Anda di halaman 1dari 13

Fenomena perceraian pernikahan dini

Bab I
A. Latar Belakang
Kasus perceraian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia
2022, pada tahun 2021 terjadi sebanyak 447.743 kasus perceraian di Indonesia. Angka
tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara.
Dalam undang-undang perkawinan terdapat beberapa pasal diantaranya pada pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 menyatakan bahwa Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diketahui, UU No.1
Pasal 7 Tahun 1974 tentang perkawinan mengalami perubahan salah satunya adalah mengenai
batas minimal usia perkawinan untuk laki-laki minimal 19 tahun. Perubahan tersebut
diharapkan mampu menekankan angka pernikahan dini.
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan
berusia dibawah 18 tahun atau masih berusia remaja. Penyebab terjadinya pernikahan dini
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan
mereka yang mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti hakekat dan
tujuan pernikahan. Pernikahan dini merupakan fenomena yang sejak lama marak terjadi di
Indonesia. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2021, ada 59.709 kasus pernikahan
dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa
interaksi berbagai faktor menyebabkan anak beresiko menghadapi pernikahan usia dini.
Diketahui secara luas bahwa perinkahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya sehingga
sulit untuk mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial
setelah menikah menyebabkan banyak orang tua mendorong anaknya untuk menikah di usia
muda.
Fenomena ini memberikan banyak dampak negatif karena pernikahan di usia dini sangat rawan
dengan berbagai problem-problem yang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
Hal ini seiring dengan kurangnya kesiapan fisik, materi, maupun mental pasangan suami-istri
tersebut. Kesiapan masing-masing calon mempelai sangat penting dalam membangun sebuah
rumah tangga, karena perkawinan bukan sekedar untuk menghalalkan hubungan seksual
antara seorang laki-laki dan perempuan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perbuatan
hukum yang menimbulkan akibat hukum keperdataan berupa hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak. Perkawinan pada umur yang terlalu muda akan banyak mengundang masalah yang
tidak diharapkan karena segi psikologisnya belum matang. Kematangan emosi merupakan
aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah
tangga sangat banyak ditentukan oleh kematangan emosi baik dari sisi istri atau suami. Dengan
pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai pasangan suami
istri dan sah secara hukum. Batas usia dalam melangsungkan pernikahan sangat penting, hal ini
karena pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan yang terlalu muda
dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu, Penelitian jannah (2012)
menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan perempuan pada usia dini berpotensi pada
kerusakan alat reproduksi yang disebabkan oleh hubungan seks dan melahirkan yang terlalu
dini. Kehamilan yang terjadi dibawah umur 17 tahun meningkatkan resiko komplikasi medis.
Anatomi tubuh perempuan yang belum siap untuk proses mengandung atau melahirkan,
berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstructed labour dan obstetric fistula (Fadlyana
dkk, 2009). Penelitian Landung dkk (2009) menambahkan bahwa pernikahan dini juga
memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja dalam bernegosiasi dan
mengambil keputusan dalam hidup. Hal tersebut mendorong ketidakmampuan gadis remaja
dalam menyampaikan pendapat dan mengambil sikap ketika menghadapi permasalahan hidup,
sehingga terjadi dominasi pasangan (suami) yang lebih dewasa yang berujung pada banyaknya
terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini akan menjalar pada
masalah sosial lainnya, misalnya kehamilan yang tidak diinginkan atau ketidaksiapan pasangan
suami-istri untuk membentuk keluarga baru yang berakhir dengan perceraian, resiko penyakit
menular seks, bahkan tindak kriminal aborsi dan perilaku a-sosial lainnya.
Perceraian sangat berdampak buruk bagi psikologis seseorang yang melakukan pernikahan usia
dini karena persiapan mental seseorang yang melakukan pernikahan muda berbeda dengan
pernikahan yang dilakukan pada usia matang. Seseorang yang melakukan pernikakan dini
biasanya belum bisa menerima apa yang telah terjadi pada dirinya, karena belum memiliki
kedewasaan dan berdampak buruk secara psikologis.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor 2021, ada 26,55% wanita di
Indonesia yang melakukan perkawinan pertama kalinya pada usia 16-18 tahun dan ada 8,19%
perempuan yang menikah pertama kalinya di usia yang cukup dini yaitu 7-15 tahun. Terdapat
sekitar 3 ribu penduduk perempuan di DKI Jakarta dengan status kawin di usia dibawah 16
tahun dan terdapat 450 jiwa penduduk perempuan yang berstatus cerai hidup dengan usia
dibawah 16 tahun dan tidak ada satupun yang berstatus cerai mati. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat ada 15.157 kasus perceraian di DKI Jakarta pada 2021. Penyebab terbesar perceraian
di ibu kota adalah perselisihan dan pertengkaran. Perceraian akibat perselisihan dan
pertengkaran mencapai 10.340 kasus (68,17%) dari total perceraian di ibu kota tahun 2021.
Penyebab terbesar berikutnya adalah karena faktor ekonomi yaitu sebanyak 2.383 kasus
(15,71%) dan selebiihnya karena ditinggal sebelah pihak, kekerasan dan hukum penjara.
Mengingat pentingnya mengetahui faktor dan penyebab perceraian pernikahan usia dini dan
dampaknya pada umumnya, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian secara ilmiah
tentang Fenomena Pernikahan Dini
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab terjadinya perceraian pernikahan dini di Jakarta?
2. Bagaimana dampak perceraian usia dini?
3. Bagaimana cara mengatasi fenomena perceraian pada pernikahan dini?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini di Jakarta
2. Untuk mengetahui dampak yang timbul akibat perceraian dan cara mengatasi dampaknya
bagi seseorang yang menikah di usia dini

