Anda di halaman 1dari 17

TREND DAN ISSUE KESEHATAN MENTAL

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA I

Disusun Oleh

Hendrick (220111040085)

A4 Semester 4

Dosen Pengampu

Ns. Suharno Usman, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

2024
Trend dan issue dalam keperawatan jiwa

1. Dampak terhadap psikologis dan kesehatan mental tenaga kesehatan selama pandemi
COVID-19
Berdasarkan artikel dengan judul Dampak Psikologis Tenaga Kesehatan Selama
Pandemi COVID-19 (Pinggian et al., 2021) dan Mental health care for medical staff and
affiliated healthcare workers during the COVID-19 pandemic (Walton et al., 2020).

Wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang muncul pada Desember 2019 di
Wuhan, dengan cepat menyebar ke luar Tiongkok, sehingga World Health Organization
(WHO) mengumumkan darurat pada Public Health Emergency of International Concern
(PHEIC), menyebabkan tekanan psikologis pada tenaga kesehatan yang menangani pasien
COVID-19 (Pinggian et al., 2021).
Penyebaran COVID-19 yang sangat tinggi dapat menimbulkan masalah kesehatan jiwa
dan psikososial pasien, keluarga pasien, tenaga kesehatan. Hal tersebut dapat
menimbulkan stigma diri sendiri dan stigma sosial atau masyarakat yang dapat
mempengaruhi kesehatan jiwa. Kontak petugas kesehatan yang sering dengan pasien
COVID-19, tanpa alat pelindung diri (APD) yang tepat atau APD yang tidak sesuai standar
kesehatan merupakan sumber ketakutan, stres, dan kecemasan yang mendalam. Pandemi
COVID-19 menempatkan para profesional perawatan kesehatan di seluruh dunia dalam
situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, harus membuat keputusan yang sulit dan
bekerja di bawah tekanan ekstrim. Gejala gangguan stres pasca trauma, gejala kecemasan
dan depresi nonspesifik menjadi manifestasi utama dari gangguan mental yang diamati
terjadi pada tenaga kesehatan (Pinggian et al., 2021).
Permasalahan antarpribadi timbul dari tindakan pengendalian infeksi dan penggunaan
APD. Komunikasi dengan pasien menjadi lebih rumit karena APD yang menutupi
sebagian besar wajah, dan nakes memiliki lebih sedikit waktu untuk berinteraksi dengan
setiap pasien. Jika perawat biasanya berkomunikasi dengan pasien dilakukan dengan rasio
1:1. Namun, dalam kondisi seperti COVID-19, mengharuskan perawat untuk merawat
beberapa pasien sekaligus. Hal ini menjadi tekanan kepada perawat karena harus
melakukan praktik dengan cara yang menyimpang dari standar yang seharusnya. Keluarga
dan teman-teman mungkin tidak dapat mengunjungi pasien, dan tenaga kesehatan sering
merasa bersalah karena pasien meninggal sendirian (Walton et al., 2020).
Banyak tenaga kesehatan yang akan tertular penyakit menular ini, sehingga ada yang
sakit parah, dan ada yang meninggal. Mereka yang sudah terpapar atau menunjukkan
gejala harus dikarantina, dan menyebabkan mereka jauh dari keluarga. Penelitian
menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang dikarantina merasa bersalah karena merasa
kekurangan anggota di garis depan, takut mereka telah menyebarkan wabah ke keluarga
mereka. Mereka juga menderita kebosanan, kelelahan dan kesepian, terutama karena
mereka biasanya bekerja sebagai bagian dari tim yang kompak. Hal-hal diatas membuat
mereka merasa cemas atau enggan untuk kembali bekerja pasca karantina. Kekhawatiran
yang muncul terkait dampak psikologis negatif selama pandemi seperti kelelahan,
kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) (Walton et al., 2020)
Berdasarkan hasil review literature yang dilakukan pada artikel ditemukan prevalensi
dampak psikologi seperti stres, kecemasan dan depresi dari ringan hingga berat pada
tenaga kesehatan selama masa pandemi COVID-19. Dari 10 literatur didapatkan
persentase stres, kecemasan, depresi dan keseluruhan masalah psikologis berbeda sumber
literatur. Literatur ke-10 COVID-19 Outbreak on Health Professionals memaparkan hasil,
235 dari 330 responden (71,2%) memiliki skor kecemasan diatas batas klinis, 57% dari
657 responden pada literatur ke-5 mengalami stres akut, 58% dari 958 responden
mengalami gejala depresi dan 56,59% dari 2285 responen terdapat keseluruhan masalah
psikologis pada petugas kesehatan selama pandemi (Pinggian et al., 2021).
Pandemi COVID-19 belum pernah terjadi sebelumnya. Dampaknya kemungkinan
besar akan tercetak pada setiap individu yang terlibat. Stresor yang meluas akan muncul
atau menjadi lebih buruk. Banyak tenaga kesehatan yang terkena dampak negatif secara
psikologis. Perlu adanya dukungan yang diberikan kepada tenaga kesehatan baik itu dari
masyarakat, keluarga, dan sesama tenaga kesehatan agar tetap terjaganya kesehatan
psikologis dari tenaga kesehatan pasca Covid-19.

