Anda di halaman 1dari 42

Analisis Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan

Pendekatan Fault Tree Analysis (FTA) di PT Garut Makmur Perkasa

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Oleh:

GARIEL NUIGRAHA
10070215114

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2023 M / 1443
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengamati sejarah masa lalu, perkembangan industri di dunia dimulai pada abad
ke-18 dengan munculnya Revolusi Industri. Dalam periode ini, terdapat penemuan-
penemuan teknologi mesin yang luar biasa, walaupun pada saat itu masih ditenagai
secara manual, yang mengubah peran manusia dalam proses produksi. Perusahaan-
perusahaan besar mulai beralih dari sistem tenaga kerja berbasis manusia ke sistem
modal yang lebih besar. Banyak industri melakukan investasi besar untuk meningkatkan
produktivitas mereka. Sebelum Revolusi Industri, banyak negara bergantung pada sektor
pertanian dan perdagangan kecil sebagai industri rumahan. Revolusi Industri mengubah
tata ekonomi, mempercepat proses produksi, dan mengarahkannya ke pasar yang lebih
terstruktur.

Sebelum Revolusi Industri, proses produksi memerlukan waktu yang lama dan tidak
memiliki kepastian yang jelas. Pasar sasaran sering tidak terdefinisi dengan baik,
sehingga barang diproduksi berdasarkan pesanan saja. Namun, setelah Revolusi Industri,
situasi ini berubah secara drastis, meskipun memerlukan investasi modal yang besar
untuk memodernisasi peralatan produksi. Modernisasi teknologi peralatan produksi telah
membawa penurunan biaya dan peningkatan profitabilitas. Perubahan ini tidak hanya
memengaruhi perusahaan besar tetapi juga masyarakat di sekitarnya. Buka industri baru
menarik minat masyarakat untuk beralih dari pertanian ke pekerjaan di industri, memicu
urbanisasi tinggi, dengan banyak orang dari pedesaan beralih menjadi buruh pabrik.

Industri dapat didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengubah bahan


mentah, bahan baku, atau barang setengah jadi menjadi produk bernilai tinggi yang
digunakan oleh konsumen. Di Indonesia, industri telah berkembang pesat sebagai
respons terhadap perekonomian global. Untuk tetap bersaing, perusahaan berusaha untuk
meningkatkan daya saing mereka dengan produk berkualitas tinggi dan harga yang
kompetitif.
Proses produksi dalam industri melibatkan berbagai faktor produksi. Produk yang
dihasilkan disebut sebagai hasil produksi. Produksi juga mengacu pada peningkatan nilai
produk, sehingga produk tersebut menjadi lebih bernilai. Industri modern cenderung
padat modal, sedangkan industri tradisional mengandalkan padat karya. Baik industri
modern maupun tradisional memerlukan prosedur operasional standar (SOP) untuk
memastikan kesehatan dan keselamatan kerja.

Setiap tahun, ribuan kecelakaan kerja terjadi, mengakibatkan korban jiwa, kerusakan
materi, dan gangguan produksi. Meskipun peraturan tentang kesehatan dan keselamatan
kerja sudah ada (UU No. 1 tahun 1970), manajemen yang kuat dalam penerapan SOP
sangat penting untuk mencegah kecelakaan kerja.

Besarnya kerugian yang timbul dapat bervariasi tergantung pada tingkat frekuensi
dan tingkat keparahan kecelakaan yang terjadi. Oleh karena itu, kecelakaan yang terjadi
selama aktivitas kerja dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses produksi dan
kelangsungan hidup perusahaan. Dengan kata lain, kecelakaan yang menimpa pekerjaan
merupakan faktor penting yang memengaruhi produktivitas kerja.

PT Garut Makmur Perkasa (GMP) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang


penyamakan kulit sapi. Berlokasi di Garut yang merupakan sentra industri kulit terbesar
nasional dengan potensi pasar kulit mencapai 115.000.000 ft² pertahun, dan telah
menerapkan SOP untuk memastikan kesehatan dan keselamatan kerja karyawan.
Namun, terdapat tingkat kecelakaan kerja dalam tiga tahun terakhir.

Tota
Tahu Jumlah kecelakaan Kerja l
n Ju
Jan feb mar Apr May Jun l Aug Sep Oct Nov Dec
2016 3 1 2 2 1 1 0 1 1 1 1 0 14
2017 3 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 0 18
2018 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 5

Dalam penelitian sebelumnya oleh Anggoro (2011), disarankan bahwa perusahaan perlu
menjalankan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan harapan dapat
mengurangi insiden kecelakaan kerja dan penyakit akibat pekerjaan. Dengan demikian,
program ini diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan dan produktivitas para
karyawan. Dalam penelitian terbaru ini, perusahaan yang sedang diteliti tidak
menerapkan program K3, dan akibatnya, terdapat insiden kecelakaan yang berdampak
pada keselamatan karyawan.

Pada penelitian ini, terdapat catatan insiden kecelakaan kerja yang menarik
perhatian. Pada tahun 2016, terdapat 14 insiden kecelakaan, lalu pada tahun 2017,
jumlah insiden meningkat menjadi 18. Namun, terdapat penurunan yang signifikan pada
tahun 2018, dengan hanya 5 insiden kecelakaan. Hal ini disebabkan oleh penerapan
sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dimulai pada tahun 2018. Tujuan
dari penerapan sistem K3 ini adalah untuk mengurangi kecelakaan kerja dan menjaga
keselamatan karyawan, dengan harapan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman
dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja.

Karyawan di perusahaan PT Garut Makmur Perkasa disoroti kurangnya


kesadaran dalam menjaga keselamatan saat bekerja, yang disebabkan oleh kurangnya
pemahaman tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Oleh karena itu, karyawan
dihimbau untuk lebih memahami pentingnya penerapan K3, baik bagi karyawan itu
sendiri maupun bagi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini penting karena pelaksanaan
K3 memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung produktivitas kerja yang
optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara keselamatan
kerja, kesehatan kerja, lingkungan kerja, dan insentif terhadap peningkatan produktivitas
tenaga kerja.

Maka dengan adanya penelitian terdahulu penulis mengambil penelitian yang berjudul :
“ANALISA PENERAPAN K3 DENGAN PENDEKATAN FAULT TREE
ANALYSIS MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA DI PT GARUT
MAKMUR PERKASA”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Seberapa sering kecelakaan terjadi (frekuensi) dan seberapa parah dampaknya
(severity)?

2. Apakah adanya kecelakaan kerja berdampak pada produktivitas perusahaan?

3. Bagaimana meningkatkan penerapan program keselamatan kerja di


departemen produksi?

4. Bagaimana melakukan analisis akar penyebab kecelakaan kerja di PT Garut


Makmur Perkasa menggunakan Fault Tree Analysis (FTA)?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menghitung tingkat frekuensi dan tingkat keparahan kecelakaan, serta menilai
tingkat keselamatan (t-selamat).

2. Menganalisis dampak kecelakaan kerja terhadap produktivitas kerja di PT


Garut Makmur pErkasa

3. Menganalisis strategi perbaikan dalam menerapkan program keselamatan kerja


di departemen produksi.

4. Mengidentifikasi akar penyebab kecelakaan dengan membangun model Fault


Tree Analysis (FTA).

1.4 Pembatasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini mengarah pada objek yang dijadikan fokus
penelitian adalah perusahan produsen kulit yaitu PT Garut Makmur Perkasa Adapun
batasan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Objek penelitian meliputi bagian produksi serta seluruh peralatan dan mesin
yang digunakan di PT Garut Makmur Perkasa.
2. Pembahasan akan mencakup evaluasi bahaya-bahaya yang dapat disebabkan oleh
faktor manusia, peralatan, dan lingkungan kerja, termasuk kejadian-kejadian
kecelakaan yang terjadi.

3. Data yang akan digunakan adalah data kecelakaan kerja selama tiga tahun, yaitu
dari tahun 2016 hingga 2018.
4. Pengukuran produktivitas akan dilakukan dengan menghitung jumlah jam kerja
yang hilang dibagi oleh jumlah jam kerja total karyawan.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dibuat untuk memudahkan pembahasan, dan pengerjaan
karya tulis yang terstruktur. Berikut merupakan sistematika penulisan Tugas Akhir:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang penjelasan latar belakang masalah yang mencakup gambaran
umum, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini meliputi teori-teori penunjang untuk pembahasan dan pemecahan masalah
yang berhubungan dengan materi yang akan digunakan.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tahapan dalam pemecahan masalah secara umum dan disusun
dalam bentuk diagram alir (flowchart) sesuai dengan permasalahan yang ada.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Bab ini meliputi data-data yang diperlukan berkaitan dengan tahapan identifikasi
permasalahan yang ada di PT Garut Makmur Perkasa, dan pengolahan data.

BAB V ANALISIS

Bab ini berisi tentang analisis dan pembahasan masalah pada bab sebelumnya.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini meliputi kesimpulan dan saran sebagai masukan bagi PT Garut Makmur
Perkasa terkait dengan permasalahan yang dibahas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Operasi


Manajemen operasional merujuk pada serangkaian kegiatan yang menghasilkan
nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah input menjadi output (Heizer dan
Render, 2005). Tujuan dari manajemen operasional mencakup efisiensi, produktivitas,
ekonomi, kualitas, dan pengurangan waktu proses. Setiap tujuan tersebut memiliki
peranannya masing-masing, yaitu meningkatkan kinerja dan efektivitas perusahaan,
mengurangi biaya operasional, meningkatkan mutu produk atau layanan, dan
meminimalkan waktu yang diperlukan dalam proses produksi.

