dengan demikian,
program ini diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan dan produktivitas para
karyawan. Dalam penelitian terbaru ini, perusahaan yang sedang diteliti tidak
menerapkan program K3, dan akibatnya, terdapat insiden kecelakaan yang berdampak
pada keselamatan karyawan.
Pada penelitian ini, terdapat catatan insiden kecelakaan kerja yang menarik
perhatian. Pada tahun 2016, terdapat 14 insiden kecelakaan, lalu pada tahun 2017,
jumlah insiden meningkat menjadi 18. Namun, terdapat penurunan yang signifikan pada
tahun 2018, dengan hanya 5 insiden kecelakaan. Hal ini disebabkan oleh penerapan
sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dimulai pada tahun 2018. Tujuan
dari penerapan sistem K3 ini adalah untuk mengurangi kecelakaan kerja dan menjaga
keselamatan karyawan, dengan harapan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman
dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja.
Maka dengan adanya penelitian terdahulu penulis mengambil penelitian yang berjudul :
“ANALISA PENERAPAN K3 DENGAN PENDEKATAN FAULT TREE
ANALYSIS MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DI PT GARUT
MAKMUR PERKASA”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Seberapa sering kecelakaan terjadi (frekuensi) dan seberapa parah dampaknya
(severity)?
1. Objek penelitian meliputi bagian produksi serta seluruh peralatan dan mesin
yang digunakan di PT Garut Makmur Perkasa.
2. Pembahasan akan mencakup evaluasi bahaya-bahaya yang dapat disebabkan oleh
faktor manusia, peralatan, dan lingkungan kerja, termasuk kejadian-kejadian
kecelakaan yang terjadi.
3. Data yang akan digunakan adalah data kecelakaan kerja selama tiga tahun, yaitu
dari tahun 2016 hingga 2018.
4. Pengukuran produktivitas akan dilakukan dengan menghitung jumlah jam kerja
yang hilang dibagi oleh jumlah jam kerja total karyawan.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang penjelasan latar belakang masalah yang mencakup gambaran
umum, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah, serta sistematika penulisan.
Bab ini meliputi teori-teori penunjang untuk pembahasan dan pemecahan masalah
yang berhubungan dengan materi yang akan digunakan.
Bab ini menjelaskan tahapan dalam pemecahan masalah secara umum dan disusun
dalam bentuk diagram alir (flowchart) sesuai dengan permasalahan yang ada.
Bab ini meliputi data-data yang diperlukan berkaitan dengan tahapan identifikasi
permasalahan yang ada di PT Garut Makmur Perkasa, dan pengolahan data.
BAB V ANALISIS
Bab ini berisi tentang analisis dan pembahasan masalah pada bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Perencanaan Sistem Produksi: Ini mencakup perencanaan produk, lokasi pabrik, tata
letak pabrik, lingkungan kerja, dan standar produksi. Proses produksi dimulai dari input,
diolah, dan dihasilkan menjadi output. Manajer harus mempertimbangkan berbagai
kebutuhan dan layanan kepada masyarakat. Tujuan utama perusahaan adalah mencapai
tingkat efisiensi optimal dan jumlah produk yang ideal, apa pun sistem yang digunakan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian produksi mencakup apa yang
akan dihasilkan, teknologi yang digunakan, dan lingkungan di sekitar proses produksi.
Jenis dan urutan proses produksi sangat penting karena ini akan memengaruhi tata letak
peralatan produksi dan juga pengendalian keselamatan kerja. Pabrik kimia yang
menggunakan bahan berbahaya dan memiliki teknologi serta proses yang rahasia
cenderung memiliki risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi.
Pengertian kesehatan yang merujuk pada keadaan yang utuh dan mencerminkan
kesejahteraan menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya tentang tidak adanya
penyakit, tetapi juga mencakup aspek fisik, mental, dan sosial yang menyeluruh.