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambahkan dan mengembangkan kemampuan dan dapat
memberikan wawasan dan pengetahuan tentang perceraian, faktor yang mempengaruhi
perceraian dan dampak dari pernikahan dini
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak lain yang
berkepentingan, misalnya:
a. Orang tua agar lebih memahami bahwa menikahkan anak dibawah umur memiliki
banyak dampak negatif
b. Pasangan yang akan melangsungkan pernikahan di usia muda lebih banyak dampak
negatif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitan yang relevan
Sebagai bahan perbandingan dan pengkajian dalam penelitian, penulis mengemukakan kajian
yang relevan dalam bentuk penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian lain yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun kajian penelitian sebelumnya yang
memiliki relevansi dengan penelitian yang ingin diteliti oleh penulis, yaitu:
Untuk mendukung permasalahan terhadap bahasan, penulis berusaha melacak berbagai
penelitian terdahulu yang masih relevan terhadap masalah yang menjadi objek penelitian saat
ini. Selain itu, yang menjadi syarat mutlak bahwa dalam penelitian ilmiah menolak adanya
plagiarisme atau mencontek secara utuh hasil karya tulis orang lain. Oleh karena itu, untuk
memenuhi kode etik dalam penelitian maka diperlukan eksplorasi terhadap penelitian
terdahulu yang relevan yang bertujuan untuk menegaskan penelitian, posisi penelitian dan
sebagai teori pendukung guna menyusun konsep berpikir dalam penelitian.
Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap penelitian-penelitian terdahulu, penulis menemukan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Meskipun terdapat beberapa
keterkaitan pembahasan, penelitian ini masih sangat berbeda dari penelitian terdahulu. Ada
beberapa penelitian terdahulu tersebut, yaitu:
1. “Pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat perceraian di Kabupaten Maros” (Munawwar
Khalil/ Universitas Muhammadiyah Makassar)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat
perceraian di Kabupaten Maros. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tindakan khusus
yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena tentang pernikahan
dini dan juga untuk mengetahui faktor apa yang menghambat terjadinya pernikahan dini
terhadap perceraian di Kabupaten Maros. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ada
pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat perceraian di Kabupaten Maros.
2. “Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Perceraian di Indonesia” (Fachria Octaviani,
Universitar Padjajaran)
Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kualitatif dan deskriptif mengenai dampak
pernikahan usia dini terhadap perceraian di Indonesia. Dalam penelitian ini, disebutkan
bahwa fenomena pernikahan dini dapat terjadi karena kesederhanaan pola pikir masyarakat
sehingga masalah ini akan terjadi secara terus-menerus. Selain itu, faktor lain seperti
pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya sangat mempengaruhi pernikahan dini.
3. “Perkawinan Bawah Umur dan Potensi Perceraian” (Ani Yumarni, Endeh
Suhartini/Universitas Djuanda Bogor)
Penelitian ini mengkaji beberapa hal, antara lain: pertama, kewenangan PPN pada KUA
kecamatan di Wilayan Bogor dalam menciptakan tertib administrasi pencatatan perkawinan
dibawah umur. Kedua, mengkaji relevansi antara perkawinan bawah umur dengan tingginya
angka perceraian di Wilayah Kota Bogor. Pada penelitian ini, disebutkan bahwa tingginya
angka pernikahan dibawah umur ternyata sangat mempengaruhi angka perceraian pada
pasangan usia muda. Sistem perkawinan di Indonesia yang masih permisif untuk
perkawinan dibawah umur menjadi celah terjadinya tingkat perkawinan bawah umur yang
tinggi. Pasangan suami istri usia muda belum memiliki emosi yang stabil sehingga tidak
jarang mendorong terjadinya pertengkaran bahkan kekerasan dalam rumah tangga dalam
menghadapi persoalan kecil. Pernikahan membutuhkan independensi dari individu-individu
yang menjalaninya, karena penuh dengan tanggung-jawab, pembuatan keputusan dan
komitmen yang serius. Namun, pasangan muda yang menikah dibawah umur tidak mampu
mengatasi hal-hal tersebut.

