Anda di halaman 1dari 5

Gerhana Matahari

Siang itu mencekam. Ayam berkokok gelisah, anjing melolong ketakutan, para burung
bertebangan tanpa arah, para semut lari kocar-kacir mencari tempat bersembunyi, bahkan pohon
enggan memandang langit. Langit tiba-tiba saja menjadi gelap bersamaan ribuan pasang mata
menatap lekat-lekat ke angkasa, menyaksikan fenomena alam yang terjadi lebih dari 100 tahun
sekali. Ya . . . gerhana matahari, kala bulan dan mentari, dua penjaga yang berbeda dunia, diberi
kesempatan istimewa oleh Sang Pencipta untuk bertemu dan memadu rindu.

Di lain tempat, sepasang ciptaan saling memandang, menanti yang tak pasti dari
hubungan ini. Akankah mereka bersatu atau malah mengukir kisah pilu pada setiap serat hati
yang tiap hari diiris oleh dimensi ruang dan waktu?

“Vanda . . . maukah-“ Ucap Tony untuk pertama dan terakhir kalinya pada hari ini dan
selamanya.

7 hari yang lalu

Seorang wanita berjalan menyusuri kota. Tujuannya tak ada, ia hanya mengikuti kemana
kakinya melangkah. Kadang kala ia berhenti di suatu tempat, hanya sekedar menikmati, lalu . . .
cekriik, bunyi kamera yang menangkap suatu kenangan, lalu menyimpannya dalam selembar
kertas putih. Tak ada yang menarik dari hasil jepretan tadi jika yang melihatnya ialah orang-
orang biasa yang larut dalam rutinitas sehari-hari. Namun bagi Vanda, ada sebuah seni dan
makna hidup dari sebuah kursi kayu yang lapuk dimakan waktu. Baginya, tempat tinggalnya saat
ini merupakan surga, tempat Sang Pencipta berkreasi dengan tangannya, menciptakan hal-hal
yang menakjubkan, salah satunya kursi kayu yang lapuk itu. Maka jangan ditanya berapa foto
yang sudah ia ambil. Ia pun kembali melanjutkan penjelajahannya hingga malam hari.

Tony, roh muda berumur 354 tahun Bumi sedang jalan-jalan ke planet penuh warna itu. Ia
bosan di dunia roh yang semuanya serba putih, pakaian putih, rumah putih, mobil putih, bahkan
lampu lalu lintas pun berwarna putih, semuanya putih. Oleh karena itu, dia sering main ke Bumi,
hanya untuk sekedar menikmati betapa berwarnanya planet itu.

Kali ini Tony berdiri di perempatan jalan, melihat lekat-lekat lampu lalu lintas. Betapa
berbedanya lampu lalu lintas di Bumi dengan di dunianya, ada warna merah, kuning, dan hijau.
Ia penasaran, mengapa ketika lampu berwarna merah semua kendaraan berhenti, tetapi ketika
lampu berwarna hijau, semua kendaraan bergerak? Dia sempat menyangkutpautkan kejadian
tersebut dengan simbol kematian (merah) dan kehidupan atau kesuburan (hijau). Pada akhirnya
Tony tak mau ambil pusing, yang pasti dia tidak suka warna merah.
Awalnya semua terkesan biasa saja hingga suatu kilatan cahaya dari jalan sana menarik
perhatian Tony. Seorang wanita muda sedang memegang benda aneh yang diarahkan padanya.
Tony mengira wanita itu juga roh, seperti dia yang sedang mengamati lampu lalu lintas, sebab
baju yang wanita itu pakai berwarna putih.

“Hai . . . Halo . . . Sedang apa di sini? Lagi liatin lampu lalu lintas juga ya?” Sapa Tony
dari seberang jalan, tapi tak ada tanggapan. Wanita itu masih berdiri di sana, menengok kiri dan
kanan, lalu ketika lampu berwarna merah menyala, ia segera menyeberang menuju ke arah Tony.
Mereka sempat beradu pandang, tapi wanita itu hanya melewatinya saja. Seketika perasaan aneh
mengguyur Tony dan ribuan pertanyaan mengenai wanita tadi memberondong pikirannya. Dia
penasaran dengan Vanda.

Wajah lesu dan berbeban berat. Kaki diseret, tak sanggup lagi diangkat. Kemeja lengan
panjang putih yang awalnya bersih terlihat kumul. Rambut kering dan kusut akibat terik matahari
yang menyengat. Menyedihkan . . . bisa dibilang seperti itulah penampilan Vanda saat ini. Ia
memasuki halaman rumah dengan penampilan seperti itu. Ibunya yang sedari tadi sudah
menunggu di depan pintu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

“Jam berapa ini, sayang?” Tanya ibunya lembut, khawatir, dan cemas bercampur dalam
nada suaranya.

“Tengah malam” Jawab Vanda lemas tak bertenaga.

Ibu menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan “Ibu tahu, kamu itu suka banget
sama yang namanya fotografi, mirip dengan papamu, tapi enggak sampe tengah malam juga
pulangnya. Kan Vanda ada jadwal kuliah besok pagi.” Ibunya brusaha menjelaskan sehalus
mungkin agar Vanda tidak tersinggung. Hobi boleh, tapi enggak sampe kayak gini juga batin
ibunya.

“Maafin Vanda Bu.” Itu dia jawabannya, singkat, padat, dan jelas. Vanda tersenyum pada
ibunya, lalu masuk ke rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ibunya tahu senyum itu,
senyum penuh luka.

“TINO . . . TINO . . .” Teriak Tony dari kejauhan.

Tino yang sedang asyik membaca buku di bawah pohon oak langsung menoleh ke
sumber suara. Tony sedang berlari ke arahnya. Tino hanya menatap malas anak itu. Ia sadar dan
ngerti kalau Tony sudah datang kepadanya itu berarti waktunya tutup buku dan saatnya menjadi
pendengar yang baik, sebab Tony tanpa disuruhpun akan menceritakan segala pengalaman yang
telah ia lalui hari ini dan tentu saja kegiatan itu akan menghabiskan waktu hingga berjam-jam.
Maka Tino berusaha bersikap acuh tak acuh dan kembali fokus pada bukunya agar Tony pergi.
Dan benar saja, sesampainya di depan Tino, Tony langsung angkat suara.

“Tino, aku ingin menanyakan sesuatu padamu?”

“Hmm?” Suara Tino terdengar sangat malas. Moga-moga Tony pergi terus dirapalkannya
dalam pikiran.

“Pernahkah engkau merasakan gejolak aneh dalam dirimu?”

“Mungkin kau sakit maag?” Terka Tino ngelantur. Ia masih fokus pada bukunya.

“Ini bukan maag, ini bukan penyakit.”

“Lalu apa?” Kini Tino balik bertanya.

“Oke . . . Biar aku ceritakan kejadiannya”

Mulai sudah pikir Tino. Sikap juteknya gagal mengusir Tony.

“Tadi aku pergi ke Bumi- “ Jari telunjuk Tino tiba-tiba mengacung ke udara. Kini ia
sudah tidak fokus lagi pada buku yang ia baca.

“Bukankah raja sudah memintamu untuk tidak pergi ke Bumi? Mengapa engkau masih
pergi ke Bumi? Kau tidak tahu hukuman apa yang akan kau terima jika kau ketahuan lagi pergi
ke Bumi? Kenapa kau susah sekali untuk diingatkan?” Kini Tino yang memberondong Tony
dengan pertanyaan.

“Kau tahu sendirikan aku bosan tinggal di sini, tidak berwarna sekali. Makanya aku pergi
ke Bumi sebab di sana lebih berwarna dan menarik. Kita sudah sering membahas ini, jika kau
menyukai tempat ini sedangkan aku tidak.”

Tino membisu, ia tidak bisa menanggapi pernyataan Tony. Memang benar, Tony tidak
menyukai dunia roh yang serba putih meskipun merupakan reflika dari Bumi, dan ia lebih suka
pada Bumi. Sedangkan Tino sudah tinggal lama di sini, lebih dari seribu tahun. Maka ia sudah
fall in love pada dunia roh.

“Maafkan aku menyela tadi . . .”

“Tak apa, biar aku lanjutkan cerita. Ketika aku berada di Bumi dan sedang asyik
memperhatikan lampu lalu lintas, aku melihat seorang wanita membawa benda aneh dan ia
berjalan lewat di sebelahku. Kami sempat saling memandang sebentar, lalu hatiku bergejolak dan
pikiranku berteriak kepadaku untuk bertanya apapun tentang dia. Apa ini?”
“Aku tidak tahu” Jawab Tino bingung juga dengan pertanyaan Tony. Ia belum pernah
mengalami hal seperti itu, apalagi yang menyangkut hati, tidak pernah, sebab ia adalah seorang
pemikir sejati yang hatinya sudah mati.

“Apa ini yang dinamakan cinta ya?” Kini Tony bertanya soal cinta.

“Bisa jadi. Aku belum pernah mengalami hal semacam itu sepanjang hidupku, tapi dari
penjelasanmu tadi mirip dengan konsep cinta. Apalagi kau mengatakan hati yang berarti
perasaan. Jadi aku rasa jawabannya cinta.” Tino menambahkan dan memperkuat terkaan Tony.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?”

“Satu-satunya jawaban dari pertanyaan itu ialah . . . temui wanita itu lagi” Saran Tino,
tapi tak ada tanggapan dari Tony.

“Tony . . . Tony . . . TONY?!!” Sedari tadi Tony sudah pergi meninggalkan Tino. “Dasar
bramacorah” Umpat Tino. Ia kembali fokus membaca buku di bawah pohon oak.

Sudah tiga hari dua malam berlalu semenjak kejadian di perempatan jalan itu dan Tony
belum bertemu juga dengan wanita itu lagi. Sudah dua kali ia mengelilingi kota, tapi tak pernah
ia melihat batang hidung wanita itu. Pikiran-pikiran seperti wanita itu tidak tinggal di kota ini
hingga wanita itu sudah meninggal mencoba menjatuhkan semangat Tony, tapi ia tetap bertahan
dengan terus mengalihkan pikiran-pikiran itu, membuangnya jauh-jauh, amit-amit cabang bayi.
Harapannya tinggi dan firasatnya mengatakan bahwa wanita itu masih ada di kota ini. Benar saja
di taman kota, wanita tersebut sedang duduk di sebuah ayunan. Matanya memandang rembulan
tiada henti. Raut wajahnya terlihat sedih, bahkan beberapa air meluncur bebas dari matanya.
Namun, dibalik kesedihan itu ada sebuah harapan, harapan akan hadirnya seseorang.

Tony yang hanya melihat dari jauh bingung ingin berbuat apa. Dia hanya dapat berdiri
diam. Meskipun Tony senang dapat bertemu dengan Vanda, Tony juga merasa sedih melihat
wanita itu menangis. Mulailah Tony memutar otak untuk menghibur Vanda. Ia pernah membaca
buku “cara bermain catur yang baik” karangan sahabatnya Tino bagian dimana para pemain catur
harus berpikir 4 sampai 7 langkah ke depan sebelum melangkah maju. Kini ia sedang
mempraktekkan teknik itu pada kehidupan nyata. Mulai dengan bernyanyi, melawak, dan
sebagainya sudah ia siapkan sebelum melangkah menuju Vanda. Namun, ia lupa menyiapkan
satu hal yang penting sebelum semuanya, yaitu mental. Dia tidak berani untuk melangkah,
jadilah setiap rencananya hanyalah mimpi belaka. Tanpa Tony sadari, Vanda sedari tadi sudah
memandangnya. Mereka saling berpandangan sekarang.

“Kamu orang yang tertarik sama lampu lalu lintas dua hari yang lalu kan?”
Tony terkejut mendengar suara lembut. Semua rencananya buyar entah kemana Dia
masih mengingat kejadian itu pikir Tony bahagia. Releks ia langsung mengangguk-anggukkan
kepala dengan cepat.

“Sedang apa di sini? Tanya Vanda penasaran. Sejak pertama bertemu dengan Tony, ia
memang langsung penasaran dengannya.

“Menemuimu” Jawab Tony polos.

Vanda masih diam di atas ayunan menunggu jawaban Tony. Ia memang melihat mulut
Tony bergerak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia mengira kalua Tony itu bisu, tapi
ia ragu.

“Mohon maaf, aku tidak mendengar apa yang kau ucapkan.”

Entis sedikit memiringkan kepalanya, wajahnya terlihat bingung. Ia yakin suaranya sudah
cukup keras dan dilihat dari jarak mereka seharusnya Vanda dapat mendengarnya, ini aneh.

“Aku ke sini untuk menemuimu” Ucap Entis lebih nyaring dari sebelumnya.

Vanda masih menunggu. Kini ia mulai tersenyum, karena Tony menatapnya dalam-
dalam. Dari senyum itu Tony tahu kalua Vanda masih belum mendengar suaranya.

“AKU KE SINI UNTUK MENEMUIMU.” Teriak Tony sekencang-kencangnya. Setiap


kata diucapkannya secara perlahan, seperti guru TK mengajar muridnya membaca.

Anda mungkin juga menyukai