Kesehatan, baik dalam perspektif ilmiah maupun praktis, melibatkan pemahaman
tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan. Lebih
dari itu, kesehatan juga melibatkan upaya untuk mencegah penyakit dan
mempromosikan kesejahteraan, sehingga manusia tidak hanya bebas dari penyakit tetapi
juga menjadi lebih sehat dan sejahtera.
Definisi kesehatan kerja yang diberikan oleh Suma'mur (1986) adalah suatu
cabang ilmu kesehatan dan kedokteran yang berfokus pada upaya memastikan bahwa
pekerja, atau masyarakat pekerja, memperoleh tingkat kesehatan sebaik mungkin. Ini
mencakup aspek fisik dan mental kesehatan, serta kesehatan sosial, yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja. Upaya dalam kesehatan kerja
bertujuan untuk mengurangi risiko penyakit yang terkait dengan pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta memerangi penyakit-penyakit umum yang dapat memengaruhi
kesejahteraan pekerja.
a. Kesehatan Kerja
Menurut Ridley (2004), kesehatan merupakan unsur yang sangat penting untuk
memungkinkan kita menikmati kehidupan yang berkualitas, baik di dalam lingkungan
rumah maupun di tempat kerja. Kesehatan juga memiliki peran kunci dalam menjaga
kelangsungan operasi sebuah organisasi. Tubuh manusia adalah organisme yang sangat
kompleks, terdiri dari berbagai organ yang saling terkait dan diatur oleh kerangka dan
otot-otot yang beragam. Organ-organ yang berbeda ini memiliki ketergantungan satu
sama lain dan berperan khusus dalam menjalankan fungsi tubuh secara efisien sebagai
sebuah kesatuan. Namun, efisiensi setiap organ ini dapat dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi dan zat-zat yang ada di sekitarnya, termasuk di lingkungan kerja dan di rumah
(Ridley, 2004).
Menurut Ridley (2004), zat-zat berbahaya dan berisiko memiliki beberapa jalur
untuk masuk ke dalam tubuh, termasuk melalui asupan makanan yang masuk melalui
mulut dan mencapai usus, pernapasan yang mengarah ke paru-paru, penyerapan melalui
kulit, dan melalui luka terbuka. Tindakan pencegahan sederhana dapat mencegah zat-zat
ini masuk ke dalam tubuh, seperti larangan makan di tempat kerja, menjaga kebersihan
diri, mencuci tangan sebelum makan, melarang merokok di tempat kerja, menggunakan
alat pelindung pernapasan yang sesuai untuk zat-zat tertentu, menyediakan ventilasi
yang baik, pengambilan uap dan debu, penggunaan sarung tangan, membersihkan area
yang terkontaminasi dengan sabun, menggunakan krim pelindung kulit, merawat luka
dan sayatan dengan baik, dan menutupi luka dan sayatan saat bekerja.Menurut Ridley
(2004), kesehatan merupakan unsur yang sangat penting untuk memungkinkan kita
menikmati kehidupan yang berkualitas, baik di dalam lingkungan rumah maupun di
tempat kerja. Kesehatan juga memiliki peran kunci dalam menjaga kelangsungan operasi
sebuah organisasi. Tubuh manusia adalah organisme yang sangat kompleks, terdiri dari
berbagai organ yang saling terkait dan diatur oleh kerangka dan otot-otot yang beragam.
Organ-organ yang berbeda ini memiliki ketergantungan satu sama lain dan berperan
khusus dalam menjalankan fungsi tubuh secara efisien sebagai sebuah kesatuan. Namun,
efisiensi setiap organ ini dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan zat-zat yang ada di
sekitarnya, termasuk di lingkungan kerja dan di rumah (Ridley, 2004).