B. Pembahasan Teori

1. Definisi pernikahan
Pernikahan merupakan suatu proses awal terbentuknya kehidupan keluarga dan awal
perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata “nikah” diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersami istri
dengan resmi. Pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, walaupun
kebutuhan biologis adalah faktor yang sangat penting untuk penunjang atau pendorong
dalam rangka merealisir kehidupan bersama baik untuk mendapatkan kebutuhan biologis.
Pernikahan harus sebagai suatu ikatan lahir dan batin untuk mewujudkan suatu keluarga
atau rumah tangga yang bahagia, rukun dan kekal. Menurut Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 1 tujuan pernikahan adalah “untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Untuk itu suami istri perlu
adanya saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Menurut Goldberg
dalam Yuwana & Maramis, 2003, Perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat
populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji.
Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan
bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
interpersonal. Menurut Kartono, pengertian perkawinan merupakan suatu institusi sosial
yang diakui setiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan berbeda-
beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan di hampir semua kebudayaan cenderung sama.
Perkawinan menunjukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri
dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi dan sejumlah hadirin untuk
kemudian di sahkan secara resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.
Menurut Saxton, perkawinan mengatakan bahwa memiliki dua makna, yaitu:
a. Sebagai suatu institusi sosial
Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan
fungsi pokok untuk kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarkat
b. Makna individual
Perkawinan sebagai bentuk legitimisasi atau pengesahan terhadap peran sebagai individual,
tetapi yang terutama, perkawinan di pandang sebagai sumber kepuasan personal.
Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan diatas, dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri
yang memiliki kekuatan hukum dan di akui secara sosial dan agama dengan tujuan
membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian budaya dan
pemenuhan kebutuhan interpersonal.

2. Batas Usia Menikah


Batas usia menikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Kematangan seseorang dalam melaksanakan perkawinan menjadi sangat penting untuk
menjamin keharmonisan dalam membangun rumah tangga,. Batasan umur bagi pasangan
yang ingin menikah sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka ketika
sudah menikah. Jika seorang anak dianggap belum cukup umur untuk melakukan
pernikahan maka orang tua memiliki kewajiban untuk menunda sampai anak mereka sudah
menginjak usia dewasa dan dianggap matang dalam membangun rumah tangga. Pasal 7
ayat (1) UU nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umur untuk melangsungkan
perkawinan seorang laki-laki dan wanita yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Hal ini
dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohani untuk
melangsungkan perkawinan agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, Undang-undang melarang
pernikahan dibawah umur. Penentuan ini juga dipertegas lagi dalam pengaturan Kompilasi
Hukum Islam, yang tertera dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwal
a. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 undang-
undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
19 tahun.
b. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang No 1 Tahun
197

