Anda di halaman 1dari 8

The Correlation Of Early Marriage, Family Economic Status, And

Social Media With Female Adolescent Couples In Bandungan,


Semarang Regency
Sahat Pandapotan Nainggolan
Fakultas Vokasi, Institut Teknologi Del, Indonesia
Email: sahat.nainggolan@del.ac.id

Abstrak: Perceraian merupakan berakhirnya hubungan suami istri karena suatu alasan
berdasarkan keputusan hakim yang dapat terjadi dengan cerai talak dan cerai gugat.
Perceraian di Kecamatan Bandungan mencapai 8% dari 577 kejadian perceraian di
Kabupaten Semarang. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan
pernikahan dini, ekonomi keluarga, media sosial dengan kejadian perceraian di
Kecamatan Bandungan. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan desain
cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah 8.852 wanita PUS di Kecamatan
Bandungan. Dengan teknik simple random sampling didapatkan sampel 95 wanita PUS.
Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara univariat,
bivariat deskriptif dan bivariat analitik dengan uji chi-square. Dari hasil Univariat
didapatkan pernikahan dini sebesar 56,8%, Ekonomi Keluarga Tinggi 69,5% dan
Menggunakan Media sosial 58,9%. Hasil bivariat deskriptif menunjukkan yang bercerai
lebih banyak terjadi pada wanita yang menikah <21 tahun (25,9%), memiliki ekonomi
keluarga >UMR (21,1%), tidak menggunakan media sosial (32,2%). Dari 3 variabel
penelitian, tidak ada yang berhubungan secara signifikant dengan kejadian perceraian
yaitu pernikahan dini (pvalue=0,084), ekonomi keluarga (pvalue=0,572), media sosial (p-
value=0,098). Saran yang dapat diberikan adalah Peningkatan usia perkawinan dan
pengadaan konseling perkawinan oleh KUA.
Kata Kunci: Perceraian pada Wanita PUS, Media Sosial, Ekonomi Keluarga,
Pernikahan dini

Abstract: Divorce is the end of a marital relationship for a reason based on a judge’s
decision. Divorce in Bandungan sub-district is 8% of 577 divorce cases in Semarang. The
purpose of this study is to analyze the relationship of early marriage, family economy, social
media with the incidence of divorce. The type of this research is an explanatory research with
design cross sectional study. The population of this study is 8.852 women in Bandungan
District and The sample is 95 women were selected by simple random sampling. Data were
collected by using questioner and analyzed with univariat, descriptive bivariat and analytic
bivariat with chi-square test. The result of univariat got early marriage (56,8%) , high family
economics (69,5%) and use social media (58,9%). The result of descriptive bivariat showed
that divorce more occured in women married <21 years (25,9%), had a family economy
>UMR (21,1%), did not use social media (32,2%). From the 3 variables, none were
significantly associated with the incidence of divorce, early marriage (0,084), family economy
(0,572), social media (p-value=0,098). Suggestions that can be given is delay of marriage
age and marriage counseling held by KUA.
Keywords: Divorce in women, Social Media, Family Economy, Early Marriage

PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seksnya,
hal ini merupakan salah satu bentuk kebutuhan fisiologis. Penyaluran nafsu seks yang
dilakukan dengan cara yang lazim dikenal dengan istilah Pernikahan/Perkawinan. Namun
pernikahan tidak hanya untuk menyalurkan kebutuhan seks manusia, tetapi memiliki