Menurut Ridley (2004), zat-zat berbahaya dan berisiko memiliki beberapa jalur
untuk masuk ke dalam tubuh, termasuk melalui asupan makanan yang masuk melalui
mulut dan mencapai usus, pernapasan yang mengarah ke paru-paru, penyerapan melalui
kulit, dan melalui luka terbuka. Tindakan pencegahan sederhana dapat mencegah zat-zat
ini masuk ke dalam tubuh, seperti larangan makan di tempat kerja, menjaga kebersihan
diri, mencuci tangan sebelum makan, melarang merokok di tempat kerja, menggunakan
alat pelindung pernapasan yang sesuai untuk zat-zat tertentu, menyediakan ventilasi
yang baik, pengambilan uap dan debu, penggunaan sarung tangan, membersihkan area
yang terkontaminasi dengan sabun, menggunakan krim pelindung kulit, merawat luka
dan sayatan dengan baik, dan menutupi luka dan sayatan saat bekerja.
b. Keselamatan Kerja
c. Sakit
Seseorang dianggap sakit apabila mengalami penyakit kronis atau gangguan
kesehatan lain yang mengganggu aktivitas kerja atau kegiatan sehari-hari. Penting untuk
dicatat bahwa istilah "sakit" dalam konteks ini tidak selalu merujuk pada penyakit serius,
tetapi dapat mencakup masalah kesehatan yang lebih umum seperti pilek atau masuk
angin. Namun, apabila seseorang masih dapat menjalankan aktivitasnya tanpa terlalu
terganggu oleh kondisi kesehatan tersebut, maka ia mungkin tidak dianggap sakit.
Berikut adalah beberapa ciri-ciri yang mungkin menunjukkan bahwa seseorang sedang
sakit:
1. Wajah yang terlihat pucat: Kulit yang pucat atau warna kulit yang tidak biasa
mungkin merupakan tanda bahwa seseorang sedang mengalami gangguan
kesehatan.
2. Tubuhnya lemah (kurang bertenaga): Seseorang yang merasa lemah atau
kehilangan energi biasanya mengalami ketidaknyamanan atau sakit.
3. Penurunan daya konsentrasi: Kondisi kesehatan yang buruk dapat mengganggu
kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi atau fokus, yang bisa mempengaruhi
kinerja dalam pekerjaan atau aktivitas.
4. Menghindari pekerjaan atau aktivitas yang berat: Saat seseorang merasa sakit, ia
mungkin cenderung menghindari pekerjaan atau aktivitas yang membutuhkan
usaha fisik atau mental yang lebih besar.
5. Bersikap tidak biasa: Ketika seseorang merasa sakit, perilakunya bisa berubah,
seperti menjadi lebih lemah atau terlihat tidak seperti biasanya.
Ciri-ciri tersebut dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit atau
gangguan kesehatan yang dialami seseorang. Dalam situasi ini, penting untuk
memberikan perhatian pada kesejahteraan individu dan memastikan bahwa mereka
mendapatkan perawatan atau istirahat yang mereka butuhkan untuk pulih.
D. Kecelakaan
Menurut OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series), insiden atau
kecelakaan didefinisikan sebagai kejadian yang terkait dengan pekerjaan, termasuk
cidera, sakit, atau kematian yang terjadi atau mungkin akan terjadi. Dalam konteks ini,
penyakit merujuk pada kondisi fisik atau mental yang teridentifikasi sebagai berasal dari
atau memburuk karena aktivitas pekerjaan atau situasi yang berkaitan dengan pekerjaan.
Menurut Dessler (2009), penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah sebagai
berikut:
4. Penyimpanan yang tidak aman, termasuk situasi kepadatan atau kelebihan beban.
6. Ventilasi yang tidak memadai, termasuk pertukaran udara yang tidak mencukupi dan
sumber udara yang tidak bersih.