Secara umum, manajemen operasional memiliki kemampuan untuk mengelola


secara efisien berbagai faktor produksi, termasuk sumber daya manusia (SDM), mesin,
peralatan, bahan mentah, dan faktor produksi lainnya, dengan tujuan mengubahnya
menjadi berbagai produk atau jasa. Zulian Yamit (2003) mengidentifikasi karakteristik
manajemen operasional sebagai berikut:

a. Tujuannya adalah menghasilkan barang dan jasa.

b. Melibatkan kegiatan dalam proses transformasi.

c. Memerlukan mekanisme pengendalian operasional.

Manajemen operasional memegang peranan soal isu strategis dalam menentukan


rencana produksi (manufacturing) juga metode manajemen proyek serta implementasi
struktur jaringan teknologi informasi. Di sisi lain, manajemen operasi juga melakukan
beberapa hal penting seperti mengatur skala inventaris, mengorganisir akuisisi bahan
baku, mengontrol kualitas, dan meng-handle material (Maxmanroe, 2011)

Manajemen operasional juga harus melakukan pengelolaan bahan baku yang


digunakan dalam produksi dan memastikan bahwa tidak ada pemborosan. Mereka
merancang formula untuk pesanan bahan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Untuk menjalankan fungsi operasionalnya, ada serangkaian kegiatan yang membentuk
suatu sistem. Terdapat empat fungsi operasional utama:

a. Fungsi Perencanaan: Dalam tahap perencanaan, manajer operasional menetapkan


tujuan subsistem operasional organisasi dan mengembangkan program, kebijakan, dan
prosedur yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ini mencakup perencanaan
produk, fasilitas, dan penggunaan sumber daya produksi.

b. Fungsi Pengorganisasian: Dalam pengorganisasian, manajer operasional menentukan


struktur individu, kelompok, bagian, divisi, atau departemen dalam subsistem operasi
untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka juga menentukan kebutuhan sumber daya
yang diperlukan untuk mencapai tujuan operasional dan mengatur wewenang dan
tanggung jawab yang diperlukan dalam pelaksanaannya.

c. Fungsi Penggerakan: Dalam fungsi penggerakan, manajemen operasional memimpin,


mengawasi, dan memotivasi karyawan untuk menjalankan tugas mereka.

d. Fungsi Pengendalian: Dalam fungsi pengendalian, manajemen operasional


mengembangkan standar dan jaringan komunikasi yang diperlukan agar
pengorganisasian dan penggerakan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan dan
mencapai tujuan yang telah ditentukan.

2.2 Ruang Lingkup Manajemen Operasi


Dalam manajemen operasional, terdapat banyak konsep yang berkaitan dengan
produksi barang dan jasa. Manajer operasi harus memiliki pemahaman yang mendalam
tentang bagaimana mencapai produktivitas yang tinggi. Pengaruh teknologi sangat
signifikan dalam penerapan manajemen operasional dalam perusahaan.

Pentingnya posisi departemen operasi dalam perusahaan tercermin dalam tingginya


biaya yang diperlukan untuk operasional perusahaan. Departemen operasi memerlukan
alokasi dana terbesar untuk menjalankan operasi perusahaan secara keseluruhan. Oleh
karena itu, penting untuk memahami konsep-konsep dalam manajemen operasional,
karena efektivitas dan efisiensi dalam penanganan operasi perusahaan memiliki dampak
besar bagi keseluruhan perusahaan.
Dari segi ruang lingkupnya, manajemen operasional dapat dikelompokkan menjadi
tiga aspek:

a. Perencanaan Sistem Produksi: Ini mencakup perencanaan produk, lokasi pabrik, tata
letak pabrik, lingkungan kerja, dan standar produksi. Proses produksi dimulai dari input,
diolah, dan dihasilkan menjadi output. Manajer harus mempertimbangkan berbagai
kebutuhan dan layanan kepada masyarakat. Tujuan utama perusahaan adalah mencapai
tingkat efisiensi optimal dan jumlah produk yang ideal, apa pun sistem yang digunakan.

b. Sistem Pengendalian Produksi: Ini mencakup pengendalian proses produksi, bahan


baku, tenaga kerja, biaya, kualitas, dan pemeliharaan. Pengendalian produksi melibatkan
pengawasan saat proses berlangsung. Karena risiko yang dihadapi oleh karyawan besar,
pengendalian proses produksi harus detail dan cermat. Pengendalian kecelakaan kerja di
tempat kerja harus memperhatikan komponen yang ada di peralatan produksi dan
komponen yang digunakan oleh karyawan, seperti alat pelindung diri.

c. Sistem Informasi Produksi: Aspek ini mencakup struktur organisasi, penempatan


peralatan pabrik, sistem produksi (pesanan atau massal), dan struktur komponen bahan
yang digunakan dalam produksi. Semua aspek ini harus dikomunikasikan dengan baik
kepada tenaga kerja agar mereka dapat mengantisipasi tingkat bahaya yang mungkin
dihadapi dalam pekerjaan mereka. Meskipun sistem informasi pengendalian keselamatan
kerja sudah baik, pengawasan tetap menjadi hal yang sangat penting.

2.3 Proses Produksi


Proses produksi adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dengan menghasilkan barang atau meningkatkan nilai suatu barang
atau jasa (Prishardoyo Bambang, 2005). Definisi ini sangat umum dan diterima oleh
banyak orang. Penting untuk dicatat bahwa bahan baku yang digunakan sebagai input
tidak selalu sama untuk setiap perusahaan, bahkan jika mereka menghasilkan produk
dalam alur yang serupa.

Pengendalian proses produksi pada dasarnya mengacu pada kemampuan


perusahaan untuk memastikan kelancaran proses produksi tanpa ada hambatan, terutama
yang berhubungan dengan keselamatan kerja. Dampak dari kecelakaan kerja dapat
mengganggu proses produksi atau menghasilkan produk dengan kualitas yang rendah,
yang tidak sesuai dengan standar.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian produksi mencakup apa yang
akan dihasilkan, teknologi yang digunakan, dan lingkungan di sekitar proses produksi.
Jenis dan urutan proses produksi sangat penting karena ini akan memengaruhi tata letak
peralatan produksi dan juga pengendalian keselamatan kerja. Pabrik kimia yang
menggunakan bahan berbahaya dan memiliki teknologi serta proses yang rahasia
cenderung memiliki risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi.

Pencegahan kecelakaan kerja selama proses produksi berlangsung jauh lebih


penting daripada mengatasi kecelakaan setelah terjadi. Kecelakaan dapat dicegah dengan
menghindari penyebab yang dapat menyebabkannya. Perencanaan yang matang dalam
merancang proses produksi adalah langkah pencegahan terhadap kecelakaan yang
dilakukan dengan tanggung jawab penuh terhadap keselamatan kerja. Penggunaan
peralatan perlindungan bagi anggota badan selama bekerja harus selalu diperhatikan dan
disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Beberapa alat pelindung meliputi
pelindung mata, pelindung telinga, dan alat pelindung lainnya yang digunakan sesuai
dengan kebutuhan pekerjaan yang sedang berlangsung.

2.4 Pengertian Kesehatan Dan Keselamatan Kerja


Menurut Fathul (2008), keselamatan berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata
"safety," dan biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan di mana seseorang terbebas dari
peristiwa celaka (accident) atau hampir celaka. Oleh karena itu, pada dasarnya
keselamatan adalah pendekatan ilmiah dan praktis yang mempelajari faktor-faktor
penyebab terjadinya kecelakaan. Keselamatan kerja mengacu pada kondisi kerja yang
aman, dan ini merupakan tanggung jawab bersama antara para pekerja, instruktur, dan
manajemen. Para pekerja harus belajar bagaimana bekerja tanpa menyebabkan
kecelakaan, melukai diri mereka sendiri atau orang lain di sekitarnya, dan merusak
mesin atau peralatan yang digunakan.
Beberapa definisi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut para ahli adalah:

 Keselamatan kerja menurut Mondy dan Noe (2010) adalah perlindungan


karyawan dari luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan yang terkait
dengan pekerjaan. Resiko keselamatan meliputi aspek-aspek lingkungan
kerja yang dapat menyebabkan berbagai jenis cedera.
 Menurut Mangkunegara (2009), K3 (Occupational Safety and Health -
OSH) adalah upaya untuk menjamin integritas dan kesejahteraan fisik
dan mental tenaga kerja, serta masyarakat pada umumnya, dengan hasil
karya dan budaya yang menuju masyarakat yang adil dan makmur.
 Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa keselamatan merujuk
pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang dari cedera
yang terkait dengan pekerjaan, sedangkan kesehatan merujuk pada
kondisi fisik, mental, dan stabilitas emosi secara umum.

Dalam konteks pekerjaan di sektor konstruksi, selain faktor keselamatan, faktor


kesehatan juga sangat penting. Kesehatan tidak hanya berarti bebas dari penyakit, tetapi
juga mencakup aspek fisik, mental, dan sosial. Upaya untuk menjaga kesehatan
termasuk dalam pendekatan keilmuan dan praktis untuk mencegah penyakit dan
meningkatkan kesejahteraan. Kesehatan kerja adalah cabang dari K3 yang berfokus pada
keamanan pekerja dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan
selama bekerja.

