Anda di halaman 1dari 270

PRAKTIKUM 0

Topik : Lingkungan Abiotik


Tujuan : Untuk mengenal dan mengetahui alat-alat pengukur faktor-faktor
lingkungan dalam penelitian/praktikum ekologi tumbuhan
Hari/Tanggal : Senin/20 Februari 2023
Tempat : Pesisir Pantai Tabanio

I. ALAT DAN BAHAN

1. Hygrometer 6. 4in1 (Anemometer dan Lux Meter)


2. Termometer 7. Salinometer
3. Bola arus 8. Soil tester
4. Secchi disk 9. Porositas
5. pH meter 10. Altimeter

II. CARA KERJA

1. Memilih dua lokasi yang ekstrim berbeda, misal Terbuka - Teduh, Basah
Kering.

2. Menempatkan alat-alat tersebut pada ke dua daerah pengamatan yang


dipilih.

3. Melakukan pengamatan setiap lima menit pada setiap alat, lakukan


sebanyak tiga kali.

4. Memasukkan hasil pengamatan tersebut pada tabel pengamatan.

Keterangan Cara Kerja Masing-Masing Alat


1. Hygrometer
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kelembapan udara dengan
satuan 100%.
b. Cara penggunaan :

1
1) Menggantungkan alat hygrometer pada dahan atau ranting pohon
di sekitar daerah pengamatan.
2) Menunggu alat hygrometer selama 3-5 menit.
3) Melakukan 3 kali pengulangan.
4) Mencatat hasil pengukuran kelembapan udara pada setiap
pengulangan.
2. Termometer
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur suhu udara dengan satuan
˚C.
b. Cara penggunaan :
1) Menggantungkan alat termometer pada dahan atau ranting pohon
di sekitar daerah pengamatan.
2) Menunggu alat termometer selama 3-5 menit.
3) Melakukan 3 kali pengulangan.
4) Mencatat hasil pengukuran suhu udara pada setiap pengulangan.
3. Bola arus
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kecepatan arus air dengan
satuan m/s.
b. Cara penggunaan :
1) Melipat tali (ukuran 1 meter) menjadi dua dengan posisi sama
panjang pegang dengan tangan.
2) Meletakkan bola di atas permukaan air.
3) Mengitung waktu meneggunakan stopwatch sampai tali sepanjang
1 meter tersebut merentang seluruhnya.
4) Menghentikan stopwatch jika sudah merentang keseluruhan tali.
5) Melakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
6) Mencatat hasil pengukuran kecepatan arus air pada setiap
pengulangannya.
4. Secchi disk
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kecerahan air dengan
satuan meter.

2
b. Cara penggunaan :
1) Memasukkan secchi disk ke dalam permukaan air sampai warna
putihnya tidak terlihat lagi dan bila ditarik sedikit terlihat warna
putihnya, kemudian pegang tali mulai permukaan air.
2) Mengukur tali dari permukaan air sampai batas secchi disk.
3) Melakukan 3 kali pengulangan.
4) Mencatat hasil pengukuran kecerahan air pada setiap
pengulangan.
5. pH Meter
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur pH air.
b. Cara penggunaan :
1) Menyalakan tombol hitam dengan cara menggesernya.
2) Mencelupkan pH meter ke dalam air.
3) Menunggu selama 3-5 menit.
4) Melakukan 3 kali pengulangan.
5) Mencatat hasil pengukuran pH air pada setiap pengulangan.
6. 4in1
A. Anemometer
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kecepatan angin dengan
satuan m/s.
b. Cara penggunaan :
1) Menyalakan alat 4in1.
2) Menekan tombol fungction jika untuk menentukan kegunaan
alat 4in1 sebagai pengukur (kecepatan angin) anemometer
yaitu pada layer muncul satuan m/s.
3) Memposisikan baling-baling di bagian atas.
4) Menekan lama tombol max/min hingga muncul tulisan REC.
5) Mengarahkan baling-baling keatas dan menunggu hingga
baling-baling berhenti atau jika lama tidak berhenti tunggu 3-
5 menit.

3
6) Menekan lama tombol max/min untuk mengetahui hasil
maksimal dan minimal kecepatan angin di daerah pengamatan.
7) Melakukan 3 kali pengulangan.
8) Mencatat hasil pengukuran kecepatan angin pada setiap
pengulangan.
B. Lux Meter
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur intensitas cahaya
dengan satuan lux.
b. Cara penggunaan :
1) Menyalakan alat 4in1.
2) Menekan tombol function jika untuk menentukan kegunaan
alat 4in1 sebagai pengukur (intensitas cahaya) luxmeter yaitu
pada layer muncul keterangan light.
3) Memposisikan bohlam pengukur intensitas cahaya sejajar ke
arah cahaya.
4) Menekan lama tombol max/min hingga muncul tulisan REC.
5) Mengarahkan bohlam pengukur intensitas cahaya sejajar ke
arah cahaya dan menunggu hingga 3-5 menit.
6) Menekan sekali tombol max/min untuk mengetahui hasil
maksimal dan minimal intensitas cahaya di daerah
pengamatan.
7) Melakukan 3 kali pengulangan.
8) Mencatat hasil pengukuran intensitas cahaya pada setiap
pengulangan.
7. Salinometer
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur kadar garam air.
b. Cara penggunaan :
1) Membuka penutup prisma, kemudian meneteskan air hingga
menutupi seluruh permukaan prisma, lalu menutupnya secara
hati-hati.

4
2) Hasil salinitas didapat dengan melihat ke dalam ujung bulatan alat.
Terlihat satu angka skala atau lebih. Skala salinitas biasanya
bertanda 0/00 yang berarti bagian/seribu, dari 0 di dasar skala
hingga 50 diujung skala. Ukuran salinitas terlihat pada garis
pertemuan antara bagian putih dan biru.
3) Melakukan 3 kali pengulangan.
4) Mencatat hasil pengukuran kadar garam air pada setiap
pengulangan.
8. Soil tester
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur pH tanah dan kelembaban
tanah dengan satuannya %.
b. Cara penggunaan :
1) Menancapkan ujung alat runcing ke dalam tanah hingga sel-selnya
terbenam dalam tanah dan membiarkan beberapa saat.
2) Melihat skala besar/atas untuk penentuan pH tanah.
3) Menekan tombol yang berada di samping alat untuk menentukan
kelembaban tanah setelah dibiarkan beberapa saat dan melihat
skala kecil/bawah sebagai penunjuk kelembaban tanah.
4) Melakukan 3 kali pengulangan.
5) Mencatat hasil pengukuran pH tanah dan kelembaban tanah pada
setiap pengulangan
9. Porositas
a. Kegunaan alat ini adalah untuk sebagai indikator kondisi drainase dan
aerasi pada tanah.
b. Cara penggunaan :
1) Menancapkan alat porositas pada tanah.
2) Memasukkan air hingga memenuhi tabung porositas.
3) Melihat pengeluaran air pada alat ukur porositas yang berada di
sisi samping sisi porositas dan menghitung waktunya.
4) Mencatat hasil pengukuran porositas.

5
10. Altimeter
a. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur ketinggian tempat dengan
satuan mdpl (Meter di atas permukaan laut).
b. Cara penggunaan :
1) Meletakkan altimeter diatas permukaan tanah yang datar sehingga
gelembung udara berada di tengah bulatan merah.
2) Melihat indikator angka yang muncul.
3) Melakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
4) Mencatat hasil pengukuran ketinggian daerah pengamatan pada
setiap pengulangan.

III. TEORI DASAR

Lingkungan merupakan kompleks dari faktor yang saling


berinteraksi satu sama lainnya, tidak saja faktor-faktor biotik dan abiotik,
tetapi juga antara biotik maupun abiotik itu sendiri. Dengan demikian secara
operasional adalah sulit untuk memisahkan satu faktor terhadap faktor-faktor
lainnya tanpa mempengaruhi kondisi keseluruhannya. Meskipun demikian
untuk memahami struktur dan fungsinya faktor lingkungan ini, secara abstrak
kita bisa membagi faktor-faktor lingkungan ke dalam komponen-
komponennya. Berbagai cara dilakukan oleh pada pakar ekologi dalam
pembagian komponen lingkungan ini, salah satunya adalah pembagian di
bawah di bawah ini.

a. Faktor iklim, meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu,


ketersediaan air dan angin.

b. Faktor tanah merupakan karakteristika dari tanah seperti nutrisi tanah,


reaksi tanah, kadar air tanah, dan kondisi fisik tanah.

c. Faktor topografi, meliputi pengaruh dari terrain seperti sudut kemiringan,


aspek kemiringan lahan, tinggi dari permukaan laut.

6
d. Faktor biotik, merupakan gambaran dari semua interaksi dari organisme
hidup seperti kompetisi, peneduhan, dan sebagainya.

7
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

Pengulangan
No Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Kelembapan
1 Hygrometer % 82 84 80,5 80,5-84
Udara
o
2 Termometer Suhu Udara C 31 30 30 30-31
Kecepatan
3 Bola Arus m/s 0,07 0,07 0,07 0,07
Arus Air
Kekeruhan
4 Seccidisk m 0,56 0,56 0,59 0,56-0,59
Air
Mengukur
5 pH meter - 8,2 8,2 8,2 8,2
pH air
Min :
Min : Min : Min :
14.010-
Intensitas 17.440 14.010 >20.000
Lux meter Lux >20.000
Cahaya Maks : Maks : Maks :
6 Maks :
4in1 >20.000 >20.000 >20.000
>20.000
Min : 0,0 Min : 0,0 Min : 0,0 Min : 0,0
Kecepatan
Anemometer m/s Maks : Maks : Maks : Maks : 1,08-
Angin
4,10 2,90 1,08 4,10
Mengukur
7 Salinometer Kadar ppm 5 6 5 5-6
Garam
pH Tanah - 5,8 6 6,2 5,8-6,2
8 Soil tester Kelembapan
% 55 50 50 50-55
Tanah
Laju
9 Porositas Penyerapan m/s 0,05 0 0 0–0,05
Air
Ketinggian 200-700
tempat dari (Sumber :
10 Altimeter mdpl - - -
permukaan Vikanaswari,
laut 2014)

8
B. Foto Pengamatan

No Nama Alat Satuan Kegunaan Kisaran Foto Pengamatan Foto Literatur


1 Hygrometer % Mengukur 80,5-84
kelembapan udara

(Sumber : Dok. (Sumber : Septiyani et al., 2020)


Kelompok III, 2023)

9
0
2 Termometer C Mengukur suhu 30-31
udara

(Sumber : Septiyani et al., 2020)

(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023)
3 Bola Arus m/s Mengukur 0,07
kecepatan arus air

(Sumber : Dok. (Sumber : Yogaswara et al.,


Kelompok III, 2023) 2016)

10
4. Secchidisk M Mengukur tingkat 0,56-0,59
kekeruhan air

(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023)
(Sumber : Astusi, 2020)
5. pH meter - Mengukur pH air 8,2

(Sumber : Desmira et al., 2018)

(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023)

11
6. 4in1 Lux Meter Lux Mengukur intensitas Min : 14.010-
cahaya >20.000
Maks : >20.000

Anemometer m/s Mengukur Min : 0,0


kecepatan angin
Maks : 1,08-
4,10
(Sumber : Dok. (Sumber : Samsinar et al., 2020)
Kelompok III, 2023)
7. Salinometer Ppm Mengukur kadar 5-6
garam air laut

(Sumber : Harianti et al., 2016)


(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023)

12
8. Soil pH Tanah Mengukur pH tanah 5,8-6,2
tester

Kelembaban Mengukur 50-55


tanah kelembaban tanah

(Sumber : Irwanto, 2019)


(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023)
9. Porositas m/s Mengukur laju 0–0,05
penyerapan air

(Sumber : Dok.
Kelompok III, 2023) (Sumber : Taufik, 2016)

13
10. Altimeter mdpl Mengukur 200 – 700 Tidak ada foto
ketinggian tempat (Sumber : pengamatan
dari permukaan laut Vikanaswari,
2014)

(Sumber : Vikanaswari, 2014)

14
V. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil pengamatan dengan topik lingkungan abiotic dengan


tujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan biotik dan abiotik melalui
pengukuran parameter lingkungan. Alat yang di gunakan pada praktikum ini
adalah berupa alat parameter yaitu hygrometer, termometer, bola arus,
secchidisk, pH meter, 4in1, salinometer, soiltester, dan porositas. Berdasarkan
hasil pengamatan, alat parameter beguna untuk mengukur keadaan di sekitar
kawasan pengamatan. Alat parameter yang di gunakan pada praktikum ini
memiliki fungsi nya masing – masing. Menurut literatur, fungsi alat parameter
adalah untuk mengukur keadaan dan kondisi lingkungan
Hygrometer berfungsi untuk mengukur kelembapan udara dengan
satuannya adalah persen, cara penggunaan hygrometer adalah
Menggantungkan alat hygrometer pada dahan atau ranting pohon di sekitar
daerah pengamatan dan untuk melihat hasilnya menunggu alat hygrometer
selama 3-5 menit. Berdasarkan hasil pengamatan, di daerah sekitar pesisir
pantai memiliki kelembapan udara nya pada kisaran 80,5 – 84 %. Menurut
literatur, hygrometer adalah alat yang digunakan untuk menghitung persentase
uap air (embun) yang berada di udara, atau lebih mudahnya alat untuk
mengukur tingkat kelembaban udara. Satuan pengukuran untuk Hygrometer
adalah Persentase (%) (Septiyani et al., 2019).
Termometer berfungsi untuk mengukur suhu udara dengan satuannya
celcius, cara penggunaannya adalah Menggantungkan alat termometer pada
dahan atau ranting pohon di sekitar daerah pengamatan dan menunggu alat
termometer selama 3-5 menit. Berdasarkan hasil pengamatan, di daerah sekitar
pesisir pantai memiliki suhu udaranya pada kisaran 30 – 31 oC. Termometer
adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu (temperatur), ataupun
perubahan suhu. Istilah termometer berasal dari bahasa Latin thermo yang
berarti panas dan meter yang berarti untuk mengukur. Satuan pengukurannya
yang paling sering dilihat adalah derajat Celcius (C) (Septiyani et al, 2019).
Bola arus dapat di gunakan untuk mengukur kecepatan arus air pada suatu
perairan (Yogaswara et al., 2016).

15
Bola arus berfungsi untuk mengukur kecepatan arus air dengan
satuannya m/s. Cara penggunaannya melipat tali (ukuran 1 meter) menjadi dua
dengan posisi sama panjang pegang dengan tangan, meletakkan bola di atas
permukaan air, mengitung waktu meneggunakan stopwatch sampai tali
sepanjang 1 meter tersebut merentang seluruhnya. Menghentikan stopwatch
jika sudah merentang keseluruhan tali. Berdasarkan hasil pengamatan, di
daerah sekitar pesisir pantai memiliki kecepatan arus airnya pada kisaran 0,07
m/s.
Secchi disk berfungsi untuk mengukur kekeruhan air dengan satuannya
meter. Cara penggunaannya memasukkan secchi disk ke dalam permukaan air
sampai warna putihnya tidak terlihat lagi dan bila ditarik sedikit terlihat warna
putihnya, kemudian pegang tali mulai permukaan air dan mengukur tali dari
permukaan air sampai batas secchi disk. Berdasarkan hasil pengamatan, di
daerah sekitar pesisir pantai memiliki kekeruhan air pada kisaran 0,56 – 0,59
m. Secchi Disk merupakan alat analisis untuk mengukur tingkat kekeruhan air.
Secchi Disk berupa lempengan sederhana yang berbentuk cakram, pada
permukaannya terdapat warna hitam dan putih, berbentuk berupa arsiran
dengan empat bagian (Astuti, 2020).
pH meter berfungsi untuk mengukur pH air. Cara penggunaanya
menyalakan tombol hitam dengan cara menggesernya, mencelupkan pH meter
ke dalam air, lalu menunggu selama 3-5 menit. Berdasarkan hasil pengamatan,
di daerah sekitar pesisir pantai memiliki pH air nya pada kisaran 8,2. pH
meter adalah untuk menentukan derajat keasaman atau kebasaan dari suatu
larutan (Desmira et al., 2018).
4in1 memiliki empat fungsi dalam satu alat yaitu lux meter berfungsi
untuk mengukur intensitas cahaya dengan satuan lux, anemometer berfungsi
untuk mengukur kecepatan angin dengan satuannya m/s. Cara penggunaanya
menyalakan alat 4in1, menekan tombol fungction jika untuk menentukan
kegunaan alat 4in1 sebagai pengukur, memposisikan baling-baling di bagian
atas, menekan lama tombol max/min hingga muncul tulisan REC dan
mengarahkan baling-baling keatas dan menunggu hingga baling-baling

16
berhenti atau jika lama tidak berhenti tunggu 3-5 menit. Berdasarkan hasil
pengamatan, di daerah sekitar pesisir pantai memiliki intensitas cahayanya
pada kisaran minimum 14.010 - >20.000 lux dan kisaran maksimum nya adalah
>20.000 lux. Sedangkan kecepatan anginnya pada kisaran minimum 0,0 dan
maksimumnya pada kisaran 1,08 – 4,10 m/s. Anemometer adalah alat ukur
yang digunakan untuk mengukur atau menentukan kecepatan angin (Samsinar
et al., 2020).
Salinometer berfungsi untuk mengukur kadar garam dengan satuannya
ppm. Cara penggunaanya membuka penutup prisma, kemudian meneteskan air
hingga menutupi seluruh permukaan prisma, lalu menutupnya secara hati-
hatidan hasil salinitas didapat dengan melihat ke dalam ujung bulatan alat.
Terlihat satu angka skala atau lebih. Skala salinitas biasanya bertanda 0/00
yang berarti bagian/seribu, dari 0 di dasar skala hingga 50 diujung skala.
Ukuran salinitas terlihat pada garis pertemuan antara bagian putih dan biru.
Berdasarkan hasil pengamatan, di daerah sekitar pesisir pantai memiliki Kadar
garamnya pada kisaran 5-6 ppm. Menurut literatur,
salinometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keasinan
atau kadar garam suatu larutan (Harianti et al., 2016).
Soilterster memiliki dua fungsi yaitu untuk mengukur pH tanah dan
kelembapan tanah. Cara penggunaanya menancapkan ujung alat runcing ke
dalam tanah hingga sel-selnya terbenam dalam tanah dan membiarkan
beberapa saat dan melihat skala besar/atas untuk penentuan pH tanah. Lalu
menekan tombol yang berada di samping alat untuk menentukan kelembaban
tanah setelah dibiarkan beberapa saat dan melihat skala kecil/bawah sebagai
penunjuk kelembaban tanah. Berdasarkan hasil pengamatan, di daerah sekitar
pesisir pantai memiliki pH tanah nya pada kisaran 5,8 – 6,2 sedangkan
kelembapan tanahnya pada kisaran 50-55 %. Menurut literatur, Soil
tester adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur kelembapan tanah
yang dinyatakan dalam satuan pH (Irwanto, 2019).
Porositas yang berfungsi untuk mengukur laju penyerapan air. Cara
penggunaanya menancapkan alat porositas pada tanah lalu memasukkan air

17
hingga memenuhi tabung porositas dan melihat pengeluaran air pada alat ukur
porositas yang berada di sisi samping sisi porositas dan menghitung waktunya.
Berdasarkan hasil pengamatan, di daerah sekitar pesisir pantai memiliki dan
laju penyerapan air pada kisaran 0 – 0,05 m/s. Menurut literatur, porositas
berguna untuk mengukur laju penyerapan air pada suatu tempat (Taufik, 2016).
Altimeter yang berfungsi untuk mengukur ketinggian tempat dengan
satuan mdpl (Meter di atas permukaan laut). Cara penggunaanya meletakkan
altimeter diatas permukaan tanah yang datar sehingga gelembung udara berada
di tengah bulatan merah. Dan melihat indikator angka yang muncul. Menurut
literatur, di daerah sekitar pesisir pantai memiliki ketinggian tempat dari
permukaan laut 200 – 700 mdpl (Vikanaswari, 2014).
Menurut literatur, tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu
berkisar 25-30°C (Marsono, 1997). Intensitas cahaya yang terlalu rendah akan
menghasilkan produk fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan intensitas
cahaya yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas sel-sel stomata
daun dalam mengurangi transpirasi sehingga mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman (Marsono, 1997). Tanaman akan mengalami
kemudahan dalam mengambil karbon dioksida di udara pada kecepatan udara
antara 0,1 hingga 0,25 m/s (Karyati, 2019).

VI. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pengamatan, alat parameter beguna untuk mengukur
keadaan di sekitar kawasan pengamatan. Alat parameter yang di
gunakan pada praktikum ini memiliki fungsi nya masing – masing.

2. Hygrometer berfungsi untuk mengukur kelembapan udara dengan


satuannya adalah persen, thermometer berfungsi untuk mengukur suhu
udara dengan satuannya celcius, bola arus berfungsi untuk mengukur
kecepatan arus air dengan satuannya m/s.

3. Secchidisk berfungsi untuk mengukur kekeruhan air dengan satuannya


meter, pH meter berfungsi untuk mengukur pH air, 4in1 memiliki empat

18
fungsi dalam satu alat yaitu lux meter berfungsi untuk mengukur
intensitas cahaya dengan satuan lux.

4. Anemometer berfungsi untuk mengukur kecepatan angin dengan


satuannya m/s, termometer untuk mengukur suhu udara dengan satuan
celcius, dan untuk mengukur kelembapan udara.

5. Salinometer berfungsi untuk mengukur kadar garam dengan satuannya


ppm, soilterster memiliki dua fungsi yaitu untuk mengukur pH tanah
dan kelembapan tanah, yang terakhir adalah porositas yang berfungsi
untuk mengukur laju penyerapan air.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Astuti, R. 2020. Manajemen Laboratorium. CV Jejak, Anggota IKAPI.


Sukabumi, Jawa Barat.
Desmira, D., Aribowo, D., & Pratama, R. (2018). Penerapan Sensor pH Pada
Area Elektrolizer Di PT. Sulfindo Adiusaha. PROSISKO: Jurnal
Pengembangan Riset dan Observasi Sistem Komputer, 5(1).
Harianti, H., & Nurasia, N. (2016). Analisis warna, suhu, pH dan salinitas
air sumur bor di Kota Palopo. Prosiding, 2(1).
Irwanto, I. (2019). Sistem Pengukur Kelembaban Tanah Pertanian Dan
Penyiraman Otomatis Berbasis Internet Of Things (IoT) (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Majapahit Mojokerto).
Karyati. (2019). Mikrolkimatotogi Hutan. Samarinda: Mulawarna
Universitas Press.
Marsono. (2010). Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Samsinar, R., Septian, R., & Fadliondi, F. (2020). Alat Monitoring Suhu
Kelembapan dan Kecepatan Angin dengan Akuisisi Database
Berbasis Raspberry Pi. RESISTOR (Elektronika Kendali
Telekomunikasi Tenaga Listrik Komputer), 3(1), 29-36.
Septiyani, H., Syaifudin, H., & Pudji, A. (2019). Kalibrator
Thermohygrometer. Poltekes kemenkes Surabaya.
Taufik, S. R., Surtono, A., & AlHuda, M. (2016). Karakterisasi Porositas
Batuan Shalegas Terhadap Nilai Kapasitansi Dengan Menggunakan
Sensor Kapasitansi. Jurnal Teori dan Aplikasi Fisika, 4(02), 153-
159.

19
Vikanaswari, M. P. A. R. (2014). Landasan Konseptual Perencanaan Dan
Perancangan Hotel Resor Di Pantai Sepanjang, Gunungkidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta (Doctoral Dissertation, Uajy).
Yogaswara, G. M., Indrayanti, E., & Setiyono, H. (2016). Pola Arus
Permukaan di Perairan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Provinsi
DKI Jakarta pada Musim Peralihan (Maret-Mei). Journal of
Oceanography, 5(2), 227-233

20
PRAKTIKUM I

Topik : Produktivitas Serasah


Tujuan : Memahami Konsep Produktivitas Serasah Dan Memahami
Hubungan Produktivitas dengan Pengaruh Lingkungan
Hari/Tanggal : Senin - Minggu/20-27 Februari 2023 dan Sabtu/4 Maret 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio, Laboratorium Biologi Umum FKIP
ULM Banjarmasin dan Lingkungan PMIPA FKIP ULM

I. ALAT BAHAN

A. Alat:

1. Timbangan emas 10. Batu pemberat

2. Jebakan serasah 11. Gelas pop ice

3. Tali tambang 12. Alat tulis

4. Plastik sampel 13. Alat dokumentasi

5. Kertas label 14. Alat parameter:

6. Koran a. 4 in 1 (Anemometer
dan Luxmeter)
7. Oven
b. Soil tester
8. Saringan
c. Hygrometer
9. Alat bakar
d. Termometer

B. Bahan

1. Pohon Beringin (Ficus microcarpa)

2. Minyak tanah

21
II. CARA KERJA

1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.

2. Memilih 1 pohon yang rindang dengan tinggi cabang pertama 3-5 m


lengkap semua organnya (daun, bunga, buah, ranting, dll).

3. Memasang jarring serasah ukuran 1 x 1 m diujung batang utama pohon


tersebut.

4. Melakukan pengamatan sesasah setelah 6 hari.

5. Memisahkan sesuai organ dari daun, batang, buah, bunga, ranting, tangkai
buah dan tangkai daun.

6. Menimbang setiap organ berat basah serasah.

7. Memasukkan setiap organ kedalam koran, lalu memasukkan ke plastik


sampel agar kadar airnya tidak menguap.

8. Mengukur parameter lingkungan.

9. Sampel di oven perbagian organnya selama 24 jam.

10. Menimbang berat ringannya perbagian organ.

11. Membakar hingga terbakar sempurna dan tersisa abu.

12. Menimbang abu sisa pembakaran.

III. TEORI DASAR

Setiap ekosistem atau komponen atau bagian-bagiannya memiliki


produktifitas dasar atau disebut pula produktifitas primer. Produktifitas
primer adalah kecepatan penyimpanan energi potensial oleh organisme
produsen melalui proses fotosintesis dan kemonsistesis dalam bebtuk bahan-
bahan organik yang dapat dipergunakan sebagai bahan pangan. Mc.
Noughton (1989) mengkategorikan produktifitas menjadi 2 bagian, yaitu:

22
1. Produktifitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis yang
mencakup pola bahan organik yang dipakai untuk respirasi selama
pengukuran.

2. Produktifitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimoanan bahan-bahan


organik dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan-bahan yang
dipakai untuk respirasi oleh tumbuhan selama pengukuran.

Selanjutnya Fitter dan Hay (1981) menjelaskan bahwa dalam konsep


produktifitas, faktor satuan waktu sangat penting karena sistem kehidupan
adalah proses yang berjalan swcara sinambung. Produktifitas tidak dapat
ditentukan hanya dengan menghitung jumlah dan bobot individu saja,
meskipun dengan hal ini dapat dibuat tafsiran produktifitas bersihnya.

Berbagai macam ekosistem mempunyai produktifitas yang berbeda


berkaitan dengan berbagai faktor lingkungan seperti iklim, topografi, sifat
tanah, letak geografis, air, ketinggian dan masukan energi dan materi dari
luar.

23
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Tabel Data Produktivitas Serasah

Berat Berat Berat


Hari Bagian
No basah kering abu
ke tumbuhan
(gr) (gr) (gr)
1 Ranting 1,13 0,76 0,26

2 Bunga 0,16 0,07 0,06

3 Daun 10,00 4,38 0,57


6

4 Stipula 0,17 0,09 0,08

5 Buah 1,82 0,70 0,05

Keterangan : Berat Total


Ranting : 1,19 gr
Bunga : 0,16 gr
Daun : 20,51 gr
Stipula : 0,17 gr
Buah : 4,03 gr
2. Tabel Perhitungan Produktivitas Serasah

Berat Kandungan
Bagian Berat Berat
No Hari ke kering
tumbuhan basah (gr) abu (gr) Organik
(gr)
(gr)
1 Ranting 0,19 0,13 0,04 0,09
2 Bunga 0,03 0,01 0,01 0,00
3 6 Daun 1,67 0,73 0,04 0,64
4 Stipula 0,03 0,01 0,01 0,01
5 Buah 0,30 0,12 0,01 0,11

24
3. Perhitungan

a. Ranting
Berat Basah = BB/Jumlah hari = 1,13 / 6 = 0,19 gr (BB/m²/hari)
Berat kering = BK/jumlah hari = 0,76 / 6 = 0,13 gr (BB/m²/hari)
Berat abu = BA/jumlah hari = 0,264 / 6 = 0.04 gr (BB/m²/hari)
Kandungan organik = BK – BA = 0,13 – 0,09 = 0,08 gr

b. Bunga
Berat Basah = BB/Jumlah hari = 0,16 / 6 = 0,03 gr (BB/m²/hari)
Berat kering = BK/jumlah hari = 0,07 / 6 = 0,01 gr (BB/m²/hari)
Berat abu = BA/jumlah hari = 0,06 / 6 = 0.01 gr (BB/m²/hari)
Kandungan organik = BK – BA = 0,01 – 0,00 = 0,00 gr

c. Daun
Berat Basah = BB/Jumlah hari = 10,00 / 6 = 1,67 gr(BB/m²/hari)
Berat kering = BK/jumlah hari = 4,38 / 6 = 0,73 gr (BB/m²/hari)
Berat abu = BA/jumlah hari = 0,264 / 6 = 0.04 gr (BB/m²/hari)
Kandungan organik = BK – BA = 0,13 – 0,64 = 0,08 gr

d. Stipula
Berat Basah = BB/Jumlah hari = 0,17 / 6 = 0,03 gr (BB/m²/hari)
Berat kering = BK/jumlah hari = 0,09 / 6 = 0,01 gr (BB/m²/hari)
Berat abu = BA/jumlah hari = 0,0824 / 6 = 0.01 gr (BB/m²/hari)
Kandungan organik = BK – BA = 0,02 – 0,01 = 0,01 gr

e. Buah
Berat Basah = BB/Jumlah hari = 1,82 / 6 = 0,30 gr (BB/m²/hari)
Berat kering = BK/jumlah hari = 0,70 / 6 = 0,12 gr (BB/m²/hari)
Berat abu = BA/jumlah hari = 0,0533 / 6 = 0.01 gr (BB/m²/hari)

25
Kandungan organik = BK – BA = 0,12 – 0,01 = 0,11 gr

26
B. Tabel Parameter

No. Nama Alat Pengukuran Satuan Titik Kisaran


1 2 3
1. Lux Meter Intensitas Lux Min: Min: Min: Min:
4 Cahaya 4.530 6.250 3.380 3.380-
in Max: Max: Max: 6.250
1 >20.000 >20.000 >20.000 Max:
>20.000
Anemometer Kecepatan m/s Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0
Angin Max: 1,4 Max: 2,9 Max: 2,9 Max: 1,4-
2,9
2. Soil tester pH Tanah - 6,9 7 7,5 6,9-7,5
Kelembaban % 70 69 70 69-70
Tanah
3. Hygrometer Kelembaban % 51 49 58 49-58
Udara
o
4. Termometer Suhu Udara C 32 35 34 32-35

27
C. Foto Pengamatan

No. Nama Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


Lokal Spesies Ilmiah
1 Beringin Beringin Ficus
microcarpa

(Sumber : Dok. (Sumber :


Kelompok III, 2023) Wibawani et al,
2015)

28
V. ANALISIS DATA

Praktikum kali ini dengan topik tingkat produktivitas serasah yang


bertujuan untuk memahami konsep produktivitas dan mengetahui hubungan
produktivitas dengan perubahan lingkungan. Adapun cara kerja yang dilakukan
saat pengamatan adalah yang pertama memilih 1 pohon beringin yang rindang
dengan tinggi cabang pertama 3-5 meter kemudian pasanglah jaring serasah
ukuran 1x1 meter dibawah pohon tersebut. Lakukanlah pengambilan serasah
setelah 1 minggu, dan timbanglah berat basahnya. Kemudian keringkan dengan
menggunakan oven sampai benar-benar kering. Lalu timbanglah berat kering.
Terakhir membakar serasah lalu menimbang berat abu serta hitung produktivitas
rata-rata harian berdasarkan rumus.
Serasah menjadi sumber bahan organik tanah yang didapatkan melalui
proses dekomposisi, yaitu saat serasah jatuh ke lantai tanah dan terjadi proses
perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil
sehingga menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan
mikroorganisme (Thaiutsa dan Granger 1979). Serasah merupakan lapisan tanah
bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran
daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang
menyebar di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan tersebut
mengalami dekomposisi (Departemen Kehutanan, 1997). Menurut Nasoetion
(1990) dalam Kurniasari (2009) serasah adalah lapisan teratas dari permukaan
tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan.
Spurr dan Burton (1980) dalam Kurniasari (2009) mengemukakan
bahwa serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan
yang terdapat di atas permukaan tanah yang tersusun oleh bahan-bahan yang
sudah mati, sehingga material mati yang masih berdiri seperti pohon, cabang
yang belum jatuh, tidak termasuk kedalam istilah ini. Serasah berfungsi sebagai
penyimpan air sementara, dimana secara berangsur-angsur akan dilepaskan

29
ketanah bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki
struktur tanah, dan menaikkan kapasitas penyerapan (Arief, 1994).
Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan
sebagai penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah
(Odum 1971 dalam Kurniasari, 2009). Studi mengenai produktivitas digunakan
untuk membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran
produksi serasah. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan informasi dasar
dalam memahami serasah, karbon, dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan
sesuai dengan fungsinya. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi
tentang bagaimana ekosistem hutan beraksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi
juga memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap
lingkungannya.
Metode yang digunakan pada pengamatan kali ini yaitu menggunakan
metode jaring serasah (Litter-trap) berukuran 1x1 m yang digunakan untuk
menampung jatuhnya serasah dari pohon yang akan diamati produktivitasnya.
Metode ini digunakan untuk menangkap guguran serasah di hutan dalam waktu
tertentu (liner-fall) adalah dengan litter-trap (jaring penangkap serasah)
(Lestarina M, 2011). Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1 m x 1 m,
yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring sekitar 1 mm dan bagian
bawahnya diberi pemberat. Litter-trap diletakkan di antara vegetasi terdekat
dengan ketinggian di atas garis pasang tertinggi.
Pohon yang digunakan sebagai objek pemasangan jebakan serasah
adalah pohon beringin (Ficus microcarpa). Jebakan yang digunakan berupa 1
buah jaring dengan ukuran 1 x 1 m yang digantungkan di kanopi pohon. Dari
jebakan yang dipasang terdapat ranting, bunga, daun, stipula dan buah. Setelah
pengambilan ranting, bunga, daun, stipula, buah dilakukan penimbangan berat
basah, lalu dioven selama 24 jam dan kembali dilakukan penimbangan berat
kering, setelah itu barulah ranting, bunga, daun, stipula, buah. setiap pengambilan
ranting, bunga, daun, stipula di bakar hingga mendapatkan berat abu.

30
Tujuan dari pengovenan ini adalah untuk mendapatkan berat kering dari
serasah tersebut hingga beratnya konstan. Selain itu juga tujuan pengeringan
serasah menggunakan oven adalah untuk meningkatkan produktivitas serasah
dengan mengurangi kadar air yang terkandung di dalamnya. Dengan mengurangi
kadar air, serasah menjadi lebih ringan dan mudah diangkut, sehingga proses
pembakaran selanjutnya lebih mudah . Berdasarkan literatur yang sudah
dikumpulkan, dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya antara daun, ranting, dan
bunga/buah. Serasah tersebut ditimbang beratnya lalu dimasukkan ke dalam
kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium.
Pengukuran berat kering serasah dilaksanakan di laboratorium dengan cara
mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 80°C selama 2x24 jam atau
hingga beratnya konstan (Yuwono et al. 2015).
Adapun pembakaran berfungsi untuk mendapat berat abu yang
mengandung karbon organik. Tujuan pembakaran serasah untuk mengetahui
berat abu dalam produktivitas serasah adalah untuk mengetahui kandungan
nutrisi yang terdapat pada serasah setelah dibakar. Pembakaran serasah
mengubah bahan organik menjadi bahan anorganik, sehingga memungkinkan
kita untuk mengevaluasi kandungan nutrisi yang terkandung dalam abu yang
dihasilkan. Hal ini sejalan dengan literatur yang meyatakan bahwa pembakaran
kering (dry combustion) adalah metode penetapan karbon organik di dalam tanah
dengan mengkonversi semua karbon organik di dalam menjadi karbon dioksida
melalui proses pembakaran (Akhmad, 2018).
Berdasarkan hasil pengamatan pada ranting pohon berat basah sebesar
0,19 gr, berat kering 0,13 dan berat abu sebesar 0,04 gr, dan kandungan organik
0,08. Pada pengamatan bunga pohon memiliki berat basah sebesar 0,03 gr, berat
kering sebesar 0,01 dan berat abu sebesar 0,01 gr dan kandungan organik 0,00.
Sedangkan pada bagian daun memiliki berat basah sebesar 1,67 gr, berat kering
sebesar 0,73 dan berat abu sebesar 0,04 gr dan kandungan organik 0,08. Pada
pengamatan stipula pohon memiliki berat basah sebesar 0,03 gr, berat kering
sebesar 0,01 dan berat abu sebesar 0,01 gr dan kandungan organik 0,01.
31
Sedangkan pada bagian buah memiliki berat basah sebesar 0,30 gr, berat kering
sebesar 0,12 dan berat abu sebesar 0,01 gr dan kandungan organik 0,01.
Adanya perbedaan jenis tegakan menyebabkan hasil produktivitas
serasah berbeda baik dalam jumlah, jenis komponen serasah maupun kualitas
serasah. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan komponen serasah terbesar
berasal dari tegakan Ficus microcarpa terutama pada komponen daun, hal ini
disebabkan karena daun Ficus microcarpa lebih sering menggugurkan daunnya.
Daun Ficus microcarpa mempunyai sifat morfologi seperti ukuran dan bentuk
daun yang lebar dan tipis sehingga lebih mudah digugurkan oleh kuatnya
hembusan angin dan pengaruh jatuhnya air hujan. Selain itu juga disebabkan oleh
sifat fisiologi dari daun itu sendiri. Hal ini karena peranan penting dalam proses
fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat, dimana daun yang telah habis masa
dalam memproduksi makanan akan segera gugur dan digantikan oleh daun muda
Menurut Handayani, (2016) serasah berperan dalam keluarmasuknya
nutrisi dalam suatu ekosistem. Serasah daun lebih sering gugur dibandingkan
serasah lain karena bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan
oleh angin dan curah hujan atau sifat fisiologis daun. Serasah juga berfungsi
sebagai penyimpan air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke
tanah bersama dengan bahan dengan bahan organik, memperbaiki struktur tanah
dan dan menaikkan kapasitas penyerapan. Tumbuhan Serasah dapat
mempengaruhi pola regenerasi semai di hutan hujan tropis melalui suatu jumlah
proses yang mempengaruhi kedua lingkungan fisik dan kimia (Brearley et al.,
2003).
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan menggunakan alat 4 in 1,
soil tester, hygrometer, dan termometer. Pengukuran parameter lingkungan di
lokasi pengamatan menggunakan 4 in 1 yaitu lux meter untuk mengukur
intensitas cahaya dan anemometer untuk mengukur kecepatan angin. Pengukuran
intensitas cahaya dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan dengan kisaran
minimal antara 3.380 - 6.250 lux dan max berkisar >20.000 lux. Sedangkan
pengukuran kecepatan angin dengan 3 kali pengulangan yaitu antara min 0,0 –
32
0,2 m/s dan max berkisar antara 1,4 – 1,9 m/s. Pengukuran pH tanah dan
kelembaban tanah menggunakan soil tester dilakukan sebanyak tiga dengan
kisaran 6,9-7,5. Sedangkan pada pengukuran kelembaban tanah pada dengan 3
kali pengulangan yaitu berkisar antara 69 - 70%. Berdasarkan literatur, intensitas
cahaya sangat penting dalam proses fotosintesis, proses pertumbuhan, respirasi,
transpirasi dan fisiologi. Pengukuran terhadap intensitas cahaya pada kawasan
penelitian yakni di Kawasan Hutan Pantai Tabanio, Kabupaten Tanah Laut
berkisar antara 7.221- >20.000 Lux (Antung et al., 2019).
Faktor kecepatan angin juga mempengaruh jatuhnya serasah pohon.
Angin menyebabkan menyebabkan daun berdekatan bergesekan satu sama lain.
Kecepatan angin menciptakan berbagai macam kerusakan yang menyebabkan
pecahnya epidermal sel, keretakan pada kutikula dan semakin menipisnya lapisan
lilin yang dapat menyebabkan kerusakan daun dan menyebabkan daun
mengering (Aminah et al., 1995). Menurut Paramitha (2012) dalam Muhsin et
al., (2019) pada pH tanah 6,0-7,5 laju dekomposisi serasah dapat berlangsung
dengan cepat. Semakin tinggi kelembaban tanah maka dekomposisi serasah
berupa daun, tangkai, batang, buah, dan bunganya akan semakin cepat pula
proses berlangsungnya produktivitas tumbuhan tersebut.
Pengukuran kelembaban udara dilakukan sebanyak tiga kali
pengulangan yaitu dengan kisaran antara 49-58%. Sedangkan pada pengukuran
suhu udara yang dilakukan dengan 3 kali pengulangan yaitu kisaran 32-35°C.
Berdasarkan literatur, tumbuhan akan mengugurkan daun segarnya di bawah
suhu optimum dan menghentikan produksi daun baru apabila suhu lingkungan di
atas suhu optimum. Penelitian Farhaby (2017) dalam Farhaby & Utama (2019)
menunjukkan bahwa temperatur optimum untuk pertumbuhan adalah 26-30°C.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suhu demikian dapat menunjang
pertumbuhan pohon tersebut.
Suhu kelembaban udara dan curah hujan mempengaruhi jatuhan serasah
tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban
udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun
33
harus segera digugurkan. Faktor lain yang mempengaruhi produktifitas serasah
yaitu jenis penyusunan, tingkat kerapatan pohon dan luas bidang dasar suatu
tegakan. Produktivitas serasah akan meningkat dan mencapai mencapai
maksimum maksimum pada musim kemarau dan menurun pada musim hujan.
Hal ini terjadi karena pada musim kemarau persaingan diantara tanaman dan
antar organ dalam satu tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari

VI. KESIMPULAN

1. Praktikum dengan topik tingkat produktivitas serasah yang bertujuan untuk


memahami konsep produktivitas dan mengetahui hubungan produktivitas
dengan perubahan lingkungan

2. Komponen serasah yang didapat yaitu ranting, bunga, daun, stipula dan
buah.

3. Komponen serasah terbesar adalah daun karena tegakan Ficus microcarpa


karena lebih sering menggugurkan daunnya

4. Tujuan dari pengovenan adalah untuk mendapatkan berat kering dari serasah
tersebut hingga beratnya konstan

5. Pembakaran berfungsi untuk mendapat berat abu yang mengandung karbon


organik.

