Anda di halaman 1dari 12

Nama: Muhammad Naufal Baihaqi

NIM: 225070507111018
Kelas/Kelompok: Farmasi B/B2

KASUS TUTORIAL GASTRITIS

Seorang pasien perempuan umur 20 tahun datang dengan keluhan rasa terbakar
di daerah ulu hati dan terasa nyeri, nyeri bertambah ketika pasien terlambat makan, dan
ketika makan nyeri hilang sementara, namun 2 atau 3 jam setelah makan nyeri kembali
lagi. Keluhan mual dan muntah dirasakan. Demam disangkal. Pasien diketahui
mengkonsumsi jamu penghilang rasa nyeri selama 10 tahun. Pemeriksaan fisik TD
110/80mmhg, HR 115x/menit, T 36,5°C. Riwayat penyakit pasien adalah
hiperkolesterol dan Osteoartritis lutut. Selama ini pasien rutin meminum simvastatin 10
mg 1x1 tablet dan terkadang menggunakan obat NSAID Asam mefenamat kombinasi
Na.Diklofenak apabila nyeri lutut kambuh. Dokter di poliklinik memberikan terapi :

• Omeprazol

• Antasida

• Sukralfat

• Parasetamol

• Ceftriaxon

PERTANYAAN :

- Lakukan analisa SOAP untuk soal diatas.


I. Subjektif
a. Nyeri epigastrium
Nyeri pada bagian atas perut, khususnya di ulu hati atau epigastrium, adalah
gejala umum dari gastritis. Hal ini disebabkan oleh peningkatan sekresi gastrin yang
mengiritasi mukosa lambung. Nyeri epigastrium dapat mengganggu aktivitas sehari-
hari dan ditandai dengan ekspresi wajah yang meringis, mengerutkan dahi, serta
gelisah. Pasien cenderung melakukan gerakan melindungi bagian yang terasa nyeri, dan
beberapa bahkan menghindari aktivitas yang dapat memperburuk keadaan mereka
(Andika et al, 2023).
Nyeri epigastrium yang muncul setelah makan dan kemudian kembali lagi dapat
menandakan adanya kondisi yang mempengaruhi lambung, seperti tukak lambung atau
ulkus peptikum. Saat makanan masuk ke lambung, asam lambung mulai diproduksi
untuk mencerna makanan. Makanan dapat bertindak sebagai penutup alami pada area
yang terluka akibat tukak, mengurangi nyeri sementara. Namun, setelah proses
pencernaan selesai dan perut kosong kembali, asam lambung dapat menyebabkan iritasi
pada luka tukak, menyebabkan nyeri kembali (Ramakrishnan & Salinas, 2007).

b. Mual dan Muntah


Rasa mual dan muntah yang dialami pasien umumnya disebabkan oleh
peningkatan sekresi asam lambung, yang mengakibatkan kurangnya asupan makanan
ke dalam tubuh serta diikuti dengan perasaan lemas. Hal ini merupakan respons
kompleks terhadap sensasi nyeri akibat inflamasi pada mukosa lambung dan produksi
asam lambung yang berlebihan, yang memicu aktivasi saraf untuk merespon mual dan
muntah. (Sinapoy dkk., 2021).

