Bab I
A. Latar Belakang
Kasus perceraian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia
2022, pada tahun 2021 terjadi sebanyak 447.743 kasus perceraian di Indonesia. Angka
tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara.
Dalam undang-undang perkawinan terdapat beberapa pasal diantaranya pada pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 menyatakan bahwa Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diketahui, UU No.1
Pasal 7 Tahun 1974 tentang perkawinan mengalami perubahan salah satunya adalah mengenai
batas minimal usia perkawinan untuk laki-laki minimal 19 tahun. Perubahan tersebut
diharapkan mampu menekankan angka pernikahan dini.
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan
berusia dibawah 18 tahun atau masih berusia remaja. Penyebab terjadinya pernikahan dini
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan
mereka yang mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti hakekat dan
tujuan pernikahan. Pernikahan dini merupakan fenomena yang sejak lama marak terjadi di
Indonesia. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2021, ada 59.709 kasus pernikahan
dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa
interaksi berbagai faktor menyebabkan anak beresiko menghadapi pernikahan usia dini.
Diketahui secara luas bahwa perinkahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya sehingga
sulit untuk mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial
setelah menikah menyebabkan banyak orang tua mendorong anaknya untuk menikah di usia
muda.
Fenomena ini memberikan banyak dampak negatif karena pernikahan di usia dini sangat rawan
dengan berbagai problem-problem yang dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
Hal ini seiring dengan kurangnya kesiapan fisik, materi, maupun mental pasangan suami-istri
tersebut. Kesiapan masing-masing calon mempelai sangat penting dalam membangun sebuah
rumah tangga, karena perkawinan bukan sekedar untuk menghalalkan hubungan seksual
antara seorang laki-laki dan perempuan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perbuatan
hukum yang menimbulkan akibat hukum keperdataan berupa hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak. Perkawinan pada umur yang terlalu muda akan banyak mengundang masalah yang
tidak diharapkan karena segi psikologisnya belum matang. Kematangan emosi merupakan
aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah
tangga sangat banyak ditentukan oleh kematangan emosi baik dari sisi istri atau suami. Dengan
pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai pasangan suami
istri dan sah secara hukum. Batas usia dalam melangsungkan pernikahan sangat penting, hal ini
karena pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan yang terlalu muda
dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu, Penelitian jannah (2012)
menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan perempuan pada usia dini berpotensi pada
kerusakan alat reproduksi yang disebabkan oleh hubungan seks dan melahirkan yang terlalu
dini. Kehamilan yang terjadi dibawah umur 17 tahun meningkatkan resiko komplikasi medis.
Anatomi tubuh perempuan yang belum siap untuk proses mengandung atau melahirkan,
berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstructed labour dan obstetric fistula (Fadlyana
dkk, 2009). Penelitian Landung dkk (2009) menambahkan bahwa pernikahan dini juga
memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja dalam bernegosiasi dan
mengambil keputusan dalam hidup. Hal tersebut mendorong ketidakmampuan gadis remaja
dalam menyampaikan pendapat dan mengambil sikap ketika menghadapi permasalahan hidup,
sehingga terjadi dominasi pasangan (suami) yang lebih dewasa yang berujung pada banyaknya
terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini akan menjalar pada
masalah sosial lainnya, misalnya kehamilan yang tidak diinginkan atau ketidaksiapan pasangan
suami-istri untuk membentuk keluarga baru yang berakhir dengan perceraian, resiko penyakit
menular seks, bahkan tindak kriminal aborsi dan perilaku a-sosial lainnya.
Perceraian sangat berdampak buruk bagi psikologis seseorang yang melakukan pernikahan usia
dini karena persiapan mental seseorang yang melakukan pernikahan muda berbeda dengan
pernikahan yang dilakukan pada usia matang. Seseorang yang melakukan pernikakan dini
biasanya belum bisa menerima apa yang telah terjadi pada dirinya, karena belum memiliki
kedewasaan dan berdampak buruk secara psikologis.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor 2021, ada 26,55% wanita di
Indonesia yang melakukan perkawinan pertama kalinya pada usia 16-18 tahun dan ada 8,19%
perempuan yang menikah pertama kalinya di usia yang cukup dini yaitu 7-15 tahun. Terdapat
sekitar 3 ribu penduduk perempuan di DKI Jakarta dengan status kawin di usia dibawah 16
tahun dan terdapat 450 jiwa penduduk perempuan yang berstatus cerai hidup dengan usia
dibawah 16 tahun dan tidak ada satupun yang berstatus cerai mati. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat ada 15.157 kasus perceraian di DKI Jakarta pada 2021. Penyebab terbesar perceraian
di ibu kota adalah perselisihan dan pertengkaran. Perceraian akibat perselisihan dan
pertengkaran mencapai 10.340 kasus (68,17%) dari total perceraian di ibu kota tahun 2021.