1 18813
894
pengertian yang lebih luas lagi. Menurut Wrjono Prodjodikoro, Pernikahan adalah hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat suatu
perjanjian yang mengikat secara lahir dan batin dengan dasar iman.
Berdasarkan Undang-Undang RI No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang dapat digunakan
untuk membentuk keluarga yang mandiri dan berkualitas serta bersifat kekal. Keluarga yang
mandiri, berkualitas dan bersifat kekal akan dapat terwujud apabila keluarga tersebut mampu
menerapkan fungsi keluarga menurut BKKBN yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih,
melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi serta pembinaan lingkungan.
Selain itu kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan
penyesuaian diantara pasangan.Keluarga yang mandiri, berkualitas dan bersifat kekal tidak
sepenuhnya dapat dilakukan oleh sebuah keluarga, hal ini ditandai dengan masih banyak
perceraian yang terjadi di Indonesia yaitu terdapat 16% kejadian perceraian dari jumlah yang
menikah pada tahun 2012 atau sekitar 372.577 kejadian dan mengalami penurunan di tahun
2013 yaitu menjadi 14% dari jumlah yang menikah pada tahun 2013 atau sekitar 324.527
kejadian. Jika dari 2 tahun tersebut diambil nilai tengahnya maka terdapat 959 kejadian
perceraian per harinya atau 40 perceraian setiap jam. Menurut P.N.H. Simanjuntak, Perceraian
merupakan berakhirnya suatu perkawinan oleh karena suatu sebab berdasarkan keputusan
hakim atas tuntutan dari salah satu atau kedua belah pihak dalam perkawinan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2013-2015 angka perceraian di
Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 terdapat 14% yang
melakukan perceraian kemudian mengalami kenaikan sebesar 2% di tahun 2014 yaitu menjadi
16% dan hanya mengalami kenaikan sebesar 1% dari tahun 2014 ke tahun 2015 yaitu menjadi
17% atau terdapat 347.256 kejadian perceraian dari 1.958.394 yang menikah pada tahun yang
sama. Sedangkan angka perceraian di Jawa Tengah merupakan salah satu dari 5 provinsi yang
memiliki angka perceraian yang tinggi di Indonesia yaitu dari 347.256 kejadian perceraian di
Indonesia, 19% kejaidinan perceraian terjadi di Jawa Tengah.
Menurut data dari Kementerian Agama Kabupaten Semarang tahun 2015-2017, angka
perceraian dari tahun 2015 sampai 2017 menunjukkan penurunan sebesar 8,5% yaitu
1274(16%) kejadian pada tahun 2015 menjadi 577 (7,5%) kejadian di tahun 2017. Dari 577
(16%) kejadian di Kabupaten Semarang, 41 (8%) kejadian perceraian tersebut berada di
Kecamatan Bandungan.
Perceraian dapat dilakukan oleh istri ataupun suami dengan berbagai alasan. Di dalam
perceraian terdapat 2 jenis perceraian yaitu talaq cerai dan gugat cerai. Perbedaan talaq cerai
dan gugat cerai terletak pada penggugatnya. Talaq cerai berasal dari gugatan suami ke istrinya
dan gugat cerai berasal dari istri ke suaminya. Dari hasil kajian Balitbang Kemenag pada tahun
2016, angka gugat cerai lebih tinggi dibandingkan angka talaq cerai yaitu 70%: 30%. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pergeseran budaya yang semakin terbuka,
terutama media sosial serta pihak laki-laki yang tidak bertanggungjawab dalam menafkahi
keluarganya.
Pada zaman teknologi ini, penyebab perceraian diakibatkan oleh media sosial.
Walaupun di data Pengadilan Negeri Agama tidak disebutkan secara langsung bahwa media
sosial adalah penyebab perceraian. Namun dengan adanya peggunaan media sosial tersebut
mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang baik dan menyebabkan munculnya orang ketiga
di dalam rumah tangga. Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara suami dan istri
sehingga menyebabkan kurangnya keharmonisan di dalam keluarga. Berdasarkan data
penyebab perceraian pada tahun 2017 di Indonesia, sebesar 35% disebabkan oleh ketidak
harmonisan hubungan suami istri akibat media sosial. Ketidakharmonisan dan pertengkaran
muncul akibat kecemburuan baik suami maupun istri. kemudian disusul oleh penyebab lain
1 18813
895
seperti adanya gangguan pihak ketiga, tidak adanya tanggung jawab dan karena faktor
ekonomi.
Berdasarkan penelitian Hanif Nur Rohman pada penelitiaanya di Surakarta tahun 2014
menyatakan bahwa salah satu penyebab perceraian adalah Ketidaksetiaan salah satu pasangan
yang ditunjukkan dengan adanya orang ketiga, sehingga orang yang diselingkuhi tidak bisa
menerima dan akan memilih untuk bercerai. Sebesar 6,7% perceraian di Indonesia disebabkan
oleh adanya pihak ke-3. Menurut penelitian Lusi Andriani pada tahun 2014, ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu faktor ekonomi keluarga, dan
pernikahan di usia dini. Faktor ekonomi merupakan penyebab masalah perceraian yang paling
sering terjadi karena tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan materi keluarga, sehingga
memicu terjadinya pertengkaran. Faktor ekonomi merupakan penyebab perceraian ketiga
terbesar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017, yaitu menyumbangkan sebesar 16,80 %.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pernikahan dini, Ekonomi
Keluarga dan media sosial dengan kejadian percerian pada Wanita Pasangan Usia
Subur di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Tahun 2017.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Explanatory Research dengan karena
penelitian ini mencari hubungan pernikahan dini, ekonomi keluarga, Media Sosial dengan
kejadian perceraian pada wanita pasangan usia subur di Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang Tahun 2017. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study karena data
yang dibutuhkan untuk penelitian ini dikumpulkan dalam satu waktu. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur di 5 desa di Kecamatan Bandungan pada tahun
2017 yaitu sebanyak 8.852 wanita usia subur. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian hubungan pernikahan dini, ekonomi keluarga , media sosial dengan kejadin
perceraian pada wanita pasangan usia subur di kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
menggunakan teknik simple random sa8m 66pling dimana cara ini memberikan kesempatan yang
sama bagi setiap anggota populasi yang menjdi sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan
rumus Lemesshow.