c. Riwayat penyakit
Pasien memiliki riwayat hiperkolesterolemia, pasien mengalami peningkatan kadar
kolesterol karena konsumsi makanan tinggi lemak, yang dapat memicu sekresi asam
lambung yang tinggi. Hiperkolesterol ini dapat mempengaruhi denyut nadi, yang dapat
menyebabkan penumpukan lemak/kolesterol pada pembuluh darah. (Yani, 2015).
Osteoarthritis dapat diatasi dengan penggunaan obat golongan antiinflamasi nonsteroid
(NSAIDs). Namun, penggunaan NSAIDs dan kortikosteroid dapat menghambat
sintesis prostaglandin, meningkatkan sekresi asam lambung, dan menyebabkan suasana
asam dalam lambung. Kondisi asam ini dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika
mengkonsumsi jangka panjang maka akan berakibat pada lambung yang dapat
membuat ulkus pada lambung (Adiansyah dkk., 2021).
II. Objektif
a. Heart Rate
Peningkatan detak jantung bisa terjadi pada pasien dengan riwayat hiperkolesterol,
yang juga dapat menunjukkan gejala kolesterol tinggi. Jantung yang berdebar-debar
adalah tanda gangguan yang disebabkan oleh penumpukan kolesterol dalam tubuh,
menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. Hal ini dapat
menyebabkan sensasi berdebar yang berkelanjutan (Anies, 2015)
III. Assesment
a. Omeprazol
Omeprazol merupakan obat golongan Proton Pump Inhibitor yang memiliki indikasi
untuk mengurangi produksi asam lambung melalui penghambatan enzim pada pompa
proton sel parietal dalam lambung, seperti enzim hydrogen adenosin triphosphate dan
potassium adenosine triphosphate. Penggunaan omeprazole dianggap sudah tepat
karena dapat mengatasi nyeri yang terkait dengan ulkus peptikum dengan cara
mengurangi sekresi asam lambung (Sweetman, 2009).

b. Antasida
Antasida merupakan basa lemah yang dapat bereaksi dengan asam hidroklorida
lambung untuk membentuk garam dan air. Mekanisme utamanya adalah mengurangi
keasaman intragastric. Antasida digunakan dalam pengobatan pasien dengan dispepsia
dan gangguan asam-peptik. Pemberian antasida dinilai tepat karena penting untuk
menetralkan asam lambung guna mengurangi inflamasi yang terjadi (Katzung et al,
2012).

c. Sukralfat
Sukralfat adalah jenis obat sitoprotektif yang, dalam kondisi asam, membentuk
kompleks dengan protein dalam lambung untuk melindungi mukosa lambung yang
terluka. Selain itu, obat ini memiliki kemampuan untuk menghambat pelepasan pepsin
di lambung dan menyerap garam empedu. Penggunaan sukralfat dianggap tepat karena
dapat mengobati gejala tukak lambung dengan cara melindungi ulkus pada mukosa
lambung (Sweetman, 2009).

d. Parasetamol
Parasetamol adalah obat analgesik antipiretik yang berguna untuk meredakan rasa sakit
dan nyeri pada tubuh, diindikasikan untuk meredakan nyeri pada perut. Pemberian
paracetamol dinilai sudah tepat dikarenakan jika dibandingkan dengan obat NSAID
lainnya paracetamol memiliki risiko efek samping yang lebih rendah terhadap sistem
pencernaan. Oleh karena itu, paracetamol bisa menjadi pilihan untuk mengatasi nyeri
pada pasien yang memiliki riwayat ulkus peptikum (Katzung et al, 2012).

e. Ceftriaxon
Merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi 3 memiliki efek terapi pada
infeksi bakteri dengan broad spectrum untuk mengobati infeksi tertentu yang
disebabkan oleh bakteri, seperti H. Pylori. Pemberian antibiotik ini dinilai kurang tepat
dikarenakan pada diagnosa tidak dicantumkan adanya infeksi dari bakteri H.pylori,
sehingga perlu dikonfirmasi kembali apakah memang terdapat infeksi atau tidak
(Katzung et al, 2012).

Analisis Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems - DRP's):

- Interaksi Obat:

Penggunaan sukraflaat dan proton pump inhibitor (PPI) + antasita bersamaan tidak
disarankan karena PPI dan Antasida dapat meningkatkan pH lambung, mengurangi
efektivitas sukraflaat yang bekerja optimal pada pH di bawah 4 (Neal, 2005).

Kombinasi antasida dan PPI juga tidak disarankan jika digunakan bersamaan dengan
sukraflaat karena dapat mengurangi efektivitas keduanya. Sebaiknya, antasida dan PPI
diberikan dengan interval minimal 1 jam sebelum sukraflaat (Smith, 20010).

