Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

LINGKUNGAN HIDUP

Dosen Pengampu: Yogi Prihandoko, M.Pd

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

Irma Noor Afiyanti 2310125220079


Muhammad Firza 2310125210087
Majdina Rakha El Eisy 2310125320036
Nadya Pramesti Akyela 2310125220064
Nurul Syafa Rahmadani 2310125220078
Nur Rahmadaniyah 2310125220065
Rakhmadaniati Faznur 2310125220063

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

2024
1. PENGERTIAN LINGKUNGAN HIDUP
Penggunaan istilah “lingkungan’’ sering kali digunakan secara bergantian
dengan istilah “lingkungan hidup”. Kedua istilah tersebut meskipun secara harfiah dapat
dibedakan, tetapi pada umumnya digunakan dengan makna yang sama, yaitu
lingkungan dalam pengertian yang luas, yang meliputi lingkungan fisik, kimia, maupun
biologi (lingkungan hidup manusia, lingkungan hidup hewan dan lingkungan hidup
tumbuhan). Definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain dan dapat mempengaruhi hidupnya.
Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah
semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.
Sementara itu, menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup diartikan sebagai ruang
yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup di
dalamnya. Jika disimak berbagai pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa lingkungan
memiliki cakupan yang sangat luas. Lebih jelas L.L. Bernard memberikan pembagian
lingkungan ke dalam 4 (empat) bagian besar, yakni:
a. Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik
dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak, dan
sebagainya.
b. Lingkungan biologi atau organik, segala sesuau yang bersifat biotis berupa
mikroorganisme, parasit, hewan, tumbuhan, termasuk juga disini lingkungan
prenatal, dan proses-proses biologi seperti reproduksi, pertumbuhan, dan
sebagainya.
c. Lingkungan sosial, dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) Lingkungan fisiososial
yaitu meliputi kebudayaan materiil (alat), seperti peralatan senjata mesin,
gedung, dan lain-lain. (2) Lingkungan biososial, yaitu manusia dan interaksinya
terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestic dan semua bahan
yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organik, dan (3) Lingkungan
psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat batin manusia seperti sikap,
pandangan, keinginan, dan keyakinan. Hal ini terlihat melalui kebiasaan, agama,
ideologi, bahasa, dan lain-lain.
d. Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa
lembaga lembaga masyarakat, baik yang terdapat di daerah kota atau desa.
Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang
tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti
udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan
batu. Ruang yang ditempati makhluk hidup bersama benda hidup dan tak hidup inilah
dinamakan lingkungan hidup. Secara yuridis pengertian lingkungan hidup pertama kali
dirumuskan dalam UU No. 4 Tahun 1982 (disingkat UULH-1982) tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian dirumuskan kembali
dalam UU No. 23 Tahun 1997 (disingkat UUPLH-1997) tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan terakhir dalam UU No. 32 Tahun 2009 (disingkat UUPPLH-2009)
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perbedaan mendasar
pengertian lingkungan hidup menurut UUPLH-2009 dengan kedua undangundang
sebelumnya yaitu tidak hanya untuk menjaga kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, tetapi juga kelangsungan alam itu
sendiri. Jadi sifatnya tidak lagi antroposentris atau biosentris, melainkan telah mengarah
pada ekosentris.
Lingkungan hidup menjadi bagian mutlak bagi kehidupan manusia. Dengan
kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari kehidupan manusia. Istilah lingkungan
hidup dalam bahasa inggris disebut environment. Lingkungan Hidup mencakup
pemahaman mengenai budaya dalam melihat dunia dari perspektif yang berbeda.
Pendidikan Lingkungan Hidup bersifat interdisipliner yang merupakan pembelajaran
holistik dengan membawa berbagai disiplin ke suatu isu lingkungan melalui berbagai
pendekatan dalam pembelajaran.
Lingkungan hidup didefinisikan sebagai semua factor eksternal yang bersifat
biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi organisme, serta kondisi yang mencakup fisik, kimia,
dan biotic termasuk organisme. Lingkungan hidup mencakup semua benda dan kondisi,
termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya. Pengertian lingkungan hidup
menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhlik hidup, termasuk manusia
danperilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup
Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan
yurisdiksinya.
2. KOMPONEN LINGKUNGAN HIDUP
Komponen lingkungan hidup merujuk pada unsur-unsur atau bagian-bagian
yang membentuk lingkungan di sekitar kita. Lingkungan hidup mencakup segala
sesuatu yang ada di sekitar kita dan memengaruhi kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Menurut Natsir (2018:4), Secara umum terdapat tiga komponen
lingkungan hidup yakni unsur abiotik, unsur biotik dan unsur sosial budaya. Berikut
adalah penjelasan masing- masing komponen lingkungan tersebut. Berikut ini adalah 3
unsur yang ada di dalam lingkungan hidup.
A. Unsur Abiotik
Unsur abiotik atau komponen fisik adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri
atas benda-benda mati dan sangat berpengaruh pada kehidupan makhluk
hidup, seperti air, angin, cahaya matahari, derajat keasaman, garam,
kelembapan udara, suhu, dan tanah. Berikut adalah peran masing masing unsur
abiotik.
1) Matahari
Unsur lingkungan fisik berupa cahaya matahari berperan penting dalam
proses fotosintesis tumbuhan. Cahaya matahari juga dibutuhkan oleh
makhluk hidup lain terutama manusia, sebagai sumber energi.
2) Air
Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup. Air
adalah unsur terpenting dari lingkungan fisik bagi kelangsungan hidup
manusia dan makhluk lainnya. Jika tidak ada air, maka akan terjadi
bencana kekeringan. Begitu pula jika keberadaan air berlebihan makan
akan menjadi banjir air.
3) Udara
Unsur lingkungan fisik berupa udara tidak kalah penting dengan air.
Setiap makhluk hidup pasti bernapas. Udara dibutuhkan dalam proses
respirasi (bernapas) tersebut. Lapisan Udara terdiri dari berbagai macam
gas. Manusia dan hewan membutuhkan udara dalam bentuk oksigen,
sedangkan tumbuhan memerlukan udara dalam bentuk karbondioksida
untuk berfotosintesis.
4) Tanah
Setiap makhluk hidup berpijak di atas tanah. Mikroorganisme juga
banyak yang tinggal di dalam tanah. Tanah juga dapat menumbuhkan
tanaman yang berguna sebagai bahan pangan bagi manusia dan hewan.
B. Unsur Biotik
Unsur biotik atau unsur hayati adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
manusia, hewan, tumbuhan, dan organisme kecil yang tidak terlihat.
Berdasarkan kemampuan mendapatkan makanan, unsur ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Autotrof: Autrotof disebut juga sebagai produsen karena dapat membuat
makanan, baik untuk diri sendiri maupun untu korganisme lain. Ciri-
cirinya adalah memiliki klorofil dan dapat berfotosintesis.
2) Heterotrof: Heterotrof disebut juga sebagai konsumen karena
mendapatkan makanan dari autrotof atau memakan sesama heterotrof
dan tidak dapat membuat makanan sendiri. Heterotrof dibedakan
menjadi tiga, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora.
3) Dekomposer: Dekomposer disebut juga sebagai pengurai karena
bertugas menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang sudah mati menjadi
senyawa anorganik sehingga dapat menyuburkan tanah. Contoh
dekomposer adalah bakteri, cacing, ganggang, dan jamur.
C. Unsur Sosial Budaya
Selain unsur abiotik dan unsur biotik, di dalam lingkungan hidup juga ada unsur
sosial budaya. Unsur sosial budaya adalah lingkungan sosial dan budaya yang
dibuat manusia dan merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam
berperilaku sebagai makhluk sosial. Unsur ini berperan dalam perubahan
lingkungan demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Berikut adalah beberapa
unsur sosial budaya di lingkungan hidup.
1) Adat Istiadat: Adat istiadat berasal dari para leluhur dan harus dijaga
kelestariannya oleh masyarakat yang menganutnya.
2) Hukum: Hukum diterapkan agar kehidupan berjalan dengan baik dan
lancar. Jika hukum dilanggar, orang yang bersangkutan akan dikenakan
sanksi.
3) Moral: Aturan dan norma yang berlaku di dalam masyarakat termasuk
kedalam moral yang harus dipatuhi. Berbeda dengan hukum, seseorang
yang melanggar moral tidak akan dikenakan sanksi.
4) Kepercayaan: Hubungan yang dibangun antara orang yang satu dengan
orang yang lain harus dilandasi dengan kepercayaan. Agar kehidupan
selalu rukun dan damai, kepercayaan harus dipegang teguh.
5) Kesenian: Kesenian menjadi simbol keindahan di suatu lingkungan yang
dapat dipelajari atau diciptakan oleh siapa saja dan dari mana saja.
3. MANFAAT LINGKUNGAN HIDUP
Lingkungan hidup alami terjadi karena adanya proses alam dan tanpa adanya
campur tangan manusia. Semua unsur yang ada di dalamnya akan bekerja secara
dinamis untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Lingkungan hidup alami memiliki
beberapa manfaat bagi kehidupan, sebagai berikut.
A. Sebagai Penyedia Air, Semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun
tumbuhan, membutuhkan air untuk hidup. Karena itu, air menjadi salah satu hal
penting dalam kehidupan. Jika kekurangan air, dapat dipastikan makhluk hidup
menjadi lemas, sakit, bahkan mati.
B. Sebagai Penyedia Mikroorganisme, Mikroorganisme sangat diperlukan untuk
menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang sudah mati. Melalui sebuah proses
yang dilakukan oleh mikroorganisme, sisa-sisa tersebut akan menjadi tanah
yang subur.
C. Sebagai Penyedia Oksigen, Setiap makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk
bernapas. Sama halnya seperti air, jika kekurangan oksigen, makhluk hidup
akan lemas, bahkan mati.
D. Sebagai Penyedia Sumber Daya Alam, Salah satu contoh sumber daya alam
yang ada di lingkungan hidup alami adalah gas alam dan minyak bumi. Kedua
sumber daya alam tersebut akan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Misalnya, gas alam dan minyak bumi akan diolah menjadi
bahan bakar.
E. Sebagai Penyedia Tanah, Bagi tumbuhan, tanah berfungsi sebagai tempat
hidup. Bagi manusia, tanah berfungsi sebagai tempat untuk berkebun,
berladang, bahkan mendirikan rumah.
F. Sebagai Sumber Makanan, Di dalam lingkungan hidup alami terdapat berbagai
unsur biotik dan unsur abiotik yang saling menguntungkan, seperti tumbuhan
memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis, hewan membutuhkan
tumbuhan sebagai sumber makanan, serta manusia membutuhkan hewan dan
tumbuhan sebagai sumber makanan.
G. Sebagai Tempat Hidup, Lingkungan menjadi tempat bagi makhluk hidup, baik
manusia, hewan, maupun tumbuhan untuk berpijak. Selain itu, lingkungan juga
menjadi tempat untuk beraktivitas dan berinteraksi.
Lingkungan hidup buatan terbentuk karena adanya campur tangan manusia
dengan memanfaatkan teknologi, baik teknologi sederhana maupun teknologi modern,
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun demikian, lingkungan
hidup buatan memiliki beberapa manfaat bagi kehidupan, sebagai berikut.
A. Sebagai Pembangkit Tenaga Listrik
Waduk sebagai salah salah satu contoh lingkungan hidup buatan sangat
bermanfaat untuk pembangkit tenaga listrik. Pembangkit ini akan mengalirkan
listrik ke rumah-rumah, gedung-gedung, dan fasilitas umum lainnya sehingga
penerangan dapat menyala, terutama pada malam hari.
B. Sebagai Sarana Edukasi
Banyak contoh lingkungan hidup buatan yang bermanfaat sebagai sarana
edukasi, seperti sekolah, taman, kawasan industri, dan waduk. Di lingkungan
tersebut, kita dapat mempelajari banyak hal sehingga dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan.
C. Sebagai Sarana Untuk Memenuhi Kebutuhan
Salah satu tujuan dibuatnya lingkungan hidup buatan adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Tidak hanya kebutuhan pokok, tetapi kebutuhan hidup lainnya,
seperti kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Dengan adanya lingkungan
hidup buatan ini, makhluk hidup, terutama manusia, dapat memenuhi semua
kebutuhannya.
D. Sebagai Sumber Penghasilan
Salah satu manfaat lingkungan hidup buatan bagi kehidupan adalah sebagai
sumber penghasilan. Dengan begini, perekonomian masyarakat dapat berjalan
dan kesejahteraan hidup dapat meningkat.
E. Sebagai Tempat Pengembangan Dan Penelitian
Ternyata, lingkungan hidup buatan juga dapat digunakan sebagai tempat untuk
melakukan pengembangan dan penelitian. Dengan dilakukannya kedua hal
tersebut, kehidupan makhluk hidup akan semakin berkembang.
F. Sebagai Tempat Rekreasi
Setiap orang membutuhkan waktu untuk bersantai dan salah satunya adalah
dengan berekreasi. Lingkungan hidup buatan dapat memberikan sarana
tersebut, seperti danau, taman, dan waduk.
G. Sebagai Tempat Penyimpanan Cadangan Air
Biasanya saat musim kemarau, banyak daerah yang mengalami kekeringan.
Dengan adanya lingkungan hidup buatan, seperti danau dan waduk, kekeringan
tersebut dapat diatasi karena tersedia cadangan air.

4. FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP


Fungsi lingkungan hidup mencakup berbagai peran yang dimainkan oleh alam
dalam mendukung kehidupan di bumi. Beberapa fungsi utama mencakup keberlanjutan,
konservasi sumber daya, pengelolaan limbah, pelestarian biodiversitas, dan partisipasi
masyarakat dalam upaya menjaga keseimbangan lingkungan.
Berikut adalah beberapa fungsi yang penting dalam lingkungan hidup:
A. Keseimbangan
Mengatur dan memelihara keseimbangan antara komponen lingkungan hidup,
seperti sumber daya alam, flora, fauna, dan proses ekologis.
B. Keselarasan
Mengatur dan memelihara keseimbangan antara kebutuhan manusia dan
lingkungan hidup, seperti penggunaan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan.
C. Keserasian
Mengatur dan memelihara keseimbangan antara kebutuhan lingkungan hidup
dan kebutuhan manusia, seperti mempertahankan fungsi ekosistem dan
memelihara keanekaragaman.
D. Kelestarian
Mengatur dan memelihara keseimbangan antara generasi masa kini dan
generasi masa depan, seperti mencegah pencemaran lingkungan dan
memelihara sumber daya alam.
E. Bijaksana
Memelihara pemanfaatan sumber daya alam dengan tanggung jawab yang
memperhatikan dari segala aspek, seperti ekologis, sosial, dan ekonomi.
F. Respect for Nature
Memperhatikan dan menjaga hormat terhadap alam, seperti mencegah
pencemaran dan memelihara keanekaragaman.
G. Prinsip termodinamika
Menyediakan dasar untuk penggunaan dan pemanfaatan energi yang efisien
dan efektif, seperti hukum kekekalan energi dan hukum entropi.
H. Prinsip penjenuhan
Memperhatikan dan memelihara keseimbangan antara populasi dan
keanekaragaman, seperti kemantapan keanekaragaman dan prinsip
penjenuhan.
I. Pengelolaan lingkungan berkelanjutan
Memperhatikan dan memelihara lingkungan hidup untuk generasi masa kini dan
masa depan, seperti mencegah pencemaran dan memelihara sumber daya
alam.
J. Pengelolaan lingkungan hidup sebagai insan lingkungan hidup
Memperhatikan dan memelihara lingkungan hidup sebagai bagian dari
kehidupan manusia, seperti sikap dan tindakan untuk melindungi dan membina
lingkungan hidup.
K. Kepeloporan Masyarakat
Memperhatikan dan memelihara kemampuan dan kepeloporan masyarakat
sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti kemampuan
masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
L. Hak atas lingkungan hidup
Memperhatikan dan memelihara hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
seperti hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
M. Kepelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
Memperhatikan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup,
seperti pengelolaan sumber daya alam dan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran.