Faktor keselamatan yang harus diperhatikan di lingkungan kerja meliputi kondisi


tempat kerja, pemakaian peralatan kerja, dan tindakan-tindakan pencegahan seperti
penggunaan peralatan pelindung diri. Keselamatan kerja bertujuan untuk melindungi
pekerja dan semua individu yang berada di tempat kerja dari potensi kecelakaan atau
cedera. Kesehatan kerja, di sisi lain, fokus pada upaya menjaga kesehatan fisik dan
mental pekerja, serta mencegah penyakit yang terkait dengan pekerjaan.

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan faktor penting dalam menjaga


produktivitas dan kesejahteraan pekerja di lingkungan kerja. Untuk mencapai hal ini,
perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan, peralatan kerja, dan perilaku
pekerja, serta menjalankan praktik-praktik yang mendukung K3 dan kesehatan kerja
yang baik.

Pengertian kesehatan yang merujuk pada keadaan yang utuh dan mencerminkan
kesejahteraan menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya tentang tidak adanya
penyakit, tetapi juga mencakup aspek fisik, mental, dan sosial yang menyeluruh.
Kesehatan, baik dalam perspektif ilmiah maupun praktis, melibatkan pemahaman
tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan. Lebih
dari itu, kesehatan juga melibatkan upaya untuk mencegah penyakit dan
mempromosikan kesejahteraan, sehingga manusia tidak hanya bebas dari penyakit tetapi
juga menjadi lebih sehat dan sejahtera.

Definisi kesehatan kerja yang diberikan oleh Suma'mur (1986) adalah suatu
cabang ilmu kesehatan dan kedokteran yang berfokus pada upaya memastikan bahwa
pekerja, atau masyarakat pekerja, memperoleh tingkat kesehatan sebaik mungkin. Ini
mencakup aspek fisik dan mental kesehatan, serta kesehatan sosial, yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja. Upaya dalam kesehatan kerja
bertujuan untuk mengurangi risiko penyakit yang terkait dengan pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta memerangi penyakit-penyakit umum yang dapat memengaruhi
kesejahteraan pekerja.

Kesehatan kerja adalah pendekatan yang sangat penting dalam menjaga


kesejahteraan pekerja di tempat kerja dan membantu mereka menjalani kehidupan yang
lebih sehat dan produktif. Selain itu, juga memberikan kontribusi positif terhadap
produktivitas perusahaan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

a. Kesehatan Kerja

Pengertian dari kesehatan kerja adalah kondisi yang dapat mempengaruhi


kesehatan para pekerja (Simanjuntak, 1994). Gangguan kesehatan kerja mempunyai
dampak yang terasa secara langsung dan tidak langsung, dampak secara langsung
adalah gangguan kesehatan kerja yang dirasakan seketika itu juga oleh pekerja,
sedangkan yang dimaksud dengan dampak secara tidak langsung adalah gangguan pada
kesehatan yang dirasakan oleh pekerja setelah jangka waktu tertentu. Ketika gangguan
kesehatan mulai terasa maka akan berpengaruh terhadap banyak aspek, salah satunya
adalah turunnya produktivitas dari pekerja. Gangguan kesehatan yang dialami oleh
pekerja dapat bersifat tidak permanen maupun permanen (Simanjuntak, 1994).

Menurut Ridley (2004), kesehatan merupakan unsur yang sangat penting untuk
memungkinkan kita menikmati kehidupan yang berkualitas, baik di dalam lingkungan
rumah maupun di tempat kerja. Kesehatan juga memiliki peran kunci dalam menjaga
kelangsungan operasi sebuah organisasi. Tubuh manusia adalah organisme yang sangat
kompleks, terdiri dari berbagai organ yang saling terkait dan diatur oleh kerangka dan
otot-otot yang beragam. Organ-organ yang berbeda ini memiliki ketergantungan satu
sama lain dan berperan khusus dalam menjalankan fungsi tubuh secara efisien sebagai
sebuah kesatuan. Namun, efisiensi setiap organ ini dapat dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi dan zat-zat yang ada di sekitarnya, termasuk di lingkungan kerja dan di rumah
(Ridley, 2004).

Menurut Ridley (2004), zat-zat berbahaya dan berisiko memiliki beberapa jalur
untuk masuk ke dalam tubuh, termasuk melalui asupan makanan yang masuk melalui
mulut dan mencapai usus, pernapasan yang mengarah ke paru-paru, penyerapan melalui
kulit, dan melalui luka terbuka. Tindakan pencegahan sederhana dapat mencegah zat-zat
ini masuk ke dalam tubuh, seperti larangan makan di tempat kerja, menjaga kebersihan
diri, mencuci tangan sebelum makan, melarang merokok di tempat kerja, menggunakan
alat pelindung pernapasan yang sesuai untuk zat-zat tertentu, menyediakan ventilasi
yang baik, pengambilan uap dan debu, penggunaan sarung tangan, membersihkan area
yang terkontaminasi dengan sabun, menggunakan krim pelindung kulit, merawat luka
dan sayatan dengan baik, dan menutupi luka dan sayatan saat bekerja.Menurut Ridley
(2004), kesehatan merupakan unsur yang sangat penting untuk memungkinkan kita
menikmati kehidupan yang berkualitas, baik di dalam lingkungan rumah maupun di
tempat kerja. Kesehatan juga memiliki peran kunci dalam menjaga kelangsungan operasi
sebuah organisasi. Tubuh manusia adalah organisme yang sangat kompleks, terdiri dari
berbagai organ yang saling terkait dan diatur oleh kerangka dan otot-otot yang beragam.
Organ-organ yang berbeda ini memiliki ketergantungan satu sama lain dan berperan
khusus dalam menjalankan fungsi tubuh secara efisien sebagai sebuah kesatuan. Namun,
efisiensi setiap organ ini dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan zat-zat yang ada di
sekitarnya, termasuk di lingkungan kerja dan di rumah (Ridley, 2004).

Menurut Ridley (2004), zat-zat berbahaya dan berisiko memiliki beberapa jalur
untuk masuk ke dalam tubuh, termasuk melalui asupan makanan yang masuk melalui
mulut dan mencapai usus, pernapasan yang mengarah ke paru-paru, penyerapan melalui
kulit, dan melalui luka terbuka. Tindakan pencegahan sederhana dapat mencegah zat-zat
ini masuk ke dalam tubuh, seperti larangan makan di tempat kerja, menjaga kebersihan
diri, mencuci tangan sebelum makan, melarang merokok di tempat kerja, menggunakan
alat pelindung pernapasan yang sesuai untuk zat-zat tertentu, menyediakan ventilasi
yang baik, pengambilan uap dan debu, penggunaan sarung tangan, membersihkan area
yang terkontaminasi dengan sabun, menggunakan krim pelindung kulit, merawat luka
dan sayatan dengan baik, dan menutupi luka dan sayatan saat bekerja.

b. Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja merujuk pada kondisi di mana risiko terjadinya kecelakaan


atau kerusakan sangat kecil atau minimal di bawah tingkat tertentu. Untuk mencapai
kondisi kerja yang aman, diperlukan dukungan dari berbagai sarana dan prasarana
keselamatan, termasuk peralatan keselamatan, alat perlindungan diri, dan rambu-rambu
keselamatan.

Peralatan keselamatan yang termasuk di dalamnya adalah helm, sarung tangan,


masker, jaket pelindung, peralatan kebakaran, dan pelindung kaki. Prasarana
keselamatan juga melibatkan penggunaan rambu-rambu atau tanda peringatan yang
harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti mudah terlihat, mudah dibaca, tahan lama,
dan ditulis dalam bahasa resmi. Terdapat penekanan pada pentingnya rambu-rambu
keselamatan untuk memberikan informasi tentang tingkat bahaya serta cara mengurangi
risiko.

Keselamatan kerja memiliki tujuan utama, yaitu melindungi keselamatan para


pekerja dalam menjalankan tugas mereka. Selain itu, keselamatan kerja juga bertujuan
untuk melindungi keselamatan semua individu yang berada di tempat kerja, serta
menjaga keamanan peralatan dan sumber daya produksi agar tetap dapat digunakan
dengan efisien. Untuk mencapai tujuan ini, keselamatan kerja melibatkan identifikasi
dan pengungkapan kelemahan operasional yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkapkan penyebab
akar dari kecelakaan dan mengevaluasi apakah pengendalian keselamatan telah
dilaksanakan dengan cermat atau tidak.

