Anda di halaman 1dari 7

Bentuk kemasan obat

Kemasan pada produk obat menjadi faktor cukup krusial dalam industri farmasi. Pasalnya, obat
merupakan produk yang wajib terjamin keamanannya saat konsumen makan atau minum.
Pengemasan yang buruk jelas akan menurunkan kualitas obat, bahkan dapat membahayakan
konsumen.

Dengan adanya banyak risiko dan potensi yang mudah merusak obat, perusahaan farmasi
senantiasa berusaha menyediakan packaging obat yang aman. Apalagi sifat dan karakteristik obat
berbeda-beda. Tidak semua obat cocok menggunakan satu jenis pengemas.
Pada artikel ini, kita akan sama-sama mempelajari karakteristik, kegunaan, hingga jenis-jenis
pengemasan obat. Semoga informasi ini dapat membuat kita lebih peka akan
pentingnya packaging obat-obatan. Jadi, nantinya kita lebih selektif dan hati-hati saat membeli obat.

Fungsi Pengemasan :
1. Mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga ke konsumen
2. Melindungi dan mengawetkan produk
3. Sebagai identitas produk
4. Meningkatkan efisiensi: memudahkan penghitungan, pengiriman dan penyimpanan
5. Melindungi pengaruh buruk dari luar, melindungi pengaruh buruk dari produk di dalamnya
6. Memperluas pemakaian dan pemasaran produk
7. Menambah daya tarik calon pembeli.
8. Sarana informasi dan iklan
9. Memberi kenyamanan bagi pemakai
Tipe kemasan
1. Bahan Kemas Primer
Bahan kemas ini tentu saja langsung bersentuhan dengan produk obat. Maka,
kualitas dari jenis bahan kemas primer harus sangat baik dan aman. Jangan sampai jenis
bahannya justru dapat bereaksi atau mencemari produk obat.Terdapat dua jenis bahan
kemas primer, yakni pemakaian untuk dosis tunggal dan dosis multi. Dosis tunggal
maksudnya hanya konsumen makan sekali saja, contohnya sachet. Sementara, dosis multi
bisa lebih dari sekali makan atau konsumsi, contohnya botol dan blister.Bahan kemas primer
yang paling banyak perusahaan farmasi pakai adalah blister. Kemasan ini terbuat dari
plastik yang terlapisi aluminium agar mudah terbuka atau sobek oleh tangan. Terdapat juga
film transparan untuk mempermudah konsumen melihat visual obat. Blister cocok untuk obat
berbentuk padat seperti tablet.

Untuk obat berbentuk cair, pengemasan yang umum kita temui adalah berupa botol
dan sachet. Khusus botol, kemasannya mesti sanggup menjaga produk dari sinar UV agar
obat tidak mudah rusak.

2. Bahan Kemas Sekunder


Berbeda dengan bahan kemas primer, bahan kemas selanjutnya ini jelas tidak bersentuhan
langsung dengan produk obat. Bahan kemas sekunder memiliki fungsi menjaga kemasan primer.
Jadi, dapat kita katakan juga sebagai proteksi ganda.

Misalnya, kotak dari obat batuk berbentuk botol atau box dari obat berkemasan blister. Adanya
bahan kemas sekunder sangat membantu meningkatkan perlindungan obat agar tetap aman selama
distribusi. Syarat utama dari bahan kemas sekunder adalah cukup kuat untuk membungkus obat
dalam pengemasan primer.

3. Bahan Kemas Tersier

Bentuk umum dari bahan kemas tersier adalah berupa karton atau box besar yang isinya berupa
kemasan sekunder dalam jumlah tertentu. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga proses distribusi
obat tetap terjaga rapi sekaligus aman.
Selain itu, adanya bahan kemas tersier amat mempermudah petugas gudang
dalam handling produk obat. Tidak mungkin kan distribusi obat mesti dilakukan dalam jumlah-jumlah
kecil?
Itulah tadi beberapa informasi penting mengenai pengemasan obat. Dari sini, kita jadi makin paham
bahwa packaging obat amat krusial, terutama dalam menjamin keselamatan konsumen.
Karakteristik dan Kegunaan Kemasan Obat

Secara umum, karakteristik pengemasan obat yang baik dapat kita lihat sebagai berikut:
 Mampu memberikan proteksi maksimal terhadap obat dari faktor lingkungan seperti suhu
dan kelembapan
 Punya fungsi sebagai barrier dari penetrasi gas
 Mencegah terjadinya oksidasi dan reduksi
 Menjaga dari kebocoran saat distribusi
 Pencetakan bahan kemas yang mudah dan stabil
Dengan adanya karakteristik tadi, sangat wajar jika akhirnya pengemasan obat mesti ketat. Tidak
sembarang bentuk dan jenis kemasan dapat produsen obat pakai. Terlebih produk obat juga
memiliki batas kedaluwarsa tertentu yang harus terjaga agar tidak rusak sebelum masa itu habis.