2. Perilaku bunuh diri pada remaja


Berdasarkan artikel dengan judul Faktor Risiko Terjadinya Perilaku Bunuh Diri pada
Remaja: Sebuah Kajian Literatur (Simanjuntak et al., 2023) dan A qualitative systematic
review of experiences and perceptions of youth suicide (Grimmond et al., 2019).

Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju dewasa. Salah satu
aspek perkembangan pada remaja, yaitu sosio-emosional. Jika remaja tidak berhasil
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, remaja akan mengalami kesulitan untuk
menentukan pilihan sehingga ketika menghadapi permasalahan remaja tidak mampu untuk
menyelesaikannya. Akibat dari ketidakmampuan remaja dalam beradaptasi dengan
perubahan sehingga dapat memunculkan ide-ide negatif atau yang bersifat merugikan dan
memberikan konsekuensi yang parah apalagi ketika ide-ide ini berlanjut dan mengarah ke
bunuh diri. Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO (2023), bunuh diri menempati
urutan keempat sebagai penyebab kematian paling umum pada individu berusia 15-19
tahun dengan perkiraan angka bunuh diri global sekitar 800.000 orang. Faktor-faktor
seperti pengalaman putusnya hubungan asmara, dampak faktor lingkungan, manifestasi
emosi ketidakberdayaan, tantangan dalam pengejaran skolastik, dan kesulitan keluarga
seperti perceraian dan kehilangan, secara signifikan terkait dengan timbulnya
kecenderungan bunuh diri (Simanjuntak et al., 2023).
Beberapa penyebab terjadinya perilaku bunuh diri pada anak muda dikategorikan
menjadi perilaku, perasaan/emosi, pengaruh keluarga dan pengaruh teman sebaya. Selain
itu, faktor psikologis dan perbedaan kepribadian seperti keputusasaan, impulsif dan
ketahanan semuanya berpengaruh pada kemungkinan seseorang mengalami ide bunuh diri
(Grimmond et al., 2019).
Pemicu yang mengarah ke bunuh diri pada remaja antara lain yang pertama yaitu
perilaku, dimana individu suit untuk menggungkapkan perasaan dan emosinya sehingga
tidak mengomunikasikan hal tersebut ke orang lain akibat rasa ketidakpercayaan dan
membuat dirinya tidak mampu untuk menahan tekanan tersebut dan membuat mereka
lebih memilih untu menyakiti dirinya sendiri sebagai upaya melepaskan semua yang
dirasakan. Kedua, perasaan atau emosi, merasa diri tidak berharga, serta perasaan
penolakan dari keluarga maupun teman sebaya terkait dengan penampilan fisik. Perasaan
tentang dirinya yang tidak dimengerti oleh orang lain juga perasaan marah yang tidak
terkendali dapat menjadi penyebab anak muda melakukan upaya bunuh diri. Ketiga,
pengaruh keluarga, berkaitan erat dengan hubungan yang tidak baik atau tidak harmonis
dengan anggota keluarga terutama hubungan yang tidak harmonis dengan ibu maupun
ayah serta memiliki keluarga yang retak (broken home) seringkali menjadi penyebab
terjadinya bunuh diri pada anak muda. Selain itu, pengalaman yang tidak enak seperti
kekerasan dlam rumah tangga dan penganiayaan pada masa anak-anak juga menjadi
penyebab terjadinya kasus bunuh diri pada anak muda. Keempat, terkait pengaruh teman