HASIL DAN PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pernikahan Dini pada Wanita PUS di Kecamatan


Bandungan Kabupaten Semarang tahun 2017
Pernikahan Dini f %
Menikah dini (15-20 Tahun) 54 56,8
Tidak menikah dini (21-30 41
43,2
Tahun)
Lama Pernikahan
0-5 tahun 32 33,7
>5 tahun 63 66,3
Total 95 100

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa frekuensi pernikahan dini wanita PUS
di kecamatan Bandungan lebih tinggi pada kelompok menikah dini (15-20 tahun) yaitu sebesar
56,8% dibandingkan dengan yang tidak menikah dini (43,2%) dan frekuensi lama pernikahan
wanita PUS di Kecamatan Bandungan lebih banyak terdapat pada kelompok yang menikah
>5 tahun ( 66,3%) dibandingkan yang menikah 0-5 tahun (33,7%).

1 18813
896
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Ekonomi Keluarga Wanita PUS di Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang Tahun 2017
Pekerjaan f %
Tidak Bekerja (IRT) 48 50,5
Buruh 6 6,3
Wiraswasta 30 42,1
PNS/TNI/POLRI 1 1,1
Penghasilan Keluarga
Kurang (<UMR) 29 30,5
Cukup (≥UMR) 66 69,5
Total 95 100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi pekerjaan wanita PUS
di Kecamatan Bandungan tahun 2017 lebih banyak pada kelompok yang tidak bekerja (50,5%)
dan paling sedikit pada kelompok PNS/TNI/Polri (1,1%). Frekuensi penghasilan keluarga
lebih banyak terdapat pada kelompok yang penghasilannya ≥UMR (69,5%) dibandingkan
kelompok yang penghasilannya <UMR (30,5%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Media Sosial Wanita


PUS di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang tahun 2017
Pertanyaan Media Sosial pada Ya Tidak
wanita PUS f % f %
Apakah istri memiliki HP ? 79 83,2 16 16,8
Apakah suami memiliki HP ? 67 70,5 28 29,5
Apakah istri menggunakan media sosial 56 58,9 39 41,1
?
Apakah suami menggunakan media 51 53,7 44 46,3
sosial ?
Suami menggunakan HP ketika ibu 34 35,8 61 64,2
sedang berbicara
Ibu berkomunikasi dengan lawan jenis 25 26,3 70 73,7
lewat media sosial
Suami berkomunikasi dengan lawan 27 28,4 68 71,6
jenis lewat medsos
Suami cemburu pada istri karena media 14 14,7 81 85,3
sosial
Istri cemburu pada suami karena media 14 14,7 81 85,3
sosial
Pernah bertengkar karena media sosial 8 8,4 87 91,6

