Anda di halaman 1dari 8

ZAT GIZI MAKRO

KARBOHIDRAT, PROTEIN, DAN LEMAK

DISUSUN OLEH:

NABILA SALSABILAH AISYAH


70200122052

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2023
Tinjauan Pustaka
Zat Gizi Makro

Gizi makro adalah jenis zat gizi yang tubuh perlukan dalam jumlah yang besar.
Biasanya kebutuhan ini bisa dalam satuan gram atau orang atau hari. Kelompok dari
zat gizi ini terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein.Selain itu, makronutrien
(sebutan lain dari nutrisi makro) sama-sama menyediakan energi bagi manusia agar
bisa beraktivitas dan menjalankan fungsi-fungsinya. Artinya, tubuh membutuhkan
ketiga nutrisi di atas dalam jumlah yang besar setiap harinya.

A. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen zat gizi yang tersusun atas atom karbon, hidrogen, dan
oksigen. Karbohidrat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu monosakarida,
oligosakarida, dan polisakarida. Karbohidrat dalam makanan merupakan zat gizi yang cepat
mensuplai energi sebagai bahan bakar untuk tubuh, terutama jika tubuh dalam keadaan lapar.
Makanan yang merupakan sumber karbohidrat di antaranya adalah serealia, umbi-umbian, dan
buah-buahan.
1. Fungsi karbohidrat
a) Sumber energi Karbohidrat memiliki fungsi utama sebagai sumber energi. Selain
dari karbohidrat, energi juga bisa dihasilkan dari lemak dan protein. Meskipun
demikian, energi yang dihasilkan dari karbohidrat, terutama dalam bentuk
glukosa, merupakan sumber energi yang bisa cepat digunakan tubuh, sedangkan
energi yang didapatkan dari lemak dan protein harus mengalami konversi terlebih
dahulu menjadi glukosa. Satu gram karbohidrat menyediakan 4 kilokalori.
b) Pemberi rasa manis Karbohidrat, khususnya mono dan disakarida, memberikan
rasa manis pada makanan. Tingkat kemanisan karbohidrat bervariasi. Untuk
membandingkan tingkat kemanisan beragam jenis gula, biasanya digunakan
sukrosa yang merupakan gula yang biasa kita konsumsi sehari-hari, sebagai
standarnya. Dibandingkan dengan sukrosa, glukosa memiliki tingkat kemanisan
lebih rendah 69%-nya; sementara fruktosa memiliki tingkat kemanisan 1,14
kalinya dan merupakan jenis gula alami dengan tingkat kemanisan tertinggi.
c) Pengatur metabolisme lemak Energi adalah zat yang mutlak diperlukan tubuh
setiap saat karena setiap saat tubuh mengalami pergerakan dan membutuhkan
energi. Dalam kondisi kekurangan gula, energi akan didapatkan dari hasil oksidasi
lemak yang tidak sempurna sehingga akan terbentuk bahan-bahan keton yang
dapat memberikan efek tidak nyaman pada tubuh seperti timbulnya rasa mual,
pusing, dan aroma nafas dengan bau aseton.
2. Sumber Karbohidrat
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi-umbian
kacangkacangan kering dan gula. Hasil olah bahan-bahan ini adalah bihun, mie, roti,
tepung-tepungan, selai, situp dan sebagainya. Sebagian besar sayur dan buah tidak
banyak mengandung karbohidrat. Sayur umbi-umbian, seperti wortel dan bit serta
kacang-kacangan relative lebih banyak mengandung karbohidrat daripada sayur dan
daun-duanan. Bahan makanan hewani seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan bahan
hewani lainnya sedikit sekali mengandung karbohidrat. Sumber karbohidrat yang banyak
dimakan sebagai makanan pokok di Indonesia adalah beras, jagung, ubi, singkong, talas
dan sagu (Winarno, 1993).
3. Akibat kekurangan dan kelebihan karbohidrat
Kekurangan karbohidrat dapat menyebabkan glukoneogenesis, yaitu suatu reaksi
pembentukan karbohidrat bukan dari glikogen akan tetapi dari lemak (asam lemak dan
gliserol) dan dari protein (asam amino). Apabila peristiwa tersebut berlangsung terus
tanpa suplai karbohidrat yang cukup, lemak tubuh akan terpakai dan protein yang
seharusnya digunakan untuk pertumbuhan jadi berkurang. Akibatnya, tubuh semakin
kurus dan menderita Kurang Energi Protein (KEP). Sebaliknya kelebihan konsumsi
karbohidrat menyebabkan suplai energei berlebih. Energi yang berlebih tersebut akan
disintesis menjadi lemak tubuh, sedangkan lemak yang telah tersedia dalam tubuh tidak
terpakai untuk energi. Akibatya, pertumbuhan lemak terus terjadi dan mengakibatkan
kegemukan atau obesitas. Efek dari obesitas adalah timbulnya penyakit degenetratif,
seperti hipertensi, jantung coroner, diabetes dan stroke (Sudarmadji, 1989).