Kinerja keselamatan dapat ditingkatkan melalui pemahaman yang benar


mengenai perilaku yang aman terkait dengan faktor-faktor risiko di tempat kerja. Jika
pekerja memiliki persepsi bahwa program keselamatan tidak efektif atau bahwa
manajemen tidak memprioritaskan keselamatan kerja, maka pekerja cenderung tidak
akan mengikuti prosedur keselamatan (Hagan dkk, 2001). Lebih lanjut, Mangkunegara
(2009) mengemukakan bahwa indikator keselamatan kerja adalah sebagai berikut:

1. Keadaan Lingkungan Kerja:


 Tidak memperhatikan keamanan dalam penyusunan dan penyimpanan barang-
barang berbahaya.
 Ruang kerja yang terlalu penuh dan sempit.
 Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak sesuai dengan tempatnya.
2. Pemakaian Peralatan Kerja:
 Pengabaian pengamanan pada peralatan kerja yang telah usang atau rusak.
 Penggunaan mesin dan peralatan elektronik tanpa pengamanan yang memadai.
 Ketidakpenuhan dalam pengaturan penerangan di tempat kerja.

c. Sakit
Seseorang dianggap sakit apabila mengalami penyakit kronis atau gangguan
kesehatan lain yang mengganggu aktivitas kerja atau kegiatan sehari-hari. Penting untuk
dicatat bahwa istilah "sakit" dalam konteks ini tidak selalu merujuk pada penyakit serius,
tetapi dapat mencakup masalah kesehatan yang lebih umum seperti pilek atau masuk
angin. Namun, apabila seseorang masih dapat menjalankan aktivitasnya tanpa terlalu
terganggu oleh kondisi kesehatan tersebut, maka ia mungkin tidak dianggap sakit.
Berikut adalah beberapa ciri-ciri yang mungkin menunjukkan bahwa seseorang sedang
sakit:

1. Wajah yang terlihat pucat: Kulit yang pucat atau warna kulit yang tidak biasa
mungkin merupakan tanda bahwa seseorang sedang mengalami gangguan
kesehatan.
2. Tubuhnya lemah (kurang bertenaga): Seseorang yang merasa lemah atau
kehilangan energi biasanya mengalami ketidaknyamanan atau sakit.
3. Penurunan daya konsentrasi: Kondisi kesehatan yang buruk dapat mengganggu
kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi atau fokus, yang bisa mempengaruhi
kinerja dalam pekerjaan atau aktivitas.
4. Menghindari pekerjaan atau aktivitas yang berat: Saat seseorang merasa sakit, ia
mungkin cenderung menghindari pekerjaan atau aktivitas yang membutuhkan
usaha fisik atau mental yang lebih besar.
5. Bersikap tidak biasa: Ketika seseorang merasa sakit, perilakunya bisa berubah,
seperti menjadi lebih lemah atau terlihat tidak seperti biasanya.

Ciri-ciri tersebut dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit atau
gangguan kesehatan yang dialami seseorang. Dalam situasi ini, penting untuk
memberikan perhatian pada kesejahteraan individu dan memastikan bahwa mereka
mendapatkan perawatan atau istirahat yang mereka butuhkan untuk pulih.

D. Kecelakaan

Menurut OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series), insiden atau
kecelakaan didefinisikan sebagai kejadian yang terkait dengan pekerjaan, termasuk
cidera, sakit, atau kematian yang terjadi atau mungkin akan terjadi. Dalam konteks ini,
penyakit merujuk pada kondisi fisik atau mental yang teridentifikasi sebagai berasal dari
atau memburuk karena aktivitas pekerjaan atau situasi yang berkaitan dengan pekerjaan.

Menurut Dessler (2009), penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja adalah sebagai
berikut:

1. Perawatan yang tidak memadai terhadap peralatan.

2. Kerusakan pada peralatan.


3. Prosedur berisiko di sekitar mesin atau peralatan.

4. Penyimpanan yang tidak aman, termasuk situasi kepadatan atau kelebihan beban.

5. Pencahayaan yang tidak memadai, atau cahaya yang tidak mencukupi.

6. Ventilasi yang tidak memadai, termasuk pertukaran udara yang tidak mencukupi dan
sumber udara yang tidak bersih.

2.5 Tujuan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja


Tenaga kerja adalah aset berharga bagi perusahaan karena manusia merupakan
komponen integral dan mahal dalam perancangan keseluruhan sistem. Pengelolaan
sumber daya manusia adalah tugas yang rumit dan penuh kompleksitas karena manusia
memiliki berbagai sistem dalam tubuhnya, seperti jiwa, pikiran, hati, perasaan, status,
keinginan, serta latar belakang sosio-kultural yang sangat beragam ketika mereka terlibat
dalam organisasi. Oleh karena itu, mengelola tenaga kerja manusia bukanlah tugas yang
sederhana.

Menurut Mangkunegara (2009), tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
sebagai berikut:

1. Memastikan bahwa setiap pegawai memiliki jaminan keselamatan dan kesehatan


kerja, baik dari segi fisik, sosial, maupun psikologis.
2. Memastikan bahwa semua peralatan dan perlengkapan kerja digunakan secara
optimal dan efisien.
3. Memastikan bahwa semua hasil produksi dipelihara dalam keadaan aman.
4. Menjamin pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
5. Meningkatkan semangat, kerja sama, serta partisipasi pegawai dalam pekerjaan.
6. Mencegah gangguan kesehatan yang mungkin disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.
7. Memastikan bahwa setiap pegawai merasa aman dan dilindungi saat bekerja.

Perusahaan perlu memahami tujuan dan pentingnya Keselamatan dan Kesehatan


Kerja (K3) baik bagi perusahaan itu sendiri, karyawan, maupun lingkungan sekitar
tempat kerja (Rivai, 2011). Berikut adalah tujuan dan manfaat dari K3:
a. Manfaat Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat:

Jika perusahaan dapat mengurangi insiden kecelakaan kerja, penyakit, dan tingkat stres
di tempat kerja, serta meningkatkan kualitas hidup para pekerjanya, perusahaan akan
menjadi lebih efektif. Ini akan mengakibatkan:

1. Peningkatan produktivitas karena berkurangnya jumlah hari kerja yang hilang.


2. Meningkatkan efisiensi dan kualitas pekerjaan karena pekerja yang lebih
berkomitmen.
3. Penurunan biaya asuransi dan kesehatan.
4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah karena
berkurangnya pengajuan klaim.
5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar akibat partisipasi yang lebih
tinggi dan rasa kepemilikan.
6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatnya citra perusahaan.
Akibatnya, perusahaan dapat meningkatkan keuntungan secara substansial.

b. Kerugian Lingkungan Kerja yang Tidak Aman dan Tidak Sehat

Ketidakmampuan mengelola risiko dan kerugian di tempat kerja, termasuk


kerugian yang timbul akibat kematian dan kecelakaan, serta kerugian yang disebabkan
oleh penyakit terkait pekerjaan, seringkali menyebabkan biaya yang signifikan. Selain
itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi psikologis juga memiliki dampak yang
tidak dapat diabaikan. Hal ini mencakup perasaan pekerja yang merasa tidak berarti dan
kurangnya keterlibatan dalam pekerjaan, yang mungkin sulit untuk diukur secara
kuantitatif, serta gejala-gejala stres dan rendahnya kualitas hidup kerja (Rivai, 2011).

Penting untuk dicatat bahwa kecelakaan di tempat kerja juga bisa disebabkan
oleh kelalaian pekerja sendiri, yang dapat mengakibatkan terhentinya proses produksi
dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu, menjalin kerja sama
yang baik antara perusahaan dan karyawannya akan menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif, aman, dan nyaman.
2.6 Program Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan upaya untuk
mengatasi ketimpangan yang terdapat pada empat unsur produksi, yaitu manusia, sarana,
lingkungan kerja, dan manajemen. Di Indonesia, penerapan program K3 masih belum
sepenuhnya terlaksana, bahkan ada perusahaan yang belum mengadopsi K3 sama sekali.

Penting untuk diingat bahwa program K3 bersifat spesifik, artinya program


tersebut tidak dapat disalin begitu saja atau dikembangkan tanpa pertimbangan. Program
K3 harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang sesungguhnya di tempat kerja,
dengan mempertimbangkan potensi bahaya, sifat kegiatan, budaya kerja, kemampuan
finansial, dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, setiap program K3 harus dirancang
secara khusus untuk tiap perusahaan, dan tidak dapat hanya mengikuti arahan atau
pedoman dari pihak lain (Ramli, 2010).

Efektivitas program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat tergantung


pada komitmen dan keterlibatan semua pekerja. Keterlibatan pekerja akan meningkatkan
produktivitas. Beberapa kegiatan yang harus melibatkan pekerja, seperti yang disarankan
oleh Nasution (2005), mencakup:

a. Melakukan pemeriksaan bahan berbahaya dan beracun serta merekomendasikan


perbaikan.

b. Berpartisipasi dalam pengembangan atau perbaikan aturan keselamatan umum.

c. Melakukan pelatihan terhadap tenaga kerja baru.

d. Membantu dalam proses analisis penyebab kecelakaan kerja.


Dengan melibatkan pekerja dalam aktivitas-aktivitas tersebut, perusahaan dapat
mencapai tujuan K3 dengan lebih efektif dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih
aman dan produktif.

Unsur-unsur terpenting dalam program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),


sebagaimana dijelaskan oleh Nasution (2005), meliputi:

1. Pernyataan dan Kebijakan Perusahaan: Merupakan landasan yang penting untuk


K3, karena menetapkan komitmen dan panduan perusahaan terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Menjaga Kondisi Kerja untuk Memenuhi Syarat-syarat Keselamatan: Ini
mencakup tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk memastikan lingkungan
kerja memenuhi standar keselamatan.
3. Membuat Laporan dan Analisis Penyebab Kecelakaan: Ini penting untuk
memahami penyebab kecelakaan dan mencegah terjadinya insiden serupa di
masa depan.
4. Menyediakan Fasilitas Pertolongan Pertama pada Kecelakaan: Menyediakan
fasilitas ini adalah langkah awal yang krusial dalam memberikan pertolongan
cepat ketika kecelakaan terjadi.