5. PENCEMARAN DAN PENGRUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP


A. Pengertian Pencemaran dan Pengrusakan Lingkungan Hidup
Bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke
waktu ialah “pencemaran” dan “pengrusakan” lingkungan hidup. Ekosistem dari
suatu lingkungan dapat terganggu kelestariannya oleh karena pencemaran dan
perusakan lingkungan (Ninla Elmawati Falabiba et al., 2014).
Orang sering mencampur adukkan antara pengertian pencemaran dan
perusakan lingkungan padahal antara keduanya terdapat perbedaan. Secara
bahasa kata pencemaran dari akar kata cemar berarti kotor, keji, buruk.
Pencemaran artinya proses perbuatan atau cara mencemari atau cara
mengkotori suatu keadaan tertentu. Sedangkan kata pengrusakan dari asal kata
rusak yang berarti sudah tidak sempuma, tidak utuh, terganggu atau hancur.
Pengrusakan artinya suatu proses perbuatan atau suatu cara merusakkan
sesuatu.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia pencemaran dan
perusakan dibedakan menjadi:
1) Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal 1 ayat
14).
2) Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup (Pasal 1 ayat 16).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan adanya unsur-unsur
pencemaran sebagai berikut:
a) Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan, yang mengakibatkan berbahaya
tatanan lingkungan hidup. Maksud unsur yang pertama ini berupa masuk
atau dimasukkannya zat pencemar, yang berarti baik disengaja maupun
tidak memasukkan zat pencemar atau komponen lainnya yang kira-kira
sangat berbahaya bagi lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya
tatanan lingkungan hidup tersebut.
b) Adanya kegiatan manusia atau adanya proses alam. Unsur kedua ini
dengan melihat faktor penyebabnya, yaitu pencemaran lingkungan dapat
dibedakan antara pencemaran lingkungan yang disebabkan kegiatan
manusia, dan pencemaran lingkungan akibat proses alam.
c) Turunnya kualitas lingkungan. Pencemaran lingkungan dalam dirinya
selalu mengandung pengertian terjadinya penurunan kualitas
lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan meruipakan hal yang
esensial, sehingga perlu ditanggulangi dan tidak berdampak pada
masyarakat.
d) Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi
sesuai dengan peruntukkannya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan,
bahwa pencemaran lingkungan selalu berkaitan dengan peruntukan
lingkungan (tata guna lingkungan).
Dari pengertian diatas juga dapat disimpulkan adanya unsur-unsur
perusakan lingkungan seperti:
a) Adanya suatu tindakan manusia. Maksudnya, karena manusia
merupakan komponen biotik (makhluk hidup) dalam lingkungan hidup
yang sangat dominan, maka segala tindakan atau perilakunya sangat
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup yang
lain.
b) Terjadinya perubahan tenhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Dengan
demikian, perusakan lingkungan dalam dirinya selalu mengandung
pengertian terjadinya sifat fisik dan/atau sifat hayati lingkungan. Untuk
dapat mengetahui telah terjadinya perusakan lingkungan perlu diketahui
keadaan lingkungan sebelum terjadinya kerusakan. Dengan kata lain,
perlu diketahui kondisi awal lingkungan.
c) Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi
dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Karena “di
Indonesia sumber alam terbatas, penduduk banyak keragaman budaya
dan geograis.” Karena itu perlu adanya ketetapan suatu tolak ukur
berupa kriteria untuk menentukan bahwa lingkungan berada dalam
kondisi kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
yang berkesinambungan.
B. Macam-macam Pencemaran
Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di mana-
mana dengan laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam
lingkungan sudah semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai
bahan kimia termasuk logam berat. Pencemaran lingkungan dapat dikategorikan
menjadi: pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah
(Sompotan & Sinaga, 2022).
1) Pencemaran Air
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu
tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah
akibat aktivitas manusia. Walaupun fenomena alam seperti gunung
berapi, badai, gempa bumi juga mengakibatkan perubahan yang besar
terhadap kualitas air, hal ini tidak dianggap sebagai pencemaran.
Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda.
Polusi air dapat berasal dari sumber terpusat yang membawa
pencemar dari lokasi-lokasi khusus seperti pabrik-pabrik, instalasi
pengolah limbah dan tanker minyak, dan sumber tak terpusat, yang
ditimbulkan jika hujan dan salju cair melewati lahan dan menghanyutkan
pencemar-pencemar diatasnya seperti pestisida dan pupuk dan
mengendapkannya di dalam danau, telaga, rawa perairan pantai dan air
yang terapat dalam bawah tanah.
2) Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia atau proses alam, sehingga mutu udara ambien turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak
dapat memenuhi fungsinya lagi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih
substansifisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat
membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,
mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti.
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami
maupun kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti
polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi
udara. Sifat alami udara mengakibatkan dampak pencemaran udara
dapat bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global. Pencemar
udara dibedakan menjadi pencemar primer dan pencemar sekunder.
Pencemar primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung
dari sumber pencemaran udara. Karbon monoksida adalah sebuah
contoh dari pencemar udara primer karena ia merupakan hasil dari
pembakaran. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar yang
terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer.
Pembentukan ozon dalam smog fotokimia adalah sebuah contoh dari
pencemaran udara sekunder. Atmosfer merupakan sebuah sistem yang
kompleks, dinamik, dan rapuh. Belakangan ini pertumbuhan keprihatinan
akan efek dari emisi polusi udara dalam konteks global dan hubungannya
dengan pemanasan global, perubahan iklim dan deplesi ozon di
stratosfer semakin meningkat.
3) Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia buatan
manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini
biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri
atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan
tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan
kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari
tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung
dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika
suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah, maka
ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah.
Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai
zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat
berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat
mencemari air tanah dan udara di atasnya.

6. PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


A. Istilah dan Pengertian
Istilah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), baru
digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup (LN RI Tahun 2009 No. 140 – TLN RI No. 5059), tanggal 3
Oktober 2009. Untuk kepraktisan disingkat menjadi UUPPLH (Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Sebelum berlakunya
UUPPLH ini, dua undang-undang tentang lingkungan hidup sebelumnya, yakni
UU No. 4 Tahun 1982 (UULH) dan UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), keduanya
menggunakan istilah pengelolaan lingkungan hidup, biasa disingkat PLH.
B. Landasan Konstitusional
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) Indonesia
mempunyai kedudukan yang mendasar dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia. Landasan konstitusional atau kaidah dasar yang melandasi PPLH
Indonesia terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, yang antara
lain menyatakan: “...Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum...” Penegasan ini meletakkan “kewajiban negara” dan
“tugas pemerintah” untuk melindungi segenap sumber insani Indonesia (sebagai
komponen sumber daya manusia) dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagai
komponen sumber daya alam hayati (biotik) dan komponen sumber daya alam
nonhayati (abiotik) guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap
umat manusia.
Dalam konteks PPLH dan hukum lingkungan, ketentuan dasar tersebut
mengandung makna bahwa, pemerintah negara RI berkewajiban dan bertugas
melindungi dan memelihara segenap sumber insani sebagai komponen sumber
daya manusia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagai komponen sumber
daya alam hayati (biotik) dan sumber daya alam nonhayati (abiotik) bagi
kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsa Indonesia dan umat manusia
pada umumnya. Artinya, pemerintah negara RI wajib mengupayakan PPLH
sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan yang dicapai. Oleh karena itu,
PPLH dan hukum lingkungan sebagai sarana penunjang yang dikembangkan
harus pula bersifat dinamis.
Pemikiran dasar tersebut, dijabarkan atau dipertegas lagi dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”(tetap dipertahankan). Penegasan ini sekaligus
memberi petunjuk, bahwa PPLH yang dikehendaki sama sekali tidak bermaksud
menghalangi pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan dan
kesejahteraan hidup manusia, melainkan keserasian dan keseimbangan di
antara keduanya yang harus diupayakan, yakni lingkungan hidup dan
pembangunan secara berkesinambungan. Selanjutnya Pasal 28H UUD 1945
(hasil amendemen 2000) menegaskan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Pasal 28H ini berada
dalam konteks hak asasi manusia (HAM), maka lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan salah-satu aspek HAM Indonesia, yang secara konstitusional
harus diupayakan perwujudannya oleh pemerintah, implisit seluruh bangsa
Indonesia. Dengan demikian, setelah amandemen UUD 1945 tahap kedua
(tahun 2000), kedudukan PPLH dalam penyelenggaraan negara secara
konstitusional semakin kokoh. Siapa pun atau rezim mana pun yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, wajib mengupayakan
terwujudnya pemenuhan hak bagi setiap warga negara atas lingkungan hidup
yang “baik dan sehat”, yakni lingkungan hidup yang tidak rusak dan tidak
tercemar.
Bila disimak sejarah ketatanegaraan RI, untuk pertama kalinya
masalah PPLH diangkat sebagai bagian dari kebijaksanaan nasional (national
environmental policy), dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN (1973-
1978) dengan penjabarannya pada Repelita (1974-1979), kemudian dilanjutkan
dan disempurnakan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN (1978-
1983) dengan Repelita (1979-1984, Kepres No.7 Tahun 1979) yang
mengisyaratkan pengaturan hukum tentang PPLH, implisit perlunya ada
undang-undang yang mengatur PPLH secara nasional dalam kurun waktu
tersebut. Kebijaksanaan PPLH tersebut selanjutnya dituangkan pada tiap-tiap
TAP MPR tentang GBHN (Guidelines of the state Policy), terakhir dengan TAP
MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN (1999-2004). Seiring dengan perubahan
struktur ketatanegaraan melalui amandemen UUD NRI 1945, PPLH sebagai
kebijaksanaan nasional dituangkan dalam RPJMN (2004-2009) yang sedang
berlangsung dewasa ini. Penuangan ini dapat dipandang sebagai landasan
operasional PPLH Indonesia, mengganti posisi GBHN yang dieliminasi dalam
UUD NRI 1945. Jadi pengungkapan GBHN pada uraian tertentu, dilihat dari
konteks sejarah ketatanegaraan, termasuk sejarah PPLH.
Sesuai amanat GBHN (1978-1983) yang kemudian dijabarkan dalam
Repelita III (1979-1984), maka pada 11 Maret 1982, disahkan dan diundangkan
UU No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (LNRI Tahun 1982 No. 12, TLN No. 3215), yang biasa disebut
Undang-Undang Lingkungan Hidup, disingkat UULH. Undang-undang inilah
yang merupakan undang-undang pertama bagi Indonesia yang mengatur
tentang PPLH secara menyeluruh dengan menggunakan pendekatan ekologi,
sebagai dasar/sumber hukum (formal/materi) bagi PPLH Indonesia. Undang-
undang ini kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (LNRI Tahun 1997 No. 68 – TLN No. 3699),
yang biasa disebut Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
Selanjutnya diganti lagi dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
C. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH)
tertuang dalam Pasal 2 UUPPLH yang pada intinya mengamanatkan bahwa
PPLH dilaksanakan berdasarkan 14 asas berikut ini: (1) tanggung jawab negara;
(2) kelestarian dan keberlanjutan; (3) keserasian dan keseimbangan; (4)
keterpaduan; (5) manfaat; (6) kehati-hatian; (7) keadilan; (8) ekoregion; (9)
keanekaragaman hayati; (10) pencemar membayar; (11) partisipatif; (12)
kearifan lokal; (13) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (14) otonomi daerah.
Dari penjelasan Pasal 2 UUPLH diperoleh pengertian tentang asas-
asas tersebut, yaitu:
a) Asas tanggung jawab negara, mengandung arti bahwa:
1) Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi
masa depan.
2) Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
3) Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
b) Asas kelestarian dan keberlanjutan, adalah bahwa setiap orang memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan
terhadap sesamanya genarasi dalam satu generasi dengan melakukan
upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas
lingkungan hidup.
c) Asas keserasian dan keseimbangan, adalah bahwa pemanfaatan
lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan sosial ekonomi, sosial, budaya, perlindungan serta
pelestarian ekosistem.
d) Asas keterpaduan, adalah bahwa PPLH dilakukan dengan memadukan
berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
e) Asas manfaat, adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber
daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.
f) Asas kehati-hatian, adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak
suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
g) Asas keadilan, adalah bahwa PPLH harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas
genarasi maupun lintas gender.
h) Asas ekoregion, adalah bahwa PPLH harus memperhatikan karakteristik
sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal.
i) Asas keanekaragaman hayati, adalah bahwa PPLH harus
memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan,
keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri dari
sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama
dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.
j) Asas pencemar membayar, adalah bahwa setiap penanggung jawab
yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.
k) Asas partisipatif, adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong
untuk berperan aktif dalam proses pengembalian keputusan dan
pelaksanaan PPLH, baik secara langsung maupun tidak langsung.
l) Asas kearifan lokal, adalah bahwa dalam PPLH harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dan tata kehidupan masyarakat;
m) Asas tata kelola pemerintahan yang baik, adalah bahwa PPLH dijiwai
oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
keadilan.
n) Asas otonomi daerah adalah bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang PPLH
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam
bingkai Negara Kesaruan RI.
Mengenai tujuan PPLH, dalam pasal 3 UUPPLH, ditegaskan: “PPLH
bertujuan: (a) melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan/kerusakan
lingkungan hidup; (b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia; (c) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem; (d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; (e) mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; (f) menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; (g)
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari HAM; (h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana; (i) mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan (j) mengantisipasi
isu lingkungan global.” Jadi secara terperinci ada 10 tujuan yang ingin dicapai
dalam PPLH yang diamanatkan dalam UUPPLH.

