Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH, NILAI DAN HIKMAH DARI TRADISI KUPATAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Tradisi Islam Nusantara

Disusun Oleh:

Nama : Fauziyah Hamidah


NIM : 21220006
Dosen Pengampu : Fitrotul Muzayyanah, M. Hum

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ISLAM NUSANTARA
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
kebahagiaan kepada kita semua sehingga makalah dengan judul “Sejarah, Nilai dan Hikmah dari
Tradisi Kupatan” telah terselesaikan. Penulis dengan rendah hati mempersembahkan makalah ini
sebagai bagian dari tugas akademik di Program Studi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Islam
Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Makalah ini merupakan hasil dari upaya
penelitian serta dedikasi dalam menjalani pendidikan di perguruan tinggi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan
saran pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi perbaikan naskah penelitian lebih
lanjut.
Tulisan ini dapat penuh terselesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak, terutama Ibu dosen Fitrotul Muzayyanah, M. Hum yang telah
memberikan masukan demi kelancaran dan kelengkapan naskah tulisan ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat
ilmiah secara umum, serta memberikan informasi yang bermanfaat dan menginspirasi diskusi
yang lebih mendalam tentang topik ini.

Bogor, 13 November 2023

Fauziyah hamidah
21220006

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................II
DAFTAR ISI.....................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................5
D. Manfaat Penulisan.......................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................7
A. Sejarah dan Bentuk PelaksanaanTradisi Kupatan.......................................................7
B. Nilai Filosofis Ketupat................................................................................................9
C. Hikmah dari Tradisi Kupatan....................................................................................11
BAB III PENUTUP.........................................................................................13
A. Kesimpulan...............................................................................................................13
B. Saran..........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nusantara. Begitulah negeri ini disebut-sebut. Baik oleh orangnya sendiri maupun negeri
lain yang mengenalnya. Yang membuat negeri ini disanjung-sanjung hingga menciptakan daya
tariknya sendiri tidak lain adalah sumber daya alamnya, budaya didalamnya, termasuk adat-
istiadat, tradisi juga kearifan lokalnya. Semua kekayaan tersebut didasari dari banyaknya suku
dan ras yang mendiami pulau-pulau di Nusantara mulai dari Sabang hingga Maraoke. Maka dari
itu, tidak mengherankan lagi bagi masyarakatnya jika bangsa ini bisa disebut dengan bangsa
yang multikultural, atau bangsa yang memiliki banyak unsur-unsur kebudayaan.
Seperti kita ketahui bersama bahwasannya agama mayoritas penduduk Indonesia adalah
agama Islam. Baik Indonesia maupun Islam yang kita tahu berasal dari negeri Arab ini tentunya
mempunyai budaya yang berbeda sebagai identitasnya masing-masing. Dan pada dasarnya
budaya Islam Arab bukanlah bagian dari nusantara. Dengan masuknya Islam ke nusantara
menyebabkan terjadinya akulturasi bahkan asimilisasi antara budaya Islam Arab dengan budaya
Indonesia. Maka dari itu lahirlah pemikiran yang bisa disebut dengan Islam Nusantara, Islam
Pribumi dan seterusnya.
Islam pribumi lebih cenderung kepada kultural atau kebiasaan yang tersebar serta
mengakui ajaran agama tanpa harus menafsirkannya terlebih dahulu –oleh karenanya Islam dapat
diterima dengan tidak menggangu budaya dan tradisi asli masyarakat di wilayah tersebut.
Pemikiran yang dicetuskan oleh Gus Dur ini sebenarnya berdasar pada ajaran para tokoh
penyebar Islam di Jawa sekitar abad ke 15-16 Masehi.
Para walisongo menghasilkan budaya Islam milik Indonesia sendiri tanpa menghilangkan
maknanya masing-masing. Mereka berhasil melakukan kreativitas dalam hal penyebaran Islam
awal di Nusantara dan melahirkan gagasan bahwasannya ajaran Islam merupakan ajaran yang
telah mengalami proses sejarah dengan kebudayaan.
Pribumisasi Islam bukanlah sebuah upaya atau gagasan untuk menghindari adanya
perlawanan dari masyarakat dengan budaya setempat ketika menerima ajaran Islam, namun
sebagai upaya agar budaya tersebut tidak hilang ketika Islam datang. Tujuan daripada