Selain itu, untuk memastikan bahwa pelaksanaan program sesuai dengan


perencanaan, diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Monitoring melibatkan
pengumpulan data atau informasi untuk menilai kinerja program yang sedang diawasi.
Sasaran monitoring melibatkan kelangsungan program dan semua komponen yang
mencakup input (masukan), proses, output (hasil), dan outcome (dampak). Monitoring
dan evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa program K3 berjalan efektif dan terus
meningkatkan tingkat keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

Monitoring Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan kerja adalah


serangkaian kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang
yang berkaitan dengan aspek-aspek K3 di lingkungan kerja. Tujuan dari monitoring K3
adalah sebagai berikut:

a. Mengurangi Jam Kerja yang Hilang akibat Kecelakaan Kerja: Dengan


mengidentifikasi potensi risiko dan mengambil tindakan pencegahan yang sesuai,
monitoring K3 dapat membantu mengurangi insiden kecelakaan kerja yang
menyebabkan hilangnya waktu kerja.

b. Menghindari Kerugian Material dan Jiwa akibat Kecelakaan Kerja: Melalui


tindakan pencegahan dan penegakan aturan K3, monitoring dapat membantu
menghindari kerugian baik dalam hal kerusakan materiil maupun cedera yang mungkin
timbul akibat kecelakaan kerja.

c. Menciptakan Tempat Kerja yang Efisien dan Produktif: Karyawan yang merasa
aman dalam bekerja cenderung lebih produktif dan efisien. Monitoring K3 yang baik
dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang aman, yang pada gilirannya akan
meningkatkan produktivitas.

d. Meningkatkan Citra Perusahaan di Pasar: Perusahaan yang menerapkan program


K3 yang kuat cenderung memiliki citra yang lebih baik di mata konsumen dan investor,
karena menunjukkan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja.

e. Menciptakan Hubungan yang Harmonis antara Karyawan dan Perusahaan:


Karyawan yang merasa bahwa perusahaan peduli terhadap keselamatan dan kesehatan
mereka cenderung lebih puas dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan
perusahaan.

f. Perawatan Mesin dan Peralatan yang Lebih Baik: Dengan melibatkan karyawan
dalam praktik-praktik K3, perawatan terhadap mesin dan peralatan cenderung lebih baik,
memperpanjang umur pakai peralatan dan mengurangi kerusakan yang dapat terjadi.

2.7 Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja


Kondisi kerja dan alat-alat kerja yang tidak memadai dapat menyebabkan
kecelakaan kerja, seperti kesalahan dalam penempatan mesin yang tidak dilengkapi
dengan alat pelindung, penggunaan alat pelindung diri yang tidak sesuai dengan aturan,
penggunaan alat kerja yang rusak, dan penataan tata letak pabrik atau kantor yang tidak
efisien. Selain itu, lingkungan kerja juga memiliki dampak besar terhadap moral pekerja,
salah satunya adalah melalui cara pemeliharaan pabrik atau kantor.

Terkait dengan teori tentang terjadinya kecelakaan kerja, umumnya dibedakan menjadi
tiga teori utama:

1. Teori tiga faktor utama (three main factor theory) dari (Murphy, Dubois dan
Hurrell, 1986) meneybutkan bahwa penyebab kecelakaan adalah factor manusia,
peralatan dan lingkungan
a. Teori Manusia: Teori ini berfokus pada peran manusia sebagai penyebab
kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kesalahan manusia,
seperti kelalaian, kurang kewaspadaan, atau tindakan yang tidak sesuai dengan
prosedur keselamatan. Faktor-faktor manusia, seperti pengetahuan, sikap, dan
perilaku, menjadi pusat perhatian dalam teori ini.
b. Teori Mesin atau Alat Kerja: Teori ini menekankan peran mesin, alat kerja, dan
peralatan dalam terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan dapat dipicu oleh
kerusakan mesin, kegagalan alat pelindung, atau kurangnya pemeliharaan.
Penyebab kecelakaan juga dapat berasal dari ketidakcocokan antara tugas
pekerjaan dengan alat yang digunakan.
c. Teori Lingkungan: Teori ini menyoroti lingkungan kerja sebagai penyebab
kecelakaan kerja. Faktor-faktor seperti tata letak pabrik yang buruk, pencahayaan
yang tidak memadai, ventilasi yang buruk, atau tata ruang yang tidak efisien
dapat berkontribusi terhadap insiden kecelakaan. Lingkungan yang tidak aman
dapat memengaruhi moral dan produktivitas pekerja.

Dalam prakteknya, seringkali kombinasi dari faktor-faktor ini yang berperan dalam
terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, upaya pencegahan kecelakaan kerja harus
mencakup perbaikan dalam aspek manusia, alat kerja, dan lingkungan kerja.

2. Teori dua faktor (two factor theory) dari (Hezberg, 1923) kecelakaan kerja
disebabkan oleh kondisi berbahaya (unsafe condition) dan tindakan tidak aman
(unsafe action).
Faktor-faktor yang diajukan dalam Two-Factor Theory of Job Satisfaction adalah:

a. Faktor Kejenuhan (Satisfaction Factors): Faktor-faktor ini berkaitan dengan


aspek positif pekerjaan, seperti prestasi, pengakuan, tanggung jawab,
pertumbuhan, dan kemajuan. Keberadaan faktor-faktor ini dapat meningkatkan
kepuasan kerja.
b. Faktor Ketidakpuasan (Dissatisfaction Factors): Faktor-faktor ini berkaitan
dengan aspek negatif pekerjaan, seperti kondisi kerja yang buruk, supervisi yang
tidak memadai, hubungan antarpekerja yang buruk, dan kebijakan organisasi
yang tidak sesuai. Ketidakadaan atau ketidakpuasan faktor-faktor ini dapat
menyebabkan ketidakpuasan kerja.
3. Teori faktor manusia (human factor theory) menekankan bahwa, pada akhirnya,
semua kejadian kecelakaan di tempat kerja, baik yang terjadi secara langsung
maupun tidak langsung, berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh individu
manusia.

Faktor manusia melibatkan sejumlah faktor yang mencakup peraturan kerja,


kemampuan pekerja (seperti usia, tingkat pengalaman, tingkat keahlian yang mungkin
kurang, dan kecepatan dalam pengambilan keputusan), tingkat disiplin kerja, perilaku
yang memiliki potensi untuk menyebabkan kecelakaan kerja, serta kesesuaian fisik dan
mental. Upaya untuk mencegah permasalahan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan
diagram Ishikawa, yang sering disebut juga sebagai diagram sebab-akibat. Alat ini
awalnya dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada tahun 1943 (seperti yang
diungkapkan oleh Ariani, 2004).

Faktor-faktor ini dapat dijabarkan menjadi:

a. Faktor Manusia

1. Usia

Usia memerlukan perhatian khusus karena berpengaruh terhadap kondisi fisik,


mental, kemampuan kerja, dan tingkat tanggungjawab seseorang. Karyawan muda
umumnya memiliki kekuatan fisik yang lebih baik, dinamis, dan kreatif. Namun, di sisi
lain, karyawan muda cenderung merasa bosan lebih cepat, kurang bertanggungjawab,
sering absen, dan memiliki tingkat pergantian (turn-over) pekerja yang lebih rendah
(Hasibuan, 2003). Di sisi lain, karyawan yang lebih tua mengalami penurunan kapasitas
fisik seperti penglihatan, pendengaran, dan kecepatan reaksi setelah mencapai usia 30
tahun atau lebih. Oleh karena itu, mereka perlu lebih berhati-hati saat bekerja di
lingkungan pabrik karena terdapat kecenderungan bahwa beberapa jenis kecelakaan,
seperti terjatuh, lebih sering terjadi pada tenaga kerja yang berusia 30 tahun atau lebih.
Selain itu, angka rata-rata kecelakaan cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia karyawan (Suma'mur, 1989).

2. Jenis Kelamin

Pembagian sosial pekerjaan antara pria dan wanita berbeda secara signifikan,
yang mengakibatkan perbedaan paparan atau dampak yang dialami oleh masing-masing
jenis kelamin dalam suatu pekerjaan. Akibatnya, penyakit atau masalah kesehatan yang
dialami juga berbeda. Dari segi anatomi, fisiologi, dan psikologi, tubuh wanita dan pria
memiliki perbedaan, sehingga diperlukan penyesuaian dalam hal tugas dan kebijakan
kerja. Sebagai contoh, wanita dapat mengalami proses hamil dan menstruasi, yang
memerlukan penyesuaian dan kebijakan khusus yang harus diterapkan untuk mendukung
kesejahteraan mereka.

3. Masa Kerja

Masa kerja merujuk pada jangka waktu di mana seseorang bekerja di suatu
tempat. Masa kerja ini memiliki potensi untuk memengaruhi kinerja individu, baik
secara positif maupun negatif. Pengaruh positif bisa terlihat dari pengalaman yang
dikumpulkan oleh seseorang selama bekerja dalam suatu perusahaan dalam jangka
waktu yang lama. Namun, sebaliknya, pengaruh negatif dapat muncul ketika karyawan
mengembangkan kebiasaan yang kurang baik, seperti mengabaikan penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD), karena merasa sudah sangat terbiasa dengan tugas tertentu.
Kebiasaan-kebiasaan ini dapat menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja, terutama
jika pekerjaan yang dilakukan bersifat monoton atau berulang. Masa kerja biasanya
dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu masa kerja baru (kurang dari 6 tahun), masa
kerja menengah (6-10 tahun), dan masa kerja yang panjang (lebih dari 10 tahun) (Tulus,
1992).

4. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merujuk pada proses di mana seseorang mengembangkan


kemampuan, sikap, dan perilaku lainnya, yang diharapkan akan memungkinkan mereka
untuk menghadapi berbagai pengaruh dari lingkungan sekitarnya (Munib, 2004). Ini
adalah serangkaian usaha yang direncanakan untuk memengaruhi individu, kelompok,
atau masyarakat agar mereka mampu mencapai hasil yang diharapkan dalam dunia
pendidikan (Notoatmodjo, 2003). Adanya tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada
seseorang cenderung membuat mereka lebih sadar akan risiko yang mungkin terkait
dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, individu dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih mampu mengidentifikasi dan menghindari
potensi bahaya dalam pekerjaan mereka yang dapat berujung pada kecelakaan kerja.