B. Protein
Protein memiliki peran penting sebagai komponen fungsional dan struktural pada semua
sel tubuh. Enzim, zat pengangkut, matriks intraseluler, rambut, kuku jari mengandung
komponen protein. Protein memiliki fungsi khas yang tidak bisa digantikan oleh zat gizi lain
yaitu sebagai zat pembangun dan pemelihara sel-sel jaringan tubuh.
1. Fungsi protein
a. Pertumbuhan dan pemeliharaan Protein dalam tubuh secara bergantian dipecah
(katabolisme) dan disintesis kembali (anabolisme). Sebelum menjalankan fungsinya
sebagai zat pembangun, asam-asam amino esensial yang diperlukan harus tersedia
terlebih dahulu. Pertumbuhan atau penambahan sel baru bisa dilakukan jika telah
cukup tersedia gabungan asam amino yang sesuai dalam segi jenis dan jumlah.
b. Berperan dalam berbagai sekresi tubuh Hormon-hormon seperti tiroid, insulin,
epinefrin, dan sebagainya adalah merupakan protein. Demikian juga halnya dengan
berbagai enzim seperti amilase, katalase, lipase, dan sebagainya, juga merupakan
protein. Kedua komponen tersebut besar peranannya dalam proses sekresi
metabolisme tubuh.
c. Mengatur keseimbangan air Cairan di dalam tubuh terdiri atas tiga kompartemen
yaitu intraselular (di dalam sel), ekstraselular/interselular (di luar sel/di antara sel),
dan intravaskular (di dalam pembuluh darah). Perpindahan cairan antar kompartemen
tersebut terjadi dengan proses osmotik dan harus dijaga dalam keadaan seimbang atau
homeostasis.
2. Sumber protein
Makanan sumber protein umumnya dibedakan sebagai protein hewani dan protein nabati.
Makanan yang merupakan sumber protein hewani adalah: telur, ayam, ikan, daging
merah, atau ruminansia. Makanan sumber protein nabati contohnya adalah kacang-
kacangan, dan biji-bijian.
3. Akibat Kekurangan Protein
Menurut Winarno (1993) kekurangan konsumsi protein akan menyebabkan hal-hal
sebagai berikut:
a) Kwashiorkor adalah istiah yang digunakan oleh Cecily Wiliams bagi gejala yang
sangat ekstrem yang diderita oleh bayi dan anak kecil akibat kekurangan konsumsi
protein yang parah, meskipun konsumsi energi atau kalori telah mencukupi
kebutuhan.
b) Marasmus adalah istilah yang digunakan bagi gejala yang timbul bila anak
menderita kekurangan energi (kalori) dan kekurangan protein.
4. Akibat Kelebihan Protein
Menurut Winarno (1993) mengonsumsi protein secara berlebihan tidak menguntungkan
bagi tubuh. Kelebihan asam amino memberikan ginjal dan hati 16 yang harus
memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Kelebihan protein akan
menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan ammonia darah, kenaikan ureum darah
dan demam.