sebaya dan lingkungan sekolah meliputi pengaruh nilai akademis, pertemanan serta
tindakan intimidasi yang terjadi di lingkungan sekolah. Selain itu, kegagalan dalam sebuah
hubungan romantis pada anak muda juga menjadi faktor pemicu terjadinya tindakan bunuh
diri (Grimmond et al., 2019).
Hasil dari penelitian (Simanjuntak et al., 2023) diketahui bahwa faktor risiko terjadinya
perilaku bunuh diri pada remaja terdapat tiga faktor utama, yaitu keluarga, teman sebaya,
dan psikologis. Faktor keluarga bisa berupa pola asuh orang tua yang salah, mereka yang
dibesarkan dalam gaya pengasuhan yang otoriter memiliki kecenderungan lebih tinggi
terhadap ide bunuh diri. Faktor teman sebaya biasanya dikarenakan penolakan atau
bullying, faktor-faktor seperti penolakan teman sebaya, contoh intimidasi, dan isolasi
sosial secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan kemungkinan mengalami
pikiran untuk bunuh diri dan terlibat dalam upaya bunuh diri. Faktor psikologis berupa
gangguan mental seperti depresi. Gangguan kesehatan mental, terutama depresi dan
kecemasan sangat terkait dengan peningkatan risiko ide dan upaya bunuh diri. Remaja
yang didiagnosis dengan depresi lebih dari tiga kali, lebih mungkin untuk terlibat dalam
perilaku bunuh diri dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak depresi.
Keterlibatan orang tua dan lingkungan terdekat dalam mengatasi situasi bunuh diri
remaja merupakan hal yang sangat penting. Remaja yang menunjukkan ketidakstabilan
emosi dapat menemukan diri mereka dalam keadaan rentan ketika dihadapkan dengan
konflik, merasakan kurangnya dukungan dan kasih sayang dari orang lain di sekitar
mereka. Akibatnya, orang-orang ini mungkin mengalami rasa tidak berdaya, mengarahkan
mereka untuk merenungkan atau akhirnya terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri
(Simanjuntak et al., 2023).
Tindakan bunuh diri pada anak muda dapat dicegah atau dilakukan pemulihan dengan
cara meningkatkan hubungan antarpribadi baik itu hubungan interpersonal dengan anggota
keluarga, teman sebaya dan lainnya dapat membantu dalam mengatasi kecenderungan
tindakan bunuh diri. Selain meningkatkan hubungan antarpribadi, dari segi kultural atau
keagamaan juga berpengaruh penting untuk mencegah tindakan bunuh diri karena di dalam
agama dilarang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Faktor terakhir yang berpengaruh
dalam proses pemulihan atau pencegahan tindakan bunuh diri adalah dengan mengubah
mindset individu untuk mengatakan bahwa setiap individu untuk berpikir terkait dengan
masa depan mereka (Grimmond et al., 2019).
Kita harus memperlakukan individu sebagai pribadi seutuhnya dan mempertimbangkan
kesehatan baik fisik maupun mental mereka. Mengubah pola pikir mereka bahwa mereka
tidak sendirian. Orang muda seringkali takut untuk berkomunikasi dengan orang lain
mengenai perasaan karena orang muda takut dan merasa akan dihakimi oleh orang lain
sehingga membuatnya percaya bahwa mereka hanya sendiri (Grimmond et al., 2019).