5. Perilaku

Variabel perilaku merupakan salah satu faktor individu yang berpengaruh


terhadap tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja, kesadaran akan risiko
kecelakaan, dan praktik kerja yang aman memegang peranan penting, karena lebih
banyak masalah yang disebabkan oleh kesalahan manusia yang ceroboh daripada oleh
kesalahan mesin atau ketidakpedulian dari karyawan sendiri. Selain sikap pribadi
karyawan, karakteristik individu pekerja juga dapat memengaruhi terjadinya kecelakaan
kerja.

b. Faktor Lingkungan
1. Kebisingan
Kebisingan mengacu pada suara atau bunyi yang tidak diinginkan (Budiono,
2003). Kehadiran kebisingan dalam lingkungan kerja dapat memiliki berbagai dampak
negatif, termasuk mengurangi kenyamanan saat bekerja, mengganggu komunikasi antar
pekerja, mengurangi tingkat konsentrasi, dan bahkan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran atau tuli. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51 tahun
1996, batasan nilai kebisingan di tempat kerja adalah 85 dBA selama 8 jam kerja.

2. Suhu Udara

Menurut penelitian, tingkat produktivitas tertinggi yang dapat dicapai saat


manusia bekerja biasanya terjadi pada suhu udara sekitar 24-27 derajat Celsius. Suhu
yang terlalu rendah dapat mengurangi efisiensi kerja dan menyebabkan keluhan seperti
otot yang kaku atau kurangnya koordinasi. Di sisi lain, jika suhu udara terlalu panas, ini
dapat mengurangi kinerja pekerja dengan mengurangi kecepatan pengambilan
keputusan, serta mengurangi ketelitian kerja otak (Suma'mur, 1989). Kondisi ekstrim,
entah terlalu panas atau terlalu dingin, dapat menyebabkan kelelahan atau kantuk pada
pekerja, mengurangi kreativitas, dan dengan demikian, meningkatkan risiko terjadinya
kecelakaan kerja.

3. Penerangan

Penerangan di tempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang digunakan
untuk menerangi benda-benda di sekitar area kerja. Banyak objek, benda, peralatan, dan
kondisi sekitar yang perlu dilihat oleh pekerja, dan ini sangat penting untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja yang mungkin terjadi (Budiono, 2003). Penerangan yang
memadai memungkinkan pekerja melihat objek yang sedang mereka kerjakan dengan
jelas dan cepat (Suma'mur, 1989). Namun, jika penerangan terlalu terang, ini dapat
menyebabkan pantulan cahaya dari benda-benda yang bersinar, yang pada gilirannya
dapat membahayakan mata pekerja. Di sisi lain, jika pencahayaan yang ada kurang
memadai, ini dapat menyebabkan pekerja merasa kantuk, yang dapat menjadi berbahaya
jika mereka sedang mengoperasikan peralatan berbahaya. Oleh karena itu, faktor
penerangan harus diatur dengan baik sehingga pekerja dapat tetap fokus dalam
menjalankan tugas mereka.

4. Lantai Licin
Lantai di lingkungan kerja harus dibuat dari bahan yang keras, tahan air, dan tahan
terhadap bahan kimia yang dapat merusak permukaan lantai. Misalnya, jika lantai terasa
licin dan kemudian terkena tumpahan air atau minyak, ini dapat menyebabkan
kecelakaan kerja karena pekerja dapat terpeleset. Oleh karena itu, penting untuk
memastikan bahwa lantai di tempat kerja memenuhi standar keamanan yang sesuai
untuk mencegah risiko cedera yang disebabkan oleh lantai yang licin.

c. Faktor Peralatan
1. Kondisi Mesin

Mesin penggerak memungkinkan pengurangan beban kerja manusia dan


memungkinkan pekerjaan menjadi lebih bermakna (Suma'mur, 1989). Namun,
penggunaan mesin secara berkelanjutan dapat menyebabkan mesin menjadi rusak lebih
cepat. Jika tidak diperhatikan, hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan
kerja. Oleh karena itu, penting untuk merawat dan memelihara mesin dengan baik agar
dapat beroperasi dengan aman dan efisien.

2. Ketersediaan Alat Pengaman Mesin

Penting untuk melengkapi mesin produksi dan peralatan mekanik dengan alat
pengaman seperti pagar atau perlengkapan pengaman lainnya. Ini bertujuan agar
penggunaan mesin tersebut tidak mengakibatkan kontak langsung dengan fisik pekerja.
Penerapan alat pengaman mesin mencerminkan kewajiban yang diatur dalam
perundang-undangan, pemahaman dari pihak yang terlibat, dan sebagainya (Suma'mur,
1989). Dengan demikian, alat pengaman mesin harus selalu tersedia dan digunakan
sesuai dengan standar keamanan untuk melindungi pekerja dari potensi bahaya yang
mungkin timbul selama penggunaan mesin.

3. Penempatan Mesin

Hubungan antara manusia dan mesin memiliki dampak timbal balik yang
signifikan. Peran manusia dalam konteks ini adalah sebagai bagian dari rangkaian
produksi dan sebagai pengendali mesin. Sebaliknya, mesin harus diatur dengan aman
dan efisien untuk menjalankan tugasnya dengan cara yang lebih mudah (Sugeng
Budiono, 2003). Hal ini termasuk dalam aspek penempatan atau tata letak mesin.

Semakin jauh mesin ditempatkan dari pekerja, maka dampak potensi bahaya
yang mungkin dihadapi oleh pekerja menjadi lebih kecil. Ini merupakan salah satu
langkah yang efektif dalam mengurangi insiden kecelakaan kerja dan konsekuensinya di
masa depan. Dengan cara ini, pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih aman dan efisien,
serta mengurangi risiko cedera atau kecelakaan.

Selain teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya tentang faktor penyebab


kecelakaan kerja, ada faktor lain yang dianggap dapat memicu kecelakaan kerja, yaitu
tata letak ruang atau layout. Tata letak ruang melibatkan pemilihan dan organisasi ruang
berdasarkan kebutuhan dan penggunaan, dengan tujuan merancang struktur fisik yang
praktis dalam aspek-aspek yang dianggap penting untuk pelaksanaan pekerjaan
perkantoran yang efisien dan dalam kerangka anggaran yang memadai (The Liang Gie,
2000:186). Dengan kata lain, cara ruang kerja disusun dan diorganisasi dapat memiliki
dampak signifikan terhadap efisiensi dan keselamatan pekerjaan, serta pengaruh
terhadap kecelakaan kerja yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, perencanaan tata letak
ruang yang baik merupakan langkah penting untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja
di lingkungan perkantoran.

Pengaturan tata ruang yang optimal adalah penggunaan penuh dan efisien dari
semua ruang yang tersedia. Ruang tidak hanya terbatas pada luas lantai (ruang
horizontal), tetapi juga mencakup ruang vertikal, baik yang ke atas maupun ke bawah.
Dengan demikian, tidak ada ruangan yang dibiarkan tidak dimanfaatkan. Pendekatan ini
bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan ruang yang masih kosong untuk tujuan
yang dapat mendukung kinerja karyawan.

Peran kesehatan dan keselamatan kerja dalam pengaturan tata ruang memiliki
signifikansi penting, seperti yang telah disoroti oleh beberapa ahli. Menurut Simanjuntak
(1994), keselamatan merujuk pada perlindungan kesejahteraan fisik individu dari cedera
yang terkait dengan pekerjaan. Selain itu, terdapat beberapa tujuan atau manfaat yang
terkait dengan pengaturan layout, termasuk:
1. Meningkatkan Keselamatan: Tata letak yang baik dapat mengurangi risiko
kecelakaan kerja dengan menghilangkan atau mengurangi potensi bahaya,
memberikan akses yang aman ke area kerja, dan mengatur peralatan dengan cara
yang mengurangi risiko cedera.
2. Meningkatkan Efisiensi: Tata letak yang efisien dapat membantu dalam
pengorganisasian aliran kerja yang optimal, sehingga mengurangi waktu dan
upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas.
3. Meningkatkan Produktivitas: Dengan meminimalkan gangguan dan perjalanan
yang tidak perlu dalam proses kerja, tata letak yang baik dapat meningkatkan
produktivitas karyawan.
4. Meningkatkan Kualitas Pekerjaan: Tata letak yang baik dapat membantu dalam
pengaturan peralatan dan bahan dengan cara yang memungkinkan kualitas
pekerjaan yang lebih baik.
5. Peningkatan Kesejahteraan Karyawan: Dengan menciptakan lingkungan kerja
yang aman, nyaman, dan efisien, tata letak yang baik dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kepuasan karyawan.
6. Pengaturan layout yang memperhatikan aspek-aspek ini dapat berkontribusi pada
pencapaian lingkungan kerja yang lebih aman, efisien, dan produktif.

2.8 Dampak Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Perusahaan


Kecelakaan kerja dan dampaknya, baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung, bisa menyebabkan penurunan produktivitas dan kerugian bagi perusahaan.
Oleh karena itu, setiap perusahaan diwajibkan untuk mengimplementasikan upaya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) guna mengendalikan risiko bahaya serta
mengurangi potensi risiko di lingkungan kerja. Tujuannya adalah untuk mencegah
terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian atau bencana bagi perusahaan
melalui pendekatan proaktif dan preventif dalam mempromosikan budaya K3.

Kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan oleh siapa pun,
oleh karena itu, penting bagi karyawan untuk memahami konsekuensi dari praktik-
praktik K3. Hal ini akan mendorong karyawan untuk lebih berhati-hati saat menjalankan
tugas mereka (Budiono, 2003).
a. Dampak terhadap karyawan
1. Kecelakaan dapat berpotensi mengakibatkan penderitaan fisik, seperti luka-luka
atau cedera serius, dan dalam beberapa kasus, bahkan bisa berujung pada cacat
permanen atau kematian.
2. Karyawan akan kehilangan waktu kerja karena mereka perlu mendapatkan
perawatan medis dan pemulihan.
3. Pendapatan karyawan bisa mengalami penurunan karena absensi kerja yang
disebabkan oleh perawatan medis akibat kecelakaan.
4. Karyawan juga mungkin berisiko pemecatan jika kecelakaan kerja
mengakibatkan cacat permanen, yang dapat menghambat kemampuan mereka
untuk menjalankan tugas pekerjaan dengan efektif.
b. Dampak Terhadap Keluarga Karyawan
1. Keluarga karyawan akan merasakan kesedihan yang mendalam, karena mereka
secara tidak langsung terlibat dalam penderitaan yang dialami oleh anggota
keluarga mereka akibat kecelakaan kerja.
2. Jika penghasilan karyawan berkurang akibat kehilangan waktu kerja, ini akan
memengaruhi pemasukan keluarga secara keseluruhan.
3. Jika kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan mengakibatkan cacat
permanen atau bahkan kematian, masa depan anggota keluarga karyawan
menjadi tidak pasti, dan keluarga tersebut mungkin harus menghadapi kesulitan
finansial dan emosional.
4. Kecelakaan kerja juga bisa menjadi beban tambahan bagi keluarga, karena
mereka mungkin perlu menghadapi kesulitan dalam memberi nafkah dan
merawat anggota keluarga yang mengalami cedera serius atau cacat permanen.
c. Dampak Terhadap Perusahaan
1. Perusahaan akan mengalami kehilangan tenaga kerja yang mungkin telah terlatih
dan memiliki keterampilan khusus, yang sulit untuk segera digantikan.
2. Perusahaan akan menghadapi biaya tambahan, seperti biaya perawatan medis
bagi korban kecelakaan dan biaya perbaikan atau penggantian peralatan atau
fasilitas kerja yang rusak akibat kecelakaan.
3. Produksi perusahaan akan terganggu, karena kecelakaan kerja dapat
menyebabkan penundaan atau hentinya proses produksi. Hal ini berpotensi
mengakibatkan kerugian produksi yang dapat berdampak negatif pada
pendapatan perusahaan.

2.9 Kehilangan Hari dan Jam kerja


Kehilangan hari dan jam kerja akibat kecelakaan merujuk pada situasi di mana
seorang pekerja mengalami cedera yang cukup serius sehingga tidak dapat kembali
bekerja pada hari yang sama. Dalam konteks ini, "kehilangan hari kerja" mengacu pada
jumlah hari ketika pekerja tersebut absen karena cedera. Kerugian yang ditanggung oleh
perusahaan akibat absennya pekerja tersebut dapat berasal dari dua aspek:

Aspek Sumber Daya Manusia: Perusahaan kehilangan produktivitas pekerja


tersebut selama dia tidak dapat bekerja. Selain itu, perusahaan harus mencari pengganti
sementara atau menyesuaikan beban kerja pekerja lain untuk mengatasi absennya
pekerja yang cedera.

Aspek Upah: Meskipun pekerja tersebut tidak bekerja karena cedera, perusahaan
mungkin masih harus membayar upah pekerja tersebut sesuai dengan perjanjian kerja
atau hukum yang berlaku. Ini akan menjadi tambahan biaya bagi perusahaan.

Semakin lama pekerja tidak dapat kembali bekerja karena cedera, semakin besar
jumlah hari kerja yang hilang, dan akibatnya, kerugian yang harus ditanggung
perusahaan juga akan semakin tinggi. Konsep ini menunjukkan pentingnya menjaga
keselamatan kerja dan mencegah kecelakaan di lingkungan kerja untuk mengurangi
risiko kehilangan hari dan jam kerja, serta dampak finansial yang terkait dengannya.
(Salami, dkk, 2016).

2.10 indikator Kinerja keselamatan


Kinerja keselamatan dalam suatu perusahaan dapat tercermin melalui berbagai
metrik, seperti jumlah kematian akibat kecelakaan atau penurunan angka kecelakaan
kerja. Pencatatan data kecelakaan kerja adalah penting karena ini membantu dalam
pemantauan dan evaluasi tren angka kecelakaan di perusahaan. Data ini dapat digunakan
untuk membandingkan kinerja antar unit kerja dalam perusahaan atau untuk
membandingkan jenis kegiatan yang serupa. Tren ini adalah indikator yang sangat
berharga untuk mengukur kondisi keselamatan di perusahaan atau dalam industri.

Perhitungan angka kecelakaan kerja dapat menggunakan beberapa metrik, seperti:

1. Incidence Rate: Angka frekuensi kecelakaan kerja, yang menghitung jumlah


kecelakaan per 100 orang atau sejuta jam kerja.

Jumlah kecelakaan yang terjadi


Inscidence Frequency rate= x Faktor Penggali
Jumlah pekerja x Jamkerja

(Salami, dkk, 2016)

2. Severity Rate: Angka keparahan kecelakaan kerja, yang menghitung jumlah hari
kerja yang hilang akibat kecelakaan per 100 orang atau Sejuta jam kerja.

Jumlah kecelakaan yang terjadi


Severity rate= x Faktor Penggali
Jumlah pekerja x Jamkerja

(Salami, dkk, 2016)

Jumlah jam kerja yang hilang dapat dihitung dengan memperhitungkan berbagai
faktor yang mencakup:

a. Jumlah hari yang diakibatkan cacat total sementara: Ini mengacu pada jumlah hari
yang pekerja tidak dapat bekerja karena cedera atau cacat sementara. Perhitungan ini
mencakup hari kerja, termasuk hari libur, selama pekerja tersebut tidak mampu bekerja.

b. Jumlah cacat total permanen dan kematian: Ini mencakup kasus-kasus yang
mengakibatkan cacat permanen pada pekerja atau bahkan kematian. Ini mencakup
jumlah jam kerja yang hilang dalam jangka panjang.

3. Nilai T Selamat (Safety T-Value) adalah metrik yang digunakan untuk


membandingkan tingkat kecelakaan atau keselamatan di sebuah unit kerja antara
masa lalu dan masa kini. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah ada
penurunan atau peningkatan signifikan dalam tingkat kecelakaan tersebut.
Metode yang digunakan adalah uji statistik "t" atau Student's t-test.

FR (n)– FR (n−1)
SafeT score=
FR(n−1)

Dimana :

FR (n) = angka frekuensi kecelakaan kerja kini

FR (n-1) = angka frekuensi kecelakaan kerja sebelumnya

Jika diperoleh nilai Safe-T-score positif, ini mengindikasikan bahwa kondisi


kecelakaan di suatu perusahaan atau industri sedang memburuk. Sebaliknya, jika angka
Safe-T-score bernilai negatif, itu menandakan bahwa keadaan keselamatan sedang
membaik. Selain itu, jika nilai mencapai ±2,00, hal tersebut menunjukkan adanya
perubahan yang signifikan.

a. STS antara +2,00 dan -2,00 tidak menunjukkan perubahan berarti: Ini berarti bahwa
jika STS berada dalam rentang ini, maka perubahan dalam tingkat kecelakaan tidak
dianggap signifikan secara statistik.

b. STS di atas +2,00 menunjukkan keadaan memburuk: Apabila STS positif dan
melebihi +2,00, ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat kecelakaan, yang
merupakan tanda kondisi yang memburuk dalam hal keselamatan.

c. STS di bawah -2,00 menunjukkan keadaan yang membaik: Sebaliknya, jika STS
negatif dan kurang dari -2,00, ini menandakan penurunan signifikan dalam tingkat
kecelakaan, yang menunjukkan kondisi keselamatan yang membaik.

Dengan menggunakan STS, perusahaan atau industri dapat mengidentifikasi


perubahan signifikan dalam tingkat kecelakaan dan mengambil tindakan yang sesuai
untuk memperbaiki atau mempertahankan kondisi keselamatan yang baik.
2.11 Fault Tree Analysis
Fault Tree Analysis (FTA) adalah metode analisis yang digunakan untuk
mengidentifikasi dan memahami berbagai kombinasi peristiwa yang dapat menyebabkan
kejadian Top Event, yaitu kegagalan sistem yang signifikan. FTA adalah model grafis
yang digunakan untuk mewakili hubungan sebab-akibat antara berbagai peristiwa yang
dapat terjadi. Berikut adalah langkah-langkah yang umumnya diikuti dalam FTA:

a. Mendefinisikan problem dan kondisi batas (boundary condition) dari sistem:


Tahap awal adalah untuk menentukan sistem yang akan dianalisis, mengidentifikasi Top
Event, dan menetapkan batasan atau kondisi yang relevan untuk analisis.

b. Pengkonstruksian fault tree: Dalam tahap ini, fault tree dibangun dengan
menggambarkan semua peristiwa yang mungkin menyebabkan Top Event. Peristiwa-
peristiwa ini disusun dalam bentuk pohon dengan menggunakan simbol-simbol logika,
seperti AND, OR, dan NOT gates, untuk mencerminkan hubungan sebab-akibat.

c. Mengidentifikasi minimal cut set atau minimal path set: Setelah fault tree
dibangun, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kombinasi peristiwa yang dapat
menyebabkan Top Event. Ini dapat berupa minimal cut set (kombinasi peristiwa yang,
jika terjadi bersama-sama, akan menyebabkan Top Event) atau minimal path set
(kombinasi peristiwa yang membentuk jalur terpendek ke Top Event).

d. Analisis kualitatif dari fault tree: Tahap ini melibatkan evaluasi kualitatif dari
fault tree, yaitu menilai sebab-sebab potensial kegagalan dan hubungan antara mereka.
Analisis ini membantu dalam memahami potensi risiko dan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kejadian Top Event.

e. Analisis kuantitatif fault tree: Pada tahap terakhir, jika diperlukan, dapat
dilakukan analisis kuantitatif untuk menentukan probabilitas terjadinya Top Event dan
evaluasi dampaknya.