6. Faktor kecepatan angin, kelembaban udara dan curah hujan mempengaruhi


produksi jatuhnya serasah

34
VII. DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, R. S. (2018). Bahan organik tanah: klasifikasi, fungsi dan metode studi.
Lambung Mangkurat University Press: Banjarmasin

Aminah, H., Dick, J. M., Leakey, R. R. B., Grace, J., & Smith, R. I. (1995). Effect
of indole butyric acid (IBA) on stem cuttings of Shorea leprosula. Forest
Ecology and Management, 72(2-3), 199-206.

Antung, F., Dharmono, D., & Mahrudin, M. (2019). Kajian struktur populasi
tumbuhan kilalayu (Erioglossum rubiginosum) di Kawasan Hutan Pantai
Tabanio, Kabupaten Tanah Laut sebagai materi handout penunjang mata
kuliah Ekologi Tumbuhan. Prosiding Seminar Nasional, 4(3), 523-528.

Arief A. (1994). Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Brearley, F., Q. Malcolm C. P. and Julie D. S. (2003). Nutrients Obtained From


Leaf Litter Can Improve The Growth Of Dipterocarp Seedling.
Phytologist 160: 101-110.

Departemen Kehutanan. (1997). Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Edisi I.


Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

Farhaby, A. M., & Utama, A. U. (2019). Analisis Produksi Serasah Mangrove Di


Pantai Mang Kalok Kabupaten Bangka. Jurnal Enggano, 4(1), 1-11.

Kurniasari, S. (2009). Produktivitas Serasah di Kebun Campur Senjoyo


SemarangJawa Tengah, Laju Dekomposisi Dan Pengaruh Komposnya
Dicampur EM4Terhadap Uji Laboratorium Anakan Mahoni (Swietenia
macrophylla King).Tesis. Institut Pertanian Bogor

Lestarina, M. P. (2011) . Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dan


potensi kontribusi unsur hara di perairan mangrove Pulau Panjang
Banten. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Thaiutsa, B. dan Granger, O. (1979). Climate and Decomposition Rate of


Tropical. Forest Litter. Unasylva 31: 28 – 35.

Utami. (2018). Pengaruh Cahaya Terhadap Pertumbuhan Tanaman (Suatu


Kajian Pustaka). Diakses melalui https://erepo.unud.ac.id/id/. Pada
tanggal 9 April 2023.

35
Wibawani, A. I., & Laily, A. N. (2015). Identifikasi Tanaman Berdasarkan Tipe
Fotosintesis Pada Beberapa Spesies Anggota Genus Ficus Melalui
Pengamatan Anatomi Daun. El-Hayah, 5(2), 43-47. Diakses melalui
https://ejournal.uin-malang.ac.id/ pada tanggal 6 Maret 2023.

Yuwono, S. B., Andrianto, F., & Bintoro, A. (2015). Produksi dan laju
dekomposisi serasah mangrove (Rhizophora sp.) di desa Durian dan desa
Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal
Sylva Lestari, 3(1), 9-20.

36
PRAKTIKUM II

Topik : Produktivitas Rumput


Tujuan : Memahami konsep produktivitas rumput dan mengetahui hubungan
produktivitas dengan perubahan lingkungan
Hari/Tanggal : Senin - Minggu/20-27 Februari 2023 dan Sabtu/4 Maret 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio, Laboratorium Biologi Umum FKIP
ULM Banjarmasin dan Lingkungan PMIPA FKIP ULM

I. ALAT BAHAN
A. Alat:
1. Paku 15. Timbangan emas
2. Palu 16. Gelas plastik
3. Tali rafia 17. Baki
4. Bendera 18. Buku penuntun
5. Plastik sampel 19. Alat tulis
6. Kertas label 20. Alat dokumentasi
7. Koran 21. Alat parameter:
8. Gunting a. 4 in 1 (Anemometer
9. Penggaris besi dan Luxmeter)
10. Meteran jahit b. Soil tester
11. Oven c. Hygrometer
12. Wajan d. Termometer
13. Saringan e. Porositas
14. Korek api
B. Bahan
1. Minyak tanah
2. Rumput

37
II. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Menyiapkan 3 seri kuadrat ukuran 1x1 meter yang berdampingan pada suatu
daerah yang telah ditentukan.
3. Memotong vegetasi rumput atau memangkas rumput tersebut dengan
menyisakan 1 cm pada tiap-tiap kuadrat.
4. Melakukan pemanenan atau pemotongan bagian atas rumput setelah 6 hari.
5. Menimbang berat basah rumput sebanyak 10 gram.
6. Mengeringkan rumput yang sudah ditimbang dengan menggunakan oven
sampai benar-benar kering, kemudian menimbang berat keringnya.
7. Membakar rumput yang sudah dioven sampai benar-benar sempurna (hanya
tertinggal abu).
8. Menimbang abu sisa pembakaran dengan menggunakan 38nergy38 sampel
yang telah diketahui beratnya.
9. Menghitung kandungan 38nergy38 berdasarkan rumus:
𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑂𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢
10. Menghitung laju pertumbuhan rumput berdasarkan rumus:
𝐿𝑛 𝐵𝐵 − 𝐿𝑛 𝐵𝐾
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐻𝑎𝑟𝑖

III. TEORI DASAR


Setiap ekosistem atau komunitas atau bagian-bagiannya memiliki
produktifitas dasar atau disebut pula produktivitas primer. Produktivitas primer
adalah kecepatan penyimpanan 38nergy potensial oleh organisme produsen
melalui proses fotosintesis dan kemosistesis dalam bentuk bahan-bahan
38nergy38 yang dapat dipergunakan sebagai bahan pangan. Mc. Noughton
(1989) dalam Dharmono et al. (2023) mengkategorikan produktivitas menjadi 2
bagian, yaitu:

38
1. Produktifitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis yang
mencakup pula bahan 39nergy39 yang dipakai untuk respirasi selama
pengukuran.
2. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan-bahan
39nergy39 dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan-bahan
yang dipakai untuk respirasi oleh tumbuhan selama pengukuran.
Selanjutnya Fitter dan Hay (1981) dalam Dharmono et al. (2023).
Menjelaskan bahwa dalam konsep produktivitas, 39nergy satuan waktu sangat
penting karena system kehidupan adalah proses yang berjalan secara sianmbung.
Produktivitas tidak dapat ditentukan hanya dengan menghitung jumlah dan bobot
individu saja, meskipun dengan hal ini dapat dibuat tafsiran produktivitas
bersihnya (Dharmono et al., 2023).
Berbagai macam ekosistem mempunyiai produktivitas yang berbeda
berkaitan dengan berbagai 39nergy lingkungan seperti iklim, totpografi, sifat
tanah, letak geografis, air, ketinggian dan masukan 39nergy dan materi dari luar
(Dharmono et al., 2023).

39
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
1. Tabel Data Vegetasi Rumput
Berat Basah (gr) Berat Kering (gr) Berat Abu (gr)
No. Titik
Awal 10% Awal 10% Awal 10%
1 I 10,00 1,00 2,69 0,27 0,06 0,006
2 II 10,00 1,00 2,72 0,27 0,05 0,005
3 III 10,00 1,00 2,77 0,28 0,24 0,02
Keterangan:
Berat Total Titik I = 69,90 gr
Berat Total Titik II = 63,24 gr
Berat Total Titik III = 50,02 gr

2. Tabel Produktivitas Rumput


No. Titik BB (%) BK (%) BA (%) BK-BA (%)
1 l 1,00 0,27 0,006 0,264

2 ll 1,00 0,27 0,005 0,265

3 lll 1,00 0,28 0,02 0,26

3. Tabel Perhitungan Laju Pertumbuhan Rumput


Produktivitas
No. Titik Laju Pertumbuhan
BB BK
1. l 0,17 0,04 0,24
2. ll 0,17 0,04 0,24
3. lll 0,17 0,05 0,20

40
4. Perhitungan
a. Tabel Data Vegetasi Rumput
Berat Basah
Titik I : 10 % = 10,00 × 10% = 1,00%

Titik II : 10 % = 10,00 × 10% = 1,00%

Titik III : 10 % = 10,00 × 10% = 1,00%

Berat Kering :

Titik I : 10 % = 2,69 × 10% = 0,27%

Titik II : 10 % = 2,72 × 10% = 0,27%

Titik III : 10 % = 2,77 × 10% = 0,28%

Berat Abu :

Titik I : 10 % = 0,06 × 10% = 0,006%

Titik II : 10 % = 0,05 × 10% = 0,005%

Titik III : 10 % = 0,24 × 10% = 0,02%

b. Tabel Produktivitas Rumput


Kandungan Organik = BK – BA
Titik I : BK – BA = 0,27 – 0,006 = 0,264 %

Titik II : BK – BA = 0,27 – 0,005 = 0,265 %

Titik III : BK – BA = 0,28 – 0,02 = 0,26 %

c. Tabel Perhitungan Laju Pertumbuhan Rumput


Titik I :

41
BB = BB/jumlah hari = 1,00/6 = 0,17 gr (BB/m²/hari)

BK = BK/jumlah hari = 0,27/6 = 0,04 gr (BK/m²/hari)

Laju Pertumbuhan = ln(BB)-ln(BK)/jumlah hari = ln(0,17)-


ln(0,04)/6 = 0,24 gr (m²/hari)

Titik II :

BB = BB/jumlah hari = 1,00/6 = 0,17 gr (BB/m²/hari)

BK = BK/jumlah hari = 0,27/6 = 0,04 gr (BK/m²/hari)

Laju Pertumbuhan = ln(BB)-ln(BK)/jumlah hari = ln(0,17)-


ln(0,04)/6 = 0,24 gr (m²/hari)

Titik III :

BB = BB/jumlah hari = 1,00/6 = 0,17 gr (BB/m²/hari)

BK = BK/jumlah hari = 0,28/6 = 0,05 gr (BK/m²/hari)

Laju Pertumbuhan = ln(BB)-ln(BK)/jumlah hari = ln(0,17)-


ln(0,05)/6 = 0,20 gr (m²/hari)

B. Tabel Parameter

Pengulangan
No Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Min : Min : 3.380-
Min : 6.250 Min : 3.380
Intensitas 4.530 6.250
Lux meter Lux Maks : Maks :
Cahaya Maks : Maks :
1 >20.000 >20.000
4in1 >20.000 >20.000
Min : 0,0
Kecepatan Min : 0,0 Min : 0,0 Min : 0,0
Anemometer m/s Maks : 1,4-
Angin Maks : 1,4 Maks : 2,9 Maks : 2,9
2,9
2 Soil tester pH Tanah - 6,9 7 7,5 6,9-7,5

42
Kelembapan
% 70 69 70 69-70
Tanah
Kelembapan
3 Hygrometer % 51 49 58 49-58
Udara
4 Termometer Suhu Udara ̊C 32 35 34 32-35
Laju
0,000033-
5 Porositas Penyerapan m/s 0,000183 0,000188 0,000033
0,000188
Air

43
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik produktivitas rumput
dengan tujuan memahami konsep produktivitas rumput dan memahami
hubungan produktivitas dengan pengaruh lingkungan. Metode yang di gunakan
adalah metode eksperimen yaitu dengan membuat 3 plot dengan ukuran 1 × 1
m menggunakan tali rapia dan paku, setelah ketiga plot tersebut jadi, rumput
yang ada di dalam plot di potong menyisakan 1 cm dari akar dan plot tersebut
di diamkan selama 6 hari di mulai dari pemotongan rumput pada hari pertama
dan setelah 6 hari rumput tersebut di potong kembali dan hasil potongan
tersebut di timbang.

Berdasarkan hasil pengamatan, pada praktikum ini menggunakan


metode penuaian/panen, pada hari pertama di lakukan pemotongan rumput
dengan ketinggian 1 cm dari permukaan tanah dan di diamkan selama 6 hari,
dan nantinya apabila sudah 6 hari maka di lakuakan proses penuaian. Menurut
Liana (2017) mengungkapan bahwa metode panen merupakan cara mengukur
produktivitas dengan memanen seluruh organ vegetasi secara periodik menurut
periode waktu yang di pilih. Berdasarkan hasil pengamatan, pada plot I berat
total yang di dapatkan adalah 69,90 gr, pada plot II berat total yang di dapat
adalah 63,24 gr, dan pada plot III berat total yang di dapat 50,02 gr. Setiap
masing – masing plot di ambil sebanyak 10 gr untuk di masukkan ke oven
selama 24 jam. Setelah 24 jam di masing – masing rumput di timbang berat
keringnya, dan setelah itu di bakar hingga menjadi abu dan di timbang kembali
berat abunya.

Cahaya matahari memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses


fotosintesis pada tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Tajuk
tanaman yang tumbuh dalam kondisi naungan akan menerima sedikit jumlah
radiasi matahari akibatnya naungan akan berpengaruh terhadap proses seperti:
fotosintesis, respirasi, transpirasi, sintesis protein, produksi hormon,
translokasi serta penuaan. Taiz dan Zeiger (1991) menjelaskan bahwa daun
yang tumbuh pada intensitas cahaya rendah biasanya mengalami kerusakan

44
jika dihadapkan dengan Photosynthetic Photon Flux Density (PPFD) yang
tinggi yang dikenal dengan photoinhibition. Hal tersebut menyebabkan laju
fotosintesis yang rendah serta kurang berfungsinya transfer elektron dan
fotofosforilasi.

Berdasarkan hasil pengamatan, tujuan dari pengovenan ini adalah untuk


mendapatkan berat kering dari rumput tersebut hingga beratnya konstan. Selain
itu jua tujuan pengeringan rumput menggunakan oven adalah untuk
meningkatkan produktivitas rumput dengan mengurangi kadar air yang
terkandung di dalamnya. Dengan mengurangi kadar air, rumput menjadi lebih
ringan dan mudah diangkut, sehingga proses pembakaran selanjutnya lebih
mudah . Berdasarkan literature, rumput tersebut ditimbang beratnya lalu
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya
dibawa ke laboratorium. Pengukuran berat kering serasah dilaksanakan di
laboratorium dengan cara mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu
80°C selama 2x24 jam atau hingga beratnya konstan (Yuwono et al. 2015).

Berdasarkan hasil pengamatan, adapun pembakaran berfungsi untuk


mendapat berat abu yang mengandung karbon organik. Tujuan pembakaran
serasah untuk mengetahui berat abu dalam produktivitas serasah adalah untuk
mengetahui kandungan nutrisi yang terdapat pada rumput setelah dibakar.
Pembakaran rumput mengubah bahan organik menjadi bahan anorganik,
sehingga memungkinkan kita untuk mengevaluasi kandungan nutrisi yang
terkandung dalam abu yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan literatur yang
meyatakan bahwa pembakaran kering (dry combustion) adalah metode
penetapan karbon organik di dalam tanah dengan mengkonversi semua karbon
organik di dalam menjadi karbon dioksida melalui proses pembakaran
(Akhmad, 2018).
Berdasarkan hasil pengamatan, data produktivitas rumput berat basah
titik satu, dua, dan tiga adalah 1,00 %, berat kering pada titik satu dan dua
adalah 0,27 %, dan titik tiga adalah 0,28%, berat abu pada titik satu adalah
0,006 %, pada titik kedua 0,005 % dan titik tiga adalah 0,02 %. Laju

45
pertumbuhan rumput pada kawasan pengamatan pada plot I 0,24 gr (m²/hari),
pada plot II 0,24 gr (m²/hari), dan pada plot III 0,20 gr (m²/hari). Menurut
literatur, laju pertumbuhan lebih kecil dari 0,5 gr (m²/hari) termasuk ke dalam
kategori seperti padang pasir. Berdasarkan hasil pengamatan, baik di plot 1, 2
dan 3 laju pertumbuhan rumput adalah 0,20 – 0,24 gr (m²/hari), dapat di
simpulkan bahwa laju pertumbuhan rumput di tempat pengamatan termasuk
kedalam kategori seperti padang pasir (Odum, 1971 dalam Hardiansyah, 2020).

Terbatasnya ketersediaan faktor-faktor pertumbuhan tanaman seperti:


hara, air, dan radiasi matahari pada lahan tersebut. Pada pengamatan topik ini
parameter lingkungan nya yaitu memiliki intensitas cahaya kisaran minimal
3.380-6.250 lux sedangkan kisaran maksimum nya adalah >20.000 lux.
Kecepatan angin minimum pada kawasan pengamatan adalah 0,0-0,2 m/s
sedangkan maksimumnya adalah 1,4 – 2,9 m/s. pH tanah pada kawasan
pengamatan adalah 6,9-7,5, kelembapan tanah memiliki kisaran 69-70 %.
̊ .
Kelembapan udara di sana memiliki kisaran 49-58 dengan suhu udara 32-35 C
Laju penyerapan air di sana memiliki kisaran 0,000033-0,000188 m/s.

Menurut Hutasuhut (2020) mengungkapakn bahwa faktor pembatas


suatu organisme mencakup kisaran minimum atau maksimum dari faktor -
faktor abiotik suatu ekosistem. Misal: suhu, cahaya, pH yang terlalu rendah
(minimum) atau terlalu tinggi (maksimum). Faktor pembatas pertumbuhan
herba suhu, intensitas cahaya, arus dan tekanan air, dan pH. Ada tiga unsur
radiasi matahari yang mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan, yaitu:
intensitas, kualitas, dan lama penyinaran. Respon tanaman terhadap radiasi
sinar matahari ditentukan oleh sintesis hijau daun, kegiatan stomata (respirasi,
transpirasi), pembentukan anthosianin, suhu dari organorgan permukaan,
absorpsi mineral hara, permeabilitas, laju pernafasan, dan aliran protoplasma
(Hutasuhut, 2020).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi hijauan yaitu,


pengaruh tanah, yaitu dibutuhkan kesuburan fisik, kimia dan biologis tanah,
pengaruh tanaman meliputi jenis tanaman, umur tanaman dan bagian tanaman,

46
dan pengaruh iklim meliputi temperatur, curah hujan dan kelembaban
(Djuned,dkk. 1980).

Berdasarkan hasil pengamatan dan literatur, dapat di simpulkan bahwa


produktivitas rumput dapat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan di
sekitarnya. Keadaan lingkungan baik suhu udara, pH tanah, intensitas cahaya,
kelembapan tanah.

VI. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik produktivitas rumput
dengan tujuan memahami konsep produktivitas rumput dan memahami
hubungan produktivitas dengan pengaruh lingkungan.
2. Metode yang di gunakan adalah metode eksperimen yaitu dengan
membuat 3 plot dengan ukuran 1 × 1 m menggunakan tali rapia dan paku,
setelah ketiga plot tersebut jadi, rumput yang ada di dalam plot di potong
menyisakan 1 cm dari akar dan plot tersebut di diamkan selama 6 hari.
3. Berdasarkan hasil pengamatan, tujuan dari pengovenan ini adalah untuk
mendapatkan berat kering dari rumput tersebut hingga beratnya konstan.
Selain itu jua tujuan pengeringan rumput menggunakan oven adalah
untuk meningkatkan produktivitas rumput dengan mengurangi kadar air
yang terkandung di dalamnya.
4. Berdasarkan hasil pengamatan, adapun pembakaran berfungsi untuk
mendapat berat abu yang mengandung karbon organik. Tujuan
pembakaran serasah untuk mengetahui berat abu dalam produktivitas
serasah adalah untuk mengetahui kandungan nutrisi yang terdapat pada
rumput setelah dibakar.
5. Ketersediaan faktor-faktor pertumbuhan tanaman seperti: hara, air, dan
radiasi matahari pada lahan tersebut. Faktor pembatas suatu organisme
mencakup kisaran minimum atau maksimum dari faktor - faktor abiotik
suatu ekosistem.

47
VII. DAFTAR PUSTAKA
Akhmad, R. S. (2018). Bahan organik tanah: klasifikasi, fungsi dan metode
studi. Lambung Mangkurat University Press : Banjarmasin
Dharmono., Mahrudin., Riefani, M. K., & Utami, N. H. (2023). Penuntun
Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV Batang.
Djuned H, M.H.D Wiradisastra, T.Y. Aisyah dan Ana Rohana. 1980.
Tanaman Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan. Universitas Padjdjaran Bandung.
Hardiansyah. (2020). Ekologi Tumbuhan. Lambung Mangkurat University
Press : Banjarmasin
Hutasuhut, M. A. (2020). Diktat Ekologi Tumbuhan. Universitas Islam
Negeri Sumatera Utar. Medan.
Liana, S. K. J. T. (2017). Di Taman Nasional Sebangau, R. E. S. O. R. T., &
Hurung, H. Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya Fakultas
Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Mipa Prodi Tadris
Biologi 1438 H/2017 M.
Taiz, L. and E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. USA: Benyamin/Cumming.
Yuwono, S. B., Andrianto, F., & Bintoro, A. (2015). Produksi dan laju
dekomposisi serasah mangrove (Rhizophora sp.) di desa Durian dan
desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten
Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari, 3(1), 9-20.

48
PRAKTIKUM III

Topik : Sampling Komunitas Menurut Metode Releve


Tujuan : 1. Untuk Mengetahui Berapa Jenis Tumbuhan dalam Kawasan
2. Untuk Menentukan Plot Minimal Komunitas Dengan Metode
Releve
3. Untuk Mengetahui Area Minimal Yang didapatkan
Hari/Tanggal : Selasa/ 21 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT BAHAN
A. Alat:
1. Rol meter 10. Plastik merah
2. Tali rapia 11. Alat tulis
3. Gunting 12. Alat dokumentasi
4. Cutter 13. Alat parameter:
5. Paku a. 4 in 1
6. Meteran jahit b. Soil tester
7. Plastik sampel c. Hygrometer
8. Kertas label d. Termometer
9. Mm blok
B. Bahan:
1. Rumput Merayap (Eragrostis uniloides)
2. Ketumpangan (Pilea microphyllaai)
3. Rumput Duri/Bengkok (Eleocharis geniculate)
4. Rumput Paitan (Axonopus compressus)
5. Rumput Bunga Satu (Muhlenbergia uniflora)
6. Kecapung (Lindernia ciliate)
7. Beremi (Limnophila aromatic)
8. Rumput Pepayungan (Fimbristylis dichotoma)
9. Beringin (Ficus microcarpa)

49
10. Lempeni (Ardisia elliptica)
11. Katilayu (Erioglossum rubiginosum)
12. Mangga (Mangifera indica)
13. Leban (Vitex pinnata)
14. Rukam (Flacourtia rukam)
15. Pohon Kenanga (Desmos chinensis)

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Memilih lokasi pengamatan yang sesuai.
3. Membuat plot di mulai dari 1 × 1 m, 1 × 2 m, 2 × 2 m dan seterusnya
sampai tidak ada penambahan spesies lagi untuk herba
4. Membuat plot ukuran 10 × 10 m, 10 × 20 m dan seterusnya sampai tidak
ada penambahan spesies lagi untuk pohon.
5. Mengambil sampel dan memasukkan sampel kedalam plastic sampel dan
memberi label.
6. Mencatat masing – masing spesies dan penutupan spesies.

III. TEORI DASAR


Langkah pertama yang harus di lakukan untuk mengkaji dengan
metode releve adalah melakukan segmentasi vegetasi, sehingga dapat
ditentukan batas – batas komunitas dari suatu vegetasi. Kemudian pada setiap
komunitas di tentukan sampel stand secara subjektif.
Syarat – syarat dari sampel stand adalah :
1. Cukup luas untuk memuat semua jenis dari komunitas.
2. Habitatnya uniform.
3. Penutupan tumbuhan tampak homogen.

Area sampel minimal

50
Area sampel minimal adalah persyaratan luas area suatu releve
(plot), dan area minimal suatu vegetasi memberi petunjuk ukuran releve atau
kuadrat yang harus di pakai untuk sampling.
Area minimal sangat tergantung pada macam komunitas untuk
vegetasi daerah temperate berdasarkan nilai empiris adalah :
a. Hutan stratum pohon (temperate) yaitu 200 – 500 m².
b. Hutan stratum tumbuhan bawah yaitu 50 – 200 m².
c. Padang rumput kering yaitu 50 – 200 m².
d. Perdu kerdil kering yaitu 10 – 25 m².
e. Padang jerami yaitu 10 – 20 m².
f. Padang gembala yang di pupuk 5 – 10 m².
g. Komunitas gulma pertanian yaitu 25 – 100 m².
h. Komunitas lumut yaitu 1 – 4 m².
i. Komunitas lichens 0,1 – 1 m².
Cara menentukan area minimal adalah pertama – tama di letakkan
kuadrat berukuran 0,5 × 0,5 m atau 0,25 × 0,25 m untuk vegetasi herba, dan
semua jenis tumbuhan yang ada di catat. Kemudian luas plot di perluas 2X,
4X, 8X, dan seterusnya, sampai tidak ada penambahan spesies lagi. Hasilnya
masukan kedalam tabel.
Dengan menggunakan tabel tersebut di buat kurva spesies area yaitu
dengan memplotkan jumlah jenis tumbuhan pada sumbu Y dan luas area pada
sumbu X. Area minimal di tentukan oleh titik pada kurva di mana kurva telah
mulai mendatar sehingga di peroleh luas area minimal.
Perkiraan jumlah individu
Pada metode releve tidak perlu menghitung jumlah individu secara
akurat, cukup di perkirakan saja, yang di pentingkan adalah jumlah semua
spesies yang hadir. Braun Blanquet telah menciptakan sistem praktis untuk
menganalisis, sehingga cara memperkirakan jumlah tersebut banyak di
gunakan peneliti.
Skala penutupan Braun – Blanquet adalah :
5 = sembarang jumlah dengan penutupan > 75 %.

51
4 = sembarang jumlah dengan penutupan > 50 - 75 %.
3 = sembarang jumlah dengan penutupan > 25 - 50 %.
2 = sembarang jumlah dengan penutupan > 5 – 25 %.
1 = sembarang jumlah dengan penutupan < 5 %.
+ = beberapa dengan penutupan kecil.
16. r = soliter, dengan penutupan kecil

52
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Tabel Releve Herba

a. Tabel Data Herba

Luas Jumlah
No Nama Lokal Nama Spesies Nama Ilmiah
Plot Sp
Kumpai Rumput Eragrostis
Udang Merayap uniloides
Pilea
Katumpangan Ketumpangan microphyllaai
1 1x1 4
Kumpai Duri Rumput Duri Eleocharis
Bengkok Bengkok/ geniculata
Kumpai Axonopus
Rumput Paitan
Paitan compressus
Kumpai Rumput Bunga Muhlenbergia
Bunga Satu Satu uniflora
Lindernia
2 1x2 Kecapung Kecapung 7
ciliate
Limnophila
Beremi Beremi
aromatica
Kumpai Rumput Fimbristylis
3 2x2 8
Pepayungan Pepayungan dichotoma

53
b. Tabel XY Values

X-Values Y-Values
1 4

2 7
4 8

0,4 0,8

0 0

1,6 2 3,6
1,9
0,949 m
95 cm

2. Tabel Releve Pohon

a. Tabel Data Pohon

Luas Jumlah
No Nama Lokal Nama Spesies Nama Ilmiah
Plot Sp
Ficus
Beringin Beringin
microcarpa
Ardisia
Lampeni Lempeni
elliptica
1 10 x 10 Erioglossum 5
Kalalayu Katilayu
rubiginosum
Mangifera
Asam Mangga
indica
Halaban Leban Vitex pinnata
Klang Tatah Flacourtia
2 10 x 20 Rukam 2
Kutang rukam

54
Pohon Desmos
Pisang Pisang
Kenanga chinensis

b. Tabel XY Values

X-Values Y-Values
100 5
200 7

20 0,7

0 0

100.0 109 209


14,5
7,228 m
723 cm

55
3. Perhitungan

a. Releve Herba

X = L. Plot terbesar x 10%


= 4 x 10%
= 0,4
Y = jumlah sp terbesar x 10%
= 8 x 10%
= 0,8
Jumlah titik yang bersinggungan = 1,6 + 2
= √3,6
=1,9
Pembagian = 1,9/2
= 0,95
0,95 m = 95 x 95 cm

9
8 Y-Values
7 Y-Values
6
AXIS TITLE

5
4
3
2
1
0
0 2 4 6
AXIS TITLE

56
Jadi, plot minimal pada pengukuran suatu komunitas herba melalui metode releve
adalah 0,95 m
b. Releve Pohon

X = L. Plot terbesar x 10%


= 200 x 10%
= 20
Y = jumlah sp terbesar x 10%
= 7 x 10%
= 0,7
Jumlah titik yang bersinggungan = 100 + 109
= √209
=14.46
Pembagian = 14.46/2
= 7.23
7.23 m = 723 x 723 cm

57
Jadi, plot minimal pada pengukuran suatu komunitas pohon melalui metode releve
adalah 7,23 m.

58
B. Tabel Parameter

Pengulangan
No Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Min: Min: Min: Min:
Intensitas >20.000 >20.000 >20.000 >20.000
Lux meter Lux
Cahaya Max: Max: Max: Max:
1 4in1 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000
Min: 0,0
Kecepatan Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0
Anemometer m/s Max: 1,6
Angin Max: 2,3 Max: 2,6 Max: 1,6
– 2,6
pH - 6,9 7 7,5 6,9 – 7,5
2 Soil Tester Kelembaban
% 100 100 100 100
Tanah
Kelembaban
3 Hygrometer % 63 56 49 49 – 63
Udara
o
4 Termometer Suhu Udara C 32,5 32,5 31 31 – 32,5

59
C. Foto Pengamatan

1. Herba

Nama Nama
No. Nama Lokal Foto Pengamatan Foto Literatur
Spesies Ilmiah

Rumput Eragrostis
1 Kumpai
Udang Merayap uniloides

(Sumber : Dok. (Sumber : Sashidaran,


Kelompok III, 2022) 2021)

Pilea
Ketumpan microphylla
2 Katumpang
ai
an gan

(Sumber : Dok. (Sumber: Widely,


Kelompok III, 2022) 2016)

Kumpai
Kumpai Eleocharis
3 Duri Duri
geniculata
Bengkok Bengkok

(Sumber : Dok. (Sumber : (Ankush


Kelompok III, 2022) ,2023)

60
Nama Nama
No. Nama Lokal Foto Pengamatan Foto Literatur
Spesies Ilmiah

Rumput Axonopus
4 Rumput
Paitan Paitan compressus

(Sumber : Dok. (Sumber : Rose, 2008)


Kelompok III, 2023)

Rumput
Kumpai Muhlenberg
5 Bunga
Bunga Satu ia uniflora
Satu

(Sumber : Dok. (Sumber : Peter, 2023)


Kelompok III, 2023)

Lindernia
6 Kecapung Kecapung
ciliate

(Sumber : Thomas,
(Sumber : Dok.
2021)
Kelompok III, 2022)

61
Nama Nama
No. Nama Lokal Foto Pengamatan Foto Literatur
Spesies Ilmiah

Limnophila
7 Beremi Beremi
aromatica

(Sumber : Dok. (Sumber: Jones, 2022)


Kelompok III, 2022)

Rumput
Fimbristylis
8 Kumpai delapan
Pepayungan dichotoma
Hari

(Sumber : Dok. (Sumber : Koyama,


Kelompok III, 2022) 2023)
2. Pohon

Nama Nama
No. Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies

Ficus
1 Beringin Beringin
benjamina

(Sumber : Dok.
(Sumber : Leaf, 2020)
Kelompok III, 2023)

62
Nama Nama
No. Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies

Ardisia
2 Lampeni Lempeni
elliptica

(Sumber : Dok. (Sumber : Mus, 2023)


Kelompok III, 2023)

Erioglossum
3 Kalalayu Katilayu
rubiginosum

(Sumber : Dok. (Sumber : Raziel, 2021)


Kelompok III, 2023)

Mangifera
4 Asam Mangga
indica

(Sumber : Dok. (Sumber : Queenlands,


Kelompok III, 2023) 2022)

63
Nama Nama
No. Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies

Vitex
5 Halaban Leban
pinnata

(Sumber : Dok. (Sumber : Jaiswal, 2022)


Kelompok III, 2023)

Klang Flacourtia
6 Tatah Rukam
rukam
Kutang

(Sumber : Dok. (Sumber : Tarmizi, 2010)


Kelompok III, 2022)

Kenanga Desmos
7 Pisang-
pisang Hutan chinensis

(Sumber : Dok.
(Sumber : Kwan Han,
Kelompok III, 2022)
2022)

64
V. ANALISIS DATA

Praktikum kali ini dengan topik “Sampling Komunitas Menurut


Metode Releve” bertujuan untuk mengetahui berapa jenis tumbuhan dalam
kawasan, untuk menentukan plot minimal komunitas dengan metode releve
dan untuk mengetahui area minimal yang didapatkan. Metode releve
merupakan salah satu metode analisis vegetasi dengan plot/petak. Metode ini
pada mulanya menentukan area minimal sampling yang kemudian diperlebar
lagi menjadi dua kali dari luas plot semula dan begitu terus hingga ditemukan
spesies jenuh dari pelebaran plot tersebut. Cara menentukan area minimal
adalah pertama-tama meletakkan plot selebar 1x1 m kemudian semua jenis
vegetasi dalam plot tersebut dicatat. Kemudian luas plot diperluas menjadi 2
kali, 4 kali, 8 kali hingga maksimal 32 kali. Pada metode releve ini tidak perlu
menghitung jumlah individu secara akurat, cukup dengan diperkirakan saja
yang dipentingkan adalah jumlah semua spesies yang hadir (Wijana, 2015).
Metode ini dilakukan dengan cara menentukan batas minimum suatu area
sampling yang kemudian diperlebar hingga menemukan spesies vegetasi
jenuh dalam area sampling tersebut.

Alat yang digunakan adalah roll meter, tali rapia, paku, alat tulis,
alat dokumentasi dan alat parameter. Alat tersebut sangat penting digunakan
dalam pembuatan plot. Dalam pembuatan plot, ukuran dari plot tersebut akan
diukur dengan menggunakan roll meter, dan nantinya akan ditancapkan paku.
Sampel tumbuhan yang diambil pada metode releve ini adalah herba dan
pohon. Hal ini sesuai dengan tujuannya untuk menentukan plot minimal yang
akan dipakai pada komunitas herba. Dalam melakukan pengambilan sampel
setiap bukaan plot, diambil semua jenis tumbuhan herba dan pohon yang ada.
Semua jenis herba diambil, maka dari itu teknik dari pengambilan data pada
topik ini adalah teknik sampling. Ketika melakukan pengamatan dengan
metode releve ini tetap menggunakan plot. Plot ini akan dibuat dari ukuran
yang terkecil terlebih dahulu.

65
Menurut Matan et al. (2016), Pengambilan sampel plot dapat
dilakukan dengan random, sistematik atau secara subyektif atau faktor
gradien lingkungan tertentu untuk memperoleh informasi vegetasi secara
obyektif digunakan metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh
(releve) berdasarkan koefisien ketidaksamaan. Variasi dalam releve
merupakan dasar untuk mencari pola vegetasinya.

Menurut literatur, pola pengelompokkan komunitas dapat diketahui


dengan menggunakan model ordinasi 2 dimensi. Kesamaan dominasi jenis
yang terdapat pada setiap releve akan menunjukan tipe komunitasnya. Dalam
analisis kesamaan komunitas antar releve tidak hanya melihat kehadiran
jenis-jenis yang sama pada releve-releve yang diperbandingkan tetapi juga
perlu diperhitungkan kelimpahan jenisnya. Dengan ordinasi diperoleh releve
vegetasi dalam bentuk model geometrik yang sedemikian rupa sehingga
releve beserta kelimpahannya akan mempunyai posisi yang saling
berdekatan, sedangkan releve yang berbeda akan saling berjauhan. Ordinasi
dapat pula digunakan untuk menghubungkan pola sebaran jenis-jenis dengan
perubahan faktor lingkungan. (Matan et al., 2016).

Pengamatan releve herba yang dilakukan pada plot pertama kali


dibuka adalah 1 x 1 m. Menurut Prakarsa (2016), releve merupakan salah satu
metode analisis vegetasi dengan plot/petak. Minimal area ditentukan
pertama-tama diletakkan kuadrat berukuran 1 x 1 m atau 0.5 x 0.5 m atau 0.25
x 0.25 m. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan ketika pengamatan yaitu
dibuat plot dengan ukuran minimal area 1 x 1 m. Pada pengamatan dengan
metode releve ini menggunakan ukuran plot yang dimulai dari 1 x 1 m hal ini
menandakan bahwa tumbuhan yang masuk ke dalam plot tersebut adalah
tumbuhan kecil dengan berhabitus herba. Menurut Paiman (2020), tumbuhan
herba merupakan salah satu jenis tumbuhan penyusun permukaan pada
daratan maupun daerah berair yang ukurannya jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan semak ataupun pohon/perdu yang batangnya basah dan

66
tidak berkayu. Hal inilah menjadi salah satu alasan ukuran plot yang dibuat
pertama kali atau pada bukaan pertama, ukuran plot terbilang kecil.

Plot pertama yang dibuat berukuran 1 x 1 m berbentuk persegi.


Setelah itu dalam plot tersebut akan diambil tumbuhan yang berhabitus herba,
sampai semua jenis tumbuhan herba yang ada didalam plot itu terambil. Pada
pengamatan yang dilakukan, plot ukuran 1 x 1 mendapatkan 4 spesies yang
berbeda yaitu Eragrostis uniloides, Pilea microphiylla, Eleocharis
geniculata, dan Axonopus compressus.

Setelah semua plot dengan ukuran 1 x 1 m diambil sampel tumbuhan


herbanya, kemudian membuka plot dengan ukuran 1 x 2 m. Pembukaan plot
ini mengarah ke samping, bukan ke bawah. Namun, sebelum itu harus diamati
terlebih dahulu apakah terdapat spesies baru dari tumbuhan yang berhabitus
herba. Jika terdapat tumbuhan baru, maka akan dibuka plot dengan ukuran 1
x 2 m. Pada plot dengan ukuran 1 x 2 m bertambah spesies baru sebanyak 3
spesies yaitu Muhlenbergia uniflora, Lindernia ciliate, dan Limnophyla
aromatica.