Menurut Mangkunegara (2009), tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
sebagai berikut:
Jika perusahaan dapat mengurangi insiden kecelakaan kerja, penyakit, dan tingkat stres
di tempat kerja, serta meningkatkan kualitas hidup para pekerjanya, perusahaan akan
menjadi lebih efektif. Ini akan mengakibatkan:
Penting untuk dicatat bahwa kecelakaan di tempat kerja juga bisa disebabkan
oleh kelalaian pekerja sendiri, yang dapat mengakibatkan terhentinya proses produksi
dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu, menjalin kerja sama
yang baik antara perusahaan dan karyawannya akan menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif, aman, dan nyaman.
2.6 Program Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan upaya untuk
mengatasi ketimpangan yang terdapat pada empat unsur produksi, yaitu manusia, sarana,
lingkungan kerja, dan manajemen. Di Indonesia, penerapan program K3 masih belum
sepenuhnya terlaksana, bahkan ada perusahaan yang belum mengadopsi K3 sama sekali.
c. Menciptakan Tempat Kerja yang Efisien dan Produktif: Karyawan yang merasa
aman dalam bekerja cenderung lebih produktif dan efisien. Monitoring K3 yang baik
dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang aman, yang pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas.
f. Perawatan Mesin dan Peralatan yang Lebih Baik: Dengan melibatkan karyawan
dalam praktik-praktik K3, perawatan terhadap mesin dan peralatan cenderung lebih baik,
memperpanjang umur pakai peralatan dan mengurangi kerusakan yang dapat terjadi.
Terkait dengan teori tentang terjadinya kecelakaan kerja, umumnya dibedakan menjadi
tiga teori utama:
1. Teori tiga faktor utama (three main factor theory) dari (Murphy, Dubois dan
Hurrell, 1986) meneybutkan bahwa penyebab kecelakaan adalah factor manusia,
peralatan dan lingkungan
a. Teori Manusia: Teori ini berfokus pada peran manusia sebagai penyebab
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kesalahan manusia,
seperti kelalaian, kurang kewaspadaan, atau tindakan yang tidak sesuai dengan
prosedur keselamatan. Faktor-faktor manusia, seperti pengetahuan, sikap, dan
perilaku, menjadi pusat perhatian dalam teori ini.
b. Teori Mesin atau Alat Kerja: Teori ini menekankan peran mesin, alat kerja, dan
peralatan dalam terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan dapat dipicu oleh
kerusakan mesin, kegagalan alat pelindung, atau kurangnya pemeliharaan.
Penyebab kecelakaan juga dapat berasal dari ketidakcocokan antara tugas
pekerjaan dengan alat yang digunakan.
c. Teori Lingkungan: Teori ini menyoroti lingkungan kerja sebagai penyebab
kecelakaan kerja. Faktor-faktor seperti tata letak pabrik yang buruk, pencahayaan
yang tidak memadai, ventilasi yang buruk, atau tata ruang yang tidak efisien
dapat berkontribusi terhadap insiden kecelakaan. Lingkungan yang tidak aman
dapat memengaruhi moral dan produktivitas pekerja.
Dalam prakteknya, seringkali kombinasi dari faktor-faktor ini yang berperan dalam
terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, upaya pencegahan kecelakaan kerja harus
mencakup perbaikan dalam aspek manusia, alat kerja, dan lingkungan kerja.
2. Teori dua faktor (two factor theory) dari (Hezberg, 1923) kecelakaan kerja
disebabkan oleh kondisi berbahaya (unsafe condition) dan tindakan tidak aman
(unsafe action).
Faktor-faktor yang diajukan dalam Two-Factor Theory of Job Satisfaction adalah:
a. Faktor Manusia
1. Usia
2. Jenis Kelamin
Pembagian sosial pekerjaan antara pria dan wanita berbeda secara signifikan,
yang mengakibatkan perbedaan paparan atau dampak yang dialami oleh masing-masing
jenis kelamin dalam suatu pekerjaan. Akibatnya, penyakit atau masalah kesehatan yang
dialami juga berbeda. Dari segi anatomi, fisiologi, dan psikologi, tubuh wanita dan pria
memiliki perbedaan, sehingga diperlukan penyesuaian dalam hal tugas dan kebijakan
kerja. Sebagai contoh, wanita dapat mengalami proses hamil dan menstruasi, yang
memerlukan penyesuaian dan kebijakan khusus yang harus diterapkan untuk mendukung
kesejahteraan mereka.