FTA adalah alat yang berguna dalam identifikasi dan manajemen risiko dalam
rekayasa sistem, membantu dalam mengidentifikasi penyebab potensial kegagalan, dan
merancang tindakan perbaikan untuk meningkatkan keandalan sistem.

Langkah pertama dalam membangun Fault Tree Analysis (FTA) adalah sebagai berikut
1. Mendefinisikan Kecelakaan

Umumnya, kejadian kecelakaan di tempat kerja seringkali disebabkan oleh


kesalahan atau kelalaian dari para pekerja itu sendiri. Hal ini terjadi ketika para pekerja
kurang memperhatikan kehati-hatian saat melaksanakan tugas mereka. Sebagai contoh,
ada kasus di mana seorang pekerja mengalami cedera pada jari karena jari tersebut
terjepit oleh mesin yang sedang beroperasi. Selama tiga bulan terakhir, tercatat beberapa
insiden kecelakaan yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penerangan dalam
ruangan. Selama periode tersebut, didapatkan data terkait jam kerja karyawan, jumlah
jam kerja yang hilang, serta jumlah insiden kecelakaan kerja.

2. Menggali pengetahuan tentang sistem dilakukan dengan memahami rincian


teknis peralatan, kondisi lingkungan kerja, serta prosedur operasional yang
berlaku.

Memahami sistem melibatkan pemahaman terhadap spesifikasi peralatan,


kondisi lingkungan kerja, dan prosedur operasi yang berlaku. Namun, dalam prakteknya,
seringkali para pekerja kurang memperhatikan dan bahkan mengabaikan aspek-aspek
lingkungan kerja yang memiliki potensi untuk menimbulkan kecelakaan kerja.

Demi mengatasi permasalahan ini, perusahaan telah memulai upaya untuk memberikan
pelatihan kepada para karyawan dalam rangka mengurangi angka kecelakaan kerja.
Program pelatihan ini mencakup berbagai aspek keselamatan kerja, termasuk
pencegahan kecelakaan, tindakan pencegahan kebakaran, serta upaya untuk
meningkatkan keandalan operasi pabrik. Selain itu, program ini juga mencakup
pembinaan untuk memastikan para pekerja memahami pentingnya keselamatan kerja
dan menerapkannya dalam rutinitas sehari-hari mereka.

3. Mengembangkan pohon kesalahan.

Setelah mengidentifikasi kejadian kecelakaan, langkah selanjutnya adalah


mengembangkan Fault Tree Analysis (FTA) untuk menemukan akar penyebab dari
kecelakaan tersebut. Dengan FTA, kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Setelah itu, kita dapat mencari solusi
untuk mencegah kecelakaan serupa terjadi di masa depan. Data yang digunakan dalam
membangun FTA ini mencakup jenis-jenis kecelakaan kerja yang telah terjadi di PT
Garut Makmur Perkasa.

Simbol-simbol pohon kesalahan:

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Flowchart Penelitian


Dalam penelitian ini berikut alur proses yang akan dilakukan untuk penelitian
“Analisa penerapan K3 dengan Pendekatan Fault Tree Analysis dalam Meningkatkan
Produktivitas Kerja di PT GARUT MAKMUR PERKASA sebagai berikut
3.2 Uraian Flowchart Penelitian
Uraian tahapan-tahapan dari flowchart penelitian yang dilakukan di PT Garut
Makmur Perkasa ditampilkan pada Gambar. Proses ini menunjukan bahwa penelitian
akan segera dilakukan dan mempersiapkan bahan-bahan untuk studi pendahuluan yang
meliputi studi lapangan dan studi literatur. Untuk uraian proses dari flowchart ini bisa
dilihat pada sub bab dibawah ini.

3.2.1 Studi Lapangan


Studi lapangan dimulai dengan survey ke PT Garut Makmur Perkasa untuk
melakukan pengamatan pertama. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan gambaran
usaha yang dilakukan perusahaan, mengamati situasi di lapangan, dan mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi perusahaan. Kegiatan lain yang dilakukan dalam studi
lapangan adalah dengan melakukan wawancara secara langsung dengan bagian-bagian
terkait untuk mendapatkan informasi tambahan.
3.2.2 Studi Literatur
Studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang mendukung penelitian yang
dilakukan. Studi literatur mengacu pada teori-teori yang harus bersumber dari literatur
yang terpercaya. Sumber literatur dapat diperoleh dari buku, buku elektronik (e-book),
jurnal dan website yang bereputasi. Studi literatur dapat dijadikan sebagai bahan
referensi dan dapat memberikan informasi yang spesifik untuk membantu memecahkan
masalah yang diteliti.

3.2.3 Identifikasi Masalah


Proses yang paling penting diantara proses lain yaitu salah satunya
mengidentifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan proses yang memudahkan
untuk menentukan mana saja yang harus didahulukan dan mana yang hanya akan
menjadi bagian pelengkap. Sebagai bentuk dorongan dari suatu kegiatan dari penelitian
untuk menjadi sebab suatu kegiatan penelitian terjadi untuk dilaksanakan.

3.2.4 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian


Langkah perumusan masalah dibuat berdasarkan permasalahan yang ada dan
yang sedang terjadi saat ini di PT Garut Makmur Perkasa berdasarkatan saat melakukan
studi lapangan. Sedangkan dalam tahap tujuan penelitian akan menjelaskan tujuan apa
saja yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian berdasarkan perumusan masalah.

3.2.5 Pembatasan Masalah


Tahap ini dibuat agar pemecahan masalah dari objek penelitian menjadi lebih
terarah, serta memperlihatkan berbagai keterbatasan yang dialami pada saat melakukan
penelitian agar memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian akan
tercapai.

3.2.6 Pengumpulan Data


Proses dalam pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan cara observasi
lapangan dan wawancara langsung kepada pelaku usaha di PT Garut Makmur Sejahtera
untuk mendapatkan faktor-faktor dari keadaan perusahaan yang digunakan pada analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif
3.2.7 Pengolahan Data
Proses pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
kuantitatif yang meliputi perhitungan tingkat keparahan, frekuensi, nilai t Selamat, dan
hubungan produktivitas dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Kemudian,
melanjutkan dengan analisis kualitatif menggunakan metode Fault Tree Analysis untuk
mengidentifikasi penyebab potensial dari kejadian atau kegagalan system.

3.2.8 Kesimpulan dan saran


Kesimpulan dan Saran Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian.
Kesimpulan harus dapat memberikan jawaban yang relevan dengan tujuan penelitian
agar penelitian dapat mencapai tujuannya. Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah
dinyatakan maka dapat memberikan saran agar mempermudah penelitian untuk generasi
di masa yang akan datang. Saran dapat ditujukan kepada peneliti, pemerintah, pelaku
usaha atau UMKM, maupun pihak-pihak lainnya yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumastuti, A. W., & Purwanto, Y. A. (2016). Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja dengan Metode Fault Tree Analysis di Sebuah Perusahaan
Manufaktur di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(3), 198-205.

Husin, N., & Pratama, A. M. (2017). Analisis Faktor-Faktor Keselamatan dan


Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas di Industri Manufaktur. Jurnal
Teknik Industri, 2(2), 130-137.

Suhardi, Y. (2018). Penerapan Fault Tree Analysis dalam Meningkatkan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Industri Manufaktur di Indonesia. Jurnal Keselamatan,
Kesehatan, dan Lingkungan, 5(2), 109-118.

Salim, M. (2015). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan


Produktivitas di Industri Konstruksi di Indonesia. Jurnal Manajemen Konstruksi, 4(1),
12-23.

Purnomo, E. A. (2017). Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan


Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas di Industri Manufaktur Indonesia. Jurnal
Ilmiah Manajemen dan Bisnis, 1(2), 89-98.

Iswara, I. B., & Siswanto, H. (2019). Analisis Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan Pendekatan Fault Tree Analysis pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Jurnal
Rekayasa Sipil dan Desain, 3(2), 105-113.

Marpaung, B. S., & Supriyanto, H. (2018). Implementasi K3 dalam Meningkatkan


Produktivitas di Industri Manufaktur di Indonesia: Studi Kasus PT ABC. Jurnal
Manajemen Produksi, 7(1), 37-46.

Hadi, S. (2017). Analisis Faktor-Faktor Keselamatan Kerja dalam Hubungannya dengan


Produktivitas di Industri Manufaktur. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Keuangan, 5(1), 67-
76.
Wijaya, B. A., & Nugraha, B. (2016). Manajemen Keselamatan Kerja dalam
Meningkatkan Produktivitas di Industri Konstruksi di Indonesia. Jurnal Teknologi
Konstruksi, 3(2), 87-98.

Anda mungkin juga menyukai