Pembukaan plot selanjutnya ke arah kanan sehingga membentuk


persegi panjang. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan banyak jenis herba
yang didapat. Bentuk plot persegi panjang akan memperoleh nilai kekayaan
ataupun keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan plot bujur
sangkar karena bentuk ini akan mencakup area yang lebih panjang dan
mencakup perbedaan ketinggian tempat yang lebih besar dibandingkan
dengan bujur sangkar. Hal ini terjadi karena kondisi topografi di lapangan
sangat beragam dan mengakibatkan struktur vegetasi bervariasi berdasarkan
kondisi lingkungannya (Ali et al., 2018).

Pembukaan plot selanjutnya dengan ukuran 2 x 2 m. Pada ukuran


plot 2 x 2 m terdapat satu spesies baru yaitu Fimbristylis dichotoma. Dalam
topik teknik sampling komunitas menurut metode releve terdapat 8 spesies
dari pembukaan plot dengan ukuran 1 x 1 m sampai 2 x 2 m. Adanya jumlah

67
spesies dan ukuran plot ini dapat dijadikan dalam penentuan ukuran plot
minimal untuk topik Komunitas Herba, sehingga ketika dapat membuka plot
minimal untuk komunitas herba plot yang dibuat dengan ukuran 1 x 1 m.
Ukuran inilah nantinya yang akan dijadikan untuk membuka plot pada topik
Komunitas Herba.

Setelah menentukan luas bukaan dan jumlah spesies langkah


selanjutnya adalah pembuatan kurva dengan menggunakan garis singgung
dan garis bayangan. Setelah itu garis singgung dan garis bayangan ini
dikolaborasikan sampai akhirnya terdapat garis yang menyinggung satu sama
lain, ditarik akar dari titik tersebut sehingga terbentuklah ukuran plot minimal
untuk metode releve. Menurut Prakarsa (2016), setelah membuat plot
beberapa kali, dibuat kurva spesies area, memplotkan jumlah spesies
tumbuhan pada sumbu Y dan luas area pada sumbu X. Area minimal dapat
ditentukan dengan melihat titik kurva mulai mendatar, titk tersebut
merupakan luas minimal area. Berdasarkan hasil perhitungan plot minimal
pada pengukuran suatu komunitas herba melalui metode releve adalah 0,95
m. Sedangkan untuk releve pohon plot pertama yang dibuat berukuran 10 x
10 m berbentuk persegi. Setelah itu dalam plot tersebut akan diambil
tumbuhan yang berhabitus pohon, sampai semua jenis tumbuhan pohon yang
ada didalam plot itu terambil. Pada pengamatan yang dilakukan, plot ukuran
10 x 10 mendapatkan 5 spesies yang berbeda yaitu Ficus microcarpa, Ardisia
elliptica, Erioglossum rubiginosum, dan Mangifera indica, Vitex pinnata.

Setelah semua plot dengan ukuran 10 x 10 m diambil sampel


tumbuhan pohonnya, kemudian membuka plot dengan ukuran 10 x 20 m.
Pembukaan plot ini mengarah ke samping, bukan ke bawah. Namun, sebelum
itu harus diamati terlebih dahulu apakah terdapat spesies baru dari tumbuhan
yang berhabitus pohon. Jika terdapat tumbuhan baru, maka akan dibuka plot
dengan ukuran 10 x 20 m. Pada plot dengan ukuran 1 x 2 m bertambah spesies
baru sebanyak 2 spesies yaitu Flacourtia rukam dan Desmos chinensis.
Dalam topik teknik sampling komunitas menurut metode releve pohon

68
terdapat 7 spesies dari pembukaan plot dengan ukuran 10 x 10 m sampai 10
x 20 m. Berdasarkan hasil perhitungan plot minimal pada pengukuran suatu
komunitas pohon melalui metode releve adalah 7,23 m.

Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada


Lux meter untuk mengukur intensitas cahaya memiliki kisaran minimal
>20.000 dan maksimal >20.000, hal ini menunjukkan kondisi intensitas
cahaya yang mendukung terhadap pertumbuhan tumbuhan terutama dalam
proses fotosintesis dan pertumbuhan herba. Cahaya matahari merupakan
sumber utama energi bagi kehidupan di bumi. Pertumbuhan dan
perkembangan tumbuh-tumbuhan selain ditentukan oleh kualitasnya cahaya
juga ditentukan oleh intensitas cahayanya. Semakin besar tingkat naungan
(semakin kecil intensitas cahaya yang diterima tanaman) maka suhu udara
rendah, kelembaban udara semakin tinggi (Hidayah et al , 2022). Cahaya
dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai
tanaman dewasa. Dengan demikian cahaya dapat menjadi faktor pembatas
utama di dalam semua ekosistem (Rahmat,2018).

Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada


anemometer untuk mengukur kecepatan angin memiliki kisaran minimal 0,0
m/s dan maksimal 1,6 m/s -2,6 m/s. Sedangkan untuk pengukuran parameter
pada soil tester untuk mengukur pH tanah kisaran pH 6,9 - 7,5. Menurut
Hidayah et al . (2022), kecepatan angin yang tinggi yaitu lebih dari 3,5
m/menit atau 0,58 m/s. Kecepatan angin yang tinggi akan menyebabkan
kerusakan fisik berupa layunya daun akibat tekanan angin secara terus-
menerus, dedaunan juga menunjukkan gejala nekrosis interveinal. Angin juga
berpengaruh terhadap gelombang dan arus, serta sebagai agen polinasi
sehingga membantu terjadinya proses reproduksi pada tumbuhan herba.
Berdasarkan literatur pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk
menyatakan tingkatnkeasaman atau kebebasan yang dimiliki oleh suatu
larutan. pH tanah merupakan salah satu dari beberapa indicator keseburan
tanah, sama dengan keracunan tanah. Level optimum pH untuk aplikasi

69
penggunaan lahan berkisar antara 5-7,5. Tanah dengan pH (asam) dan pH
tinggi (basa) membatasi pertumbuhan tanaman, efek pH tanah pada umumnya
tidak langsung. Tanaman bawah dan sayuran lainnya lebih menyukai tanah
dengan pH sekitar 6,5 pada umunya tanaman budidaya yang dipelajari
pertumbuhan baik atau sehat pada level pH 4,8 atau lebih (Rahmat, 2018).

Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada


soil tester untuk mengukur kelembaban tanah memiliki kisaran 100%, hal ini
menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki tingkat kelembaban tanah
yang tinggi. Keadaan ini dapat terjadi karena tanah daerah penelitian yang
hampir selalu tergenang air menyebabkan substrat tanahnya berupa lumpur
dan basah. Kelembaban tanah yang tinggi akan menyebabkan tingkat
perkecambahan yang tinggi di kawasan penelitian. Level optimum untuk
kelembaban tanah berkisar antara 50-80% (Hidayah et al., 2022).
Berdasarkan literatur kelembaban tanah merupakan jumlah air yang ditahan
di dalam tanah setelah kelebihan air dialirkan, apabila tanah memiliki kadar
air yang tinggi maka kelebihan air tanah dikurangi melalui evaporasi,
transpirasi, dan transport air bawah tanah. Level optimium untuk kelembaban
tanah berkisar antara 50-80 (Rahmat,2018). Tumbuhan herba dapat tersebar
dengan mudah dalam bentuk kelompok dengan individu yang sama pada
berbagai kondisi habitat yang berbeda seperti tanah yang lembab atau berair,
tanah yang kering, habitat yang naungannya kurang rapat atau terbuka
(Anaputra et al., 2015).

Menurut Anaputra et al. (2015) tumbuhan herba dalam habitat yang


berbeda jumlah dapat dihasilkan oleh suatu wilayah yang memiliki perbedaan
habitat seperti habitat yang kelembaban yang tinggi hingga daerah yang
kering. Kebanyakan dari spesies tumbuhan herba yang biasa ditemukan di
tempat terbuka dapat juga ditemukan dalam jumlah kecil dibawah naungan,
namun tidak dapat ditemukan pada bagian tergelap dari hutan. Faktor utama
yang mempengaruhi perbedaan tersebut tidak hanya cahaya, hal lainnya
disebabkan oleh kompetisi atau persaingan akar. Spesies yang tahan terhadap

70
cahaya sering memperlihatkan kecenderungan untuk bersikap sosial dan
tumbuh secara berkelompok, sedangkan spesies yang tidak tahan cahaya pada
umumnya hidup soliter pada tempat-tempat terpencil (Richards, 1996).

Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada


hygrometer untuk mengukur kelembapan udara memiliki kisaran 49% - 63%.
Curah hujan di suatu daerah juga mempengaruhi tingkat kelembaban udara di
daerah tersebut. Kelembaban udara akan berpengaruh terhadap laju
penguapan atau transpirasi. Tingkat kelembaban yang rendah akan
menyebabkan laju transpirasi meningkat sehingga penyerapan air dan zat-zat
mineral juga meningkat, akibatnya ketesediaan nutrisi untuk pertumbuhan
tanaman juga meningkat. Jika kelembaban tinggi, laju transpirasi rendah
sehingga penyerapan zat-zat nutrisi juga rendah, akibatnya ketersediaan
nutrisi untuk pertumbuhan tanaman berkurang sehingga pertumbuhannya
juga akan terhambat. Bisa dikatakan, kelembaban udara yang terlalu rendah
dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman
(Hidayah et al., 2022).

Berdasarkan hasil pengamatan alat termometer yang di gunakan


untuk mengukur suhu udara memiliki kisaran suhu 31◦C – 32,5◦C.
Berdasarkan literatur suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas
dingin suatu benda dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah
termometer, satuan suhu yang biasanya digunakan adalah derajat celcius (ºC).
Tumbuhan herba dapat hidup pada kisaran suhu minimum 4.5 ºC hingga suhu
maksimum 36ºC. Suhu merupakan salah satu hal yang dapat menjelaskan
mengenai kondisi lingkungan. Suhu akan mempengaruhi laju evaporasi dan
menyebabkan laju keefektifan air dari organisme tersebut. Suhu juga berperan
langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol peran
kimia dalam tumbuhan tersebut (Rahmat, 2018).

71
VI. KESIMPULAN

1. Praktikum dengan topik Sampling Komunitas Menurut Metode Releve


bertujuan untuk mengetahui berapa jenis tumbuhan dalam kawasan, untuk
menentukan plot minimal komunitas dengan metode releve dan untuk
mengetahui area minimal yang didapatkan

2. Pembukaan plot ke arah samping bertujuan untuk mendapatkan banyak


jenis herba yang didapat

3. Hasil perhitungan plot minimal pada pengukuran suatu komunitas herba


melalui metode releve adalah 0,95 m

4. Hasil perhitungan plot minimal pada pengukuran suatu komunitas pohon


melalui metode releve adalah 7,23 m

5. Faktor pembatas dari tumbuhan herba adalah cahaya matahari, kelembaban


udara, suhu udara, serta keadaan tanah

VII. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. A., Hikmat, A., & Santosa, Y. (2016). Penentuan Bentuk dan Ukuran
Plot Contoh Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies
Tumbuhan di Hutan Pegunungan Bawah. Media Konservasi, 21(1),
42-47.

Anaputra, D., Miswan dan Pitopang, R. (2015). Komposisi Jenis Tumbuhan


Herba DiAreal Kampus Universitas Tadulako Palu. Jurnal
Biocelebes. 9 (2). Sulawesi Tengah.

Ankush. (2023). Eleocharis geniculate. Diakses melalui


https://www.flowersofindia.net/ pada tanggal23 Maret 2023

Hidayah, I., Hardiansyah, H., & Noorhidayati, N. (2022). Keanekaragaman


Herba di Kawasan Mangrove Muara Aluh-Aluh. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Sains dan Teknologi, 7(1), 58-64.

Jaiswal, (2022). Vitex pinnata. Diakses melalui https://alchetron.com/Vitex-


pinnata pada tanggal 9 Maret 2023

72
Jones. (2023). Limnophila aromatica (Lam.) Merr. Diakses melalui
https://www.shutterstock.com pada tanggal 23 Maret 2023

Koyami. (2023). Fimbristylis cymosa (Hillebr.) Diakses melaui


https://www.nparks.gov.sg/ pada tanggal 23 Maret 2023

Kwan Han. (2022). Desmos chinensis Lour. Diakses melalui


https://singapore.biodiversity.online/ pada tanggal 9 Maret 2023.

Leaf. (2020). Chinese Banyan (Ficus microcarpa). Diakeses melalui


https://www.inaturalist.org/ pada tanggal 23 Maret 2023

Mus, (2023). Lampeni (Ardisia elliptica). Diakses melalui


http://plantamor.com/. Pada tanggal 23 Maret 2023

Paiman, A. (2020). Gulma Tanaman Pangan. UPY Press: Yogyakarta

Peter. (2023). Muhlenbergia uniflora (Bog Muhly) Diakses melalui


https://www.minnesotawildflowers.info/grass-sedge-rush/bog-muhly
Pada tanggal 9 Maret 2022.

Prakarsa, T. B. P. (2016). Analisis Vegetasi dengan Metode Releve.


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya.

Queenlands. (2022). Mango (Mangifera indica). Diakses melalui


https://www.childrens.health.qld.gov.au/ pada tanggal 9 Maret 2023.

Rahmat. (2018). Keanekaragaman Herba di Kuta Malaka Kabupaten Aceh


Besar sebagai Referensi Praktikum Ekologi Tumbuhan (Doctoral
dissertation, UIN Ar-Raniry Banda Aceh).

Raziel. (2021). Ficus benjamina L. diakses melalui


https://identify.plantnet.org/ pada tanggal 9 Maret 2023

Richards, P. W. (1996). The Tropical Rain Forest AnEcological Study


(Second Edition). The University Press. Cambrigde University Press.
London.

Rose. (2008). Axonopus compressus stolon3. Diakses melalui


https://www.flickr.com. Pada tanggal 9 Maret 2023.

Sashidaran. (2021). Eragrostis uniloides diakses melalui


http://keralaplants.in/ pada tanggal 23Maret 2023

73
Tarmizi. (2010). Rukam Berduri Tumbuhan Obat dan Sains. Diakses melalui
http://tarmiziblog.blogspot.com/ pada tanggal 15 Maret 2023

Thomas. (2021). Lindernia ciliate. Diakses melalui


https://portal.wiktrop.org/species pada tanggal 23 Maret 2023

Widely. (2016). Pilea microphylla, Tehnya sebagai Obat Pegel Linu


dan Rematik. Diakses melalui
https://bluepurplegarden.wordpress.com/ pada tanggal 15 Maret
2023

74
PRAKTIKUM IV

Topik : Teknik Sampling Tanpa Plot Dengan Frekuensi Frame


Tujuan : Untuk Menentukan Parameter, Vegetasi, Frekuensi dan
Dominasi Tanpa Plot Dengan Frekuensi Frame
Hari/Tanggal : Rabu/ 22 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT DAN BAHAN

A. Alat

1. Point Frekuensi Frame


2. Kawat
3. Plastik Sampel
4. Kertas Label
5. Alat Tulis
6. Alat dokumentasi
7. Alat parameter:
a. 4 in 1
b. Soil tester
c. Hygrometer
d. Termometer
e. Porositas
A. Bahan
1. Rumput gajah (Axonopus compessus)
2. Sisik betok tiga bunga (Grona triflora)
3. Rumput daun pendek (Kyllinga brevifolia)
4. Rumput bermuda (Cynodom dactylon)
5. Babawang (Fimbristylis miliacea)
6. Rumput air (Poa cinesia)

75
7. Rumput belulang (Eleusine indica)
8. Kumpai purun air (Eleocharis geniculata)
9. Bacoba (Bacoba canoliana)
10. Rumput jarum (Andropogon aciculatus)
11. Rumput delapan hari (Fimbristylis dichotoma)
12. Rumput kelabang (Eremochia ophiuroides)

I. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Memilih lokasi yang banyak tumbuhan herba.
3. Meletakkan frame pada tanah dan menancapkan paku di lubang paling
ujung di kedua sisi penggaris kayu lalu di angkat sesuai jarak paku.
4. Menusukkan kawat ke dalam lubang sampai ujung kawat menyentuh
tumbuhan yang pertama tumubuh, setelah semua lubang pada frame
ditusukkan, mengulang cara kerja ketiga sebanyak 100 kali dengan
berpindah lurus ke depan.
5. Mencatat setiap spesies yang ditemukan dan memberi nama A, B, C, dan
seterusnya.
6. Mengukur parameter lingkungan pada kawasan pengamatan.
7. Membuat tabel pengamatan dari seluruh spesies tumbuhan yang tersentuh
dan menghitung keanekaragaman.

III. TEORI DASAR


Point frequency frame adalah suatu metode yang menggunakan alat
yang dapat terbuat dari kayu, dengan panjang satu meter dan diberi lobang 10
buah dengan interval jarak yang sama. Alat alat kayu tersebut dapat diberi
tiang - penyangga 2 buah agar dapat berdiri tegak bila dipakai untuk plotting
di lapangan (lihat gambar)
Dengan bantuan kawat yang dimasukkan melalui lubang tersebut
kearah bawah, maka akan menyentuh/memegat tumbuhan yang ada
dibawahnya.

76
Bila dalam suatu stand/lokasi/transek diletakkan alat tersebut
sebanyak 20 kali, dan tiap peletakan dilakukan 10 kali penusukan, maka dapat
diketahui nilai penutupan suatu spesies dalam persen. Perhitungannya yaitu
dengan menghitung berapa jumlah sentuhan per spesies dibagi seluruh jumlah
tusukan dikali seratus. Misalnya suatu spesies tersentuh seratus kali, jumlah
tusukan seluruhnya 200, maka penutupan spesies tersebut = 100/200 x 100%
50%.
Nilai frekuensi ditentukan dengan menghitung berapa kali suatu
spesies hadir dari seluruh peletakan frame. Misalnya peletakan frame ada 20
kali, sedangkan suatu spesies hanya hadir 20 kali, maka frekuensinya = 5/20
x 100 = 25% (Dharmono et al., 2023).

77
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Tabel Hasil Pengamatan

Titik
Frame ∑ Sp
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 A B A A A A A A A C 10
2 A A C C C A A C D E 10
3 A B A B B B B B D B 10
4 D A D D D A A E C C 10
5 A A C A C A C A C C 10
6 A D A A A D F D D D 10
7 D C A D D A A A E E 10
8 A A A C A A A A A A 10
9 A A A A A B A A E A 10
10 A A A A A A A A A A 10
11 A A A A A A A G A A 10
12 A A A A C A A A C C 10
13 A A C A A A A A A A 10
14 A A A A D A H A A A 10
15 A D A A A C D A A A 10
16 A A A A A A A C C A 10
17 A C A A H I A A A A 10
18 A A A A A A A A C A 10
19 A A A A A A A A A A 10
20 A A A A A A A A A D 10
21 A A A A A A D A H A 10
22 D A H A A A A D A A 10
23 A A A A A A D A H A 10
24 H A A A A H A H H G 10
25 A A D H D H H D D H 10
26 H H A H D E H H A D 10
27 D A A A A A A A D D 10
28 D A D A A A A A A D 10
29 A A C C H A H A A D 10
30 C A A A A D D C D D 10
31 A D A D D D A A A A 10
32 A A A H H A A A H A 10

78
33 A A H A A A A H H A 10
34 A A A A A H H A A A 10
35 A A A A H H H E C A 10
36 A A A A A A A A A A 10
37 H A D D D D A A A A 10
38 H D H H H H D H H H 10
39 H D H H H H H H D H 10
40 H H H H H I I H D I 10
41 H H H D H H H I I D 10
42 H H D H I D D I D H 10
43 H D D H I I H D D D 10
44 H H H D H H D D H H 10
45 H H H H H H H D H H 10
46 H D H H H H H H A A 10
47 A A A A H A H A A A 10
48 A A F A A A A A A A 10
49 A A D H A H A H A A 10
50 A A A C A C A A A H 10
51 A A A A A A A A 0 A 9
52 J J J A 0 D A C A K 9
53 A A A A L A L A A 0 9
54 A A A A 0 A A A A A 9
55 J A A A C C A A A 0 9
56 C C L L L L L 0 L A 9
57 L C L A A A A A A A 10
58 C A A A L 0 A C A C 9
59 A C A A A D 0 D A A 9
60 A C A A C C A C A A 10
61 A A A A A A 0 A A A 9
62 A C A K A A K A A C 10
63 A A C A A A A A A C 10
64 K A A C A A A A J A 10
65 A A A A A K A A A A 10
66 A A A A 0 A K C D E 9
67 C C A L A A A A A A 10
68 A A A J A A K A D D 10
69 C C C D A A A A A A 10
70 A A A A A D A J J A 10
71 C J D D J 0 J J J J 9

79
72 D A A A A A A A A A 10
73 A A C A A A A K A A 10
74 A A A A J A A A J C 10
75 A A C A A A A A A D 10
76 A A A A C A A A C A 10
77 A A A A A K C D C C 10
78 C K D D C D D A A A 10
79 A A A A A A A A A A 10
80 C A C A A A C A K A 10
81 A C C 0 A A D A A A 9
82 A A D C C C A D D D 10
83 D D A C C D C A C A 10
84 0 J D C A A A E D A 9
85 A A A A A A C C C C 10
86 C A C J J C A C C A 10
87 C D A A 0 A A A A C 9
88 A A A A A A A A A C 10
89 J A D D E D C C C A 10
90 C E C A A K A C C A 10
91 C A A A A A A A A C 10
92 A A A A C E D A C E 10
93 A A C A 0 D D C E C 9
94 J K D K D C E 0 D C 9
95 C C L A A A K K K A 10
96 C 0 K K D D A A C A 9
97 C A D A K A A A K A 10
98 A K A C A A D A C A 10
99 K A A A J J C C A D 10
100 A A A A J A D C A A 10
∑ Sp 983

80
1. Tabel 2

Spesies


Frame
Sp
Axonopus Grona Kyllinga Cynodon Fimbristylis Poa Eleusine Eleocharis Bacoba Andropogon Fimbristylis Eremochia
compressus triflora brevifolia dactylon miliacea cinesia indica geniculata canoliana aciculatus dichotoma ophiuroides

1 8 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
2 5 0 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 10
3 2 5 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 10
4 3 0 2 4 1 0 0 0 0 0 0 0 10
5 5 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
6 4 0 0 5 0 1 0 0 0 0 0 0 10
7 4 1 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 10
8 9 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
9 8 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 10
10 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
11 9 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 10
12 7 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
13 9 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
14 8 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 10
15 7 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 10
16 8 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10

81
17 7 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 10
18 9 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
19 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
20 9 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 10
21 8 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 10
22 7 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 10
23 8 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 10
24 5 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 10
25 2 0 0 4 0 0 0 4 0 0 0 0 10
26 2 0 0 2 1 0 0 5 0 0 0 0 10
27 7 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 10
28 7 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 10
29 5 0 2 1 0 0 0 2 0 0 0 0 10
30 4 0 2 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
31 6 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
32 7 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 10
33 7 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 10
34 8 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 10
35 5 0 1 0 1 0 0 3 0 0 0 0 10
36 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
37 5 0 0 4 0 0 0 1 0 0 0 0 10
38 0 0 0 2 0 0 0 8 0 0 0 0 10
39 0 0 0 2 0 0 0 8 0 0 0 0 10
40 0 0 0 1 0 0 0 6 3 0 0 0 10

82
41 0 0 0 2 0 0 0 6 2 0 0 0 10
42 0 0 0 4 0 0 0 4 2 0 0 0 10
43 0 0 0 5 0 0 0 3 2 0 0 0 10
44 0 0 0 3 0 0 0 7 0 0 0 0 10
45 0 0 0 1 0 0 0 9 0 0 0 0 10
46 2 0 0 1 0 0 0 7 0 0 0 0 10
47 8 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 10
48 9 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 10
49 6 0 0 1 0 0 0 3 0 0 0 0 10
50 7 0 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 10
51 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9
52 3 0 1 1 0 0 0 0 0 3 1 0 9
53 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 9
54 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9
55 6 0 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 9
56 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 6 9
57 7 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 10
58 5 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 9
59 6 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 9
60 6 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
61 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9
62 6 0 2 0 0 0 0 0 0 0 2 0 10
63 8 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
64 7 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 10

83
65 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 10
66 5 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 9
67 7 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 10
68 6 0 0 2 0 0 0 0 0 1 1 0 10
69 6 0 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 10
70 7 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0 0 10
71 0 0 1 2 0 0 0 0 0 6 0 0 9
72 9 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 10
73 8 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 10
74 7 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 10
75 8 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 10
76 8 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
77 5 0 3 1 0 0 0 0 0 0 1 0 10
78 3 0 2 4 0 0 0 0 0 0 1 0 10
79 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
80 6 0 3 0 0 0 0 0 0 0 1 0 10
81 6 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 9
82 3 0 3 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
83 3 0 4 3 0 0 0 0 0 0 0 0 10
84 4 0 1 2 1 0 0 0 0 1 0 0 9
85 6 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
86 3 0 5 0 0 0 0 0 0 2 0 0 10
87 6 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 9
88 9 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10

84
89 2 0 3 3 1 0 0 0 0 1 0 0 10
90 4 0 4 0 1 0 0 0 0 0 1 0 10
91 8 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
92 5 0 2 1 2 0 0 0 0 0 0 0 10
93 3 0 3 2 1 0 0 0 0 0 0 0 9
94 0 0 2 3 1 0 0 0 0 1 2 0 9
95 4 0 2 0 0 0 0 0 0 0 3 1 10
96 3 0 2 2 0 0 0 0 0 0 2 0 9
97 6 0 1 1 0 0 0 0 0 0 2 0 10
98 6 0 2 1 0 0 0 0 0 0 1 0 10
99 4 0 2 1 0 0 0 0 0 2 1 0 10
100 7 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 10
∑ Sp 561 8 109 121 14 2 2 96 10 24 23 13 983

85
2. Tabel 3

Pi LN
No Nama Lokal Nama Spesies Nama Ilmiah ∑Ind ∑Cup K KR% F FR% NP Pi
Pi

Axonopus
1 Kumpai Paitan Rumput Gajah 561 90 5,61 57,07 0,90 31,25 88,32 0,57 0,32
compressus

Sisik Betok daun


2 Sisik Betok Grona triflora 8 4 0,08 0,81 0,04 1,39 2,20 0,01 0,04
tiga

Rumput Daun
3 Kumpai Ujung Paku Kyllinga brevifolia 109 55 1,09 11,09 0,55 19,10 30,19 0,11 0,24
Pendek
4 Kumpai Rumput Bermuda Cynodon dactylon 121 56 1,21 12,31 0,56 19,44 31,75 0,12 0,26
Fimbristylis
5 Tumbaran Babawangan 14 12 0,14 1,42 0,12 4,17 5,59 0,01 0,06
miliacea
6 Kumpai Air Rumput Air Poa cenisia 2 2 0,02 0,20 0,02 0,69 0,90 0,002 0,01
7 Sarampangan Rumput Belulang Eleusine indica 2 2 0,02 0,20 0,02 0,69 0,90 0,002 0,01
Eleocharis
8 Kumpai Purun Banyu Kumpai Purun Air 96 26 0,96 9,77 0,26 9,03 18,79 0,10 0,23
geniculate
9 Bintangus Bacoba Bacoba canoliana 10 5 0,10 1,02 0,05 1,74 2,75 0,01 0,05
Andropogon
10 Kumpai Batu Rumput Jarum 24 13 0,24 2,44 0,13 4,51 6,96 0,02 0,09
aciculatus
Rumput Delapan Fimbristylis
11 Kumpai Papayungan 23 17 0,23 2,34 0,17 5,90 8,24 0,02 0,09
Hari dichotoma

86
Eremochia
12 Kumpai Lipan Rumput Kelabang 13 6 0,13 1,32 0,06 2,08 3,41 0,01 0,06
ophiuroides
∑ 983 288 9,83 100,00 2,88 100,00 200,00 1,00 1,46

87
Indeks Keanekaragaman
H’ < 1 Rendah
1 < H’ < 3 Sedang
H’ > 3 Tinggi

Kesimpulan : jadi, keanekaragaman komunitas herba dengan metode tanpa plot


dengan point frekuensi frame masuk dalam kategori sedang karena 1 < H’ < 3
yakni 1,46

2. Perhitungan
3. Axonopus compressus
K = ⅀ind / ⅀titik
= 561 / 100
= 5,61
KR = K x 100% / ⅀K
= 5,61 x 100% / 9,83
= 57,07
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 90 / 100
= 0,90
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,90 x 100% / 2,88
= 31,25
NP = KR + FR
= 57,07 + 31,25
= 88,32
Pi =n/N
= 561 / 983
= 0,57
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,57) x ln (0,57)
= 0,32

4. Grona triflora
K = ⅀ind / ⅀titik
= 8 / 100
= 0,08

88
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,08 x 100% / 9,83
= 0,81
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 4 / 100
= 0,04
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,04 x 100% / 2,88
= 1,39
NP = KR + FR
= 0,81 + 1,39
= 2,20
Pi =n/N
= 8 / 983
= 0,01
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,01) x ln (0,01)
= 0,04

5. Kyllinga brevifolia
K = ⅀ind / ⅀titik
= 109 / 100
= 1,09
KR = K x 100% / ⅀K
= 1,09 x 100% / 9,83
= 11,09
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 55 / 100
= 0,55
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,55 x 100% / 2,88
= 18,10
NP = KR + FR
= 11,09 + 18,10
= 30,19
Pi =n/N
= 109/ 983
= 0,11
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,11) x ln (0,11)
= 0,24

6. Cynodon dactylon

89
K = ⅀ind / ⅀titik
= 121 / 100
= 1,21
KR = K x 100% / ⅀K
= 1,21 x 100% / 9,83
= 12,31
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 56 / 100
= 0,56
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,56 x 100% / 2,88
= 19,44
NP = KR + FR
= 12,31 + 19,44
= 31,75
Pi =n/N
= 121/ 983
= 0,12
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,12) x ln (0,12)
= 0,26

7. Fimbristylis miliacea
K = ⅀ind / ⅀titik
= 14 / 100
= 0,14
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,14 x 100% / 9,83
= 1,42
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 12 / 100
= 0,12
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,12 x 100% / 2,88
= 4,17
NP = KR + FR
= 142 + 4,17
= 5,59
Pi =n/N
= 14/ 983
= 0,01
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,01) x ln (0,01)

90
= 0,06

8. Poa cenisia
K = ⅀ind / ⅀titik
= 2 / 100
= 0,02
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,02 x 100% / 9,83
= 0,20
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 2 / 100
= 0,02
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,02 x 100% / 2,88
= 0,69
NP = KR + FR
= 0,20 + 0,69
= 0,90
Pi =n/N
= 2/ 983
= 0,002
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,002) x ln (0,002)
= 0,01

9. Eleusine indica
K = ⅀ind / ⅀titik
= 2 / 100
= 0,02
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,02 x 100% / 9,83
= 0,20
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 2 / 100
= 0,02
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,02 x 100% / 2,88
= 0,69
NP = KR + FR
= 0,20 + 0,69
= 0,90
Pi =n/N
= 2/ 983

91
= 0,002
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,002) x ln (0,002)
= 0,01

10. Eleocharis geniculate


K = ⅀ind / ⅀titik
= 96 / 100
= 0,96
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,96 x 100% / 9,83
= 9,77
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 26 / 100
= 0,26
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,26 x 100% / 2,88
= 9,03
NP = KR + FR
= 9,77 + 9,03
= 18,79
Pi =n/N
= 96/ 983
= 0,10
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,10) x ln (0,10)
= 0,23

11. Bacoba canoliana


K = ⅀ind / ⅀titik
= 10 / 100
= 0,10
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,10 x 100% / 9,83
= 1,02
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 5 / 100
= 0,05
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,05 x 100% / 2,88
= 1,74
NP = KR + FR
= 1,02 + 1,74

92
= 2,75
Pi =n/N
= 10/ 983
= 0,01
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,01) x ln (0,01)
= 0,05

12. Andropogon aciculatus


K = ⅀ind / ⅀titik
= 24 / 100
= 0,24
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,24 x 100% / 9,83
= 2,44
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 13 / 100
= 0,13
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,13 x 100% / 2,88
= 4,51
NP = KR + FR
= 2,44 + 4,51
= 6,96
Pi =n/N
= 24/ 983
= 0,02
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,02) x ln (0,02)
= 0,09

13. Fimbristylis dichotoma


K = ⅀ind / ⅀titik
= 23 / 100
= 0,23
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,23 x 100% / 9,83
= 2,34
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 17 / 100
= 0,17
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,17 x 100% / 2,88

93
= 5,90
NP = KR + FR
= 2,34 + 5,90
= 8,24
Pi =n/N
= 23/ 983
= 0,02
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,02) x ln (0,02)
= 0,09
14. Eremochia ophiuroides
K = ⅀ind / ⅀titik
= 13 / 100
= 0,13
KR = K x 100% / ⅀K
= 0,13 x 100% / 9,83
= 1,32
F = ⅀Cup / ⅀titik
= 6 / 100
= 0,06
FR = F x 100% / ⅀F
= 0,06 x 100% / 2,88
= 2,08
NP = KR + FR
= 1,32 + 2,08
= 3,41
Pi =n/N
= 13/ 983
= 0,01
-Pi ln Pi = (-Pi) x ln (Pi)
= (-0,01) x ln (0,01)
= 0,06

94
B. Tabel Parameter

No Nama Alat Pengukuran Satuan Pengulangan Kisaran


1 2 3
1 4 in Lux meter Intensitas Lux Min >20.0000 >20.000 >20.000 >20.000
1 cahaya Max >20.0000 >20.000 >20.000 >20.000
Anemometer Kecepatan m/s Min 0,0 0,0 0,0 0
angin Max 2,3 2,6 1,6 1,6-2,6
2 Soil tester pH tanah 6,9 7 7,5 6,9-7,5
Kelembaban % 100 100 100 100
tanah
3 Hygrometer Kelembaban % 63 56 49 49-63
udara
o
4 Termometer Suhu udara C 32,5 32,5 31 31-32,5
5 Porositas Daya serap ml/s 3,03 3,03
air

95
C. Foto Pengamatan

No. Nama Lokal Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Spesies
1 Kumpai Rumput Axonopus
Paitan Gajah compressus

(Sumber: Dok. (Sumber: Hauze, 2016)


Kelompok III, 2023)
2 Sisik Betok Sisik Betok Grona
Tiga Bunga triflora

(Sumber: Dok. (Sumber: Sai, 2016)


Kelompok III, 2023)
3 Kumpai Rumput Kyllinga
Ujung Paku Daun Pendek brevifolia

(Sumber: Dok. (Sumber: Flickr, 2011


Kelompok III, 2023)

96
4 Kumpai Rumput Cynodon
Bermuda dactylon

(Sumber: Dok. (Sumber: Benadine,


Kelompok III, 2023) 2022)
5 Tumbaran Babawangan Fimbristylis
miliacea

(Sumber: Dok. (Sumber: Nasution,


Kelompok III, 2023) 2021)
6 Kumpai Air Rumput Air Poa cenisia

(Sumber: Dok. (Sumber: Aulax, 2020)


Kelompok III, 2023)
7 Sarampangan Rumput Eleusine
Belulang indica

(Sumber: Dok. (Sumber: Rozas, 2014)


Kelompok III, 2023)

97
8 Kumpai Kumpai Eleocharis
Purun Banyu Purun Air geniculate

(Sumber: Dok. (Sumber: Galen, 2022)


Kelompok III, 2023)
9 Bintangus Bacoba Bacoba
canoliana

(Sumber: Dok. (Sumber: Synder, 2013)


Kelompok III, 2023)
10 Kumpai Batu Rumput Andropogon
Jarum aciculatus

(Sumber: Dok. (Sumber: Alfamax,


Kelompok IV, 2023) 2022 )

11 Kumpai Rumput Fimbristylis


Papayungan Delapan Hari dichotoma

(Sumber: Dok. (Sumber:


Kelompok IV, 2023) Jackson, 2022)

98
12 Kumpai Rumput Eremochia
Lipan Kelabang ophiuroides

(Sumber: Dok. (Sumber: Janetwright,


Kelompok IV, 2023) 2020)

99
V. ANALISIS DATA

Pada praktikum teknik sampling tanpa plot dengan point frekuensi


frame yang bertujuan untuk menentukan parameter, vegetasi, frekuensi dan
dominansi tanpa plot dengan frekuensi frame. Adapun alat yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu frame yang telah diberi 10 lubang dan paku yang
nantinya akan ditancapkan ke tanah masing-masing pada bagian ujung dari
frame serta juga digunakan kawat sebagai penentu spesies tumbuhan yang
akan diambil. Spesies pertama yang menyentuh kawat, akan dianggap sebagai
spesies 1 dengan kode A. Pemberian kode ini sesuai dengan huruf abjad dari
A sampai Z. Jika masih terdapat spesies yang sama, maka kodenya juga akan
sama, namun jika terdapat spesies baru, kode hurufnya akan berganti. Metode
ini dinamakan point frekueinsi frame.

Menurut Hardiansyah, (2020) point frequency frame berupa bentuk


kayu atau bahan lain dengan panjang 1 meter dan diberi lubang dengan
interval jarak sama dan kemudian ada tiang penyangga sehingga dapat berdiri
tegak apabila dipakai untuk plotting di lapangan. Oleh karena itu, dalam topik
Teknik sampling tanpa plot dengan point frekuensi frame menggunakan
metode pengamatan point frekuensi frame menggunakan kayu yang diberi
lubang.

Pada saat pengamatan, proses penusukan menggunakan kawat,


berlangung sampai 100 kali sehingga jumlah titik menjadi 1.000. Selama 100
kali pengulangan didapatkan sebanyak 12 spesies tumbuhan yang habitus
herba. Tumbuhan inilah yang tersentuh pertama kalinya oleh kawat yang
ditusuk pada lubang framenya. Tumbuhan tersebut akan dihitung indeks
keanekaragamannya yaitu seperti nilai K, KR, FR, NP, Pi, dan –Pi ln Pi.
Tumbuhan yang memiliki nilai penting (NP) yang tertinggi artinya tumbuhan
tersebut mendominasi di lokasi pengamatan.

100
Nilai penting berbanding lurus dengan jumlah individu dari setiap
spesies yang ditemukan. Tidak hanya dengan jumlah individu saja, nilai
penting juga berhubungan dengan frekuensi atau banyaknya kemunculan
suatu spesies pada titik tertentu, sehingga akan mempengaruhi pada kerapatan
relatif dan frekuensi relatif. Menurut Permadi dkk (2016) menyatakan bahwa
indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif
sehingga keduanya berhubungan dengan INP. Jadi, nilai penting dipengaruhi
oleh kerapatan dan frekuensi relatif.

Berdasarkan hasil pengamatan tumbuhan yang didapat berjumlah 12


yang terdiri dari Axonopus comperessus, Grona triflora, Kyllinga Brevifolia,
Cynodom dactylon, Fimbristylis miliaceae, Poa cinesia, Eleusine indica,
Eleocharis geniculate, Bacoba canoliana, Andropogon aciculatus,
Fimbristylis dichtoma, Eremochia ophiuroides. Spesies individu tertinggi
diperoleh dari spesies Axonopus compressus yaitu sebanyak 561 individu
sedangkan spesies terendah diperoleh dari spesies Poa cinesia dan Eleusine
indica yaitu berjumlah 2 individu.

Tumbuhan Axonopus compressus sebagai spesies terbanyak


memiliki KR bernilai 57,07%, FR bernilai 31,25% dan NP bernilai 0,32% .
Adapun tumbuhan spesies dengan spesies terendah yaitu Poa cinesia dan dan
Eleusine indica memiliki kR bernilai 0,20%, FR bernilai 0,69% dan NP
0,002%. Nilai penting suatu spesies tinggi menandakan bahwa spesies
tersebut dominan, untuk spesies yang dominan adalah Axonopus compressus.
Adapun untuk nilai penting yang terendah menandakan bahwa ekologi pada
lingkungan tersebut kurang cocok terhadap spesies tersebut sehingga hanya
didapatkan 2 individu saja, hal ini berhungungan dengan kerapatan relatif
(KR) dan frekuensi relatifnya (FR) nya sehingga juga bernilai paling rendah
dibandingkan dengan spesies lain.

101
Tingginya nilai INP Axonopus compressus dikarenakan spesies
tersebut dapat hidup pada kelembaban tanah yang kering dan juga dapat hidup
pada tinggkat keasaman yang tinggi. Adapun pada tumbuhan yang memiliki
nilai INP yang rendah mungkin disebabkan kerena kurang mampunya spesies
tersebut dalam beradaptasi pada lingkungan di sekitar atau bisa juga
disebabkan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung di lokasi
pengamatan.