3. Masa Kerja
Masa kerja merujuk pada jangka waktu di mana seseorang bekerja di suatu
tempat. Masa kerja ini memiliki potensi untuk memengaruhi kinerja individu, baik
secara positif maupun negatif. Pengaruh positif bisa terlihat dari pengalaman yang
dikumpulkan oleh seseorang selama bekerja dalam suatu perusahaan dalam jangka
waktu yang lama. Namun, sebaliknya, pengaruh negatif dapat muncul ketika karyawan
mengembangkan kebiasaan yang kurang baik, seperti mengabaikan penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD), karena merasa sudah sangat terbiasa dengan tugas tertentu.
Kebiasaan-kebiasaan ini dapat menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja, terutama
jika pekerjaan yang dilakukan bersifat monoton atau berulang. Masa kerja biasanya
dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu masa kerja baru (kurang dari 6 tahun), masa
kerja menengah (6-10 tahun), dan masa kerja yang panjang (lebih dari 10 tahun) (Tulus,
1992).
4. Tingkat Pendidikan
5. Perilaku
b. Faktor Lingkungan
1. Kebisingan
Kebisingan mengacu pada suara atau bunyi yang tidak diinginkan (Budiono,
2003). Kehadiran kebisingan dalam lingkungan kerja dapat memiliki berbagai dampak
negatif, termasuk mengurangi kenyamanan saat bekerja, mengganggu komunikasi antar
pekerja, mengurangi tingkat konsentrasi, dan bahkan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran atau tuli. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51 tahun
1996, batasan nilai kebisingan di tempat kerja adalah 85 dBA selama 8 jam kerja.
2. Suhu Udara
3. Penerangan
Penerangan di tempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang digunakan
untuk menerangi benda-benda di sekitar area kerja. Banyak objek, benda, peralatan, dan
kondisi sekitar yang perlu dilihat oleh pekerja, dan ini sangat penting untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja yang mungkin terjadi (Budiono, 2003). Penerangan yang
memadai memungkinkan pekerja melihat objek yang sedang mereka kerjakan dengan
jelas dan cepat (Suma'mur, 1989). Namun, jika penerangan terlalu terang, ini dapat
menyebabkan pantulan cahaya dari benda-benda yang bersinar, yang pada gilirannya
dapat membahayakan mata pekerja. Di sisi lain, jika pencahayaan yang ada kurang
memadai, ini dapat menyebabkan pekerja merasa kantuk, yang dapat menjadi berbahaya
jika mereka sedang mengoperasikan peralatan berbahaya. Oleh karena itu, faktor
penerangan harus diatur dengan baik sehingga pekerja dapat tetap fokus dalam
menjalankan tugas mereka.
4. Lantai Licin
Lantai di lingkungan kerja harus dibuat dari bahan yang keras, tahan air, dan tahan
terhadap bahan kimia yang dapat merusak permukaan lantai. Misalnya, jika lantai terasa
licin dan kemudian terkena tumpahan air atau minyak, ini dapat menyebabkan
kecelakaan kerja karena pekerja dapat terpeleset. Oleh karena itu, penting untuk
memastikan bahwa lantai di tempat kerja memenuhi standar keamanan yang sesuai
untuk mencegah risiko cedera yang disebabkan oleh lantai yang licin.
c. Faktor Peralatan
1. Kondisi Mesin
Penting untuk melengkapi mesin produksi dan peralatan mekanik dengan alat
pengaman seperti pagar atau perlengkapan pengaman lainnya. Ini bertujuan agar
penggunaan mesin tersebut tidak mengakibatkan kontak langsung dengan fisik pekerja.