C. Lemak
Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh selain karbohidrat dan protein. Menurut
Budiyanto (2009) lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk
menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak
atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya
menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak dalam makanan merupakan campuran lemak
heterogen yang sebagian besar terdiri dari trigliserida. Trigliserida disebut lemak jika
pada suhu ruang berbentuk padatan dan disebut minyak jika pada suhu ruang berbentuk
cairan. Trigliserida merupakan campuran asam-asam lemak, biasanya dengan panjang
rantai karbon sebanyak 12 sampai 22 dengan jumlah ikatan rangkap dari 0 sampai 4.
Dalam lemak makanan juga terdapat sejumlah kecil foffolid, sfingofolid, kolesterol dan
fitosterol.
1. Fungsi Lemak
a. Sumber energi Lemak merupakan sumber energi 2.5 kali lebih besar dibandingkan
dengan karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal/g lemak. Energi dihasilkan lebih
banyak karena dalam proses pembakarannya membutuhkan oksigen lebih banyak
dibandingkan karbohidrat dan protein. Kelebihan lemak akan disimpan dalam
jaringan adiposa di bawah kulit (50%), di sekeliling organ (45%), dan dalam
rongga perut (5%), dan merupakan sumber energi potensial yang dapat
dimanfaatkan sewaktu-waktu jika diperlukan.
b. Pembawa vitamin larut lemak Sifat vitamin tertentu yang mudah larut dalam
lemak memungkinkan vitamin-vitamin tersebut menempel dan melarut pada
lemak. Di samping itu, untuk dapat dimanfaatkan sel-sel tubuh, vitamin yang
merupakan zat gizi mikro memerlukan media pembawa untuk dapat sampai
menuju sel-sel tubuh, dan vitamin larut lemak memerlukan lemak sebagai
medianya.
c. Sumber asam lemak esensial Beberapa fungsi tubuh tertentu baru dapat dipenuhi
dengan adanya asam lemak esensial. Yang termasuk asam lemak esensial yaitu
linoleat dan linolenat.
2. Sumber Lemak
Sumber Lemak Lemak dan minyak dapat bersumber dari bahan nabati atau
hewani. Lemak atau minyak dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya yaitu
bersumber dari tanaman seperti biji-bijian palawija, kulit buah tanaman tahunan, biji-
bijian dari tanaman tahunan. Sumber lain adalah dari hewani yaitu susu hewan
peliharaan berupa lemak susu, daging hewan peliharaan berupa lemak sapi, dari hasil
laut berupa minyak ikan sardine dan sejenisnya. Komposisi atau jenis lemak dan sifat
fisiko-kimia tiap jenis minyak berbeda-beda dan hasil ini disebabkan oleh perbedaan
sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh dan pengolahan (Budianto, 2009).
3. Akibat kekurangan lemak
Kurangnya lemak dapat menimbulkan pengurangan ketersediaan energi, karena
energi harus terpenuhi maka terjadilah katabolisme atau perombakan protein,
cadangan lemak yang semakin berkurang akan sangat berpengaruh terhadap berat
badan, berupa penurunan berat badan (Winarno, 1993).
4. Akibat kelebihan lemak
Kelebihan lemak dapat menimbulkan obesitas yang merupakan faktor resiko
dalam penyakit kardiovaskuler karena dapat menyebabkan hipertensi dan timbulnya
diabetes. Selain itu, dapat menyebabkan sakit perut dan mulas utamanya pada anak-
anak yang terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak sehingga
cenderung menyebabkan cepat haus dan banyak minum yang dapat menyebabkan
terjadinya emulsi, hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab mulas dan sakit perut
(Winarno, 1993).
HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI MAKRO (KARBOHIDRAT, PROTEIN,
LEMAK) DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA REMAJA UMUR 13- 15
TAHUN DI PROPINSI DKI JAKARTA (ANALISIS DATA SEKUNDER
RISKESDAS 2010)
Gizi lebih dan obesitas dianggap sebagai sinyal pertama munculnya kelompok penyakit-
penyakit non infeksi yang sekarang banyak terjadi di Negara maju maupun berkembang.
Fenomena ini dikemukakan oleh Gracey (1995) di beri nama sindrom dunia baru “New World
Syndrome“. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat-zat gizi. Status gizi dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan status gizi lebih
(Almatsier, 2009). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 angka nasional pada remaja usia 13-
15 tahun yang obesitas 10,3%, sedangkan di propinsi DKI Jakarta 15% yang mengalami
obesitas. Pada tahun 2010 terjadi penurunan ang7ka obesitas yaitu dari 10,3% menjadi 2,5%
secara nasional, sedangkan untuk propinsi DKI Jakarta dari 15% menjadi 4,2% yang mengalami
obesitas. Untuk tahun 2013 prevalensi obesitas secara nasional sebesar 2,5% dan untuk propinsi
DKI Jakarta sebesar 6,8% yang mengalami obesitas pada remaja usia 13-15 tahun. Hal ini seperti
yang dikatakan (Supariasa,2002) bahwa Food recall 1 hari tidak bisa menggambarkan status gizi
seseorang, karena minimal recall 3 hari.