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa frekuensi wanita PUS yang menggunakan media
sosial lebih banyak pada kelompok istri yang menggunakan media sosial (58,9%)
dibandingkan dengak kelompok istri yang tidak menggunakan media sosial (41,1%) dan
frekuensi tertinggi suami wanita PUS yang menggunakan media sosial lebih banyak terdapat
pada kelompok yang menggunakan media sosial (53,7%). Frekuensi pernah bertengkar karena
media sosial lebih banyak terdapat pada kelompok yang menjawab tidak pernah bertengkar
karena media sosial (91,6%) dibandingkan pernah bertengkar karena media sosial (8,4%).
Penelitian ini dilakukan pada wanita PUS di 5 Desa di Kecamatan Bandungan. Dari hasil
analisis Univariat diperoleh bahwa persentase umur menikah pada wanita PUS lebih tinggi
pada kelompok yang menikah ≤20 Tahun (56,8%) dibandingkan pada wanita yang menikah

1 18813
897
>20 tahun(43,2%) hal ini didukung oleh hasil Survei BKKBN tahun 2013 yang menyatakan
terdapat 41,8% wanita yang sudah menikah pada usia 15-19 tahun. Dari wanita PUS yang
diwawancarai masih terdapat yang menikah dikarenakan oleh perjodohan, yaitu 6,4%.
Sedangkan Menurut penelitian di Turkey pada tahun 2011, 82,9% pernikahan dilakukan pada
kehendak pasangan dan melalui persetujuan keluarga dan 9,4% yang menikah akibat
perjodohan. Tingkat pernikahan dini dan tingkat perjodohan di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan diwilayah perkotaan. Rasio Tingkat pernikahan dini pada tahun 2013 di
pedesaan terdapat 67 per 1000 pernikahan sedangkan di perkotaan terdapat 32 per 1000
pernikahan. Adapun tingkat perjodohan di pedesaan lebih tinggi 48% dibandingkan di daerah
perkotaan. (62)
Persentase tertinggi lama pernikahan wanita PUS di Kecamatan Bandungan terdapat
pada kelompok yang sudah menikah >5 tahun yaitu 66,3%. Menurut Cinde Anjani, periode
awal pernikahan merupakan masa rawan atau era kritis, karena periode awal merupakan masa
yang didalamnya terdapat banyak krisis atau masalah-masalah yang dihadapi, perubahan sikap
dan perilaku masing-masing pasangan yang mulai tampak karena kedua individu memiliki
latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan adanya penyesuaian diri dalam
pernikahan dengan tujuan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri suami
istri untuk mencapai hubungan yang harmonis.(63)
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Ekonomi Keluarga Wanita PUS
lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga (50,5%) dan untuk kriteria penghasilan
persentase teringgi terdapat pada kelompok yang memiliki penghasilan Tinggi atau >UMR
(69,5%). Hal yang serupa juga ditemui dalam penelitian Yuanita pada tahun 2016 di Cilacap
yaitu ibu yang tidak bekerja (69,2%) lebih tinggi dibandingkan ibu yang bekerja (30,8%) akan
tetapi persentasi ekonomi keluarga rendah (56,3%) lebih banyak daripada yang ekonomi
keluarga cukup (43,7%). Ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya pertentangan
dalam keluarga. Penghasilan yang rendah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehingga
perlu komunikasi yang baik antara suami dan istri dalam penggunaan dan pengelolaan
keuangan. Dengan penghasilan yang ada keluarga mampu bertahan hidup dan berusaha
menghadapi bersama-sama sehingga menekan pertengkaran-pertengkaran yang bisa muncul.