4
pribumisasi ini bukan untuk meninggalkan aturan-aturan agama demi suatu budaya, tetapi agar
ajaran dan aturan tersebut mampu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya asli nusantara.
Proses tersebut tentunya menghasilkan berbagai produk budaya baru antara budaya Islam
dengan pribumi, baik berupa tradisi, adat, seni arsitektur, cara berpakaian, bahkan makanan. Dan
salah satu bentuknya adalah adanya tradisi kupatan yang tentu tidak asing lagi bagi masyarakat
Jawa khususnya, yang dilaksanakan ketika hari Raya Islam tiba. Tradisi kupatan ini merupakan
bentuk kolaborasi antara agama Islam, ilmu pengetahuan juga budaya masyarakat nusantara pada
masanya yang dibawakan oleh Walisongo (tokoh penyebar ajaran Islam di Jawa).
Dari latar belakang di atas penulis mengambil judul: “Sejarah, Nilai dan Hikmah dari
Tradisi Kupatan.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat mengambil rumusan masalah
dalam makalah ini adalah tentang sejarah, nilai dan hikmah yang dapat diambil dari tradisi
kupatan.

C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk
mengetahui tentang sejarah, nilai dan hikmah dari tradisi kupatan di Indonesia. Selain tujuan
tersebut, tujuan asli penulisan makalah ini adalah sebagai tugas dari mata kuliah Tradisi
Islam Nusantara prodi Sejarah Peradaban Islam Semester 5.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pembaca
Dapat mengetahui tentang sejarah, nilai dan hikmah dari tradisi kupatan yang ada
dalam tradisi Islam Nusantara sehingga dapat menjadikan pembaca memahami secara
betul tentang hal tersebut sebagai materi studi perkuliahan mata kuliah tradisi Islam
Nusantara semester 5, Prodi Sejarah Peradaban Islam S1, Fakultas Islam Nusantara,
UNUSIA.

5
2. Bagi Penulis
Melalui penulisan makalah ini, diharapkan penulis terus berkarya dan menerapkan
apa yang sudah dipelajari dan juga semakin mengerti tentang sejarah, nilai dan hikmah
dari tradisi kupatan yang ada dalam tradisi Islam Nusantara.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Bentuk PelaksanaanTradisi Kupatan


Tradisi kupatan merupakan salah satu bentuk dari ritual slametan yang berhubungan
dengan hari besar Islam. Para ahli yang melakukan penelitian terhadap sosial kultural masyarakat
Jawa berpendapat bahwa slametan merupakan jantungnya agama Jawa. Mereka tidak bisa
terlepas dari ritual slametan dimana kegiatannya pun hanya berupa acara makan-makan bersama
yang diawali dengan panjatan doa-doa.1 Istilah-istilah yang digunakan dalam penyebutan tradisi
ini seperti bakda kupat, riyaya kupat dan kupatan memiliki satu makna yang mewakili
kegiatan/tradisi yang sama.2
Dalam sejarahnya, tradisi kupatan muncul pada abad ke-15. Masyarakat Jawa yang
pertama kali melaksanakan tradisi tersebut ialah Kerajaan Demak, pada masa pemerintahan
Raden Fatah. Namun jika meninjau lebih jauh lagi ternyata salah satu Walisongo, yaitu Sunan
Kalijaga telah menciptakan atau membuat ketupat di kalangan masyarakat Jawa. Saat itu
pembuatannya dimaksudkan untuk digunakan sebagai wasilah atau perantara dalam proses
islamisasi masyarakat daerah setempat. Beliau membaginya menjadi dua tipologi yang disebut
bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. Istilah bakda ini mengandung arti hari raya.
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu selalu menggunakan simbol-simbol tertentu untuk
menentukan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap bahwasannya sebuah
simbol memiliki makna kesakralan atau keberkahan tertentu. Maka dari itu para Walisongo,
khususnya sunan Kalijaga memanfaatkan pemikiran tersebut dengan menggunakan simbol daun
kelapa yang masih muda berwarna hijau kekuningan yang dibuat seperti anyaman untuk
membungkus ketupat.3
Namun lambat laun, bukan hanya masyarakat Jawa saja yang menyajikan ketupat saat
moment hari raya Islam. Tradisi Kupatan ini telah menjangkau seluruh pulau di Indonesia

1
Wildan Rijal Amin, ‘Kupatan, Tradisi Untuk Melestarikan Ajaran Bersedekah, Memperkuat Tali Silaturahmi, Dan
Memuliakan Tamu’, Al-A’raf : Jurnal Pemikiran Islam Dan Filsafat, 14.2 (2017), 267.
2
Departemen Pendidikan, Sastra Indonesia, and Universitas Brawijaya, ‘Bentuk Pelaksanaan , Makna Simbolik Dan
Nilai Filosofi Pada Tradisi Kupatan Masyarakat Kabupaten Tulungagung’, 05.01 (2023), 33–41.
3
Ibid hal 18-19.

7
bahkan di negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Hal ini dikarenakan proses Islamisasi yang dilakukan orang-orang terdahulu (masa Walisongo)
sama sekali bukan dengan cara yang keras atau pemaksaan, namun kerap menggunakan tradisi
budaya yang kental, salah satunya yaitu menyajikan ketupat pada hari raya Idul Fitri.4
Bentuk pelaksanaan tradisi kupatan yaitu bertepatan sehari sebelum lebaran, atau pada
tanggal 1 syawwal dan ada pula setelah melakukan 6 hari puasa syawwal, yaitu pada tanggal 7
Syawwal. Setiap warga hampir seluruhnya menganyam ketupat dari daun kelapa muda untuk
kemudian dibawa ketika bersilaturrahmi dengan kerabat atau tetangga yang lebih tua, sebagai
simbol dari kebersamaan serta kehormatan. 5 Namun tempat pelaksanaan pada beberapa daerah
lain biasanya ada juga yang terpusat pada satu tempat seperti balai desa maupun masjid
setempat.6 Di tempat-tempat itulah para warga berkumpul sesedangkan ketupat yang mereka
bawa didalam sebuah baskom dibacakan doa oleh ustadz desa setempat. Setelah itu antar
warga saling bertukar ketupat dengan tujuan dapat merasakan masakan satu sama lain serta
menjalin silaturrahmi.7
Menurut Clifford Geertz dalam bukunya mengatakan bahwa kupatan adalah sebuah ritual
bersedekah dimana penerapannya dilaksanakan pada bulan Syawal dan hanya dilakukan bagi
yang mempunyai bayi/anak kecil yang sudah meninggal. Sedangkan yang melangsungkan
sedekahan tersebut meliputi hampir semua orang berumur di Jawa, meskipun faktanya tidak
sering diadakan.8
Sedangkan di Gorontalo, terdapat suatu perkampungan Jawa Tondano yang juga
melaksanakan ‘hari raya ketupat’ -begitu penyebutan yang mereka gunakan- guna
mengungkapkan rasa syukur sebab telah mentelesaikan 1 bulan puasa Ramadhan dan 6 hari
puasa Syawwal. Sama dengan masyarakat Jawa pada umumnya, tradisi tersebut dilaksanakan
tepatnya pada hari ketujuh di bulan Syawwal, mulai pukul 08.00 hinggal 11.00 WIB.9
Di daerah lain juga ditemukan bentuk pelaksanaan tradisi kupatan yang berbeda. Ada
yang memulai sejak malam harinya sebelum 1 syawwal. Ada pula yang malam harinya berziarah
4
Ibid hal 99-100.
5
Hamidulloh Ibda. Membangun Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu. YAPTINU Temanggung: 2021.
6
Pendidikan, Indonesia, and Brawijaya.
7
Erna Novia Dwi Safitri, ‘Menanamkan Nilai Kearifan Lokal Melalui Tradisi Kupatan Dalam Pembelajaran IPS’,
Journal Harmony, 2023, 53–57.
8
Rizki Dwi Septian, ‘Analisis Nilai Kerukunan Dalam Tradisi Kupatan Pada Masyarakat Islam Di Pesisir Desa
Sedayulawas , Lamongan’, 4.2 (2023), 321–36.
9
Muh Arif and Melki Yandi Lasantu, ‘Madani Madani’, Madani, 1.2 (2019), 144–59.

8
terlebih dahulu ke makam leluhur kemudian pada pagi hari merayakan tradisi kupatan dengan
serangkaian acara lain seperti arak-arakan dan pertunjukan drama untuk memeriahkan
pelaksanaan. Prosesi arak-arakan tersebut yakni membawa gunungan-gunungan ketupat yang
pada malam harinya sudah disusun dan di hias oleh masyarakat lalu diarak dari satu tempat
menuju tempat lain. Setelah pertunjukan drama selesai, gunungan ketupat tersebut didoakan oleh
pemuka agama kemudian diperebutkan oleh masyarakat setempat yang menginginkan
keberkahan dari gunungan ketupat tersebut.10
Tempat pelaksanaannya pun ada yang beragam menyesuaikan tempat-tempat yang
dahulunya pernah digunakan para leluhur tokoh agama setempat untuk menimba ilmu secara
natural. Hal ini dimaksudkan agar mendapat keberkahan melalui tempat-tempat tersebut. 11

B. Nilai Filosofis Ketupat


Dari sisi bahasa, kupatan yang berasal dari kata ketupat atau kupat dalam Bahasa Arab
adalah bentuk jamak dari kafi, yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan. Sedangkan dalam
istilah Jawa yaitu pertama, merupakan singkatan dari ‘Ngaku Lepat’, artinya ngaku atau
mengakui kesalahan. Ngaku lepat ini ditandai dengan adanya tradisi sungkeman, yaitu berlutut di
hadapan kedua orang tua sembari meminta permohonan maaf atas kesalahan yang pernah
dilakukan. Perilaku tersebut sudah lazim menjadi kebiasaan atau tradisi saat hari pertama di
bulan Syawwal atau Idulfitri.
Kedua, ‘Laku Papat’ yang berarti empat tindakan, yaitu Lebaran, luberan, leburan dan
laburan. Lebaran maksudnya adalah sudah usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Luberan;
meluber/melimpah menandakan anjuran untuk bersedekah dengan mengeluarkan zakat Fitrah.
Leburan; lebur/sudah habis, maksudnya dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap
muslim saling memaafkan satu sama lain. yang terakhir adalah Laburan; labur (kapur yang
digunakan untuk menjernihkan air maupun pemutih dinding), maksudnya agar umat Islam
senantiasa menjaga kesucian lahir dan batinnya.12
Ketupat yang telah dibelah menjadi dua bagian sehingga terlihat sisi/bagian dalamnya
yang putih dari warna beras, diibaratkan seperti hati yang ketika hati tersebut tampak maka akan
terlihat kebersihan dan kesuciannya selepas memohon maaf atas kesalahan yang pernah
diperbuat kepada orang lain. Lalu momentum pembuatan dan makan ketupat yang dilakukan
10
Rizky Subagia, ‘Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran’, Skripsi, 2019, 1–68.
11
Ibid, Subagia. Hal-41
12
Arif and Lasantu.

9
pada hari raya Idul Fitri menandakan suatu kemenangan, kesempurnaan juga sebagai wujud
pengaktualan rasa syukur bagi umat muslim yang telah melaksanakan puasa penuh selama satu
bulan dan dilengkapi dengan melaksanakan puasa sunnah syawal 6 hari sebagai bentuk
pelaksanaan sunnah Rasul.
Kemudian daun kelapa atau biasa disebut dengan janur yang digunakan dalam kupatan
mempunyai filosofi yaitu jatining nur atau hati nurani. Kata janur bermula dari kata ja’a nur
yang dalam bahasa Arab berarti telah datang atau turun cahaya terang. Hal tersebut mempunyai
makna filosofis yaitu manusia selalu mengharapkan turunnya cahaya dari Allah SWT yang Maha
memberi petunjuk.13
Sedangkan bentuk persegi pada ketupat melambangkan perwujudan rukun Islam yang ke-
empat, yaitu puasa. Segi empat pada ketupat juga mencerminkan prinsip ‘kiblat papat lima
pancer’ yang artinya kemanapun manusia menuju, pasti selalu kembali pada Allah SWT. Prinsip
tersebut juga bermakna empat macam nafsu manusia yaitu nafsu amarah, lapar, nafsu memiliki
suatu yang indah dan nafsu memaksa diri. Dengan memakan ketupat maka seorang muslim
disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut.14
Selain itu dibalik pemilihan ketupat sebagai simbol Idul Fitri terdapat filosofinya
tersendiri, antara lain padatnya beras yang ada didalam ketupat menandakan kebulatan tekad
manusia ketika ingin mencapai sesuatu. Kemudian saat membelah ketupat maka anyaman daun
kelapa muda pun ikut terbelah/terbuka, hal ini menyiratkan pesan agar masyarakat didalam satu
suku yang mempunyai kesamaan tradisi senantiasa memiliki sikap terbuka satu sama lain
sehingga tetap menjadi satu kesatuan. Selain itu ketupat akan terasa kurang sempurna kecuali
dihidangkan berbarengan dengan makanan pelengkapnya seperti sayur krecek dan opor ayam,
hal ini diibaratkan seperti seorang pemimpin dengan rakyatnya yang tidak mempercayainya
maka kepemimpinannya akan terasa hambar sebagaimana ketupat tanpa ‘kerabat’nya.15
Sayur krecek dan opor ayam dibuat dengan santan yang memiliki kuah kental. Dalam
bahasa Jawa, santen memiliki makna pangapunten yang berarti maaf. Itulah mengapa kedua
hidangan tersebut selalu disandingkan dengan ketupat karena memang menjadi sebuah kesatuan
yang diyakini sebagai simbol permintaan maaf di hari yang suci.16
13
citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json"Septian.
14
Arif and Lasantu.
15
Dr. Asep Salahudin. Sufisme Sunda. Nuansa Cendikia: Maret, 2023. hal-329.
16
Winda Oktavia Ningrum and Wiwid Adiyanto, ‘Memahami Interaksi Tradisi Kupatan Pada Hari Raya Islam Di
Desa Banjeng’, Jurnal Komunika Islamika : Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Kajian Islam, 9.2 (2023), 66

10
C. Hikmah dari Tradisi Kupatan
Tradisi kupatan diyakini sebagai salah satu simbol sosial juga hubungan timbal balik
karena adanya tradisi ini masyarakat saling memberi dan menerima sajian ketupat dari rumah ke
rumah. Hubungan tersebut terkait dengan kebiasan saling memberi ketupat. Kegiatan ini
menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lainnya dikarenakan
adanya interaksi sehingga menghasilkan sikap solidaritas.17
Tradisi kupatan menjadi bentuk respon masyarakat setempat terhadap hadist-hadist Nabi
Muhammad SAW yang berkaitan dengan interaksi antar sesama umat muslim sehingga tujuan
dari diadakannya tradisi ini ialah untuk mempererat serta menjaga tali silaturahmi, seakan-akan
semuanya seperti kembali ‘lahir’ dan saling berbagi kebahagiaan di hari suci kepada masyarakat
sekitar.
Dengan budaya kupatan yang terlaksana satu tahun sekali ini dapat menyadarkan kita
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT agar mengakui kesalahan masing-masing untuk kemudian
saling memaafkan satu sama lain. Selain itu jika memaknai dari penggunan ketupat sebagai
simbol hari raya dan perantara permintaan maaf maka secara tidak langsung membuat
masyarakat yang biasanya enggan, gengsi maupun tidak memiliki kepercayaan terhadap tetangga
sekitar maka akan menjadi rukun, saling berinteraksi, juga mempererat solidaritas antar
tetangga.18
Tradisi ini juga berdampak pada kebersamaan warga dalam rangka gotong royong
menyiapkan acara kupatan. Dari persiapan hingga pelaksanaannya di lapangan semua kalangan,
bahkan anak-anak turut andil. Kemudian tradisi ini merupakan sarana bersedekah berdasarkan
prakteknya, yaitu ketika seluruh rumah yang ada membuka selebar-lebarnya pintunya guna
mempersilahkan siapapun singgah berkunjung menikmati sajian ketupat. Sehingga jika tamu
yang berkunjung semakin banyak hal tersebut justru meyakinkan mereka bahwa akan semakin
banyak berkah yang didapatkan.19
Disisi lain tradisi kupatan dengan bentuk pelaksanaan open house pun menjadi sarana
memuliakan tamu bagi para tuan rumah. Dengan kata lain, tradisi ini mendorong masyarakat
untuk lebih mengedepankan prinsip kearifan lokal, tidak hanya menunjukkan orientasi agama

<https://doi.org/10.37064/jki.v9i2.14605>.
17
Hamidulloh Ibda. Ibid hal-99.
18
Pendidikan, Indonesia, and Brawijaya.
19
Ibid, Subagia. Hal 51-52

11
namun orientasi sosial juga diperlukan. Sebagaimana terjadi dalam pengaplikasian tradisi lokal
masyarakat khususnya Jawa yang tradisi mauun budayanya mengalami akulturasi dengan budaya
Islam.20

20
Ibid, Subagia. Hal 57-58

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketupat merupakan makanan yang identik dengan perayaan Idul Fitri atau juga biasa
disebut dengan lebaran. Ketupat termasuk dalam jenis makanan tradisional dalam kebudayaan
Jawa dikarenakan penyajiannya ketika memasuki lebaran ke-7 atau hari ketujuh di bulan
Syawwal selalu dilakukan dan turun temurun hingga saat ini. Hal ini menunjukkan adanya
kesepakatan -walaupun tidak dibuktikan secara tertulis- dalam masyarakat tertentu untuk
menjadikannya makanan khas dalam ritual tradisi yang dinamakan dengan tradisi kupatan.
Bukan sembarang makanan, ketupat ini bagi masyarakat Jawa khususnya, memiliki
beberapa makna yang diyakini sebagai keberkahan. Mulai dari beras/nasi putih yang menjadi
isiannya, daun kelapa muda yang masih berwarna hijau kekuningan, hingga anyaman daun yang
lumayan rumit serta bentuk ketupat yang persegi empat/diagonal.
Masyarakat Jawa dahulu selalu menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menentukan
segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap bahwasannya sebuah simbol
memiliki makna kesakralan atau keberkahan tertentu. Maka dari itu Walisongo memanfaatkan
pemikiran tersebut dengan menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning
untuk membuat ketupat.

B. Saran
Dengan kerendahan hati, penulis merasakan tulisan ini sangat sederhana dan jauh dari
sempurna. Saran dan kritik yang konstruktif sangat diperlukan demi kesempurnaan tulisan
ini. Demikian pula, perlu penyempurnaan di sana-sini agar tulisan ini menjadi lebih lengkap
dan lebih bermanfaat bagi pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Wildan Rijal, ‘Kupatan, Tradisi Untuk Melestarikan Ajaran Bersedekah, Memperkuat
Tali Silaturahmi, Dan Memuliakan Tamu’, Al-A’raf : Jurnal Pemikiran Islam Dan Filsafat,
14.2 (2017), 267 <https://doi.org/10.22515/ajpif.v14i2.893>
Hamidulloh Ibda. Membangun Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu. YAPTINU Temanggung:
2021.
Arif, Muh, and Melki Yandi Lasantu, ‘Madani Madani’, Madani, 1.2 (2019), 144–59
Ningrum, Winda Oktavia, and Wiwid Adiyanto, ‘Memahami Interaksi Tradisi Kupatan Pada
Hari Raya Islam Di Desa Banjeng’, Jurnal Komunika Islamika : Jurnal Ilmu Komunikasi
Dan Kajian Islam, 9.2 (2023), 66 <https://doi.org/10.37064/jki.v9i2.14605>
Pendidikan, Departemen, Sastra Indonesia, and Universitas Brawijaya, ‘Bentuk Pelaksanaan ,
Makna Simbolik Dan Nilai Filosofi Pada Tradisi Kupatan Masyarakat Kabupaten
Tulungagung’, 05.01 (2023), 33–41
Safitri, Erna Novia Dwi, ‘Menanamkan Nilai Kearifan Lokal Melalui Tradisi Kupatan Dalam
Pembelajaran IPS’, Journal Harmony, 2023, 53–57
<http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/harmony>
Salahudin, Asep. Sufisme Sunda. Nuansa Cendikia: Maret, 2023. hal-329.
Septian, Rizki Dwi, ‘Analisis Nilai Kerukunan Dalam Tradisi Kupatan Pada Masyarakat Islam
Di Pesisir Desa Sedayulawas , Lamongan’, 4.2 (2023), 321–36
Subagia, Rizky, ‘Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran’,
Skripsi, 2019, 1–68

14

Anda mungkin juga menyukai