Anda di halaman 1dari 7

Fenomena Perselingkuhan di Sosial Media Yang Mengarah Pada

Meningkatnya Angka Perceraian di Indonesia

Nama : Ficky Fahlul Rizky | Nim : 20.06.1864 | Kelas : 20IK03 | Mata Kuliah :
Cyber Society | Dosen Pengampu : Monika Pretty Aprilia, M.Si

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di era digital dan media sosial, fenomena perselingkuhan telah menjadi


isu yang semakin penting di Indonesia. Dengan berkembangnya teknologi
informasi dan komunikasi, media sosial saat ini sudah dianggap penting bagi
kehidupan sosial orang Indonesia. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter,
dan lainnya telah memberikan dampak yang signifikan terhadap cara masyarakat
berinteraksi, berkomunikasi, dan berhubungan dalam kehidupan sehari-hari(Abu
Salman Farhan Al-atsary, 2014).

Perzinahan adalah tindakan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang


pria atau wanita di luar ikatan pernikahan, sedangkan perselingkuhan dilakukan
dengan cara bersembunyi untuk menghindari perilaku di luar pernikahan.
Perselingkuhan, di sisi lain, merupakan sebuah sistem terorganisir yang
belakangan ini menjadi fenomena di masyarakat. Adapun di era milenial, media
sosial muncul dalam kehidupan saat ini, yang membuat perselingkuhan melalui
media sosial. Banyak perselingkuhan yang terjadi bukan karena masalah seksual,
melainkan untuk memuaskan kebutuhan pasangan selingkuhannya, yang tidak
bisa didapatkan dalam pernikahan, dan bisa juga terjadi karena pengaruh media
sosial yang belakangan ini menjadi populer dikalangan remaja dan orang dewasa,
terutama orang yang sudah menikah, era teknologi seperti sekarang ini menjadi
salah satu penyebab munculnya rasa cemburu pada pasangan (Abu Salman Farhan
Al-atsary, 2014).
Fenomena ini mencakup hubungan asmara atau intim yang tidak sah
antara dua orang di mana salah satu ataupun keduanya sudah menikah. Media
sosial bisa menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan
kasus perselingkuhan, karena media sosial memberikan akses yang lebih mudah
bagi individu untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan dengan orang
lain, terutama di luar lingkungan sosialnya.

Media sosial telah mengubah cara masyarakat Indonesia dalam


berinteraksi dan berkomunikasi. Fenomena ini tidak hanya memberikan dampak
positif, tetapi juga menimbulkan masalah sosial yang serius, salah satunya adalah
meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Media sosial memberikan wadah
bagi masyarakat untuk dengan mudah terhubung, berkomunikasi, dan berbagi
informasi, namun dibalik kemudahan tersebut terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas hubungan dan kestabilan rumah tangga (Nursyifa, Hayati,
& Pamulang, 2020).

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka


perceraian di Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 516.334 kasus,
meningkat dari 447.743 kasus pada tahun 2021. Jumlah perceraian ini merupakan
yang tertinggi dalam enam tahun terakhir. Mayoritas kasus perceraian pada tahun
2022 adalah ketika istri mengajukan gugatan cerai, dengan jumlah mencapai
388.358 kasus, atau 75,21% dari total perceraian tahun tersebut. Sementara itu,
terdapat 127.986 kasus perceraian atas dasar kesepakatan bersama, yang
menyumbang 24,78% dari seluruh perceraian. Berdasarkan provinsi, Jawa Barat
menjadi provinsi dengan jumlah perceraian tertinggi pada tahun 2022, mencapai
113.643 kasus. Jawa Timur berada di peringkat berikutnya dengan 102.065 kasus,
diikuti oleh Jawa Tengah dengan 85.412 kasus. Ada juga lima provinsi yang tidak
melaporkan adanya angka perceraian sepanjang tahun 2022, yaitu Riau, Bali,
Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa faktor penyebab utama perceraian pada tahun 2022 adalah
perselisihan dan pertengkaran, mencakup 284.169 kasus, atau sekitar 63,41% dari
seluruh alasan perceraian di Indonesia. Selain itu, beberapa penyebab perceraian
lainnya termasuk kondisi ekonomi, perpisahan salah satu pasangan, kekerasan
dalam rumah tangga, dan poligami. (Annur, 2023).

Pada awal tahun 2023, Kota Bekasi, Jawa Barat, menghadapi peningkatan
kasus perceraian yang diajukan oleh banyak pasangan. Mayoritas kasus tersebut
disebabkan oleh perzinahan. Bapak Usman, selaku Humas Pengadilan Agama
Kota Bekasi, menyatakan bahwa pengaduan yang diterima pada awal tahun 2023
mengungkapkan bahwa para penggugat mengalami perbedaan pandangan ideal
tentang pasangan mereka, yang kemudian menyebabkan perselisihan pada tahun
tersebut dan berujung pada perceraian yang diselesaikan di pengadilan.
Berdasarkan data yang disimpan di Pengadilan Agama Kota Bekasi, mayoritas
penggugat adalah perempuan yang menggugat suaminya, terlihat dari jumlah
kumulatif perkara perceraian yang diajukan pada tahun 2022. Masalah perzinahan
masih mendominasi kasus-kasus perceraian di Bekasi, dengan 5.921 perkara
diajukan karena perzinahan. Dari jumlah tersebut, 3.000 gugatan diajukan oleh
istri dan sisanya oleh suami. Perbandingan ini menunjukkan peningkatan sebesar
13,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa kasus perceraian juga
disebabkan oleh pengunduran diri sepihak dari pasangan, karena pengabaian
sepihak dari salah satu pasangan.. (Kautsar, 2023).