1. Hubungan Pernikahan Dini dengan Kejadian Perceraian pada Wanita PUS di


Kecamatan Bandungan tahun 2017
Pernikahan dini yaitu pernikahan yang dilakukan oleh remaja dibawah usia 21 tahun.
Adapun menurut BKKBN, pernikahan dini yaitu pernikahan dibawah umur yang disebabkan
oleh beberapa faktor, misalnya faktor sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, faktor orang tua,
diri sndiri maupun tempat tinggal. Perkawinan usia muda lebih cenderung mengarah kepada
perceraian dikarenakan belum mampu mengontrol emosi dalam menghadapi masalah. Berbeda
halnya dengan wanita yang menikah di usia yang sudah dewasa, meskipun di dalam rumah
tangga timbul masalah, ia akan lebih mampu mengontrol emosi. Kedewasaan diukur dari
berbagai aspek yaitu bidang umur, fisik, biologis, sosial, ekonomi, emosi dan tanggung jawab
serta keyakinan agama, dimana aspek-aspek tersebut yang akan menjadi modal dalam upaya
menjaga keutuhan dan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Pada penelitian bivariat deskriptif ini diperoleh bahwa yang bercerai lebih banyak pada
yang menikah dini (25,9%) dan yang tidak bercerai lebih banyak pada yang tidak menikah dini
(90,3%) hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa pernikahan dini dapat menjadi faktor
terjadinya perceraian. Namun, untuk hasil bivariat analitik pada penelitian ini ditemukan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna pernikahan dini dengan kejadian perceraian pada
wanita PUS di Kecamatan Bandungan (p-value = 0,84). Pada umumnya responden di
Kecamatan Bandungan menikah dibawah 21 tahun yaitu sebanyak 56,8% yang dimana alasan
menikah adalah karena sudah saling mencintai meskipun belum memiliki wawasan yang luas
dan kesiapan mental mengenai kehidupan berkeluarga. Karena pernikahan tidak hanya siap
5 18813
898
secara kemampuan seksual namun ditekankan pada kematangan mental yang mencakup
wawasan, ekonomi, kehidupan bermasyarakat dan agama. Pernikahan dini tidak selalu menjadi
faktor utama terjadinya perceraian karena yang menikah di usia lebih 20 Tahun tahun pun dapat
mengalami perceraian. Dalam penelitian ini terdapat 9,7% wanita PUS yang menikah lebih
dari 20 tahun namun mengalami perceraian.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Joefrey Abalos di Filipina yang
menyatakan secara statistik tidak terdapat hubungan antara usia menikah dengan kejadian
perceraian dengan p values 0,073 . Namun kategori usia menikah dini di Filipina adalah
dibawah 20 tahun. (33) Adapun di Indoensia, berdasarkan penelitian kualitatif Lusi Andriani
tahun 2014 di Padang menyatakan pernikahan dini bukanlah faktor utama terjadinya perceraian
karena dari beberapa orang yang menikah dini rentang waktu November 2013 - Januari 2014
tidak semuanya berakhir pada perceraian,namun ada 2 pasangan yang menikah dini dan
bercerai dalam masa pernikahan yang relatif singkat yaitu tidak mencapai 5 tahun. Alasan
melakukan pernikahan adalah karena mereka berpersepsi bahwa pernikahan itu mudah dan
pernikahan tersebut dilakukan saat orangtua memiliki masalah ekonomi dengan harapan agar
dapat mengurangi beban keluarga.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Shelby Scott di Oklahoma,
Amerika Serikat pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa pernikahan dini merupakan faktor
utama terjadinya perceraian yaitu 45,1% atau setidaknya satu pasangan dari 61,1% pasangan
melakukan perceraian. Ameneh Barikani pada peneitiannya di Iran tahun 2012 juga
menyatakan hal yang serupa, bahwa pernikahan dini merupakan faktor yang dapat
menyebabkan perceraian (64,1%) dengan p value=0,001. Beberapa responden melaporkan
bahwa mereka hanya mengenal pasangan mereka hanya dalam waktu yang singkat hingga
akhirnya menikah dan mereka terlalu muda untuk membuat keputusan pernikahan. (66) (67)