a) Hubungan Asupan Karbohidrat Dengan Kejadian Obesitas


Hasil uji korelasi asupan karbohidrat dengan kejadian obesitas menunjukkan
bahwa nilai p=0.021 (p≥0.05), yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara
asupan karbohidrat dengan kejadian obesita pada remaja umur 13-15 tahun di Propinsi
DKI Jakarta, dengan nilai r= 0,021, hubungan lemah/tidak ada hubungan. Nilai koefisien
korelasi yang searah, yaitu semakin tinggi asupan karbohidrat semakin meningkat status
gizi lebih sebaliknya semakin rendah asupan karbohidrat semakin rendah status gizi
lebih. Pada penelitian (Sevita,2009) yang melakukan uji chi-square juga menyatakan
tidak ada hubungan antara konsumsi energi dengan kejadian obesitas. Hal ini sejalan
dengan penelitian (Gemili,2004) bahwa tidak ada hubungan asupan karbohidrat terhadap
status gizi.
b) Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Obesitas
Hasil uji korelasi asupan protein dengan kejadian obesitas menunjukkan bahwa
nilai p=0.32 (p≥0.05), yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan
protein dengan kejadian obesitas pada remaja umur 13-15 tahun di Propinsi DKI Jakarta,
dengan nilai r=0,24, hubungan lemah/tidak ada hubungan dan negativ. Hasil penelitian
ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sartika, 2011) terhadap
170.699 remaja yang menemukan bahwa ada hubungan antara asupan protein dengan
status gizi lebih. Sedangkanpenelitian yang dilakukan oleh Jami (2013) menunjukkan
tidak ada hubungan bermakna antara supan protein terhadap status gizi lebih pada remaja
usia 13-15 tahun di Sumatera.
Kemungkinan penyebab lain terhadap kejadian Overweight atau obesitas adalah
faktor genetik. Menurut (Rita Ramayulis dan Lilis Christine, 2008) faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kegemukan adalah faktor genetik, kerusakan pada satu bagian
otak, pola makan berlebih, jarang berolahraga, ketidakstabilan emosi dan factor
lingkungan. Sedangkan menurut Almatsier (2003), protein selain sumber energy juga
memiliki fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta
memelihara sel-sel jaringan tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak
sehingga dapat menyebabkan obesitas.
c) Hubungan Asupan Lemak Dengan Kejadian Obesitas
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi makanan
berlemak dengan kejadian obesitas (p≥0.05). Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian kohort yang dilakukan oleh (Gillis et al, 2004) terhadap remaja kanada.
Asupan lemak secara bermakna berhubungan dengan status gizi (p,0.0001). Remaja
obesitas mengkonsumsi lebih banyak total energi, lemak dan asam lemak jenuh yang
lebih banyak dibandingkan remaja dengan status gizi tidak obesitas. Asupan yang
berlebih ini kemudian akan menentukan persentase lemak tubuh yang mengontrol
aktifitas fisik. Namun, perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Gillis et
al, 2004) hanya mengukur asupan pada remaja dengan status gizi obesitas, sedangkan
remaja dengan status gizi lebih dikategorikan remaja tidak obesitas dan menggunakan uji
statistik regresi parsial untuk analisis bivariat. Kemungkinan ada factor lain yang
mempengaruhi status gizi lebih seperti hormon, ketidaknormalan produksi hormon
seseorang dapat meningkatkan resiko obesitas (WHO, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

https://eprints.umm.ac.id/36841/3/jiptummpp-gdl-rahmirahay-51292-3-babii.pdf

“Mengenal zat gizi” Leily Amalia Furkon, S.TP., M.Si.


https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/PEBI4428-M1.pdf

Pramono Dwi Sasmito Jurusan Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Gizi, Universitas
Esa Unggul Jalan Arjuna Utara No. 9, Kebun Jeruk, Jakarta
pramono_dwee@yahoo.com

https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-20171-11_1324.pdf

Anda mungkin juga menyukai