Anda di halaman 1dari 7

Sesuai apa yang ia katakan sebelumnya, Cyrus pergi menemui Ford di kantor manajemen

rumah sakit. Walau sudah tiga tahun berlalu membantu satu sama lain dalam memboyong
anggota-anggota terkait penyebaran terror penyakit mematikan dan penelitian gelap oleh
organisasi Incognito, hubungan antara detektif dan kepala dokter tidak berkembang menjadi
lebih akrab. Mungkin karena mereka hanya dua orang dewasa yang hanya perlu
mengakrabkan diri ketika perlu, atau mungkin karena Cyrus memang tidak pernah minat
untuk akrab dengan siapa pun kecuali satu orang,

Saat ia sampai di ruangan Ford, pria itu tidak sendirian, sosok lain yang juga ia kenal berada
di sana.

“Silahkan duduk, detektif, bisakah kau menunggu sebentar? Dokter Theo punya sesuatu
untuk dibicarakan,” ucap Ford mempersilahkan Cyrus untuk duduk di sofa khusus yang
disediakan di ruangannya.

“Tidak masalah, asal kau tidak membuang waktuku, karena kau sendiri yang menyuruhku
untuk menemuimu.” Cyrus duduk, berdecak saat ia ingat tidak bisa menyalakan rokok di
ruangan Ford.

“Kau tidak keberatan dengan Cyrus berada di sini?” tawar Ford pada Theo yang bahkan
belum sempat mengutarakan apapun tujuan kedatangannya kemari.

“Tidak apa-apa,” ia menyerahkan selembar kertas—sebuah formulir yang telah diisi dengan
tulisan tangan rapi. “Aku hanya ingin mengajukan cuti, selama satu bulan ke depan.”

“Tidak biasanya? Apa kau akan pergi berlibur, Theo?” tanya Ford, dengan senyum ramah.

“Semacam itu.” Theo menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan Ford.

“Oh, tentu saja kau boleh mengambil waktu cutimu, mengingat tiga tahun ini kau sudah
bekerja begitu keras. Kemana tujuan liburanmu, jika aku boleh tahu?” tanya Ford lagi.

“Shanghai.”

Jawaban itu membuat Cyrus mengerutkan dahinya.

“Kau berusaha mencari sesuatu di sana? Pria yang mirip dengan mantan kekasihmu untuk
kau tiduri karena di sana lah orang-orang berwajah sepertinya bersarang?” Cyrus menatapnya
dengan mata memicing. “Ada banyak China Town di United States, kau tidak mau mencoba
mencari Asia homoseksual di sana?”
Ford terkejut bukan main, tapi pria itu sendiri tidak mampu menghentikan Cyrus—karena
kalimat jahatnya sudah selesai dilontarkan.

“Seingatku, ke mana destinasi liburanku tidak harusnya menjadi masalah bagimu, Detektif.
Itu bukan urusanmu.” Theo menjawab tanpa menoleh ke arah Cyrus.

Cyrus mengangkat bahunya, “Memang bukan, tapi melihat orang yang tidak bisa melupakan
masa lalu sepertimu, membuatku jengkel.”

“Aku tidak bilang aku hendak pergi mencari kenangan apapun soal He Zhao.”

“Kalau memang tidak, bukankah kau bisa pergi ke tempat lain? Jepang? Mexico?”

Ford tertawa kering, rasanya seperti kembali ke tiga tahun silam saat mereka masih satu tim
untuk menumpas Merlion. Saat ini keadaan sudah lebih baik, penelitian tentang merlion
kembali berjalan seperti rencana awal dengan Ford yang mengambil alih penelitian itu
bersama dengan asistennya, Theo.

Theo tidak lagi bekerja di bagian autopsi. Selama tiga tahun ini dia bekerja sebagai asisten
Ford dan memberikan banyak bantuan terhadap penelitian merlion. Sementara itu, Incognito
telah dibubarkan sejak lama. Krinkels hanyalah kepala sekolah biasa sekarang, dan He
Yuwen hanyalah pebisnis, kembali menggambil alih kuasa Ingêr walau ia hanya datang
setahun dua kali untuk melakukan pemeriksaan pada cabang di Amerika itu.

Tidak ada gunanya mendebati Cyrus, itu yang Theo yakini selama ini. Sikap Cyrus jauh lebih
jelek dari tiga tahun lalu, entah karena apa. Theo sendiri tidak tertarik untuk mencari tahu, ia
lebih memilih sibuk dengan urusan pekerjaan. Ia hanya tidak mau ada korban merlion lagi.

Penelitian mereka berkembang pesat, baik mengenai merlion, atau dream globe. Setahun lalu,
mereka berhasil menemukan cara untuk memulihkan dampak merlion. Butuh dua tahun bagi
mereka untuk mendapatkan kabar baik dari penelitian merlion. Namun, walau sudah
mendapat obatnya, Theo tetap merasa hampa. Orang yang sangat ingin ia obati dari pengaruh
merlion telah tiada. Terkadang Theo bertanya, untuk apa perjuangannya dalam tiga tahun ini?

“Saya permisi,” ucap Theo tanpa menjawab sindiran dari Cyrus.

Theo melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu setelah memberikan berkas yang
diperlukan pada Bradley Ford. Jam kerjanya telah usai sejak lima belas menit lalu, jadi ia
kembali ke rumahnya di mana Thalia sudah menunggu dengan berlinang air mata yang entah
alami atau obat tetas mata yang ia guyur secara brutal pada matanya.
“Kau tega sekali meninggalkan ibumu yang sudah tua ini seorang diri.” Thalia terisak-isak di
sofa, dengan tisu yang berantakan di sekelilingnya, seolah wanita itu sudah menangis sejak
tadi.

“Ibu, aku hanya pergi sebentar.” Theo menghela napas, ia tahu sebenarnya alasan Thalia
merengek seperti ini karena wanita itu juga ingin pergi dengannya, bukan karena sedih akan
ditinggalkan anak laki-lakinya untuk sementara. “Lagipula Akane tidak pergi kemana-mana,
dia di sini denganmu.”

“Tetap saja aku akan merindukanmu.” Thalia membuang ingusnya dengan suara keras untuk
mendapat perhatian lebih dari Theo. “Bayi laki-lakiku yang tidak lagi bayi.”

Jika itu bukan ibunya, Theo mungkin akan tersentuh, tapi ini Thalia. Wanita itu mungkin
tidak akan ingat Theo sedang pergi, bukannya ia tidak peduli, Thalia memang cukup
membebaskan anak-anaknya. Terlebih, Theo sudah biasa tidak pulang berhari-hari karena
pekerjaannya.

“Aku akan membawakan oleh-oleh sebanyak yang kau inginkan.”

Secepat air mata dan ingus Thalia jatuh, secepat itu pula kedua hal itu menghilang,
tergantikan dengan wajah sumringah Thalia.

“Benarkah? Apapun?” tanya Thalia untuk memastikan.

Theo mulai sedikit menyesal, khawatir ibunya akan meminta hal aneh.

“Rrr, ya apapun.”

Thalia berdiri, ia menepuk bahu Theo. “Ayo, aku akan membantumu berkemas. Cepat-cepat,
kau berangkat sore ini kan?”

Jadi, Thalia pada akhirnya melepaskan kepergian Theo dengan suka rela setelah diiming-
iming buah tangan.

Bandar Udara Internasional McCarran selalu dipenuhi oleh orang-orang yang antre dengan
koper di tangan kanan mereka dan tiket di tangan kiri. Begitu juga dengan Theo, ia
menggiring kopernya menaiki Delta, pesawat yang akan membawa ia terbang ke kota Seattle
sebagai tempat transit sebelum menuju Shanghai.

Theo gugup, ini kali pertama ia akan melakukan perjalanan keluar negeri. Untungnya ia
sudah banyak membaca dan menonton tutorial di Utube, baik tutorial penggunaan toilet atau
tutorial agar tidak terpengaruh rayuan petugas untuk menunggu di Lounge karena tempat itu
akan menarik keluar biaya yang cukup mahal hanya untuk segelas kopi.

Koper berhasil diletakkan di kabin, Theo mendapat tempat duduk di samping jendela. Ia
segera menyamankan diri. Dua orang pramugari berdiri di tengah-tengah pesawat memberi
instruksi bagaimana cara memasang seatbelt, pemasangan alat pernapasan yang akan
dikeluarkan secara otomatis jika terjadi kendala di pesawat, serta bagaimana pemasangan
baju pengaman.