3. Hubungan antara struktur keluarga dengan kesehatan mental remaja


Berdasarkan artikel dengan judul hubungan antara struktur keluarga dengan kesehatan
mental remaja (Nugraha et al., 2023) dan The Relationship Between Mental Health
Problems and Systemic Family Dynamics Among High School and University Students in
Shaanxi Province, China (Yang et al., 2021).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan


individu dan memiliki struktur di dalamnya. Struktur keluarga berfungsi untuk
memfasilitasi pencapaian dari fungsi keluarga sehingga fungsi harus dipandang berurutan
dengan struktur keluarga. Struktur keluarga masuk dalam faktor internal yang
mempengaruhi status kesehatan mental individu. Keluarga yang lengkap dan fungsional
serta mampu membentuk keseimbangan akan dapat meningkatkan kesehatan mental tiap
anggota keluarganya. Keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter dan sikap
setiap individu. Keluarga bertanggungjawab dalam perkembangan anak baik secara fisik
maupun psikis. Karena keluarga merupakan wadah pembentukan karakter anggota
keluarganya (Nugraha et al., 2023).
Remaja cenderung mengalami tingkat stress psikologis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini terjadi karena remaja dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan masa dewasa, karena secara fisiologi dan psikologi
belum sepenuhnya sempurna dan masih terus berkembang. Kesehatan mental dapat dilihat
dari faktor internal, keluarga, dan juga lingkungan. Faktor keluarga berupa pola asuh,
seperti pola komunikasi orang tua dan anak, serta seberapa dekat anak dengan orang
tuanya (Nugraha et al., 2023).
Di tiongkok tingkat deteksi masalah psikologis di kalangan remaja adalah 26,3% pada
tahun 2019, dengan tiga masalah teratas adalah tekanan belajar, kompulsi, dan kecemasan.
Masa remaja merupakan tahap kehidupan kritis yang rumit yang menjembatani masa
kanak-kanak hingga dewasa. Permasalahan psikologis pada anak dan remaja tidak hanya
berdampak pada prestasi akademis dan interaksi sosialnya, namun juga berkontribusi
terhadap permasalahan serius di masa dewasa, antara lain pengangguran, penggunaan
narkoba, dan kriminalitas. Meningkatkan kesehatan mental dapat membantu remaja
meningkatkan keterampilan sosialnya, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah,
meningkatkan kepercayaan diri, dan menghindari kekerasan dan perilaku berbahaya
lainnya. Pendidikan orang tua, komposisi keluarga, dan ekonomi keluarga berkorelasi
dengan kesehatan mental remaja. Peningkatan kejadian masalah kesehatan mental
berkorelasi dengan fungsi keluarga yang lebih buruk (Yang et al., 2021).
Dinamika keluarga yang sistemik memainkan peran kunci dalam pengembangan
kepribadian individu, pembentukan nilai-nilai, penanaman kemampuan beradaptasi sosial
dan kesehatan fisik dan mental. Suasana keluarga yang harmonis berhubungan dengan
kesehatan mental yang baik sedangkan kurangnya aktivitas rekreasi keluarga dan
komunikasi yang buruk menurunkan kesehatan mental. Kontrol orang tua yang kurang
ketat juga meningkatkan kesehatan mental remaja. Kurangnya keintiman dan buruknya
ekspresi emosi dalam keluarga dapat menyebabkan depresi remaja. Pemikiran
konvensional dan tidak kreatif dapat menyebabkan lebih banyak masalah perilaku
emosional pada remaja (Yang et al., 2021).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari 114 responden yang diteliti, sebagian
besar memiliki struktur keluarga cukup yaitu sebanyak 65 responden (57,0%). Struktur
keluarga berpengaruh terhadap kesehatan mental karena mayoritas remaja memiliki pola
komunikasi yang kurang baik dengan keluarganya, seperti ketika ada masalah mereka
tidak menceritakan masalahnya dengan orang tua dan mereka akan merasa tidak nyaman
ketika menceritakan masalahnya kepada orang tua. Selain itu, remaja yang memiliki
struktur keluarga cukup jarang atau bahkan tidak pernah terlibat atau diajak diskusi setiap
pengambilan keputusan di dalam keluarga. Pembagian peran dalam keluarga yang tidak
merata dan tidak adil serta lebih banyak anggota keluarga yang mementingkan
kepentingan individu dibandingkan kepentingan keluarga. Kurangnya aturan dalam
keluarga sehingga sangat mudah untuk melanggar aturan serta kurangnya kemampuan
keluarga dalam menyelesaikan masalah serta ketidakmampuan dalam pengambilan
keputusan (Nugraha et al., 2023).
Keluarga perlu memperbaiki perannya dalam pembentukan setiap individu khususnya
remaja supaya dapat membentuk karakter masing-masing anggota keluarganya, terutama
anak yang berstatus menjadi remaja yang masih berada dalam bimbingan dan
tanggungjawab orang tuanya (Nugraha et al., 2023). Harus ada lingkungan keluarga yang
harmonis dan hubungan keluarga yang dilandasi rasa saling menghormati, pengertian,
percaya. Orang tua harus menghormati kepribadian, watak, dan gagasan anak (Yang et al.,
2021).
4. Pengaruh stres kerja terhadap psikologis karyawan
Berdasarkan artikel dengan judul Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kesejahteraan
Psikologis: Dukungan Sosial Sebagai Variabel Intervening (Sari, 2022) dan Work Stress
Management In An Organization With The Role Of HRM (Kapoor & Chhabra, 2022).