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan pada suatu komunitas


merupakan salah satu parameter yang menunjukkan peranan spesies
tumbuhan tersebut dalam komunitasnya tersebut. Kehadiran suatu spesies
tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan kemampuan adaptasi dengan
habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan. Semakin besar
nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas
dan sebaliknya. Penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas apabila
spesies yang bersangkutan berhasil menempatkan sebagian besar sumberdaya
yang ada dibandingkan dengan spesies yang lainnya (Hidayat, 2017).

Menurut Nuraina (2018), indeks nilai penting dapat dijadikan suatu


petunjuk untuk menentukan jenis yang dominan pada suatu tempat. Jadi, jika
nilai penting pada satu spesies tinggi, maka kerapatan relatif serta frekuensi
relatif dari spesies terebut juga tinggi artinya spesies tersebut dominan atau
paling banyak. Menurut Martiningsih dkk (2019) Axonopus compressus atau
rumput paitan merupakan rumput dengan tingkat pertumbuhan yang sedang
dan biasanya ditanam dengan benih. Rumput ini memiliki toleransi suhu
dingin. Jadi, Axonopus compressus memiliki ketahanan hidup yang tinggi
karena pertumbuhannya yang tinggi dan toleran terhadap suhu dingin.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil yaitu terdapat 12


tumbuhan dengan spesies yang berbeda kemudian terdapat indek

102
keanekaragaman yang didapatkan H’ bernilai 1,46 sehingga tergolong
keanekaragaman sedang. Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan sigma
–PI ln Pi dari semua spesies yang didapatkan. Indeks keanekaragaman
tergolong sedang karena 1 < H’ > 3. Menurut Arisandy, (2018)
keanekaragaman jenis suatu komunitas dikatakan tinggi jika komunitas itu
disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit
spesies dan hanya sedikit spesies yang dominan.

Menurut Hidayat (2017) tinggi rendahnya indeks keanekaragaman


suatu komunitas tumbuhan tergantung pada banyaknya jumlah spesies dan
jumlah individu. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitas selain itu juga untuk mengukur stabilitas komunitasseperti
kemampuan untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan
terhadap komponen komponennya.

Indeks keanekaragam yang didapat tentu dipengaruhi oleh faktor


lingkungan yang terdapat di kawasan pengamatan sehingga dilakukan
pengukuran paremeter di kawasan pengamatan. Adapun parameter yang di
ukur di kawasan pengamatan terdiri dari intensitas cahaya, kecepatan angin,
pH tanah, kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu udara dan daya serap
air.

Menurut Karyati (2019) angin dapat membantu dalam menyediakan


karbon dioksida untuk pertumbuhan tanaman, selain itu juga mempengaruhi
suhu dan kelembapan tanah. Tanaman akan mengalami kemudahan dalam
mengambil karbon dioksida di udara pada kecepatan udara antara 0,1 hingga
0,25 m/s. Menurut Maslaha dkk, (2022) Axonopus compressus memiliki
kemampuan menyebar dengan cepat karena biji yang ringan dan mudah
terbawa angin.

103
Berdasarkan hasil pengamatan faktor pembatas yang mempengaruhi
di kawasan pengamatan antara lain seperti suhu, kecepatan angin, intensitas
cahaya, kelembaban udara, pH tanah dan kelembaban tanah. Pengukuran
parameter yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan maka didapatkan hasil
bahwa intensitas cahaya yang diukur menggunakan lux meter didapatkan nilai
minimin dan maksimum berkisar >20.000 lux. Adapun kecepatan angin yang
diukur menggunakan anemometer didapatkan nilai minimum yaitu 0,0 dan
nilai maksimum berkisar 1,6-2,6. pH yang diukur menggunakan Soil tester
didapatkan berkisar mulai dari 6,9-7,5. Pengukuran kelembaban tanah yang
diukur menggunakan soil tester mendapat kisaran yaitu 100 %. Hal ini
disebabkan karena daerah pengamatan dalam kondisi hujan pada malam hari
sehingga menyebabkan suhu menjadi rendah dan kelembaban tanah menjadi
tinggi. Kondisi kelembaban tanah tergolong normal hal ini menjadikan
tumbuhan herba banyak ditemukan pada daerah pengamatan.

Pada pengukuran kelembaban udara menggunakan alat ukur yaitu


hygrometer maka didapatkan kisaran yaitu 49-63% kelembaban udara
dilokasi pengamatan sesuai dengan kehidupan tumbuhan herba di dalamnya.
Pada pengukuran suhu udara menggunakan alat thermometer didapatkan
kisasan yaitu 31-32,5ᴼC. Suhu yang didapatkan merupakan dengan kisaran
yang sesuai dengan pertumbuhan tumbuhan herba yang didapatkan.. Adapun
pada pengukuran daya serap air menggunakan porositas didapatkan kisaran
yaitu 3,03 ml/s. Menurut (Bayu, 2019) kelembaban udara yang tinggi
menyebabkan stomata tertutup sehingga mengakibatkan penyerapan CO2
terganggu. Akhirnya proses fotosintesis tidak berjalan dengan baik sehingga
membuat proses pertumbuhan tanaman menjadi menurun.

104
VI. KESIMPULAN

1. Point frequency frame merupakan metode dari kayu atau bahan lain dengan
panjang 1 meter dan diberi lubang.

2. Terdapat 12 spesies jenis tumbuhan, spesies tertinggi yaitu Axonopus


compressus berjumlah 561 individu

3. Spesies terendah diperoleh dari spesies Poa cinesia dan Eleusine indica
yaitu berjumlah 2 individu.

4. Axonopus compressus memiliki KR bernilai 57,07%, FR bernilai 31,25%


dan NP bernilai 0,32%.

5. Poa cinesia dan dan Eleusine indica memiliki kR bernilai 0,20%, FR


bernilai 0,69% dan NP 0,002%.

6. Indeks keanekaragaman tumbuhan herba di lokasi pengamatan tergolong


sedang karena 1<H’<3 yakni 1,46.

7. Faktor pembatas yang mempengaruhi seperti suhu, kecepatan angin,


intensitas cahaya, kelembaban udara, pH tanah dan kelembaban tanah.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Alfamax. (2022). Rumput Jejaruman (Chrysopogon aciculatus). Diakses


melalui https://www.inaturalist.org/observations/150418073 pada
tanggal 6 Maret 2022.

Arisandy. (2018). D, A., & Triyanti, M. (2020). Keanekaragaman Jenis


Vegetasi di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas. Jurnal Pendidikan
Biologi, 3(1): 40-49.

Aulax. (2020). Poa cenisia. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/52513246 pada tanggal 15
Maret 2023.

105
Bayu. (2029). Pertumbuhan Tanaman. Diakses melalui
https://repository.unej.ac.id pada tanggal 14 April 2023.

Benadine. (2021). Cynodon dactylon. Diakses melalui


https://www.inaturalist.com pada tanggal 6 Maret 2023.

Dharmono., Mahrudin., Riefani, M. K., & Utami, N. H. (2023). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV. Batang.

Galen, S. (2022). Eleocharis geniculata. Diakses melalui


https://swbiodiversity.org pada tanggal 6 Maret 2023.

Hardiansyah. (2020). Ekologi Tumbuhan. (2020). Banjarmasin: CV. Batang


Universitas Lambung Mangkurat.

Hauze. (2016). Buffalo Gras (Axonopus compressus). Diakses melalui


https://shop.biophilia.lk pada tanggal 6 Maret 2023.

Hidayat, M. (2017). Analisis Vegetasi dan Keanekaragaman Tumbuhan di


Kawasan Manifestasi Geotermal Ie Suum Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar. Biotik: Jurnal Ilmiah Biologi Teknologi dan
Kependidikan, 5(2), 114-124.

Jackson, H. (2022). Common Fringe-Rush (Fimbristylis dichotoma). Diakses


melalui https://www.inaturalist.org/photos/220303859 pada tanggal 9
Maret 2023.

Janetwright. (2020). Centipede Grass (Eremochloa ophiuroides). Diakses


melalui https://www.inaturalist.org/observations/59037150 pada
tanggal 10 Maret 2023.

Karyati. (2019). Mikrolkimatotogi Hutan. Samarinda: Mulawarna Universitas


Press.

Maslaha, V. I., Musyaddad, K., & Nuraida, N. (2020). Identifikasi Jenis Gulma
Pada Lahan Perkebunan Kopi (Coffea) dan Pinang (Areca Catechu)
Bram Itam Kuala Tungkal (Doctoral dissertation. UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi).

106
Mertiningsih. N, P, L., Suryani, N & Duarsa, M, A. (2019). Pertumbuhan dan
Produksi Rumput Axonopus compressus , Stenotapharum secumdatum
dan paspalum conjugatum Pada Berbagai Level Biourin. E Journal
Peternakan Tropika, 7: 864-880.

Morad. (2011). Kyllinga brevifolia. Diakses melalui https://www.flickr.com


pada tanggal 6 Maret 2023.
Nasution. (2021). Jenis Jenis Gulma Di Lahan Pertanian dan Cara
Pengendaliannya. Diakses melalui
https://www.hextarfertilizerindonesia.com pada tanggal 1 Maret 2023.

Nuraina, I., & Prayoga H. (2018). Analisa Komposisi dan Kenekaragaman


Jenis Tegakan Penyusun Hutan Tembawang Jelomuk di Desa Meta
Bersatu Kecamatan sayan kabupaten Melawi. Jurnal Hutan Lestari,
6(1).

Parmadi, E. H., Dewiyanti, I., & Karina, S. (2016). Indeks nilai penting vegetasi
mangrove di kawasan Kuala IDI, Kabupaten Aceh Timur (Doctoral
dissertation, Syiah Kuala University).

Rozas. (2014). Eleusine indica (goose grass). Diakses melalui


https://www.cabidigitallibrary.org/ pada tanggal 10 Maret 2023.

Sai. (2016). Grona triflorum. Diakses melalui https://www.picturethosai.com


pada tanggal 6 Maret 2023.

Shannon, C. E. (1948). A Mathematical Theory of Communication in the 1949.


Bell System Tech. J. 27: 379-423.

Synder. (2013). Photos Of Bacoba Corolina Water Hyssop. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org pada tanggal 6 Maret 2023.

107
PRAKTIKUM V

Topik : Metode Transek untuk Penentuan Struktur Tegakan


Tujuan : Untuk menentukan struktur tegakan vegetasi pohon pada suatu
komunitas
Hari/Tanggal : Rabu/ 22 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT BAHAN

A. Alat:

1. Roll meter 10. Alat tulis

2. Tali rapia 11. Alat dokumentasi

3. Klinometer 12. Alat parameter:

4. Kompas a. 4 in 1 (Anemometer
dan Luxmeter)
5. Meteran jahit
b. Soil tester
6. Plastik sampel
c. Hygrometer
7. Kertas label
d. Termometer
8. Plastik merah

9. Parang

B. Bahan

108
1. Nyamplung (Cailophyllum inophyllum)

2. Girang merah (Leea indica)

3. Katilayu (Erioglossum ribiginosum)

4. Brunei (Antidesma ghaesambilla)

5. Mangga (Mangifera indica)

6. Tanjung (Mimusops elengi)

7. Kerkis (Cercis seliavastrum)

8. Puspa (Litsea monopetala)

9. Marlberry (Ardisia polycephala)

II. CARA KERJA

1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.

2. Menentukan area kajian yang akan dijadikan sampel.

3. Menentukan arah mata angin dengan menggunakan kompas

4. Membuat plot ukuran 10 x 10 m untuk vegetasi pohon.

5. Menghitung jumlah pohon setiap jenisnya dan r covered pohon.

6. Menghitung kerapatan, dominansi, dan frekuensi masing – masing


spesies.

7. Menghitung KR, DR, FR, dan NP.

8. Mencari NP tertinggi dan terendah.

9. Mengukur parameter lingkungan.

III. TEORI DASAR

Metode ini pada dasarnya adalah metode plot hitung, yang banyak
digunakan oleh orang kehutanan untuk mengadakan survey hutan dan

109
menyebutnya sebagai metode survey kayu (Hardjosuwarno, 1994 dalam
Dharmono et al., 2023).

Metode transek berbeda dengan metode releve, terutama harus


menghitung secara cermat dan akurat jumlah inndividu tiap spesies yang
terdapat dalam bidang transek tersebut. Parameter yang dapat diukur dalam
sampling komunitas dan bersifat penting dalam metode ini adalah:

1. Kerapatan, yaitu jumlah individu persatuan luas (m2 atau ha) atau
persatuan area cuplikan (area sampel).

2. Dominansi (cover), dapat dihitung dengan dua cara, yaitu: a) dengan


mengukur basal area batang setinggi dada (dbh); b) mengukur luas
penutupan tajuk (crown cover).

3. Frekuensi adalah jumlah hadirnya suatu spesies pada sejumlah plot yang
dikerjakan. Dalam perhitungan frekuensi tanpa menghitung jumlah
individu, tetapi hanya hadir atau tidaknya dalam plot (Dharmono et al.,
2023)

Disamping hal di atas, dalam metode ini juga dapat diketahui


parameter
kelas diameter batang, kelas tinggi pohon. Hal ini sangat penting dalam
mempelajari struktur tegakan, terutama dalam memperkirakan komposisi
umur dan proses regenerasi atau peremajaan suatu komunitas (Dharmono et
al., 2023).

Berdasarkan kelas diameter batang, pohon dibedakan atas tiga kelas


yaitu:

a) kelas yang berdiameter kurang dari 3 cm dan dikategorikan sebagai


seedling.

b) kelas diameter 3-10 cm, yang dikategorikan sebagai seedling

110
c) kelas diameter lebih dari 10 cm, yang dikategorikan sebagai pohon
dewasa (Dharmono et al., 2023).

111
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Tabel Hasil Pengamatan

K F

Titik ∑ (Indi KR (Cupli
FR % NP% Pi
(-) Pi
Nama Nama Cu % kan/tit ln Pi
No Nama Ilmiah Ind vidu
Lokal Spesies p ik)
/m2)
1 2 3
Nyampl Cailophyllum 13,0
1 Kanaga 1 0 2 3 2 0,01 0,67 16,67 29,70 0,13 0,27
ung inophyllum 4
Girang Girang 39,1
2 Leea indica 7 0 2 9 2 0,03 0,67 16,68 55,81 0,40 0,37
Merah merah 2
Katilay Erioglossum
3 Kalayu 2 0 0 2 1 0,01 8,70 0,33 8,33 17,03 0,09 0,21
u ribiginosum
Andi - Antidesma 0,00
4 Brunei 1 0 0 1 1 4,35 0,33 8,33 12,68 0,04 0,14
andi ghaesambilla 3
Mangg Mangifera 0,00
5 Hampalam 1 0 0 1 1 4,35 0,33 8,33 12,68 0,04 0,14
a indica 3
Tanjun Mimusops
6 Tanju 0 1 1 2 2 0,01 8,70 0,67 16,67 25,36 0,09 0,21
g elengi

112
Cercis 0,00
7 Kerkis Kerkis 0 1 0 1 1 4,35 0,33 8,33 12,68 0,04 0,14
seliavastrum 3
Huru Litsea 13,0
8 Puspa 0 3 0 3 1 0,01 0,33 8,33 21,38 0,13 0,27
manuk monopetala 4
Marlber Ardisia 0,00
9 Coralberry 0 0 1 1 1 4,35 0,33 8,33 12,68 0,04 0,14
ry polycephala 3
∑ 100, 100,0 200,0
12 5 6 23 12 0,08 4,00 1,00 1,87
00 0 0

Luas Area : 10 × 10 m
Indeks Keanekaragaman
No Indeks Keanekaragaman
1 H’ < 1 Rendah
2 1 < H’ < 3 Sedang
3 H’ > 3 Tinggi

(Sumber: Shannon Wiener, 1948)


Kesimpulan: Jadi, indeks keanekaragaman struktur tegakan tergolong sedang karena 1 < H’ < 3 yakni 1,87

113
2. Perhitungan

1. Cailophyllum inophyllum

K = ∑ind/L.area×titik = 3/300 = 0,01

KR = K/∑K×100% = 0,01/0,08×100% = 13,04

F = ∑cup/titik = 2/3 = 0,67

FR = F/∑F×100% = 0,67/4×100% = 16,67

NP = KR + FR = 13,04 + 16,67 = 29,70

Pi = n/N = 3/23 = 0,13

-PilnPi = (-0,13) × ln(0,13) = 0,27

2. Leea indica

K = ∑ind/L.area×titik = 9/300 = 0,03

KR = K/∑K×100% = 0,03/0,08×100% = 39,12

F = ∑cup/titik = 2/3 = 0,67

FR = F/∑F×100% = 0,67/4×100% = 16,68

NP = KR + FR = 39,13 + 16,67 = 55,81

Pi = n/N = 9/23 = 0,40

-PilnPi = (-0,39) × ln(0,39) = 0,37

3. Erioglossum ribiginosum

K = ∑ind/L.area×titik = 2/300 = 0,01

KR = K/∑K×100% = 0,01/0,08×100% = 8,70

114
F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 8,70 + 8,33 = 17,03

Pi = n/N = 2/23 = 0,09

-PilnPi = (-0,09) × ln(0,09) = 0,21

4. Antidesma ghaesambilla

K = ∑ind/L.area×titik = 1/300 = 0,003

KR = K/∑K×100% = 0,003/0,08×100% = 4,35

F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 4,35 + 8,33 = 12,68

Pi = n/N = 1/23 = 0,04

-PilnPi = (-0,04) × ln(0,04) = 0,14

5. Mangifera indica

K = ∑ind/L.area×titik = 1/300 = 0,003

KR = K/∑K×100% = 0,003/0,08×100% = 4,35

F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 4,35 + 8,33 = 12,68

Pi = n/N = 1/23 = 0,04

115
-PilnPi = (-0,04) × ln(0,04) = 0,14

6. Mimusops elengi

K = ∑ind/L.area×titik = 2/300 = 0,01

KR = K/∑K×100% = 0,01/0,08×100% = 8,70

F = ∑cup/titik = 2/3 = 0,67

FR = F/∑F×100% = 0,67/4×100% = 16,67

NP = KR + FR = 8,70 + 16,67 = 12,68

Pi = n/N = 2/23 = 0,09

-PilnPi = (-0,09) × ln(0,09) = 0,21

7. Cercis seliavastrum

K = ∑ind/L.area×titik = 1/300 = 0,003

KR = K/∑K×100% = 0,003/0,08×100% = 4,35

F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 4,35 + 8,33 = 12,68

Pi = n/N = 1/23 = 0,04

-PilnPi = (-0,04) × ln(0,04) = 0,14

8. Litsea monopetala

K = ∑ind/L.area×titik = 3/300 = 0,01

116
KR = K/∑K×100% = 0,01/0,08×100% = 13,04

F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 13,04 + 8,33 = 21,38

Pi = n/N = 3/23 = 0,13

-PilnPi = (-0,13) × ln(0,13) = 0,27

9. Ardisia polycephala

K = ∑ind/L.area×titik = 1/300 = 0,00

KR = K/∑K×100% = 0,003/0,08×100% = 4,35

F = ∑cup/titik = 1/3 = 0,33

FR = F/∑F×100% = 0,33/4×100% = 8,33

NP = KR + FR = 4,35 + 8,33 = 12,68

Pi = n/N = 1/23 = 0,04

-PilnPi = (-0,04) × ln(0,04) = 0,14

117
B. Tabel Parameter

Pengulangan
No. Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
1. Min: Min: Min: Min:
Intensitas >20.000 >20.000 >20.000 >20.000
Lux meter Lux
cahaya Max: Max: Max: Max:
>20.000 >20.000 >20.000 >20.000
4in1 Min: Min: Min: Min:
0.0 0.0 0.0 0.0 –
Kecepatan
Anemometer m/s Max: Max: Max: 0.2
angin
2,3 2.6 1.6 Max:
1.6-2,6
2. 6.9 –
pH tanah - 6.9 7 7.5
7.5
Soil tester
Kelembaban
% 100 100 100 100
tanah
3. Kelembaban
Hygrometer % 63 56 49 49 - 63
udara
4. ◦ 31 -
Termometer Suhu udara C 32,5 32,5 31
32,5℃

118
C. Foto Pengamatan

No Nama Lokal Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


. Spesies Ilmiah

Cailophyllu
1 Kanaga Nyamplung m
inophyllum

(Sumber : Dok (Sumber : Saputra


Kelompok III, 2023) et al., 2014)

Girang Girang
2 Leea indica
Merah merah

(Sumber : Dok
Kelompok III, 2023)

(Sumber :
Kartikasari, 2015)

Erioglossu
3 Kalayu Katilayu m
ribiginosum

(Sumber : Mataram
et al., 2018)

(Sumber : Dok
Kelompok III, 2023)

119
Antidesma
4 Andi - andi Brunei ghaesambill
a

(Sumber : Dok (Sumber : Asita, et


Kelompok III, 2023) al., 2014)

Mangifera
5 Hampalam Mangga
indica
(Sumber : Ibrahim
et al., 2015)

(Sumber : Dok
Kelompok III, 2023)

Mimusops
6 Tanju Tanjung
elengi

(Sumber :
Tristantini et al.,
(Sumber : Dok 2016)
Kelompok III, 2023)

120
Cercis
7 Kerkis Kerkis seliavastru
m

(Sumber :
Anggraini et al.,
(Sumber : Dok
2020)
Kelompok III, 2023)

Huru Litsea
8 Puspa
manuk monopetala
(Sumber : Rulliaty,
(Sumber : Dok 2014)
Kelompok III, 2023)

Ardisia
9 Coralberry Marlberry
polycephala

(Sumber : Nikmah,
2020)
(Sumber : Dok
Kelompok III, 2023)

121
V. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topic metode transek untuk


menentukan struktur tegakan dengan tujuan untuk menentukan vegetasi pohon
pada suatu komunitas. Menggunakan alat dan bahan berupa rol meter, kompas,
klinometer, meteran jahit, plastic sampel, kertas label, plastic merah, rapia,
parang, alat tulis, alat dokumentasi, 4 in 1, soiltester, hygrometer, dan
thermometer. Adapun cara kerja pada topik ini adalah menyiapkan alat dan
bahan, membuat plot dengan ukuran 10 × 10 m sebanyak 3 buah plot
menggunakan tali rapia, mengamati, dan mengambil sampel dari pohon yang
ada di dalam plot. Metode yang di gunakan adalah metode line transek yaitu
dengan berjalan menyusuri hutan di sepanjang garis transek yang telah
ditentukan, garis transek pada praktikum ini berukuran 10 × 10 m.
Struktur tegakan merupakan sebaran jumlah pohon per satuan luas yang
berdasarkan kelas diameternya. Kajian struktur tegakan bertujuan untuk
menggambarkan jumlah individu spesies tumbuhan menurut kelas ukuran jenis
pohon dalam suatu tegakan, biasanya mencakup kelas tinggi dan diameter
batang tiap jenis tumbuhan yang ada dalam komunitas atau tegakan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, keanekaragaman vegetasi pohon pada
komunitas hutan pantai Tabanio di temukan 9 spesies yaitu, Cailophyllum
inophyllum, Leea indica, Erioglossum ribiginosum, Antidesma ghaesambilla,
Mangifera indica, Mimusops elengi, Cercis seliavastrum, Litsea monopetala
dan Ardisia polycephala. Spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi
adalah Leea indica dengan nilai KR 39,12 %, nilai FR 16,68 % dan Nilai NP
55,80 %. Spesies yang memiliki nilai kerapatan terendah adalah Antidesma
ghaesembilla, Mangifera indica, Cercis seliavastrum, dan Ardisia polycephala
dengan nila KR masing – masing spesies adalah 4,35 %, nilai FR 8,33 % dan
nilai NP 12,68 %. Indeks keanekaragaman struktur tegakan tergolong dalam
kategori sedang karena 1 < H’ < 3 yakni 1,87.
Berdasarkan parameter yang di ukur dalam tiga kali pengulangan pada
setiap alatnya di sekitar kawasan pengamatan di dapatkan hasil bahwa
intensitas cahaya nya memiliki nilai maksimum dan minimum sebesar >20.000

122
lux. Pengukuran maksimum kecepatan angin 1,6 – 2,6 m/s, pH tanah di sekitar
kawasan pengamatan memiliki nilai kisaran 6,9-7,5, dengan kisaran
kelembapan tanah 100 %. Kelembapan udara di sekitanya adalah 49 – 63 %
dengan suhu udara 31 – 32,5 ̊C.
Analisis vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk
mempelajari struktur vegetasi dan komposisi jenis tumbuhan. Analisis vegetasi
bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk
(struktur) vegetasi yang ada di wilayah yang di analisis. Analisis vegetasi
adalah cara untuk mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara
bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Bentuk atau
struktur vegetasi yang dimaksud ialah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
tutupan tajuk (Greigh-Smith, 1983).
Jumlah pohon dan struktur tegakan dapat menggambarkan tingkat
ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, sehingga
keduanya diduga berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi atau
pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan diri tegakan setelah
mengalami gangguan yaitu perlakuan penebangan (Muhdin, 2008). Menurut
Marsono (1997), tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu berkisar 25-
30°C. Jadi berdasarkan hasil pengamatan, suhu udara di tempat tersebut masih
dalam kondisi baik untuk populasi spesies tersebut. Menurut Noorhidayati
(2010), suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22-37°C. Temperatur
yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang lambat atau berhenti.
Intensitas cahaya yang terlalu rendah akan menghasilkan produk
fotosintesis yang tidak maksimal, sedangkan intensitas cahaya yang terlalu
tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas sel-sel stomata daun dalam
mengurangi transpirasi sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
tanaman. Berdasarkan Chua, S. C (2013) menyatakan bahwa ada faktor
pembatas terhadap keberadaan suatu populasi. Faktor yang menyebabkan ini
terjadi kemungkinan adalah topografi yang cukup berat (bergelombang

123
berbukit) dan keadaan lapangan di beberapa jalur yang berbatu dengan lapisan
top soil yang tipis serta keadaan tempat tumbuhnya yang agak labil.
Berdasarkan pencarian di IUCN Leea indica termasuk tumbuhan dalam
kategori LC (Least concern) atau memiliki resiko rendah. Antidesma
ghaesembilla juga merupakan tumbuhan dalam kategori LC (Least concern)
atau memiliki resiko rendah.

VI. KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topic metode transek untuk


menentukan struktur tegakan dengan tujuan untuk menentukan vegetasi
pohon pada suatu komunitas.

2. Struktur tegakan merupakan sebaran jumlah pohon per satuan luas yang
berdasarkan kelas diameternya. Kajian struktur tegakan bertujuan untuk
menggambarkan jumlah individu spesies tumbuhan menurut kelas
ukuran jenis pohon dalam suatu tegakan, biasanya mencakup kelas tinggi
dan diameter batang tiap jenis tumbuhan yang ada dalam komunitas atau
tegakan tersebut.

3. Berdasarkan hasil pengamatan, keanekaragaman vegetasi pohon pada


komunitas hutan pantai Tabanio di temukan 9 spesies yaitu,
Cailophyllum inophyllum, Leea indica, Erioglossum ribiginosum,
Antidesma ghaesambilla, Mangifera indica, Mimusops elengi, Cercis
seliavastrum, Litsea monopetala dan Ardisia polycephala.

4. Spesies yang memiliki nilai kerapatan tertinggi adalah Leea indica


dengan nilai KR 39,12 %, nilai FR 16,68 % dan Nilai NP 55,80 %.
Spesies yang memiliki nilai kerapatan terendah adalah Antidesma
ghaesembilla, Mangifera indica, Cercis seliavastrum, dan Ardisia
polycephala dengan nila KR masing – masing spesies adalah 4,35 %,
nilai FR 8,33 % dan nilai NP 12,68 %. Indeks keanekaragaman struktur
tegakan tergolong dalam kategori sedang karena 1 < H’ < 3 yakni 1,87.

124
5. Berdasarkan pencarian di IUCN Leea indica termasuk tumbuhan dalam
kategori LC (Least concern) atau memiliki resiko rendah. Antidesma
ghaesembilla juga merupakan tumbuhan dalam kategori LC (Least
concern) atau memiliki resiko rendah.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, R. A., Wati, F. F., Shidiq, M. J. F., Suryadi, A., Fatah, H., &
Kholifah, D. N. (2020). Identification of herbal plant based on leaf
image using glcm feature and k-means. Techno Nusa Mandiri, 17(1),
71-78. Di akses melalui https://ejournal.nusamandiri.ac.id/ pada
tanggal 6 Maret 2023.
Asita, A. (2014). Aktivitas Antibakteri Fraksi Nonpolar, Semipolar, Dan
Polar Ekstrak Etanol Daun Buni (Antidesma Bunius (L.) Spreng)
Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Dan Bacillus Subtilis Serta
Bioautografinya (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta). Di akses melalui http://eprints.ums.ac.id/ pada tanggal 6
Maret 2023.
Chua, S. C., Benjamín S. R., Kang M. N., Matthew D. P., and Shawn K. Y.
L. (2013). Slow recovery of a secondary tropical forest in Southeast
Asia. Forest Ecology and Management 308.
Dharmono., Mahrudin., Riefani, M.K., & Utami, N.H. (2023). Penuntun
Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV. Batang.
Greigh-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology, Studies in Ecology
Volume 9. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Hasanah U, Murni S, Dahilia. (2017). Jenis dan Potensi Obat Pada Tumbuhan
Ficus. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 2(7),
986— 990.
Ibrahim, A., Fridayanti, A., & Delvia, F. (2015). Isolasi dan identifikasi
bakteri asam laktat (BAL) dari buah mangga (Mangifera indica
L.). Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(2), 159-163. Di akses pada tanggal 6
Maret 2023.
IUCN. (2023). Antidesma ghaesembilla. Diakses melalui
https://www.iucnredlist.org/species/147615363/147615365.
IUCN. (2023). Leea indica. Diakses melalui
https://www.iucnredlist.org/species/147620596/147620598.

125
Kartikasari, R.(2015). Perbedaan Potensi Antioksidan Ekstrak Daun Girang
(Leea indica) dari Taman Nasional Meru Betiri dengan Pelarut N-
Hekson, Etil Asetat dan Metanol.
Marsono. (2010). Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mataram, P. J. K.(2018). Identifikasi Kanopi Pohon Berbasisecologycal
Lanscape Dan Index Naturalness Sebagai Ecosystem Seervices
Terhadap Kenyamanan Pengendara Sepeda Motor Di. Di akses
melalui https://thesiscommons.org/jpkav/download/?format=pdf
pada tanggal 6 Maret 2023.
Muhdin, E., Suhendang, D., Wahjono, H., Purnomo, Istomo, dan
Simangunsong, B.C.H. (2008). Keragaman Struktur Tegakan Hutan
Alam Sekunder. J. Man. Hut. Trop., 16(2):81-87.
Nikmah, I. A. (2020). Revisi Marga Desmos Lour.(Annonaceae) di
Borneo (Doctoral dissertation, Bogor Agricultural University (IPB)).
Di akses melalui https://journal.ipm2kpe.or.id/ pada tanggal 6 Maret
2023.
Noorhidayati. (2010). Bahan Ajar Fisiologi Tumbuhan. Banjarmasin: PMIPA
FKIP ULM, Banjarmasin.
Rulliaty, S. (2014). Identifikasi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan
setempat asal Jawa Barat dan Banten. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan, 32(4), 297-312. Diakses melalui http://ejournal.forda-
mof.org/ejournal-litbang/ pada tanggal 6 Maret 2023.
Saputra, T., Claratika, A., & Gunawan, S. (2014). Identifikasi kandungan
Squalene dari Minyak Nyamplung (calophyllum inophyllum). Jurnal
Teknik ITS, 3(2), F151-F153. Di akses pada tanggal 6 Maret 2023.
Shannon, C. E., (1948). A Mathematical Theory of Communication in the
1949. Bell System Tech. J. 27, 379–423
Tristantini, D., Ismawati, A., Pradana, B. T., & Jonathan, J. G. (2016).
Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH pada
daun tanjung (Mimusops elengi L). In Seminar Nasional Teknik
Kimia Kejuangan (p. 1). Di akses melalui
http://www.jurnal.upnyk.ac.id/ pada tanggal 6 Maret 2023.

126
PRAKTIKUM VI

Topik : Teknik Sampling tanpa plot dengan point centered quarter


Tujuan : Untuk Menentukan Parameter, Vegetasi, Frekuensi dan Dominasi
Tanpa Plot Dengan Point Center Quarter
Hari/Tanggal : Kamis/23 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT DAN BAHAN

A. Alat

1. Roll meter 8. Alat tulis


2. Kompas 9. Alat dokumentasi
3. Bendera 10. Alat parameter:
4. Klinometer a. 4 in 1
5. Plastik sampel b. Soil tester
6. Plastik Merah c. Hygrometer
7. Kertas label d. Termometer

B. Bahan

1. Sayogik (Lonchocarpus sericius)


2. Kapuk (Ceiba petandra)
3. Kenuar (Sloanea rufa)
4. Bangkal (Naudea orientalis)
5. Hamehame (Anddesma platyphylum)
6. Simour (Podonaea visasa)
7. Bintangur (Calophyllum inophyllum)
8. Brunei (Antidesma ghaesembilla)
9. Lagundi (Vitex trifolia)
10. Kasek (Dodonaea viscosa)

127
II. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Menentukan 1 pohon sebagai center dan mencatat nama speies

3. Membuat kudaran dengan menggunakan kompas sebagai acuan

4. Memilih masing-masing 1 pohon yang terdekat dari pohon center ditiap


kuadran yang telah ditentukan, kemudian mencatat masing-masing
nama spesies tumbuhan tersebut

5. Menghitung jarak pohon pada masing-masing kuadran kepada pohon

6. Mengukur sudut keringgian masing-masing pohon dengan klinometer

7. Mengukur tinggi masing-masing pohon dengan memasukan sudut


ketinggian

8. Mendokumentasikan hasil pohon yang didapat.

III. TEORI DASAR

Dengan metode jarak dapat ditentukan tiga parameter sekaligus yaitu


frekuensi, kerapatan dan penutupan/dominasi. Jumlah individu dalam suatu
stand/area dapat ditentukan dengan mengukur jarak antara individu, atau
jarak antara titik sampling dengan individu tumbuhan. Hasil pengukuran
jarak tersebut dikonversikan ke dalam unit dua dimensi/area dengan cara
mengkuadradkan jarak tersebut.

Gambar 1. Metode Point Centered Quarter (Mueller-Dombois dan


Ellenberg, 1974).

128
Metode jarak yang paling umum digunakan adalah metode point
centered quarter. Pengukuran jarak dilakukan dari titik sampling ke pohon
terdekat dalam tiap kuarter (kuadrat). Dengan demikian setiap titik
sampling dihasilkan empat pengukuran (gambar 1). Selain itu juga
dilakukan pengukuran diameter pohon dari keempat pohon yang diamati
tersebut, digunakan untuk mengetahui basak area suatu spesies

129
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

1. Tabel Hasil Pengamatan

Titik Tinggi Pohon


Sampling Quarter Nama Lokal Nama Spesies Nama Ilmiah Jarak (m) Keliling Diameter Cabang Ujung Pucuk
Batang (cm) Pertama (m) Daun (m)
Pohon 1 (center ) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 0,0 52 16,56 5,19 7,09
Pohon 2 (Q1) kapuk Randu Ceiba petandra 3,20 137 43,63 7,32 8,55
1 Pohon 3 (Q2) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 2,30 70 22,29 4,23 8,04
Pohon 4 (Q3) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 0,9 50 15,92 3,67 9,08
Pohon 5 (Q4) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 2,90 60 19,11 4,42 8,55
Pohon 1 (center ) Baleketeba Kenuar Sloanea rufa 0,0 63 20,06 3,67 9,36
Pohon 2 (Q1) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 36,00 65 20,70 3,67 9,08
2 Pohon 3 (Q2) Bangkal Bangkal Naudea orientalis 31,39 90 28,67 4,22 10,55
Pohon 4 (Q3) Hame Hamehame Anddesma platyphylum 12,90 123 39,17 3,31 7,80
Pohon 5 (Q4) Dolu Simpur Podonaea visasa 19,10 24 7,64 4,99 6,21
Pohon 1 (center ) pirdot Sayogik Lonchocarpus sericius 0,0 107 34,08 5,59 7,09
Mentangur Calophyllum 39,17
Pohon 2 (Q1) Bintangur 12,20 123 3,31 7,80
3 inophyllum
Andi andi Antidesma 38,22
Pohon 3 (Q2) Brunei 29,30 120 3,67 3,31
ghaesembilla
Pohon 4 (Q3) Langgundi Lagundi Vitex trifolia 12,90 20 6,36 3,31 6,02
Pohon 5 (Q4) Pawi Kasek Dodonaea viscosa 6,80 18 5,73 5,59 10,55
⅀ 169,89 1122 356,68 44,69 84,31

130
Titik
⅀ ⅀ (-)Pi
Nama KR
Nama lokal Nama Ilmiah 1 2 3 ind cup d k.Total K F FR NP Pi Ln Pi
spesies
Lonchocarpus
Pirdot Sayogik 4 1 1 6 3 11,33 0,78 0,31 40,78 1 25,19 65,97 0,4 0,37
sericius
Ceiba
Kapuk Randu 1 0 0 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
petandra
Baleketeba Kenuar Sloanea rufa 0 1 0 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
Naudea
Bangkal Bangkal 0 1 0 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
orientalis
Anddesma
Hame Hamehame 0 1 0 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
platyphylum
Podonaea
Dolu Simpur 0 1 0 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
visasa
Calophyllum
Mentangur Bintangur 0 0 3 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
inophyllum
Antidesma
Andi andi Brunei 0 0 3 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
ghaesembilla
Langgundi Legundi Vitex trifolia 0 0 3 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
Dodonaea
Sikil Pawi 0 0 3 1 1 11,33 0,78 0,05 6,58 0,33 8,31 14,89 0,07 0,19
viscosa
∑ 15 12 113,3 7,8 0,76 100,00 3,97 100,00 200,00 1,03 2,08

131
2. Perhitungan

a. Lonchocarpus sericius

d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33


k. total = 100 / d² = 100 / 11,32² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 6 / 15 x 0,78 = 0,31
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,31 / 0,76 x 100 % = 40,78 %
F = ⅀ cup / ⅀ titik
=3/3=1
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 1 / 3,97 x 100 = 25,19 %
NP = KR + FR = 40,78% + 25,19% = 65,97 %
Pi = n/N = 6/15 = 0,4
(-pi) Ln Pi = (-0,4) x Ln (0,4) = 0,37

b. Ceiba pentandra

d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33


k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR

132
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

c. Sloanea rufa
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

d. Naudea orientalis
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %

133
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

e. Anddesma platyphylum
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19
f. Podonaea visasa
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik

134
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

g. Calophyllum inophyllum
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

h. Antidesma ghaesembilla
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33

135
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

i. Vitex trifolia

d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33


k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

j. Dodonaea viscosa
d = ⅀ jarak / 15 = 169,89 / 15 = 11,33
k. total = 100 / d² = 100 / 11,33² = 0,78
K = ⅀ ind / 15 x k. Total
= 1/ 15 x 0,78 = 0,05
KR = k / ⅀ k x 100 %
= 0,05 / 0,76 x 100 % = 6,58%
F = ⅀ cup / ⅀ titik
= 1/ 3 = 0,33

136
FR = F / ⅀ F x 100 %
= 0,33 / 3,97 x 100% = 8,31 %
NP = KR + FR
= 6,58+ 8,31 = 14,89 %
Pi = n/N = 1/15 = 0,07
(-pi) Ln pi = (-00,7) x Ln (0,07) = 0,19

137
B. Tabel Parameter

Pengulangan
No Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3

Min: Min: Min: Min:


Lux Intensitas >20.000 >20.000 >20.000 >20.000
Lux
meter Cahaya Max: Max: Max: Max:
1 4in1 >20.000 >20.000 >20.000 >20.000

Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0


Anemo Kecepatan
m/s Max: Max: Max: Max:
meter Angin
2,1 1,6 2,0 1,6-2,1

pH Tanah - 5,6 5,5 5,8 5,5-5,8


2 Soil tester Kelembapan
% 79 67 70 67-79
Tanah

Kelembapan
3 Hygrometer % 69 72 70 69-72
Udara

4 Termometer Suhu Udara ºC 29 30 32 29-32

138
C. Foto Pengamatan

No Nama Nama Nama Ilmiah Foto Pengamtan Foto Literatur


lokal Spesies
1 Pirdot Sayogik Lonchocarpus
sericius

(Sumber: Dok. (Sumber: Lorenzi,


Kelompok III, 2023) 2008)
2 Kapuk Randu Ceiba
pentandra

(Sumber: Dok.
Kelompok III, 2023) (Sumber: Robin,
2017)
3 Baleketeba Kenuar Sloanea rufa

