Anda di halaman 1dari 16

TRANSFORMASI GENDER DAN KEPUTUSAN PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF

PEREMPUAN

ABSTRAK

Fenomena peningkatan jumlah gugatan cerai di Ponorogo telah melampaui pola perceraian
konvensional, seperti talak. Hingga tahun 2024, terjadi 25997 perceraian. Peristiwa ini menarik
untuk diselidiki, mengingat bahwa dalam tradisi keluarga konvensional, perempuan sering kali
menjadi korban perceraian. Meskipun fakta yang disajikan di pengadilan menunjukkan bahwa
faktor utama yang menyebabkan tingginya jumlah gugatan cerai adalah kemandirian ekonomi
perempuan, penulis menganggap bahwa ada faktor lain yang lebih dalam daripada sekadar
masalah ekonomi. Hal ini melibatkan kesadaran dan pemahaman gender pelaku gugatan cerai
yang telah mengalami perubahan. Penulis ingin menggali apakah keputusan untuk mengajukan
gugatan cerai dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan kesadaran gender pelakunya, serta
bagaimana pandangan perempuan yang menjadi subjek gugatan cerai terhadap hubungan gender.
Dengan menggunakan pendekatan fenomenologis dan perspektif feminis, data lapangan yang
diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keputusan untuk mengajukan gugatan cerai sangat dipengaruhi oleh transformasi
pemahaman dan kesadaran gender para pelaku. Mereka menolak segala bentuk ketidakadilan
gender, stereotip, diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan berbasis gender.
Namun, para informan tetap memandang institusi perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan
berharap agar perkawinan dapat menjadi lembaga yang lebih adil bagi perempuan.

Kata Kunci: transformasi, gugat cerai, perkawinan, perceraian, kesadaran gender.

ABSTRACT

The phenomenon of increasing divorce lawsuits in Ponorogo has surpassed conventional


divorce patterns, such as talak. Until 2024, there were 25,997 divorces recorded. This event is
interesting to investigate, considering that in conventional family traditions, women often
become victims of divorce. Although the facts presented in court indicate that the main factor
causing the high number of divorce lawsuits is women’s economic independence, the author
believes that there are deeper factors beyond just economic issues. This involves the awareness
and understanding of gender among divorce plaintiffs who have undergone changes. The author
aims to explore whether the decision to file for divorce is Influenced by the level of
understanding and awareness of gender by the perpetrators, and how women who are subjects
of divorce lawsuits perceive gender relationships. Using a phenomenological approach and
feminist perspective, field data obtained from in-depth interviews and observations were
analyzed. The research results indicate that the decision to file for divorce is greatly influenced
by the transformation of understanding and awareness of gender by the perpetrators. They reject
all forms of gender injustice, stereotypes, discrimination, subordination, marginalization, and
gender-based violence. However, the informants still view the institution of marriage as
something sacred and hope for marriage to become a fairer institution for women.

Keywords: transformation, divorce lawsuits, marriage, divorce, gender awareness.

PENDAHULUAN

Transformasi sosial adalah sebuah proses yang kompleks dan terus-menerus yang telah
mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Ponorogo, sebuah kabupaten di
Jawa Timur, Indonesia, tidak luput dari gelombang perubahan ini. Dalam beberapa dekade
terakhir, kabupaten ini telah menjadi saksi dari perubahan yang signifikan dalam dinamika
sosialnya. Transformasi tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan, mulai dari pola pernikahan
hingga peran gender dalam masyarakat.

Perubahan dalam pola pernikahan dan perceraian menjadi bagian penting dari transformasi sosial
yang terjadi di Ponorogo. Dahulu, pola perceraian lebih terkait dengan tradisi konvensional, di
mana talak seringkali menjadi cara utama untuk mengakhiri sebuah pernikahan. Namun, dalam
beberapa tahun terakhir, pola ini telah mengalami perubahan signifikan. Gugatan cerai yang
diajukan oleh istri semakin meningkat, menggeser dominasi talak dalam proses perceraian.
Dalam beberapa tahun terakhir, angka perceraian di Ponorogo telah menunjukkan tren
peningkatan yang konsisten, menyoroti perubahan yang signifikan dalam pola perceraian di
masyarakat. Data terbaru dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Timur mengungkapkan
bahwa dari tahun 2022 hingga 2024, angka perceraian di wilayah ini terus mengalami
peningkatan, mencapai 25.997 kasus pada tahun terakhir.