- Infeksi Bakteri Belum Ditegakkan:

Penggunaan ceftriaxone tidak dapat dipastikan keefektifannya karena belum


terkonfirmasi adanya infeksi bakteri H. pylori sebagai penyebab gastritis pada pasien.
Jika infeksi bakteri H. pylori terdeteksi, penggunaan ceftriaxone dapat dipertimbangkan
sesuai indikasi, tetapi jika tidak ada infeksi H. pylori, penggunaan ceftriaxone mungkin
tidak diperlukan (Katzung et al., 2012).
IV. Plan
a. Terapi Non Farmakologi
1. Untuk mengurangi risiko peningkatan produksi asam lambung, sangat penting bagi
pasien untuk menghindari stres berlebihan (Wau et al., 2018).
2. Merokok dan paparan asap rokok dapat merusak lapisan pelindung lambung, sehingga
penting bagi pasien untuk menghindari kebiasaan merokok dan mengurangi paparan
asap rokok (Tarigan, 2001).
3. Menjaga asupan air putih yang cukup dapat membantu mengurangi gejala nyeri yang
disebabkan oleh gastritis (Dermawan, 2010).
4. Istirahat yang cukup, terutama pada malam hari, dapat membantu mengurangi efek dari
peningkatan produksi asam lambung pada pasien dengan gastritis (Tarigan, 2001).

KIE
Pasien harus diberi informasi mengenai pentingnya mengikuti perubahan gaya
hidup dan terapi pemeliharaan jangka panjang untuk mencegah kekambuhan atau
peningkatan penyakit serta komplikasi yang mungkin terjadi. Penting untuk
menjelaskan kepada pasien tentang profil pengobatan mereka, terutama terkait dengan
obat-obatan yang dapat memperburuk kondisi, seperti NSAID yang dapat mengiritasi
lambung. Disarankan untuk menggunakan analgesik yang lebih ringan seperti
parasetamol. Sukralfat harus diminum terlebih dahulu karena pembentukan polimer
dalam pH asam dan memiliki interaksi dengan omeprazole dan antasida, diikuti dengan
pemberian omeprazol dan antasida. Efek samping potensial dari obat-obatan yang
dikonsumsi juga harus dijelaskan kepada pasien agar mereka memahami bahwa
pengobatan mereka tidak selalu menjamin penampilan tanpa gejala. Pasien juga perlu
diberi tahu untuk menghindari konsumsi kafein, minuman berkarbonasi, alkohol, dan
makanan pedas karena dapat meningkatkan produksi asam lambung dan memperburuk
kondisi ulkus peptikum. Pengaturan regimen terapi obat harus didasarkan pada jenis
ulkus yang diderita pasien dan toleransi antibiotik mereka. Pasien harus diberi edukasi
yang memadai tentang tujuan pengobatan, perubahan pola makan dan gaya hidup,
informasi spesifik tentang obat, dan kapan harus mencari pertolongan medis darurat
jika gejala memburuk. Semua aspek rencana terapi dan tujuannya harus dijelaskan
dengan baik kepada pasien untuk memastikan pemahaman yang tepat (Dipiro et al,
2020).
Tenaga klinisi penting untuk memantau gejala pasien, efek samping obat, dan
potensi interaksi obat. Gejala nyeri ulkus biasanya akan mereda dalam beberapa hari
setelah penghentian NSAID dan dalam 7 hari setelah dimulainya terapi antiulkus.
Sebagian besar pasien dengan ulkus peptikum sederhana akan bebas gejala setelah
pengobatan dengan salah satu regimen antiulkus yang direkomendasikan. Namun, jika
gejala tetap persisten atau kambuh dalam 14 hari setelah berakhirnya pengobatan, hal
ini bisa menjadi tanda kegagalan penyembuhan ulkus atau eradicating Helicobacter
pylori (HP), atau indikasi adanya diagnosis alternatif seperti penyakit refluks
gastroesofageal. Sebagian besar pasien dengan ulkus HP-positif sederhana tidak
memerlukan konfirmasi penyembuhan ulkus atau eradicating HP. Penting juga untuk
memantau pasien yang mengonsumsi NSAID secara ketat untuk tanda dan gejala
perdarahan, obstruksi, penetrasi, dan perforasi. Endoskopi tindak lanjut diperlukan
pada pasien dengan seringnya kambuhnya gejala, penyakit yang sulit diobati,
komplikasi, atau dugaan keadaan hipersekresi. Terus-menerus memantau dan
manajemen yang tepat diperlukan untuk mencegah komplikasi dan memastikan
kesembuhan yang optimal bagi pasien (Dipiro et al, 2015).

b. Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi untuk mengobati gastritis melibatkan penggunaan
berbagai jenis obat tergantung pada efek terapi yang diinginkan. Biasanya, terapi
tunggal digunakan, tetapi terkadang terapi kombinasi juga diperlukan. Pemberian obat
seperti antasida, omeprazole, domperidone, ranitidine, dan sukralfat disesuaikan
dengan rekomendasi dokter berdasarkan usia dan kondisi pasien. Obat-obat yang
digunakan dalam pengobatan gastritis termasuk dalam empat golongan obat:

1. Antagonis Reseptor H2 Blocker: Merupakan penghambat sekresi asam lambung yang


bekerja dengan menghambat interaksi histamin dengan reseptor H2, sehingga
mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan.
2. Antasida: Bekerja dengan menetralisir keasaman lambung menggunakan senyawa
seperti aluminium, magnesium, kalsium karbonat, dan natrium bikarbonat.
3. Proton Pump Inhibitor (PPI): Obat golongan ini bertujuan untuk menghambat sekresi
asam lambung dengan cara menghambat sistem enzim adenosin trifosfat hidrogen-
kalium dalam sel parietal, serta mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
kanalikuli, sehingga mengurangi rasa sakit pada pasien gastritis.
4. Sukralfat merupakan jenis obat sitoprotektif prostaglandin sintetik yang bertujuan
untuk melindungi mukosa lambung. Obat ini bekerja dengan membentuk kompleks
ulser adheren dengan eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser,
sehingga melindunginya dari asam lambung. Selain itu, sukralfat membentuk barier
viskos pada permukaan mukosa di lambung dan duodenum, menghambat aktivitas
pepsin, dan membentuk ikatan garam dengan empedu. Disarankan untuk mengonsumsi
sukralfat saat perut kosong untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat (Katzung
et al, 2012).

c. Meto
1. Omeprazole: Untuk mengurangi nyeri pada ulkus peptikum dengan
menghambat produksi asam lambung.
2. Antasida: Menetralkan asam lambung untuk mengurangi gejala tukak lambung.
3. Sukralfat: Mengobati gejala tukak lambung dengan melindungi ulkus pada
mukosa lambung.
4. Paracetamol: Meredakan rasa nyeri perut yang dialami oleh pasien.
5. Ceftriaxone: Mengobati infeksi bakteri, termasuk bakteri H. Pylori, penyebab
penyakit yang mungkin diderita pasien.

d. Meso
1. Omeprazole: Jarang menyebabkan efek samping jika digunakan dengan tepat
dan tidak overdosis. Efek samping yang umum termasuk pusing, diare, dan
gatal-gatal. Namun, juga bisa menyebabkan kelelahan, konstipasi, muntah,
perut kembung, mulut kering, dan lainnya (Sweetman, 2009).
2. Antasida: Jarang menyebabkan efek samping, tetapi dalam dosis besar dapat
menyebabkan gangguan ginjal (Workman dan Linda, 2016).
3. Sukralfat: Efek samping utama yang sering terjadi adalah konstipasi, diikuti
oleh diare, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, dan kembung. Efek
samping lain yang mungkin termasuk pusing, vertigo, nyeri pinggang, dan
hipersensitif (Sweetman, 2009).
4. Paracetamol: Efek samping yang umum meliputi rasa kantuk dan kelelahan.
Banyak orang juga mengalami ruam dan gatal. Pada anak-anak, paracetamol
dapat menyebabkan penurunan gula darah, rasa lapar, tremor, kebingungan,
atau pingsan (Katzung et al, 2012).
5. Ceftriaxone: Ceftriaxone dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas seperti
anafilaksis, demam, ruam kulit, nefritis, granulositopenia, dan anemia hemolitik
karena sifat sensitifnya (Katzung et al, 2012).
Daftar Pustaka