Sebagai pembanding, Pasal 3 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997)


menyatakan: “PLH bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Guna mewujudkan
tujuan tersebut, Pasal 4 UUPLH menetapkan sasaran-sasaran ysng harus
dicapai dalam PPLH, yaitu: (a) tercapainya keselarsan, keserasian, dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (b) terwujudnya manusia
Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak
melindungi dan membina lingkungan hidup; (c) terjaminnya kepentingan
generasi masa kini dan generasi masa depan; (d) tercapainya kelestarian fungsi
lingkungan hidup; (e) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara
bijaksana; dan (f) terlindunginya Negara Kesatuan RI terhadap dampak usaha
dan/atau kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dengan adanya sasaran-sasaran ini,
kegiatan dalam PPLH menurut UUPLH tampaknya lebih realistis dan terpolakan
sehingga lebih mudah dipahami orang kebanyakan dibanding dengan apa yang
diatur dalam UUPPLH tersebut.

Pada intinya tujuan pokok PPLH yang digariskan dalam UUPPLH,


yaitu “mewujudkan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan hidup”
dan kalau ini terwujud, maka dapat dipastikan (setidaknya diharapkan) bahwa
yang lainnya juga tercapai. Oleh karena itu, yang terpenting sebenarnya yaitu
bagaimana mewujudkan manusia Indonesia sebagai insan pembina lingkungan
hidup secara meluas pada segenap lapisan masyarakat.

Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa pada dasarnya PPLH


bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, terlestarikannya fungsi dan kemampuan
sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan tumpuan dan prasyarat
bagi terlanjutkannya pembangunan. Jadi upaya pertama yang harus dilakukan
yakni melestarikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
berkelanjutan. Untuk itu, kesadaran lingkungan hidup harus
ditumbuhkembangkan secara meluas kepada segenap lapisan masyarakat.
Asas dan tujuan PPLH tersebut mengandung makna, bahwa PPLH harus
dilaksanakan sejalan dan secara integral dengan pembangunan ekonomi. Oleh
karena itu, yang dianut dalam PPLH adalah pelestarian fungsi dan kemampuan
lingkungan hidup, dan bukan pelestarian lingkungan hidup an sich (pelestarian
lingkungan hidup itu sendiri melalui cagar alam, suaka marga satwa, hutan
konservasi atau nama lain dan semacamnya) ini, memang harus juga ditempuh
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut secara berkelanjutan.

D. Ruang Lingkup Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Menurut Pasal 4 UUPPLH, ruang lingkup PPLH meliputi enam
kelompok kegiatan, yaitu: (1) perencanaan; (2) pemanfaatan; (3) pengendalian;
(4) pemeliharaan; (5) pengawasan, dan (6) penegakan hukum. Keenam lingkup
PPLH itulah yang memenuhi sebagian besar materi dari UUPPLH.
1. Perencanaan PPLH
Pasal 5 UUPPLH menetapkan bahwa perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan: (a)
inventarisasi lingkungan hidup; (b) penetapan wilayah ekoregion; dan
(c) penyusunan rencana PPLH (RPPLH).
a) Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6 ayat (1) UUPPLH menyatakan: “Inventarisasi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup: (a) tingkat
nasional; (b) tingkat pulau/kepulauan; dan (c) tingkat wilayah
ekoregion.”
Penjelasan pasal ini menyatakan “cukup jelas”. Dengan
demikian, jelas pula bahwa inventarisasi lingkungan hidup yang
diamanatkan dalam UUPPLH ini bersifat hierarki, yakni tingkat
nasional, tingkat pulau/kepulauan, dan tingkat wilayah
ekoregion. Artinya, ada inventarisasi yang diadakan secara
nasional oleh pemerintah, yang mencakup seluruh potensi dan
karakteristik lingkungan hidup secara umum di seluruh wilayah
negara Republik Indonesia. Kemudian inventarisasi yang
mencakup satu pulau/kepulauan, dan terakhir pada tiap
ekoregion.
Adapun yang dimaksud ekoregion adalah wilayah
geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup
(Pasal 1 butir 29 UUPPLH).
Uraian tersebut memberi petunjuk, bahwa inventarisasi
lingkungan hidup didasarkan atas karakteristik lingkungan
hidup sebagai kawasan, dan tidak didasarkan atas batas
wilayah administratif (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota).
Oleh karena itu, pada prinsipnya, inventarisasi lingkungan
hidup ini sebagai salah satu aspek perencanaan PPLH
dilaksanakan oleh pemerintah, dengan (atau tanpa)
mengikutsertakan pemerintah daerah, terutama mengenai
pendataan secara detail yang lebih banyak diketahui oleh dan
tersedia pada pemerintah daerah khususnya pemerintah
kabupaten/kota. Inventarisasi yang didasarkan atas
karakteristik kawasan (dan bukan berdasarkan wilayah
administratif ini) dapat dipahami, karena yang dituju dalam
inventarisasi ini adalah potensi dan karakteristik lingkungan
hidup serta kaitannya dengan penguasaan dan pemanfaatan
secara nyata. Dengan pengetahuan yang jelas mengenai
karakteristik lingkungan hidup serta kaitannya dengan
penguasaan dan pemanfaatan secara nyata. Dengan
pengetahuan yang jelas mengenai karakteristik lingkungan
hidup inilah, ditetapkan wilayah ekoregion.
Selanjutnya pada Pasal 6 ayat (2) UUPPLH dinyatakan,
bahwa inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam
yang meliputi: (a) potensi dan ketersediaan; (b) jenis yang
dimanfaatkan; (c) bentuk penguasaan; (d) pengetahuan
pengelolaan; (e) bentuk kerusakan; dan (f) konflik dan
penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
b) Penetapan Wilayah Ekoregion
Hasil inventarisasi lingkungan hidup menjadi dasar bagi
penetapan wilayah ekoregion. Penetapan ini dilakukan oleh
Menteri Negara Lingkungan Hidup setelah berkoordinasi
dengan instansi terkait (Pasal 7 ayat [1] UUPPLH). Menurut
Pasal 7 ayat (2) UUPPLH, penetapan wilayah ekoregion
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: (a)
karakteristik bentang alam; (b) daerah aliran sungai; (c) iklim;
(d) flora dan fauna; (e) sosial budaya; (f) ekonomi; (g)
kelembagaan masyarakat; dan (h) hasil inventarisasi
lingkungan hidup. Penjelasan pasal ini menyatakan “cukup
jelas”. Dapat ditambahkan, bahwa inventarisasi lingkungan
hidup tersebut adalah inventarisasi pada tingkat nasional dan
tingkat pulau/kepulauan, misalnya inventarisasi lingkungan
hidup untuk pulau Sulawesi, Kepulauan Riau, dan sebagainya.
Adapun inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah
ekoregion dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya
tampung serta cadangan sumber daya alam (Pasal 8
UUPPLH). Artinya, dengan inventarisasi lingkungan hidup
pada tingkat ini, diperoleh data mengenai kemampuan sumber
daya alam dan lingkungan hidup pada wilayah yang
bersangkutan untuk mendukung kehidupan dan kegiatan pada
kawasan itu. Dengan demikian, dapat disusun perencanaan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup secara lebih tepat dan berdaya guna.
c) Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (RPPLH) adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya PPLH dalam
kurun waktu tertentu (Pasal 1 butir 4 UUPPLH). Penyusunan
RPPLH sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPPLH terdiri
atas RPPLH nasional, RPPLH provinsi, dan RPPLH
kabupaten/kota (Pasal 9 ayat [1] UUPPLH). Penyusunan
masing-masing RPPLH tersebut sebagai berikut: RPPLH
nasional disusun berdasarkan inventarisasi nasional,
sedangkan RPPLH provinsi disusun berdasarkan RPPLH
nasional, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan, dan
inventarisasi tingkat ekoregion. Adapun RPPLH
kabupaten/kota disusun berdasarkan RPPLH provinsi,
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan, dan inventarisasi tingkat
ekoregion (Pasal 9 ayat [2] – ayat [4] UUPPLH).
RPPLH disusun oleh menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan
RPPLH sebagaimana dimaksud memperhatikan: (a)
keragaman karakter dan fungsi ekologis; (b) sebaran
penduduk; (c) sebaran potensi sumber daya alam; (d) kearifan
lokal; (e) aspirasi masyarakat; dan (f) perubahan iklim. Dalam
hal ini, RPPLH nasional diatur dengan peraturan pemerintah,
RPPLH provinsi diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan
RPPLH kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota (Pasal 10 ayat [1]-ayat [3] UUPPLH.
Ketentuan tersebut menghendaki agar RPPLH disusun
secara berjenjang dan bersifat hierarkis, yakni RPPLH
nasional, provinsi, dan RPPLH kabupaten/kota, sehingga ada
keselarasan RPPLH secara nasional tanpa mengabaikan
karakteristik wilayah masing-masing. Dengan demikian,
keterpaduan dalam PPLH secara vertikal (pusat – daerah) lebih
mudah diwujudkan melalui koordinasi Menteri Negara
Lingkungan Hidup (pemerintah pusat). RPPLH sekurang-
kurangnya memuat rencana tentang pemanfaatan dan/atau
pencadangan sumber daya alam; pemeliharaan dan
perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam; dan adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim (Pasal 10 ayat [4] UUPPLH). RPPLH
inilah yang menjadi dasar penyusunan –dan dimuat dalam –
rencana pembangunan jangka panjang (RPJM) (Pasal 10 ayat
[5] UUPPLH). Mengenai perencanaan PPLH yang mencakup
inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, dan
RPPLH lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal
11 UUPPLH).
2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.
Dalam hal belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam
dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup dengan memperhatikan: (a) keberlanjutan proses dan fungsi
lingkungan hidup; (b) keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup;
dan (c) keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat
(Pasal 12 ayat [1] dan ayat [2] UUPPLH).
Selanjutnyan Pasal 12 ayat (3) UUPPLH menegaskan, bahwa
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ditetapkan oleh:
a) Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup nasional dan pulau/kepulauan.
b) Gubernur untuk daya dukungan dan daya tampung lingkungan
hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c) Bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah
kabupaten/kota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup diatur dalam peraturan pemerintah
(Pasal 12 ayat [4] UUPPLH).
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain,
dan keseimbangan antar keduanya (Pasal 1 ayat [7] UUPPLH). Adapun
daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya (Pasal 1 ayat [8] UUPPLH).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup sangat penting diperhatikan dalam
setiap upaya pemanfaatan sumber daya alam pada lingkungan hidup
yang bersangkutan. Daya dukung lingkungana hidup berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, sedangkan daya
tampung lingkungan hidup berkaitan dengan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup. Dengan mengetahui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup ini, maka dapat diperkirakan intensitas dan kapasitas
kegiatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dapat menjamin
kelestarian fungsi lingkungan hidup, yakni pemanfaatan sumber daya
alam yang tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
3. Pengendalian Pencemaran/Perusakan Lingkungan Hidup
Secara umum pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup (Pasal 13 ayat [1] UUPPLH). pada ayat (2) pasal ini
ditegaskan bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup meliputi pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan. Adapun pelaksanaan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-
masing (Pasal 13 ayat [3] UUPPLH). Pengendalian
pencemaran/perusakan lingkungan hidup tersebut, antara lain
mencakup pengendalian pencemaran air, udara dan laut serta
kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim
(Penjelasan Pasal 13 UUPPLH).
Tujuan pengendalian ini jelas ialah untuk memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai tujuan pokok PPLH.
Untuk dapat melakukan pencegahan tersebut yang merupakan bagian
dari penegakan hukum lingkungan dalam arti preventif, diperlukan
instrumen-insturmen atau sarana tertentu berupa instrumen yuridis,
yakni sarana yang dapat dipaksakan keberlakuannya.
1) Pencegahan
Pencegahan ditujukan pada semua upaya untuk
mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup. Tentunya, dengan mengupayakan agar setiap
usaha/kegiatan yang berdimensi lingkungan hidup diupayakan
senantiasa menaati ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan usaha/kegiatan tersebut. Jadi ia
merupakan bagian dari penegakan hukum lingkungan dalam
arti preventif.
Adapun instrumen pencegahan (instrumen yuridis)
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a) Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
b) Tata ruang.
c) Baku mutu lingkungan hidup.
d) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
e) Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
f) UKL-UPL.
g) Perizinan.
h) Instrumen ekonomi lingkungan hidup.
i) Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup.
j) Anggaran berbasis lingkungan hidup.
k) Audit lingkungan hidup.
l) Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan (Pasal 14 UUPPLH).
Instrumen-instrumen ini sebenarnya merupakan instrumen
dalam penegakan hukum lingkungan, baik penegakan yang
bersifat preventif maupan yang bersifat represif (setelah terjadi
pelanggaran/kejahatan).
2) Penanggulangan
Pasal 53 ayat (1) UUPPLH menegaskan: “Setiap orang
yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.” Selanjutnya, ayat (2) pasal ini
menyatakan: “Penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan: (a) pemberian
informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup kepada masyrakat; (b) pengisolasian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; (c)
penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup; dan/atau (d) cara lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 53 ayat [3]
UUPPLH).
3) Pemulihan
Pasal 54 ayat (1) UUPPLH menegaskan: “Setiap orang
yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.”
Selanjutnya ayat (2) pasal ini menegaskan: “Pemulihan fungsi
lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan: (a) penghentian
sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; (b)
remediasi; (c) rehabilitasi; (d) restorasi; dan/atau (e) cara lain
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan
fungsi lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah
(Pasal 54 ayat [3] UUPPLH).
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: (a)
konservasi sumber daya alam; (b) pencadangan sumber daya alam;
dan/atau (c) pelestarian fungsi atmosfer (Pasal 57 ayat [1] UUPPLH).
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal ini dikemukakan bahwa konservasi
sumber daya alam meliputi kegiatan: (a) perlindungan sumber daya
alam; (b) pengawetan sumber daya alam; dan (c) pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam.
Adapun pencadangan sumber daya alam, merupakan sumber
daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu
(Pasal 57 ayat [3] UUPPLH). Selanjutnya pada ayat (4) pasal ini
menyatakan: “Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c meliputi: (a) upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim; (b) upaya perlindungan lapisan ozon; dan (c) upaya
perlindungan terhadap hujan asam.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan
sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 57
ayat [5] UUPPLH).
5. Pengawasan
Pengawasan, pada dasarnya merupakan bagian dari
penegakan hukum lingkungan secara preventif yaitu upaya
mewujudkan penataan terhadap ketentuan-ketentuan di bidang
lingkungan hidup, khusunya mengenai PPLH, termasuk di sini
penataan terhadap BMLH, KBKLH, RTRW, dan sebagainya. Dalam
Pasal 71 ayat (1) UUPPLH ditegaskan: “Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.”
Selanjutnya ayat (2) pasal ini menyatakan: “Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam
melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.” Pada ayat (3), dikatakan: “Dalam melaksanakan
pengawasan, menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan
pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat
fungsional.”
Selanjutnya dalam Pasal 72 UUPPLH ditegaskan: “Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap izin lingkungan.” Penjelasan pasal ini menyatakan
“cukup jelas”. Namun demikian, dapat dipahami bahwa izin lingkungan
yang dimaksud ialah syarat-syarat yang dicantumkan dalam izin usaha
tertentu yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan izin usaha
tersebut, harus dilakukan secara integral oleh pemegang izin yang
bersangkutan dalam menjalankan usaha/kegiatannya. Pelaksanaan
syarat inilah yang harus diawasi agar benar-benar dipenuhi oleh
pemegang izin tersebut.
Pada bagian lain ditegaskan, bahwa menteri dapat melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah
jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang
PPLH (Pasal 73 UUPPLH). Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan pelanggaran yang serius adalah tindakan
melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan
keresahan masyarakat. Kiranya perlu dipahami bahwa sebaiknya
menteri bukan saja dapat, melainkan harus melakukan pengawasan
dalam bentuk dan mekanisme tertentu agar tidak sampai terjadi
pelanggaran yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Jadi harus mencegah terjadinya pelanggaran itu.
Dalam rangka pengawasan tersebut, Pasal 74 ayat (1)
UUPPLH menetapkan: “Pejabat pengawas lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang: (a)
melakukan pemantauan; (b) meminta keterangan; (c) membuat
salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; (d)
memasuki tempat tertentu; (e) memotret; (f) membuat rekaman audio
visual; (g) mengambil sampel; (h) memeriksa perlatan; (i) memeriksa
instalasi dan/atau alat trasnportasi; dan/atau (j) menghentikan
pelanggaran tertentu.” Jadi menurut Pasal 71 ayat (3). Pasal 74 ayat
(1) UUPPLH, pejabat pengawas lingkungan hidup sebagai pejabat
fungsional yang ditunjuk/diangkat oleh menteri, gubernur, ataupun
bupati/walikota memiliki wewenang yang cukup luas, termasuk dapat
melakukan tindakan administratif berupa “menghentikan pelanggaran
tertentu.” Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) UUPPLH menegaskan: “Dalam
melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.”
Pada ayat (3) dinyatakan: “Penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dilarang menhalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup.” Lebih lanjut Pasal 75 UUPPLH menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal
74 diatur dalam peraturan pemerintah.”
6. Penegakan hukum
Penegakan hukum dimaksud sebagai bagian dari PPLH (Pasal
4 UUPPLH) tentunya penegakan hukum lingkungan. Dalam
penegakan hukum lingkungan, dianut sistem penegakan hukum dalam
arti luas yang mencakup penegakan hukum preventif dan penegakan
hukum represif. Dalam hal ini prioritas diletakkan pada penegakan
preventif.
7. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN
Manusia hidup dibumi inti tidak sendirian melainkan hidup bersama makhluk
lain seperti tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Secara sosial manusia disebut dengan
homo socius dan juga sebagai homo ecologus yang mana artinya manusia tak dapat
terpisahkan dari suatu ekosistem. Kehidupan manusia akan selalu berkaitan erat
dengan makhluk hidup lainnya. Makhluk hidup yang lain ini bukan hanya sekedar teman
hidup yang netral dan juga pasif terhadap manusia, hidup manusia akan sangat erat
kaitannya dengan makhluk hidup lain. Tanpa mereka manusia tidak dapat hidup karena
tidak mendapatkan oksigen dan makanan, dan juga sebaliknya seandainya tidak ada
manusia, tumbuhan, hewan, dan jasad renik tidak akan dapat hidup dengan baik atau
teratur.
Hubungan manusia dengan lingkungannya biasa disebut dengan sirkuler atau
dengan kata lainnya antara manusia dengan lingkungan terdapat keterkaitan dan juga
hubungan timbal balik. Lingkungan hidup juga tidak dapat dipisahkan dari ekosistem
atau sistem ekologi karna ekosistem adalah sebuah satuan kehidupan yang mana di
dalamnya terdiri atas suatu komunitas dari makhluk hidup dengan berbagai benda mati
yang akan membentuk suatu sistem dan manusia merupakan bagian dari ekosistem itu
sendiri.
Lingkungan hidup memiliki 3 unsur yang saling mengikat yaitu biotik (jasad-
jasad hidup atau benda-benda hidup, misalnya manusia, tumbuh-tumbuhan dan
hewan), abiotik (benda-benda mati, seprti udara, air, batu-batuan, gas, dan
sebagainya), dan yang terakhir yaitu interaksi timbal balik antara biotik dengan abiotik.
Dalam suatu kondisi hubungan timbal balik ini biasa kita kenal sebagai ekosistem.
Lingkungan sendiri merupakan tempat bagi hidupnya manusia. Manusia akan
hidup, bertumbuh, berkembang, di atas bumi sebagai lingkungan. Lingkungan akan
memberikan sumber-sumber penghidupan untuk manusia. Lingkungan juga berperan
untuk mempengaruhi sifat, karakter, dan perilaku dari manusia yang mendiaminya.
Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh baik secara positif
maupun negatif.
Manusia bertindak secara sosial dengan cara memanfaatkan alam dan
lingkungan untyk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi
kelangsungan hidup. Manusia juga memiliki pengaruh penting dalam keberlangsungan
ekosistem habitat manusia itu sendiri, dari bagaimana tindakan dan kebijakan yang
akan diambil tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan
maupun manusia itu sendiri. Manusia hidup pasti mempunyai hubungan dengan
lingkungan hidupnya. Awal mulanya manusia akan memulai dengan mengenali
lingkungan hidupnya kemudian barulag manusia akan beradaptasi dan menyesuaikan
dirinya.
Hubungan antar manusia dengan lingkungannya berlangsung secara dinamis
bukan statis. Yang mana ini berarti terjalinnya hubungan antara manusia dan lingkungan
merupakan keterjalinan sadar yang dihayati dan dijadikan akar serta inti dari
kepribadiannya bukan penerimaan apa adanya tanpa dapat dipikirkan. Keterkaitan dan
juga hubungan dari timbal balik manusia dan lingkungan perlu untuk dipahami secara
mendalam agar dapat menyingkapu jati diri manusia. Untuk memahami dan mengenali
manusia harus mengenali dan memahami lingkungannya pula. Untuk mengetahui
keterkaitan manusia dengan lingkungannya dapat dilakukan.
A. Hubungan Struktural
Memahami melalui pendekatan struktural ekologis, hubungan antara
manusia dengan lingkungannya mebgalami beberapa tahapan evolusi. Yaitu
ekosentris, transisional, antroposentris, dan holistis.
1) Ekosentris
Ekosentris merupakan tahap pertama yaitu tahap
dimana sebuah pandangan dimana hubungan manusia merasa
bahwa lingkungan merupakan pusat dari segalanya dan
manusia merupakan bagian dari lingkungan. Ekosentrisme
atau istilah inklusifisme dapat juga dipahami dengan manusia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komponen
lain dalam sistem dia berada. Pemahaman ekosentrisme
biasanya terjadi dalam masyarakat tradisional di lingkungan
pedesaan sebab dengan pandangan ini manusia dapat dekat
dengan alam dan kehidupannya akan berjalan secara teratur.
2) Transisional
Tahap ini ialah fase transisi dari pemahaman bahwa
manysia merupakan bagian dari alam dan dikuasai oleh
lingkungan menuju paham yang berpendapat bahwa manusia
yang berkyasa mutlak atas lingkungan. Pemahaman ini juga
menjelaskan ahwa manusia berhubungan dengan lingkungan
memerlukan perangkat bantu, tidak mutlak sebagai bagian
integral lingkungan secara utuh. Pada tahapan transisi I I
manusia belum dapat memposisikan diri. Manusia masih
terbelenggu dengan pandangan tradisional bahwa lingkungan
dapat menguasai manusia dan manusia merpakan substansi
dalam lingkungan tersebut.
3) Antoposentris
Tahapan ini ialah peralihan dari dua tahapan
sebelumnya. Pada tahap ini manusia merasa bahwa dirinya
bukan lagi bagian dari lingkungan. Selain menggunakan istilah
antroposentrisme para pakar juga menggunakan istilah
ekslusivisme yang mana memposisikan manusia sebagai
kompinen di luar lingkungan dan penguasa mutlak dari
lingkungan. Dengan pandangan ini menjadikan manusia
sebagai manusia yang rakus, dengan kekuasaannya manusia
akan menghalalkan segala cara untuk memperolah apa yang
diinginkannya dan menyebablab timbulnya kerusakan
lingkungan dan juga pencemaran.
4) Holistik
Tahap ini merupakan perpaduan antara pandangan
ekosentrisme dengan pandangan antroposentrisme. Pada
pandangan ini (holistik) manusia sebagai bagian integral dari
lingkungan mempunyai kelebihan berupa potensi akal dan
kebebasan dibandingkan dengan komponen lain dalam
lingkungan. Pandangan holistik merupakan pandangan utuh
terhadap lingkungan hidup. Hal ini perlu berdasarkan prinsip
bahwa semua komponen kehidupan tentu saling berinteraksi
dan berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan
saling terkait. Manusia meskipun mempunyai kelebihan akal
dan kebebasan, namun dalam penggunaannya terhadap
lingkungan tidak dapat dilakukan secara mutlak, dengan
menguasai lingkungan secara bebas. Akan tetapi potensi akal
dan kebebasan tersebut harus diiringi dengan rasa tanggun
jawab. Dengan adanya rasa tanggung jawab, maka manusia
dengan potensi akalnya dan kemampuannya berpikir untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan
merusak lingkungan.
B. Hubungan Fungsional
1) Teori bio-ekosistem
Pada teori ini kedudukan dan fungsi manusia sama dengan komponen
lain dalam ekosistem. Menurut teori bio-ekosistem dalam lingkungan terdapat
dua komponen yakni komponen produsen dan komponen konsumen, proses
yang terjadi dalam lingkungan hakikatnya merupakan proses daur energi,
materi dan informasi antar komponen. Keseimbangan dalam ekosistem akan
terwujud apabila masing-masing komponen bertindak sesuai dengan nilai dan
perilaku ekologisnya. Dari sudut pandang teori ini, manusia sebagai makhluk
yang memiliki potensi dan kekuatan intelektual, moral, dan budaya tidak
mempunyai arti apapun dalam lingkungan. Oleh karena itu, kedudukan
manusia sama dengan spesies lainnya. Selain dari segi negatifnya, konsep ini
mengajarkan manusia untuk bersikap bijak, lestari dengan lingkungan, dan
menjalin keharmonisan, karena kedudukan manusia sama dengan makhluk
hidup lainnya.
2) Teori Geososial Sistem
Selain menjadi makhluk individual, manusia juga merupakan makhluk
sosial. Dalam keterkaitannya dengan pemanfaatn dan pengaturan lingkungan
bersifat relatif dan subyektif sesuai dengan dorongan dari manusia itu sendiri
sebagai makhluk individu sosial. Dalam teori geososial sistem hubungan antara
manusia dengan lingkunganu ialah hubungan secara timbal balik, dimana
secara obyek manusia merupakan substansi dari suatu kesatuan ekosistem
dab secara subyek dengan kemampuan akal dan motivasinya manusia dapat
mengelola lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Dilihat dari sudut
pandang ini manusia mendapat kebebasan untuk mengatur dan
memberdayakan sumber daya alam dan lingkungan dengan konsekuensi
suatu pertanggungjawaban.
3) Teori Meta-sosial-sistem
Teori ini berasumsi bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi,
yang dimana manusia selain sebagai makhluk biotik dan makhluk rasional juga
merupakan makhluk spiritual. Realitas multidimensi inilah yang menunjukkan
bahwa manusia makhluk yang menduduki derajat paling tinggi diantara yang
lainnya. Secara spikologis ada beberapa hal yang membuat manusia berbeda
dengan spesies lain, yaitu:
a. Penalaran (reason);
b. Symbolic capacities, dalam dan untuk berkomunikasi seperti bahasa,
isyarat, dan lainnya
c. Manusia hidup dengan jangka waktu yang lalu, kini, dan akan datang,
membuat ia mengingat, mengalami, dan mengharap sesuatu.
Dengan demikian secara fisik dan spiritual manusia dapat melakukan interaksi
aktif dengan lingkungan. Hubungan timbal baliuk antara manusia dengan lingkungan
secara fungsional akan berlangsung secara bebas dan bertanggung jawab dengan
suatu koendali dari nilai-nilai moral dan agama.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad Akib S.H., M.Hum. (2014). Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan
Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mastur, M. (2020). Apa Saja Manfaat Lingkungan Hidup Alami Bagi Kehidupan?.
https://dlh.semarangkota.go.id/, diakses: 9 Maret 2024.
Mastur, M. (2020). Manfaat Lingkungan Hidup Buatan Bagi Kehidupan.
https://dlh.semarangkota.go.id/, diakses: 9 Maret 2024.