Theo memasang seatbelt saat deru mesin pesawat terdengar semakin keras. Deru yang
membuat telinga berdenging sakit jika didengar dalam jangka waktu yang lama.

“Halo, dengan Alton di sini, pilot kalian. Pesawat akan lepas landas, Sobat, harap segera
memasang sabuk pengaman karena aku tidak bisa memperhatikan kalian satu persatu.
Jadilah, anak baik dan aku akan membawa kalian sampai dengan selamat sampai tujuan.”

Theo mengernyit, pilot itu terdengar ramah, tetapi juga terdengar mengerikan. Seolah akan
ada hal buruk jika mereka tidak menuruti ucapan pria itu.

Namun, Theo tidak terlalu mempedulikannya. Masih ada tiga jam lagi sebelum ia sampai ke
Bandara Internasional Seattle-Tacoma untuk transit. Ia mengeluarkan majalah yang sengaja ia
bawa, bukan majalah kesehatan atau majalah My Little Pony, majalah dengan gambar motor
besar sebagai sampulnya menjadi pilihan Theo—majalah otomotif.

Tiga jam berlalu dengan cepat saat Theo sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia kini
harus menunggu dua setengah jam di kota Seattle sebelum berangkat untuk menuju Bandara
Internasional Pudong Shanghai.

Theo memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran Bandara. Tidak mencari apa-apa, ia


hanya ingin melihat pemandangan di luar Kota Nevada. Rasanya Theo bisa terpukau kapan
saja, ini perjalanan pertamanya. Hanya saja wajah sumringah Theo berubah menjadi sendu
saat ia ingat seseorang pernah berkata akan menemani perjalanannya ke luar negeri, lebih
tepatnya akan membawa dirinya ke Shanghai. Namun, sekarang ia sendiri, bahkan pony yang
biasa ia bawa tak lagi menemaninya.

Perjalanan kembali dilanjutkan saat waktu transit telah selesai. Sisa perjalanan Theo habiskan
dengan tidur, sisanya lagi melihat pemandangan gelap dibalik jendela, dan sisa waktu lainnya
ia pakai untuk menonton entah apapun itu untuk mengisi waktu luang. Teman sekabinnya
tidak begitu tertarik untuk mengobrol dan hanya tidur di sepanjang perjalanan. Theo sendiri
tidak tertarik untuk berinteraksi terlebih dahulu.

Sesampainya di Shanghai, untuk sesaat Theo terdiam. Sebenarnya ia tidak tahu akan pergi ke
mana. He Zhao tidak pernah memberi alamat kampung halamannya, dan Theo cukup
sungkan untuk bertanya kepada He Yuwen maupun Mrs.Ford.

Kedatangan Theo ke ruang kerja Dokter Ford, selain meminta izin cuti, sebenarnya Theo juga
ingin menayakan alamat kediaman keluarga He di Cina. Namun, karena Cyrus berada di
sana, ia jadi tidak sempat menayakan hal penting itu.

Theo menghela napas, menyadari kebodohannya.

“Untuk sekarang, kurasa hotel adalah pilihan terbaik,” gumam Theo sebelum membuka
aplikasi di ponselnya untuk menemukan hotel terdekat.

Untungnya, supir taxi yang saat ini Theo tumpangi bisa menggunakan Bahasa Inggris dengan
fasih. Theo sendiri belum mempelajari Bahasa Mandarin, ia tahu ia akan kesulitan di sini,
tetapi nyatanya tidak seburuk yang ia bayangkan. Walau dengan aksen cina yang kental,
mereka cukup ramah untuk diajak bicara, termasuk resepsionis Hotel yang saat ini melayani
Theo.

Theo mendapat kamar di lantai tiga, Dazhong Airport Hotel South Building. Pemandangan
jendela yang langsung menghadap ke hiruk pikuknya Shanghai sempat menarik perhatian
Theo sebelum ia merebahkan diri di ranjang empuk kamar itu.

“Sebenarnya apa yang ku lakukan di sini?” gumam Theo dengan kedua mata menatap hampa
pada langit-langit ruangan.