3. Pernikahan Usia Dini


Perkawinan usia muda terdiri dari dua kata yaitu perkawinan dan usia muda. Usia muda
menunjukan usia usia belia yang biasa digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang
dilakukan sebelum batas usia minimal. Menurut Kusmiran (2011) Pernikahan dini adalah
pernikahan yang dilakukan remaja dibawah usia 20 tahun yang belum siap untuk
melaksanakan pernikahan. Ghifari dalam Desiyanti (2015) berpendapat bahwa pernikahan
muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dengan demikian pernikahan
dengan usia muda berarti pernikahan yang dilaksanakan di bawah umur sembilan belas
tahun. Menurut Puspitasari Jamali. perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga, melanjutkan
keturunan menurut ketentuan hukum syariat Islam. Sedangkan menurut Dlori
mengemukakan bahwa : “Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan dibawah umur
yang target persiapannya belum dikatakan maksimal,persiapan fisik, persiapan mental, juga
persiapan materi.” Karena demikian inilah maka pernikahan dini bisa dikatakan sebagai
pernikahan yang terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang.
Pengertian lainnya, berdasarkan kampanye
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mengkampanyekan bahwa bila
menikah di bawah usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki disebut
sebagai pernikahan dini. Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan belas
tahun, maka siapapun yang menikah di bawah batas usiatersebut dapat dikatakan termasuk
dalam pernikahan dini.

4. Hal-hal yang mendorong terjadinya pernikahan usia dini


Terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh beberapa hal salah satunya adalah faktor
ekonomi. Faktor ekonomi membuat seseorang tidak mampu melanjutkan pendidikan dan
juga karena jumlah keluarga yang relatif besar. Dalam situasi ini, nikah muda menjadi salah
satu cara untuk meringankan atau melepaskan beban ekonomi mereka. Menikahkan anak
secepat mungkin dianggap meringankan beban ekonomi keluarga dan juga akan membawa
pemasukan financial bagi keluarga. Kontribusi finansial yang dimaksud adalah penambahan
penghasilan keluarga dari menantu.
Adapun faktor sosial budaya yang juga memiliki peran yang cukup besar untuk mendorong
terjadinya pernikahan dini. Faktor ini merupakan faktor pendorong tunggal yang tidak
terkait dengan faktor ekonomi yang mana menerapkan perbedaan perlakuan yang cukup
signifikan antara anak laki-laki dan peremuan dan ada juga karena gabungan antara nilai-
nilai sosial dan kesulitan ekonomi.
Menurut Hollean dan Suryono, sebab-sebab utama dari pernikahan dini adalah:
1. Masalah ekonomi keluarga
2. Orang tua gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau menikahi
anak gadisnya.
3. Dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut maka dalam keluarga akan berkurang
satu anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab
Selain menurut para ahli, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini
yang sering ditemukan di lingkungan masyarakat antara lain:
a. Ekonomi
Pernikahan dini biasanya terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan. Untuk mengurangin beban orang tuanya, anak wanitanya di nikahkan
dengan orang yang dianggap mampu. Presfektif ekonomi keluarga dalam jurnal
kesehatan reproduksi: Profil Sosial Ekonomi, Paritas, Status dan Perilaku Kesehatan Pada
Wanita Yang Menikah di Indonesia, Setyawati I Vol. 4 No 2 (2013), yaitu: Wanita yang
menikah dini memiliki proporsi yang lebih besar dalam hal status pendidikan rendah,
perekonomian keluarga rendah dan berprofesi sebagai petani, nelayan atau buruh.
Pasangan yang menikah karena adanya faktor kehidupan orang tua dengan ekonomi
yang sulit terpaksa menikahkan anak gadisnya dengan keluarga yang lebih mapan
perekonomiannya.
b. Pendikan
Rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan orang tua dan masyarakat
menyebabkan adanya kemungkinan menikahkan anaknya yang masih dibawah umur.
Rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan usia dini
karena hal ini mendorong terjadiya pergaulan bebas karena individu memiliki banyak
waktu luang dimana pada saat bersamaan mereka seharusnya berada di lingkungan
sekolah. Banyaknya waktu luang yang digunakan pada umumnya yaitu untuk bergaul
yang mengarah pada bergaulan bebas diluar kontrol mengakibatkan banyak terjadinya
kasus kehamilan pra nikah sehingga terpaksa untuk dinikahkan walaupun usianya masih
muda.
c. Hamil diluar nikah
Fenomena hamil diluar nikah saat ini sangat banyak ditemui di masyarakat umum.
Menurut data BKKBK Tahun 2020 menyatakan bahwa presentase umur kehamilan
dibawah usia 20 tahun yaitu 29,32%. Disebutkan bahwa dari jumlah penduduk remaja
(usia 14 – 19 tahun) terdapat 19,6% kasus kehamilan yang tidak diinginkan.