Perubahan dramatis dalam pola perceraian menjadi sebuah fenomena menarik yang memerlukan
penyelidikan lebih lanjut. Jika sebelumnya, perceraian cenderung dipicu oleh talak yang diajukan
oleh suami, kini gugatan cerai yang diajukan oleh istri semakin mendominasi. Data statistik
menunjukkan bahwa sekitar 60% dari total kasus perceraian di Ponorogo dalam rentang waktu
tersebut merupakan gugatan cerai, sementara sisanya adalah perceraian talak.

Peningkatan jumlah gugatan cerai yang diajukan oleh istri bukan sekadar mencerminkan
perubahan dalam aspek hukum perceraian, tetapi juga mencerminkan perubahan dalam struktur
sosial dan hubungan gender di masyarakat. Pergeseran ini menciptakan tantangan baru dan
memberikan landasan bagi penyelidikan lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang
mendasari keputusan perceraian di Ponorogo.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki secara mendalam faktor-faktor yang menjadi
penyebab utama dari peningkatan angka perceraian. Penulis ingin memahami secara lebih
mendalam apakah keputusan untuk mengajukan gugatan cerai dipengaruhi oleh tingkat
pemahaman dan kesadaran gender pelakunya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mendalami pandangan perempuan yang menjadi subjek gugatan cerai terhadap hubungan gender
dalam konteks budaya dan struktur sosial di Ponorogo.

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan fenomenologis dan perspektif feminis. Pendekatan
fenomenologis akan digunakan untuk memahami pengalaman subjektif individu yang terlibat
dalam perceraian, seperti alasan-alasan yang mendasari keputusan perceraian dan perasaan yang
terlibat dalam proses tersebut. Sementara itu, perspektif feminis akan digunakan untuk
menganalisis struktur kekuasaan gender yang memengaruhi dinamika hubungan pernikahan dan
perceraian.

Melalui analisis yang mendalam menggunakan pendekatan ini, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor yang memengaruhi
keputusan perceraian dan pandangan gender dalam konteks perceraian di Ponorogo. Dengan
demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam
merumuskan kebijakan serta program intervensi yang lebih efektif dalam menangani masalah
perceraian di tingkat lokal dan nasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi landasan
bagi penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama serta memberikan wawasan yang lebih baik
bagi praktisi sosial, akademisi, dan masyarakat umum tentang kompleksitas fenomena
perceraian.

METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian ini mengadopsi pendekatan fenomenologis dan perspektif feminis untuk
menginvestigasi perubahan dalam pola perceraian dan peran gender di Ponorogo. Pendekatan
fenomenologis digunakan untuk memahami pengalaman subjektif individu yang terlibat dalam
perceraian. Penelitian akan berfokus pada pengumpulan data yang berkaitan dengan persepsi,
pemahaman, dan pengalaman pribadi para pelaku perceraian, baik yang mengajukan gugatan
cerai maupun yang menjadi subjek gugatan cerai. Metode yang digunakan meliputi wawancara
mendalam dengan responden yang relevan, observasi partisipatif, dan analisis dokumen terkait.
Data kualitatif yang diperoleh akan dianalisis secara tematis untuk mengidentifikasi pola, tema,
dan perubahan dalam persepsi dan pengalaman individu terkait dengan perceraian dan peran
gender.

Sementara itu, perspektif feminis akan memberikan wawasan tentang struktur kekuasaan gender
yang memengaruhi hubungan pernikahan dan perceraian. Penelitian akan memahami bagaimana
konstruksi sosial tentang gender memengaruhi pengambilan keputusan terkait dengan perceraian
dan persepsi terhadap hubungan gender. Metode yang digunakan mencakup analisis teks dan
dokumen untuk mengidentifikasi pola gender dalam norma-norma sosial, nilai-nilai, dan
kebijakan yang terkait dengan pernikahan dan perceraian di Ponorogo. Data yang diperoleh dari
analisis ini akan diinterpretasikan secara kritis untuk mengidentifikasi dampak struktur
kekuasaan gender terhadap pengambilan keputusan perceraian dan pandangan terhadap
hubungan gender.

Melalui penggunaan kedua pendekatan ini, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi pola perceraian dan
peran gender di Ponorogo. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
wawasan yang berharga bagi kebijakan dan praktik sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan
di masyarakat setempat.