Adiansyah, E.E.P.S., Ariyani, H. Hendera. 2021. STUDI LITERATUR EFEK


PENGGUNAAN NON-STEROIDAL ANTI INFLAMMATORY DRUGS (NSAID)
PADA SISTEM GASTROINTESTINAL. Journal of Current Pharmaceutical Sciences,
Vol.5, No.1

Andika, C. Ayubbana, S. Utami, I.T, .2023. PENERAPAN KOMPRES HANGAT


TERHADAP NYERI PADA PASIEN GASTRITIS. Jurnal Cendikia Muda. Page 172-
178. Vol.3, No.2

Anies, 2015. Kolesterol Dan penyakit jantung Koroner.Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Dermawan, D. and Rahayuningsih, T. 2010. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem


Pencernaan). Yogyakarta: Gosyon Publishing.

Dipiro, C.V., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L. & Wells, B.G. 2015a. Pharmacotherapy
Handbook, 9th Edition., McGraw-Hill Education, United States.

Dipiro, J.T., Yee, G.C., Posey, L.M., Haines, S.T., Nolin, T.D., Ellingrod, V. 2020b.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 11th Edition. United States:
McGraw-Hill Education.

Imayani, S. Myrnawati, C.H. Aritonang, J. 2017. GASTRITIS DAN FAKTOR-FAKTOR


YANG BERPENGARUH (STUDI KASUS KONTROL) DI PUSKESMAS
BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH TAHUN 2017. JRKN. Page 132-144.
Vol. 01/No. 02

Katzung, B. G. dkk., 2012. Basic and Clinical Pharmacology., McGraw Hill, New York.

Neal, M.J., 2005. Medical Pharmacology At a Glance, Fifth Edition, Oxford: Blackwell
Publishing Comp.

Ramakrishnan, K. & Salinas, R.C,. 2007. Peptic Ulcer Disease. American Family Physician.
Page 1006-1012. Vol.76, No.7

Setyowati, W.A., Arifah, Susilaningsih, E.Z. 2017. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Pada
Anak Dengan Gastritis. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sinapoy, I. wulandari, Pratiwi Jaya, E. F., & Rizka Putri, L. A. 2021. Hubungan Pola Makan
dengan Kejadian Gastritis Pada Bagian Perlengkapan Rumah Tangga dan Protokoler
Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara. Ilmiah Karya Kesehatan, 02(1), 42–48.
Smith, K., Riche, D.M. and Henyan, N. 2010. Handbook of Clinical Drug Data. New York:
McGraw-Hill Medical.

Supetran, I,. 2016. EFEKTIFITAS PENGGUNAAN TEKNIK RELAKSASI OTOT


PROGRESIF DALAM MENURUNKAN TINGKAT NYERI PASIEN GASTRITIS
DI RUMAH SAKIT DAERAH MADANI PALU. Promotif. Page 1-8. Vol.6 No.1

Sweetman, S. C., et al. 2009. Martindale the complete drug Reference 36th edition. London:
Pharmaceutical Press.

Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Utami, A.D. and kartika, I.R. 2018. Terapi komplementer terhadap penurunan nyeri pada
pasien gastritis: a literatur review. Vol. 1(3), Pp: 123-132.

Wau, E.T., Pardede, J.A., and Simamora, M. 2018. Levels of Stress Related to Incidence of
Gastritis in Adolescents. Mental Health, Vol. 4(2), Np.

Workman, M.A. & Linda, A.L. 2016. Understanding Pharmacology: Essentials for Medication
Safety. St. Louis: Elsevier.

Yani, Muhammad. 2015. Mengendalikan Kadar Kolesterol Pada Hiperkolesterolemia.


Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai