Di Susun Oleh :
NARFIN E1B118037
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
karena berkat dan anugerah dari-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak La ode Amrul Hasan,
ST., M.Pw., Bapak Sachrul Ramadan, ST., MT., Bapak La Ode Abdul Syukur,
ST., M.Sc., selaku dosen mata kuliah Studi Kuliah Lapangan (SKL) yang telah
membimbing dan mendidik kami sehingga dapat menyelesaikan laporan ini ,
Pihak Tour yang telah berperan aktif memperlancar kegiatan Study
Kuliah Lapangan, dan Seluruh teman-teman peserta kegiatan Studi Kuliah
Lapangan yang telah bekerja sama dalam kegiatan.
Adapun laporan ini ialah tentang hasil kegiatan penelitian rumah Sapo
Tada di Kaledupa Kelurahan Lewuto, yang merupakan pemenuhan dari tugas
Mata Kuliah Studi Kuliah Lapangan, yang mana diharapkan dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pemahaman mengenai objek-objek menarik
dalam segi arsitekturalnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................3
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.....................................3
D. Ruang Lingkup Penelitian..............................................................4
E. Sistematika Penulisan ...................................................................5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................76
DAFTAR GAMBAR
A. Latar Belakang
A. Arsitektur Tradisional
Arsitektur tradisional pada umumnya dibangun oleh masyarakat
agraris yang lebih maju dibandingkan masyarakat primitif. Arsitektur
tradisional dibentuk oleh tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Arsitektur tradisional dibangun atas dasar intuisi, naluri dan kebiasaan yang
diwariskan turun-temurun dalam suatu kelompok masyarakat dari waktu ke
waktu. Adapun tradisi terbentuk oleh ikatan atau hubungan sosial pada suatu
tempat tertentu dalam waktu yang lama. Oleh karena itu konsep, pola
pemikiran atau budaya berpikirnya adalah abstrak, mendasarkan pada hal- hal
yang bersifat ritual, spiritual, magis dan religius. Ciri lain dari arsitektur
tradisional adalah tidak mendasarkan diri pada teori-teori dan ilmu
pengetahuan. Bahan dan proses pembangunan (konstruksi) langsung diambil
dari alam, diolah secara sederhana, tanpa melibatkan banyak pihak
(Sumardiyanto, 2012).
Rumah tradisional merupakan suatu bangunan dengan struktur, cara
pembuatan, bentuk dan fungsi serta ragam hias yang memilki ciri khas
tersendiri, diwariskan secara turun – temurun dan dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan kehidupan oleh penduduk sekitarnya Rumah tradisional
dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa penduduk yang dahulu tanpa
atau sedikit sekali mengalami perubahan-perubahan sehingga rumah
tradisional terbentuk berdasarkan tradisi yang ada pada masyarakat. Rumah
tradisional juga disebut rumah adat atau rumah asli atau rumah rakyat (Said,
2004: 47-48).
Menurut Wiranto (1997) banyak rumah-rumah tradisonal dibangun
dengan kolong, baik yang didirikan didarat maupun diatas air, dimana
Indonesia memiliki kekayaan rumah panggung yang tersebar dibeberapa
provinsi. Rumah panggung secara sederhana merupakan bangunan berkaki
dengan dasar bangunan diangkat ke atas, sehingga tidak menyentuh tanah atau
memiliki kolong di bawah lantai. Jarak lantai bangunan dari tanah bervariasi
antara satu sampai dua meter. Rumah konsep panggung yang dibangun di atas
sungai atau tepi laut terlihat seperti berdiri di atas permukaan air dan sering
juga disebut rumah apung. Hampir semua bentuk rumah tradisional dirancang
berbentuk rumah panggung, karena factor keamanan, selain itu karena karena
kepercayaan bahwa semua rumah hendaknya memiliki dasar, memiliki kaki
sebagai pondasi yang biasanya tinggi.
Rumah tradisional memiliki karakter yang spesifik meliputi desain
yang menyesuaikan iklim, adanya ornamen-ornamen tradisional, dan juga
menggunakan material lokal (Budihardjo, 1996- :5-8).
1) Menyesuaikan Iklim
Iklim merupakan faktor yang tidak berubah (relatif) yang mana untuk
Negara Indonesia beriklim Tropis panas dan dingin. Ciri yang berkaitan
dengan iklim panas misalnya atap yang mempunyai lonjongan (verhang)
yang panjang dan mempunyai sudut yang tidak terlalu landai
2) Menggunakan Ornamen-ornamen Tradisional
Indonesia merupakan Negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan,
sehingga penggunaan ornamen-ornamen tradisional pada rumah
memberikan identitas masing-masing kebudayaan. Suatu ornamen kadang-
kadang mempunyai makna simbolik yang sangat dalam yang tidak mudah
dijelaskan dalam satu dua kata.
3) Menggunakan Material Lokal
Hal ini di karenakan material lokal ekonomis dan mudah untuk didapatkan
Seperti kayu, bambu, rotan dan lain sebagainya.
B. Sejarah Barata Kaledupa
Asal usul masyarakat adat di Barata Kahedupa saat ini dapat ditelusuri
dari orang-orang yang bermukim dibukit yang disebut Tapa’a Tombulu Ruha
disebuah pulau diujung Tenggara Sulawesi. Para laki-lakinya mencari makan
dengan mencari ikan menggunakan bala futu. Gasa, foku, kansada, balalumu,
kulu-kulu, kasandu, polo, dan sebagainya. Adapun perempuan adatnya
mencari teripang, dan kerang di area pesisir. Dituturkan bahwa sekitar 4000
tahun sebelum masehi, masyarakat adat di Tapa’a Tombuluraha Kahedupa
memiliki pemimpin bernama Sangia La Pakoangi dan Ratu Wa Ruha. Saat itu,
mereka mempercayai roh leluhur dan roh-roh di alam dengan menjadikan
beberapa lokasi sebagai tempat keramat atau Sangia.
Sekitar tahun 568 Masehi atau 7 Hijriah, dituturkan bahwa ada
penyebar Islam dari timur tengah yang tiba di pantai yang saat ini disebut
Buranga Kahedupa yang bernama Abdul Gafur dan Abdul Syukur. Mereka
berdua datang untuk mencari wilayah yang kelak dapat menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Pada saat melakukan penelusuran, dituturkan bahwa
kedua tokoh itu mendengar suara dari bawah tanah yang berbunyi
“kahedupa”. Kahedupa secara harfiah yaitu “Ka: Ka’ana Aku, He: Heppule,
Du: Duka, dan Pa: Paleama Aku” dapat dimaknai “Ini aku yang baik, dan
pada masanya akan menjadi baik kembali”. Sejak itu, nama kahedupa dipakai
untuk menyebut wilayah pulau itu serta orang-orang yang bermukim di
dalamnya.Sejak itu pula, Masyarakat Adat di Tapa’a Tombuluruha Kahedupa
mengenal ajaran Islam secara damai.
Pada tahun 1216 Masehi atau sekitar tahun 637 Hijriah dikenal sebagai
zaman Sara-sara Fungka atau zaman pemerintahan lokal. Pada masa itu,
datanglah beberapa wali sakti dari timur tengah menjadi penguasa atau
henangkara sara-sara fungka di Pulau Kaledupa. Mereka adalah ; Al-Rahman
yang dikenal dengan nama La Rahamani yang menguasai di Patua Bente
Togo Kahedupa Tonga atau Kahedupa bagian Tengah, Al-Ta’yun yang
dikenal dengan nama La Ta’yoni yang menguasai di Horuo Loalua Kahedupa
Siofa atau Kahedupa bagian Barat dan Al-Surullah yang dikenal dengan nama
La Sirilawa yang menguasai di Pale Pangilia Kahedupa Umbosa atau
Kahedupa bagian Timur.
Pada masa itu, terjadi perpindahan beberapa kali perpindahan
pemukiman dari Tapa’a menuju Fungka Masigi. Dari Fungka Masigi
kemudian berpindah ke Patua, lalu ke Horuo, kemudian ke Pangilia.
Pemukiman kemudian disebar dalam bentuk benteng dan kota. Seiring
perkembangan zaman, terjadi interaksi antara masyarakat adat di Pulau
Kaledupa dengan masyarakat di pulau sekitarnya yaitu Pulau Wanci, Pulau
Tomia, dan Pulau Binongko. Mereka bertukar komoditas sesuai karakteristik
masing-masing pulau. Pulau Kahedupa yang paling subur memiliki hasil
kebun/hutan yang melimpah ditukar dengan kerajinan gerabah dari Pulau
Wanci, kerajinan besi dari Pulau Binongko, dan ternak dari Pulau Tomia.
Dituturkan bahwa pada tahun 1260 Masehi atau 681 Hijriyah
datanglah Muhamad Umar Muhdar dari Persia yang dikenal juga dengan
sebutan Jubah Hatomia. Ia datang membawa Tombi Panga yaitu bendera
perjuangan dan bendera perdamaian Islam. Ia kemudian menikah dengan
Bahniy yang juga dikenal sebagai Wa Baebaengu yaitu putri dari La
Rahamani. Pasca pernikahannya, Muhamad Umar Muhdar membentuk sistem
pemerintahan Sara-sara Kahedupa yang berbentuk Kerajaan Islam Kahedupa
yang berpusat di Keraton Palea. Ia juga mendirikan masjid pertama di Keraton
Palea tersebut dan Menyusun undang-undang Gau Satoto (Bicara Lurus)
dengan falsafah Tara (Tangguh), Turu (Sabar), Toro (Teguh) yaitu, “menurut-
tunduk”, dan “tidak berubah-ubah/istiqomah”. Ia kemudian diangkat menjadi
Raja atau Henangkara Kahedupa dengan nama Muhammad Ndangi Tongka
Allamu yang kemudian mengadakan Pesta Karia dan Khitanan masal untuk
pertama kalinya. Ia juga menunjuk La Rahamani dan LaTa’yoni sebagai
penasehat kerajaan, serta La Sirilawa sebagai Pangilia atau Panglima Kerajaan
Kahedupa pertama. Ia juga memindahkan pemukiman ke pesisir secara
bertahap. Pada masa Tongka Allamu, dikenalkan Ragi yaitu sarung tenun
berbeda warna dan motif sebagai identitas dari masing-masing rumpun
keluarga berdasar kelas sosialnya antara Falaka (yang ditokohkan), Kaomu
(bangsawan), dan papara (masyarakat biasa).
Dituturkan bahwa pada tahun 1359 Masehi atau 780 Hijriyah,
datanglah rombongan besar dari China Tar-tar yang dipimpin oleh Laksamana
Chonha yang diyakini adalah putra Kubilaikhan. Ia dikenal di kahedupa
dengan nama La Donda dan istrinya yang bernama Khunfi dikenal sebagai Wa
Rumpi. La Donda tiba di pesisir (Saru-saru Pantai La Donda saat ini) pada
zaman pemerintahan Raja Kahedupa ke-2 yang bernama Muhammad Syamsa
Allamu. Pada kunjungan itu, terbentuklah tarian yang mengiringi nyanyian
syair Lariangi yang 49 yang ditarikan oleh perempuan- perempuan berambut
Panjang. Tarian yang kemudian disebut Tarian Lariangi itu kemudian dipakai
pihak Kamali (Istana) Kahedupa di Palea untuk menyambut tamu-tamu
kerajaan hingga kini. Diceritakan saat itu, terjadi pernikahan antara putri La
Donda yang bernama Wa Eka dengan Muhamad Kapala Wari Allamu, putra
dari raja kahedupa kedua. Muhamad Kapala Wari Allamu dan Wa Eka
kemudian menjadi pemimpin Kerajaan Kahedupa yang selanjutnya.
Pada tahun 1437 Masehi atau 858 Hijriyah datanglah penyebar Islam
lainnya ke Kahedupa yang kemudian menikah dengan putri Raja Kahedupa
ke-6. Ia kemudian diangkat menjadi Raja Kahedupa Ke-7. Pada masanya, ia
berkeliling ke luar pulau menyebarkan agama Islam. Ia juga mendirikan
Masjid Agung Ahmadi di Bente Togo Kahedupa yang kemudian direnovasi
Kembali pada tahun 1540 Masehi oleh Raja Kahedupa Ke-7 bernama La
Bhongi.
Pada masa Raja Kahedupa Ke-10 La Molingi, terjadi pernikahan
antara Wa Sulutani Putrinya dengan putra La Ode Kasawari bernama La Ode
Bengali yang merupakan keponakan dari Sultan Buton ke-6 Gawarul Wa dudu
(La Buke). Pada saat la Ode Malingi mangkat, ia digantikan oleh La Kawasari
sebagai raja Kahedupa Ke-11. Pada saat itu, kesultanan Buton mendapat
ancaman dari kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate dan VOC. Hal inilah yang
mendorong La ode Kasawari, La Buke dan Sapati Baluwu membuat
kesepakatan untuk menyatukan Kerajaan Kahedupa sebagai aliansi
Kesultanan Buton dalam mempertahankan teritorinya. Kesultanan Buton
kemudian menggagas penyatuan beberapa kerajaan untuk menjadi bagian dari
Kesultanan Buton yaitu Kahedupa, Muna, Kolinsusu, dan Tiworo untuk
meningkatkan keamanan dan pertahanan wilayah secara bersama-sama.
Konsep kerajaan kahedupa kemudian berubah sebutan menjadi “Barata” untuk
keempat wilayah tersebut yang dipimpin oleh seorang Lakina. Sehingga Raja
Kahedupa Ke-11 yaitu La kasawari menjadi Lakina Barata Kahedupa
Pertama.
Barata Kahedupa kemudian memiliki cakupan wilayah dari Pulau
Wanci, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Pada saat itu juga
diatur pembagian dan pengadministrasian wilayah adat di masing- masing
pulau menjadi beberapa Kadie dengan pemimpinnya disebut Miantu’u dan
Limbo dengan pemimpinnya disebu Bonto. Barata Kahedupa yang dipimpin
oleh Lakina pertama bernama La Ode Asiwadi memiliki 19 sub wilayah di
bawahnya yaitu 2 Kadie dan 7 Limbo di Pulau Kaledupa, 2 Kadie dan 2
Limbo di Pulau Wanci, 1 Kadie dan 2 Limbo masing-masing di Pulau
Binongko dan Pulau Tomia. Pada masa itu, dituturkan bahwa pasukan dari
Barata Kahedupa membantu peperangan pada saat Barata Muna diserang oleh
Kerajaan Goa dan saat Barata Kolensusu diserang oleh Kerajaan Ternate.
Pada sekitar tahun 1799 Masehi, wilayah Barata Kahedupa kedatangan
orang-orang Suku Bajo yang melaut di sekitar Pulau Kaledupa. Mereka
diberikan izin untuk mencari makan di wilayah Barata Kahedupa dan
membentuk pemukiman di sebelah barat pulau yaitu Mantigola. Seiring
berjalannya waktu, terbentuk lagi 2 pemukiman Suku Bajo di Pulau Kaledupa
yang tersebar di Sampela di sebelah utara dan Lohoa di sebelah timur pulau.
Pada tahun 1911 pada masa pengaruh VOC Belanda, wilayah Barata
Kahedupa yang saat itu dipimpin oleh Lakina Ke-17 diubah secara
administratif menjadi Distrik. Ia kemudian diangkat sebagai Kepala Distrik
dan memimpin wilayah dari Pulau Wanci hingga Pulau Binongko. Pada masa
itu, ada utusan Belanda yang menjabat sebagai asisten pemerintahan Distrik.