Penyebab terbesar berikutnya adalah karena faktor ekonomi yaitu sebanyak 2.383 kasus
(15,71%) dan selebiihnya karena ditinggal sebelah pihak, kekerasan dan hukum penjara.
Mengingat pentingnya mengetahui faktor dan penyebab perceraian pernikahan usia dini dan
dampaknya pada umumnya, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian secara ilmiah
tentang Fenomena Pernikahan Dini
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab terjadinya perceraian pernikahan dini di Jakarta?
2. Bagaimana dampak perceraian usia dini?
3. Bagaimana cara mengatasi fenomena perceraian pada pernikahan dini?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini di Jakarta
2. Untuk mengetahui dampak yang timbul akibat perceraian dan cara mengatasi dampaknya
bagi seseorang yang menikah di usia dini
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambahkan dan mengembangkan kemampuan dan dapat
memberikan wawasan dan pengetahuan tentang perceraian, faktor yang mempengaruhi
perceraian dan dampak dari pernikahan dini
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak lain yang
berkepentingan, misalnya:
a. Orang tua agar lebih memahami bahwa menikahkan anak dibawah umur memiliki
banyak dampak negatif
b. Pasangan yang akan melangsungkan pernikahan di usia muda lebih banyak dampak
negatif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitan yang relevan
Sebagai bahan perbandingan dan pengkajian dalam penelitian, penulis mengemukakan kajian
yang relevan dalam bentuk penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian lain yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun kajian penelitian sebelumnya yang
memiliki relevansi dengan penelitian yang ingin diteliti oleh penulis, yaitu:
Untuk mendukung permasalahan terhadap bahasan, penulis berusaha melacak berbagai
penelitian terdahulu yang masih relevan terhadap masalah yang menjadi objek penelitian saat
ini. Selain itu, yang menjadi syarat mutlak bahwa dalam penelitian ilmiah menolak adanya
plagiarisme atau mencontek secara utuh hasil karya tulis orang lain. Oleh karena itu, untuk
memenuhi kode etik dalam penelitian maka diperlukan eksplorasi terhadap penelitian
terdahulu yang relevan yang bertujuan untuk menegaskan penelitian, posisi penelitian dan
sebagai teori pendukung guna menyusun konsep berpikir dalam penelitian.
Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap penelitian-penelitian terdahulu, penulis menemukan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Meskipun terdapat beberapa
keterkaitan pembahasan, penelitian ini masih sangat berbeda dari penelitian terdahulu. Ada
beberapa penelitian terdahulu tersebut, yaitu:
1. “Pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat perceraian di Kabupaten Maros” (Munawwar
Khalil/ Universitas Muhammadiyah Makassar)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat
perceraian di Kabupaten Maros. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tindakan khusus
yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena tentang pernikahan
dini dan juga untuk mengetahui faktor apa yang menghambat terjadinya pernikahan dini
terhadap perceraian di Kabupaten Maros. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ada
pengaruh pernikahan dini terhadap tingkat perceraian di Kabupaten Maros.
2. “Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Perceraian di Indonesia” (Fachria Octaviani,
Universitar Padjajaran)
Penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kualitatif dan deskriptif mengenai dampak
pernikahan usia dini terhadap perceraian di Indonesia. Dalam penelitian ini, disebutkan
bahwa fenomena pernikahan dini dapat terjadi karena kesederhanaan pola pikir masyarakat
sehingga masalah ini akan terjadi secara terus-menerus. Selain itu, faktor lain seperti
pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya sangat mempengaruhi pernikahan dini.