5. Dampak Pernikahan Usia Dini


Menikah memiliki dampak positif tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa menikah juga
memiliki dampak yang negatif. Pernikahan dini memiliki dampak yang negatif baik dampak
fisik dan dampak psikologis. Antara lain:
1. Aspek Ekonomi
Menurut Bimo Walgito (2017) Kematangan sosial ekonomi seseorang juga berkaitan erat
dengan usia seseorang. Semakin matang umur seseorang maka akan semakin tinggi pula
dorongan untuk mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Pada umumnya umur yang
masih muda belum memiliki kemampuan yang cukup dalam hal sosial ekonomi. Sedangkan
dalam pernikahan, seorang individu dituntut untuk menghidupkan keluarga.
2. Aspek Psikologis
Pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia terlalu muda secara psikologis
belum menunjukkan kematangan secara mental karena jiwanya masih labil yang
dipengaruhi oleh
keinginannya untuk bergaul secara bebas seperti teman-teman yang lainnya. individu
dengan usia muda belum memiliki kesiapan untuk mengurus keluarga. Seseorang yang
menikah diusia dini dikhawatirkan belum mampu dalam mengontrol emosi dan pikirannya.
Sehingga ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, mereka akan merasa tertekan dan
mudah mengalami depresi karena belum mampu menerima keadaan pasangannya (Bimo
Walgito, 2017). Sehingga tidak dapat dipungkiri mereka akan bertindak sebelum berpikir
dengan baik. Hal ini terjadi karena emosinya belum matang. Kestabilan emosi umumnya
terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itu seseorang mulai memasuki masa dewasa.
Masa remaja baru akan berakhir pada usia 19 tahun. Untuk itu penting sekali
mempersiapkan mental dalam menghadapi kehidupan baru. Pernikahan dapat berakibat
pada munculnya hak dan kewajiban sebagai suami isteri sehingga membutuhkan kesiapan
mental untuk saling menghormati dan menghargai hak pasangannya, saling bekerja sama
dalam memenuhi kebutuhan seksual masing-masing dan menjalankan tugas-tugas di dalam
maupun di luar rumah. (Nur Rofiah, dkk, 2012)
3. Aspek Pendidikan
Pendidikan merupakan pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan
tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Salah satu faktor yang berhubungan dengan komplikasi persalinan adalah ibu yang
tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya menjaga kehamilan, artinya resiko untuk
mengalami komplikasi persalinan pada ibu yang berpendidikan rendah lebih besar dari
ibu yang berpendidikan lebih tinggi (Namora Lumongga Lubis, Psikologi Kespro, 2016)
4. Kesehatan Reproduksi
Dilihat dari segi kesehatan usia 20-25 tahun bagi perempuan adalah usia yang ideal untuk
menikah. Karena kesehatan reproduksi dalam keadaan yang subur dan cukup
matang. Dan dianjurkan bagi pasangan yang akan untuk menjaga kesehatan jasmani dan
rohani. Kesehatan fisik merupakan terbebasnya seseorang dari penyakit (menular) dan
juga bebas dari penyakit keturunan. Jika pernikahan dilakukan dibawah usia 21 tersebut
maka
dikhawatirkan akan membahayakan kesehatan fisik dan reproduksi sang ibu. Karena pada
usia yang masih muda akan beresiko pada bahaya penyakit menular dan akan
mengakibatkan kematian pada sang ibu. Menurut Hendrawan, seorang wanita dianggap
siap untuk
menikah apabila organ reproduksinya sudah matang menurut biologis. Usia kematangan
organ reproduksi wanita dianggap matang ketika telah mencapai 24 tahun. Dari sisi medis
organ reproduksi yang belum cukup matang akan berpotensi menimbulkan masalah
nantinya