PEMBAHASAN

A. Perspektif Feminisme Tentang Kesetaraan Gender

Eksplorasi mendalam tentang kesetaraan gender melalui prisma feminisme memberikan


wawasan yang kompleks terhadap kondisi perempuan, khususnya dalam konteks perceraian di
Ponorogo. Feminisme, sebagai kerangka pemikiran yang heterogen, menawarkan pendekatan
teoritis yang beragam dalam memahami dan mengatasi ketidakadilan gender yang dialami
perempuan. Dalam konteks pembahasan ini, kita akan mengeksplorasi berbagai aliran dalam
feminisme serta relevansinya dengan dinamika perceraian di Ponorogo.

Kajian tentang kesetaraan gender berakar dari perspektif feminisme, yang menyediakan beragam
pendekatan teoritis untuk memahami dan mengatasi ketertindasan perempuan. Meskipun ada
keragaman pandangan dalam feminisme, fokus pada empat aliran feminisme — Feminisme
Liberal, Radikal, Marxis, dan Sosialis — memberikan gambaran yang lebih rinci dalam
pembahasan tentang kesetaraan gender (Bryson, V, 2003).

Feminisme Liberal menitikberatkan pada hak-hak individu perempuan dan upaya mencapai
kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks pengambilan
keputusan perceraian. Mary Wollstonecraft dan tokoh-tokoh lainnya menekankan perlunya
pendidikan setara bagi perempuan sebagai langkah awal menuju pembebasan dari
ketergantungan pada struktur patriarki. Selain itu, Betty Friedan memperluas pemikiran ini
dengan menyoroti pentingnya pekerjaan di luar rumah sebagai cara untuk meningkatkan otonomi
perempuan dalam masyarakat.

Feminisme Radikal menganalisis akar penyebab ketertindasan perempuan yang terletak pada
struktur seks dan gender di bawah ideologi patriarki. Kate Millett dan Sulamith Firestone,
misalnya, mengusulkan perubahan fundamental dalam sistem seks/gender untuk mencapai
pembebasan perempuan (Eisenstain, R. Z. 1978). Mereka berpandangan bahwa kesetaraan
gender hanya mungkin tercapai dengan mengubah budaya manusia menjadi lebih androgin.
Berbeda dengan Feminisme Liberal, Feminisme Radikal menganalisis secara kritis tema
seksualitas, sistem seks dan gender, reproduksi, dan pengibuan. Mereka menegaskan bahwa
sistem seks dan gender patriarkis menjadi sumber penindasan bagi perempuan. Oleh karena itu,
mereka mempertimbangkan revolusi biologis sebagai solusi untuk mengubah peran perempuan
dalam reproduksi dan menghilangkan superioritas laki-laki dalam struktur patriarkis.

Selain Feminisme Liberal dan Radikal, Feminisme Marxis dan Sosialis juga memberikan
kontribusi dalam merumuskan kesetaraan gender. Kedua aliran ini menyoroti hubungan antara
kapitalisme dan patriarki dalam mengeksploitasi perempuan. Mereka menganggap transformasi
kesadaran perempuan sebagai langkah krusial dalam mencapai kesetaraan gender. Feminisme
Marxis, misalnya, menyoroti peran perempuan dalam sistem produksi kapitalis, sementara
Feminisme Sosialis menambahkan dimensi ideologis patriarkisme sebagai sumber tambahan
penindasan terhadap perempuan.

Keseluruhan proyek Wollstonecraft ditempuh untuk mengembalikan kapasitas nalar, moral, dan
pribadi perempuan sebagai manusia utuh. Tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill dan Harriet
Taylor juga mengamini pentingnya hak dan kebebasan perempuan dalam mencapai kesetaraan
dengan laki-laki. Friedan, dalam karyanya, memandang institusi perkawinan serta tugas
perumahtanggaan dan pengibuan sebagai hambatan bagi perkembangan perempuan. Dia
menyarankan pekerjaan di sektor publik sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas
perempuan sebagai individu yang utuh.