Kebijakan work from home (WFH) telah ditetapkan oleh banyak industri sepanjang
pandemi Covid-19. Sistem kerja ini diterapkan untuk mencegah penularan virus corona di
kawasan industri. Banyak organisasi yang menerapkan WFH, sehingga banyak karyawan
yang berusaha untuk menjaga kesehatan fisik dan psikisnya. Manusia sebagai makhluk
sosial yang biasa berhubungan dengan orang lain akan mendapati rasa tidak nyaman jika
harus terus menerus bekerja di rumah. Keadaan ini dapat menimbulkan tekanan jiwa
tersendiri yang berakibat pada stres. Dampak stres akan menurunkan kualitas
kesejahteraan psikologis yang dirasakan oleh karyawan. Kesejahteraan psikologis pada
dasarnya ialah ketika seseorang merasa terbebas dari tekanan atau masalah mental lainnya,
selanjutnya seseorang mampu bertindak secara mandiri dan berpikiran positif terhadap
dirinya dan terbentuklah kesejahteraan psikologis pada dirinya. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan pekerjaan dan kemampuan yang tersedia (tekanan kerja) membuat pengaruh
negatif dan ketidakpuasan hidup lebih dirasakan dampaknya, sehingga stres kerja
menurunkan kesejahteraan psikologis. Stres kerja berpengaruh negatif dan signifikan pada
kesejahteraan psikologis. Dukungan sosial menjadi salah satu yang memengaruhi
kesejahteraan psikologis. Hasil wawancara menunjukkan beberapa karyawan memiliki
beban kerja yang tidak dapat diselesaikan sendiri, sehingga peran rekan kerja dibutuhkan.
Rekan kerja memiliki tuntutan tugas tambahan yang dapat menimbulkan stres kerja (Sari,
2022).
Aspek-aspek stres yang membuat seorang karyawan mengalami stres seperti proyek
baru, target, tenggat waktu, peluang baru, jam kerja tambahan, ekspektasi pemberi kerja,
hubungan interpersonal, dan perselisihan rekan kerja. Ketika seseorang bekerja di suatu
tempat ia dihadapkan pada beberapa peluang, tuntutan, target dan ancaman silih berganti
sehingga menimbulkan ketergesaan pemikiran sehingga menimbulkan stres kerja (Kapoor
& Chhabra, 2022).
Para pekerja diberikan suasana yang tidak menyenangkan untuk bekerja pada pemberi
kerja tetapi tidak peduli dengan dampaknya terhadap kesehatan orang tersebut serta
tanggung jawabnya di luar perusahaan, pemberi kerja sulit menemukan seseorang dengan
kualifikasi dan bakat yang diperlukan untuk itu bekerja di perusahaan dan karyawan
diminta untuk memenuhi setiap permintaan pemberi kerja dengan sebaik-baiknya yang
pada akhirnya menimbulkan kecemasan, depresi dll pada karyawan (Kapoor & Chhabra,
2022).
Ada dua indikator stres kerja yakni time stress dan anxiety stress. Time stress yaitu
perasaan berada di bawah tekanan yang berlaku terus menerus. Time stress merupakan
impresi karyawan ketika mereka tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Anxiety
stress yaitu perasaan cemas yang berhubungan dengan pekerjaan. Dukungan dari pimpinan
dan rekan kerja pada karyawan dapat mengurangi stres dan meningkatkan percaya diri
sehingga karyawan merasa dihargai atas upaya yang telah dilakukan (Sari, 2022).
Berdasarkan hasil pengujian, stres kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan bagi
kesejahteraan psikologis. Artinya, rendahnya stres kerja yang dirasakan karyawan akan
meningkatkan kesejahteraan psikologis. Stres kerja ada pada kategori sedang disebabkan
karena karyawan yang cukup mengalami time stress dalam pekerjaan. Karyawan beberapa
kali merasakan kesulitan dalam mengerjakan tugas. Ada beberapa faktor yang
memengaruhi, seperti waktu dalam pengerjaan tugas, kurangnya sumber daya manusia
yang berdampak pada bertambahnya tugas, lokasi penugasan, dan banyaknya barang yang
harus didistribusikan menyebabkan karyawan kurang memiliki waktu untuk menciptakan
hubungan positif dengan karyawan lain karena kesibukannya. Ketika karyawan
mengalami time stress dan anxiety stress dalam pekerjaan, dampaknya pekerjaan tidak
dapat terselesaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (Sari, 2022).
Stres kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada dukungan sosial. Semakin
rendah stres kerja yang dialami karyawan, semakin tinggi dukungan sosial yang didapat
karyawan. Karyawan terkadang merasa tertekan dan cemas akan pekerjaannya. Namun
kondisi tersebut dapat dikurangi apabila karyawan mendapatkan dukungan dari keluarga
dan rekan kerja. Dukungan dapat berupa dukungan emosional, informasi dan dukungan
penilaian seperti feedback atas apa yang telah dilakukan (Sari, 2022).
Dukungan sosial berpengaruh positif dan signifikan pada kesejahteraan psikologi,
artinya meningkatnya dukungan sosial yang didapat karyawan, maka akan meningkatkan
kualitas dari kesejahteraan psikologis. Karyawan secara bertahap mendapat dukungan
sosial, baik dukungan dari keluarga, rekan kerja dalam perusahaan maupun dukungan dari
orang yang dianggap istimewa. Dukungan tersebut sangat berpengaruh dalam mengurangi
stres kerja yang dialami karyawan, baik pada time stress maupun anxiety stress. Karyawan
telah mempunyai kepercayaan diri akan pendapatnya, dapat menguasai lingkungan, dapat
mengembangkan diri, mempunyai ikatan positif dengan orang lain, memiliki tujuan dalam
hidup, dan dapat menerima kelebihan serta kekurangannya sehingga hal tersebut dapat
mengurangi stres kerja karyawan pada perusahaan (Sari, 2022).

