Abstrak— Di Indonesia perpindahan dari sistem analog ke pengolahan sinyal yang dimiliki oleh sistem penyiaran TV
sistem digital pada dunia pertelevisian saat ini sedang dalam Digital memungkinkan sistem TV digital lebih tahan terhadap
proses. TV analog yang saat ini masih dipergunakan dianggap derau dan distorsi oleh kanal maupun efek interferensi[2].
tidak lagi efisien, selain tidak memberikan kualitas layanan yang Sistem penyiaran TV digital DVB-T2 (Digital Video
optimal, juga tidak efisien terhadap spektrum sinyal. Indonesia
sesuai dengan Peraturan Menteri No 5 Tahun 2012, dalam
Broadcasting-Terrestrial Second Generation) memungkinkan
penyiaran digital menggunakan Teknologi DVB-T2. Teknologi jaringan pemancar TV digital bekerja pada frekuensi yang
DVB-T2 (Digital Video Broadcasting-Terrestrial Second sama, atau dikenal dengan SFN (Single Frequency Network),
Generation)dapat diaplikasikan dengan menggunakan SFN untuk meningkatkan cakupan dan kualitas sinyal. SFN
(Single Frequency Network). Jaringan SFN memungkinkan menawarkan banyak keuntungan, seperti daerah cakupan yang
sebuah stasiun TV dapat memiliki pemancar dengan frekuensi lebih luas, minimnya interferensi, penggunaan daya yang lebih
yang sama dan tersebar pada wilayah layanan yang luas. efisien, dan memiliki keandalan yang tinggi. SFN juga
Transmisi SFN dapat diartikan sebagai bentuk sederhana dari menyediakan saluran TV yang lebih banyak, sehingga
propagasi multipath, karena semua pemancar dalam jaringan penggunaan spektrum frekuensi lebih efisien [3].
mengirimkan secara bersamaan informasi yang sama
menggunakan saluran frekuensi yang sama. Dengan teknologi
Dalam Penelitian ini, metode algoritma heuristik PSO
SFN, meskipun semua pemancar dalam jaringan mengirimkan (Particle Swarm Optimization) akan diterapkan untuk
data pada frekuensi yang sama, hal tersebut tidak mengoptimalkan coverage area jaringan SFN. Dengan
mengakibatkan interferensi dalam proses perngiriman data. algoritma PSO yang terinspirasi oleh perilaku sosial dari
Pada Penelitian ini, membahas mengenai optimasi jaringan sekelompok burung dan sekawanan ikan dalam mencari
SFN pada sistem DVB-T2. Metode yang dipilih dalam proses makanan. PSO dipilih karena metode ini mampu memberikan
optimasi DVB-T2 adalah PSO (Particle Swarm Optimization), lalu solusi optimal dari fungsi nilai atau biaya yang nonlinier,
hasil optimasi dibandingkan dengan sebelum optimasi dan juga dimensi yang tinggi, serta pencarian ruang multimodal yang
dibandingkan dengan metode optimasi lain, yaitu Simulated mudah untuk diimplementasikan. Dengan demikian, metode
Annealing. Melalui metode PSO, sebuah algoritma akan
disimulasikan untuk mengoptimalisasi sejumlah parameter
ini diharapakan dapat memperluas daerah cakupan siaran TV
orientasi antena pemancar pada setiap pemancar SFN di wilayah digital [4].
tertentu. Dengan demikian, daerah coverage jaringan SFN pada
wilayah tersebut dapat diperluas.
II. METODE PENELITIAN
Kata Kunci— DVB-T2, Jaringan SFN,Optimasi, Particle Metode yang digunakan pada Penelitian ini dapat dilihat
Swarm Optimization pada Gambar 1. Yang mana metode ini akan berhenti pada
iterasi ke-n.