Sementara, pengemasan obat juga tentu memiliki tujuan atau kegunaan tertentu. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:

 Media penyimpanan yang berfungsi memproteksi stabilitas obat serta efikasinya


 Melindungi produk dari degradasi
 Media identifikasi obat
 Tempat mencantumkan berbagai informasi penting bagi konsumen
Informasi yang wajib tercantum pada kemasan antara lain: nomor batch, tanggal produksi, tanggal
kedaluwarsa, harga eceran tertinggi (HET), nomor izin edar, serta informasi penting lain. Misalnya,
kandungan obat, dosis obat, cara pemakaian obat, efek samping, dan lain-lain.
Prinsip pemberian obat

1. Tujuh Prinsip Pemberian Obat

a. (Benar Pasien) Benar pasien adalah langkah penting dalam pemberian obat, salah satu
dalam memberikan obat adalah dengan cara memastikan identitas pasien dengan
memeriksa gelang identitas yang bertuliskan nama dan nomor registrasi masuk (Potter
& Perry, 2010). Dalam manajemen penggunaan obat di rumah sakit harus melakukan
penerapan standar pemberian obat yang termasuk proses untuk memverifikasi apakah
obat sudah sesuai berdasarkan pesanan obat, yang meliputi : Tepat pasien dalam
pemberian obat maksudnya obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien
yang diprogramkan dengan cara mengidentifikasi kebenaran obat dengan mencocokkan
nama, nomor register, alamat dan program pengobatan pada pasien (Deniza, 2012)
Menurut Joint Comission International 2012, terlaksananya benar pasien sebelum
pemberian obat yang cukup tidak menjadi keberhasilan standard prosedur tindakan
terbebas dari resiko kesalahan pemberian obat. Adapun dampak yang dapat
ditimbulkan akibat kesalahan identifikasi dalam pengobatan seperti adverse events atau
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadia Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Potensi Cidera
(KPC), dan Kejadian Tidak Cedera (KTC).

b. (Benar Dosis) Benar dosis pemberian obat merupakan salah satu indikatorkeberhasilan
peran perawat sebagai kolaborator. Peran tersebut diukur berdasarkan kemampuan
perawat memberikan obat dengan dosis yang benar sesuai peran apoteker dan tidak
menambahkan atau mengurangi dosis dari resep yang telah ditentukan. (Boyer, 2013).
Untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan agar perhitungan obat benar untuk
diberikan kepada pasien, maka ketepatan dosis atau penentuan dosis harus
diperhatikan dengan menggunakan alat standar seperti alat untuk membelah tablet,
spuit atau sendok khusus, gelas ukur, obat cair harus dilengkapi alat tetes (Tambayong,
2012). Kesalahan pengobatan dapat terjadi dalam menentukan obat dan regimen dosis,
kelebihan dosis, kekurangan dosis, dalam menuliskan resep. salah dosis, kontaminan
atau keliru kemasan (Aronson, 2009). Beberapa studi dalam tujuh prinsip pemberian
obat diantaranya, Tirtawati (2014) menyebutkan bahwa benar dosis dapat mengurangi
kesalahan dalam pemberian obat, dimana perawat perlu mengecek ulang obat dan
dosis yang akan diberikan jika terdapat penulisan obat atau dosis yang kabur atau
kurang jelas. Seorang perawat melakukan pemberian obat sesuai dosis untuk menjamin
keamanan pengobatan bagi pasien serta mengurangi terjadinya medication error Adian,
Gahral & Pratama (2013)

c. (Benar Obat) Benar obat berarti menerima obat yang telah diresepkan, baik oleh
dokter, dokter gigi, atau petugas kesehatan yang sudah mendapatkan izin seperti staf
farmasi yang sudah berpengalaman yang berwewenang untuk mengorder obat. Obat
mempunyai nama dagang dan nama generik, jadi apabila ada obat dengan nama
dagang yang asing ditemui, harus diperiksa nama generiknya (Tambayong., 2012). Staf
farmasi harus. tanggap dan memperhatikan dengan teliti terhadap beberapa obat yang
bila disebutkan terdengar mirip dan ejaan yang terlihat sama, contoh: digoxin dengan
digitoxin. Staf farmasi harus membaca label obat dengan hati-hati (Deniza, 2012).
Sebelum pemberian obat perawat harus menentukan bahwa staff kefarmasian sudah
menuliskan cara pemberian obat dengan benar. dimana perawat perlu mengecek ulang
obat dan dosis yang akan diberikan jika terdapat penulisan obat yang kabur atau kurang
jelas. Selain itu, baca label obat untuk memastikan bahwa cara pemberian tercantum
pada kemasan obat ( Potter & Perry, 2005). Tubuh membutuhkan dosis obat yang tepat
agar memberikan dampak positif (Hardianti, 2016). Apabila pemberiannya tidak sesuai
obat tersebut akan menjadi toksin yang mengganggu kesehatan seperti alergi,muntah,
hingga mengakibatkan kematian (Hura, 2014).