(Sumber: Dok. (Sumber: : Dennis,


Kelompok III, 2023) 2017)
4 Bangkal Bangkal Naudea
orientalis

(Sumber: Dok. (Sumber: Ronald,


Kelompok III, 2023) 2018)

139
5 Hame Hamehame Anddesma
platyphylum

(Sumber: Dok. (Sumber: Sandi,


Kelompok III, 2023) 2020)
6 Dolu Simpur Podonaea
visasa

(Sumber: Sain,
(Sumber: Dok. 2016)
Kelompok III, 2023)
7 Mentangur Bintangur Calophyllum
inophyllum

(Sumber: Dok. (Sumber: Mores,


Kelompok III, 2023) 2013)
8 Andi andi Brunei Antidesma
ghaesembilla

(Sumber: Dok. (Sumber: Morad,


Kelompok III, 2023) 2011)
9 Langgundi Legundi Vitex trifolia

(Sumber: Dok. Sumber: Naswandi,


Kelompok III, 2023) 2021

140
10 Sikil Pawi Dodonaea
viscosa

(Sumber: Dok. (Sumber: John,


Kelompok III, 2023) 2017)

141
V. ANALISIS DATA

Pada pratikum dengan topik Teknik Sampling Tanpa Plot Dengan


Point Center Quarter yang bertujuan untuk menentukan parameter vegetasi
dan dominasi tanpa menggunakan plot dengan point center quarter. Adapun
metode Point Center Quarter diawali terlebih dahulu dengan membuat garis-
garis transek. Pada jarak-jarak tertentu di sepanjang garis tersebut dibuat
titik-titik pengukuran, dimana dilakukan pengamatan dan pengukuran
pohon. Pada setiap titik pengukuran, dibuat garis imaginer sehingga setiap
titik pengukuran terdapat 4 kuadran Pada setiap kuadran dipilih satu pohon
yang letaknya paling dekat dengan titik pengukuran dan ukur jarak masing-
masing pohon tersebut ke titik pengukuran.
Metode Point Center Quarter merupakan metode pengukuran jarak
yang dilakukan dari titik sampling ke tanaman (pohon) terdekat dalam tiap
quarter atau kuadran, setiap titik sampling dihasilkan empat pengukuran
(Handayani, 2010). Metode kuadran atau “Point-Centered Quarter Method”
merupakan salah satu metode jarak (Distance Method). Metode ini tidak
menggunakan petak contoh (plotless) dan umumnya digunakan dalam
analisis vegetasi tingkat pohon atau tiang (pole). Namun dapat pula
dilengkapi dengan tingkat pancang (saling atau belta) dan anakan pohon
(seedling) jika ingin mengamati struktur vegetasi pohon. Pohon adalah
tumbuhan berdiameter ≥ 20 cm, diameter 10-20 cm adalah pancang,
diameter < 10 cm dan tinggi pohon >2,5 m adalah pancang, serta tinggi
pohon <2,5 m adalah anakan. Syarat penerapan metode kuadran adalah
distribusi pohon atau tiang yang akan dianalisis harus acak dan tidak
mengelompok atau seragam (Melati, 2007).
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan 10 spesies tumbuhan
diantaranya yaitu Lonchocarpus sericius, Ceiba pentandra, Sloanea rufa,
Naudea orientalis, Anndesma platyphyllum, Podonaea visasa,
Callophyllum inophyllum, Antidesma ghaesembilla, Vitex trifolia, dan
Dodonaea viscosa. Adapun spesies tumbuhan yang mendominasi di tempat
pengamatan berdasarkan pada NP (Nilai Penting) yaitu tumbuhan Pirdot

142
(Lonchocarpus sericius) dengan nilai penting sebesar 65,97 %, sedangkan
spesies tumbuhan yang paling sedikit ditemukan adalah tumbuhan kapuk
Ceiba pentandra dan 8 spesies lainnya dengan nilai penting terendah yaitu
sebesar 14,89 %. Adapun pada saat pengamatan dilapangan, tumbuhan
pirdot (Lonchocarpus sericius) terbukti memiliki dominansi yang tinggi
dibandingkan dengan spesies tumbuhan disekitarnya. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor seperti lingkungan atau ekosistem tersebut sesuai
dengan habitat tumbuh pirdot (Lonchocarpus sericius).
Berdasarkan hasil pengamatan spesies Lonchocarpus sericius
memiliki individu berjumlah 6 dengan kerapatan relatifnya (KR) sebesar
40,78%, frekuensi relatif (FR) bernilai 25,19% dan nilai penting (NP)
bernilai 65,97%. Adapun spesies Ceiba pentandra dan 8 spesies tumbuhan
lainnya memiliki nilai kerapatan relatif (KR) yaitu 6,58%, frekuensi relatif
(FR) bernilai 8,31 dan nilai penting (NP) bernilai 14,89%. Nilai penting
berhubungan dengan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR)
jika nilai KR dan FR nya tinggi akan menghasilkan nilai penting (NP) yang
yang tinggi pula sehingga dapat diketahui spesies yang mendominasi, begitu
pula sebaliknya. Adapun hasil indeks keanekaragaman tumbuhan di lokasi
pengamatan yaitu H’ bernilai 2,08 yang artinya keanekaraganan tumbuhan
di kawasan pengamatan tergolong sedang dikarenakan 1<H’<3.
Berdasarkan hasil pengamatan spesies Lonchocarpus sericius
merupakan spesies yang memiliki nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi
relatif (FR) yang paling tinggi sehingga juga memiliki nilai penting (NP)
yang tertinggi. Hal tersebut menunjuukan bahwa spesies Lonchocarpus
sericius merupakan spesies yang mendominasi di lokasi pengamatan,
karena lokasi tersebut cocok untuk petumbuhan spesies Lonchocarpus
sericius seperti suhu, intensitas cahaya, pH tanah, kelembaban tanah
sehingga sesuai untuk pertumbuhan spesies tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan tumbuhan kapuk (Ceiba pentandra)
dan 8 spesies lainnya memiliki nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif
(FR) dan nilai penting (NP) yang sama sama rendah hal ini mungkin

143
dikarenakan pada lokasi pengamatan kurang mendukung untuk kehidupan
spesies tersebut. Tumbuhan akan tumbuh dengan baik jika lokasi daerah
tumbuhnya mendukung dalam proses pertumbuhannya.
Indeks nilai penting atau important value index merupakan indeks
kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi
dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka
jenis itu mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. INP ini berguna
untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan yang mana juga terdapat suatu
jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat
heterogen data parameter vegetasi sendiri-sendiri dari nilai frekuensi,
kerapatan dan dominansinya tidak dapat menggambarkan secara
menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang mempunyai
kaitan dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari indeks nilai
pentingnya. Indeks nilai penting (INP) berfungsi untuk menentukan
dominansi suatu spesies terhadap spesies lain.
Nilai kerapatan relatif (KR) diperoleh dari hasil kerapatan suatu
spesies dibagi kerapatan seluruh spesies dikali dengan 100%. Begitu juga
pada nilai frekuensi relatif (FR) didapatkan dari hasil frekuensi suatu spesies
dibagi jumlah seluruh frekuensi semua spesies kemudian di kali 100%.
Setiap jumlah keseluruhan dari kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR)
harus 100%. Kedua hasil tersebut akan digunakan untuk mencari nilai
penting (NP). Jadi, nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari
kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) sehingga didapatkan hasil
200 %. Semakin tinggi nilai penting maka semakin besar tingkat
penguasaan spesies terhadap suatu komunitas, begitu pula sebaliknya.
Kerapatan menunjukkan jumlah individu suatu jenis tumbuhan pada
tiap-tiap petak- contoh sedangkan frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah
berupa jumlah petak-contoh (dalam persen yang memuat jenis tersebut dari
jumlah petak yang dibuat. Misalnya tumbuhan A ditemukan dalam 86
petak-contoh dari 200 petak-contoh yang dibuat, maka frekuensi A = 86/200
= 43%, dengan perkataan lain frekuensi adalah ada tidaknya suatu jenis

144
tumbuhan dalam petak-contoh. Frekuensi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pengaruh luas petak-contoh, pengaruh distribusi tumbuhan, dan
pengaruh ukuran jenis tumbuhan. Istilah dominansi digunakan untuk
menyatakan berupa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan, atau
kemampuan sesuatu jenis tumbuhan dalam hal bersaing terhadap jenis lain.
Dominansi dinyatakan dengan istilah kelindungan/penutupan (coverage)
atau luas basal atau biomassa atau volume (Hardiansyah, 2018).
Faktor pembatas pada pengamatan dengan metode point center
quarter ini seperti intensitas cahaya, suhu dan air merupakan faktor
pembatas yang paling menentukan dominansi spesies yang ditemukan. Pada
suatu ekosistem, kelangsungan hidup suatu organisme tergantung pada
faktor faktor lingkungan di dalamnya, selain itu faktor pembatas akan
membatasi distribusi atau aktivitas organisme.
Berdasarkan hasil pengamatan parameter yang diukur di kawasan
pengamatan terdiri dari intensitas cahaya, kecepatan angin, pH tanah,
kelembaban tanah, kelembaban udara dan suhu air. Pengukuran dilakukan
sebanyak 3 kali pengulangan. Pada suhu udara berkisar antara 29-32°C.
hasil pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter didapatakan
hasil bahwa intensitas cahaya pada saat pengamatan menunjukkan kisaran
yaitu > 20.000 lux. Alat yang digunakan dalam pengukuran Ph Tanah dan
kelembaban tanah yaitu Soil Tester.
Berdasarkan hasil pengukuran dengan 3 kali pengulangan dapat
diketahui bahwa Ph tanah yang ada di daerah pengamatan yaitu berkisar
mulai dari 5,5-5,8. Menurut (Agustina, 2004). Nilai pH optimum untuk
pertumbuhan sebagian besar tanaman pada pH 6–6,5. Walaupun tanaman
dapat tumbuh pada pH di luar kisaran pH optimum, tetapi tidak dapat
mencapai kuantitas dan kualitas hasil maksimum. Selain itu di kawasan
pengamatan juga melakukan pengukuran untuk kelembaban tanah.
Kelembaban tanah yang diukur di kawasan pengamatan berkisar mulai dari
69-72%.

145
Berdasarkan literatur intensitas cahaya yang terlalu rendah akan
menghasilkan produk yang tidak maksimal sedangkan intensitas cahaya
yang telalu tinggi akan berpengaruh terhadap aktivitas sel sel stomata daun
dalam mengurangi transpirasi sehingga mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman (Kurniyati dkk, 2010).
Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara pada saat
pengamatan menggunakan hygrometer dengan 3 kali pengulangan dapat
diketahui bahwa kelembaban udara yang ada di daerah pengamatan yaitu
berkisar antara 69-72%. Kelembaban udaran pada lokasi pengamatan
tergolong normal. Alat yang digunakan dalam mengukur kecepatan angin
pada saat pengamatan yaitu Anemometer. Berdasarkan pengukuran pada
saat pengambilan sampel, kecepatan angin berkisar mulai dari1,6-2,1 m/s
yang artinya kecepatan angin pada lokasi pengambilan sampel dalam
keadaan sedang.
Suhu adalah faktor ekologis yang sangat terkenal dan juga sangat
mudah diukur. Pengaruh suhu bersifat umum. Sering kali suhu merupakan
faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran tanaman dan
hewan. pengaruh pembatasan suhu menghasilkan zonasi atau stratifikasi
yang tejadi dalam air dan pada tanah. Sedangkan cahaya adalah sumber
energi, tetapi juga suatu pembatas pada kedua tingkat maksimum dan
minimum. Oleh karena itu cahaya sebagai faktor pembatas dan pengontrol.
Intensitas cahaya mengontrol seluruh ekosistem melalui pengaruhnya pada
produksi primer. Setiap tanaman memerlukan kondisi lingkungan yang
sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi lingkungan
tempat tanaman berada selalu mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap tanaman memiliki faktor pembatas dan daya toleransi terhadap
lingkungan (Purwadi, 2011 dalam Nio Song & Banyo, 2011)).

146
VI. KESIMPULAN

1. Metode Point Center Quarter merupakan metode pengukuran jarak dari


titik sampling ke tanaman (pohon) terdekat dalam tiap quarter.

2. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan 10 spesies tumbuhan, spesies


yang mendominasi yaitu Lonchocarpus sericius.

3. Spesies Lonchocarpus sericius memiliki individu berjumlah 6 dengan


KR sebesar 40,78%, FR bernilai 25,19% dan NP bernilai 65,97%.

4. pesies tumbuhan yang paling sedikit ditemukan yaitu Ceiba pentandra


dan 8 spesies lainnya dengan NP terendah yaitu 14,89 %.

5. Indeks keanekaragaman tumbuhan lokasi pengamatan yaitu H’ bernilai


2,08 artinya tergolong sedang karena 1<H’<3.

6. INP merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya


peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya.

7. Faktor pembatas pada pengamatan dengan metode point center quarter


ini seperti intensitas cahaya, suhu dan air

VII. DAFTAR PUSTAKA

Agustina. (2004). Dasar Nutrisi Tanaman. Jakarta: Rineka Cipta.

Bayo, Nio Song. (2011). Konsentrasi Klorofil Daun Sebagai Indikator


Kekurangan Air pada Tanaman. Jurnal Ilmiah Sains, 11(2).

Dennis, C. (2017). Sloanea rufa. Diakses melalui


https://plantidtools.fieldmuseum.org pada tanggal 6 Maret 2023

Handayani, T. (2010). Hand Out Ekologi. Yogyakarta: Universitas Ahmad


Dahlan.

Hardiansyah. (2018). Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Universitas


Lambung Mangkurat.
John, M. (2017). Dodonaea viscosa. Diakses melalui
https://keys.lucidcentral.org pada tanggal 6 Maret 2023

147
Kurniyati, R., Biduman, B., & Suartana, M. (2010). Pengaruh Media dan
Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni Merr). Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 7(2): 77-83.

Lorenzi, H. (2008). Lonchocarpus sericeus. Diakses melalui


https://www.flickr.com pada tanggal 6 Maret 2023

Melati. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Morad. (2011). Antidesma ghaesembilla. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org pada tanggal 6 Maret 2023.

Mores. (2013). Calophyllum inophyllum. Diakses melalui


https://plantmor.com pada tanggal 6 Maret 2023

Naswandi. (2021). Tanaman Herba Legundi atau Vitex trofolia Miliki


Mnafaat Kesehatan Mulai Dari Daun Hingga Akar. Diakses melalui
https://jurnalpalopo.pikiran-rakyat.com pada tanggal 6 Maret 2023

Robin. (2017). Ceiba petandra. Diakses melalui


https://plantidtools.fieldmuseum.org pada tanggal 6 Maret 2023

Ronald. (2018). Nauclea orientalis. Diakses melalui https://plantmor.com


pada tanggal 6 Maret 2023

Sains. (2016). Podonaea visasa. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org pada tanggal 6 Maret 2023

Sandi. (2020). Anddesma platyphylum. Dianses melalui


https://www.smugsmug.com pada tanggal 6 Maret 2023.

148
PRAKTIKUM VII

Topik : Komunitas Herba Daerah Terdedah dan Ternaung


Tujuan : Untuk mengetahui apakah komunitas herba diantara daerah
terdedah dan ternaung berbeda
Hari/Tanggal : Rabu/ 22 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I.ALAT BAHAN
A. Alat:

1. Tali rafia 9. Alat tulis


2. Gunting 10. Alat dokumentasi
3. Paku 11. Alat parameter:
4. Palu a. 4 in 1 (Anemometer dan
5. Meteran Luxmeter)
6. Plastik sampel b. Soil tester
7. Plastik merah c. Hygrometer
8. Kertas label d. Termometer

B. Bahan
1. Sisik betok tiga bunga (Grona trifloral)
2. Rumput centipede umum (Eremochloa ophiuroides)
3. Sengkuang cina (Eleocharis dulcis)
4. Rumput Corex (Corex digitata L)
5. Teki ladang (Cyperus rotundus)
6. Kubis kantung gembala (Dendrobium Jacobsonii)
7. Rumput Lindernia (Lindernia ciliate)
8. Rumput kerbau (Paspalum conjugatum)
9. Rumput pendul (Cyperus brevifolius)
10. Tanaman artileri (Pilea microphyllaai L)
11. Rumput setaria (Setaria shacelata)

149
12. Rumput lading (Cyrtococcun patent)
13. Rumput bambu (Lophatheri gracile)

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Menentukan plot dengan luas sesuai dengan perhitungan plot minimal
untuk herba.
3. Mengadakan replikasi sebanyak 3-5 plot untuk masing-masing area
dengan ukuran plot sesuai dengan ukuran plot sesuai area minimal plot
didapatkan,
4. Melakukan data parameter lingkungan dan mencatat hasil pengamatan.
5. Mengidentifikasi tumbuhan yang ditemukan
6. Mencatat nama spesies dan penutupan nama spesies.
7. Menghitung kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan nilai
penting (NP).

III. TEORI DASAR


Dalam setiap tipe habitat, kelompok spesies tertentu secara bersama-
sama membentuk suatu komunitas. Anggota komunitas secara bersama-sama
berbagi dalam mendapatkan matahari, air, tanah dan nutrien untuk
menghasilkan biomassa. Mereka mendaur ulang nutrien dari tanah ke
jaringan hidup dan kembali lagi ke tanah, mereka satu sama lain hidup
bergantian dalam waktu dan ruang.
Umumnya terdapat gradien kenaikan diversitas spesies dari kutub ke
equator, dan dari elevasi tinggi ke rendah. Gradien ini mengikuti gradien
lingkungan yang kompleks, seperti perubahan suhu, tinggi tempat dan lain-
lain.
Komunitas yang stabil (meluas secara regional) dan homogen
memperlihatkan diversitas secara lebih rendah daripada komunitas yang
terdiri atas bentuk mosaik atau secara setempat diganggu pada waktu yang
berbeda di masa lampau oleh hempasan angin, api, penyakit dan lain-lain.

150
Setelah gangguan, kemudian diikuti kenaikan diversitas sesuai dengan waktu
sampai suatu titik dimana didominasi oleh sedikit spesies yang mampu hidup
lama dan berukuran besar yang mengakibatkan diversitas turun.
Banyak cara yang dipakai dalam kajian ekologi. Salah satu kajian
yaitu dengan mengadakan pengamatan dan membandingkan dua lokasi yang
diharapkan merupakan dua komunitas/ekosistem yang berbeda. Dari kedua
lokasi ini dapat diperbandingkan menurut densitas suatu spesies yang dipilih,
atau indeks diversitas dua area atau komunitas tersebut.
Densitas adalah jumlah individu suatu spesies persatuan luas (m2
atau ha) Atau per area cuplikan. Dominasi adalah persentasi penutupan suatu
spesies per luas area dan frekuensi adalah kekerapan suatu jenis terdapat dari
seluruh plot yang diambil. Nilai penting adalah merupakan penjumlahan dari
densitas relatiif, dominansi relatif dan frekuensi relatif. Menurut Cox (1978)
bahwa rumus yang digunakan adalah:
Kerapatan: Jumlah individu suatu spesiesLuas area
Kerapatan Relatif (KR): Kerapatan suatu spesiesTotal kerapatan seluruh
spesies ×100%
Dominansi: Presentase penutupan suatu spesiesLuas area
Dominansi Relatif (DR): Dominansi suatu spesiesTotal dominansi seluruh
spesies ×100%
Frekuensi: Jumlah plot dimana suatu spesies terdapatTotal seluruh plot
Frekuensi Relatif (FR): Frekuensi suatu spesiesTotal frekuensi seluruh
spesies ×100%
Nilai Penting (NP): KR+DR+FR
Perhitungan indeks diversitas dapat dihitung menurut rumus
Shonnon Winner yaitu:
H= - pi log pi x 3.32
Keterangan: pi = nN
n = Nilai penutupan atau nilai penting suatu spesies
N= Jumlah penutupan seluruh spesies atau jumlah nilai penting
seluruh spesies.

151
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan Terdedah
Titik K
F
∑ (Individ
Nama ∑ (Cupli (-) Pi ln
No Nama Spesies Nama Ilmiah Indiv u/ luas KR % FR % NP% Pi
Lokal 1 2 3 Cup kan/tit Pi
idu area*titi
ik)
k)
Sisik Betok
1 Sisik betok Grona triflora 9 8 8 25 3 8,33 25,00 1,00 10,00 35,00 0,25 0,35
tiga bunga
Rumput
Rumput Eremochloa
2 centipede 8 4 5 17 3 5,67 17,00 1,00 10,00 27,00 0,17 0,30
kelabang ophiuroides
umum
Sengkuang Eleocharis
3 Purun tikus 4 5 2 11 3 3,67 11,00 1,00 10,00 21,00 0,11 0,24
cina dulcis
Rumput Corex digitata
4 Rumput Corex 3 8 4 15 3 5,00 15,00 1,00 10,00 25,00 0,15 0,28
bunga bulat L.
Rumput Cyperus
5 Teki ladang 3 4 1 8 3 2,67 8,00 1,00 10,00 18,00 0,08 0,20
ladang rotundus
Rumput Kubis kantung Dendrobium
6 4 0 0 4 1 1,33 4,00 1,00 10,00 14,00 0,04 0,13
kubis gembala Jacobsonii
Rumput Lindernia
7 Rumput liar 3 1 1 5 3 1,67 5,00 1,00 10,00 15,00 0,05 0,15
Lindernia ciliate
Rumput Rumput Paspalum
8 4 0 1 5 2 1,67 5,00 1,00 10,00 15,00 0,05 0,15
sapi kerbau conjugatum

152
Rumput Rumput Cyperus
9 0 2 6 8 2 2,67 8,00 1,00 10,00 18,00 0,08 0,20
pendul pendul brevifolius
Pilea
Rumput tanaman
10 microphyllaai 0 2 0 2 1 0,67 2,00 1,00 10,00 12,00 0,02 0,08
daun bulat artileri
L
200,0
∑ 38 34 28 100 24 33,33 100,00 10 100,00 1,00 2,09
0

Indeks Keanekaragaman

H’ < 1 Rendah

1 < H’ < 3 Sedang

H’ > 3 Tinggi (Sumber: Shannon Wiener, 1948)

Jadi, keanekaragaman Komunitas Herba Terdedah tergolong sedang karena 1< H’ < 3, yakni 2,09

153
2. Tabel Hasil Pengamatan Ternaung
K
Titik F
∑ (Individ (-)
Nama Nama (Cupli
No Nama Ilmiah Indivi ∑ Cup u/ luas KR % FR % NP % Pi Piln
Lokal Spesies kan/tit
1 2 3 du area*titi Pi
ik)
k)
Kumpai Rumput Setaria
4 0 0 4 1 1,33 19,00 1,00 25,00 44,00 0,19 0,32
1 setaria setaria shacelata
Kumpai Rumput Cyrtococcun
5 6 0 11 2 3,67 52,00 1,00 25,00 77,00 0,52 0,34
2 lading lading patent
Sisik betok Sisik Betok Grona triflora
4 0 0 4 1 1,33 19,00 1,00 25,00 44,00 0,19 0,32
3 tiga bunga
Kumpai Rumput Lophatheri
0 0 2 2 1 0,67 10,00 1,00 25,00 35,00 0,10 0,22
4 bambu bambu gracile
∑ 13 6 2 21 5 7,00 100,00 4,00 100,00 200,00 1,00 1,19

Indeks Keanekaragaman
H’ < 1 Rendah
1 < H’ < 3 Sedang
H’ > 3 Tinggi

(Sumber: Shannon Wiener, 1948)

Jadi, keanekaragaman hewan Komunitas Herba Ternaung tergolong sedang karena 1< H’ < 3, yakni 1,19

154
3. Perhitungan
a. Terdedah

1) Muehlenbeckia complexa

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

25
K= = 8,33 Individu/Titik
3

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

8,33
KR= × 100 = 0,25 %
100
∑Cup
F = = … cup/titik
titik
5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik
𝐹
FR = ∑F× 100% = … %
1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP = KR + FR = …. %
NP= 0,25+0,10 =0,35%
𝑛
Pi = N = ….
25
Pi= 100 =0,25

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,25) ×Ln (0,25) = 0,35

2) Setoria shielata

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

17
K= = 5,67 Individu/Titik
3

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

5,67
KR= × 100 = 0,17 %
100

155
∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP = KR + FR = …. %

NP= 0,17+0,10 =0,27%


𝑛
Pi = = ….
N
17
Pi= 100 =0,17

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …

−PiLnPi= (−0,17) ×Ln (0,17) = 0,30

3) Eleocharis multicaulis

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

11
K= = 13,67 Individu/Titik
3

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

13,67
KR= × 100 = 0,11 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

156
1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,11+0,10 =0,21%


𝑛
Pi = N = ….
11
Pi= 100 = 0,11

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,11) ×Ln (0,11) = 0,24

4) Carex digitata

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

15
K= = 5,00 Individu/Titik
3

𝐾
KR= × 100 %= …%
∑K

5,00
KR= × 100 = 0,15 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,15+0,10 =0,25%


𝑛
Pi = N = ….

157
15
Pi= 100 =0,15

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,15) ×Ln (0,15) = 0,28

5) Cyperus articulatus

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

8
K= 3 = 2,67 Individu/Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

2,67
KR= × 100 = 0,08 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,08+0,10 =0,18%


𝑛
Pi = N = ….
8
Pi= =0,08
100

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,08) ×Ln (0,08) = 0,20

158
6) Callitriche brutia

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

4
K= 3 = 1,33 Individu/Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

1,33
KR= × 100 = 0,04 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

1
F= = 1,00cuplikan/titik
3

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,04+0,10 =0,14%


𝑛
Pi = N = ….
4
Pi= 100 =0,04

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,04) ×Ln (0,04) = 0,13

7) Lindernia ciliata

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

5
K= 3 = 1,67 Individu/Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

159
1,67
KR= × 100 = 0,05 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,05+0,10 = 0,15%


𝑛
Pi = N = ….
5
Pi= 100 =0,05

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,05) ×Ln (0,05) = 0,15

8) Paspalum conjugatum

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

1,67
KR= × 100 = 0,05 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

2
F= = 1,00 cuplikan/titik
3

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

160
NP= KR + FR = … %

NP= 0,05+0,10 = 0,15%


𝑛
Pi = N = ….
5
Pi= =0,05
100

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,05) ×Ln (0,05) = 0,15

9) Kyilinga brevifolia

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

8
K= 3 = 2,67 Individu/Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

2,67
KR= × 100 = 0,08 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

2
F= = 1,00 cuplikan/titik
3

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,08+0,10 = 0,18%


𝑛
Pi = N = ….
8
Pi= 100 =0,08

161
−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …
−PiLnPi= (−0,08) ×Ln (0,08) = 0,20

10) Pilea mikrophyllai

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

2
K= 3 = 0,67 Individu/Titik

𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

0,67
KR= × 100 = 0,02 %
100

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

1
F= = 1,00cuplikan/titik
3

𝐹
FR = ∑F× 100% = … %

1
FR= 10 × 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,02+0,10 =0,12


𝑛
Pi = N = ….
2
Pi= 100 =0,02

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,02) ×Ln (0,02) = 0,08

162
b. Ternaung

1. Setaria shacelat

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik

K= 1,33 Individu/Titik
𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

1,33
KR= × 100 = 0,19 %
7,00

∑Cup
F = = … cup/titik
titik

5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik

𝐹
FR = × 100% = … %
∑F

1
FR= 10× 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %

NP= 0,19 +0,10 =0,44%


𝑛
Pi = N = ….

4
Pi= 21 =0,19

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,19) ×Ln (0,19) = 0,32

2. Cyrtococcun patent

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik
11
K= = 3,67 Individu/Titik
3
𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%

163
3,67
KR= × 100 = 0,52 %
7,00
∑Cup
F = = … cup/titik
titik
5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik
𝐹
FR = × 100% = … %
∑F
1
FR= 10× 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %
NP= 0,52 +0,10 =0,77%
𝑛
Pi = N = ….
11
Pi= 21 =0,52

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,52) ×Ln (0,52) = 0,34

3. Grona trifloral

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik
4
K= 3 = 1,33 Individu/Titik
𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%
1,33
KR= × 100 = 0,19 %
7,00
∑Cup
F = = … cup/titik
titik
5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik
𝐹
FR = ∑F× 100% = … %
1
FR= 10× 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %
NP= 0,19 +0,10 =0,44%
𝑛
Pi = = ….
N
4
Pi= 21 =0,19

164
−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) =
−PiLnPi= (−0,19) ×Ln (0,19) = 0,32

4. Comelina citffusa

∑𝐼𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
K = = …. Ind/titik
Titik
2
K= 3 = 0,67 Individu/Titik
𝐾
KR= ∑K × 100 %= …%
0,67
KR= 7,00× 100 = 0,10 %
∑Cup
F = = … cup/titik
titik
5
F= 3 = 1,00 cuplikan/titik
𝐹
FR = ∑F× 100% = … %
1
FR= 10× 100 = 0,10%

NP= KR + FR = … %
NP= 0,10 +0,10 =0,35%
𝑛
Pi = N = ….
2
Pi= 21 =0,10

−PiLnPi= (−Pi) ×Ln (Pi) = …


−PiLnPi= (−0,10) ×Ln (0,10) = 0,22

165
B. Tabel Parameter
Pengukuran
No. Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Min: Min: Min: Min:
Intensitas >20000 >20000 >20000 >20000
Lux
Cahaya Max: Max: Max: Max:
1.
4 in 1 >20000 >20000 >20000 >20000
Min: 0,0
Kecepatan Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0
M/s Max: 1,6-
Angin Max: 2,3 Max: 2,6 Max:1,6
2,6
pH Tanah 6,9 7 7,5 6,9-7,5
2.
Soiltester Kelembaban
% 100 100 100 100
Tanah

3. Kelembaban
Hygrometer % 63 56 49 49-63
Udara
4.
Termometer Suhu Udara C˚ 32,5 32,5 31 31-32,5

166
C. Foto Pengamatan

1. Terdedah

No Nama Lokal Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur


Spesies

1 Sisik betok Sisik Grona


Betok triflora
tiga
bunga

(Sumber: Ohashi, 2018)


(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023)
2 Alang Rumput Carex
terjumbai kucai pendula

(Sumber: Zika, 2021)

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)
3 Kumpai Rumput Fimbristylis
papayungan delapan dichotoma
hari

167
(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023) (Sumber: Polain, 2023)
4 kumpai air Rumput Poa annua
padang

(Sumber: Lamb, 2023)


(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023)
5 Kumpai Rumput Cyperus
segitiga teki polystachyos

168
(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023)

(sumber: Tasney, 2020)


6 Kumpai Rumput Murdannia
hutan tapak nudiflora
burung

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023) (Sumber: Horne, 2018)
7 Kumpai Rumput Haloragis
perunggu perunggu erecta

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023) (Sumber: Smale, 2021)

169
8 Kumpai Rumput Axonopus
paitan gajah compresus

(Sumber: Lou, 2020)

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)
9 Kumpai Rumput
Cyperus
ujung paku pendul
brevifolius

(Sumber: Schaefer,
2022)

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)
10 kumpai Akar Pilea
katumpangan nasi microphyllaai
L

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023) (Sumber: Gómez, 2021)

170
2. Ternaung

No Nama Nama Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur


Lokal Spesies
1 Kumpai Rumput Luzula pilosa
kandang

(Sumber: Dok.
Kelompok III, 2023) (Sumber: Seregin,
2020)

2 Cyrtococcun
Kumpai Rumput
patent
lading lading

(Sumber: Dok. (Sumber: Suknia, 2022)


Kelompok III, 2023)

3 Sisik betok Sisik Betok


Grona triflora
tiga bunga

(Sumber: Ohashi, 2018)


(Dok. Kelompok 3)

171
4 Kumpai Rumput Lophatheri
bambu bambu gracile

(Sumber: Cyanided,
(Sumber: Dok. 2020)
Kelompok III, 2023)

172
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik Komunitas herba
daerah ternaung dan terdedah memiliki tujuan untuk mengetahui apakah
komunitas herba antara daerah ternaung dan terdedah berbeda. Alat dan
bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah paku yang digunakan
untuk membuat plot, roll meter/meteran jahit digunakan untuk mengukur
plot yang akan digunakan sebanyak 3 plot dengan ukuran 1x1 meter, tali
rapia digunakan untuk membuat plot. Cara kerja yang digunakan dalam
praktikum ini adalah dengan menentukan lokasi untuk dijadikan plot,
mengukur plot dengan ukuran 1x1 meter menggunakan roll meter/meteran
jahit, membuat 3 plot dengan paku dan tali rapia, mengamati tumbuhan
herba yang terdapat didalam plot, kemudian mengambil sampel untuk
diamati tumbuhannya (Dharmono et al, 2023). Tumbuhan tingkat herba
merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh dan berkembang dengan baik
pada kondisi lingkungan yang tidak ternaungi dan memiliki cahaya matahari
yang cukup.
Dalam setiap tipe habitat, kelompok spesies tertentu secara
bersama-sama membentuk suatu komunitas. Anggota komunitas secara
bersama-sama berbagi dalam mendapatkan sinar matahari, air tanah, dan
nutrient untuk menghasilkan biomassa. Mereka mendaur ulang nutrient dari
tanah ke jaringan hidup dan Kembali lagi ke tanah, mereka satu sama lain
hitup bergantian dalam waktu dan ruang. Komunitas yang stabil (meluas
secara regional) dan homogen memperlihatkan diversitas secara lebih
rendah dari pada komunitas yang terdiri atas bentuk mosaik atau secara
setempat diganggu pada waktu yang berbeda di masa lampau oleh
hempasan angin, api, penyakit dan lain lain. Setelah gangguan, kemudian
diikuti kenaikan diversitas sesuai dengan waktu sampai suatu titik di mana
didominasi oleh sedikit spesies yang mampu hidup lama dan berukuran
besar yang mengakibatkan diversitas turun (Dharmono et al, 2023).
Vegetasi atau komunitas secara dramatis berbeda-beda dalam
kekayaan spesiesnya (speciesrichness), jumlah spesies yang mereka miliki.

173
Mereka juga berbeda dalam hubungannya dengan kelimpahan relatif
(relative abundance) spesies. Beberapa komunitas terdiri dari beberapa
spesies yang umum dan beberapa spesies yang jarang, sementara yang
lainnya mengandung jumlah spesies yang sama dengan spesies yang
semuanya umum ditemukan (Campbell,2004). Menurut Cox (1978),
menyatakan bahwa rumus yang digunakan meliputi kerapatan, kerapatan
relative, dominansi, dominansi relative, frekuensi, frekuensi relative, nilai
penting (NP) dan perhitungan indeks diversitas dapat dihitung menurut
rumus Shannon Wiener (1948) yaitu H’ sebagai indeks keanekaragaman.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa semua spesies
yang diamati di lokasi pengamatan hutan pantai Tabanio. Pada komunitas
herba terdedah Grona trifloral adalah jenis tumbuhan yang memiliki
kerapatan relative tertinggi sebesar 25,00. Memiliki nilai frekuensi relatif
yang sama dengan jenis tumbuhan lainnya yaitu 10,00, dan nilai penting
tertinggi sebesar 35,00. Sedangkan jenis tumbuhan yang memiliki nilai KR,
FR, dan Nilai Penting terendah di daerah terdedah adalah Pilea
microphyllaai L dengan kerapatan relatif 2,00., frekuensi relatif 10,00., dan
Nilai Penting sebesar 12,00. Pada daerah ternaung jenis tumbuhan yang
memiliki nilai KR, FR dan Nilai Penting tertinggi adalah Cyrtococcun
patent dengan kerapatan relatif 52,00., frekuensi relatif 25,00., dan Nilai
Penting sebesar 77,00. Jenis tumbuhan yang memiliki nilai KR, FR, dan
Nilai Penting terendah di daerah ternaung adalah Lophatheri gracile dengan
kerapatan relatif 10,00., frekuensi relatif 25,00., dan Nilai Penting sebesar
35,00. Nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan nilai penting yang tinggi
bisa saja disebabkan kemampuan beradaptasi suatu jenis tanaman terhadap
lingkungannya. Pernyataan ini diungkapkan oleh Soegianto (1994)
kehadiran suatu spesies tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan
kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap
kondisi lingkungan. Begitupun sebaliknya, jenis tumbuhan yang memiliki
nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan nilai penting terendah sulit
untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

174
Menurut Seameo Biotrop (2013), umumnya spesies yang memiliki
nilai INP yang tinggi mampu tumbuh dan berkembang di kawasan yang
memiliki suhu tanah dan tingkat pH tanah yang tinggi, hal ini sesuai dengan
Kawasan praktikum yang memiliki tingkat pH yang berkisar antara 6,9
sampai 7,5. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Foth (1991) dengan
keberadaan unsur hara tersebut dicerminkan dengan tingginya kadar Daya
Hantar Listrik (DHL) yaitu 631 dan pH tanah yang cenderung netral (6,4
dan 6,5). Tingginya kadar DHL berarti jumlah anion dan kation cukup
besar, sedangkan pH netral mencerminkan kondisi tanah telah stabil.
Spesies tumbuhan yang memiliki Indeks nilai penting yang lebih tinggi dari
yang lainnya juga dikarenakan spesies tumbuhan tersebut cukup
mendominasi pada beberapa stasiun dan menyebabkan nilai dominansinya
tinggi. Spesies tumbuhan yang memiliki INP yang tinggi umumnya
menyebar pada seluruh stasiun penelitian. Semakin tinggi nilai indeks
diversitas suatu vegetasi maka jumlah jenis akan semakin banyak
(beranekaragam), demikian sebaliknya, yaitu semakin rendah indeks
diversitas suatu vegetasi maka jumlah jenis sedikit, sehingga jenis-jenis
yang tumbuh menjadi lebih seragam (Odum, 1996).

VI. KESIMPULAN
1. Beberapa komunitas terdiri dari beberapa spesies yang umum dan
beberapa spesies yang jarang.
2. Anggota komunitas secara bersama-sama berbagi dalam mendapatkan
sinar matahari, air tanah, dan nutrient untuk menghasilkan biomassa
3. Komunitas yang stabil (meluas secara regional) dan homogen
memperlihatkan diversitas secara lebih rendah dari pada komunitas yang
terdiri atas bentuk mosaic.
4. Nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan nilai penting yang tinggi bisa
saja disebabkan kemampuan beradaptasi suatu jenis tanaman terhadap
lingkungannya.

175
5. Spesies yang memiliki nilai INP yang tinggi mampu tumbuh dan
berkembang di kawasan yang memiliki suhu tanah dan tingkat pH tanah
yang tinggi
6. Spesies tumbuhan yang memiliki INP yang tinggi umumnya menyebar
pada seluruh stasiun penelitian.
7. semakin rendah indeks diversitas suatu vegetasi maka jumlah jenis
sedikit, sehingga jenis-jenis yang tumbuh menjadi lebih seragam.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Banda Aceh. Prosiding Seminar Nasional Biotik 2022 Volume 10, No 1, Ed.
Juni 2022. Ftk Uin Ar-Raniry Banda Aceh. Aceh.
Cyanided. (2020). Lophatherum Gracile. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/43594484 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Dharmono., Et Al. (2023). Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan.
Banjarmasin: Cv Batang.
Polain, Julien. (2023). Fimbristylis Dichotoma. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/147947816 Pada
Tanggal 28 Maret 2023.
Gómez, Edgar. (2021). Pilea Microphylla. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/92421511 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Hapsari, Agustina Tri., Et Al. (2018). Pertumbuhan Batang, Akar Dan Daun
Gulma Katumpangan (Pilea Microphylla (L.) Liebm.). Volume 3
Nomor 1 Februari 2018. Departemen Biologi, Fakultas Sains Dan
Matematika, Universitas Diponegoro. Semarang.
Horne, Howard. (2018). Murdannia Nudiflora. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/14176761 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Lamb, Eric. (2023). Poa Annua. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/146122506 Pada
Tanggal 31 Maret 2023.
Lou, Cherlie. (2020). Axonopus Compresus. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/65888295 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.