6. Perceraian
Perceraian menurut KBBI adalah perihal bercerai antara suami dan istri. Kata bercerai
sendiri artinya yaitu menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami-istri.
Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan berdasarkan alasan-alasan
yang disebutkan dalam Undang-undang. Beberapa ahli memberikan rumusan dan definisi
dari perceraian, antara lain:
a. Menurut Subekti, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim
atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.
b. Menurut R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, perceraian berlainan dengan
pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya
tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun istri untuk
pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasarkan oerselisihan antara suami dan
istri.
c. Menurut P.N.H Simajuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena
suatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua
belah pihak dalam perkawinan.

7. Faktor-faktor dan alasan penyebab terjadinya perceraian


Menurut Levinger (1996 Ihromi, 2004: 153) menyusun 12 kategori yang menjadi alasan
terjadinya perceraian, yaitu:
1. Karena pasangannya sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak,
seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak
adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan.
2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi
keluarga dan kebutuhan rumah tangga)
3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan. Pasangannya sering berteriak dan
mengeluarkan kata kata kasar serta menyakitkan.
4. Tidak setia, seperti punya kekasih lain, dan sering berzinah dengan orang lain.
5. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya seperti adanya
keengganan atau sering menolak melakukan senggama, dan tidak bisa memberikan
kepuasan.
6. Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat
pasangan
7. Seringnya muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya.
8. Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan
kebersamaan di antara pasangan.
9. Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannyasering menjadi
tidak sabar, tidak ada toleransi, dan dirasakan terlalu menguasai.
Menurut Setiyanto (2005:197) menyebutkan ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan perceraian, yaitu
1. Sudah tidak ada kecocokan
2. Adanya faktor orang ketiga
3. Sudah tidak adanya komunikasi
C. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan konsep yang digunakan dalam penulisan ini untuk memberikan
batasan masalah terhadap kajian teori. Bagan berikut menjelaskan bahwa skema kerangka
berfikir dalam penelitian ini:
1. Perceraian
Perceraian merupakan pemutusan hubungan pernikahan antara suami dan istri dengan
alasan-alasan yang terdapat pada Undang-undang. Perceraian berarti putusnya hukum
perkawinan sehingga keduanya sudah tidak lagi berkedudukan sebagai pasangan suami-
istri dan sudah tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam rumah tangga.
2. Pernikahan dini
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang masih dibawah
umur atau usia remaja dimana keduanya masih dibawah batas minimal yang ditentukan
dalam Undang-undang ataupun batas ideal sehingga kedua pasangan tersebut belum
siap secara lahir dan batin dan juga belum memiliki kesiapan mental yang matang dan
pada umumnya belum siap dalam hal materi.
Adapun fokus kegiatan dalam penelitian ini berdasarkan indikator-indikator fenomena
perceraian pada pernikahan dini di Jakarat sebagai berikut:
3. Faktor penyebab pernikahan dini
a. Faktor ekonomi
Tingginya pernikahan dini salah satunya disebabkan oleh faktor ekonomi, untuk
mengurangi beban orang tuanya, anak wanita pada umumnya dinikahkan dengan
orang yang dianggap mampu memperbaiki keadaan ekonomi anak dan keluarga
b. Pergaulan bebas / hamil diluar nikah
Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia dengan jumlah seks bebas tertinggi,
hal ini pastinya dikarenakan oleh banyak faktor dari lingkungan, rasa ingin tahu yang
tinggi hingga minimnya pengawasan dari orang tua. Yang mana hal ini dapat
mengakibatkan hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah sering dianggap sebagai aib
dalam keluarga, maka dari itu wanita yang hamil harus segera dinikahi untuk
menghapus aib tersebut.
4. Dampak pernikahan dini
a. Ekonomi rumah tangga
Pasangan yang melakukan pernikahan dini pada umumnya belum mampu dibebani
suatu pekerjaan yang memerlukan kemampuan dan keterampilan fisik untuk
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan keluarganya
b. Depresi dan kecemasan
Masalah yang terjadi dalam rumah tangga dapat memberikan gangguan metal pada
individu yang melakukan pernikahan dini karena pada umumnya mental seseorang
yang melakukan pernikahan dini belum memiliki kedewasaan secara psikologis dan
cenderung belum mampu mengelola emosi dengan baik. Kecemasan dalam
menghadapi masalah yang timbul dapat membuat pasangan remaja mudah
mengalami gangguan mental yang mengakibatkan depresi jika tidak ditangani
dengan baik.
c. Perceraian
Dampak yang dapat ditimbulkan dari pernikahan dini salah satunya adalah
perceraian. Saat ini perceraian bukanlah hal yang menakutkan bagi sebagian
pasangan suami-istri bahkan menjadi fenomena dan membudaya di kalangan
masyarakat tanpa melihat dampak yang ditimbulkan.