2. Hubungan Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Perceraian pada Wanita PUS


di Kecamatan Bandungan tahun 2017.
Ekonomi keluarga yaitu jumlah pendapatan suami dan istri. Karena saat ini, tidak hanya
pria yang bertugas mencari nafkah beda halnya dengan teori Zakaria pada tahun 2012 yang
mengatakan suami wajib memenuhi nafkah istri dan anak-anaknya meliputi sandang, pangan,
papan dan lain-lain yang lazim bagi keluarganya. Kemudian Adil Fatah pada tahun 2005
mengatakan bahwa suami harus menyadari istri sebagai amanah dan merupakan suatu
keharusan baginya untuk memberi nafkah sejauh kemampuannya.
Hasil uji bivariat analitik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan bermakna antara ekonomi keluarga dengan kejadian perceraian pada wanita PUS di
Kecamatan Bandungan tahun 2017 dengan p-value =0,572 (>0,05). Hal ini dikarenakan wanita
PUS yang bercerai lebih banyak yang memiliki ekonomi keluarga ≥UMR (21,1%) , sedangkan
pada kelompok wanita PUS yang tidak bercerai lebih banyak yang memiliki ekonomi keluarga
<UMR (86,3%). Sehingga ekonomi keluarga tidak berhubungan dalam penelitian ini.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Eti Rohayati di Ciamis yang mengatakan ada
hubungan yang bermakna antara ekonomi dengan perceraian yaitu 36,7% dari peserta atau
setidaknya satu pasangan dari 55,6% pasangan mendukung masalah keuangan sebagai
kontributor perceraian dengan pvalue=0,00095 dan C=0,29. Tetapi sebagian lagi mengatakan
bahwa kesulitan ekonomi bukanlah alasan paling tepat untuk perceraian, melainkan hanya
meningkatkan stres dan ketegangan dalam hubungan. Terdapat masalah-masalah lain terkait
dengan kejadian perceraian.Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Safizadeh di Iran pada
tahun 2016 yang menyatakan bahwa 57% setuju jika ekonomi merupakan penyebab percerain
tertinggi dengan p value 0,001. Karena tekanan ekonomi dapat menimbulkan adanya konflik
di keluarga yang memiliki pengaruh besar terhadap kejadian perceraian apabila tidak mampu
menghadapinya.
5 18813
899
3. Hubungan Media Sosial dengan Kejadian Perceraian pada Wanita PUS di
Kecamatan Bandungan tahun 2017
Media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam proses
sosial. Media sosial mampu mengubah perilaku manusia, dimana relasi serba dilakukakan
melalui media baru (internet) yang dioperasikan melalui situs-situs jejaring sosial. Media sosial
mampu menjadi ancaman dalam suatu hubungan yang dapat menyebabkan terjadinya
perceraian karena rentan terhadap isu perselingkuhan, karena media sosial mampu mengurangi
kualitas komunikasi secara langsung antara suami dan istri. Secara empiris, penggunaan
facebook dapat meningkatkan kecemburuan pasangan sehingga menyebabkan hubungan
pasangan suami istri menjadi tidak harmonis. Penelitian di Nigeria menyatakan bahwa
penggunaan Facebook, memposting informasi yang ambigu dapat merusak hubungan yang
romantis yaitu media sosial telah dikaitkan dengan 66% perceraian. (70)
Penelitian tentang hubungan media sosial dengan kejadian perceraian pada wanita PUS
di Kecamatan Bandungan tahun 2017 tidak terdapat hubungan yang bermakna (p-
value=0,098). Hal ini dikarenakan wanita PUS yang bercerai lebih banyak yang tidak
menggunakan media sosial (28,2%), sedangkan wanita PUS yang tidak bercerai lebih banyak
yang menggunakan media sosial (87,5%) sehingga media sosial tidak berhubungan dengan
kejadian perceraian pada penelitian ini
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa wanita PUS yang aktif menggunakan media
sosial namun masih di batas waktu yang wajar yaitu tidak lebih dari 3 jam/hari, selain itu wanita
PUS tidak menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan lawan jenis sehingga tidak
menimbulkan kecemburuan oleh suami.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Sebastian pada tahun 2014 di Amerika Serikat
yang menyatakan ada hubungan antara media sosial dengan kejadian perceraian dengan p-
value =0,048. Dari 5000 orang yang bercerai terdapat 989 pasang yang bercerai karena media
sosial dan peningkatan jumlah kasus perceraian yang bukti nya berasal dari media sosial. Selain
itu lama penggunaan media sosial juga memiliki hubungan yang positif dengan kualitas
pernikahan, semakin sering orang menggunakan media sosial maka semakin cenderung
mengalami masalah dalam hubungan rumah tangga karena menggunakan media sosial
melebihi kebutuhan dapat menyebabkan kecanduan dan munculnya persoalan etika yang
membuat hubungan pasangan suami istri menjadi tidak harmonis. (71)
Penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian Saleh di Nigeria pada tahun 2015
yang menyatakan bahwa dari 119 responden 100% setuju jika media sosial dapat menyebabkan
terjadinya perceraian. Namun, media sosial tidak dapat dikatakan secara mutlak penyebab
perceraian, karena ada beberapa pasangan yang pada dasarnya sudah memiliki hubungn yang
tidak harmonis disebabkan oleh faktor lain.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Responden lebih banyak yang
menikah dini (≤20 Tahun) yaitu sebesar 54%, memiliki ekonomi keluarga >UMR (69,5%) ,
tidak menggunakan media sosial (69,5%) dan tidak bercerai (76.7%). Persentase wanita PUS
yang bercerai lebih banyak terjadi pada wanita yang menikah ≤20 Tahun tahun (25,9%),
memiliki ekonomi keluarga cukup atau ≥UMR (21,1%), dan tidak menggunakan media sosial
(28,2%). Tidak ada hubungan pernikahan dini dengan kejadian perceraian pada wanita PUS di
Kecamatan Bandungan tahun 2017 (p-value=0,084) dengan CI=0,977-10,725 Tidak ada
hubungan ekonomi keluarga dengan kejadian perceraian pada wanita PUS di kecamatan
Bandungan tahun 2017 (p-value=0,572) dengan CI=0,177-1,991. Tidak ada hubungan media

