Anda di halaman 1dari 9

SUKRALFAT

Indikasi

Pengobatan jangka pendek ( sampai 8 minggu ) pada ulkus duodenal.

Posologi

: Dewasa : 3-4 kali sehari 2 tablet 500mg, sewaktu lambung kosong (1


jam sebelum makan dan menjelang tidur). Bila penyembuhan belum
tercapai dalam 1-2 minggu, pengobatan harus dilanjutkan selama 4-8
minggu, kecuali bila pemeriksaan dengan endoskopi atau sinar-X telah
memperlihatkan kesembuhan.

Peringatan

Ulsicral harus diberikan secara hati-hati pada pasien gagal ginjal


kronis dan pasien dialisis. Penggunaan obat ini selama kehamilan
hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan. Ulsicral harus diberikan
secara hati-hati pada wanita yang sedang menyusui. Jika diperlukan,
antasida dapat diberikan dalam jangka waktu 1-2 jam sebelum atau
sesudah pemberian Ulsicral. Keamanan dan efektifitas pada anakanak belum dapat ditetapkan.

Efek Samping

Efek samping sangat jarang terjadi, yang relatif sering dilaporkan


hanya konstipasi dan mulut terasa kering. Keluhan lainnya adalah
diare, mual, muntah, rasa tidak nyaman diperut, flatulen, pruritus,
rash, pening, sakit kepala, vertigo, nyeri perut, insomnia dan
mengantuk.

Kontraindikasi

Tidak diketahui kontraindikasi penggunaan sukralfat.

Interaksi Obat

Pemberian Ulsicral dapat mengurangi absorpsi atau bioavailabilitas


obat-obatan:

simetidin,

siprofloksasin,

digoksin,

ketokonazol,

norfloksasin, fenitoin, ranitidintetrasiklin dan teofilin, sehingga obatobatan tersebut harus diberikan dalam waktu 2 jam sebelum
pemberian Ulsicral.
(Sudiyono, 2014).
Sukralfat adalah suatu kompleks yang dibentuk dari sukrosa oktasulfat dan
polialuminium hidroksida. Akatifitas sukralfat sebagai anti ulkus merupakan hasil dari
pembentukan kompleks sukralfat dengan protein yang membentuk lapisan pelindung
menutupi ulkus serta melindungi dari serangan asam lambung, pepsin dan garam empedu.
Penelitian menunjukan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama dalam saluran
cerna sehingga menghasilkan efek obat yang panjang. Sukralfat sangat sedikit terabsopsi di
saluran cerna sehingga menghasilkan efek samping sistematik yang minimal, kebanyakan

bersifat asymtomatis. Toksisitas akut (LD50) aplikasi secara oral pada mencit adalah lebih
dari 8000 mg/kg. Cara kerja sukralfat adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar
ulkus untuk mempercepat persembuhan. Percobaan laboratorium dan klinis menunjukan
bahwa sukralfat menyembuhkan tukak dengan tiga cara :
1.

Membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus yang berfungsi sebagai
lapisan pelindung.

2.

Menghambat aksi asam, pepsin dan garam empedu.

3.

Menghambat difusi asam lambung menembus lapisan fils sukralfat-albumin.

(Sudiyono, 2014).
Sukralfat adalah sitoprotektor atau mukoprotektor yang melindungi ulkus terhadap
difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat mempunyai efek
sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni (a) melalui
pembentukan prostaglandin endogen dan (b) efek langsung meningkatkan sekresi mukus.
Sukralfat adalah substansi yang bekerja lokal pada lingkungan asam yang memiliki
konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer asam untuk
waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah dosis tunggal. Sukralfat mengikat protein (albumin
dan fibrinogen) pada permukaan ulkus dengan stabil dan tidak dapat dipecahkan atau tahan
terhadap hidrolisis pepsin. Perlindungan fisik atau kompleks itu besifat melindungi
permukaan ulkus dan mencegah kerusakan lebih lanjut oleh asam, pepsin dan empedu.
Kemungkinan sukralfat juga mencegah kembalinya difusi ion hidrogen, penyerapan pepsin
dan asam empedu, dan dapat menstimulasi peningkatan protaglandin E2, epidermal growth
factors (EGF), fibroblast growth factor dan mukus lambung (Setiawati 1992).

Daftar Pustaka:
Setiawati, Arini. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi. Cermin
Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 29-35.
Sudiyono, 2014. Inpepsa Suspensi.
http://www.dechacare.com/Inpepsa-Suspensi-P579.html
Diakses tanggal 23 November 2014

TUKAK PEPTIKUM
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor-faktor defensif
(resistensi mukosa) pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis,
duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Tukak kronis disebut pula ulcus peptikum,
karena berhubungan dengan peptic juice, yaitu asam lambung. Istilah tukak peptik
mencakup tukak duodenum dan tukak di lambung.

Tukak Duodenum
Tukak duodenum merupakan suatu penyakit yang kronis dan sering kambuh. Sekitar 60%
tukak duodenum yang telah sembuh, kumat kembali dalam waktu 1 tahun dan 80-90%
kambuh dalam waktu 2 tahun.