Penerapan alat pengaman mesin mencerminkan kewajiban yang diatur dalam
perundang-undangan, pemahaman dari pihak yang terlibat, dan sebagainya (Suma'mur,
1989). Dengan demikian, alat pengaman mesin harus selalu tersedia dan digunakan
sesuai dengan standar keamanan untuk melindungi pekerja dari potensi bahaya yang
mungkin timbul selama penggunaan mesin.
3. Penempatan Mesin
Hubungan antara manusia dan mesin memiliki dampak timbal balik yang
signifikan. Peran manusia dalam konteks ini adalah sebagai bagian dari rangkaian
produksi dan sebagai pengendali mesin. Sebaliknya, mesin harus diatur dengan aman
dan efisien untuk menjalankan tugasnya dengan cara yang lebih mudah (Sugeng
Budiono, 2003). Hal ini termasuk dalam aspek penempatan atau tata letak mesin.
Semakin jauh mesin ditempatkan dari pekerja, maka dampak potensi bahaya
yang mungkin dihadapi oleh pekerja menjadi lebih kecil. Ini merupakan salah satu
langkah yang efektif dalam mengurangi insiden kecelakaan kerja dan konsekuensinya di
masa depan. Dengan cara ini, pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih aman dan efisien,
serta mengurangi risiko cedera atau kecelakaan.
Pengaturan tata ruang yang optimal adalah penggunaan penuh dan efisien dari
semua ruang yang tersedia. Ruang tidak hanya terbatas pada luas lantai (ruang
horizontal), tetapi juga mencakup ruang vertikal, baik yang ke atas maupun ke bawah.
Dengan demikian, tidak ada ruangan yang dibiarkan tidak dimanfaatkan. Pendekatan ini
bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan ruang yang masih kosong untuk tujuan
yang dapat mendukung kinerja karyawan.
Peran kesehatan dan keselamatan kerja dalam pengaturan tata ruang memiliki
signifikansi penting, seperti yang telah disoroti oleh beberapa ahli. Menurut Simanjuntak
(1994), keselamatan merujuk pada perlindungan kesejahteraan fisik individu dari cedera
yang terkait dengan pekerjaan. Selain itu, terdapat beberapa tujuan atau manfaat yang
terkait dengan pengaturan layout, termasuk:
1. Meningkatkan Keselamatan: Tata letak yang baik dapat mengurangi risiko
kecelakaan kerja dengan menghilangkan atau mengurangi potensi bahaya,
memberikan akses yang aman ke area kerja, dan mengatur peralatan dengan cara
yang mengurangi risiko cedera.
2. Meningkatkan Efisiensi: Tata letak yang efisien dapat membantu dalam
pengorganisasian aliran kerja yang optimal, sehingga mengurangi waktu dan
upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas.
3. Meningkatkan Produktivitas: Dengan meminimalkan gangguan dan perjalanan
yang tidak perlu dalam proses kerja, tata letak yang baik dapat meningkatkan
produktivitas karyawan.
4. Meningkatkan Kualitas Pekerjaan: Tata letak yang baik dapat membantu dalam
pengaturan peralatan dan bahan dengan cara yang memungkinkan kualitas
pekerjaan yang lebih baik.
5. Peningkatan Kesejahteraan Karyawan: Dengan menciptakan lingkungan kerja
yang aman, nyaman, dan efisien, tata letak yang baik dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kepuasan karyawan.
6. Pengaturan layout yang memperhatikan aspek-aspek ini dapat berkontribusi pada
pencapaian lingkungan kerja yang lebih aman, efisien, dan produktif.
Kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan oleh siapa pun,
oleh karena itu, penting bagi karyawan untuk memahami konsekuensi dari praktik-
praktik K3. Hal ini akan mendorong karyawan untuk lebih berhati-hati saat menjalankan
tugas mereka (Budiono, 2003).
a. Dampak terhadap karyawan
1. Kecelakaan dapat berpotensi mengakibatkan penderitaan fisik, seperti luka-luka
atau cedera serius, dan dalam beberapa kasus, bahkan bisa berujung pada cacat
permanen atau kematian.
2. Karyawan akan kehilangan waktu kerja karena mereka perlu mendapatkan
perawatan medis dan pemulihan.
3. Pendapatan karyawan bisa mengalami penurunan karena absensi kerja yang
disebabkan oleh perawatan medis akibat kecelakaan.
4. Karyawan juga mungkin berisiko pemecatan jika kecelakaan kerja
mengakibatkan cacat permanen, yang dapat menghambat kemampuan mereka
untuk menjalankan tugas pekerjaan dengan efektif.
b. Dampak Terhadap Keluarga Karyawan
1. Keluarga karyawan akan merasakan kesedihan yang mendalam, karena mereka
secara tidak langsung terlibat dalam penderitaan yang dialami oleh anggota
keluarga mereka akibat kecelakaan kerja.
2. Jika penghasilan karyawan berkurang akibat kehilangan waktu kerja, ini akan
memengaruhi pemasukan keluarga secara keseluruhan.
3. Jika kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan mengakibatkan cacat
permanen atau bahkan kematian, masa depan anggota keluarga karyawan
menjadi tidak pasti, dan keluarga tersebut mungkin harus menghadapi kesulitan
finansial dan emosional.
4. Kecelakaan kerja juga bisa menjadi beban tambahan bagi keluarga, karena
mereka mungkin perlu menghadapi kesulitan dalam memberi nafkah dan
merawat anggota keluarga yang mengalami cedera serius atau cacat permanen.
c. Dampak Terhadap Perusahaan
1. Perusahaan akan mengalami kehilangan tenaga kerja yang mungkin telah terlatih
dan memiliki keterampilan khusus, yang sulit untuk segera digantikan.
2. Perusahaan akan menghadapi biaya tambahan, seperti biaya perawatan medis
bagi korban kecelakaan dan biaya perbaikan atau penggantian peralatan atau
fasilitas kerja yang rusak akibat kecelakaan.
3. Produksi perusahaan akan terganggu, karena kecelakaan kerja dapat
menyebabkan penundaan atau hentinya proses produksi. Hal ini berpotensi
mengakibatkan kerugian produksi yang dapat berdampak negatif pada
pendapatan perusahaan.
Aspek Upah: Meskipun pekerja tersebut tidak bekerja karena cedera, perusahaan
mungkin masih harus membayar upah pekerja tersebut sesuai dengan perjanjian kerja
atau hukum yang berlaku. Ini akan menjadi tambahan biaya bagi perusahaan.
Semakin lama pekerja tidak dapat kembali bekerja karena cedera, semakin besar
jumlah hari kerja yang hilang, dan akibatnya, kerugian yang harus ditanggung
perusahaan juga akan semakin tinggi. Konsep ini menunjukkan pentingnya menjaga
keselamatan kerja dan mencegah kecelakaan di lingkungan kerja untuk mengurangi
risiko kehilangan hari dan jam kerja, serta dampak finansial yang terkait dengannya.
(Salami, dkk, 2016).
2. Severity Rate: Angka keparahan kecelakaan kerja, yang menghitung jumlah hari
kerja yang hilang akibat kecelakaan per 100 orang atau Sejuta jam kerja.
Jumlah jam kerja yang hilang dapat dihitung dengan memperhitungkan berbagai
faktor yang mencakup:
a. Jumlah hari yang diakibatkan cacat total sementara: Ini mengacu pada jumlah hari
yang pekerja tidak dapat bekerja karena cedera atau cacat sementara. Perhitungan ini
mencakup hari kerja, termasuk hari libur, selama pekerja tersebut tidak mampu bekerja.
b. Jumlah cacat total permanen dan kematian: Ini mencakup kasus-kasus yang
mengakibatkan cacat permanen pada pekerja atau bahkan kematian. Ini mencakup
jumlah jam kerja yang hilang dalam jangka panjang.
FR (n)– FR (n−1)
SafeT score=
FR(n−1)
Dimana :
a. STS antara +2,00 dan -2,00 tidak menunjukkan perubahan berarti: Ini berarti bahwa
jika STS berada dalam rentang ini, maka perubahan dalam tingkat kecelakaan tidak
dianggap signifikan secara statistik.
b. STS di atas +2,00 menunjukkan keadaan memburuk: Apabila STS positif dan
melebihi +2,00, ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat kecelakaan, yang
merupakan tanda kondisi yang memburuk dalam hal keselamatan.
c. STS di bawah -2,00 menunjukkan keadaan yang membaik: Sebaliknya, jika STS
negatif dan kurang dari -2,00, ini menandakan penurunan signifikan dalam tingkat
kecelakaan, yang menunjukkan kondisi keselamatan yang membaik.
b. Pengkonstruksian fault tree: Dalam tahap ini, fault tree dibangun dengan
menggambarkan semua peristiwa yang mungkin menyebabkan Top Event. Peristiwa-
peristiwa ini disusun dalam bentuk pohon dengan menggunakan simbol-simbol logika,
seperti AND, OR, dan NOT gates, untuk mencerminkan hubungan sebab-akibat.
c. Mengidentifikasi minimal cut set atau minimal path set: Setelah fault tree
dibangun, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kombinasi peristiwa yang dapat
menyebabkan Top Event. Ini dapat berupa minimal cut set (kombinasi peristiwa yang,
jika terjadi bersama-sama, akan menyebabkan Top Event) atau minimal path set
(kombinasi peristiwa yang membentuk jalur terpendek ke Top Event).
d. Analisis kualitatif dari fault tree: Tahap ini melibatkan evaluasi kualitatif dari
fault tree, yaitu menilai sebab-sebab potensial kegagalan dan hubungan antara mereka.
Analisis ini membantu dalam memahami potensi risiko dan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kejadian Top Event.
e. Analisis kuantitatif fault tree: Pada tahap terakhir, jika diperlukan, dapat
dilakukan analisis kuantitatif untuk menentukan probabilitas terjadinya Top Event dan
evaluasi dampaknya.
FTA adalah alat yang berguna dalam identifikasi dan manajemen risiko dalam
rekayasa sistem, membantu dalam mengidentifikasi penyebab potensial kegagalan, dan
merancang tindakan perbaikan untuk meningkatkan keandalan sistem.
Langkah pertama dalam membangun Fault Tree Analysis (FTA) adalah sebagai berikut
1. Mendefinisikan Kecelakaan
Demi mengatasi permasalahan ini, perusahaan telah memulai upaya untuk memberikan
pelatihan kepada para karyawan dalam rangka mengurangi angka kecelakaan kerja.
Program pelatihan ini mencakup berbagai aspek keselamatan kerja, termasuk
pencegahan kecelakaan, tindakan pencegahan kebakaran, serta upaya untuk
meningkatkan keandalan operasi pabrik. Selain itu, program ini juga mencakup
pembinaan untuk memastikan para pekerja memahami pentingnya keselamatan kerja
dan menerapkannya dalam rutinitas sehari-hari mereka.
BAB III
METODE PENELITIAN
Suhardi, Y. (2018). Penerapan Fault Tree Analysis dalam Meningkatkan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Industri Manufaktur di Indonesia. Jurnal Keselamatan,
Kesehatan, dan Lingkungan, 5(2), 109-118.
Iswara, I. B., & Siswanto, H. (2019). Analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan Pendekatan Fault Tree Analysis pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Jurnal
Rekayasa Sipil dan Desain, 3(2), 105-113.