5 18813
900
sosial dengan kejadian perceraian pada wanita PUS di kecamatan Bandungan tahun 2017(p-
value=0,098) dengan CI=0,957-7,900.

BIBLIOGRAFI
Erwinsyahbana T. Sistem Hukum Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila.
Ilmu Huk. 2012;3(1):1–29.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 1974;1–15.
Buku Pegangan Kader BKR Tentang 8 Fungsi Keluarga [Internet]. BKKBN; 2013. Available
from:
http://bkk.bantulkab.go.id/filestorage/berkas/2015/07/buku_8_fungsi_keluarga.pdf
Vanesia V. Faktor Tingginya Angka Cerai Gugat di Pontianak. 2016;29–77.
Rosidah K& I. Ketika Perempuan Bersikap : Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim.
Kementerian Agama RI; 2016.
Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk 2012-2015. Badan Pusat Statistik.
Kementerian Agama Kabupaten Semarang. 2017;
Mulyani S. Gugat Cerai dikalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) (Studi Kasus Guru-guru
Sekolah Dasar di Pekanbaru). 2006.
Nurlaili CW. Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah Syar ’ iyah
Meulaboh. 2017;1(1):129–49.
Balestrino A, Ciardi C, Mammini C. On the Causes and Consequences of Divorce. J Socio
Econ. 2013;45:1–9.
Matondang A. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan.
2014;2(2):141–50.
Sari L. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat cerai gugat di Kota Pekanbaru.
2014;1(2):1–21.
BKKBN : Usia Pernikahan Ideal.
Audina A. Hubungan Persepsi Penerapan Fungsi Keluarga dengan Pernikahan Dini pada
Wanita Usia Subur di Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Tahun 2016.
2017;
Rumble L. The cost of inaction: Child marriage in Indonesia. In Kuala Lumpur: Bappenas;
2015.
Child Marriage Poverty Makes Girls More Vulnerable to Child Marriage.
2016;(October):2016.
Kementerian Agama Kabupaten Semarang Tahun 2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta: Intermasa, 1985). :27–123.
Konoras A, Hukum F, Sam U. Telaah Tingginya Perceraian di Sulawesi Utara (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Agama ). 2014;1:54–64.
Murniati. Studi Tentang Penanganan Perkara Cerai Gugat Pada Pengadilan Agama
Kabupaten Bantaeng. 2014;(d):45–54.
Barikani A, Ebrahim SM, Navid M. The Cause of Divorce among Men and Women Referred
to Marriage and Legal Office in Qazvin , Iran. 2012;4(5):184–91.
Marinescu I. Divorce : What does learning have to do with it ? ☆. Labour Econ [Internet].
2016;38:90–105. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.labeco.2016.01.002
Fajri K. Selingkuh Sebagai Salah Satu Penyebab Perceraian. J Stud Huk Islam.
2017;6(3958).

901
8 1 1883

Anda mungkin juga menyukai