Perceraian merupakan isu yang sangat penting dalam konteks sosial dan
ekonomi di Indonesia. Tingginya angka perceraian memberikan dampak negatif
bagi individu, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan pola
komunikasi, pengaruh media sosial dan tuntutan gaya hidup modern mungkin
berkontribusi terhadap meningkatnya angka perceraian di Indonesia.Angka
perceraian di Indonesia juga terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Perselingkuhan dapat menjadi salah satu penyebab utama perpisahan rumah
tangga, yang mempengaruhi stabilitas keluarga dan kesejahteraan sosial. Oleh
karena itu, penting untuk memahami faktor-faktor yang mendorong
perselingkuhan dan bagaimana fenomena ini berhubungan dengan meningkatnya
angka perceraian di Indonesia (Apriasari Universitas Gadjah Mada, Kanza
Qotrunnada Universitas Gadjah Mada, Farah Mahsheed Al-Jannah Universitas
Gadjah Mada, & Zafira Amani, 2021).

PEMBAHASAN

Perceraian dapat dilihat dari perspektif teori perkembangan rentang hidup,


yang memaparkan perubahan dan kestabilan karakteristik psikologis manusia
sepanjang hidup (ontogenesis). Bidang ini memusatkan perhatian pada perbedaan
individual dan antarindividu dalam perjalanan perkembangan, meliputi masa
prenatal, masa bayi dan balita, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak tengah
dan akhir, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa tengah, dan masa
dewasa akhir (Lally & Valentine-French, 2019).Di Indonesia, tingkat perkawinan
anak mencapai tingkat yang tinggi, di mana satu dari sembilan anak perempuan
menikah pada usia kurang dari 18 tahun. Namun, jika melihatnya dari perspektif
teori perkembangan rentang hidup, usia tersebut bukanlah rentang usia yang tepat
untuk menikah dan membentuk keluarga.

Kematangan fisik, tingkat kognitif, dan kesiapan psikologis pada usia


tersebut masih belum mencukupi. Sebagai akibatnya, sangatlah penting untuk
memahami bagaimana tahapan perkembangan manusia yang telah dipaparkan
dalam teori ini, sehingga dapat membantu masyarakat dan pemerintah untuk
menciptakan kebijakan yang lebih mendukung perkembangan manusia secara
holistik dan mencegah pernikahan anak yang terlalu dini..

Mulai dari awal pubertas hingga usia 18 tahun, seseorang berada dalam
masa remaja yang ditandai dengan perubahan kognitif, di mana remaja mulai
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan baru dan menggali konsep-
konsep abstrak seperti cinta, rasa takut, dan kebebasan. Rentang usia 18 hingga 25
tahun kemudian disebut sebagai masa dewasa yang sedang berkembang, menjadi
masa transisi antara akhir masa remaja dan awal masa dewasa, ketika individu
mulai mengasimilasi semua karakteristik masa dewasa. Meskipun berada pada
puncak kematangan fisik, orang-orang dalam kelompok usia ini menghadapi
risiko tertinggi untuk mengalami kejahatan kekerasan dan penyalahgunaan
narkoba. Setelahnya, pada usia 25 hingga 40-45 tahun, dikenal sebagai masa
dewasa awal. Ini merupakan waktu yang ideal untuk menikah, karena tugas
perkembangan utamanya adalah membentuk hubungan intim, membangun
keluarga, dan mengejar karier. (Lally & Valentine-French, 2019).

Faktor Perselingkuhan di Sosial Media

Komunikasi yang buruk

Menurutt Wulan Ayu Ramadhani, M.Psi selaku Psikologi Klinis Dewasa


(Detikcom, 2013) Dua orang yang berbeda memiliki ide yang berbeda di kepala
mereka. Karena itu, penting untuk memiliki komunikasi yang efektif sebagai
kunci untuk menyatukan dua pemikiran yang berbeda. Namun, hal ini bukanlah
hal yang mudah, dan jika pasangan tidak mampu berkomunikasi dengan baik,
dapat menyebabkan 'celah' yang memungkinkan terjadinya perselingkuhan.
Terkadang, wanita cenderung berbicara tentang segala sesuatu yang mereka alami.
Mereka banyak berbicara karena sedang mengalami sesuatu dan mencari solusi,
bukan hanya mengeluh. Wanita berbicara karena mereka ingin suami mereka
memahami masalah yang dihadapi dan bekerja sama mencari solusi terbaik.
Sementara itu, pria cenderung lebih suka berbicara tentang hal-hal yang dianggap
'besar' dan penting. Perbedaan ini dapat menyebabkan perasaan tidak diperhatikan
dan tidak dicintai. Rasa bahwa pasangan tidak bisa dijadikan tempat berbagi dan
kepercayaan. Akhirnya, jika ada seseorang yang memberikan perhatian, meskipun
hanya melalui media sosial, bentuk kasih sayang ini bisa berubah menjadi
ketertarikan.