176
Lutfiya, Fina., Et Al. (2012). Laporan Ekologi Indeks Diversitas Komunitas
Tumuhan Herba Pada Area Ternaung Dan Terdedah Di Kawasan
Perumahan Ayodya, Gunung Pati, Semarang. Diakses Melalui
Https://Www.Academia.Edu/23890758/Laporan_Ekologi_Indeks
_Diversitas_Komunitas_Tumbuhan_Herba_Pada_Area_Ternaung
_Dan_Terdedah_Di_Kawasan_Perumahan_Ayodya_Gunung_Pati
_Semarang Pada 28 Maret 2023.
Mahfuza, Nadila., Et Al. (2022). Jenis Tumbuhan Yang Terdapat Dibawah
Naungan Tumbuhan Trembesi (Samanea Saman) Di Kampus Uin
Ar-Raniry.
Muslich Hidayat. Analisis Vegetasi Dan Keanekaragaman Tumbuhan Di
Kawasan Manifestasi Geotermal Ie Suum Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik, Issn: 2337-9812, Vol. 5, No.
2, Ed. September 2017, Hal. 114-124
Nahdi, Maizer Said., Et Al. (2014). Struktur Komunitas Tumbuhan Dan
Faktor Lingkungan Di Lahan Kritis, Imogiri Yogyakarta. J.
Manusia Dan Lingkungan, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 67-74
Ohashi, H. And Ohashi, K. (2018) Grona, A Genus Separated From
Desmodium (Leguminosae Tribe Desmodieae). Journal Of
Japanese Botany 93:104–120.
Rahmawati, Elin. (2014). Laporan Ekologi: Nilai Penting Komunitas Herba
Di Kawasan Kebun Bilogi Unnes. Diakses Melalui
Https://Www.Academia.Edu/9480509/Nilai_Penting_Komunitas_
Tumbuhan_Herba_Di_Kawasan_Kebun_Biologi_Unnes Pada 28
Maret 2023.
Schaefer, Hanno. (2022). Cyperus Brevifolius. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/133513913 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.

Seregin, Alexey P. (2020). Luzula Pilosa. Diakses Melalui


Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/40068687 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Silalahi, Marina & Mustaqim, Wendy A. (2021). Tumbuhan Berbiji Di
Jakarta Jilid 2: 100 Jenis-Jenis Nonpohon Terpilih. Uki Press.
Jakarta.
Smale, Mark. (2021). Haloragis Erecta. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/89868750 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Suknia. (2022). Cyrtococcun Patent. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org Pada Tanggal 05 Maret 2023.

177
Tasney. (2018). Cyperus Polystachyos. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/52239723 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.
Zika, Peter. (2021). Carex Pendula. Diakses Melalui
Https://Www.Inaturalist.Org/Observations/80424045 Pada
Tanggal 05 Maret 2023.

178
PRAKTIKUM VIII

Topik : Struktur Populasi


Tujuan : Untuk menentukan struktur umur populasi tumbuhan dalam suatu
komunitas
Hari/Tanggal : Selasa/ 21 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT BAHAN

A. Alat

1. Plastik sampel 7. Parameter:

2. Kertas label a. 4 in 1 (Anemometer dan


Luxmeter)
3. Kantong merah
b. Soil tester
4. Parang c. Hygrometer

5. Alat tulis d. Termometer

6. Alat dokumentasi

B. Bahan

1. Pohon Brunei (Antidesma ghaesembilla)

2. Pohon Laban (Vitex pinnata)

3. Pohon Bangkal (Nauclea orientalis)

II. CARA KERJA

1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.

2. Memilih dan menentukan lokasi yang akan digunakan untuk


pengamatan.

179
3. Menentukan 1 buah pohon sejenis yang terdapat bunga, buah, anakan
dan pohon muda, dewasa dan tua.

4. Membuat plot di bawah pohon tersebut dengan ukuran 10 x 10 m


untuk mengamati jumlah pohon Pra-reprodukti, Reproduktif, Post-
reproduktif, bunga, daun dan buah.

5. Membuat plot ukuran 1 x 1 m di dalam plot 10 x 10 m tersebut untuk


mengamati pohon. Kemudian buatlah masing-masing 3 buah plot
secara diagonal.

6. Mengukur parameter lingkungan.

7. Mengamati dan mengidentifikasii tiap-tiap pohon dari Pra-reprodukti,


Reproduktif, Post-reproduktif, bunga, daun dan buah kemudian
dimasukkan ke dalam plastic sampel dan memberi label.

8. Mencatat dan mendokumentasikan hasil pengamatan.

III. TEORI DASAR

Populasi merupakan kelompok kolektif organisme dari spesies sama


yang menduduki tempat tertentu. Struktur populasi tumbuhan merupakan
susunan populasi tumbuhan yang ada pada suatu tempat. Kawasan hutan
pantai Tabanio adalah kawasan yang digunakan oleh masyarakat sebagai
lahan pertanian, perkebunan, dan pariwisata (Susanto et al., 2019). Struktur
populasi menurut Saputra (2007) dalam Fitriani et al. (2019), didefinisikan
sebagai suatu stratifikasi umur dalam populasi seperti pra-reproduktif,
reproduktif, dan post reproduktif. Kajian ini umumnya didasarkan pada
ukuran tinggi dan diameter batang yang menggambarkan struktur tumbuhan
dalam populasi.

Sifat-sifat dari populasi adalah kerapatan, mortalitas, natalitas,


penyebaran umur populasi, potensi biotik, dan bentuk pertumbuhan dan
perkembangan. Kajian struktur populasi sangat penting dalam menganalisa
status dan keberadaan suatu populasi, sehingga upaya penanggulangan

180
kerusakan populasi di habitat dapat dikurangi. Menurut Subahar (1998) dalam
Susanto et al. (2019), struktur populasi dipengaruhi oleh empat faktor
diantaranya pertama, natalitas, yaitu kemampuan suatu populasi untuk
menambah keturunannya. Kedua, mortalitas, yaitu banyaknya individu yang
mati di dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan tingkat kematian spesifik
dan dihitung berdasarkan ekologis, total populasi, atau bagian populasi.
Ketiga, habitat yang baik untuk keberlangsungan hidup pohon, yaitu tempat
hidup yang cukup nutrisi dan air serta kemampuan beradaptasi yang baik.
Keempat, aktivitas manusia, seperti penebangan pohon yang mempengaruhi
populasi.

181
IV. HASIL PENGAMATAN

A. Tabel Hasil Pengamatan

1. Tabel Pengamatan

Nama
No Nama lokal Nama Ilmiah Fase ∑ind K(ind/ha)
Spesies

Pra-
40 235,29
reproduktif
Antidesma
1 Andi-andi Brunei Reproduktif 26 152,94
ghaesambilla
Post
3 17,65
reproduktif
Pra-
20 117,65
reproduktif
2 Halaban Laban Vitex pinnata Reproduktif 20 117,65
Post
2 11,76
reproduktif
Pra-
34 200,00
reproduktif
Nauclea
3 Bangkal Bangkal Reproduktif 20 117,65
orientalis
Post
2 11,76
reproduktif
∑ 167 982,35

182
2. Perhitungan

1. Antidesma ghaesambilla

Prareproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


40/10×10×17×10.000= 235,29 ind/ha

Reproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 = 26/10×10×17×10.000=


152,94 ind/ha

Postreproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


3/10×10×17×10.000= 17,65 ind/ha

2. Vitex pinnata

Prareproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


20/10×10×17×10.000= 117,65 ind/ha

Reproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 = 20/10×10×17×10.000=


117,65 ind/ha

Postreproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


2/10×10×17×10.000= 11,76 ind/ha

3. Nauclea orientalis

Prareproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


34/10×10×17×10.000= 200,00 ind/ha

Reproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 = 20/10×10×17×10.000=


117,65 ind/ha

Postreproduktif = ∑ind/L.area×titik × 10.000 =


2/10×10×17×10.000= 11,76 ind/ha

183
3. Piramida

1. Andi - andi/Brunei/Antidesma ghaesambilla

Fase kerapatan Data


Pra-reproduktif (235,29
ind/ha) -20 20 40
Reproduktif (152,94 ind/ha) -13 13 26
Post-reproduktif (17,65
ind/ha) -1,5 1,5 3

Post-reproduktif (17,65 ind/ha)

Reproduktif (152,94 ind/ha)

Pra-reproduktif (235,29 ind/ha)

Fase

-30 -20 -10 0 10 20 30

Berdasarkan, bentuk piramida di atas, piramida dengan bentuk dasar


piramida luas memiliki ciri – ciri jumlah populasi prareproduktif
lebih besar dari reproduktif dan postreproduktif.

2. Halaban/Laban/Vitex pinnata

Fase Kerapatan data


Pra-reproduksi (117,65
ind/ha) -10 10 20
Reproduksi (117,65 ind/ha) -10 10 20
Post-Reproduksi(11,76
ind/ha) -1 1 2

184
Post-Reproduksi(11,76ind/ha)

Reproduksi (117,65ind/ha)

Pra-reproduksi (117,65ind/ha)

Fase

-15 -10 -5 0 5 10 15

Berdasarkan, bentuk piramida di atas, piramida dengan bentuk dasar


piramida luas memiliki ciri – ciri jumlah populasi prareproduktif
lebih besar dari reproduktif dan postreproduktif.

3. Bangkal/Bangkal/ Nauclea orientalis

Fase Kerapatan Data


Pra-reproduksi (200,00
ind/ha) -19,5 19,5 39
Reproduksi (117,65 ind/ha) -10,5 10,5 21
Post-Reproduksi(11,76
ind/ha) -1 1 2

185
Post-Reproduksi(11,76ind/ha)

Reproduksi (117,65ind/ha)

Pra-reproduksi (200,00ind/ha)

Fase

-30 -20 -10 0 10 20 30

Berdasarkan, bentuk piramida di atas, piramida dengan bentuk dasar


piramida luas memiliki ciri – ciri jumlah populasi prareproduktif lebih
besar dari reproduktif dan postreproduktif.

186
B. Tabel Parameter

Pengulangan
No. Nama alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Min: Min: Min: Min:
186 357 346 186-357
Lux meter Intensitas
Lux Max:
cahaya Max: Max: Max:
1.331-
2.190 1.787 1.331
1. 4 in 1 2.190
Min: Min: Min:
Min: 0,0
Kecepatan 0,0 0,0 0,0
Anemometer m/s
angin Max: Max: Max: Max: 0,0-
0,0 0,3 0,7 0,7
pH tanah - 5,4 5,6 5,2 5,2-5,6
2. Soil tester Kelembaban
% 52 50 58 50-58
tanah
Kelembaban
3. Higrometer % 73 73 74 73-74
udara
4. Termometer Suhu udara ˚C 29 29 29 29

187
C. Foto Pengamatan

Nama Nama
No Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies
1. Andi- Brunei Antidesma Pra-reproduktif Prareproduktif
andi ghaesembilla

(Sumber:
Dok.Angkatan (Sumber : Ajmiati, 2014)
2020,2023)
Reproduktif
Reproduktif

(Sumber : Asita, 2014)

(Sumber :
Dok.Angkatan
2020,2023)
Post reproduktif

Post reproduktif

188
Nama Nama
No Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies

(Sumber : Basrowi et al,


2018)
(Sumber :
Dok.Angkatan
2020,2023)

2. Halaban Laban Vitex pinatta Pra-reproduktif Pra reproduktif

(Sumber : Larasati et al.,


2013)

(Sumber :
Dok.Angkatan
2020,2023)

189
Nama Nama
No Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies
Reproduktif Reproduktif

(Sumber : Rinaldi et al.,


2016)

(Sumber :
Dok.Angkatan
2020,2023)

Post-reproduktif Post reproduktif

(Sumber:
Dok.Angkatan
2020,2023)
(Sumber : Kurniasih, 2021)

3. Bangkal Bangkal Nauclea Pra-reproduktif Pra reproduktif


orientalis

190
Nama Nama
No Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies

(Sumber: Ongjhyseng,
(Sumber: 2023)
Dok.Angkatan
2020,2023)

Reproduktif
Reproduktif

(Sumber : Prastika, 2014)

(Sumber:
Dok.Angkatan
2020,2023) Post reproduktif

Post-reproduktif

191
Nama Nama
No Nama Ilmiah Foto Pengamatan Foto Literatur
Lokal Spesies
(Sumber : Takandjandji et
al., 2020)

(Sumber:
Dok.Angkatan
2020,2023)

192
V. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik struktur populasi dengan


tujuan untuk menentukan struktur umur populasi tumbuhan dalam suatu
komunitas. Populasi didefinisikan sebagai sekelompok individu sejenis yang
terdapat di suatu daerah tertentu dan dapat didefinisikan pada berbagai skala
ruang, misalnya skala lokal, pulau, benua, lautan, atau region (Rasidi et al,
2014). Alat dan bahan yang di gunakan adalah plastik merah, tali rapia, plastik
sampel, kertas label, parang, alat tulis, alat dokumentasi, 4 in 1, soiltester,
hygrometer, dan termometer. Cara kerja yang di lakukan adalah menyiapkan
alat dan bahan, membuat plot 10 × 10 m sebanyak 3 buah, lalu mengamati
spesies yang ada yaitu Antidesma ghaesembilla, Vitex pinatta, dan Nauclea
orientalis baik dari fase prareproduktif, reproduktif dan postreproduktifnya.
Metode yang di gunakan adalah metode line transek yaitu dengan berjalan
menyusuri hutan di sepanjang garis transek yang telah ditentukan, garis transek
pada praktikum ini berukuran 10 × 10 m.

Berdasarkan hasil pengamatan, kawasan pengamatan di dominasi oleh


spesies Antidesma ghaesembilla, Vitex pinatta, dan Nauclea orientalis. Ketiga
spesies ini di temukan dalam tiga fase yaitu prareproduktif, reproduktif, dan
postreproduktif. Menurut literatur, Secara ekologis populasi umumnya
memiliki tiga bentuk sebaran umur yaitu muda (prareproduktif), reproduktif
dan umur tua (postreproduktif). Lamanya periode umur ekologis jika
dibandingkan dengan panjangnya umur sangat beragam tergantung pada jenis
organisme dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Beberapa jenis
tumbuhan dan hewan memiliki umur prareproduktif yang lebih panjang dan
beberapa tidak memiliki umur postproduktif (Odum, 1996).

Berdasarkan hasil pengamatn, spesies pra reproduktif Antidesma


ghaesembilla di temukan sebanyak 40 individu dengan nilai kerapatannya
adalah 235,29 ind/ha, fase reproduktif di temukan sebanyak 26 individu dengan
nilai kerapatannya 152,94 ind/ha, dan fase postreproduktifnya di temukan
sebanyak 3 individu dengan nilai kerapatannya 17,65 ind/ha. Spesies

193
prareproduktif Vitex pinatta di temukan sebanyak 20 indivdu dengan nilai
kerapatannya 117,65 ind/ha, fase reproduktif di temukan sebanyak 20 individu
dengan nilai kerapatannya 117,65 ind/ha, dan fase postreproduktifnya di
temukan sebanyak 2 individu dengan nilai kerapatannya 11,76 ind/ha. Spesies
prareproduktif Nauclea orientalis di temukan sebanyak 34 individu dengan
nilai kerapatannya 200,00 ind/ha, fase reproduktif nya di temukan sebanyak 20
individu dengan nilai kerapatannya 117,65 ind/ha, dan fase postreproduktifnya
di temukan sebanyak 2 individu dengan nilai kerapatannya 11,76 ind/ha.

Berdasarkan hasil pengamatan, dari ketiga spesies yang di temukan


baik dalam fase prareproduktif, reproduktif dan post reproduktif memiliki
bentuk dasar piramida luas dengan memiliki ciri – ciri jumlah populasi
prareproduktif lebih besar dari reproduktif dan postreproduktif. Menurut
literatur, secara teoritis ada tiga bentuk dasar piramida, yaitu (Wirakusumah,
2010): Piramida dengan bentuk dasar luas dengan ciri populasi umur muda
besar, bentuk segitiga sama sisi atau lonceng dengan jumlah kelompok muda
seimbang dengan kelompok tua, dan bentuk kendi, memiliki jumlah individu
muda lebih kecil dari kelompok dewasa.

Berdasarkan hasil pengamatan, pada fase prareproduktif nilai kerapatan


paling tinggi adalah spesies Antidesma ghaesembilla, pada fase reproduktif
nilai kerapatan paling tinggi yaitu pada spesies Antidesma ghaesembilla, dan
pada fase post reproduktif nilai kerapatan paling tinggi yaitu pada spesies
Antidesma ghaesembilla.

Struktur populasi meliputi densitas dan pola distribusi, demografi


tumbuhan, stadia dan umur, fekunditas, struktur umur dan struktur stadia.
Biasanya populasi yang sedang berkembang cepat mengandung sebagian besar
individuindividu muda. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyebab
umur muda lebih besar dikarenakan pada tumbuhan fase reproduktif cenderung
menghasilkan biji maupun anakan tumbuhan yang lebih banyak daripada fase
reproduktif itu sendiri. Lokasi pengamatan yang diamati juga masih sangat
kaya akan unsur hara yang mendukung pertumbuhan tumbuhan seperti

194
banyaknya serasah yang berpengaruh terhadap kandungan unsur hara tanah di
bawahnya (Rizky, 2018).

Populasi merupakan kelompok kolektif organismeorganisme dari


spesies yang sama yang menduduki ruang atau tempat tertentu (Odum 1993).
Populasi juga diartikan kumpulan individu organime di suatu tempat yang
memuilki sifat serupa, mempunyai asal-usul yang sama dan tidak ada yang
menghalangi individu anggotanya untuk saling berhubungan satu sama lain dan
mengembangkan keturunannya secara bebas kerena individu itu merupakan
kumpulan heteroseksual (Wirakusumah 2010). Keadaan suatu populasi dapat
diketahui dengan melakukan kajian struktur populasi.

Struktur Populasi tumbuhan merupakan susunan populasi tumbuhan


yang ada pada suatu tempat. Berdasarkan struktur umurnya, struktur populasi
memiliki tiga pola dasar yaitu: piramida dengan dasar yang lebar dengan ciri
jumlah individu muda yang lebih banyak dari yang tua, piramida bentuk
poligon atau genta dengan perkembangan jumlah kelompok umur muda yang
seimbang dengan kelompok umur tua dan piramida bentuk pasu atau kendi
yang memiliki jumlah individu muda lebih kecil dari kelompok individu tua
(Odum, 1993). Faktor yang mempengaruhi struktur populasi yaitu natalitas,
mortalitas, habitat dan aktivitas manusia (Subahar 1998). Kajian populasi
sangat penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana spesies tertentu di suatu
wilayah sehingga dapat melakukan upaya pelestarian agar spesies tersebut
tidak punah.

Berdasarkan hasil pengamatan, pengukuran parameter yang di lakukan


sebnayak tiga kali pengulangan di kawasan pengamatan, untuk intensitas
cahaya memiliki nilai maksimum 1.331 – 2.190 lux dan minimum sebesar 186-
357 lux. Pengukuran maksimum kecepatan angin 0,0 – 0,7 m/s, pH tanah di
sekitar kawasan pengamatan memiliki nilai kisaran 5,2 – 5,6, dengan kisaran
kelembapan tanah 50 -58 %. Kelembapan udara di sekitanya adalah 73-74 %
dengan suhu udara 29 ̊C.

195
Adapun faktor pembatas terhadap strutktur populasi tumbuhan yaitu
kondisi habitat yang merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan adalah ph
tanah, kelembaban tanah, kecepatan angin, tekstur tanah, kandungan N, P, K.
Selain itu, aktivitas manusia yang melakukan pengambilan komponen biotik
pada tumbuhan secara terus menerus tanpa adanya penanaman atau
pembudidayaan kembali akan merusak keseimbangan jenis tumbuhan tersebut
di alam, walaupun jumlahnya masih banyak namun, jika diambil secara terus
menerus akan dapat menyebabkan tumbuhan tersebut berkurang dan akhirnya
punah (Dharmono, 2017).

VI. KESIMPULAN

1. Populasi didefinisikan sebagai sekelompok individu sejenis yang terdapat


di suatu daerah tertentu dan dapat didefinisikan pada berbagai skala
ruang, misalnya skala lokal, pulau, benua, lautan, atau region.

2. Berdasarkan hasil pengamatan, kawasan pengamatan di dominasi oleh


spesies Antidesma ghaesembilla, Vitex pinatta, dan Nauclea orientalis.
Ketiga spesies ini di temukan dalam tiga fase yaitu prareproduktif,
reproduktif, dan postreproduktif.

3. Berdasarkan hasil pengamatan, pada fase prareproduktif nilai kerapatan


paling tinggi adalah spesies Antidesma ghaesembilla, pada fase
reproduktif nilai kerapatan paling tinggi yaitu pada spesies Antidesma
ghaesembilla, dan pada fase post reproduktif nilai kerapatan paling tinggi
yaitu pada spesies Antidesma ghaesembilla.

4. Ketiga spesies yang di temukan baik dalam fase prareproduktif,


reproduktif dan post reproduktif memiliki bentuk dasar piramida luas
dengan memiliki ciri – ciri jumlah populasi prareproduktif lebih besar dari
reproduktif dan postreproduktif.

196
5. Faktor pembatas terhadap strutktur populasi tumbuhan yaitu kondisi
habitat yang merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan adalah ph tanah,
kelembaban tanah, kecepatan angin, tekstur tanah, kandungan N, P, K

VII. DAFTAR PUSTAKA

Ajmiati, H. (2014). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Buni


(Antidesma bunius L. Spreng) Terhadap Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus Sensitif dan Multiresisten Serta
Bioautografinya (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Asita, A. (2014). Aktivitas Antibakteri Fraksi Nonpolar, Semipolar, Dan


Polar Ekstrak Etanol Daun Buni (Antidesma Bunius (L.) Spreng)
Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Dan Bacillus Subtilis Serta
Bioautografinya. (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta). Diakses melalui http://eprints.ums.ac.id/ pada tanggal 6
Maret 2023.

Basrowi, M., Hendra, M., & Hariani, N. (2018). Komposisi dan struktur
pohon riparian di sungai Kahala Kabupaten Kutai Kartanegara. Pro-
Life, 5(3), 637-649.

Dharmono, D. (2017). Kajian Struktur Populasi Tumbuhan Rukam


(Flacourtia Rukam) Di Kawasan Tepi Sungai Maluka Kabupaten
Tanah Laut Sebagai Materi Penunjang Mata Kuliah Ekologi
Tumbuhan. Seminar Nasional dan Kongres Himpunan Peneliti dan
Pendidik Biologi Indonesia (HPPBI).

Dharmono., Mahrudin., Riefani, M. K., & Utami, N. H. (2023). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV. Batang.

Fitriani, A., Dharmono. & Mahrudin. (2019). Kajian Struktur Populasi


Tumbuhan Kilalayu (Erioglossum rubiginosum) di Kawasan Hutan
Pantai Tabanio, Kabupaten Tanah Laut sebagai Materi Handout
Penunjang Mata Kuliah Ekologi Tumbuhan. Prosiding SEMNAS
Lingkungan Lahan Basah, 4(3), 523-528.

197
Kurniasih, D. (2021). Komposisi metabolit sekunder dan uji toksisitas fraksi
etil asetat daun leban (Vitex pinnata Linn). Riset Informasi
Kesehatan, 10(1), 59-66.

Larasati, R. Z., Kartika, I. R., & Kurniadewi, F. (2013). Profil Fitokimia dan
Uji Aktivitas Antifungi Ekstrak Metanol Daun Laban (Vitex Pinnata
L.) serta Fraksi-Fraksinya. Jurnal Riset Sains dan Kimia
Terapan, 3(1), 271-279.

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Ongjhyseng. (2023). Nauclea orientalis. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/
Prastika, J. (2014). Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Pada Tumbuhan
Gempol (Nauclea Orientalis L.) Sebagai Sumber Belajar Biologi
SMA. (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah
Malang). Diakses melalui http://prosiding.farmasi.unmul.ac.id/ pada
tanggal 6 Maret 2023.

Rinaldi, F., Ibrahim, A., Fadraersada, J., & Rijai, L. (2016, November).
Identifikasi Metabolit Sekunder Dan Pengujian Toksisitas Ekstrak
Metanol Kulit Kayu Laban (Vitex Pinnata L.) Dengan Metode Brine
Shrimp Lethality Test (Bslt). In Proceeding of Mulawarman
Pharmaceuticals Conferences (Vol. 4, pp. 133-139). Diakses melalui
https://eprints.umm.ac.id/ pada tanggal 6 Maret 2023.

Rizky, M. (2018). Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Salagundi


(Roudholia teysmanii) di Desa Simorangkir Julu, Kabupaten Tapanuli
Utara (Doctoral dissertation, Universitas Sumatera Utara).

Subahar T. 1998. Artikel Struktur Dan Pola Penyebaran Dispersal (Distribusi


Populasi). Bandung.

Susanto, W., Dharmono. & Halang, B. (2019). Kajian Struktur Populasi Waru
(Hibiscus tiliaceus) di Kawasan Hutan Pantai Tabanio Kabupaten
Tanah Laut. Prosiding SEMNAS Lingkungan Lahan Basah, 4(3), 618-
621.

Takandjandji, M., & Heriyanto, N. M. (2020). Struktur Vegetasi dan Serapan


Karbon di Kelompok Hutan Sungai Meranti–Sungai Kapas,
Batanghari, Jambi. Journal Penelitian Kehutanan Faloak, 4(2), 115-
128.

198
Wirakusumah, S. 2010. Dasar-dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas.
UI: Jakarta.

199
PRAKTIKUM IX
Topik : Menentukan Pola Penyebaran Spesies
Tujuan : Untuk mengetahui pola distribusi suatu spesies
Hari/Tanggal : Selasa/21 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT BAHAN
A. Alat:
1. Meteran jahit 10. Alat dokumentasi
2. Pipa kuadran L 11. Alat parameter:
3. Kertas XY a. 4 in 1 (Anemometer dan
4. Plastik sampel Luxmeter)
5. Kertas label b. Altimeter
6. Tongkat c. Termometer
7. Kertas A3 d. Hygrometer
8. Lakban hitam e. Soiltester
9. Alat tulis

B. Bahan
1. Sisik Betok tiga bunga (Grona trifloral)
2. Rumput Belulang (Eleusine indica)
3. Rumput meadow (Poa cenisia)
4. Rumput delapan hari (Fimbrystilis dichotoma)
II. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Menentukan area stand secara subjektif yaitu pada area vegetasi herba
yang cukup homogen.
3. Membuat area seluas 100 x 100 m dan menentukan sisi-sisi yang menjadi
sumbu x dan y.
4. Mengambil plot sebanyak 100 buah plot yang berkuran 1 x 1 m2 secara
acak (sistem undian) pada stand kajian tersebut.

200
5. Perhitungan kerapatan individu untuk setiap spesies dimulai dari
0,1,2,3,4, dan 5 individu. Bila jumlah individu suatu spesies dalam 1 plot
lebih dari 5 individu maka dianggap individu ke-5.
6. Menghitung parameter lingkungan di lokasi pengamatan.

III. TEORI DASAR


Menurut Crawlay (1986), bahwa lingkungan akan berubah dari suatu
tempat ke tempat lain. Bersamaan dengan itu terjadi pula perubahan vegetasi,
baik komposisi spesies penyusunnya maupun frekuensinya. Perbedaan
kondisi lingkungan tersbut juga akan mempengaruhi pola distribusi suatu
spesies. Disamping itu, pola penyebaran tersebut juga di pengaruhi oleh cara
dispersal dari spesies tumbuhan.
Pola distribusi spesies di alam secara garis besar dibedakan atas 3
pola yaitu pola acak, pola mengelompok dan teratur atau regular.
1. Pola penyebaran secara acak
Pola ini menggambarkan penyebaran tumbuhan secara sembarang
atau acak, artinya setiap spesies tidak mempunyai arah dan posisi
terhadap lokasi tertentu, serta spesies yang sama.
2. Pola mengelompok

Pola ini terjadi dalam satu area yang cukup sempit dipermukaan
bumi oleh beberapa spesies. Artinya dalam suatu wilayah tertentu
hadirnya suatu spesies akan di ikuti oleh spesies yang sama.
Barbour et al. (1987) menyatakan bahwa ada dua alasan
yang menyebabkan timbulnya pola distribusi tumbuhan mengelompok,
yaitu: Pertama apabila suatu tumbuhan perkembangbiakannya dengan
menggunakan biji atau buah yang ada kecenderungan untuk jatuh didekat
induknya. Kedua, adalah berhubungan dengan lingkungan mikro,
dimana habitat yang homogen pada lingkungan makro terdiri atas
beberapa mikrositus yang berbeda yang memungkinkan tumbuhan
tersebut dapat tumbuh pada lingkungan yang sesuai. Pada mikrositus
yang paling sesuai kerapatan populasi spesies akan menjadi lebih tinggi.

201
3. Teratur atau reguler

Pola distribusi tumbuhan secara teratur jarang terjadi di alam. Pola


distribusi secara teratur artinya jarak antara satu individu dengan individu
lain pada spesies yang sama dalam satu wilayah adalah sama. Keadaan
ini hanya terjadi pada ekosistem buatan seperti persawahan dan
perkebunan (Dharmono et al., 2020).
Untuk mengetahui pola penyebaran dapat digunakan metode acak
ataupun stratified random. Pengacakan dilakukan untuk memperoleh
plot-plot pengamatan. Cara pengacakan plot dilakukan dengan
pencatatan nomor-nomor (undian) acakan yang dibuat untuk sumbu X
dan Y, kemudian ditarik garis lurus pada kedua sumbu tersebut sehingga
didapat titi tertentu. Pengamatan yang dilakukan berdasarkan densitas
dari tiap-tiap spesies dapat digunakan metode B-B
(Dharmono et al., 2023).

202
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
1. Tabel Hasil Pengamatan
Koordinat (X, Grona Eleusine Poa Fimbristylis
No
Y) triflora indica cenisia dichotoma
1 (34, 1) 0 5 0 0
2 (26, 4) 0 5 0 0
3 (19, 7) 4 9 0 0
4 (32, 11) 0 6 0 0
5 (58, 2) 10 0 0 0
6 (74, 3) 1 0 0 0
7 (84, 6) 0 0 0 0
8 (92, 5) 29 9 0 0
9 (96, 8) 32 4 0 0
10 (68, 9) 0 0 0 0
11 (72, 10) 0 0 0 0
12 (78, 12) 0 3 0 0
13 (94, 13) 23 4 0 3
14 (44, 14) 0 2 0 0
15 (49, 15) 1 5 0 0
16 (63, 18) 3 2 0 0
17 (52, 21) 0 10 0 0
18 (42, 22) 10 2 0 0
19 (62, 24) 21 1 0 0
20 (39, 29) 1 1 0 0
21 (53, 33) 0 2 0 0
22 (59, 32) 0 2 0 11
23 (71, 31) 0 0 0 36
24 (12, 16) 14 6 0 1

203
25 (18, 17) 6 4 0 0
26 (13, 3) 2 4 0 3
27 (24, 14) 2 3 0 0
28 (2, 25) 4 0 5 2
29 (14, 65) 4 0 6 0
30 (38, 97) 0 0 0 9
31 (97, 86) 0 1 0 0
32 (10, 34) 7 0 5 0
33 (59, 36) 2 0 0 12
34 (76, 27) 0 2 4 0
35 (63, 20) 3 0 14 5
36 (8, 74) 0 0 2 2
37 (95, 47) 0 1 40 0
38 (20, 80) 7 0 8 12
39 (75, 30) 3 0 0 0
40 (83, 60) 1 0 0 4
41 (70, 38) 8 1 2 0
42 (89, 95) 0 1 0 1
43 (33, 84) 14 8 8 7
44 (7, 16) 0 0 1 2
45 (21, 44) 0 18 3 4
46 (98, 77) 0 6 0 0
47 (55, 98) 0 0 5 4
48 (1, 4) 8 0 3 4
49 (80, 26) 12 0 0 2
50 (3, 96) 0 0 0 2
51 12,24 1 0 4 0
52 18,76 1 0 9 0
53 4,37 6 11 1 7

204
54 11,81 0 8 6 0
55 64,96 0 0 1 10
56 54,68 2 1 8 2
57 37,63 3 1 11 3
58 17,48 3 2 4 5
59 80,13 0 0 0 6
60 74,23 0 0 0 0
61 94,31 0 3 5 0
62 41,33 0 0 2 0
63 27,29 0 0 4 0
64 50,26 0 1 0 5
65 42,1 7 6 5 1
66 20,97 7 2 2 7
67 16,57 5 0 1 0
68 23,56 10 0 0 0
69 2,32 7 0 0 0
70 6,84 0 0 0 0
71 45,65 5 1 0 4
72 40,22 0 0 0 0
73 10,61 7 0 0 13
74 7,5 10 0 1 0
75 9,43 10 0 5 2
76 45,68 7 2 4 3
77 57, 69 4 7 3 2
78 51,44 9 3 1 14
79 53,46 10 3 1 13
80 40,38 0 2 7 5
81 44,57 0 5 0 12
82 2,8 9 4 1 5

205
83 9,3 7 4 3 2
84 12,11 8 2 4 2
85 28,26 6 8 7 7
86 34,35 0 6 8 1
87 60,48 8 8 1 1
88 61,7 2 5 3 2
89 67,66 1 8 1 13
90 69,84 2 5 6 7
91 86,97 6 0 1 0
92 99,25 9 3 0 13
93 71,76 0 0 0 16
94 62,79 0 0 1 10
95 39,49 1 2 0 1
96 83,78 2 2 2 0
97 45,87 0 1 0 14
98 70,81 0 1 0 1
99 11,2 10 4 5 2
100 10,4 7 8 4 2

206
2. Perhitungan
Table perhitungan
∑Individu per plot
No Nama Spesies ∑
0 1 2 3 4 ≥5
1 Grona triflora 40 8 7 5 4 36 100
Eleusine
2 39 12 13 6 7 23 100
indica
3 Poa cenisia 51 12 5 5 7 20 100
Fimbristylis
4 45 7 13 4 5 26 100
dichotoma

1) Grona trifrora

a) Tabel 1

No X 0 1 2 3 4 5 ∑
1 O 40 8 7 5 4 36 100
2 XO 0 8 14 15 16 180 233
3 X(XO) 0 8 28 45 64 900 1045
b) Tabel 2

No. X O H X² X² Tabel
1 0 40 9,73 384,15
2 1 8 22,68 9,50
3 2 7 26,42 14,27
6,25
4 3 5 20,52 11,74
5 4 4 11,95 5,29
6 5 36 5,57 384,15

207
2) Elusine indica

a) Tabel 1

No X 0 1 2 3 4 5 ∑
1 O 39 12 13 6 7 23 100
2 XO 0 12 26 18 28 115 199
3 X(XO) 0 12 52 54 112 575 805
b) Tabel 2

No. X O H X² X² Tabel
1 0 39 13,67 46,92
2 1 12 27,21 8,50
3 2 13 27,07 7,31
6,25
4 3 6 17,96 7,96
5 4 7 8,93 37,88
6 5 23 3,56 37,88

3) Poa cenisia

a) Tabel 1

No X 0 1 2 3 4 5 ∑
1 O 51 12 5 5 7 20 100
2 XO 0 12 10 15 28 100 165
3 X(XO) 0 12 20 45 112 500 689

208
b) Tabel 2

No. X O H X² X² Tabel
1 0 51 19.21 131.25
2 1 12 31.69 12.24
3 2 5 26.15 17.10
6.25
4 3 5 14.38 10.74
5 4 7 5.93 10.74
6 5 20 1.96 131.25

4) Fimbristylis dichotoma

a) Tabel 1

No X 0 1 2 3 4 5 ∑
1 O 45 7 13 4 5 26 100
2 XO 0 7 26 12 20 130 195
3 X(XO) 0 7 52 36 80 650 825

b) Tabel 2

No. X O H X² X² Tabel
1 0 45 9.73 324.35
2 1 7 22.68 10.84
3 2 13 26.42 6.81
6.25
4 3 4 20.52 13.30
5 4 5 11.95 4.04
6 5 26 5.57 324.35

209
Perhitungan

1. Grona triflora

233
m= 100= 2,33

Perhitungan

𝑚𝑥 2,330
a. H0= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 9,73
0!

𝑚𝑥 2,331
b. H1= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 22,68
1!

𝑚𝑥 2,332
c. H2= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 26,42
2!

𝑚𝑥 2,333
d. H3= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 20,52
3!

𝑚𝑥 2,334
e. H4= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 11,95
4!

𝑚𝑥 2,335
f. H5= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-2,33 x 100 [ ]= 5,57
5!

X2 Hitung

((40+36)−(9,73+5,57))2
X2 Hitung 0= (O – H)2/H= = 384,15
(9,73+5,57)

(8−22,68)2
X2 Hitung 1= (O – H)2/H= = 9,50
22,68

(7−26,42)2
X2 Hitung 2= (O – H)2/H= = 14,27
26,42

(5−20,52)2
X2 Hitung 3= (O – H)2/H= = 11,74
20,52

(4−11,95)2
X2 Hitung 4= (O – H)2/H= = 5,29
11,95

((40+36)−(9,73+5,57))2
X2 Hitung 5= (O – H)2/H= = 384,15
(9,73+5,57)

∑ X2 Hitung= 384,15 + 9,50 + 14,27 + 11,74 + 5,29 + 384,15= 809,10

210
Ketentuan:
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = non acak

∑ X2 Hitung < ∑ X2 Tabel = acak

Kesimpulan:

Jadi, Grona trifrora terdistribusi secara non acak, karena ∑ X2 hitung>


∑X2 tabel, yaitu 809,10>6,25

Asas Blackman
233 2
(1045−( )
100
V= = 10,40
100−1

V 10,40
= = 4,46
m 2,33

Ketentuan:

V
> 1 = Mengelompok
m

V
< 1 = Menyebar
m

Kesimpulan:

V
Jadi, pola distribusi mengelompok, karena m>1, yaitu 4,46

2. Elusine indica

199
m= 100= 1,99

Perhitungan

𝑚𝑥 1,990
a. H0= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 13,67
0!

𝑚𝑥 1,991
b. H1= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 27,21
1!

211
𝑚𝑥 1,992
c. H2 = e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 27,07
2!

𝑚𝑥 1,993
d. H3= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 17,96
3!

𝑚𝑥 1,994
e. H4= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 8,93
4!

𝑚𝑥 1,995
f. H5= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,99 x 100 [ ]= 3,56
5!

X2 Hitung

(39−13,67)2
X2 Hitung 0= (O – H)2/H= = 46,92
13,67

(12−27,21)2
X2 Hitung 1= (O – H)2/H= = 8,50
27,21

(!3−27,07)2
X2 Hitung 2= (O – H)2/H= = 7,31
27,07

(6−17,96)2
X2 Hitung 3= (O – H)2/H= = 7,96
17,96

((7+23)−(8,93+3,56))2
X2 Hitung 4= (O – H)2/H= = 37,88
(8,93+3,56)

((7+23)−(8,93+3,56))2
X2 Hitung 5= (O – H)2/H= = 37,88
(8,93+3,56)

∑ X2 Hitung= 46,92+ 8,50+ 7,31+ 7,96+ 37,88+ 37,88= 146,45

Ketentuan:
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = non acak

∑ X2 Hitung < ∑ X2 Tabel = acak

Kesimpulan:

Jadi, Elusine indica terdistribusi secara non acak, karena ∑ X2 hitung >
∑X2 tabel, yaitu 146,45>6,25

Asas Blackman

212
199 2
(805−( )
100
V= = 8,01
100−1

V 8,01
= 1,99 = 4,03
m

Ketentuan:

V
> 1 = Mengelompok
m

V
< 1 = Menyebar
m

Kesimpulan:

V
Jadi, pola distribusi mengelompok, karena m>1, yaitu 4,03

3. Poa cenisia

165
m= 100= 1,65

Perhitungan

𝑚𝑥 1,650
a. H0= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 19,21
0!

𝑚𝑥 1,651
b. H1= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 31,69
1!

𝑚𝑥 1,652
c. H2= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 26,15
2!

𝑚𝑥 1,653
d. H3= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 14,38
3!

𝑚𝑥 1,654
e. H4= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 5,93
4!

𝑚𝑥 1,655
f. H5= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,65 x 100 [ ]= 1,96
5!