d. (Benar Waktu) Pemberian obat pada waktu yang tepat juga memiliki peran terhadap
kesembuhan pasien sehingga obat yang diberikan sesuai dengan efek terapetik yang
diharapkan. Obat yang diberikan bergantung pada waktu paruh, waktu paruh adalah
waktu yang dibutuhkan oleh setengah dari jumlah awal obat atau zat lain untuk
dieliminasi dari tubuh, obat dengan waktu paruh yang pendek lebih sering diberikan
dibandingkan dengan obat waktu paruh yang panjang hal tersebut untuk
mempertahankan efek teraupetik obat dalam plasma (Kamienski & Keogh, 2015).
Mengecek kesesuaian waktu dan frekuensi pemberian dengan resep atau pesanan
dengan mempertimbangkan lama kerja obat dan efektivitas obat. Kesalahan ini akan
memberikan dampak negatif terhadap hasil terapi pengobatan pasien, dimana adanya
kemungkinan kelebihan dosis dan interaksi obat yang berdampak negatif terhadap
proses penyembuhan pasien.

e. (Benar Cara Pemberian) Kesalahan penyuntikan obat dapat menyebabkan terjadinya


reaksi alergi ataupun efektifitas obat yang berkurang atau bahkan tidak menimbulkan
efek sama sekali. Kejadian kesalahan pemberian obat dapat berakibat fatal apabila
terjadi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera. Hal ini perlu untuk
dipertahankan untuk mencegah terjadinya kesalahan alur dalam pemberian obat.
Adapun hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberhasilan pengobatan tersebut
yaitu, dengan menerapkan secara terus menerus manajemen dan penggunaan obat
sesuai standar prosedur yang pemberian obat berdasarkan prinsip 7 benar pemberian
obat (KARS, 2011). Memberikan obat pada rute yang telah diresepkan atau
diintruksikan tetapi jika diresep tersebut tidak terdapat rute pemberian obat maka staf
farmasi harus memberikan keterangan rute tersebut pada etiket obat, staf farmasi
harus memahami perbedaan antara rute seperti tingkat penyerapan, sehingga apabila
rute yang diintruksikan tidak sesuai dengan cara yang direkomendasikan, mereka dapat
mengingatkan dan mengkonfirmasi ulang ke dokter (Perwitasari, 2012).

f. (Benar Informasi) Pemberian informasi kepada pasien diharapkan mampu menambah


pengetahuan pasien maupun keluarga terhadap obat yang akan diberikan dan dengan
pemberian informasi oleh perawat dapat mengurangi terjadinya kesalahan presepsi
oleh pasien (Mahfudhah & Mayasari, 2018). Perawat mempunyai tanggung jawab
dalam melakukan pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga, dan masyarakat luas
terutama yang berkaitan dengan obat seperti manfaat obat secara umum, penggunaan
obat yang baik dan benar, alasan terapi obat dan kesehatan yang menyeluruh, hasil
yang diharapkan setelah pemberian obat, efek samping dan reaksiyang merugikan dari
obat, interaksi obat dengan obat dan obat dengan makanan, perubahan-perubahan
yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari selama sakit dan sebagainya.

g. (Benar Dokumentasi) Pendokumentasian dalam keperawatan mencakup informasi


lengkap tentang status kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan yang
diterima Nursalam (2008). Pemberian obat sesuai dengan standard prosedur yang
berlaku di rumah sakit dan selalu mencatat informasi yang sesuai. Pasien dapat
menolak untuk pemberian suatu pengobatan, adalah tanggung jawab perawat untuk
menentukan, jika memungkinkan, alasan penolakan dan mengambil langkahlangkah
yang perlu untuk mengusahakan agar pasien mau menerima pengobatan. Jika suatu
pengobatan ditolak, penolakan ini harus segera didokumentasikan. Perawat yang
bertanggung jawab, perawat primer, atau dokter harus diberitahu jika pembatalan
pemberian obat ini dapat membahayakan klien, seperti dalam pemberian insulin, tindak
lanjut juga diperlukan jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium,
misalnya pada pemberian insulin atau warfarin (Suryani & Permana, 2020). Menurut
penulis Jika pendokumentasian tidak dilakukan maka tidak akan bisa menjadi bukti atas
tanggung jawab dan tanggunggugat dari tindakan perawat.

Anda mungkin juga menyukai