I. PENDAHULUAN
. 1 –
2 (10)
Dengan,
Xk : titik pencarian sekarang ini
Xk+1 : posisi pencarian yang dimodifikasi
Vk : kecepatan saat ini
Vk+1 : kecepatan agen yang dimodifikasi
Vpbest : kecepatan berdasar pbest
Vgbest : kecepatan berdasar gbest
n : jumlah partikel dalam kelompok
r1,r2 : dua bilangan random antara 0 dan 1 (b)
pbesti : pbest dari agen k Gambar. 2. Coverage Area Model Knife Edge (a) Mode 2 K (b) Mode 4 K
gbesti : gbest dari kelompok Pada gambar 2 terlihat bahwa halangan gedung
w : inertia weight memberikan pengaruh pada luas cakupan wilayah pemancar
ci : konstanta akselerasi atau constriction DVB-T2. Daerah yang berada di belakang gedung dengan
coefficient ketinggian gedung lebih dari tinggi pemancar membuat daerah
Menggunakan persamaan di atas, kecepatan tertentu yang yang berada di belakang gedung tersebut menjadi tidak dapat
secara bertahap akan semakin mendekati Pbest dan Gbest bisa menerima sinyal. Nilai luas wilayah yang dapat di-cover oleh
dihitung. Posisi saat ini (pencarian dalam ruang solusi) bisa tiga pemancar DVB-T2 dapat dilihat pada tabel 2.
didapatkan dari persamaan berikut: Tabel 2.
Persentase Coverage Area Knife Edge
. 1,2 … (11) Mode Persentase dalam luas Coverage terhadap 4K Free
100 km2 Space Loss
Pada Penelitian ini, besar ukuran swarm divariasikan 2K 19,76 24,68 %
jumlahnya untuk membandingkan hasil fitness terbaik setiap 4K 77,95 97,39 %
ukuran swarm. Ukuran swarm yang digunakan yaitu 24, 36,
48 partikel. Sedangkan untuk inertia weight sebesar 0,729, Dari tabel diatas juga dilakukan penyesuaian terhadap
nilai constriction coefficient = 1.49445[6], dan digunakan coverage area untuk luas cakupan 4 K yang free space loss
sebesar 80,04%. Dari.
iterasi sebanyak 3 kali, 10 kali, 30 kali.
B. Analisis Pengaruh Iterasi Terhadap Hasil Optimasi, dan
Lama Proses Optimasi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada subbab ini dibandingkan pengaruh setiap iterasi
A. Coverage Area Model Propagasi Knife Edge yang dilakukan pada setiap ukuran swarm. Dari gambar 3
Saat pemancar berada pada daerah yang memiliki dapat disimpulkan bahwa banyaknya iterasi mempengaruhi
halangan, dalam hal ini berupa gedung, model propagasi yang peningkatan hasil optimasi. Semakin banyak iterasi yang
digunakan yaitu model propagasi knife edge. Jumlah gedung dilakukan maka hasil optimasi akan mengalami peningkatan
yang ada dalam luas 100 km2 sebanyak 60 gedung dengan yang semakin besar. Hal itu terlihat, ketika 30 iterasi
posisi berada pada sekitar pemancar DVB-T2 dengan dibandingkan dengan 10 iterasi dan 3 iterasi memiliki
ketinggian diacak dengan range antara 10 meter sampai 80 peningkatan hasil optimasi yang lebih besar.
meter. Treshold antena penerima diatur dengan nilai Cmin
adalah -75 dBm[4] dan nilai C/Imin adalah 20,2 dB[7].