X2 Hitung

((51+20)−(19,21+1,96))2
X2 Hitung 0= (O – H)2/H= = 131,25
(19,21+1,96)

213
(12−31,69)2
X2 Hitung 1= (O – H)2/H= = 12,24
31,69

(5−26,15)2
X2 Hitung 2= (O – H)2/H= = 17,10
26,15

((5+7)−(14,38+5,93))2
X2 Hitung 3= (O – H)2/H= = 10,74
(14,38+5,93)

((5+7)−(14,38+5,93))2
X2 Hitung 4= (O – H)2/H= = 10,74
(14,38+5,93)

((51+20)−(19,21+1,96))2
X2 Hitung 5= (O – H)2/H= = 131,25
(19,21+1,96)

∑ X2 Hitung= 131,25+ 12,24+ 17,10+ 10,74+ 10,74+ 131,25= 313,31

Ketentuan:
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = non acak

∑ X2 Hitung < ∑ X2 Tabel = acak

Kesimpulan:

Jadi, Poa cenisia terdistribusi secara non acak, karena ∑X2 hitung>∑X2
tabel, yaitu 313,31>6,25

Asas Blackman
165 2
(689−( ) )
100
V= = 6,86
100−1

V 6,86
= 1,65= 4,2
m

Ketentuan:

V
> 1 = Mengelompok
m

V
< 1 = Menyebar
m

Kesimpulan:

V
Jadi, pola distribusi mengelompok, karena m>1, yaitu 4,2

214
4. Fimbristylis dichotoma

195
m= 100= 1,95

Perhitungan

𝑚𝑥 1,950
a. H0= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ ]= 19,73
0!

𝑚𝑥 1,951
b. H1= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ ]= 22,68
1!

𝑚𝑥 1,952
c. H2= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ 2!
]= 26,42

𝑚𝑥 1,953
d. H3= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ ]= 20,52
3!

𝑚𝑥 1,954
e. H4= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ ]= 11,95
4!

𝑚𝑥 1,955
f. H5= e-m x n [ 𝑥! ]= 2,718-1,95 x 100 [ ]= 5,57
5!

X2 Hitung (O – H)2/H

((45+26)−(9,73+5,57))2
X2 Hitung 0 = (O – H)2/H= = 324,35
(9,73+5,57)

(7−22,68)2
X2 Hitung 1= (O – H)2/H= = 10,84
22,68

(13−26,42)2
X2 Hitung 2= (O – H)2/H= = 6,81
26,42

4−20,52)2
X2 Hitung 3= (O – H)2/H= = 13,30
20,52

5−11,95)2
X2 Hitung 4= (O – H)2/H= = 4,04
11,95

((45+26)−(9,73+5,57))2
X2 Hitung 5= (O – H)2/H= = 324,35
(9,73+5,57)

∑ X2 Hitung= 324,35+ 10,84+ 6,81+ 13,30+ 4,04+ 324,35= 683,69

215
Ketentuan:
∑ X2 Hitung > ∑ X2 Tabel = non acak

∑ X2 Hitung < ∑ X2 Tabel = acak

Kesimpulan:

Jadi, Fimbristylis dichotoma terdistribusi secara non acak, karena ∑X2


hitung > ∑X2 tabel, yaitu 683,69>6,25

Asas Blackman
130 2
(825−( ) )
100
V= = 8,21
100−1

V 8,21
= 1,95 = 4,2
m

Ketentuan:

V
> 1 = Mengelompok
m

V
< 1 = Menyebar
m

Kesimpulan:

V
Jadi, pola distribusi mengelompok, karena m>1, yaitu 4,2

216
B. Tabel Parameter
No Nama Alat Pengukura Satua Pengulangan Kisara
. n n n
1 2 3

1. 4 Lux meter Intensitas lux Min : Min : Min : Min :


i cahaya >20.00 >20.00 >20.00 >20.00
n 0 0 0 0
1
Max: Max: Max: Max:
>20.00 >20.00 >20.00 >20.00
0 0 0 0

Anemomet Kecepatan m/s Min: Min: Min: Min:


er angin 0,0 0,0 0,0 0,0

Max: Max: Max: Max:


2,3 2,6 1,6-2,6 1,6-2,6

2. Soil tester pH tanah - 6,9 7 7,5 6,9-7,5

Kelembab Perse 100 100 100 100


an tanah n (%)

3. Hygrometer Kelembab Perse 63 56 49-63 49-63


an udara n (%)

4. Termometer Suhu ͦC 32,5 32,5 31- 31-


udara 32,5 32,5

5. Porositas Daya ml/s 3,03 3,03


Serap Air

217
C. Foto Pengamatan

No Nama Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


Lokal Spesies Ilmiah

1 Sisik betok Sisik Grona


Betok triflora
tiga
bunga

(Sumber: Dok. Kelompok (Sumber: Ohashi, 2018)


III, 2023)
2 Suket Rumput Eleusine
welulang Belulang indica

(Sumber: Nobbee,
2021)

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)
3 Rumput rumput Poa cenisia
biru meadow

218
(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023) (Sumber: Catto, 2021)

4 Kumpai Rumput Fimbristylis


papayungan delapan dichotoma
hari

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)

(Sumber: Polain, 2023)

219
V. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik menentukan pola


penyebaran spesies memiliki tujuan untuk menentukan pola distribusi suatu
spesies. Alat yang digunakan dalam praktikum ini berupa L Kuadran, plastic
sampel, dan plastic merah. Bahan yang digunakan merupakan tumbuhan
herba yang berada di hutan pantai tabanio. Metode ini digunakan dengan
cara menentukan secara acak titik koordinat kemudian menuju titik
koordinat yang telah diacak dan mengamati tumbuhan di sekitar titik
koordinat. Cara kerja dari praktikum ini adalah dengan memilih lokasi
pengamatan menggunakan titik koordinat yang telah disiapkan sebanyak
100 titik dengan menggunakan sumbu x dan y, menentukan tumbuhan apa
saja yang terdapat di titik koordinat tersebut, dan mengambil sampel
tumbuhan untuk diamati jenis tumbuhannya (Dharmono et al, 2023).

Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga


tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada
suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh
terhadap keseluruhan komunitas (Barbour et al, 1987). Menurut Greig-
Smith (1983), bila seluruh faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran
spesies relatif sedikit, maka faktor kesempatan lebih berpengaruh, dimana
spesies yang bersangkutan berhasil hidup di tempat tersebut. Hal ini
biasanya menghasilkan pola distribusi. Pola distribusi spesies di alam secara
garis besar dibedakan menjadi tiga bagian yaitu pola acak, pola
mengelompok dan pola teratur atau regular (Campbell et, al. 2008). Pola
acak adalah individu-individu yang dimana menyebar dalam beberapa
tempat. Sedangkan, pola mengelompok adalah individu-invidu yang selalu
ada dalam kelompok-kelompok dan sangat jarang terlihat sendiri secara
terpisah (Michael, 1984). Pola distribusi spesies tumbuhan ditentukan
dengan model distribusi Poisson, dengan menghitung nilai Chi Square (χ2).
Bila pola distribusinya tidak acak maka dilakukan pengujian lebih lanjut

220
melalui perhitungan Varian (V) (Barbour et al, 1987 dalam Chapman &
Moore, 1986 dan dalam Ludwig & Reynolds, 1988).

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, metode yang digunakan


merupakan metode menentukan titik koordinat secara acak bertingkat
(stratified random sampling). Metode ini digunakan untuk menentukan
spesies apa saja yang terdapat dalam lokasi pengamatan. Hal ini diperkuat
oleh Ulya et al, (2018) yang menyatakan bahwa metode Stratified Random
Sampling merupakan metode penarikan sampel, metode ini dilakukan
dengan cara membagi populasi menjadi populasi yang lebih kecil,
pembentukan harus sedemikian rupa sehingga setiap stratum homogen
berdasarkan suatu atau beberapa kriteria tertentu, kemudian dari setiap
stratum diambil sampel secara acak. Metode yang digunakan ini dapat
dimungkinkan untuk setiap anggota populasi mempunyai peluang yang
sama untuk dipilih digunakan sebagai sampel, sehingga proses pengukuran
dapat dilakukan dengan melibatkan sedikit sampel.

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa semua spesies


yang diamati di lokasi pengamatan hutan pantai Tabanio termasuk ke dalam
golongan mengelompok, hal ini diakrenakan adanya pengaruh indukan yang
bereproduksi dengan cara biji atau dengan rimpang sehingga pola dirtibusi
suatu tumbuhan dapat dikatakan mengelompok. Jenis tumbuhan yang
mengelompok diantaranya Grona trifloral, Eleusine indica, Poa cenisia,
dan Fimbrystilis dichotoma. Hal ini juga dinyatakan oleh Barbour et al,
(1987) bahwa pola distribusi spesies tumbuhan cenderung mengelompok,
sebab tumbuhan bereproduksi dengan biji yang jatuh dekat induknya atau
dengan rimpang yang menghasilkan anakan vegetatif masih dekat dengan
induknya. Adapun menurut Heddy et al, (1986) menyebutkan pola
penyebaran mengelompok terjadi akibat kondisi lingkungan jarang yang
seragam meskipun pada area yang kecil atau sempit. Pada tumbuhan dengan
penyebaran acak terjadi apabila penghamburan benih disebebkan oleh
angin. Penyebaran acak terjadi apabila kondisi lingkungan bersifat seragam

221
dan tidak adanya kecenderungan individu untuk bersegresi. Tingkat
pengelompokkan yang dijumpai di dalam populasi tertentu bergantung pada
sifat khas dari suatu habitat, cuaca atau faktor fisik dan tipe pola reproduktif
yang khas pada suatu jenis tumbuhan (Odum, 1993).

Komposisi, distribusi dan kemelimpahan serta tinggi rendahnya


indeks keanekaragaman semak, herba maupun rumput pada ketiga naungan,
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terbentuk. Persebarannya
secara tidak langsung dipengaruhi oleh interaksi antara vegetasi itu sendiri,
suhu, kelembaban udara, fisik-kimia tanah. Hal tersebut menimbulkan
kondisi lingkungan yang menyebabkan hadir atau tidaknya suatu spesies
dan tersebar dengan tingkat adaptasi yang beragam (Kurniawan & Parikesit
2008, Maizer et al, 2013). Pada praktikum ini terdapat faktor pembatas
diantaranya adalah pH tanah dan Intensitas Cahaya. Pada Kawasan
praktikum ini memiliki pH tanah yang berkisar antara 6,9 sampai 7,5.
Menurut Fajeriadi et al. (2019) pH kawasan hutan tabanio berkisar antara
5,6 sampai 7. Namun menurut Sugito (2012), pH yang terlalu masam
pertumbuhan tanaman akan terhambat karena keracunan aluminium (Al).
Mengingat besarnya pengaruh pH terhadap kemampuan tanah dalam
menyediakan hara bagi tanaman, sehingga pH tanah merupakan salah satu
indikator kesuburan tanah. Perbedaan ini bisa saja disebabkan oleh
kandungan zat hara dan lokasi pengamatan. Pada Kawasan praktikum ini,
memiliki intensitas cahaya yang tinggi, yaitu lebih dari 20.000, hal ini
disebabkan kawasan praktikum ini berdekatan dengan kawasan pantai.
Menurut Fajeriadi, et al (2019) intensitas cahaya kawasan hutan pantai
Tabanio berkisar antara 3213 sampai 20.000. Hal ini juga diperkuat oleh
Syakir dan Karnawati (2011) yang menyatakan intensitas cahaya lebih dari
20.000.

Intensitas cahaya adalah faktor utama di antara faktor iklim yang


mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tidak hanya
sebagai sumber energi utama di bumi, sinar matahari juga merupakan faktor

222
pengendali unsur iklim lainnya (suhu, kelembaban, curah hujan, dan angin).
Sugito, (2012) menyebutkan bahwa besarnya intensitas radiasi sinar
matahari yang diterima tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya adalah jarak antara matahari dan bumi (pagi hari berbeda dengan
siang hari, puncak gunung berbeda dengan dataran rendah, subtropis
berbeda dengan tropis. Intensitas radiasi yang terlalu ekstrem (terlalu tinggi,
ataupun terlalu rendah) berdampak sangat nyata, baik terhadap sifat
morfologis maupun sifat isiologis tumbuhan. Sugito, (2012) menyebutkan
bahwa jika tanaman mendapatkan intensitas radiasi matahari rendah, akan
terlihat lebih subur, karena daun-daunnya rimbun, padahal sebenarnya
tanaman tersebut lemah. Begitu juga jika intensitasnya terlalu tinggi,
pertumbuhannya terhambat, batangnya pendek, dan daunnya kecil-kecil

VI. KESIMPULAN

1. Pola distribusi spesies di alam secara garis besar dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu pola acak, pola mengelompok dan pola teratur atau regular.

2. Pola distribusi spesies tumbuhan ditentukan dengan model distribusi


Poisson, dengan menghitung nilai Chi Square (χ2).

3. Metode Stratified Random Sampling adalah metode penarikan sampel


dengan cara membagi populasi menjadi populasi yang lebih kecil.

4. Pola distribusi spesies tumbuhan cenderung mengelompok, sebab


tumbuhan bereproduksi dengan rimpang atau biji tidak jauh dari
indukannya.

5. Pada tumbuhan dengan penyebaran acak terjadi apabila penghamburan


benih disebebkan oleh angin.

6. Besarnya intensitas radiasi sinar matahari yang diterima tanaman


dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah jarak antara
matahari dan bumi.

223
7. Jika tanaman mendapatkan intensitas radiasi matahari rendah, akan
terlihat lebih subur, karena daun-daunnya rimbun, padahal sebenarnya
tanaman tersebut lemah.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Catto, Caleb. (2021). Poa cenisia. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/97619541 pada 05 Maret
2023.

Dharmono, Mahrudin, Riefani, M. K., & Utami, N. H. (2023). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV Batang.

Polain, Julien. (2023). Fimbristylis dichotoma. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/147947816 pada tanggal
28 Maret 2023

Djufri. (2002). Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies


Tumbuhan Khususnya Padang Rumput di Taman Nasional Baluran,
Jawa Timur. Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 181-188.

Fajeriadi, H., et al. (2019). Kerapatan lontar (Borassus flabellifer L.) di


Hutan Pantai Desa Tabanio, Kalimantan
Selatan. EnviroScienteae, 15(2), 190-194.

Nahdi, M. S., & Darsikin, D. (2014). Distribusi dan Kemelimpahan Spesies


Tumbuhan Bawah pada Naungan Pinus mercusii, Acacia
auriculiformis danEucalyptus alba di Hutan Gama Giri Mandiri,
Yogyakarta. Jurnal Natur Indonesia, 16 (1), 33-41.

Nobbee, Umar. (2021). Eleusine indica. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/101553990 pada 05 Maret
2023.

Ohashi, H. and Ohashi, K. (2018) Grona, a Genus Separated from


Desmodium (Leguminosae Tribe Desmodieae). Journal of Japanese
Botany 93:104–120.

224
Susilo, A. (2018). Asosiasi jenis-jenis pohon dominan di Cagar Alam
Gunung Tilu. In Proceeding Biology Education Conference:
Biology, Science, Enviromental, and Learning (Vol. 15, No. 1, pp.
813-819).
Syakir, M., E. Karmawati, N. Bermawie, B. PRastowo, D. Soetopo, D.S.
effendi, E. Hadipoentyanti, Siswanto, Rr. Sri Hartati dan M. Yusron.
(2011). Inovasi Teknologi Perkebunan Indonesia. hlm 43-47.

Ulya, S. F., Sukestiyarno, Y. L., & Hendikawati, P. (2018). Analisis Prediksi


Quick Count Dengan Metode Stratified Random Sampling Dan
Estimasi Confidence Interval Menggunakan Metode Maksimum
Likelihood. Unnes Journal of Mathematics. 7(1). 108-119.
Wahyuni, Andi Sry., et al. (2017). Populasi Dan Pola Distribusi Tumbuhan
Paliasa (Kleinhovia Hospita L.) Di Kecamatan Bontobahari. Media
Konservasi Vol. 22 No. 1 April 2017: 11-18.

225
PRAKTIKUM X

Topik : Asosiasi dan Interaksi Antar Spesies


Tujuan : Untuk menentukan asosiasi dan interaksi tumbuhan dalam suatu
komunitas
Hari/Tanggal : Selasa / 21 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I.ALAT BAHAN
A. Alat:
1. Pipa kuadran L 8. Alat dokumentasi
2. Lakban 9. Alat parameter:
3. Plastik sampel a. 4 in 1 (Anemometer dan
4. Kertas label Luxmeter)
5. Buku penuntun b. Soil tester
6. Mm blok c. Hygrometer
7. Alat tulis d. Termometer

B. Bahan
1. Sisik Betok tiga bunga (Grona trifloral)
2. Rumput Belulang (Eleusine indica)
3. Rumput meadow (Poa cenisia)
4. Rumput delapan hari (Fimbrystilis dichotoma)

II. CARA KERJA


1. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Menentukan area stand secara subjektif, yaitu pada vegetasi herba yang
cukup homogen.
3. Membuat area seluas 100 x 100 m dan menentukan sisi-sisi yang menjadi
sumbu X dan Y.

226
4. Menentukan 4 spesies tumbuhan untuk dikaji asosisasi dan interaksinya
berdasarkan kajian pola distribusi pada praktikum terdahulu.
5. Mengambil plot sebanyak 100 buah plot ukuran 1 x 1 m2 secara acak
(sistem undian) pada stand kajian tersebut.
6. Mencatat spesies apa saja yang terdapat pada setiap plot (diantara spesies
yang telah ditentukan) tanpa menghitung kerapatan maupun
penutupannya.
7. Menyusun data yang didapat ke dalam tabel pengamatan.
8. Menentukan apakah dua spesies yang berbeda ada asosiasi atau tidak
menggunakan perhitungan X2 dengan menggunakan tabel contingency
seperti di bawah ini:
Simbol dan Jlh kuadrat observasi Jlh kuadrat
X2 = (O-
deskripsi (O) harapan
H)2H
(H)
a = A dan B hadir p a+bx(a+c)100=k

b = A hadir, q (a + b) – k = l

B absen
c = A absen, r (a + c) – k = m

B hadir
d = A dan B absen s 100 – (k + l + m)

Jumlah
9. Dari perhitungan X2 dalam tabel contingency di atas, maka dapat
ditentukan apakah dua spesies ada asosiasi atau tidak dengan cara:
a. Bila X2 hitung < X2 tabel, maka dikatakan bahwa kedua spesies itu
terdistribusi secara acak, atau tidak ada asosiasi.
b. Bila X2 hitung > X2 tabel, maka bahwa kedua spesies ada asosiasi.

227
c. Penentuan asosiasi positif dan negatif berdasarkan perbandingan
jumlah kuadrat teramati dan yang diharapkan menurut kesempatan.
Bila jumlah kuadrat teramati yang berisi spesies A dan B saja lebih
besar dari yang diharapkan menurut kesempatan, dan jumlah
kuadrat teramati yang terisi kedua spesies lebih kecil dari yang
diharapkan menurut kesempatan, maka asosiasinya adalah negatif.
Sebaliknya, jika jumlah kuadrat teramati yang berisi spesies A atau
B saja lebih kecil dari yang diharapkan menurut kesempatan dan
jumlah kuadrat teramati yang berisi kedua spesies lebih besar dari
yang diharapkan menurut kesempatan, maka asosiasinya adalah
positif.

III. TEORI DASAR


Kebanyakan komunitas tumbuhan yang berada di alam ini terdiri
atas lebih dan satu populasi. Mereka memperlihatkan adanya pengaruh
populasi non tumbuhan, seperti dari golongan dekomposer (bakteri dan fungi)
yang ada dalam tanah, potongan parasitik, dan hewan herbivora. Interaksi
antara berbagai populasi dapat memodifikasi potensi genetis tiap spesies
untuk menghasilkan suatu komunitas, berdasarkan pada optimal ekologis dan
kisaran ekologis (Barbour et al., 1987 dalam Dharmono et al., 2023).
Suatu asosiasi adalah unit vegetasi yang hanya menempati suatu
bagian di permukaan bumi yang relatif sempit, yaitu suatu tempat atau daerah
dengan kondisi edafik tertentu. Menurut Kongres Botani Internasional tahun
1910, suatu asosiasi harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a)
Mempunyai komposisi florostik relatif tetap, b) Memperlihatkan fisionomi
relatif seragam, c) Terdapat pada tipe habitat yang relatif konsisten (Barbour
et al, 1987 dalam Dharmono et al., 2023).
Asosiasi jenis tumbuhan tidak berarti merupakan bentuk yang
harmonis. dari berbagai kegiatan yang bertujuan sama. Namun adanya
individualitas tumbuhan tidak berarti menghambat adanya hubungan tertentu
diantara tumbuhan dalam suatu komunitas, hubungan tersebut dapat berupa:

228
a) Pesaing langsung. yang bersaing untuk sumber lingkungan yang sama
dengan menempati strata sama, b) Jenis dependen, yang hanya dapat hidup
pada niche tertentu karena hadimya tumbuhan lain, seperti lumut yang hanya
tumbuh pada kondisi mikroklimat tertentu yang dihasilkan oleh pohon, c)
Jenis pelengkap, tidak bersaing satu sama lain, karena persaratan untuk hidup
mencukupi dengan menempati strata yang berbeda, atau irama musiman yang
berbeda (Muller- Dombois & Ellenberg, 1974 dalam Dharmono et al., 2023).
Menurut Kershaw (1973); Keliman (1978), kajian level asosiasi itu
dapat ditempuh dengan memasangkan jenis yang diteliti dengan parameter
kekerapan Pengambilan sampel di lapangan berdasarkan premis (dasar
pikiran) bahwa interaksi positif akan menghasilkan hubungan ruang (spatial)
positif antar partnernya. Kalau satu partnernya didapatkan di dalam sapling,
maka kemungkinan besar akan diketemukan partner lainnya yang tumbuh
berdekatan. Dua populasi saling menarik satu sama lain, dan hadir dalam pola
nonrandum, atau mengelompok. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi
negatif yang akan menghasilkan hubungan spatial negatif yakni, dua populasi
saling mengusir satu sama lain dan hadir dalam pola non randum atau regular.
Jika tidak ada interaksi antara populasi yang mana lokasi individu suatu
spesies tidak berpengaruh terhadap lokasi individu spesies lainnya, maka dua
individu tersebut dalam populasi dikatakan tersebar secara acak
(Hardjosuwarno, 1994 dalam Dharmono et al., 2023).

229
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
Koordinat Grona Eleusine Fimbristylis
No Poa cenisia
(X, Y) triflora indica dichotoma
1 (34, 1) 0 5 0 0
2 (26, 4) 0 5 0 0
3 (19, 7) 4 9 0 0
4 (32, 11) 0 6 0 0
5 (58, 2) 10 0 0 0
6 (74, 3) 1 0 0 0
7 (84, 6) 0 0 0 0
8 (92, 5) 29 9 0 0
9 (96, 8) 32 4 0 0
10 (68, 9) 0 0 0 0
11 (72, 10) 0 0 0 0
12 (78, 12) 0 3 0 0
13 (94, 13) 23 4 0 3
14 (44, 14) 0 2 0 0
15 (49, 15) 1 5 0 0
16 (63, 18) 3 2 0 0
17 (52, 21) 0 10 0 0
18 (42, 22) 10 2 0 0
19 (62, 24) 21 1 0 0
20 (39, 29) 1 1 0 0
21 (53, 33) 0 2 0 0
22 (59, 32) 0 2 0 11
23 (71, 31) 0 0 0 36
24 (12, 16) 14 6 0 1
25 (18, 17) 6 4 0 0
26 (13, 3) 2 4 0 3

230
Koordinat Grona Eleusine Fimbristylis
No Poa cenisia
(X, Y) triflora indica dichotoma
27 (24, 14) 2 3 0 0
28 (2, 25) 4 0 5 2
29 (14, 65) 4 0 6 0
30 (38, 97) 0 0 0 9
31 (97, 86) 0 1 0 0
32 (10, 34) 7 0 5 0
33 (59, 36) 2 0 0 12
34 (76, 27) 0 2 4 0
35 (63, 20) 3 0 14 5
36 (8, 74) 0 0 2 2
37 (95, 47) 0 1 40 0
38 (20, 80) 7 0 8 12
39 (75, 30) 3 0 0 0
40 (83, 60) 1 0 0 4
41 (70, 38) 8 1 2 0
42 (89, 95) 0 1 0 1
43 (33, 84) 14 8 8 7
44 (7, 16) 0 0 1 2
45 (21, 44) 0 18 3 4
46 (98, 77) 0 6 0 0
47 (55, 98) 0 0 5 4
48 (1, 4) 8 0 3 4
49 (80, 26) 12 0 0 2
50 (3, 96) 0 0 0 2
51 (12,24) 1 0 4 0
52 (18,76) 1 0 9 0
53 (4,37) 6 11 1 7
54 (11,81) 0 8 6 0

231
Koordinat Grona Eleusine Fimbristylis
No Poa cenisia
(X, Y) triflora indica dichotoma
55 (64,96) 0 0 1 10
56 (54,68) 2 1 8 2
57 (37,63) 3 1 11 3
58 (17,48) 3 2 4 5
59 (80,13) 0 0 0 6
60 (74,23) 0 0 0 0
61 (94,31) 0 3 5 0
62 (41,33) 0 0 2 0
63 (27,29) 0 0 4 0
64 (50,26) 0 1 0 5
65 (42,1) 7 6 5 1
66 (20,97) 7 2 2 7
67 (16,57) 5 0 1 0
68 (23,56) 10 0 0 0
69 (2,32) 7 0 0 0
70 (6,84) 0 0 0 0
71 (45,65) 5 1 0 4
72 (40,22) 0 0 0 0
73 (10,61) 7 0 0 13
74 (7,5) 10 0 1 0
75 (9,43) 10 0 5 2
76 (45,68) 7 2 4 3
77 (57, 69) 4 7 3 2
78 (51,44) 9 3 1 14
79 (53,46) 10 3 1 13
80 (40,38) 0 2 7 5
81 (44,57) 0 5 0 12
82 (2,8) 9 4 1 5

232
Koordinat Grona Eleusine Fimbristylis
No Poa cenisia
(X, Y) triflora indica dichotoma
83 (9,3) 7 4 3 2
84 (12,11) 8 2 4 2
85 (28,26) 6 8 7 7
86 (34,35) 0 6 8 1
87 (60,48) 8 8 1 1
88 (61,7) 2 5 3 2
89 (67,66) 1 8 1 13
90 (69,84) 2 5 6 7
91 (86,97) 6 0 1 0
92 (99,25) 9 3 0 13
93 (71,76) 0 0 0 16
94 (62,79) 0 0 1 10
95 (39,49) 1 2 0 1
96 (83,78) 2 2 2 0
97 (45,87) 0 1 0 14
98 (70,81) 0 1 0 1
99 (11,2) 10 4 5 2
100 (10,4) 7 8 4 2

1. Perhitungan
Table kontingensi

A dan B A hadir B A tidak B A dan B Jumlah


No Kombinasi spesies
hadir (a) tidak (b) hadir (c) absen (d) (e)

1 Grona triflora x Eleusine indica 39 21 22 18 100

2 Grona triflora x Poa cenesia 35 25 14 26 100

Grona triflora x Fimbristylis


3 36 24 19 21 100
dichotoma

233
4 Eleusine indica x Poa cenesia 30 31 19 20 100

Eleusine indica x Fimbristylis


5 36 25 19 20 100
dichotoma
Poa cenesia x Fimbristylis
6 34 15 21 30 100
dichotoma

234
Table Kontingensi antara

1. Tabel kontingensi antara (Grona triflora x Eleusine indica)

Observasi Harapan
No Grona triflora x Eleusine indica O-H (O-H)2 X2O (O-H)2/H
(O) (H)
1 A dan B hadir (a) 39 36,60 2,40 5,76 0,16
2 A hadir, B tidak (b) 21 23,40 -2,40 5,76 0,25
3 A tidak, B hadir (c) 22 37,60 -15,60 243,36 6,47
4 A dan B absen (d) 18 2,40 15,60 243,36 101,40
Σ 100 100,00 0,00 498,24 108,28

2. Table kontingensi antara (Grona Triflora x Poa cenesia)

Observasi Harapan
No Grona triflora x Poa cenesia O-H (O-H)2 X2O (O-H)2/H
(O) (H)
1 A dan B hadir (a) 35 29,40 5,60 31,36 1,07
2 A hadir, B tidak (b) 25 30,60 -5,60 31,36 1,02
3 A tidak, B hadir (c) 14 18,40 -4,40 19,36 1,05
4 A dan B absen (d) 26 21,60 4,40 19,36 0,90
Σ 100 100,00 0,00 101,44 4,04

3. Tabel kontingensi antara (Grona triflora x Fimbristylis dichotoma)

Grona triflora x Observasi Harapan


No O-H (O-H)2 X2O (O-H)2/H
Fimbristylis dichotoma (O) (H)

1 A dan B hadir (a) 36 33,00 3,00 9,00 0,27


2 A hadir, B tidak (b) 24 27,00 -3,00 9,00 0,33
3 A tidak, B hadir (c) 19 28,00 -9,00 81,00 2,89
4 A dan B absen (d) 21 12,00 9,00 81,00 6,75
Σ 100 100,00 0,00 180,00 10,25

235
4. Tabel kontingensi antara (Eleusine indica x Poa cenesia)
Eleusine indica x Poa Observasi Harapan
No O-H (O-H)2 X2O (O-H)2/H
cenesia (O) (H)
1 A dan B hadir (a) 30 36,6 -6,6 43,56 1,19
2 A hadir, B tidak (b) 31 23,4 7,6 57,76 2,47
3 A tidak, B hadir (c) 19 37,6 -18,6 345,96 9,20
4 A dan B absen (d) 20 2,4 17,6 309,76 129,07
Σ 100 100 0,00 757,04 141,93

5. Table kontingensi antara (Eleusine indica x Eleocharis palustris)


Eleusine indica L. X Observasi Harapan
No O-H (O-H)2 X2O = (O-H)2/H
Eleocharis palustris (O) (H)

1 A dan B hadir (a) 8 -46,65 54,65 2986,44 -64,02

2 A hadir B tidak (b) 2 124,54 -122,54 15015,64 120,57


3 A tidak B hadir (c) 6 -13,24 19,24 370,24 -27,96
4 A dan B absen (d) 13 35,35 -22,35 499,60 14,13
Ʃ 29 100,00 0,00 18871,92 42,72

6. Table kontongensi antara (Sorghum halepense x Eleocharis palustris)


Sorghum halepense
Observasi Harapan
No X Eleocharis O-H (O-H)2 X2O = (O-H)2/H
(O) (H)
palustris
1 A dan B hadir (a) 9 -46,65 54,65 2986,44 -64,02
2 A hadir B tidak (b) 8 124,54 -122,54 15015,64 120,57
3 A tidak B hadir (c) 5 -13,24 19,24 370,24 -27,96
4 A dan B absen (d) 7 35,35 -22,35 499,60 14,13
Ʃ 29 100,00 0,00 18871,92 42,72

236
Perhitungan

1. Kontingensi antara Grona triflora x Eleusine indica


Harapan (H)
a. A dan B Hadir
(a + b)(a + c) (39 + 21)(39 + 22)
K= = = 36,60
100 100
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (39 + 21) − 36,60 = 23,40
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (39 + 22) − 23,40 = 37,60
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (36,60 + 23,40 + 37,60)
= 2,40
(O − H)2
𝑋 2 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
5,76
𝑋 2 Hitung = = 0,16
36,60
b. A hadir dan B tidak
5,76
𝑋 2 Hitung = = 0,25
23,40
c. A tidak dan B hadir
243,36
𝑋 2 Hitung = = 6,47
37,60
d. A dan B absen
243,36
𝑋 2 Hitung = = 108,28
2,40
Σ𝑋 2 Hitung = 0,16 + 0,25 + 6,47 + 101,40 = 108,28
Kesimpulan:
Jadi, ada asosiasi antara Grona triflora dan Eleusine indica karena ΣX2
hitung > ΣX2 tabel yaitu 108,28 >6,25

237
2. Kontingensi antara Grona triflora x Poa cenisia
Harapan (H)
a. A dan B Hadir
(a + b)(a + c) (35 + 25)(35 + 14)
K= = = 29,40
100 100
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (35 + 25) − 29,40 = 30,60
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (35 + 14) − 30,60 = 18,40
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (19,40 + 30,60 + 18,40)
= 21,60
(O − H)2
𝑋 2 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
31,36
𝑋 2 Hitung = = 1,07
29,40
b. A hadir dan B tidak
31,36
𝑋 2 Hitung = = 1,02
30,60
c. A tidak dan B hadir
19,36
𝑋 2 Hitung = = 1,05
18,40
d. A dan B absen
19,36
𝑋 2 Hitung = = 0,90
21,60
Σ𝑋 2 Hitung = 1,07 + 1,02 + 1,05 + 0,90 = 4,04
Kesimpulan:
Jadi, tidak adanya asosiasi antara Grona triflora dan Poa cenesia karena
ΣX2 hitung < ΣX2 tabel yaitu 4,04 < 6,25

238
3. Kontingensi antara Grona triflora x Fimbrystilis dichotoma
Harapan (H)
a. A dan B Hadir
(a + b)(a + c) (36 + 24)(36 + 19)
K= = = 33,00
100 100
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (36 + 24) − 33,00 = 27,00
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (36 + 19) − 27,00 = 28,00
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (33,00 + 27,00 + 28,00)
= 12,00

2
(O − H)2
𝑋 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
9,00
𝑋 2 Hitung = = 0,27
33,00
b. A hadir dan B tidak
9,00
𝑋 2 Hitung = = 0,33
27,00
c. A tidak dan B hadir
81,00
𝑋 2 Hitung = = 2,86
28,00
d. A dan B absen
81,00
𝑋 2 Hitung = = 6,75
12,00
Σ𝑋 2 Hitung = 0,27 + 0,33 + 2,86 + 6,75 = 10,25
Kesimpulan :
Jadi, ada asosiasi antara Grona triflora dan Fimbristylis dichotoma
karena ΣX2 hitung > ΣX2 tabel yaitu 10,25 > 6,25

4. Kontingensi antara Eleusine indica x Poa cenisia

239
Harapan (H)
a. A dan B Hadir
(a + b)(a + c) (30 + 31)(30 + 19)
K= = = 36,60
100 100
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (30 + 31) − 36,60 = 23,40
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (30 + 19) − 23,40 = 37,60
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (36,60 + 23,40 + 37,60)
= 2,40

2
(O − H)2
𝑋 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
43,56
𝑋 2 Hitung = = 1,19
36,60
b. A hadir dan B tidak
57,76
𝑋 2 Hitung = = 2,47
23,40
c. A tidak dan B hadir
345,96
𝑋 2 Hitung = = 9,20
37,60
d. A dan B absen
307,79
𝑋 2 Hitung = = 129,07
2,40
Σ𝑋 2 Hitung = 1,19 + 2,47 + 9,20 + 129,07 = 141,93
Kesimpulan:
Jadi, ada asosiasi antara Eleusine indica x Poa cenisia karena ƩX2 hitung
> X2 tabel yakni 141,93 > 6,25

5. Kontingensi antara Eleusine indica x Fimbrystilis dichotoma


Harapan (H)
a. A dan B Hadir

240
(a + b)(a + c) (36 + 24)(36 + 19)
K= = = 29,40
100 100
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (36 + 24) − 29,40 = 30,60
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (36 + 19) − 30,60 = 18,40
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (29,40 + 30,60 + 18,40)
= 21,60
(O − H)2
𝑋 2 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
43,56
𝑋 2 Hitung = = 1,48
29,40
b. A hadir dan B tidak
43,56
𝑋 2 Hitung = = 1,42
30,60
c. A tidak dan B hadir
0,36
𝑋 2 Hitung = = 0,02
18,40
d. A dan B absen
0,36
𝑋 2 Hitung = = 0,02
21,60
Σ𝑋 2 Hitung = 1,48 + 1,42 + 0,02 + 0,02 = 2,94
Kesimpulan:
Jadi, tidak ada asosiasi antara Eleusine indica x Fimbrystilis dichotoma
karena ƩX2 hitung > ƩX2 tabel yakni 2,94 > 6,25

6. Kontingensi antara Poa cenisia x Fimbrystilis dichotoma


Harapan (H)
a. A dan B Hadir
(a + b)(a + c) (34 + 15)(34 + 21)
K= = = 33,00
100 100

241
b. A hadir dan B tidak
L = (a + b) − K = (34 + 15) − 33,00 = 27,00
c. A tidak dan B hadir
M = (a + c) − L = (34 + 21) − 27,00 = 30,60
d. A dan B absen
N = 100 − (K + L + M) = 100 − (33,00 + 27,00 + 30,60)
= 9,40

2
(O − H)2
𝑋 Hitung =
H
a. A dan B Hadir
1,00
𝑋 2 Hitung = = 0,03
33,00
b. A hadir dan B tidak
144,00
𝑋 2 Hitung = = 5,43
27,00
c. A tidak dan B hadir
92,16
𝑋 2 Hitung = = 3,01
30,60
d. A dan B absen
424,36
𝑋 2 Hitung = = 45,14
9,40
Σ𝑋 2 Hitung = 0,03 + 5,43 + 3,01 + 45,14 = 53,52
Kesimpulan:
Jadi, ada asosiasi antara Poa cenisia x Fimbrystilis dichotoma karena
ƩX2 hitung > ƩX2 tabel yakni 53,52 > 6,25

242
B. Tabel Parameter

Pengukuran
No Nama alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
Lux Min: > 20.000 Min: > 20.000 Min: > 20.000 Min: > 20.000
Luxmeter Intensitas cahaya
Max: > 20.000 Max: > 20.000 Max: > 20.000 Max: > 20.000
1 4in1
m/s Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0
Anemometer Anemometer
Max: 2,3 Max: 2,6 Max: 1,6 Max: 1,6 - 2,6
pH tanah 6,9 7 7,5 6,9 – 7,5
2 Soil tester
Kelembapan tanah % 100 100 100 100
3 Hygrometer Kelembapan udara % 63 56 49 49-63
o
4 Thermometer Suhu udara C 32,5 32,5 31 31 – 32,5
5 Porositas Daya serap air m/s 3,03 3,03

243
C. Tabel Pengamatan

No Nama Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


Lokal Spesies Ilmiah

1 Sisik betok Sisik Grona


Betok triflora
tiga
bunga

(Sumber: Dok. Kelompok (Sumber: Ohashi, 2018)


III, 2023)
2 Suket Rumput Eleusine
welulang Belulang indica

(Sumber: Nobbee,
2021)

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)
3 Rumput rumput Poa cenisia
biru meadow

244
(Sumber: Dok. Kelompok
III, 2023) (Sumber: Catto, 2021)

4 Kumpai Rumput Fimbristylis


papayungan delapan dichotoma
hari

(Sumber: Dok. Kelompok


III, 2023)

(Sumber: Polain, 2023)

245
V. ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil pengamatan, dengan topik Asosiasi dan Interaksi
antar Spesies, bertujuan untuk menentukan asosiasi dan interaksi tumbuhan
dalam suatu komunitas. Suatu vegetasi terbentuk oleh adanya kehadiran dan
interaksi dari beberapa jenis tumbuhan di dalamnya. Alat yang digunakan
dalam praktikum ini berupa L Kuadran, plastic sampel, dan plastic merah.
Bahan yang digunakan merupakan tumbuhan herba yang berada di hutan pantai
tabanio. Metode yang digunakan adalah dengan cara menentukan titik
koordinat secara acak bertingkat (stratified random sampling), kemudian
menuju titik koordinat yang telah diacak dan mengamati tumbuhan di sekitar
titik koordinat. Cara kerja dari praktikum ini adalah dengan memilih lokasi
pengamatan menggunakan titik koordinat yang telah disiapkan sebanyak 100
titik dengan menggunakan sumbu x dan y, menentukan tumbuhan apa saja
yang terdapat di titik koordinat tersebut menggunakan pipa kuadran, dan
mengambil sampel tumbuhan untuk diamati jenis tumbuhannya (Dharmono et
al, 2023).
Organisme hidup di alam tidak berdiri sendiri-sendiri atau tidak hidup
sendiri-sendiri, melainkan menjadi satu kumpulan individu-individu yang
menempati suatu tempat tertentu, sehingga antar organisme akan terjadi
interaksi. Interaksi-interaksi yang terjadi dapat merupakan interaksi antar
individu dari spesies yang sama, dapat juga merupakan interaksi antar individu
dari spesies yang berbeda (M. Fajri & Ngatiman, 2012). Salah satu bentuk
interaksi antar jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi merupakan suatu hubungan
antar makhluk hidup dalam suatu lingkungan tetentu. Suatu vegetasi terbentuk
oleh adanya kehadiran dan interaksi dari beberapa jenis tumbuhan di dalamnya.
Salah satu bentuk interaksi antar jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu
tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang
di beberapa lokasi. Asosiasi terbagi menjadi asosiasi positif dan asosiasi
negatif. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara
bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa

246
adanya jenis tumbuhan lainnya tersebut. Asosiasi negatif terjadi apabila suatu
jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton & Wolf, 1992).
Asosiasi jenis tumbuhan tidak berarti merupakan bentuk yang
harmonis dari berbagai kegiatan yang bertujuan sama. Namun, adanya
individualitas tumbuhan tidak berarti menghambat adanya hubungan tertentu
diantara tumbuhan dalam suatu komunitas, hubungan tersebut berupa : a)
Pesaing langsung, yang bersaing untuk sumber lingkungan yang sama dengan
menempati strata sama, b) Jenis dependen, yang hanya dapat hidup pada niche
tertentu karena hadirnya tumbuhan lain, seperti lumut yang hanya tumbuh pada
kondisi mikroklimat tertentu yang dihasilkan oleh pohon, c) Jenis pelengkap,
tidak bersaing satu sama lain, karena persaratan untuk hidup mencukupi
dengan menempati strata yang berbeda, atau irama musiman yang berbeda
(Muller & Ellenberg, 1974). Menurut Kershaw (1973) dalam Keliman (1978),
kajian level asosiasi itu dapat ditempuh dengan memasangkan jenis yang
diteliti dengan parameter kekerapan. Pengambilan sampel di lapangan
berdasarkan premis (dasar pikiran) bahwa interaksi positif akan menghasilkan
hubungan ruang (spatial) positif antara partnernya. Kalau satu partnernya
didapatkan di dalam sapling, maka kemungkinan besar akan diketemukan
partner lainnya yang tumbuh berdekatan. Dua populasi saling menarik satu
sama lain, dan hadir dalam pola nonrandum, atau mengelompok. Hal yang
sama juga terjadi pada interaksi negatif yang akan menghasilkan hubungan
spatial negatif yakni, dua populasi saling mengusir satu sama lain dan hadir
dalam pola non randum atau regular. Jika tidak ada interaksi antara populasi
yang mana lokasi individu suatu spesies tidak berpengaruh terhadap lokasi
individu spesies lainnya, maka dua individu tersebut dalam populasi dikatakan
tersebar secara acak (Hardjosuwarno, 1994).
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan di Kawasan Hutan
Pantai Tabanio ini, ada beberapa jenis tumbuhan yang berinteraksi dengan
tumbuhan lainnya dan ada dua tumbuhan yang tidak berinteraksi dengan
tumbuhan lainnya. Tumbuhan yang berasosiasi positif diantaranya Grona
triflora dengan Eleusine indica, Grona trifloral dengan Fimbristilis dichotoma,

247
Eleusine indica dengan Poa cenisia, Poa cenisia dengan Fimbrystilis
dichotoma. Sedangkan tumbuhan yang tidak terjadi asosiasi atau berasosiasi
negative dengan tumbuhan lainnya adalah Grona trifloral dengan Poa cenisia
dan Eleusine indica dengan Fimbrystilis dichotoma. Seperti menurut
McNaughton dan Wolf (1992), Tumbuhan yang berasosiasi positif terjadi
karena suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan dengan jenis tumbuhan
lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis tumbuhan lainnya
sedangkan tumbuhan yang berasosiasi negative atau tidak adanya asosiasi antar
spesies terjadi karena suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan. Hal
ini juga diperkuat oleh Call & Nilsen (2003) dalam Su et al, (2015), yang
menyimpulkan bahwa pasangan spesies dengan asosiasi positive memiliki
kebutuhan yang sama sehingga relung ekologinya overlap. Sementara itu
asosiasi negatif adalah pasangan species dengan kondisi sebaliknya yaitu
memiliki habitat dan kebutuhan yang berbeda. Asosiasi negatif lebih sering
terjadi pada hutan yang telah stabil. Semakin stabil suatu hutan maka semakin
banyak asosiasi negatif yang terjadi (Death, 2000). Interaksi spesies
mempengaruhi proses-proses ekologi seperti pertumbuhan, regenerasi, dan
mortallitas yang akhirnya mempengaruhi persebaran (Bieng et al, 2013 dalam
Kang et al, 2014).
Pada praktikum ini terdapat factor pembatas diantaranya adalah pH tanah
dan Intensitas Cahaya. Pada Kawasan praktikum ini memiliki pH tanah yang
berkisar antara 6,9 sampai 7,5. Ketersediaan hara yang maksimal bagi tanaman
adalah pada kisaran pH 6 -7, pH tanah yang terlalu masam akan menghambat
pertumbuhan tumbuhan. Pada praktikum ini terdapat faktor pembatas
diantaranya adalah pH tanah dan Intensitas Cahaya. Pada Kawasan praktikum
ini memiliki pH tanah yang berkisar antara 6,9 sampai 7,5. Menurut Fajeriadi,
et al, (2019) pH kawasan hutan tabanio berkisar antara 5,6 sampai 7. Namun
menurut Sugito (2012) pH yang terlalu masam pertumbuhan tanaman akan
terhambat karena keracunan aluminium (Al). Mengingat besarnya pengaruh
pH terhadap kemampuan tanah dalam menyediakan hara bagi tanaman,
sehingga pH tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Perbedaan

248
ini bisa saja disebabkan oleh kandungan zat hara dan lokasi pengamatan. Pada
Kawasan praktikum ini, memiliki intensitas cahaya yang tinggi, yaitu lebih dari
20.000, hal ini disebabkan kawasan praktikum ini berdekatan dengan kawasan
pantai. Menurut Fajeriadi et al, (2019), intensitas cahaya kawasan hutan pantai
Tabanio berkisar antara 3213 sampai 20.000. Hal ini juga diperkuat oleh Syakir
& Karnawati (2011) yang menyatakan intensitas cahaya lebih dari 20.000.
Intensitas cahaya adalah faktor utama di antara faktor iklim yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tidak hanya sebagai
sumber energi utama di bumi, sinar matahari juga merupakan faktor pengendali
unsur iklim lainnya (suhu, kelembaban, curah hujan, dan angin). Sugito (2012)
menyebutkan bahwa besarnya intensitas radiasi sinar matahari yang diterima
tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah jarak antara
matahari dan bumi (pagi hari berbeda dengan siang hari, puncak gunung
berbeda dengan dataran rendah, subtropis berbeda dengan tropis. Intensitas
radiasi yang terlalu ekstrem (terlalu tinggi, ataupun terlalu rendah) berdampak
sangat nyata, baik terhadap sifat morfologis maupun sifat isiologis tumbuhan.
Sugito (2012) menyebutkan bahwa jika tanaman mendapatkan intensitas
radiasi matahari rendah, akan terlihat lebih subur, karena daun-daunnya
rimbun, padahal sebenarnya tanaman tersebut lemah. Begitu juga jika
intensitasnya terlalu tinggi, pertumbuhannya terhambat, batangnya pendek,
dan daunnya kecil-kecil. Hasil panen per hektar biasanya rendah, tetapi
kandungan nutrisi dalam hasil panen tinggi. Pada Kawasan praktikum ini,
memiliki intensitas cahaya yang tinggi, yaitu lebih dari 20.000, hal ini
disebabkan Kawasan pengamatan berdekatan dengan kawasan pantai.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, metode yang digunakan
merupakan metode menentukan titik koordinat secara acak bertingkat
(stratified random sampling). Metode ini digunakan untuk menentukan spesies
apa saja yang terdapat dalam lokasi pengamatan. Hal ini diperkuat oleh Ulya
et al. (2018) yang menyatakan bahwa metode Stratified Random Sampling
merupakan metode penarikan sampel, metode ini dilakukan dengan cara
membagi populasi menjadi populasi yang lebih kecil, pembentukan harus

249
sedemikian rupa sehingga setiap stratum homogen berdasarkan suatu atau
beberapa kriteria tertentu, kemudian dari setiap stratum diambil sampel secara
acak. Metode yang digunakan ini memungkinkan untuk setiap anggota
populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih digunakan sebagai
sampel, sehingga proses pengukuran dapat dilakukan dengan melibatkan
sedikit sampel. Dalam penelitian ini alat yang digunakan merupakan pipa
kuadran L, fungsi dari pipa ini untuk mempermudah pengamatan spesies yang
berasosiasi di dalam pipa kuadran tersebut. Namun, pipa ini memiliki
kekurangan seperti tidak kuat dan mudah terlepas. Hal ini juga disampaikan
oleh Southwood & Henderson (2009) dengan menggunakan pipa kuadran L
dapat membantu untuk mengumpulkan data mengenai kepadatan, frekuensi,
dan kerapatan tumbuhan dalam suatu asosiasi.

VI. KESIMPULAN

1. Asosiasi terbagi menjadi asosiasi positif dan asosiasi negatif.

2. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan
dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis
tumbuhan lainnya tersebut.

3. Asosiasi negatif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara
bersamaan.

4. Asosiasi jenis tumbuhan tidak berarti merupakan bentuk yang harmonis dari
berbagai kegiatan yang bertujuan sama.

5. Metode Stratified Random Sampling merupakan metode penarikan sampel.

6. Penggunaan pipa kuadran dapat membantu untuk mengumpulkan data


mengenai kepadatan, frekuensi, dan kerapatan tumbuhan dalam suatu
asosiasi.

250
VII. DAFTAR PUSTAKA

Catto, Caleb. (2021). Poa cenisia. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/97619541 pada 05 Maret
2023.

Dharmono, Mahrudin, Riefani, M. K., & Utami, N. H. (2023). Penuntun


Praktikum Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: CV Batang.

Fajeriadi, H., et al. (2019). Kerapatan lontar (Borassus flabellifer L.) di Hutan
Pantai Desa Tabanio, Kalimantan Selatan. EnviroScienteae, 15(2),
190-194.

Hidayat, Muslich. (2017). Analisis Vegetasi Dan Keanekaragaman Tumbuhan


Di Kawasan Manifestasi Geotermal Ie Suum Kecamatan Mesjid Raya
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik, ISSN: 2337-9812, Vol. 5, No.
2, Ed. September 2017, Hal. 114-124.

Lms Spada Indonesia. (2020). Ekologi dasar. Diakses melalui


https://lmsspada.kemdikbud.go.id pada tanggal 28 Maret 2023.

Nobbee, Umar. (2021). Eleusine indica. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/101553990 pada 05 Maret
2023.

Ohashi, H. and Ohashi, K. (2018) Grona, a Genus Separated from Desmodium


(Leguminosae Tribe Desmodieae). Journal of Japanese Botany
93:104–120.

Polain, Julien. (2023). Fimbristylis dichotoma. Diakses melalui


https://www.inaturalist.org/observations/147947816 pada tanggal 28
Maret 2023.

Southwood, T. R. E., & Henderson, P. A. (2009). Ecological Methods.


Blackwell Science.

251
Susilo, A. (2018). Asosiasi jenis-jenis pohon dominan di Cagar Alam Gunung
Tilu. In Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science,
Enviromental, and Learning (Vol. 15, No. 1, pp. 813-819).

Syakir, M., E. Karmawati, N. Bermawie, B. PRastowo, D. Soetopo, D.S.


effendi, E. Hadipoentyanti, Siswanto, Rr. Sri Hartati dan M. Yusron.
(2011). Inovasi Teknologi Perkebunan Indonesia. hlm 43-47.

Ulya, S. F., Sukestiyarno, Y. L., & Hendikawati, P. (2018). Analisis Prediksi


Quick Count Dengan Metode Stratified Random Sampling Dan
Estimasi Confidence Interval Menggunakan Metode Maksimum
Likelihood. Unnes Journal of Mathematics. 7(1). 108-119.

Wahyuni, Andi Sry., et al. (2017). Populasi Dan Pola Distribusi Tumbuhan
Paliasa (Kleinhovia Hospita L.) Di Kecamatan Bontobahari. Media
Konservasi Vol. 22 No. 1 April 2017: 11-18

252
PRAKTIKUM XI

Topik : Keanekaragaman Epifit


Tujuan : Untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan epifit
Hari/Tanggal : Rabu/ 22 Februari 2023
Tempat : Hutan Pantai Tabanio

I. ALAT BAHAN
A. Alat
1. Plastik sampel a. 4 in 1 (Anemometer dan
2. Kertas label Luxmeter)
3. Kantong merah b. Soil tester
4. Alat tulis c. Hygrometer
5. Alat dokumentasi d. Termometer
6. Parameter:
B. Bahan
1. Paku Kepala Tupai (Dynaria querafolia)
2. Sisik Naga (Pyrossia piloselloides)
3. Pakis Hijau (Rumohra adiantiformis)
4. Kadaka (Asplenium playtyneuron)
II. CARA KERJA
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Melakukan pengukuran parameter lingkungan.
3. Mengamati epifit yang terdapat di setiap pohon inang.
4. Mengambil dan memasukkan epifit ke dalam plastik sampel serta
memberi label.
5. Mendokumentasikan epifit yang telah didapatkan.
6. Mengidentifikasi epifit yang didapatkan dan jenis pohon inang.

253
III. TEORI DASAR
Epifit merupakan salah satu kelompok tumbuhan penyusun
komunitas hutan yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi
(Febriliani et al., 2013). Epifit tumbuh dan menempel pada tumbuhan
lain untuk mendapat sinar matahari, air, dan menyerap unsur-unsur hara
dan mineral dari kulit batang yang membusuk dari pohon tempat
bertumpu. Epifit mampu melakukan proses fotosintesis untuk
pertumbuhan dirinya, sehingga dia bukan parasit. Keberadaan epifit
sangat penting dalam ekosistem hutan karena kadangkala tumbuhan
epifit mampu menyediakan tempat tumbuh bagi semut-semut pohon
(Indriyanto, 2008). Tumbuhan epifit hidup menempel pada batang
tumbuhan lain atau bebatuan. Tumbuhan ini mendapatkan sumber hara
dari debu, sampah/detritus, tanah yang dibawa ke atas oleh rayap atau
semut, kotoran burung dan lain-lain. Tumbuhan ini melimpah di tempat
yang cukup curah hujan, di sekitar mata air, sungai atau air terjun
(Steenis, 1972). Lubis (2009) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
paku epifit di hutan sangat tergantung pada tumbuhan penopangnya,
untuk tempat hidup bukan sebagai sumber makanan. Apabila tumbuhan
penopang dari paku epifit memiliki kulit batang yang lunak maka
keselamatan paku epifit akan terancam, karena tumbuhan penopang
tidak mampu untuk menyangga atau mempertahankan akar paku epifit.
Tjitrosoepomo, (2007) tumbuhan epifit sebagian besar
termasuk tanaman yang tingkat hidupnya rendah (lumut, lumut kulit,
ganggang), tetapi juga terdapat paku-pakuan yang lebih senang hidup di
atas tumbuh-tumbuhan lain dari pada tumbuh sendiri, Asplenium,
Davallia, Hymenolepis, Drynaria, Platycerium, Cyclophorus dan
Drymoglossum. Tanaman yang tingkat hidupnya tinggi terutama adalah
Orchidaceae, misalnya: Dendrobium dst, jenis Ficus. Tumbuhan ini
biasanya tumbuh pada tembok dan bebatuan.
Tumbuhan Epifit golongan lumut (Bryophyta), tubuh
tumbuhan lumut berupa talus seperti lembaran-lembaran daun

254
(Hepaticae). Pada tanaman lumut belum terdapat akar yang
sesungguhnya, melainkan hanya rizoid-rizoid yang berbentuk benang
yang kadang-kadang menyerupai akar. Alat kelamin pada tumbuhan
lumut berupa Anteridium dan arkegonium. Tumbuhan lumut
berkembang biak dengan spora dan vegetative dengan kuncup eram
(Tjitrosoepomo, 1991).
Tumbuhan Epifit golongan paku-pakuan (Pteridophyta)
menyenangi daerah lembab dan teduh, dapat hidup di tanah atau
menopang pada pohon lain. Tumbuhan paku memiliki bentuk yang
beranekaragam, ada yang yang berdaun tunggal dan kaku, kadang-
kadang menyerupai jenis anggrek. Tumbuhan paku merupakan suatu
divisi yang warganya telah jelas memiliki kormus, artinya telah dengan
nyata dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok, yaitu akar, batang dan
daun (Tjitrosoepomo, 1991). Tumbuhan Epifit golongan tumbuhan
berbunga (Spermatophyta) antara lain famili Araceae, Bromeliaceae dan
Orchidaceae, yang termasuk tumbuhan monokotil, dan tumbuhan
dikotil yang meliputi Asclepiadaceae, Ericaceae, Rubiaceae dan
Melastomataceae (Ewusie, 1990).

255
IV. HASIL PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan

Nama Nama Titik (-


Nama ∑ ∑ FR
N Lokal Ilmiah KR NP )Pi
Spesie in C K F (% Pi
o 1 2 3 (%) (%) Ln
s d up )
Pi
Paku Dynari 5,
Daun 1 48, 1, 42, 91, 0,4 0,3
Kepal a 3 3
1 Kepal 3 9 4 6 48 00 86 34 8 5
a queraf 4
a
Tupai olia
Pyrossi 3,
Picisa Sisik a 1 30, 0, 28, 58, 0,3 0,3
2 8 2 0 2 3
n Naga pilosell 0 30 67 57 87 0 6
3
oides
Rumoh 2,
Paku Pakis ra 18, 0, 14, 32, 0,1 0,3
3 0 6 0 6 1 0
Kulit Hijau adianti 18 33 29 47 8 1
0
formis
Aspleni 0,
Kedak Kadak um 3,0 0, 14, 17, 0,0 0,1
4 0 1 0 1 1 3
ah a playtyn 3 33 29 32 3 1
3
euron
1
1, 10
1 1 3 100 2, 200 1,0 1,1
Ʃ 4 7 0 0,0
1 8 3 ,00 33 ,00 0 3
0 0
0

256
No Indeks Keanekaragaman

1 H’ < 1 Rendah

2 1 < H’ < 3 Sedang

3 H’ > 3 Tinggi

(Sumber : Shannon Winner, 1948)


Kesimpulan : Jadi, indeks keanekaragaman tumbuhan epifit tergolong sedang
karena H’ < 1 yakni 1,13

248
2. Perhitungan
1. Drynaria quercifolia
K = ∑ind/ ∑titik
= 16/3
= 5,33 ind/titik
KR% = K/∑K x 100%
= 5,33/11 x 100%
= 48,48
F = ∑cup/∑titik
= 3/3
= 1 cup/titik
FR(%) = F/∑F x 100%
= 1 /2.33 x 100%
= 42,86%
NP(%) = KR+ FR
= 48,48% + 42,86%
= 91,34%
Pi = n/N
= 16/33
= 0,48
(-)Pi Ln Pi = (-Pi) x Ln (Pi)
= -0,48 x Ln 0,48
= 0,35

2. Pyrossia piloselloides
K = ∑ind/ ∑titik
= 10/3
= 3,33 ind/titik
KR% = K/∑K x 100%
= 3.33/11 x 100%
= 30,30%
F = ∑cup/∑titik
= 2/3
=0,67 cup/titik
FR(%) = F/∑F x 100%
= 0,67/2,33 x 100%
= 28,57%
NP(%) = KR+ FR
= 30,30% + 28,57%
= 58,87%
Pi = n/N
= 10/33
= 0,30
(-)Pi Ln Pi = (-Pi) x Ln (Pi)
= -0,30 x Ln 0,30
= 0,36

249
3. Rumohra adiantiformis
K = ∑ind/ ∑titik
= 6/3
= 2 ind/titik
KR% = K/∑K x 100%
= 2/11 x 100%
= 18,18%
F = ∑cup/∑titik
= 1/3
= 0,33 cup/titik
FR(%) = F/∑F x 100%
= 0,33/2,33 x 100%
=14,29%
NP(%) = KR+ FR
= 18,18% + 14,29%
= 32,47%
Pi = n/N
= 6/33
= 0,18
(-)Pi Ln Pi = (-Pi) x Ln (Pi)
= -0,18x Ln 0,18
= 0,31

4. Asplenium playtyneuron
K = ∑ind/ ∑titik
= 1/3
= 0,33 ind/titik
KR% = K/∑K x 100%
= 0,33/11 x 100%
= 3,03%
F = ∑cup/∑titik
= 1/3
=0,33 cup/titik
FR(%) = F/∑F x 100%
= 0,33/2,33 x 100 %
=14,29%
NP(%) = KR+ FR
= 3,03%+14,29%
= 17,32%
Pi = n/N
= 1/33
= 0,03
(-)Pi Ln Pi = (-Pi) x Ln (Pi)
= -0,03 x Ln 0,03
= 0,11

250
B. Tabel Parameter

Pengulangan
No Nama Alat Pengukuran Satuan Kisaran
1 2 3
1 4 in 1 luxmeter Min: Min: Min: Min:
Intensitas >20.000 >20.000 :>20.000 :>20.000
lux
cahaya Max: Max: Max: Max:
>20.000 >20.000 >20.000 >20.000

Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0 Min: 0,0


Kecepatan
Anemomete m/s Max:2,3 Max: 2,6 Max: 1,6 Max:
angin
r 1,6-2,3

2 Soil tester pH tanah 6,9 7 7,5 6,9-7,5


Kelembapan
% 100 100 100 100
tanah
3 Hygrometer Kelembapan
% 63 56 49 49-63
udara
0
4 Termometer Suhu udara C 32,5 32,5 31 31-32,5

251
C. Foto Pengamatan

Nama Nama Nama Foto Pengamatan Foto Literatur


No
Lokal Spesies Ilmiah

Paku
Daun Drynaria
1. Kepala
Kepala querafolia
Tupai

(Sumber: Dok. (Sumber: Widely,


Kelompok III, 2023) 2018)

Pyrossia
2. Picisan Sisik Naga piloselloid
es

(Sumber : Dok. (Sumber : Permadi,


Kelompok III, 2023) 2023)

Rumohra
3. Paku Kulit Pakis Hijau adiantifor
mis

(Sumber : Dok. (sumber : Sprinthes,


Kelompok III, 2023) 2016)

252
Asplenium
4. Kedakah Kadaka playtyneur
on

(Sumber : Dok. (sumber : ANPS


Kelompok III, 2023) Webmaster, 2023)

253
V. ANALISIS DATA
Praktikum kali ini dengan topik “Keanekaragaman Epifit” yang
bertujuan untuk menghitung keanekaragaman tumbuhan epifit. Adapun alat
yang digunakan yaitu alat tulis, alat dokumentasi, dan alat parameter.
Sedangkan bahan yang digunakan yaitu plastik sampel dan kertas label. Pada
praktikum ini langkah kerja yang dilakukan yaitu menyiapkan alat dan bahan
yang akan digunakan, melakukan pengamatan di tiga titik pengamatan pada
inang yang telah ditentukan, mengamati semua jenis epifit,
mendokumentasikan epifit secara langsung, mengukur parameter lingkungan,
mencatat hasil pengamatan pada tabel dan menghitung indeks
keanekaragaman.
Metode yang digunakan dalam pengamatan ini adalah metode jelajah
(cruise methods) yang dilakukan dengan menelajahi jalur yang dapat mewakili
tipe-tipe ekosistem atapun vegetasi di kawasan yang diamati. Menurut Salamah
(2017), metode jelajah merupakan metode dengan cara menyusuri secara
langsung dan mencatat hasil tumbuhan yang di temui karena tidak semua area
pada kawasan ini ditumbuhi tumbuhan paku epifit. Sehingga, dilakukan
penelitian dengan Jelajah (cruise methods) atau eksplorasi dengan menyusuri
langsung serta mengamati tumbuhan paku epifit di sebelah kanan dan kiri di
sepanjang jalan eksplorasi.
Berdasarkan dari beberapa spesies yang didapat dilakukan beberapa
perhitungan mengenai keanekaragaman. Hasil perhitungan keanekaragaman
spesies yang telah dilakukan pada spesies pertama yaitu Drynaria quercifolia
didapat hasil berupa ∑ ind yakni 16, ∑ cup yakni 3, Kerapatan populasi (K)
yakni 5,33 ind/titik, Kerapatan relatif (KR) yakni 48,48%, Frekuensi (F) yakni
1,00 cup/titik, Frekuensi Relatif (FR) yakni 42,86%, Nilai penting (NP) yakni
91,34%, Pi yaitu 0,48 sehingga nilai keanekaragaman spesies 0,35. Spesies
kedua yaitu Drymoglossum piloselloides ∑ ind yakni 10, ∑ cup yakni 2,
Kerapatan populasi (K) yakni 3,33 ind/titik, Kerapatan relatif (KR) yakni
30,30%, Frekuensi (F) yakni 0,67 cup/titik, Frekuensi Relatif (FR) yakni 28,57

254
%, Nilai penting (NP) yakni 58,87 %, Pi yaitu 0,30, sehingga nilai
keanekaragaman spesies 0,36.
Spesies ketiga yaitu Rumohra adiantiformis didapat hasil berupa ∑ ind
yakni 6, ∑ cup yakni 1, Kerapatan populasi (K) yakni 2,00 ind/titik, Kerapatan
relatif (KR) yakni 18,18%, Frekuensi (F) yakni 14,29 cup/titik, Frekuensi
Relatif (FR) yakni 14,29%, Nilai penting (NP) yakni 32,40%, Pi yaitu 0,18
sehingga nilai keanekaragaman spesies 0,31. Spesies keempat yaitu Asplenium
playtyneuron didapat hasil berupa ∑ ind yakni 1, ∑ cup yakni 1, Kerapatan
populasi (K) yakni 0,33 ind/titik, Kerapatan relatif (KR) yakni 3,03%,
Frekuensi (F) yakni 0,33 cup/titik, Frekuensi Relatif (FR) yakni 14,29%, Nilai
penting (NP) yakni 17,32%, Pi yaitu 0,03 sehingga nilai keanekaragaman
spesies 0,31. Dengan demikian, nilai H’ yakni 1,13.
Berdasarkan dari hasil penelitian dan perhitungan menunjukan bahwa
nilai kerapatan populasi (K) tertinggi terdapat pada Drynaria quercifolia
dengan total individu yaitu 16 dengan nilai kerapatan relatif (KR) yaitu 48,48%
sedangkan yang terendah pada nilai kerapatan populasi (K) terdapat pada
spesies Asplenium playtyneuron dengan total individu yaitu 1 dengan nilai
kerapatan relatif (KR) yaitu 3,03%. Besarnya nilai K menunjukan banyaknya
jumlah dan jenis spesies yang terdapat dalam habitat. Semakin banyak jumlah
dan jenis spesies yang tertangkap maka akan semakin besar nilai KR nya.
Menurut Pertiwi et al. (2019) mengungkapkan bahwa kerapatan (K) adalah
jumlah individu setiap spesies yang dijumpai dalam petak. Sehingga dapat di
simpulkan bahwa Drynaria quercifolia merupakan spesies yang mendominasi
sehingga jumlahnya paling banyak pada setiap (titik) sedangkan Asplenium
playtyneuron merupakan spesies yang paling sedikit pada setiap titik pada saat
pengamatan.
Adapaun nilai frekuensi (F) yang tertinggi Drynaria quercifolia yaitu
1,00 dengan nilai frekuensi relatif tertinggi (FR) yaitu 42,86 % dan yang
terendah nilai frekuensi mutlak (F) yaitu pada pada spesies Asplenium
playtyneuron dengan nilai frekuensi relatif (FR) yaitu yakni 14,29 %. Menurut
Pielou (1994) dalam Aryoudi et al, (2015) menyatakan bahwa di dalam teori

255
kompetisi dimana kompetisi yang tinggi di dalam relung yang sempit akan
menghasilkan lebih banyak jenis yang dapat memasuki habitat. Pertiwi et al.
(2019) mengungkapkan bahwa Frekuensi (F) adalah jumlah kemunculan dari
setiap spesies yang dijumpai dari seluruh petak contoh yang dibuat. Sehingga
dapat di simpulkan bahwa Drynaria quercifolia merupakan spesies yang paling
sering di jumpai pada setiap petak (titik) sehingga nilai F nya pun paling besar.
Nilai Penting (NP) tertinggi yaitu Drynaria quercifolia dengan nilai
91,34% sedangkan Nilai Penting (NP) terendah yaitu Asplenium playtyneuron
dengan nilai 17,32%. Menurut Pertiwi et al, (2019), mengungkapkan bahwa
nilai penting (NP) ini menunjukkan spesies yang mendominasi di lokasi
penelitian, Nilai Penting spesies pada suatu komunitas merupakan salah satu
parameter yang menunjukkan peranan spesies tersebut dalam komunitasnya
tersebut. Kehadiran suatu spesies pada suatu daerah menunjukkan kemampuan
adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan.
Semakin besar nilai NP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan
terhadap komunitas dan sebaliknya. Tingginya nilai kerapatan dan nilai penting
mungkin disebabkan Drynaria quercifolia ditemukan di berbagai habitat seperti
hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, dan tempat-tempat terbuka seperti
tepi jalan. Oleh karena itu keanekaragaman habitat yang luas dapat
mempengaruhi kerapatan dan nilai penting Drynaria quercifolia dalam indeks
keanekaragaman. Selain itu bisa juga disebabkan Drynaria quercifolia
memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya.
Kemampuan adaptasi yang tinggi membuat Drynaria quercifolia dapat tumbuh
di berbagai kondisi lingkungan yang berbeda-beda.
Penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas apabila spesies
yang bersangkutan berhasil menempatkan sebagian besar sumberdaya yang
ada dibandingkan dengan spesies yang lainnya rendah (Pertiwi et al, 2019).
Semakin banyak jumlah spesies pada suatu titik maka semakin tinggi juga nilai
keanekaragaman spesiesnya, dan apabila jumlah spesies pada suatu titik sedikit
maka rendah juga untuk nilai keanekaragaman spesiesnya. Berdasarkan

256
pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman epifit
tergolong sedang karena H’<1 yaitu 1,13.
Berdasarkan hasil pengamatan, tumbuhan epifit yang kami temukan
berada pada pohon inang mangga tepat dibagian batang utama. Epifit dapat
menahan diri pada substrat dengan menggunakan akar atau rambut akar untuk
menempel pada permukaan dan menyerap air serta nutrisi dari udara dan debu.
Pada pohon mangga, kemungkinan paku paku tersebut dapat tumbuh
dikarenakan adanya substrat yang cukup untuk menempel dan tumbuh, serta
kondisi mikroklimat yang sesuai untuk tumbuhan epifit seperti suhu dan
kelembapan yang cukup. Selain itu, pohon mangga juga dapat menyediakan
sumber nutrisi dan air yang dibutuhkan oleh paku kepala tupai untuk tumbuh
dan berkembang.
Pohon tempat hidup epifit (inang) seringkali mempunyai penampilan
fisik yang khusus. Sebagian besar tumbuhan inang mempunyai dahan, cabang
atau ranting yang tumbuhnya relatif mendatar atau miring merupakan habitat
yang banyak dijumpai kelompok-kelompok epifit. Secara umum kondisi dan
struktur kulit luar pohon, stabilitas dan kebasahan lingkungan pohon
merupakan faktor faktor fisik utama yang menentukan keberadaan epifit.
Berdasarkan hasil penelitian Richard et al, (1991) menyatakan bahwa sejumlah
besar pohon pohon dari berbagai jenis di hutan-hutan tropis menunjukkan
bahwa hampir seluruh jenis epifit tingkat tinggi yang mencakup anggrek, paku-
pakuan dan tumbuhan berbiji, sebagian besar tumbuh di celah-celah retakan
kulit pohon, lekukan-lekukan pada pohon dan tempat percabangan yang besar.
Pohon-pohon yang umumnya lebih tua akan mempunyai kulit kayu yang lebih
kasar, lebih banyak celah dan percabangan yang lebih besar dari pohon muda.
Penyebaran epifit sangat dipengaruhi oleh kondisi substrat (kulit
pohon inang) yang mencakup kemiringan dan kekasaran kulit kayu serta
penimbunan serasah. Selain diameter pohon, umumnya menunjukkan umur,
juga ikut berperan dalam menentukan banyaknya individu dan jenis epifit yang
menempel (Richard et al, 1991). Faktor yang mempengaruhi tumbuhan epifit
yaitu tumbuhan penopang (inang) (Nawawi et al, 2014). Selain itu, ada kriteria

257
lain yang dimiliki oleh tumbuhan penopang/inang yang disukai oleh paku epifit
yaitu merupakan pohon yang memiliki usia tua dengan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih dari satu tahun (perenial) (Suwila, 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada Lux
meter untuk mengukur intensitas cahaya pada pengulangan 1 menunjukan nilai
minimal >20.000 dan maksimal: >20.000, pada pengulangan 2 menunjukan
nilai minimal >20.000 dan maksimal: >20.000, dan pada pengulangan 3
menunjukan nilai minimal >20.000 dan maksimal: >20.000 sehingga memiliki
kisaran minamal >20.000 dan maksimal >20.000. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa intensitas cahaya yang baik untuk
pertumbuhan tumbuhan paku yaitu mencapai kisaran angka ≥500 lux
(Ridianingsih et al, 2017)
Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada
anemometer untuk mengukur kecepatan angin memiliki kisaran minimal 0,0
m/s dan maksimal 1,6 m/s-2,6 m/s. Berdasarkan literatur kecepatan angin yang
baik bagi pertumbuhan tumbuhan paku berkisar pada angka 19.2 m/s
(Ridianingsih et al, 2017), yang berpengaruh besar pada persebaran spora
tumbuhan paku (Imaniar et al, 2017). Berdasarkan hasil pengamatan untuk
pengukuran parameter pada soil tester untuk mengukur pH tanah sehingga
memiliki kisaran pH 6,9-7,5. Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran
parameter pada soil tester untuk mengukur kelembaban tanah memiliki kisaran
100%.
Berdasarkan hasil pengamatan untuk pengukuran parameter pada
hygrometer untuk mengukur kelembapan udara memiliki kisaran 49% - 63%.
Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan kelembaban udara yang
optimal untuk pertumbuhan tumbuhan paku berkisar pada angka 60%-80%,
sedangkan kisaran kelembaban udara terendah yang masih dapat ditoleransi
oleh tumbuhan paku berkisar pada angka 30% (Sastrapradja, 1980) dalam
(Komaria, 2015). Berdasarkan hasil pengamatan alat termometer yang di
gunakan untuk mengukur suhu udara memiliki kisaran suhu 31◦C – 32,5◦C.

258
Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan suhu optimum
untuk pertumbuhan tumbuhan paku berkisar pada angka 21℃-27℃ (Hoshizaki
& Moran, 2001) dalam (Khoirunnisa, 2021). Sedangkan untuk di wilayah
tropis, suhu optimum untuk pertumbuhan tumbuhan paku berkisar pada angka
25℃-35℃ (Rukmana, 1997) dalam (Majid et al, 2022). Tinggi rendahnya suhu
pada suatu lingkungan akan memengaruhi nilai kelembaban udara di sekitarnya
(Imaniar et al, 2017).
Faktor iklim mikro berupa intensitas cahaya, suhu dan kelembapan
udara merupakan faktor pembatas yang paling menentukan diversitas epifit.
Selanjutnya diikuti karakteristik pohon dan profil tanah. Pertumbuhan vegetatif
pada tumbuhan tingkat tinggi seperti Pteridophyta dan Orchidaceae tidak
terlalu dipengaruhi oleh ketersediaan air dan nutrisi yang berasal dari tanah
(Laube & Zots, 2003). Hal ini dikatakan juga oleh Ding et al, (2016) kebutuhan
nutrisi dari tanah kurang membatasi pertumbuhan vegetatif pada epifit
tumbuhan tingkat tinggi karena nutrisi yang digunakan didapatkan dari udara,
air hujan dan hasil sisa dari pembusukan daun.
Angin memiliki peran yang sangat penting untuk diversitas dan
persebaran biji sebagian besar epifit. Anggrek epifit memiliki ratusan ribu biji
hingga berukuran mikron yang mampu melayang di udara dengan jarak yang
jauh dan kemampuan melekat di pohon lain (Welch, 2007). Karakteristik dari
pohon juga menentukan diversitas epifit. Efek langsung yang diberikan yaitu
dengan adanya ukuran pohon yang besar maka ruang tumbuh epifit lebih luas
sehingga epifit dapat membentuk kolonisasi (Woods et al, 2015). Sementara
itu, ketinggian tempat dan profil tanah secara tidak langsung mempengaruhi
keanekaragaman spesies epifit (Zhang et al, 2013).

259
VI. KESIMPULAN
1. Praktikum dengan topik Keanekaragaman Epifit yang bertujuan
untuk menghitung keanekaragaman tumbuhan epifit
2. Nilai Penting (NP) tertinggi yaitu Drynaria quercifolia dengan nilai
91,34%
3. Nilai Penting (NP) terendah yaitu Asplenium playtyneuron dengan
nilai 17,32%.
4. Keanekaragaman epifit tergolong sedang karena H’<1 yaitu 1,13.
5. Faktor yang menentukan diversitas epifit adalah intensitas cahaya,
suhu dan kelembapan udara

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anps webmaster. (2023). Know your natives – ebony spleenwort.


Diakses melalui ebony spleenwort (Asplenium platyneuron).
Https://anps.org/2023/01/22/know-your-natives-ebony-
spleenwort/ pada tanggal 9 maret 2023

Ding, Y., G. Liu, R. Zang, J. Zhang, X. Lu & J. Huang. 2016. Distribution


of vascular epiphytes along a tropical elevational gradient:
disentangling abiotic and biotic determinants. Scientific Reports
6: 1-11.

Imaniar, Relita, Pujiastuti, & Siti Murdiyah. (2017). “Identifikasi


Keanekaragaman Tumbuhan Paku Di Kawasan Air Terjun Kapas
Biru Kecamatan Pronojiwo Kabupaten Lumajang Serta
Pemanfaatannya Sebagai Booklet.” Jurnal Pendidikan Biologi
6(3):337–45.

Khoirunnisa, Lutriana. (2021). “Identifikasi Keragaman Jenis Tumbuhan


Paku Di Masigit Kareumbi, Cicalengka.” Vol. 01, Issue 03, 99-
106 Universitas Pasundan.

Komaria, Nurul. (2015). “Identifikasi Dan Inventarisasi Tumbuhan Paku


Epifit Di Lingkungan Kampus Universitas Jember Untuk
Penyusunan Buku Nonteks.” Universitas Jember.

Majid, Abdul, Aulia Ajizah, & Sri Amintarti. (2022). “Keragaman


Tumbuhan Paku (Pteridophyta) Di Taman Biodiversitas Hutan
Hujan Tropis Mandiangin.” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains
Dan Teknologi 7(2):102–12.

260
Permadi. (2023). Paku Sisik Naga, Paku Epifit Bermanfaat Sebagai
Antibakteri Hingga Sembuhkan Kanker Payudara. Diakses
melalui https://jateng.tribunnews.com/ pada tanggal 14 Maret
2023

Richad, et al., (1991). “Kajian Komunitas Epifit di Hutan


Dipterocarcapaceae Lahan Pamah” Media Konservasi, Vol.3,
NO. 2.

Sastrapradja, Setijati. (1980). Jenis Paku Indonesia. Bogor: Lembaga


Biologi Nasional.

Shannon, C. E., (1948). A Mathematical Theory of Communication in the


1949. Bell System Tech. J. 27, 379–423

Sprinthes. (2016). Asplenium adiantum-nigrum. Diakses melalui


https://www.flickr.com/ pada tanggal 9 maret 2023.
Sulistyowati, D. A., Perwati, L. K., & Wiryani, E. (2014).
Keanekaragaman Marchantiophyta Epifit Zona Montana di
Kawasan Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Bioma, 26-32

Suwila, M. T. (2015). Identifikasi Tumbuhan Epifit Berdasarkan Ciri


Morfologi dan Anatomi Batang di Hutan Perhutani Sub BKPH
Kedunggalar Sonde dan Natah. Jurnal Florea, 47-50.

Welch, R. (2007). Epiphytes: An ecosystem contained within an


ecosystem. Tropical Field Courses, Western Program, Miami
University. Costa Rica.

Widely. (2018). Drynaria quercifolia Linn, Paku Kepala Tupai. Diakses


melalui https://bluepurplegarden.wordpress.com/ pada tanggal 14
Maret 2023

Woods, C.L., C.L. Cardelus & S.J. DeWalt. (2015). Microhabitat


associations of vascular epiphytes in a wet tropical forest canopy.
Journal of Ecology 103(2): 421-430.

Zhang, J., W.D. Kissling, & F. He. (2013). Local forest structure, climate
and human disturbance determine regional distribution of boreal
bird species richness in Alberta, Canada. Journal Biogeography
40: 1131–1142.

Zhao, M., N. Geekiyanage, J. Xu, M.M. Khin, D.R. Nurdiana, E. Paudel


& R.D. Harrison. (2015). Structure of the epiphyte community in
a Tropical Montane Forest in SW China. PLoS ONE 10(4): 1-19.

261

Anda mungkin juga menyukai