Etiologi dan patogenesis


Meskipun dewasa ini telah banyak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
tukak duodenum, namun patogenesis penyakit ini belum diketahui seluruhnya. Sekresi asam
lambung bertanggung jawab atas timbulnya tukak duodenum, namun faktor-faktor yang
menyebabkan individu peka terhadap ulserasi duodenum masih belum diketahui. Timbulnya
tukak duodenum dianggap sebagai akibat ketidakseimbangan antara sekresi asam lambung
pepsin dengan resistensi mukosa lambung atau duodenum.

Gambaran Klinis
Gejala tukak duodenum yang paling sering adalah nyeri didaerah epigastrium. Rasa nyeri ini
sering kali diutarakan seperti terbakar atau perih, namun kemungkinan batasnya tidak jelas,
perasaan tertekan atau penuh di perut atau sebagai sensasi lapar. Sekitar 10% penderita
mengeluh rasa nyeri disebelah kanan dan pertengahan epigastrum. Rasa nyeri khas terjadi
antara 90 menit sampai 3 jam setelah makan. Akibat rasa nyeri ini, penderita sering terbangun
pada malam hari. Rasa nyeri biasanya menghilang dalam waktu beberapa menit setelah
makan atau minum antasida.

Tukak Lambung
Sekitar 55% tukak lambung terjadi pada laki-laki. Secara khas, tukak lambung dalam dan
meluas sampai di sebelah atas mukosa lambung. Hampir semua tukak lambung jinak terletak
di antrum, pada suatu zona tepat disebelah distal dari sambungan mukosa antrum dengan
mukosa korpus ventrikuli yang mensekresi asam. Lokasi sambungan ini bermacam-macam,

terutama pada kurvatura minor lambung. Tukak lambung jarang terjadi pada kurvatura mayor
lambung. tukak lambung hampir selalu disertai gastritis dan berbagai atrofi mukosa yang
mengenai antrum.

Etiologi dan patogenesis


Asam pepsin tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis tukak lambung.
Sekitar 10% sampai 20% penderitatukak lambung juga menderita tukak duodenum. Penderita
dengan kedua jenis tukak tersebut mempunyai pola sekresi asam seperti penderita tukak
duodenum.
Patogenesis tukak lambung dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian besar penelitian
menunjukkan bahwa resistensi mukosa lambung dan atau trauma mukosa lambung
merupakan faktor yang paling renting. Kadar gastrin serum meningkat pada beberapa
penderita tukak lambung, namun peningkatan ini terbatas pada penderita hiposekresi asam
lambung. Juga dijumpai keterlambatan pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa
regurgitasi isi duodenum, terutama yang mengandung empedu, dapatmencetuskan trauma
mukosa lambung dan kemudian berlanjutdengan ulserasi lambung

Gambaran klinis
Seperti pada tukak duodenum, gejala yang paling sering dijumpai pada tukak lambung adalah
nyeri di daerah epigastrium. Rasa nyeri ini dapat menyerupai tukak duodenum, namun beberapa
penderita tukak lambung mengalami rasa nyeri yangtidak menghilang dengan pemberian makanan
dan bahkan dapat dicetuskan atau diperberat dengan pemberian makanan

Gastritis
Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung
dan memiliki 2 jenis keadaan, yaitu gastritis akut dan kronis. Gastritis akut ringan adalah
inflamasi akut mukosa lambung dengan reaksi neutrofil pada lapis superfisial mukosa yang
sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Terjadinya
gastritis kronis bila adanya infiltrasi sel radang pada lamina propria dan/epitelial terutama
terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran neutrofil pada daerah tersebut menandakan
peningkatan aktivitas gastritis kronis.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki. Triono. 2008. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan
Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Djuwantoro. Dwi. 1992. Diagnosa dan Pengobatan Tukak Peptik. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 79. Hal: 14-16.
MIMS. Edisi 11. 2011/2012. Inpepsa. Fahrenheit. Hal : 5
Golongan pelindung mukosa terdiri atas sukralfat. Mekanisme kerja sukralfat adalah
membentuk kompleks ulser adheren dengan eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen
pada sisi ulser dan melindunginya dari serangan asam, membentuk barier viskos pada
permukaan mukosa di lambung dan duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan
membentuk ikatan garam dengan empedu. Sukralfat sebaiknya dikonsumsi pada saat perut
kososng untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat (Hasanah, 2007).
Interaksi antara sukralfat dan kuinolon terjadi dengan adanya pembentukan khelat
tidak larut antara komponen Al(OH)3 pada sukralfat (200 mg setiap gram) dengan 4-keto dan
3 karboksil dari kuinolon yang menyebabkan penurunan absorpsi sehingga kadar kuinolon
menurun. Kombinasi antara ranitidine dan sukralfat serta sukralfat dan antasida merupakan
kombinasi antagonis karena sukralfat memerlukan pH asam agar aktif sebagai obat yang
memproteksi mukosa lambung, sehingga tidak boleh digunakan bersamaan dengan antasida
dan ranitidine (Hasanah, 2007).

