Anda di halaman 1dari 47

TRAUMATIC BRAIN INJURY

Billy FXD, Ns, M.Kep


AKPER Gunung Maria Tomohon_2020
Tingkat II – Semester IV
• Traumatic Brain Injury (TBI) / Cedera Otak Traumatik adalah
kerusakan pada otak yang diakibatkan oleh kekuatan mekanik
eksternal dan tidak disebabkan oleh kondisi neurodegenerative atau
kelainan bawaan (Ignativicius, 2016)

• Cedera kepala adalah klasifikasi luas yang mencakup luka atau trauma
pada kulit kepala, tengkorak atau otak. Cedera kepala dapat
menyebabkan kondisi mulai dari gegar otak ringan hingga koma dan
kematian; Bentuk paling serius dikenal sebagai Cedera Otak
Traumatik (Traumatic Brain Injury - TBI) (Hinkle, 2014)

• Cedera kepala adalah klasifikasi luas yang mencakup luka atau


trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak. Bentuk cedera kepala
yang serius adalah cedera otak traumatis (TBI) (Lewis, 2011)
• Traumatic Brain Injury mengacu pada cedera di daerah kulit kepala,
tengkorak (tengkorak dan tulang wajah), atau otak.
• Istilah TBI dan trauma craniocerebral adalah sebutan umum untuk
menunjukkan cedera pada tengkorak, otak, atau keduanya, yang
cukup besar untuk mengganggu fungsi normal dan memerlukan
perawatan.
• Istilah yang lebih akurat untuk menggambarkan peristiwa
traumatis utama, bagaimanapun, adalah cedera otak traumatis
(Hickey, 2003)
• Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
kepala.
• Dari semua klien yang masuk ke unit gawat darurat, sebagian besar
adalah laki-laki yang berusia kurang dari 30 tahun dan 50% terbukti
mengkonsumsi alkohol atau zat lain yang disalahgunakan.
• Alkohol memperlambat refleks serta mengganggu proses kognitif dan
persepsi. Perubahan fisiologis ini meningkatkan kemungkinan terlibat
dalam kecelakaan maupun perkelahian.
• Faktor risiko lainnya adalah mengemudi tanpa sabuk pengaman.
• Penyebab lainnya adalah penyerangan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan olahraga (Black, 2014).
• Lewis (2011): tabrakan kendaraan bermotor dan terjauth merupakan
penyebab umum yang paling sering mengakibatkan cedera kepala.
• Penyebab lainnya dari cedera kepala yaitu karna senjata api,
penyerangan, trauma terkait olahraga, cedera saat berekreasi, dan
cedera yang berhubungan dengan perang.
• Laki-laki dua kali lebih berisiko mengalami TBI dibandingkan
perempuan.
• Cedera kepala disebabkan oleh kekuatan benturan yang tiba-tiba
pada kepala atau kekuatan inersia dalam tengkorak yang
menyebabkan masalah yang kompleks (Black, 2014).
• Mekanisme cedera kepala meliputi:

• 1. CEDERA AKSELERASI / CONTACT PHENOMENA INJURIES


• Cedera yang terjadi ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (misalnya: alat pemukul menghantam kepala atau
peluru yang ditembakkan dan mengenai kepala)
• Cedera ini terjadi secara langsung akibat sebuah objek yang
menghantam kepala dan menyebabkan efek local seperti cedera kulit
kepala, fraktur tengkorak, hematoma ekstradural, kontusio, laserasi,
dan hemoragi intraserebral
• Kecepatan (rendah atau tinggi) dampak menentukan apakah cedera
dibatasi pada kulit kepala atau tengkorak (kecepatan rendah) atau
termasuk otak (kecepatan tinggi) (Hickey, 2003., Nurarif, 2015).

