Anda di halaman 1dari 5

Puisi Zulmasri Kampai

RUMAH IBU

rumah itulah, segalanya berawal kisah yang kerap kau tanyakan


saat pisah tanpa lambai dan derai air mata
segalanya terjadi dalam alur cerita
tanpa perlu bertutur akan tema

pada rumah itulah, rindu terus dipelihara dalam kecamuk raga


saat pintu dan jendela menutup, keterbukaan hanyalah fatamorgana
gemuruh petir saat siang menjadi sebuah pertanda
dari kerasnya hati yang telah lama mati

menatap rumah di jejauhan pikiran


rindu berperang harga diri, lambai menciderai ketulusan
noktah hitam menggerus kepercayaan yang pernah dipertahankan
akankah hari menutup matanya?

rindu rumah dalam kehangatan cerita


kuhadapkan diri ke tembok angkuh dan dinginnya dendam amarah

Pekalongan, 2023
Puisi Zulmasri Kampai

RABAB DI TENGAH RUMAH

masih saja jemari menjalin helai demi helai


daun pandan yang telah layu disinari panas matahari
dan bekas deduri pada jemari lelah
bermain pada pintal tikar di ruang tengah rumah

di luar curah hujan masih menderu, desember yang lembab


petikan rabab pirin asmara1) menuai cerita dalam pantun

“Pai ka pasa mambali martabak


Urang malagu suaro parau
Salamaik jalan amak jo abak
Ambo minta izin pai marantau”2)

suara rabab kian mengiba


di luar hujan kian menggila
catatan malin kundang terus menggema
menelantarkan nasib sang anak yang tak pulang-pulang
tak berkabar pada tetes harap yang tak pernah sudah

“bu, ampuni aku”

Pekalongan, Desember 2023

1) Rabab adalah alat musik gesek tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari
tempurung kelapa, mirip biola. Rabab dimainkan dalam bentuk cerita, diuntai dalam
bentuk pantun, dan masih ditemukan di daerah Pesisir Selatan. Salah seorang perabab
legendarisnya adalah Pirin Asmara.

2) Pergi ke pasar membeli martabak


Orang bernyanyi suaranya parau
Selamat jalan ibu dan bapak
Saya minta izin pergi merantau
Puisi Zulmasri Kampai

PADA RIAK LAUTMU

pada riak lautmu, kulihat senja menghitam di antara kerdip cahaya negeri
saat surau di samping rumah bersiap dalam kumandang magrib
angin pantai masih menepi, riuh burung pulang ke sarang
mengabarkan perantau di pinggir malam

masih saja alunan seruling dan bansi meneruka


saat pantaimu menyepi dalam catatan harap
adakah mendungmu berkabar gerimis
ataukah titik hujan berberita akhir kemarau?

pada riak lautmu, pulau-pulau menjadi titik yang pengap


polusi di mana-mana, udara dipenuhi tuba
negeri ini butuh damai, negeri ini butuh embun
menyirami hati pada kerontang kemarau

masihkah riakmu mengalun di keheningan magrib?


Kuingin pantaimu mengaji di antara keremangan nasib

Pekalongan, 2023
BIODATA ZULMASRI KAMPAI

Zulmasri Kampai lahir di desa Padang Panjang II, Kambang, Peisisir Selatan, Sumatera
Barat, 11 Januari 1971. Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Andalas Padang,
lalu hijrah ke Pekalongan tahun 1997.
Menulis puisi dan cerpen di beberapa media massa. Puisi-puisi dimuat dalam beberapa buku,
di antaranya Taraju 93 (1993), Antologi Puisi Indonesia (1997), Diverse (Antologi Puisi 120
Penyair Indonesia diterbitkan dalam 2 bahasa –Indonesia dan Inggris -- dan dicetak di
Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris, 2012), Tanda Mata (2016), Kidung Bukit Sengare
(kumpulan puisi tunggal, 2018), Hujan Baru Saja Reda (2021), Suatu Hari dari Balik
Jendela Rumah Sakit (2021), Wasiat Botinglangi (2022), Raja Kelana (2022), Laut dan
Kembara Kata-kata (2022), Angkatan Milenial (2022), Parepare Kota Cinta (2022), Lukisan
Bumi (2023), Larung Sastra (2023). Hujan (2023), Ketika Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibukota
Negara (2023), Kulminasi (2023), dan Di Kota Singgah, di Pinggir Pantai, pada Sebuah
Senja (2023). Saat ini menjadi guru di SMP 1 Sragi dan tinggal di Wiradesa, Pekalongan,
Jawa Tengah.

Foto:

Alamat: Kauman RT 10/05 Nomor 43


Wiradesa
Kabupaten Pekalongan
Jawa Tengah
Kode Pos 51152

Email: mastermasri@gmail.com

No. HP/WA: 085325208171

Anda mungkin juga menyukai