Ia kembali memikiran ucapan Cyrus sebelumnya. Benarkah ia di sini untuk mencari sisa
kenangan He Zhao di kota kelahirannya sendiri? Tetapi, bukahkah itu terdengar konyol? Theo
bahkan tidak punya satu pun kenangan dengan He Zhao di tempat ini. Bahkan makam He
Zhao tidak berada di Cina. Jauh, di dalam lubuk hati Theo, ia ingin bertemu dengan He Zhao
di tanah kelahirannya, walau ia melihat dan menyaksikan sendiri pemakaman He Zhao tiga
tahun lalu.

Theo menepuk kedua pipinya. “Bukannya untuk berpikir yang tidak-tidak, ingat kau harus
bersenang-senang di sini.”
Sebenarnya ia tidak seputus asa seperti yang dipikirkan Cyrus. Theo punya dua tujuan dengan
mengambil cuti di Shanghai. Pertama ia memang ingin berlibur untuk melihat kampung
halaman He Zhao, dan yang kedua ia sebenarnya di panggil oleh rumah sakit swasta di kota
ini untuk mengembangkan obat merlion.

Setelah keberhasilan Amerika dalam mengembangkan obat merlion, pihak Cina


menginginkan salah satu Dokter Amerika untuk bekerja sama dengan mereka. Theo dibayar
mahal untuk ini. Sebenarnya sejak lama Ford meminta Theo mengambil kesempatan, tetapi
Theo belum cukup berani untuk datang ke Shanghai secara langsung. Ia takut menimbulkan
harapan besar pada dirinya sendiri.

Theo memutuskan untuk bangkit dari posisinya. Ia segera turun dan menanyakan kepada
resepsionis di mana ia bisa menyewa motor.

“Anda yakin tidak ingin menggunakan kendaraan umum saja?” tanya resepsionis bernama
Qing Xuan itu saat mendengar Theo ingin menyewa motor.

“Ya, aku ingin melihat Shanghai dengan caraku sendiri,” balas Theo dengan yakin.

Gadis resepsionis itu menganggukkan kepalanya sebelum mengatakan pada Theo bahwa
hotel mereka juga menyediakan fasilitas transportasi umum juga transportasi pribadi yang
dapat di sewa.

Theo dibawa ke garasi tempat motor-motor terparkir dengan rapi. Salah satu motor di sana
menarik perhatian Theo. Ia segera memilih motor itu, dan mengambil helm yang juga telah
disediakan.

Suara deru mesin motor terdengar nyaring di parkiran yang sepi. Theo segera menarik gas
saat ia sudah memakai helm. Motor itu melaju dengan kecepatan sedang mengikuti arus
kendaraan. Awalnya pelan, lama-lama kelamaan Theo semakin menikmati buaian angin, dan
tanpa sadar ia sudah menarik gas hingga spidometer menunjukkan angka 100.
Theo tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam
mengendarai motor. Ia membawa sekuter pink itu dengan penuh penghayatan sampai-sampai
melupakan bahwa ia tak sendirian di jalanan. Pengendara lain bagai transparan di mata Theo.
Namun, saat lampu lalu lintas menandakan merah Theo mengerem dengan sekuat tenaga
hingga ban belakang sekuter itu terangkat dengan tinggi.

Seorang anak kecil yang sedang duduk di jok belakang ayahnya menatap Theo dengan mulut
ternganga.

“Oh? Halo,” ucap Theo dengan senyum kaku setelah membuka bagian kaca depan helmnya.

Belum sempat anak kecil itu menjawab ucapan Theo, lampu lalu lintas sudah berubah
kembali ke warna hijau. Theo langsung melesat meninggalkan si anak yang terkagum-kagum.

“Baba! Aku juga mau sekuter pink!”

Rumah Sakit Boai Shanghai adalah tujuan Theo, di ruas jalan yang masih lebar, MV Agusta
F4CC menyalip skuter merah muda norak itu dengan deru mesin yang sengaja dibuat keras.

Theo adalah pribadi baik hati yang sering menaati aturan, jika ia tidak sedang berada di atas
sadel sepeda atau jok motor. Maka ketika kendaraan hitam itu melaju lebih kencang dan
hampir menghilang dari pandangannya, Theo memutar stang gas pada skuter pink itu lebih
cepat.

Tidak ada yang boleh lebih cepat darinya.

Anda mungkin juga menyukai