• 2. CEDERA DESELERASI
• Cedera yang terjadi ketika kepala yang bergerak membentur objek
yang diam seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil yang
menyebabkan kepala membentur roda kemudi (Nurarif, 2015).
• 3. CEDERA AKSELERASI-DESELERASI / COUP-COUNTRE COUP
• Cedera yang terjadi karna perubahan mendadak dalam kecepatan
gerakan maju terutama pada otak diikuti dengan berhenti mendadak
(inersia) di dalam kubah kranial.
• Akselerasi - deselerasi dihasilkan oleh gerakan kepala sesaat setelah
cedera dan menyebabkan ketegangan pada jaringan serebral.
• Istilah untuk menggambarkan kompleksitas cedera ini adalah “coup-
contrecoup”. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis yang diartikan
“pukulan balasan”.
• Kata “coup” berarti “pukulan”, untuk menunjukkan bahwa klien
mengalami cedera gabungan pada titik benturan dan cedera disisi
otak yang berlawanan akibat bergeraknya otak di dalam tengkorak
(Hickey, 2003., Black, 2014., Nurarif, 2015)
• 4. CEDERA ROTASIONAL / ANGULAR ACCELERATION
• Cedera ini merupakan tipe khusus dari cedera akselerasi-deselerasi.
• Cedera ini terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar
dalam rongga tengkorak dan mengakibatkan peregangan atau
robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh
darah yang ada dalam otak (Hickey, 2003., Nurarif, 2015)
• Manifestasi klinis yang dapat terjadi berdasarkan Black (2014) yaitu:

• 1. FRAKTUR TENGKORAK
• Selain riwayat fraktur tengkorak, klien mungkin tidak memiliki
manifestasi yang jelas tentang cedera ini.
• Klien mungkin mengalami tanda-tanda klinis lain seperti:
✓ CSS (Cairan Cerebro Spinalis) atau cairan lain yang mengalir dari
telinga atau hidung
✓ Bukti berbagai cedera saraf kranial
✓ Darah dibelakang membrane timpani
✓ Ekimosis periorbital (memar disekitar mata)
✓ Memar di prosesus mastoid (battle sign)
• Indikasi kerusakan saraf cranial dan telinga dalam dapat terlihat
diawal cedera atau mungkin juga tidak muncul.
• Indikasi-indikasi tersebut meliputi:
✓ Perubahan penglihatan akibat kerusakan saraf optic
✓ Kehilangan pendengaran akibat kerusakan saraf auditori
✓ Kehilangan indra penciuman akibat kerusakan saraf olfaktori
✓ Pupil dilatasi, strabismus, dan kehilangan beberapa gerakan mata
akibat kerusakan saraf okulomotor
✓ Paresis atau paralisis wajah (unilateral) akibat kerusakan saraf
fasial
✓ Vertigo yang disebabkan oleh kerusakan otolit di telinga dalam
✓ Nistagmus akibat kerusakan system vestibular
• 2. KONKUSI
• Setelah konkusi, terjadi kehilangan kesadaran selama 5 menit atau
kurang.
• Amnesia retrograde, amnesia pascatrauma, atau keduanya dapat
terjadi.
• Durasi amnesia dapat berhubungan langsung dengan keparahan
konkusi.
• Klien biasanya mengalami sakit kepala dan pusing serta dapat
mengeluh mual dan muntah.
• Tidak ada kerusakan pada tengkorak atau dura, serta tidak ada
kerusakan yang terlihat pada pemindaian CT atau MRI.
• 3. KONTUSI
• Manifestasi klinis dari kontusi bervariasi, sebagian karna setiap area
otak dapat menderita kontusi.
• Kontusi sering berkaitan dengan cedera serius lainnya, termasuk
fraktur servikal.
• Efek sekunder seperti pembengkakan dan edema otak dapat
menyertai kontusi yang serius.
• Peningkatan TIK (ICP) dan sindrom herniasi dapat terjadi.
• Kontusi dapat dibagi menjadi KONTUSI SEREBRAL dan KONTUSI
BATANG OTAK.
• A. KONTUSI SEREBRAL
• Manifestasi bervariasi, tergantung pada area hemisfer serebral yang
rusak.
• Klien cedera kepala yang bingung dan mengalami agitasi namun tetap
waspada mungkin mengalami kontusi lobus temporal.
• Hemiparesis pada klien cedera kepala yang waspada dapat
mengindikasikan bahwa terjadi kontusi frontal.
• Klien cedera kepala yang mengalami afasia mungkin menderita
kontusi frontotemporal.
• Kelainan seperti adanya lesi massa juga dapat berdampak pada
kondisi ini.
• b. KONTUSI BATANG OTAK
• Kontusi batang otak membuat klien tidak responsive dengan cepat
atau mengalami koma parsial karna gangguan batang otak yang
signifikan.
• Perubahan kesadaran berlanjut selama setidaknya beberapa jam dan
biasanya berhari-hari atau berminggu-minggu.
• Klien dapat memperoleh kembali kesadaran parsialnya dalam
hitungan jam atau tetap dalam keadaan koma.
• Kerusakan pada system aktivasi reticular dapat membuat klien
mengalami koma permanen.
• Abnormalitas neurologis lain muncul dan biasanya simetris (pada
kedua sisi tubuh).
• Beberapa mungkin bersifat lateral (asimetris, disalah satu sisi tubuh
saja), mengindikasikan adanya insiden sekunder seperti hematoma.
• Selain perubahan tingkat kesadaran yang selalu muncul pada kontusi
batang otak abnormalitas pernapasan, pupil, gerakan mata dan
motorik juga dapat terjadi.
✓ Pernapasan dapat normal, periodic, sangat cepat atau ataksia
✓ Pupil biasanya kecil, setara atau reaktif. Kerusakan pada batang
otak bagian atas (saraf cranial ketiga) dapat menyebabkan
abnormalitas pupil
✓ Hilangnya gerakan mata normal dapat terjadi karna jalur yang
mengontrol gerakan mata melintasi otak tengah dan pons.
✓ Klien dapat merespons terhadap stimulus cahaya atau bahaya
dengan gerjakan bertujuan, seperti mendorong stimulus menjauh,
atau klien dapat juga tidak merespons terhadap stimulus.
• Kontusi batang otak biasanya tidak mencederai batang otak saja.
• Pembengkakan lokal atau cedera langsung pada hipotalamus dapat
menimbulkan efek pada system saraf otonom.
• Klien dapat mengalami demam tinggi dan denyut nadi serta
pernapasan yang cepat dan dapat berkeringat hebat.
• Efek ini dapat meningkat kemudian menurun, tetapi jika
berkelanjutan, dapat meningkatkan komplikasi yang serius.
• 1. PEMERIKSAAN FOTO POLOS KEPALA (X-RAY)
• Indikasi pemeriksaan foto polos kepala berdasarkan Pedoman
Tatalaksana Cedera Otak (2014) dari Tim Neurotrauma RSUD dr.
Soetomo dan FK Universitas Airlangga Surabaya:
a. Kehilangan kesadaran, amnesia
b. Nyeri kepala menetap
c. Gejala neurologis fokal
d. Jejas pada kulit kepala
e. Kecurigaan luka tembus
f. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
g. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
h. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat,
epilepsi, anak
i. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi
mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada
permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun.

• Menurut Porth (2005) dalam Text Book Medical Surgical Nursing


(Smeltzer, 2008), pemerikssaan Radiologi ini untuk mengidentifikasi
ada/tidaknya serta tingkatan dari fraktur yang terjadi pada daerah
tengkorak kepala.
• 2. CT Scan
• Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala berdasarkan
Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (2014) dari Tim Neurotrauma RSUD dr.
Soetomo dan FK Universitas Airlangga Surabaya:
a. GCS< 13 setelah resusitasi.
b. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang.
c. Nyeri kepala, muntah yang menetap
d. Terdapat tanda fokal neurologis
e. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
f. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
g. Evaluasi pasca operasi
h. Pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
i. Indikasi social
• Menurut Lewis (2011), CT Scan meruapakan test diagnostic terbaik
untuk mengevaluasi trauma kepala karna dapat dilakukan dengan
cepat sehingga dapat menentukan intervensi dengan cepat pada
situasi akut.

• Menurut Ignavitacius (2016), CT Scan dapat membantu dalam


mengidentifikasi tingkatan serta cakupan dari dampak cedera kepala
sehingga dapat menjadi dasar untuk penatalaksanaan intervensi,
misalnya pada hasil epidural atau subdural hematoma.
• 3. MRI
• Tes MRI dapat dilakukan untuk mendeteksi perubahan jaringan otak
secara halus dan menunjukkan secara lebih detail dan spesifik
tentang cedera yang terjadi di otak.
• MRI biasanya digunakan secara khusus untuk mendiagnosis cedera
axonal diffuse, tapi tidak direkomendasikan pada pasien yang
menggunakan perangkat monitor ICP (Ignatavicius, 2016).
• 4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
• Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
gas darah arteri, perhitungan sel darah lengkap (CBC), pemeriksaan
gula darah, pemeriksaan tingkat osmolalitas dan elektrolit.
• Semua pemeriksaan ini dilakukan untuk memonitor status
hemodinamik, mengidentifikasi ketidakseimbangan cairan,
menentukan kapasitas trasportasi oksigen, dan mendeteksi apakah
ada infeksi.
• Ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, hipovolemia, dan penurunan
tekanan darah akibat syok maupun infeksi dapat berkontribusi pada
cedera sekunder, yang dapat meningkatkan resiko yang serius bagi
pasien (Ignatavicius, 2016).
1. GCS sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus cedera
kepala berat. Kategori-kategori hasil akhir termasuk kematian, status
vegetative persisten, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk
menjalani aktifitas hidup sehari-hari), disabilitas sedang (tidak
memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh
(dapat menjalani pekerjaan sebelumnya).
2. Umur adalah factor yang paling penting karna mortalitas cedera
kepala meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
3. Gangguan otonomik, seperti pola pernapasan yang abnormal dan
hipertensi, juga memberikan prognosis yang buruk
4. Terjadinya tekanan intracranial yang sulit dikontral (>40 mmHg),
selalu menurunkan tekanan perfusi serebral dan membawa hasil
akhir yang buruk (Setyanegara, 2014)
• 1. MANAJEMEN MEDIS
• Manajemen medis untuk klien cedera kepala yang parah berfokus
pada semua system organ saat pemulihan dari cedera terus
berlangsung
• a. Manajemen Awal
• Manajemen awal: Jalan napas, pernapasan dan sirkulasi.
• Klien harus diimobilisasikan, terutama kepala dan leher dengan
menggunakan neck collar.
• Jika intubasi diperlukan, maneuver jaw thrust harus digunakan
(bukan head till chin lift) untuk membuka jalan napas tanpa
kemungkinan cedera medulla spinalis.
• Intervensi mencakup oksigensasi dan penurunan TIK dengan
hiperventilasi menggunakan ventilasi mekanis atau hiperventilasi
manual pada klein dengan penggunaan BVM jika klien menunjukkan
tanda-tanda herniasi
• Infuse dipasang dan cairan diberikan untuk menstabilkan TD. Jika
terjadi kehilangan cairan darah yang besar akibat cedera lain misalnya
fraktur, cedera abdomen, laserasi kepala yang parah, maka harus
segera diatasi.
• Riwayat yang lengkap termasuk mekanisme cedera sangat penting.
Data ini menentukan kemungkinan luasnya cedera dan
memungkinkan personil gawat darurat untuk mempersiapkan
tindakan.
• Luka kepala terbuka harus ditutup dan ditekan untuk mengontrol
perdarahan, kecuali jika terlihat fraktur tengkorak depresi atau
comminuted.
• Jangan mencoba mengelurakan benda asing atau benda tembus.
• Luka kulit kepala tanpa komplikasi (tidak berhubungan dengan fraktur
tengkorak depresi atau comminuted) dibius dengan anastesi lokal,
dibersihkan dan dijahit.
• Di IGD, dilakukan penyelidikan primer dan sekunder terhadap cedera
klien. Resusitasi berlanjut dengan pemberian cairan. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan, begitu pula radiologi.
• Jika klien memerlukan operasi darurat, klien langsung dibawa ke
ruang operasi, setelah itu ICU.
• b. Manajemen Berkelanjutan
• Fokus kritis adalah untuk mempertahankan perfusi serebral dan
mengurangi TIK.
• Morfin adalah opioid yang biasa digunakan untuk klien cedera kepala.
Morfin mengurangi nyeri dan diberikan secara intravena.
• Depresi pernapasan dikontrol pada klien dengan intubasi.
• Agen paralitik dapat digunakan untuk meningkatkan ventilasi yang
adekuat dan harus diberikan bersama sedative dan analgesic karna
agen paralitik tidak memiliki sedative atau analgesic.
• 2. MANAJEMEN BEDAH
• Kondisi yang mungkin memerlukan pembedahan antara lain
hematoma subdural dan epidural, fraktur depresi pada tengkorak dan
benda asing yang menembus.
• Bekuan epidural dapat dikeluarkan dengan pembedahan melalui
lubang burr atau kraniotomi. Selama pembedahan luka tersebut
mungkin harus didrainasi dan pembuluh yang mengalami perdarahan
harus diikat (diligasi).
• Depresi tengkorak sederhana diobati secara elektif dengan
pembedahan yang mengangkat jaringan tulang yang terdepresi,
membuang fragmen dan memperbaiki dura yang mengalami laserasi.
• Fraktur communited pada tengkorak diobati segera dengan
pembedahan.
• Kulit kepala, tengkorak, dan otak yang mengalami devitalisasi akan
didebridemen, serta luka dibersihkan secara menyeluruh.
• Debridema luka tembus atau fraktur depresi pada tengkorak sering
meninggalkan defek cranial tidak sedap dipandang dari segi kosmetik.
Defek tersebut nantinya dapat dikoreksi dengan pembedahan yaitu
kranioplasti.
• Sebelum pembedahan, TIK diturunkan sebanyak mungkin. Data dasar
neurologis didokumentasikan.
• Persetujuan (informed consent) harus diperoleh dari keluarga jika
pasien tidak sadar atau bingung. Setelah pembedahan, asuhan
keperawatan kraniotomi diberikan secara menyeluruh.
• 3. MANAJEMEN KEPERAWATAN
• Sebagian besar klien yang dirawat di RS selama lebih dari 48 jam
karna cedera kepala pada akhirnya akan membutuhkan beberapa
rehabilitasi.
• Klien dengan cedera kepala ringan mungkin dapat terabaikan dalam
perawatan lanjutan, akan tetapi pada kasus ini, sakit kepala, kesulitan
memori, kesulitan dalam melakukan tugas-tugas sederhana, dan
iritabilitas.
• Manifestasi klinis dapat bertahan selama 1 bulan atau lebih.
• Rehabilitasi dapat berlangsung ditempat rawat inap atau rawat jalan,
bergantung pada kondisi klien.
• Rehabilitasi dapat mencakup fisik, okupasi, terapi bicara dan kognitif,
serta sangat penting dalam mengembalikan klien ke fungsi
maksimalnya.
• Perawat memainkan peran utama dalam rehabilitasi klien cedera
kepala dan dalam pendidikan orang yang terdekat dengan klien.
• Klien dengan cedera kepala yang lebih parah dapat dikirim ke fasilitas
rehabilitasi.
• Jika pemulihan tidak terjadi, klien mungkin perlu dirawat di fasilitas
perawatan jangka panjang.
• Banyak klien cedera kepala yang masih mudah dan sebelumnya
sehat, sehingga penempatan di rumah perawatan menjadi kenyataan
yang sulit diterima keluarga.
• Pengajaran dan dukungan dapat meningkatkan koping. Keterlibatan
berbagai disiplin seperti layanan social, pastoral, atau perencanaan
pulang dapat meningkatkan pemahaman anggota keluarga tentang
fase asuhan rehabilitasi (Black, 2014).
• Perawat harus mengkaji status neurologi klien, berdasarkan informasi
dari klien, keluarga maupun saksi mata atau dari petugas rescue
emergency. Pengkajian data dasar tentang riwayat kejadian seperti:
✓ Kapan cedera terjadi?
✓ Apa penyebab cedera? Apakah karna misil berkecepatan tinggi
dan berdaya ledak? Sebuah objek yang menghantam kepala?
Jatuh?
✓ Bagaimana arah dan kekuatan pukulannya?
• Sejak periode hilang kesadaran atau amnesia setelah cedera kepala,
tingkat kerusakan otak terjadi dan dapat berubah dalam hitungan
menit atau jam setelah cedera, dapat berubah membaik atau dapat
berkembang kea rah cedera sekunder.
• Perawat harus mengkaji durasi periode tidak sadar dan rangsangan
yang dapat membuat pasien tersadar.
• Pemeriksaan yang harus segera dilakukan pada klien dengan LOC
(Loss of Consciousness) adalah dengan pemeriksaan kemampuan
untuk berkomunikasi (jika sadar), respon stimulus taktil (jika tidak
sadar), respon pupil terhadap cahaya, status cornea dan refleks
muntah, fungsi pergerakan, dan penilaian GCS (Smeltzer, 2008)
PENGKAJIAN SINGKAT MULTISISTEM
UNTUK KLIEN CEDERA KEPALA
Pertimbangan Pengkajian Spesifik – Data Pengkajian
Sistem
Sistem Neurologi
• Cedera kepala berat dapat menyebabkan tidak • Pemeriksaan status neurologi
sadar dan gangguan fungsi neurologi lainnya • Pemeriksaan tanda dan gejala peningkatan ICP
• Seluruh fungsi tubuh harus di pelihara • Kalkulasi tekanan perfusi serebral jika terpasang
• Peningkatan ICP dan herniasi sangat mengancam ICP monitor
kehidupan • Monitoring medikasi tingkat perdarahan
• Tindakan diupayakan untuk mengendalikan ICP
Sistem Integumen (Kulit dan Membran mukosa)
• Imobilitas akibat cedera sekunder dan kehilangan
kesadaran berkontribusi untuk kerusakan kulit • Pemeriksaan integritas kulit dan karakter kulit
akibat penekanan tubuh • Pemeriksaan membrane mukosa
• Intubasi dapat menyebabkan iritasi pada
membrane mukosa
Sistem Muskuloskeletal
• Imobilitas berkontribusi pada gangguaan • Pengkajian ROM dan apakah ada deformitas
musculoskeletal atau spasme
• Gangguan tulang belakang dapat mempersulit
posisi pasien

Sistem Gastrointestinal
• Konstipasi dapat terjadi karna bed rest, NPO (Nihil • Pemeriksaan bising usus
Per Oral)/Tidak dapat makan melalui mulut, • Monitoring hemoglobin
masalah cairan dan pemberian opium untuk
mengontrol nyeri
• Inkontinensia bowel dapat terjadi pada klien
dengan status tidak sadar atau gangguan mental
lainnya
Sistem Genitourinaria
• Pembatasan cairan atau penggunaan diuretic • Monitor intake dan output cairan
dapat mempengaruhi output urin
• Inkontinensia urin dapat terjadi pada klien yang
tidak sadar
Sistem Metabolik (Nutrisi)
• Pasien yang menerima IVFD dari pertama hingga • Pengkajian keseimbangan cairan dan elektrolit
beberapa hari sampai bisa diberikan melalui GI • Pencatatan berat badan jika memungkinkan
• Konsultasi pemberian nutrisi 24 – 48 jam, nutrisi • Hematokrit
parenteral mungkin dapat diberikan • Elektrolit

Sistem Respiratory
• Obstruksi parsial atau total dapat mengganggu • Pengkajian fungsi respirasi:
suplai oksigen ke otak ✓ Auskultasi dada untuk suara napas
• Bentuk lain gangguan respirasi dapat ✓ Pola respirasi
menyebabkan hipoksia serebral ✓ Kecepatan respirasi
• Periode apneu yang pendek dapat mempengaruhi ✓ Refleks batuk secara langsung
• Kerusakan sistemik dari cedera kepala dapat • Gas darah arteri
menyebabkan hipoksemia • Sel darah lengkap
• Cedera kepala dapat mempengaruhi sel jaringan • X-Ray
otak yang berperan dalam fungsi pernapasan • Saturasi O2 dengan pulse oximetry

(Smeltzer, 2008)
Sistem Cardiovaskular
• Klien mungkin mengalami disritmia, takikardi atau • Pengkajian vital sign
bradikardi • Monitoring distritmia jantung
• Klien dapat mengalami hipertensi atau hipotensi • Pengkajian thrombosis vena profunda
• Karna imobilitas akibat tidak sadar, pasien • EKG
beresiko tinggi mengalami thrombosis vena • Elektrolit
profunda dan emboli paru • Pengkajian Blood Coagulation
• Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang dapat • Tingkat Gula darah
menyebabkan beberapa problem termasuk • Osmolalitas darah
pengaruh sekresi antidiuretic hormone (ADH), • Urin
respons stress, atau pembatasan cairan
Respon Psikologi/Emosi
• Terjadi pada cedera kepala berat dimana klien • Pengumpulan informasi tentang keluarga serta
tidak sadar peran dari klien yang mengalami cedera kepala
• Keluarga membutuhkan dukungan psikis untuk dalam keluarga
menghadapi kejadian klien • Pengkajian fungsi keluarga sebelum terjadinya
cedera
• Pengkajian GCS (Setyanegara, 2014)
Dewasa Respon Bayi & Anak-Anak
Eye (Membuka Mata)
Spontan 4 Spontan
Berdasarkan perintah verbal 3 Berdasarkan suara
Berdasarkan rangsangan nyeri 2 Berdasarkan rangsangan nyeri
Tidak berespon 1 Tidak berespon
Verbal (Suara kata-kata)
Orientasi baik 5 Senyum, orientasi baik pada objek
Percakapan kacau 4 Menangis tapi dapat ditenangkan
Kata-kata kacau 3 Menangis – tidak dapat ditenangkan
Mengerang 2 Mengerang dan agitatif
Tidak berespon 1 Tidak berespon
Motorik (Pergerakan)
Menurut perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsangan nyeri 5 Melokalisir rangsangan nyeri
Menjauhi rangsangan nyeri 4 Menjauhi rangsangan nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak berespon 1 Tidak berespon
Skor 14 – 15 12 – 13 11 – 12 8 – 10 <5
Kondisi Compos Mentis Apatis Somnolent Stupor Koma
• Tujuan Keperawatan:
✓ menjaga kepatenan jalan napas,
✓ adekuatnya perfusi serebral,
✓ keseimbangan cairan dan elektrolit,
✓ nutrisi yang adekuat,
✓ mencegah dari cedera sekunder,
✓ menjaga suhu tubuh tetap stabil,
✓ menjaga integritas kulit,
✓ meningkatkan fungsi kognitif,
✓ mencegah gangguan tidur,
✓ koping keluarga efektif,
✓ meningkatkan pengetahuan tentang proses rehabilitasi,
✓ dan menghilangkan komplikasi (Smeltzer, 2008).
•thank you…

Anda mungkin juga menyukai