B. Profil Informan

Penelitian ini melibatkan 7 informan perempuan yang merupakan subjek dalam proses
perceraian. Proses wawancara dengan informan dilaksanakan antara tahun 2024. Untuk menjaga
kerahasiaan, semua identitas informan telah diubah. Rentang usia informan berkisar antara 30
hingga 55 tahun. Informan termuda lahir pada tahun 1994 sementara informan tertua lahir pada
tahun 1969. Semua informan memasuki pernikahan pada usia yang dianggap dewasa. Hanya satu
informan [01/W/17-VII/2024] yang menikah pada usia 17 tahun. Dengan demikian, mayoritas
informan telah memasuki pernikahan dalam kondisi kematangan dan kemandirian.

Rata-rata lamanya pernikahan informan adalah 4 hingga 6 tahun. Pernikahan terpanjang dimiliki
oleh informan [03/W/17-VIII/2024], yang berlangsung selama 6 tahun. Di sisi lain, pernikahan
terpendek dimiliki oleh informan [03/W/18-VIII/2024], yang berlangsung selama 8 bulan.
Berdasarkan pengakuan informan, durasi pernikahan tidak hanya dipengaruhi oleh keharmonisan
keluarga, tetapi juga kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam rumah
tangga.

Hampir semua informan telah menyelesaikan pendidikan dasar. Rata-rata, informan telah
menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA. Bahkan, ada informan [03/W/18-VIII/2024]
yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi hingga tingkat S-1, dan informan [03/W/23-
VIII/2024] yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat D-1. Hanya satu informan [03/W/17-
VIII/2024] yang tidak menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMP. Data ini menunjukkan
bahwa informan telah memasuki pernikahan dengan kesiapan psikologis, bukan hanya karena
faktor usia, tetapi juga pendidikan.

Dengan mempertimbangkan latar belakang pendidikan informan, tidak mengherankan bahwa


semua informan merupakan perempuan yang mandiri secara ekonomi melalui pekerjaan mereka.
Informan bekerja sebagai pedagang, guru, karyawan di bank swasta daerah, dan Tenaga Kerja
Wanita (TKW). Meskipun menjadi tulang punggung keluarga (matrifokal), tidak ada informan
yang menyebutkan faktor ekonomi sebagai alasan perceraian, meskipun mereka memiliki
tanggung jawab ekonomi dalam keluarga.

C. Evolusi Pemikiran dan Kesadaran Gender

Pemerintah sering kali mengaitkan tingginya tingkat perceraian, terutama dalam kasus gugatan
cerai, dengan faktor ekonomi. Namun, tanpa disadari, pandangan ini mengimplikasikan
determinisme ekonomi dalam pembicaraan tentang perceraian. Tulisan ini dirancang untuk
mengevaluasi pandangan esensial tersebut dan meyakini bahwa di balik perubahan akses
ekonomi perempuan, ada faktor-faktor suprastruktural yang lebih penting dalam memahami
tingginya tingkat perceraian.

Berdasarkan prinsip ini, penulisan ini dikembangkan untuk menggali lebih dalam fenomena
perceraian dalam konteks evolusi kesadaran dan pengetahuan perempuan. Dengan pendekatan
ini, perceraian tidak hanya dilihat sebagai hasil perubahan struktur ekonomi, tetapi juga terkait
dengan perubahan dalam kesadaran dan pengetahuan perempuan.
Hasil penelitian menyediakan bukti empiris yang mendukung untuk mengevaluasi pandangan
resmi pemerintah. Ditemukan bahwa tingginya tingkat perceraian lebih dipengaruhi oleh
transformasi kesadaran gender perempuan daripada perubahan akses ekonomi. Menariknya,
informan dalam penelitian ini tidak menggunakan alasan ekonomi sebagai dasar untuk gugatan
cerai mereka, meskipun mereka berperan sebagai penopang ekonomi keluarga.

Sebaliknya, alasannya lebih berkaitan dengan ketidakadilan dalam rumah tangga, penolakan
terhadap kekerasan, dan ketidakpuasan atas peran subordinat dalam struktur keluarga. Hal ini
mencerminkan evolusi pemahaman dan kesadaran gender para informan tentang isu-isu tersebut,
yang masih menjadi perjuangan gerakan perempuan saat ini.

Perubahan dalam akses informasi dan pendidikan telah mempermudah perempuan untuk
mengakses isu-isu kesetaraan gender, yang tercermin dalam penelitian ini. Informan dapat
dianggap sebagai individu yang terinformasi dengan baik tentang isu-isu gender, yang
berkontribusi pada transformasi pemahaman dan kesadaran mereka. Ini adalah faktor kunci yang
memengaruhi keputusan mereka untuk bercerai.

Penelitian ini mengeksplorasi delapan (8) tema penting dalam kehidupan pernikahan dan
perceraian untuk menemukan evolusi kesadaran gender informan. Analisis ini bertujuan untuk
menjelaskan perubahan dalam pemahaman dan kesadaran gender informan dengan
membandingkan pandangan mereka dengan kerangka teoretis yang digunakan. Kesesuaian
pandangan informan dengan prinsip-prinsip pembebasan dan keadilan gender, sebagaimana yang
tergambar dalam teori feminisme, dijadikan sebagai ukuran objektif untuk mengevaluasi
pemahaman dan kesadaran gender mereka.

1. Keputusan Menikah:
Semua informan adalah perempuan yang telah aktif dalam pekerjaan kreatif di luar rumah
tangga sebelum dan setelah menikah, dengan hanya satu informan yang mengakses
pekerjaan kreatif setelah menikah. Meskipun sebagian kecil informan mengakui motif
keamanan ekonomi sebagai alasan pernikahan, mayoritas tidak mempertimbangkan
faktor ekonomi dalam keputusan menikah. Fenomena ini menunjukkan perubahan tren
kemandirian ekonomi perempuan yang berkembang, yang agak kontradiktif dengan
norma masyarakat patrilineal yang biasanya menekankan keamanan ekonomi sebagai
alasan utama pernikahan. Pengakuan ini juga mencerminkan pandangan bahwa
perempuan memiliki hak untuk mengakses pekerjaan di luar rumah dan memutuskan
pernikahan berdasarkan pertimbangan rasional, bukan sekadar motif ekonomi.
2. Pandangan para informan tentang pembagian kerja berdasarkan gender menunjukkan
sikap progresif yang menolak pembagian konvensional yang membatasi peran
perempuan hanya dalam ruang domestik. Mereka mengadvokasi akses yang sama antara
perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan kreatif dan formal, meskipun kenyataannya
suami para informan cenderung tidak memiliki pekerjaan kreatif di sektor publik dan
bergantung pada istri secara ekonomi. Ketidaksesuaian antara pandangan yang
diungkapkan oleh para informan dengan realitas sosial ini menciptakan beban ganda bagi
perempuan. Meskipun mereka terus meningkatkan kualitas pribadi dan profesional
mereka, tanggung jawab tambahan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga
menambah beban mereka. Situasi ini menunjukkan ketidakadilan gender dalam rumah
tangga yang memengaruhi keputusan perempuan untuk mengajukan gugatan cerai,
karena mereka merasa tidak adil dalam pembagian tanggung jawab dan kewajiban
keluarga.
3. Seks dalam Perkawinan dan Hak Reproduksi:
Pandangan para informan tentang seks dalam perkawinan dan hak reproduksi
menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pemahaman tentang hak-hak perempuan.
Mereka menganggap seks dalam perkawinan sebagai hak yang harus diakui, bukan
sekadar kewajiban yang harus dipenuhi oleh perempuan. Selain itu, mereka juga aktif
mengambil inisiatif untuk mengendalikan reproduksi sesuai dengan keinginan mereka
sendiri, menandakan kemajuan intelektual yang positif dalam memahami hak-hak
reproduksi perempuan. Meskipun demikian, keberadaan kekerasan seksual dalam rumah
tangga tetap menjadi ancaman serius bagi perempuan, meskipun mereka memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak mereka. Hal ini menyoroti ketegangan
antara pemahaman baru tentang hak-hak perempuan dan realitas struktur keluarga
patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat. Meskipun para perempuan menyadari
hak-hak mereka, struktur ini, bersama dengan ideologi yang menempatkan perempuan
dalam posisi inferior, terus menjadi penghalang bagi penegakan penuh hak-hak
perempuan dan pemberantasan kekerasan gender dalam rumah tangga.
4. Kepemimpinan Keluarga:
Para informan dengan tegas menolak pandangan tradisional tentang kepemimpinan yang
mengukuhkan laki-laki sebagai satu-satunya pemimpin berdasarkan jenis kelaminnya.
Bagi mereka, kualitas moral dan intelektual menjadi landasan utama dalam menentukan
siapa yang layak memimpin, bukan sekadar kriteria jenis kelamin. Pandangan ini
mencerminkan prinsip-prinsip Feminisme Liberal dan Radikal yang mengadvokasi
kesetaraan gender serta menolak segala bentuk stereotipe gender yang mengikat. Dengan
demikian, pemahaman baru tentang kepemimpinan keluarga menjadi esensial dalam
merangkul prinsip-prinsip kesetaraan dan penghapusan diskriminasi gender dalam
struktur keluarga.
5. Kekerasan dalam Rumah Tangga:
Para informan, meskipun memiliki pemahaman yang solid tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), masih menjadi korban kekerasan di lingkungan rumah tangga
mereka sendiri. Meskipun memiliki pengetahuan tentang hak-hak mereka dalam sistem
hukum, ketakutan akan reputasi keluarga dan kekhawatiran akan masa depan anak-anak
mereka seringkali menjadi penghalang bagi mereka untuk melangkah maju dan
melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
kesadaran tentang KDRT dan prinsip kesetaraan di depan hukum terus berkembang,
masih ada faktor-faktor lain yang secara signifikan menghambat upaya untuk
menegakkan hak-hak perempuan. Ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang
dihadapi perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dan keadilan, bahkan ketika
mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah tersebut.
6. Keputusan Bercerai:
Penting untuk dicatat bahwa bagi para informan, keputusan untuk bercerai tidak didorong
utamanya oleh pertimbangan faktor ekonomi. Meskipun memiliki kemandirian ekonomi
dan mampu menjadi tulang punggung keluarga, keputusan mereka untuk bercerai lebih
dipengaruhi oleh ketidakadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga. Bagi para
informan, ketidakadilan gender menjadi alasan yang lebih kuat untuk bercerai daripada
perubahan struktur ekonomi dalam keluarga. Hal ini menegaskan bahwa transformasi
pemahaman dan kesadaran gender memiliki peran yang lebih signifikan dalam keputusan
untuk bercerai daripada faktor ekonomi. Dengan demikian, fokus utama dalam
memahami dinamika perceraian di kalangan para informan adalah melalui lensa
ketidakadilan gender dan kekerasan dalam rumah tangga, bukan sekadar aspek ekonomi
semata.Pandangan tentang
7. Keluarga Ideal:
Meskipun telah mengalami perceraian, para informan tidak menolak institusi perkawinan
sepenuhnya. Mereka masih memelihara harapan bahwa institusi perkawinan dapat
mengalami perubahan menuju keadilan gender yang lebih besar dan penghargaan
terhadap hak-hak perempuan. Pandangan mereka tentang keluarga ideal tidak
mencerminkan penolakan, melainkan aspirasi untuk menciptakan lingkungan keluarga
yang adil, harmonis, dan di mana semua anggota keluarga memiliki kesempatan yang
sama untuk berkembang. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip Feminisme Liberal yang
mendorong kerja sama yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam mencapai
tujuan bersama untuk keadilan dan harmoni dalam keluarga. Dengan demikian, para
informan berperan dalam memperjuangkan transformasi institusi perkawinan menuju ke
arah kesetaraan dan keadilan gender yang lebih besar.
8. Pandangan tentang Ketidakadilan Gender:
Para informan dengan tegas menolak segala bentuk ketidakadilan gender dan prasangka
negatif terhadap perempuan. Mereka kuat dalam keyakinan bahwa perempuan memiliki
kapasitas moral dan intelektual yang setara dengan laki-laki, dan bahwa perbedaan
karakter antara keduanya lebih dipengaruhi oleh faktor budaya daripada biologis.
Pandangan ini selaras dengan prinsip-prinsip Feminisme Liberal dan Radikal, yang
menegaskan pentingnya kesetaraan gender dan penolakan terhadap stereotipe gender.
Para informan berharap untuk membangun masyarakat di mana perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama dalam segala aspek kehidupan, serta dapat bekerja bersama
secara setara untuk mencapai tujuan bersama menuju keadilan dan kesetaraan. Dengan
demikian, mereka menjadi agen perubahan yang bertujuan untuk menghilangkan
ketidakadilan gender dan mempromosikan hak-hak perempuan dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menghadirkan temuan yang mengubah paradigma mengenai alasan di balik
gugatan perceraian. Di bawah klaim bahwa kemandirian ekonomi adalah faktor utama, terdapat
faktor yang jauh lebih signifikan, yaitu transformasi pemahaman dan kesadaran gender para
perempuan yang mengajukan gugatan cerai di kota Ponorogo. Faktor ekonomi ternyata tidak
menjadi faktor utama yang mempengaruhi keputusan perceraian bagi perempuan. Dari temuan
ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, keputusan untuk mengajukan gugatan cerai sangat dipengaruhi oleh transformasi
pemahaman dan kesadaran gender para pelaku. Semua perempuan yang menggugat cerai
menyebutkan ketidakadilan gender dalam perkawinan sebagai alasan utama mereka untuk
bercerai.

Kedua, para pelaku gugatan cerai memiliki pandangan yang jelas terhadap relasi gender. Mereka
menolak segala bentuk ketidakadilan gender, seperti stereotipe, diskriminasi, subordinasi,
marginalisasi, dan kekerasan berbasis gender, yang didasarkan pada prasangka negatif terhadap
perempuan. Secara keseluruhan, pandangan para informan sejalan secara konseptual dengan
prinsip-prinsip Feminisme Liberal.

Ketiga, meskipun mengalami perceraian, para informan masih menganggap lembaga perkawinan
sebagai sesuatu yang sakral. Mereka umumnya berharap agar perkawinan menjadi lembaga yang
adil bagi perempuan, yang hanya dapat terwujud apabila laki-laki dan perempuan bekerja sama
secara setara.

REKOMENDASI

1. Pendidikan Gender yang Intensif: Perlunya peningkatan pendidikan gender yang intensif
di semua tingkatan pendidikan, baik formal maupun non-formal, untuk memperkuat
kesadaran gender dan mengubah stereotip yang terkait dengan peran gender dalam
masyarakat.
2. Penguatan Perlindungan Hukum: Diperlukan penguatan perlindungan hukum bagi korban
kekerasan dalam rumah tangga dan pemberian sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan,
serta memastikan akses yang mudah bagi korban untuk mendapatkan bantuan hukum.
3. Pemberdayaan Ekonomi: Program-program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan
perlu diperkuat untuk meningkatkan kemandirian ekonomi mereka, sehingga mereka
tidak terjebak dalam hubungan perkawinan yang tidak sehat hanya karena ketergantungan
ekonomi.
4. Penguatan Lembaga Mediasi: Pentingnya penguatan lembaga mediasi yang berkompeten
dalam menangani kasus perceraian, dengan memperhatikan aspek-aspek gender dan
memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk berbicara serta mencapai kesepakatan
yang adil.
5. Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Perlu adanya upaya yang lebih besar dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender dan hak-hak
perempuan, baik melalui kampanye publik, media massa, maupun program-program
pendidikan informal.
6. Dukungan Psikologis: Perlunya tersedianya layanan dukungan psikologis yang
terjangkau bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga dan mereka yang mengalami
perceraian, untuk membantu mereka mengatasi trauma dan memperkuat kembali
kesehatan mental dan emosional mereka.
7. Kolaborasi lintas sektor: Diperlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, sektor swasta, dan komunitas untuk merancang dan melaksanakan
program-program yang holistik dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga
dan mendukung perempuan yang mengalami perceraian.
8. Penelitian Lanjutan: Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam untuk
memahami secara menyeluruh dinamika perceraian dan faktor-faktor yang
memengaruhinya, serta untuk mengembangkan strategi intervensi yang lebih efektif
dalam menangani masalah ini.
9. Pengembangan Keterampilan Hubungan: Pentingnya pengembangan keterampilan
hubungan dan komunikasi yang sehat bagi pasangan sebelum menikah, serta program-
program konseling pranikah yang mempersiapkan calon pasangan untuk menghadapi
berbagai tantangan dalam pernikahan dengan cara yang positif dan konstruktif.
10. Sosialisasi Hasil Penelitian: Hasil penelitian ini perlu disosialisasikan secara luas kepada
berbagai pihak, termasuk stakeholder terkait, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum,
agar pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang memengaruhi perceraian
dapat tercapai dan upaya-upaya yang tepat dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin Nur, A. N., & Jauhariyah. (2008). Factors Influencing High Divorce Rates in
Banyuwangi Regency (A Case Study at Banyuwangi Religious Court). Unpublished
research. STAIDA Banyuwangi.
2. Benhabib, S., & Cornell, D. (Eds.). (1987). Feminism As Critique: On Gender Politics.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
3. Bogdan, R., & Taylor, S. J. (1975). Introduction to Social Sciences: A Phenomenological
Approach. New York: John Wiley & Sons.
4. Bryson, V. (2003). Introduction to Feminist Political Theory. New York: Palgrave
Macmillan.
5. Eisenstain, R. Z. (Ed.). (1978). Capitalist Patriarchy and Socialist Feminism. New York
and London: Monthly Review Press.
6. Firestone, S. (1972). The Dialectic of Sex: Advocating Feminist Revolution. New York:
William Morow and Company, Inc.
7. Friedan, B. (1974). The Feminine Mystique. New York: Dell Publishing Co., Inc.
8. Husserl, E. (1962). Ideas: An Introduction to Pure Phenomenology. New York: Collier
Books.
9. Jaggar, M. A. (1983). Feminist Politics and Human Nature. New Jersey: Rawman and
Allanheld Publishers.
10. Lembaga Penelitian dan Survei. (1976). Research Report on the Causes of Divorce in
East Java. Unpublished research. IAIN Sunan Ampel Surabaya.
11. Madsen, L. D. (2000). Feminist Theory and Literary Practice. London: Pluto Press.
12. Malos, E. (Ed.). (1980). The Politics of Housework. London: Allison and Busby.
13. Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Education and Qualitative Data Analysis.
Jakarta: UI Press.
14. Mill, J. S. (1984). Essays on Equality, Law, and Education. London: Routledge and
Kegan Paul.
15. Moleong, L. J. (2002). Qualitative Research Methodology. Bandung: Rosdakarya.
16. Mufid, A. S. (1996). “Qualitative Research for Religious Studies.” In Towards Religious
Research: In the Perspective of Social Research, (Ed.). Cirebon: Faculty of Education
IAIN Sunan Gunung Jati.
17. Mulyana, D. (2004). Qualitative Research Methodology: A New Paradigm for
Communication Science and Other Social Sciences. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
18. Nasution, S. (1996). Naturalistic Qualitative Research Methods. Bandung: Transito.
19. Snodgrass, M. E. (2006). Encyclopedia of Feminist Literature. New York: Facts on File
Inc.
20. Sugiyono. (2005). Understanding Qualitative Research Methods. Bandung: Alphabeta.
21. Suharsono. (2000). Factors Causing Divorce in Tlogomas Village, Dau Subdistrict,
Malang Regency, East Java. Unpublished research. Merdeka University Malang.
22. Sutopo, H. B. (1988). Review of Research Works, Contribution to the Research Journal,
Sebelas Maret University, No. 1 Year IV.
23. Tong, P. R. (2009). Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Westview Press.
24. Tucker, C. R. (1978). The Marx-Engels Reader: Second Edition. New York: W.W.
Nonton Company.
25. Wilson, A. (1985). Society Now: Family. London: Routledge-Tylor and Francis Group.
26. Wollstonecraft, M. (1796). A Vindication of the Rights of Women with Discourses on
Political and Moral Subjects. London: J. Johnson.
27. Surabayakita.Com News Archive. Divorce Rates in East Java Increase. Retrieved from
http://www.surabayakita.com/index. Php?option =com_content&view= article&id= 521:
angkaperceraian-di-jatim-meningkat-&catid= 25: peristiwa & Itemid =28, on March 15,
2015.
28. Destyan. (2015). Divorce Cases Increase in Ponorogo. Retrieved from http://
www.antarajatim.com/lihat/berita/51842/kasus-perceraian-diponorogo-meningkat, on
March 10, 2015.
29. Kompas.Com News Archive. Here Are the Reasons for the High Divorce Rate in
Ponorogo. Retrieved from http://regional.kompas.com/ read/2009/07/15/09520826/
Ini.Dia.Alasan. Tingginya.Perceraian. di.Ponorogo, on March 10, 2015.
30. Suara Karya Newspaper Archive. Retrieved from
http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=233540 on March 16, 2015.
31. Ponorogo.Us News Archive. Ponorogo Has the Highest Divorce Rate in East Java.
Retrieved from http://ponorogo.us/2015/07/13-gugat-cerai-ponorogo-tertinggi-se-jawa-
timur.htm, on March 12, 2015.

Anda mungkin juga menyukai