Anda di halaman 1dari 2

RAMADAN DAN PANGGUNG

SELEBRASI
Alkisah, sebagaimana dituturkan Komaruddin Hidayat (2003), suatu hari beberapa penduduk kota
bersiap-siap melakukan perjalanan ibadah haji dengan mengendarai unta. Salah seorang yang kreatif dan
inovatif menghiasi untanya dengan berbagai variasi hiasan pada tubuh sang unta. Rupanya kreativitas
orang tadi memantik perhatian kawan-kawan lainnya, sehingga para calon jamaah haji beramai-ramai
menghias unta masing-masing dan berusaha mengungguli kreativitas yang lain. Demikianlah, akhirnya
yang terjadi adalah suatu festival lomba menghiasi dan mengendarai unta. Siapa yang diniali paling indah
kreasinya dan paling cepat memacu untanya, dia lah yang berhak mendapatkan apresiasi tepuk tangan
meriah dan dinobatkan sebagai sang juaranya. Lantas, bagaimana motivasi hajinya? Rupanya keinginan
awal tadi hanya tinggal keinginan. Mereka tidak jadi menunaikan ritual haji karena terkalahkan oleh
interest gegap-gempita ceremony lomba unta yang kemudian menjadi acara tahunan.

Kisah di atas, meskipun sangat simple namun pesannya sangat jelas dan tegas (qaht’i al-dilâlah) untuk
ditangkap dan dipahami. Pesan moralnya adalah, antara lain, bahwa tidak selamanya motivasi (niat) baik
yang dianggap fundamental dapat terejawantahkan dalam praktek nyata karena terbelokkan hal-hal yang
bersifat instrumental, melainkan lebih memenuhi tuntutan sense of self glory yang mendatangkan
simpati berupa tepuk tangan yang meriah.

Fenomena semacam ini sangat jamak kita jumpai dalam berbagai aktifitas kita sehari-hari, termasuk
dalam kegiatan keagamaan. Misalnya ramainya shalat tarawih di Masjid-masjid, acara buka bersama di
berbagai tempat, open house di kalangan kawula elit, dan entah apalagi seremoni keagamaan yang
biasanya cukup mahal, semua motivasi yang baik itu sangat riskan terbelokkan oleh orientasi festival
yang bersifat instrumental-ceremonial, suatu “fenomena” yang kering “noumena”, lebih merupakan
“aksesori” dan kurang menyentuk “isi” dan “substansi”.

Mari kita merenung sejenak, berapa kali kita menjalani Ramadhan? Sejauh mana kira-kira efek positif
Ramadhan terhadap peningkatan kualitas prilaku hidup kita masing-masing. Seberapa besar perubahan
prilaku hidup kita dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya?

Jika kita telah sepakat, bahwa Ramadhan adalah bulan “peragian” dan “pendadaran” spiritual, tentu kini
kita menjadi pribadi-pribadi yang semestinya mampu mengendalikan kuasa nasfsu kita masing-masing
dan sekaligus bisa menebarkan pancaran ruhani yang terejawantahkan ke dalam sosok yang “shaleh”,
baik secara personal maupun sosial (takwa). Namun, jika ternyata Ramadhan demi Ramadhan yang
telah kita lewati tidak juga membuat jiwa kita bertumbuh kadar ketakwaannya, sama saja kita hanya
menjadikan Ramadhan sebagai “bulan rehat” sejenak dari dosa dan ankara murka.

Jika sebelum Ramadhan aurat diumbar di depan khalayak ramai, maka Ramadhan menjadi bulan
berkerudung dan berbusana muslim sejenak. Tapi coba kita lihat realitas yang terjadi pasca Ramdhan,
semua ber-fastabiqul aurat (berlomba-lomba mempertontonkan aurat) kembali seperti sedia kala,
bahkan kadang lebih parah lagi.
Oleh karenanya, tanpa adanya komitmen moral yang kuat, tentu spirit keberagamaan kita sangat
mungkin akan terjatuh pada bentuk kesalehan formal-ceremonial belaka, tanpa ruh, mirip dengan
mereka yang sedang berlomba naik unta dengan berbagai aksesori sebagaimana kisah tersebut di atas.
Didorong atas fakta-fakta inilah, mungkin kita harus menggali kembali pesan-pesan Profetik Ramadhan.

Istilah “Profetik” (prophetical) yang penulis maksud bermakna “kenabian” atau sifat yang ada pada diri
seorang nabi. Yakni sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual,
tetapi juga menjadi pelopor perubahan, pembimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan
perjuangan tanpa henti melawan penindasan.

Sebagaimana dituturkan dalam lembaran sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa
melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin (dhu’afâ’) dan termiskinkan
(mustadh’afîn) serta budak melawan setiap penindasan dan ketidak adilan demi menuju ke arah
pembebasan. Menurut Ali Syari’ati, sebagaimana diungkapkan Hilmy (2008), bahwa para nabi tidak
hanya mengajarkan dzikir dan do’a semata, melainkan mereka juga hadir dengan suatu ideologi
pembebasan (liberation).

“Pesan Profetik Puasa” dalam konteks ini dengan demikian mengandaikan bahwa puasa yang kita
lakukan harus mampu menjadi piranti dalam membebaskan diri dari belenggu nafsu syahwat yang
menggelincirkan menuju terbentuknya batin manusia yang baik dan berkualitas, yaitu manusia yang
bermoral. Karena hakekat puasa bukanlah sekedar ritual keagamaan, tetapi juga menghadirkan nilai-niali
kesadaran, hidup toleran, dan kebersamaan yang relevan dengan nilai-nilai kebangsaan dan semangat
kemerdekaan yang dalam kondisi nyata saat ini tengah rapuh, mencair, dan kian tercerabut.

Anda mungkin juga menyukai