Coverage pemancar pada saat kondisi ada halangan dalam hal
ini gedung dengan model propagasi knife edge dapat dilihat
pada gambar 2
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-404
(a)
(a)
(b) (b)
Gambar. 3. Grafik Pengaruh Iterasi Terhadap Peningkatan Hasil Optimasi Gambar. 4. Grafik Pengaruh Iterasi Terhadap Lama Waktu Optimasi PSO (a)
PSO (a) Mode 2 K (b) Mode 4 K Mode 2 K (b) Mode 4 K
(b)
Gambar. 5. Grafik Pengaruh Ukuran Swarm Terhadap Peningkatan Hasil
Optimasi PSO (a) Mode 2 K (b) Mode 4 K
(a)
(a)
(b)
Gambar. 7. Grafik Pengaruh Ukuran Swarm Terhadap Lama Waktu Optimasi
PSO (a) Mode 2 K (b) Mode 4 K
(b)
(a) Gambar. 9. Perbandingan Lama Waktu Optimasi PSO dan Simulated
Annealing (a) Mode 2K (b) Mode 4 K
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan program optimasi dengan Algoritma Particle
Swarm Optimization yang telah dibuat dan hasil analisa yang
telah dilakukan pada optimasi jaringan SFN pada DVB-
T2,dapat disimpulkan bahwa algoritma PSO mampu
meningkatkan persentase daerah cakupan. Semakin banyak
ukuran swarm, peningkatan coverage juga semakin besar.
Semakin banyak iterasi ang dilakukan, semakin besar
peningkatan coverage yang dihasilkan. Peningkatan coverage
tertinggi pada mode 2 K terjadi pada 48 swarm dengan 30
(b)
iterasi sebesar 0,8 % dan mode 4 K pada 48 swarm dengan 30
Gambar. 8. Perbandingan coverage PSO dan Simulated Annealing (a) Mode 2
K (b) Mode 4 K iterasi sebesar 2, 05%. Jika dibandingakan dengan algoritma
Sedangkan perbandingan lama waktu optimasi, Grafik optimasi Simulated Annealing, peningkatan coverage dari
perbandingan lama waktu optimasi antara PSO dan SA dapat hasil optimasi PSO memiliki peningkatan yang lebih besar,
dilihat pada gambar 9, yang mana nilai Simulated Annealing namun jika dilihat dari lama proses optimasi, Simulated
diambil dari 3 cooling schedule terbaik. Jika dibandingkan Annealing memiliki lama waktu optimasi yang lebih cepat
hasil antara PSO dan Simulated Annealing, Simulated dibandingkan dengan algoritma PSO.
Annealing memiliki lama waktu optimasi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan PSO. Hal ini dikarenakan pada PSO DAFTAR PUSTAKA
dalam proses optimasi memiliki lebih banyak agen untuk
mencari posisi terbaik dalam bentuk 24, 36, 48 swarm. [1] Budiarto, H., Tjahjono, BH., Rufiyanto, A., Kusuma, A., Hendrantoro,
G., Dharmanto, S. Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia.
Jakarta : Multikom Indo Persada. Bab 1, . 2007
[2] Wu, Y., Pliszka E., Caron, B., Bouchard, P., Chouinard G. 2000.
Comparison of terrestrial DTV transmission systems: the ATSC 8-VSB,
the DVB-T COFDM, and the ISDB-T BST-OFDM. IEEE Transactions
on Broadcasting, v. 46, no. 2, hal. 101-113.
[3] Mattsson, A. Single Frequency Networks in DTV, IEEE Transactions On
Broadcasting, Vol.51, No.4. . 2005
[4] Lanza, M., Gutierrez, AL., Barriuso, I., Domingo, M., Perez, JR., Valle,
L., Basterrechea, J. Optimization of Single Frequency Networks for
DVB-T Services Using SA and PSO. Roma : Proceedings of the 5th
European Conference on Antennas and Propagation (EUCAP). 2011.
[5] T. S. Rappaport, “Wireless Communications Principles and Practices,
2nd ed.”, Prentice Hall, 2002.
[6] Poli, R., Kennedy J., Blackwell T., “Particle Swarm Optimization : An
Overview”, Springer Science + Business Media, 2007.
[7] ETSI TS 102 831. 2012. “Digital Video Broadcasting (DVB);
Implementation Guidelines for a Second Generation Digital Terrestrial
Television Broadcasting System (DVB-T2)”, V1.2.1 (2012-08).
(a) [8] Ikhwan. Adib Nur, Tugas Akhir, “Optimasi Coverage SFN Pada
Pemancar TV Digital DVB-T2 Dengan Metode Simulated
Annealing”Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2013