5. Dampak perceraian usia dini


Perceraian dapat menimbulkan dampak buruk bagi setiap pasangan, apalagi pasangan
yang menikah pada usia muda. Dampak psikologis yang dapat terjadi pada perceraian
pernikahan dini salah satunya adalah trauma. Kekacauan yang terjadi karena perceraian
dapat menyebabkan luka emosional yang dalam dan butuh waktu bertahun-tahun
untuk penyembuhan. Selanjutnya yaitu depresi. Depresi dapat terjadi akibat perceraian
karena ketidakmampuan mental seseorang menghadapi tekanan yang terjadi karena
perceraian. Lalu sulit menyesuaikan diri. Perceraian adalah suatu perubahan kebiasaan
dan perubahan sosial bagi seseorang yang mengalaminya. Hal ini tentunya akan sangat
berat khususnya bagi seorang perempuan. Perempuan yang bercerai terlebih lagi sudah
memiliki anak, pada umumnya merasa dikucilkan dalam lingkungan masyarakat.
Dampak lainnya yaitu pada anak. Perceraian dapat mengakibatkan anak kurang
mendapat kasih sayang dari orang tuanya karena ketika anak tinggal bersama
ibu/bapak, maka ibu/bapaknya akan fokus untuk bekerja untuk dapat memenuhi
kebutuhan anak.

Faktor-faktor terjadinya pernikahan dini:

Faktor Sosial

1. Keadaan ekonomi keluarga


2. Pergaulan bebas / hamil diluar nikah

Pernikahan Dini

Dampak negatif pernikahan dini

Dampak perceraian pada


pernikahan dini: Perceraian Ekonomi Psikologis

1. Trauma, depresi
2. Sulitnya penyesuaian diri Pasangan Orang Anak
3. Dampak pada anak suami istri tua
BAB 3
Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif eksploratif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah ataupun rekayasa
manusia yang bertujuan untuk menjawab mengapa dan bagaimana suatu fenomena bisa terjadi
karena penelitian ini pada akhirnya akan mengkaji dan ingin mengetahui tentang faktor
penyebab dan dampak yang dialami oleh seorang wanita yang diakibatkan oleh perceraian
dalam pernikahan dini.

B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat sumber data yang dianggap sebagai suatu populasi sehingga
bisa diambil sampelnya sebagai subjek yang akan di teliti. Dalam penelitian ini, penelitian
dilakukan di Kota DKI Jakarta. Dengan terpilihnya lokasi ini, secara pengamatan awal peneliti
sudah mengenal dan mengetahui lokasi yang akan diteliti, dengan situasi geografisnya, serta
kondisi secara fisik disisi lain lokasi penelitian ini adalah lokasi yang mudah dijangkau
C.

Anda mungkin juga menyukai