Dituturkan bahwa ada salah satu asisten distrik bernama Tumbuang yang
dibunuh karena melakukan pelecehan kepada perempuan kahedupa dan
terlalu mengintervensi urusan internal Masyarakat Adat. Oleh karena
peristiwa itu, asisten distrik penggantinya berkantor di Pulau Wanci sementara
Pusat Pemerintahan Distrik berada di Pulau Kaledupa.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960 Masehi, dibentuklah
empat daerah otonom tingkat II. Pada saat itu, wilayah Barata Kahedupa
masuk menjadi 2 kecamatan dari Kabupaten Buton yaitu Kecamatan Wandupa
(Wangi-wangi dan Kaledupa) yang berkedudukan Buranga Kaledupa dan
Kecamatan Tombino (Tomia dan Binongko) yang berkedudukan di Usuku
Tomia. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Barata Kahedupa berada di luar
konteks negara. Empat tahun kemudian dua kecamatan itu mekar menjadi
empat yaitu Kecamatan Wangi-wangi, Kecamatan Kaledupa, Kecamatan
Tomia, dan Kecamatan Binongko. Pada saat itu, menurut hasil diskusi Dewan
Desa, diputuskan wilayah Ambeua yang menjadi pusat pemerintahan
Kecamatan Kaledupa. Pada tahun 1996 masuklah kebijakan menjadikan
Kaledupa sebagai Taman Nasional. Pada tahun 2003 Masehi, terbentuk
Kabupaten Wakatobi yang berpusat di Pulau Wangi-wangi. Pada tanggal 7
Agustus 2014 Masehi atau 1435 Hijriyah Pemerintah Kabupaten Wakatobi
membuat Lembaga Adat Barata Kahedupa menegaskan posisinya adalah
sebagai Mitra Pemerintah dalam Pelestarian Budaya, Adat Istiadat, Agama,
dan Sejarah. Pasca pelantikan Lakina Ke-24 pada tahun 2016, sistem
pemerintahan adat di Barata Kahedupa dihidupkan kembali.
C. Arsitektur Tradisional Sapo Tada Kaledupa
Wujud kemajuan budaya atau adat istiadat suatu daerah salah satunya
direpresentasikan oleh bangunan sebagai wadah aktifitas dalam kehidupan.
Filosofi bentuk bangunan dan tatanan ruang lahir dari pemaknaan perjalanan
kehidupan yang diyakini membawah kebaikan kehidupan individu dan
masyarakat. Berbagai situs rumah tradisional di Indonesia memberikan
gambaran dan ilustrasi keramahan adat dan istiadat suku bangsa di negeri ini.
Meskipun arsitektur rumah tradisional berbagai daerah di Indonesia memiliki
bentuk yang berbeda tapi hakikatnya memiliki kesamaan dalam pembentukan
ruang dan tatanan yang lahir dari kebiasaan masing-masing daerah. Meskipun
demikian ekspresi budayayang memiliki kesamaan dalam kehidupan adalah
sikap tenggang rasa, belas kasih, kekeluargaan,dan kegotongroyongan yang
diwujudkan dalam bangunan sebagai filosofi kehidupan.
Salah satu daerah yang masih memiliki adat istiadat yang masih
terpelihara hingga saat ini adalah jazirah peninggalan Kesultanan Buton yang
tersebar keberbadai wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai mana
halnya kesultanan-kesultaan di Nusantara, Keaultanan buton merupakan
bentuk tatanan kehidupan dimana aturan kehidupan masyarakatnya diatur
berdasarkan syariat islam. Peradaban islam menjadi kebiasaan serta adat
istiadat jazirah Kesultanan Buton. Sebagai bagian dari peninggalan
Kesultanan Buton, masyarakat Kaledupa di Kabupaten Wakatobi memiliki ciri
masyarakat yang ramah, tolong menolong, kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk menaungi berbagai aktifitas kehidupan masyarakat yang masih
memegang erat kebiasaan dan adat istiadat, Sapo Tada merupakan wujud dari
tatanan tersebut.
Sapo Tada merupakan bangunan kontruksi kayu berbentuk panggung
yang telah dihuni masyarakat Kaledupa sejak turun temurun. Wujud dan
ekspresi kebiasaan serta adat istiadat masyarakat Kaledupa terwadahi dalam
bangunan Sapo Tada sebagai rumah panggung yang memiliki fungsi yang
dapat memenuhi aktivitas masyarakat yang kental dengan adat istiadatnya.
Sapo Tada terdiri dari Teras (Galmpa), ruang tamu (Lala), ruang
keluarga (Temba), ruang tidur (Tonga nu Sapo/ Temoturua), dan dapur
(Singku) serta kolong rumah (Kapeo). Ruang-ruang terbentuk sebagai wadah
pemenuhan kebutuhan aktifitas namun memiliki filosofi serta pemenuhan
unsur budaya masyarakat.(La Ode Amrul Hasan)
Adapun bagian-bagian dari Arsitektur tradisional Sapo Tada
Kahedupa yaitu:
1) Tiang (Tuko)
Tiang/ Tuko umumnya terdiri dari 12 tiang, yang berfungsi sebagai badan
rumah (karama). Jenis kayu yang digunakan sebagai tiang (tuko) adalah
kayu kualitas terbaik, misalnya kayu bayam/toha, kayu biti/kayu putih
(kahu mahute). Tiang/tuko yang digunakan biasanya berukuran 8/12.
2) Tiang Utama (Tuko Belai)
Tuko belai Adalah tiang yang pertama kali berdiri dan dijadikan sebagai
tiang utama dalam Sapo Tada. Dalam pemilihan Tuko Belai ini diperlukan
ritual khusus yang ditentukan oleh Pande uhu (orang yang akan
menentukan tiang utama). Kemudian kayu yang telah terpilih sebagai tiang
utama (tuko belai) biasanya Masyarakat memiliki tradisi melakukan
pelubangan pada kayu lalu dimasukan emas dan alas berupa kain kafan
putih, dimana menurut kepercayaan orang-orang setempat hal tersebut
dilakukan agar penghuni rumah dapat terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan.
3) Penyangga (Konta)
Konta Adalah kayu dengan ukuran 4/15 yang berfungsi sebagai penyangga
yang menopang gelagar rumah. Dalam penggunaannya, penyangga
(Konta) harus berjumlah ganjil.
4) Pondasi (Sandi)
5) Sandi termasuk struktur bawah yang ada pada Sapo Tada. Sandi ini
berfungsi sebagai penopang karama (badan rumah) yang letaknya berada
pada bagian bawah tuko (tiang).
6) Badan rumah (Karama)
Badan rumah (karama) pada arsitektur sapo tada terdiri dari teras
(Galampa), ruang tamu (Lala), ruang keluarga (Temba), ruang tidur
(Tonga nu Sapo / Temoturua), dan dapur (Singku).
7) Gelagar (Galaga)
Galaga adalah bagian srtuktur pada rumah yang berfungsi mendukung
semua beban yang bekerja pada lantai rumah.
8) Balok pengunci (Tumbu Tada)
Tumbu tada adalah bagian struktur rumah yang berfungsi sebagai pengikat
atau pengunci pada tiang agar tidak goyang atau bergeser.
9) Bantalan kuda-kuda (Tananda)
Tananda adalah bagian kontruksi atap yang diletakan diatas kaki kuda-
kuda yang berfungsi untuk menahan serta menopang beban dari atap.
10) Tiang raja (Busuka)
Busura adalah bagian struktur atas yang berfungsi untuk pengikat kaki
kuda-kuda sehingga membentuk segi tiga pada atap.
11) Kaki kuda-kuda (Kasolaki)
Kasolaki adalah bagian struktur atas yang berfungsi sebagai tumpuan
balok gording (tananda) dan beban diatasnya.
12) Balok Tarik (Konta Atas )
Konta atas yaitu berfungsi untuk menahan gaya horizontal yang
disebabkan oleh adanya gaya yang bekerja pada kaki.
BAB III
METODE PENILITIAN
1) Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu
data yang di ambil dengan cara obsevasi, data yang di ambil dengan
wawancara dan dokumentasi. Data dengan cara observasi berupa
pengamatan jenis hunian masyarakat berdasarkan tipologi hunian. Dan
data yang di ambil melalui wawancara dengan kuisioner. Wawancara
tersebut bertujuan untuk mengetahui tentang informasi yang berkaitan
dengan tipologi arsitektur tradisional Sapo Tada pada hunian dusun
Karisonta kelurahan Lewuto kecamatan Kaledupa kabupaten Wakatobi,
tak lupa semua hal tersebut di dokumentasikan.
2) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa peta batas-batas
wilayah kelurahan Lewuto kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi dan
data pendukung lainnya dari kelurahan terkait penelitian ini.
1. Reduksi data Reduksi data adalah proses analisis data yang dilakukan
untuk mereduksi dan merangkum hasil-hasil penelitian dengan
menitikberatkan pada hal-hal yang dianggap penting oleh peneliti.
Reduksi data bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap
data yang telah terkumpul sehingga data yang direduksi memberikan
gambaran lebih rinci. Jadi pada tahap ini peneliti akan mereduksi data
berdasarkan hasil observasi, wawancara tertutup yakni kuisioner dan
dokumentasi penyajian data dalam bentuk table agar mudah di pilah.
2. Display data Display data adalah data-data hasil penelitian yang sudah
tersusun secara terperinci untuk memberikan gambaran penelitian
secara utuh. Data yang terkumpul secara terperinci dan menyeluruh
selanjutnya dicari pola hubungannya untuk mengambil kesimpulan
yang tepat. Penyajian data selanjutnya disusun dalam bentuk uraian
sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh.
3. Kesimpulan/varifikasi Kesimpulan merupakan tahap akhir dalam
proses penelitian untuk memberikan makna terhadap data yang telah
dianalisis. Proses pengolahan data dimulai dengan penataan data
lapangan (data mentah), kemudian direduksi dalam bentuk unifikasi
dan kategorisasi data. Demikian prosedur pengolahan data dan yang
dilakukan penulis dalam melakukan penelitian ini, dengan tahap-tahap
ini diharapkan peneliti yang dilakukan penulis dapat memperoleh data
yang memenuhi kriteria keabsahan suatu penelitian.
BAB IV
TINJAUAN LOKASI PENELITIAN
2) Luas Wilayah
Luas Kabupaten Wakatobi adalah 19.200 km2, terdiri dari daratan
± 823 km2 (4,3 %), dan perairan/lautan ± 18.377 km2 (95,7 %).
Kabupaten Wakatobi dengan ibukota di Wangi-Wangi terdiri dari 8
(delapan) kecamatan, 25 kelurahan dan 75 desa.. Kecamatan terluas
adalah Kec.Wangi – Wangi dengan luas 2.419,8 km² atau 29,40%
sedangkan yang terkecil adalah Kec.Keledupa dengan luas sebesar
455,0 km² atau 5,53% dari luas wilayah Kabupaten Wakatobi. Kabupaten
Wakatobi memiliki panjang pantai sejauh 198,76 km dengan karakteristik
sebagian besar adalah pantai berpasir membentang dari Semelagi Besar
(Kec. Selakau) hinga Tanjung Datok (Kec. Paloh). Kabupaten Wakatobi
terletak di kepulauan jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan bila ditinjau
dari peta Propinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian
Selatan garis khatulistiwa.
3) Kependudukan
Penduduk merupakan modal dasar pembangunan, seperti yang
tercantum dalam Program Pembangunan Nasional bahwa manusia
Indonesai atau penduduk di sebut modal dasar di samping modal dasar
lainnya, apabila mereka dapat dibina dan dikerahkan secara efektif.
Namun penduduk juga menjadi beban pembangunan apabila tidak
berkualitas, baik kualitas pendidikan, kesehatan mental dan fisik. Oleh
karena itu penduduk yang banyak bukan jaminan bagi tercapainya
keberhasilan pembangunan. Berdasarkan kepadatan penduduk, kecamatan
dengan kepadatan tertinggi pada tahun 2014 adalah Kecamatan Kaledupa
dengan kepadatan pendudukmencapai 236 jiwa/km2 dan yang terendah
adalah Togo-Binongko mencapai 78 jiwa/km2.
4) Klimatologi
Posisinya yang berdekatan dengan garis khatulistiwa menjadikan
Kabupaten Wakatobi beriklim tropis. Menurut klasifikasi Schmidt-
Fergusson iklim di Kepulauan Wakatobi termasuk tipe C, dengan dua
musim yaitu musim kemarau (musim timur: April–Agustus) dan musi
hujan (musim barat: September–April) dengan suhu harian berkisar antara
19 – 34oC. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai
dengan bulan Maret yang ditandai dengan sering terjadi hujan, gelombang
laut cukup besar sehingga nelayan jarang yang melaut. Sementara itu
musim angin timur berlangsung bulan Juni sampai dengan September
yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan
jarang terjadi hujan sehingga nelayan sering melaut. Peralihan musim yang
biasa disebut musim pancaroba (bulan Oktober-November dan bulan
April-Mei) kondisi gelombang laut tidak menentu sangat tergantung
dengan cuaca.
Jumlah curah hujan di Kepulauan Wakatobi juga tidak begitu
tinggi, data 10 tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan terendah
terjadi pada bulan September hanya mencapai 2,5 mm dan curah hujan
tertinggi di bulan Januari mencapai 229,5 mm. Data statistik terkait
kondisi iklim dilakukan melalui pencacatan stasiun pengamatan cuaca di
Kota Kendari. Jumlah hari hujan pada tahun 2007 - 2008 berkisar antara
203-242 hari hujan, dengan curah hujan antara 2.301 – 3.466 mm.
sedangkan suhu udara rata-rata maksimum pada rentang tahun 2004-2008
adalah 32-34oC. Adapun suhu udara rata-rata minimum berkisar pada 20-
21oC. Dalam kurun waktu tahun 2004-2008 kelembaban udara antara 75-
88%. Kecepatan angin rata-rata sebesar 4 m/sec. Sebagai kawasan dengan
karakteristik pantai, tekanan udara rata-rata mencapai 1,009 milibar pada
tahun 2008. Keadaan musim di Kabupaten Wakatobi pada umumnya sama
seperti daerah-daerah lain di Indonesia dimana mempunyai 2 musim yakni
musim penghujan dan musim kemarau.
Musim penghujan tahun 2008 terjadi di antara bulan Desember
sampai dengan bulan April, pada saat tersebut angin Barat yang bertiup
dari Benua Asia dan lautan Pasifik yang mengandung banyak uap air.
Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan September, pada bulan-bulan
tersebut angin Timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering
dan kurang mengandung air.
Khususnya pada bulan April dan Mei di daerah Kabupaten
Wakatobi arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan,
sehingga dikenal dengan musim pancaroba. Curah hujan yang dibawah
normal terjadi di bulan Agustus yaitu di kelurahan Waha Kecamatan
Tomia kurang dari 9 mm dibawah curah hujan normal yaitu 9 – 13 mm,
sedangkan di kelurahan Wanci Kecamatan Wangi-Wangi kurang dari 27
mm dibawah curah hujan normal yaitu 27–37 mm, sedangkan untuk
bulan-bulan selain Agustus curah hujan relatif normal. Sebagai wilayah
yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan, pengaruh musim juga
sangat berpengaruh pada aktivitas masyarakat di Kabupaten Wakatobi.
Tingginya gelombang laut dan ombak yang keras akibat pengaruh
musim Timur dan musim Barat, menjadi hambatan bagi masyarakat.
Puncaknya biasa terjadi pada bulan Juli Agustus. Sehingga, pada bulan-
bulan tersebut biasanya transportasi antarpulau sering mengalami
keterlambatan. Tinggi rendahnya suhu udara pada suatu tempat antara lain
dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat tersebut dari permukaan air
laut. Makin tinggi posisi suatu tempat dari permukaan laut akan semakin
rendah suhu udara dan sebaliknya. Karena wilayah daratan Kabupaten
Wakatobi mempunyai ketinggian umumnya di bawah 1000 meter dari
permukaan laut dan berada di sekitar daerah khatulistiwa, sehingga daerah
ini bersuhu panas.
1) Spatial System
Rumah bapak Kade Arfa ini merupakan rumah yang terletak
dikelurahan Lewuto yang dihuni oleh 1 keluarga terdiri Ayah,Ibu, dan
Anak.
Gambar.5.1 Denah Rumah
Sumber : Hasil Penelitian,2021
Rumah bapak Kade Arfa ini merupakan salah satu rumah yang ada
pada dusun Karisonta, dimana untuk bangunan rumahnya sendiri pada
umumnya sama dengan rumah-rumah yang ada,dengan konfigurasi ruang
yang sama yaitu bagian depan terdapat teras, dilanjutkan pada bagian
dalam dengan ruang tamu, kamar tidur utama serta kamar tidur anak yang
terhubung dengan ruang tengah.
No. Istilah (Bahasa Kaledupa) Terjemahan Fungsi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
Gambar 5.1 : Tabel Istilah
Gambar.5.2. Potongan Memanjang
Sumber : Dokumen Pribadi
Pada potongan melintang dapat dilihat pada area ruang tamu (lala)
dan kamar tidur (kamara) tidak terdapat berbedaan elevasi yang terjadi,
sedangkan hal ini juga dapat dilihat pada potongan melintang kontinuasi
elevasi dari area luar/teras tidak terdapat perbedaan elevasi hingga dapur.
Tatanan spasial pada sampel pertama terdiri atas lima fungsi ruang yaitu:
Galampa (teras),
Lala (ruang tamu)
Lima Kamara (kamar),
Temba(ruang tengah) dan
Singku/Daporo (dapur).
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Gambar.5.6. Rumah 1
Sumber : Dokumen Pribadi
Atap yang digunakan adalah atap pelana dengan penutup atap
asbes untuk menghindari percepatan proses karat karena letak rumah
yang berada dipesisir laut serta penggunaan kuda-kuda kayu (kasolaki).
Terdapat aturan dalam jumlah anak tangga, dimana jumlah Ananu Hosa
(anak tangga) diharuskan untuk berjumlah ganjil.
3) Physical System
Gambar.5.7. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Daun pintu sudah menggunakan engsel jadi sudah tersentuh oleh
bahan pabrikasi.
Pintu dan Jendela
Tata letak bukaan yakni pintu utama pada bagian teras menuju
ruang tamu mempunyai lebar pintu yang berbeda makin menuju ke pintu
menuju dapur, Untuk ukuran jendela berbeda-beda sesuai keinginan
pemilik rumah.
Ragam Hias
Untuk ragam hias pada rumah tidak memiliki bentuk/aturan
tertentu tergantung dari keinginan pemilik rumah,setiap rumah memiliki
ragam hias yang berbeda. Adapun ragam rias yang terdapat pada rumah ini
antara lain, yaitu :
Permainan ragam hias pada rumah ini terdapat pada elemen Kara-
Karai Terasi (pagar teras) diletakan pada bagian eksterior bangunan
dengan ekspose view paling dominan dalam hal ini adalah pada fasad
bangunan.
1) Spatial System
Rumah ini merupakan rumah yang terletak dikelurahan Lewuto
yang dihuni oleh 1 orang yaitu bapak La Kolu.
Gambar.5.11. Denah Rumah
Sumber : Hasil Penelitian,2021
Rumah bapak La Kolu ini merupakan salah satu rumah yang ada
pada dusun Karisonta, dimana untuk bangunan rumahnya sendiri pada
umumnya sama dengan rumah-rumah yang ada,dengan konfigurasi ruang
yang sama yaitu bagian depan terdapat teras, dilanjutkan pada bagian
dalam dengan ruang tamu, kamar tidur utama serta kamar tidur anak yang
terhubung dengan ruang tengah kemudian dapur sekaligus ruang makan.
No. Istilah (Bahasa Kaledupa) Terjemahan Fungsi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
Gambar 5.2 : Tabel Istilah
Gambar.5.12. Potongan Memanjang
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan untuk bahan lantai teras yaitu bambu. Pada
ruang tamu,kamar tidur,ruang tengah serta dapur menggunakan material kayu
lokal berupa lantai papan.
Tampilan bangunan
Gambar.5.15. Tampak Depan
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar.5.16. Rumah 2
Sumber : Dokumen Pribadi
Atap yang digunakan adalah atap pelana dengan penutup atap
asbes untuk menghindari percepatan proses karat karena letak rumah yang
berada dipesisir laut serta penggunaan kuda-kuda kayu (kasolaki).
Terdapat aturan dalam jumlah anak tangga, dimana jumlah Ananu Hosa
(anak tangga) diharuskan untuk berjumlah ganjil.
3) Physical System
Gambar.5.18. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Daun pintu sudah menggunakan engsel jadi sudah tersentuh oleh
bahan pabrikasi.
Pintu dan Jendela.
Gambar.5.20. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
Tata letak bukaan yakni pintu utama pada bagian teras menuju
ruang tamu mempunyai lebar pintu yang berbeda makin menuju ke pintu
menuju dapur, Bukaan jendela yang berupa anyaman bambu.
C. Rumah Ibu Wa Sahwani (Dusun Karisonta,Kelurahan Lewuto)
Pemilik rumah : Bapak Ibu Wa Sahwani
Tahun pembangunan : 2001
Status Kepemilikan : Pribadi
Jumlah anggota keluarga: 4 orang
1) Spatial System
Rumah ibu Wa Sahwani ini merupakan rumah yang terletak
dikelurahan Lewuto yang dihuni oleh 1 keluarga terdiri ibu, anak dan
cucu.
Gambar.5.21. Denah Rumah
Sumber : Hasil Penelitian,2021
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
Pada potongan melintang dapat dilihat pada area ruang tamu (lala)
dan kamar tidur (kamara) tidak terdapat berbedaan elevasi yang
terjadi,sedangkan hal ini juga dapat dilihat pada potongan melintang
kontinuasi elevasi dari area luar/teras tidak terdapat perbedaan elevasi
hingga dapur.
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
3) Physical System
Gambar.5.26. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela.
Ragam Hias
Untuk ragam hias pada rumah tidak memiliki bentuk/aturan
tertentu tergantung dari keinginan pemilik rumah,setiap rumah memiliki
ragam hias yang berbeda. Adapun ragam rias yang terdapat pada rumah ini
antara lain, yaitu:
Gambar.5.28. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Tampilan Bangunan
Gambar.5.34. Rumah 4
Sumber : Dokumen Pribadi
Atap yang digunakan adalah atap pelana dengan penutup atap
asbes untuk menghindari percepatan proses karat karena letak rumah yang
berada dipesisir laut serta penggunaan kuda-kuda kayu (kasolaki).
Terdapat aturan dalam jumlah anak tangga, dimana jumlah Ananu Hosa
(anak tangga) diharuskan untuk berjumlah ganjil.
3) Physical System
Gambar.5.35. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela
Gambar.5.36. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Gambar.5.40. Lantai
Sumber : Dokumen Pribadi
Tampilan Bangunan
Gambar.5.41. Tampak Depan
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar.5.42. Rumah 5
Sumber : Dokumen Pribadi
3) Physical System
Gambar.5.43. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
Tabel 5.6 Istilah
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan untuk bahan lantai teras yaitu bambu.
Pada ruang tamu,kamar tidur,ruang tengah serta dapur menggunakan
material kayu lokal berupa lantai papan.
Tampilan Bangunan
Gambar.5.49. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela.
Gambar.5.50. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
Pintu utama pada bagian teras menuju ruang tamu mempunyai
lebar pintu yang berbeda makin menuju ke pintu menuju dapur. Bukaan
jendela yang berupa anyaman bambu.
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
Tabel 5.7 Istilah
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan sebagai lantai bagian ruang tamu,kamar
tidur,ruang tengah serta dapur yaitu menggunakan material kayu lokal
berupa lantai papan.
Tampilan Bangunan
3) Physical System
Gambar.5.55. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan sebagai lantai bagian ruang tamu,kamar
tidur,ruang tengah serta dapur yaitu menggunakan material kayu lokal
berupa lantai papan.
Tampilan Bangunan
Gambar.5.62. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela.
Gambar.5.63. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
Ragam Hias
Untuk ragam hias pada rumah tidak memiliki bentuk/aturan
tertentu, tergantung dari keinginan pemilik rumah,setiap rumah memiliki
ragam hias yang berbeda. Adapun ragam rias yang terdapat pada rumah ini
antara lain, yaitu:
1) Spatial System
Rumah bapak Irwan ini dihuni oleh 1 keluarga terdiri ayah, Ibu
dan Anak.
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan sebagai lantai bagian ruang tamu,kamar
tidur,ruang tengah serta dapur yaitu menggunakan material kayu lokal
berupa lantai papan.
Tampilan Bangunan
Gambar.5.69. Rumah 8
Sumber : Dokumen Pribadi
Atap yang digunakan adalah atap pelana dengan penutup atap seng
dengan penggunaan kuda-kuda kayu (kasolaki). Terdapat aturan dalam
jumlah anak tangga, dimana jumlah Ananu Hosa (anak tangga) diharuskan
untuk berjumlah ganjil.
3) Physical System
Gambar.5.70. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela.
Gambar.5.71. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
Ragam Hias
Untuk ragam hias pada rumah tidak memiliki bentuk/aturan
tertentu, tergantung dari keinginan pemilik rumah,setiap rumah memiliki
ragam hias yang berbeda. Adapun ragam rias yang terdapat pada rumah ini
antara lain, yaitu:
1) Spatial System
Rumah Bapak La Pani ini dihuni oleh 1 keluarga terdiri Ayah,
Ibu dan Anak.
1. Struktur terendah
Sandi Pondasi
bangunan
2. Sebagai struktur atas
Herommo Atap
bangunan
3. Kataba Lantai Sebagai pijakan
2) Bentuk Bangunan
Adapun bentuk yang terjadi akibat fungsi-fungsi ruang adalah
sebagai berikut:
Lantai
Material yang digunakan sebagai lantai bagian ruang tamu,kamar
tidur,ruang tengah serta dapur yaitu menggunakan material kayu lokal
berupa lantai papan.
Tampilan Bangunan
Gambar.5.78. Struktur
Sumber : Dokumen Pribadi
4) Stylistic System
Pintu dan Jendela.
Gambar.5.79. Pintu dan Jendela
Sumber : Dokumen Pribadi
Kesimpulan