Emosional dan Psikologi

Media sosial memberikan kesempatan untuk perselingkuhan emosional, di


mana seseorang terlibat secara emosional dengan orang lain di luar hubungan
mereka tanpa kontak fisik. Perselingkuhan emosional ini dapat menjadi pendahulu
perselingkuhan fisik jika tidak ditangani dengan tepat. Kebosanan atau
ketidakpuasan dalam hubungan terjadi ketika seseorang merasa kurang bahagia,
puas, atau terhubung dengan pasangannya, dan media sosial dapat menjadi tempat
di mana mereka mencari perhatian atau persetujuan dari orang lain. Perasaan tidak
puas ini dapat membuat seseorang mencari koneksi emosional atau romantis di
luar hubungan mereka (Perkasa, 2023).

Anonimitas dan Privasi bisa masuk kedalam faktor psikologis


karenaTingkat anonimitas yang ditawarkan oleh media sosial dapat membuat
seseorang merasa lebih percaya diri dalam berperilaku berisiko dan rahasia,
memudahkan terjadinya perselingkuhan. Hal ini sering terjadi pada pemilik akun
alter yang ada di sosial media.

Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial online, termasuk kelompok teman atau komunitas


online, dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Jika lingkungan tersebut
menganggap perselingkuhan sebagai sesuatu yang umum atau bahkan diterima,
maka seseorang mungkin lebih cenderung untuk terlibat dalam perilaku tersebut.
Lingkungan sosial online bisa berawal dari lingkungan sekitar seperti rekan kerja
di kantor ataupun dalam acara pertemuan reuni (Mujahidin, 2020).

KESIMPULAN
Sosial media telah menjadi faktor yang signifikan dalam meningkatkan
potensi perselingkuhan di era digital. Kemudahan berhubungan dengan orang lain,
anonimitas, dan kesempatan yang ditawarkan oleh platform sosial media dapat
menggoda individu untuk mencari kepuasan atau pelarian dari hubungan yang
ada. Meskipun faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kecenderungan
perselingkuhan, penting untuk diingat bahwa perselingkuhan adalah hasil dari
keputusan individu dan kualitas hubungan antara pasangan. Komunikasi terbuka,
kepercayaan, dan pengertian adalah kunci dalam membangun hubungan yang
sehat dan meminimalkan risiko perselingkuhan dan mengurangi angka perceraian
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Salman Farhan Al-atsary. (2014). Menikah untuk Bahagia: Antara Dua Arah
Cinta. Elex Media Komputindo.
Annur, C. M. (2023). Kasus Perceraian di Indonesia Melonjak Lagi pada 2022,
Tertinggi dalam Enam Tahun Terakhir . Retrieved July 25, 2023, from
Katadata Media Network website:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/kasus-perceraian-di-
indonesia-melonjak-lagi-pada-2022-tertinggi-dalam-enam-tahun-terakhir
Apriasari Universitas Gadjah Mada, H., Kanza Qotrunnada Universitas Gadjah
Mada, Y., Farah Mahsheed Al-Jannah Universitas Gadjah Mada, Y., & Zafira
Amani, Y. (2021). Divorce in the Covid-19 Pandemic Era: An Integrative
Study: Perceraian di Era Pandemi Covid-19: Sebuah Kajian Integratif.
Proceding of Inter-Islamic University Conference on Psychology, 1(1).
Detikcom. (2013). Faktor Penyebab Pasangan Selingkuh di Social Media.
Retrieved July 25, 2023, from Detikcom : Lifestyle Wolipop website:
https://wolipop.detik.com/love/d-2212209/faktor-penyebab-pasangan-
selingkuh-di-social-media
Kautsar, N. D. (2023). Kasus Perceraian di Bekasi Naik di Awal 2023, Sebagian
Besar karena Perselingkuhan.
Lally, M., & Valentine-French, S. (2019). LIFESPAN DEVELOPMENT A
Psychological Perspective Second Edition. Creative Commons. Retrieved
from http://dept.clcillinois.edu/psy/LifespanDevelopment.pdf
Mujahidin, M. (2020). WASPADA Perselingkuhan Bisa Berawal dari Media
Sosial.
Nursyifa, A., Hayati, E., & Pamulang, U. (2020). Upaya Pencegahan Perceraian
Akibat Media Sosial dalam Perspektif Sosiologis. JSPH : Jurnal Sosiologi
Pendidikan Humanis, Volume 5 Nomor 2, 144–158.
Perkasa, G. (2023). Kenali, Beda Selingkuh Emosional Vs Selingkuh Fisik.

Anda mungkin juga menyukai