3. “Perkawinan Bawah Umur dan Potensi Perceraian” (Ani Yumarni, Endeh
Suhartini/Universitas Djuanda Bogor)
Penelitian ini mengkaji beberapa hal, antara lain: pertama, kewenangan PPN pada KUA
kecamatan di Wilayan Bogor dalam menciptakan tertib administrasi pencatatan perkawinan
dibawah umur. Kedua, mengkaji relevansi antara perkawinan bawah umur dengan tingginya
angka perceraian di Wilayah Kota Bogor. Pada penelitian ini, disebutkan bahwa tingginya
angka pernikahan dibawah umur ternyata sangat mempengaruhi angka perceraian pada
pasangan usia muda. Sistem perkawinan di Indonesia yang masih permisif untuk
perkawinan dibawah umur menjadi celah terjadinya tingkat perkawinan bawah umur yang
tinggi. Pasangan suami istri usia muda belum memiliki emosi yang stabil sehingga tidak
jarang mendorong terjadinya pertengkaran bahkan kekerasan dalam rumah tangga dalam
menghadapi persoalan kecil. Pernikahan membutuhkan independensi dari individu-individu
yang menjalaninya, karena penuh dengan tanggung-jawab, pembuatan keputusan dan
komitmen yang serius. Namun, pasangan muda yang menikah dibawah umur tidak mampu
mengatasi hal-hal tersebut.
B. Pembahasan Teori
1. Definisi pernikahan
Pernikahan merupakan suatu proses awal terbentuknya kehidupan keluarga dan awal
perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata “nikah” diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersami istri
dengan resmi. Pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, walaupun
kebutuhan biologis adalah faktor yang sangat penting untuk penunjang atau pendorong
dalam rangka merealisir kehidupan bersama baik untuk mendapatkan kebutuhan biologis.
Pernikahan harus sebagai suatu ikatan lahir dan batin untuk mewujudkan suatu keluarga
atau rumah tangga yang bahagia, rukun dan kekal. Menurut Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 1 tujuan pernikahan adalah “untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Untuk itu suami istri perlu
adanya saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Menurut Goldberg
dalam Yuwana & Maramis, 2003, Perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat
populer dalam masyarakat, tetapi sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji.
Perkawinan sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan
bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
interpersonal. Menurut Kartono, pengertian perkawinan merupakan suatu institusi sosial
yang diakui setiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan berbeda-
beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan di hampir semua kebudayaan cenderung sama.
Perkawinan menunjukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri
dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi dan sejumlah hadirin untuk
kemudian di sahkan secara resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.
Menurut Saxton, perkawinan mengatakan bahwa memiliki dua makna, yaitu:
a. Sebagai suatu institusi sosial
Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan
fungsi pokok untuk kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarkat
b. Makna individual
Perkawinan sebagai bentuk legitimisasi atau pengesahan terhadap peran sebagai individual,
tetapi yang terutama, perkawinan di pandang sebagai sumber kepuasan personal.
Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan diatas, dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri
yang memiliki kekuatan hukum dan di akui secara sosial dan agama dengan tujuan
membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian budaya dan
pemenuhan kebutuhan interpersonal.
6. Perceraian
Perceraian menurut KBBI adalah perihal bercerai antara suami dan istri. Kata bercerai
sendiri artinya yaitu menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami-istri.
Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan berdasarkan alasan-alasan
yang disebutkan dalam Undang-undang. Beberapa ahli memberikan rumusan dan definisi
dari perceraian, antara lain:
a. Menurut Subekti, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim
atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.
b. Menurut R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, perceraian berlainan dengan
pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya
tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun istri untuk
pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasarkan oerselisihan antara suami dan
istri.
c. Menurut P.N.H Simajuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena
suatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua
belah pihak dalam perkawinan.
Faktor Sosial
Pernikahan Dini
1. Trauma, depresi
2. Sulitnya penyesuaian diri Pasangan Orang Anak
3. Dampak pada anak suami istri tua
BAB 3
Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif eksploratif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah ataupun rekayasa
manusia yang bertujuan untuk menjawab mengapa dan bagaimana suatu fenomena bisa terjadi
karena penelitian ini pada akhirnya akan mengkaji dan ingin mengetahui tentang faktor
penyebab dan dampak yang dialami oleh seorang wanita yang diakibatkan oleh perceraian
dalam pernikahan dini.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat sumber data yang dianggap sebagai suatu populasi sehingga
bisa diambil sampelnya sebagai subjek yang akan di teliti. Dalam penelitian ini, penelitian
dilakukan di Kota DKI Jakarta. Dengan terpilihnya lokasi ini, secara pengamatan awal peneliti
sudah mengenal dan mengetahui lokasi yang akan diteliti, dengan situasi geografisnya, serta
kondisi secara fisik disisi lain lokasi penelitian ini adalah lokasi yang mudah dijangkau
C.