Natsir, M. (2018). Membangun Hukum Pidana Lingkungan Berbasis Syariah di Aceh.


Yogyakarta: CV Budi Utama.

Ninla Elmawati Falabiba, Anggaran, W., Mayssara A. Abo Hassanin Supervised, A.,
Wiyono, B. ., Ninla Elmawati Falabiba, Zhang, Y. J., Li, Y., & Chen, X. (2014).
Gambaran Umum Tentang Lingkungan. Paper Knowledge. Toward a Media History
of Documents, 5(2), 40–51.
Palopo ian. (2020). Lingkungan Hidup Menurut Al-Qur’an. Telaah Konsepsional Hubungan
Manusia dengan Lingkungan, 4(1), 1-11.

Rizki, A. M., Jawwad, M. A. S., & Sujarwo, S. (2023). Analisis Prinsip-Prinsip Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan Sebagai Dasar Penilaian Dokumen Evaluasi
Lingkungan Hidup (DELH). INSOLOGI: Jurnal Sains dan Teknologi, 2(2), 279-287.
Saepulloh, Aep dan A. Rusdiana. (2004). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar(4th ed). Bandung:
Batic Press.

Sompotan, D. D., & Sinaga, J. (2022). Pencegahan Pencemaran Lingkungan.


SAINTEKES: Jurnal Sains, Teknologi Dan Kesehatan, 1(1), 6–13.
https://doi.org/10.55681/saintekes.v1i1.2
Wahid, M. Yunus. (2015). Pengantar Hukum Lingkungan Ed. 2. Makassar: KENCANA.

Anda mungkin juga menyukai