Hasanah, A. N. 2007. Evaluasi Penggunaan Obat Antipeptik Ulser pada Penderita Rawat
Tinggal di Rumah Sakit Advent Bandung. Universitas Padjajaran Fakultas Farmasi.
Bandung

Pada sakit flu, gejala yang paling sering muncul adalah demam, sakit kepala, batuk, hidung
tersumbat dan bersin. Untuk demam dan sakit kepala, obat yang terpilih adalah parasetamol
(Sanmol, Pamol, Farmadol). Obat ini merupakan obat penurun panas yang paling aman untuk
saat ini.
Batuk dan bersin sering menyertai flu. Obat yang digunakan untuk mengatasi batuk yang
paling banyak digunkan adalah guaifenesin dan dextromethorphan. Guaifenesin digunakan
untuk mengencerkan dahak. Sayangnya obat ini tidak aman untuk janin. Sedangkan
dextromethorphan sebagai antitusif (penekan batuk) dan obat ini dinyatakan aman untuk ibu
hamil.
Bersin-bersin pada penedrita flu akibat terjadi alergi (rhinitis alergi) pada hidung. Pemberian
obat alergi (antihistamin) akan menghilangkan gejala tersebut. Obat antialergi ayng
digunakan, biasanya adalah Chlorpheniramine Maleat (CTM) cukup aman untuk digunakan
ibu hamil dan menyusui.
Pada pilek sering terjadi penyumbatan hidung. Untuk melegakannya diberikan dekongestan
seperti pseudoefedrin. Obat ini selain sebagi dekongestan, juga dapat merangsang jantung.
Oleh sebab itu obat ini tidak direkomendasikan untuk ibu hamil.
Meski terdapat obat-obat yang bisa digunakan untuk mengobati flu yang cukup aman bagi
ibu hamil dan menyusui, namun obat yang berdar seringkali mengandung obat yang kurang
aman. Hal ini terjadi karena oabt flu tersebut tersedia dalam berbagai kombinasi obat.
Karenanya sangat sulit menemukan obat flu yang benar-benar aman dari obat yang beredar
saat ini.
Flu atau pilek merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus. Jika daya tahan tubuh
meningkat, maka flu dan pilek akan reda dengan sendirinya. Daya tahan tubuh akan
meningkat jika tubuh mendapatkan nutrisi yang bergizi dan berimbang dalam jumlah yang
mencukupi. Oleh karena itu, jika flu dan pilek, jalan terbaik bagi ibu hamil adalah mencukupi
kebutuhan nutrisinya agar daya tahan tubuh meningkat. Itu adalah solusi terbaik, mengingat
tidak ada obat flu dan pilek yang benar-benar aman untuk ibu hamil dan menyusui..

ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin
dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H1, H2 dan H3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau
mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat
mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara
bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang
dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil
diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun
mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

Antagonis H1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi.
Contoh obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine
(khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
Antagonis H2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan
penderita pada tukak lambung serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer
dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina,
ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
Antagonis H3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian
lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan alergi
dan kelainan mental. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat
antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan
sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain
seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara
menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH1) bermanfaat untuk :
Antagonisme terhadap histamin AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yahg disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang
terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan
ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1 selain itu AH1 berguna untuk mengobati alergi
tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi
dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH
1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokan. AH1
efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak
dan kontaknya lama.
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung,
perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba. Beberapa jaringan
seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
SIMETIDIN DAN RANITIDIN simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara
selektiv dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Simetidin
dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi
asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.
Simetidin dan Ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi
asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800 mg/ml atau kadar ranitidin plasma
100 mg/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya 24 jam. Simetidin 1000
mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan ranitidin 300 mg/hari menyebabkan
penurunan 70% sekresi asam lambung. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam
lambung pada sindrom Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakan
ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping akibat besarnya dosis yang
diperlukan.

Antihistamin H1 yang lebih spesifik memperbaiki modalitas terapi.


Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat
ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan
antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1
lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama
dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas
intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis
bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade
pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali
tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.
Penemuan modus operandi antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi
pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan
identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya antihistamin dikelompokkan
menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin,
piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang
bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian
lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama
lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini
dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf
pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya
melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga
ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi
serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia
jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan
levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine.
Anti alergi Plus Anti inflamasi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan
menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif.
Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara
klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis
alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang
efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi
yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan
lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga
memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin

generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat
influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan
ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada
leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti
inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi
ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori,
seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel
nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan
tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek
ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.

Nasib Antihistamin H1 dalam Tubuh


Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai
konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar
antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal
mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian
dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh
cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif
juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara
metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya
dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih
pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien
yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya.

Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I
yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.
Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi
alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion
sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,
analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin
digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.

Anda mungkin juga menyukai