5. Burn out pada mahasiswa


Berdasarkan artikel dengan judul Research Progress of College Students' Learning
Burnout (Hou, 2021) dan Academic Burnout Pada Mahasiswa Yang Menjalani
Pembelajaran Online (Budiarti & Appulembang, 2021).
Wabah virus corona ini masih terus berjangkit hingga tahun 2021 termasuk di
Indonesia, sehingga ada beberapa hal yang saat ini masih diterapkan pemerintah untuk
tetap melindungi masyarakat dari virus corona. Salah satunya adalah masih diterapkannya
sistem pembelajaran online. Pembelajaran online diyakini sebagai sebagai sarana paling
efektif selama pandemi, tenyata masih jauh dari yang diharapkan. Kerena mahasiswa
mengatakan merasa bosan mengikuti pembelajaran daring, lelah menatap layar
komputer/laptop, mengeluh karena tugas yang menumpuk serta deadline tugas yang
singkat, merasa tidak bersemangat, dan merasa kelelahan karena sistem pembelajaran
online yang diterapkan. Academic burnout dikalangan mahasiswa adalah perasan lelah
karena tuntutan studi (exahaustion), tidak perduli dengan tugas akademik (cynicism) dan
merasa tidak kompeten (Budiarti & Appulembang, 2021).
Beberapa faktor yang mempengaruhi academic burnout yaitu ada faktor eksternal yaitu
faktor yang bersumber dari lingkungan yang berhubungan dengan pembelajaran.
Kemudian, faktor internal yang bersumber dari diri individu seperti, efikasi diri, citra diri,
locus of control, harga diri dan kecemasan. Mahasiswa yang memiliki sifat hardiness yang
tinggi mampu mengatasi stresor pendidikan yang dialami, sehingga tidak akan mengalami
academic burnout. Dukungan sosial dan kepribadian, terutama tempramen negatif dapat
mempengaruhi academic burnout pada mahasiswa (Budiarti & Appulembang, 2021).
Kelelahan belajar merupakan masalah psikologis yang umum terjadi pada mahasiswa,
yang berdampak serius terhadap prestasi akademik serta kesehatan fisik dan mental
mahasiswa, menyia-nyiakan sumber daya pendidikan, dan membawa berbagai bahaya
tersembunyi bagi pertumbuhan bakat dan perkembangan sosial (Hou, 2021). Kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan rendahnya rasa berprestasi. Learning burnout merupakan
fenomena pembelajaran yang bersifat negatif, yang akan menimbulkan kerugian bagi
siswa itu sendiri. Learning burnout membuat mahasiswa mengurangi investasi belajar,
menyia-nyiakan kesempatan belajar yang besar, dan mempengaruhi perkembangan
akademik dan kesehatan fisik dan mental mereka. Kelebihan tugas menyebabkan individu
kelelahan fisik, orang tua menetapkan tujuan belajar untuk anak mereka yang tidak sesuai
dengan kenyataan atau bertentangan dengan keinginan anak, hal ini akan meningkatkan
tekanan pada anak dan membuat anak benci belajar (Hou, 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Budiarti, B. W., & Appulembang, Y. A. (2021). Academic Burnout pada Mahasiswa yang
Menjalani Pembelajaran Online. Psychology Journal of Mental Health, 3(1), 82–95.
https://doi.org/10.32539/pjmh.v3i1.39

Grimmond, J., Kornhaber, R., Visentin, D., & Cleary, M. (2019). A qualitative systematic
review of experiences and perceptions of youth suicide. PLoS ONE, 14(6), 1–25.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217568

Hou, Y. (2021). Research Progress of College Students’ Learning Burnout. Review of


Educational Theory, 4(4), 43. https://doi.org/10.30564/ret.v4i4.3545

Kapoor, J., & Chhabra, P. (2022). Work stress management in an Organization whit the rol of
HRM. Journal of Positive School Psychology , 6(2), 233–240.
https://www.journalppw.com/index.php/jpsp/article/view/1168

Nugraha, M. D., Suhada, R., & Maemunah, M. (2023). Hubungan antara struktur keluarga
dengan kesehatan mental remaja. Journal of Public Health Innovation, 3(02), 181–188.
https://doi.org/10.34305/jphi.v3i02.727

Pinggian, B., Opod, H., & David, L. (2021). Dampak Psikologis Tenaga Kesehatan Selama
Pandemi COVID-19. Jurnal Biomedik (Jbm), 13(2), 144.
https://doi.org/10.35790/jbm.13.2.2021.31806

Sari, A. (2022). Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis: Dukungan Sosial
Sebagai Variabel Intervening. Jurnal Ilmu Manajemen, 10(2), 597–606.

Simanjuntak, R., Arieta, S., & Syafitri, R. (2023). Persepsi Bunuh Diri Pada Kalangan Usia
Muda di Kecamatan Sei Beduk Kota Batam (Perception of Suicide Among Young
People in Sei Beduk District, Batam City). Social Issues Quarterly, 1(4), 994–1006.

Walton, M., Murray, E., & Christian, M. D. (2020). Mental health care for medical staff and
affiliated healthcare workers during the COVID-19 pandemic. European Heart Journal:
Acute Cardiovascular Care, 9(3), 241–247. https://doi.org/10.1177/2048872620922795

Yang, Z., Cui, Y., Yang, Y., Wang, Y., Zhang, H., Liang, Y., Zhang, Y., & Shang, L. (2021).
The Relationship Between Mental Health Problems and Systemic Family Dynamics
Among High School and University Students in Shaanxi Province, China. International
Journal of Public Health, 66(September), 1–8.
https://doi.org/10.3389/ijph.2021.1603988
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai