Anda di halaman 1dari 9

Problematika Pembebanan Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)

Sebagai Guarantor Pada Praktek Project Finance Syndicated Loan di


Indonesia (Kasus Non-likuid William Suryadjaja dan PT Bank Summa
International)

MAKALAH PENGGANTI UAS HUKUM JAMINAN

Ditulis oleh:
Yorris Pangestu
11000122140531
Hukum Jaminan Kelas O

Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Tahun 2023/2024


Universitas Diponegoro, Kampus Jl. Dr. Antonius Suroyo, Tembalang, Kota
Semarang, Jawa Tengah 50275
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pinjaman dapat dilakukan pada personal guarantee dan corporate guarantee,
baik untuk membiayai modal kerja (working capital) maupun modal tetap (fixed
asset). Namun sarana yang banyak digunakan di dalam prakteknya adalah jasa
Lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan. Dapat pula dikemukakan bahwa
kredit merupakan instrumen pembiayaan yang dominan dalam mempertemukan atau
mengaitkan kepentingan dari kalangan bisnis dengan dunia perbankan guna
mengoptimalkan hasil usaha masing-masing. Hal itu umumnya dibakukan dalam
sautu hubungan kontrak keuangan yang terdiri atau memuat norma-norma yang
mengatur syarat-syarat pengkreditan, hak dan kewajiban para pihak, sekaligus
mengadung nilai-nilai moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat. 1 Jaminan
merupakan suatu alternatif yuridis yang diandlakan untuk meninimalkan kerugian
akibat kegalan kredit. Seringkali kreditor meminta debitur menyediakan jaminan
secara khusus, hak jaminan kebendaan, maupun jaminan perorangan.2
Hakikat jaminan telah selaras dengan prinsip-prinsip perkreditan modern
(character, capacity, capital, collateral, dan conditions of economic). Jaminan yang
dapat dilakukan oleh personal guarantee dan corporate guarantee dengan pernyataan
kesanggupan untuk menanggung untuk pembayaran utang dari seseorang,
sekelompok orang, maupun utang dari suatu badan hukum atau sekumpulan badan
hukum. Penanggung atau jaminan perorangan untuk pembayaran utang debitur
tersebut dapat dilakukan dengan sepengatahuan debitur, atau diluar pengetahuan
debitur.3 Jaminan tersebut mengenai jaminan perorangan dalam kaitannya dengan
pemberian kredit sindikasi. Bahwa dalam praktek kredit sindikasi ditemukan relatif
banyak kreditur sindikasi yang masih mesyaratkan adanya jaminan peroangan dari
satu atau lebih penjaminan, sekalipun hasil penilaian atas usulan kredit dan nilai
agunan kredit telah memenuhi kriteria dan syarat yang ditetapkan.

1
Dahlan Siamat, “Manajemen Bank Umum”, Intermedia, Jakarta (1993), hal. 213.
2
Weirase Engine, Kashadi, Siti Malikhatun Badriyah. Penyelesaian Sengketa Tanah Objek Hak
Tanggungan yang Dijual oleh Debitor Tanpa Sepengetahuain Bank (Studi Di Bank Pembangunan Daerah
Kantor Cabang Takengo). DIPONEGORO LAW JOURNAL. Vol. 5, No. 3 (2016), hal.3.
3
Subektif, “Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia”, Citra Aditya Bakti,
Bandung (1991), hal. 15.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hubungan Hukum Guarantor dan Lender Pada Praktik Project
Finance Syndicated Loan di Indonesia?
2. Bagaimana Jaminan Perorangan sebagai Guarantor dalam Praktik Project
Finance Syndicated Loan di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Hukum Guarantor dan Lender Pada Praktek Project Finance
Syndicated Loan di Indonesia
Pada kreditur pemegang jaminan perorangan (personal guarantee) yang juga
disebut sebagai unsecured creditor, tidak melekat suatu hak khusus atas harta
kekayaan guarantor, Jenis jaminin memang tidak pernah dirujukkan pada benda atau
harta kekayaan tertentu milik guarantor sebagai objek jaminan. Selanjutnya, yang
menjadi dasar hanya kesepakatan antara guarantor dan kreditur sindikasi, dimana
guarantor mengikatkan diri dengan menjaminkan harta kekayaan yang dimiliki untuk
memenuhi kewajiban debitur pada waktu yang diperjanjikan dengan syarat-syarat
tertentu. Jaminan perorangan dalam literatur hukum keperdataan sering dianggap
hanya merupakan secondary pocket dalam pelunasan utang, terutama digunakan jika
sumber lain tidak mencukupi.
Dalam melidungi kepenting kreditur, pengaturan hubungan hukum dalam
penjaminnan yang dibuat oleh guarantor dan kreditur diupayakan agar dilandaskan
pada prinsip-prinsip yang adil. Sifat hubungan ini dapat diupayakan antara lain
dengan mempertimbangkan beberapa dalam membentuk suatu perjanjian jaminan.
Pertama, dibutuhkan adanya kejelasan dan ketegasan penganturan mengenai
perjanjian kredit yang dijamin. Kedua, klausula sifat gurantor yang diatur bahwa
penjaminan tidak akan berakhir sebelum perjanjian kreditnya berakhir, walaupun
debitur telah melakukan beberapa pembayaran. Ketiga, dalam kelausul subrograsi
guarantor yang telah menajalankan tanggungjawabannya, berdasarkan ketentuan
Pasal 1402 jo. Pasal 1840 KUHPer, memiliki hak demi hukum untuk menggantikan
kedudukan kreditur atas debitur, maupun untuk menggantikan kedudukan kreditur
sebagai penerima jaminan. Keempat, klusula dalam perubahan perjanjian kredit tidak
sedikit perjanjian kredit yang mengalami beberapa perubahan di dalam
pelaksanaanya. Perubahan isi maupun pelaksaannya dapat dijadikan “amandemen”
atau “addendum” waktu pelunasan kredit, jumlah plafon kredit, atau syarat-syarat
peluasan utang. Kelima, klausula bukti jumlah kredit dalam praktik guarantor adalah
lazim ditetapkan bahwa pemberitahuan tertulis dari kreditur menjadi bukti yang
mengikat dan bersifat konklusif bagi guarantor atas jumlah kredit yang dijamin.
Bentuk-bentuk kredit sindikasi tersebut membawa konsekuensi yuridis tertentu
terhadap pelaksanaan jaminan peroangan. Pemberian jaminan dalam sindikasi umum
secara bervariasi, yakni ditujukan hanya kepada bank agen sebagai wakil kuasa dari
para kreditur anggota sindikasi, atau ditujukan kepada semua kreditur anggota
sindikasi selaku lenders sekaligus kepada bank agen dalam satu dokumen perjanjian
jaminan. Bahwa dalam praktik sindikasi umum terhadap di antara para kreditur
sindikasi. Lead manager berkedudukan selaku bank agen yang antara lain
bertanggung-jawab atas pengelolaan dan teknis pelaksanaan perjanjian kredit.
Walaupun anggota sindikasi turut berhadapan dengan debitur menandatangani
dokumen perjanjian kredit atau dengan guarantor untuk mendatangani perjanjian
jaminan, tetapi mereka tidak dapat secara langsung melakukan tuntutan terhadap
guarantor jika debitur wanprestasi. Wanprestasi diartikan dengan keadaan borrower
yang dinyatakan keadaan yang lalai dengan suatu perintah atau akta sejenisnya. 4
Tuntutan pada umumnya dilakukan melalui para lenders, kecuali apabila para lenders
memberika kuasa khusus untuk itu kepada salah satu atau semua anggota sindikasi.
Berbeda halnya dengan kredit sindikasi berupa club deal. Karena seteraan eksistensi
dari sesama kreditur sindikasi, baik dalam perjanjian kreditur maupun perjanjian
jaminan, maka masing-masing kreditur adalah dimungkinkan secara langsung
menuntut pertanggungjawaban kepada guarantor jika debitur wanprestasi. Dalam
pelaksanaan tidak boleh bagian dari keseluruhan, jadi harus untuk keseluruhan jumlah
kredit debitur yang dijamin.

2.2. Jaminan Perorangan sebagai Guarantor dalam Praktik Project Finance


Syndicated Loan di Indonesia
Gurantor merupakan salah satu Lembaga konvensional dalam sejarah
kehidupan manusia, yang usianya bahkan jauh lebih tua dibandingkan dengan
KUHPer yang membuat ketentuan-ketentuan pengaturannya. Meski mempunyai
4
Ibrahim Siregar and Yorris Pangestu. Dispute Settlement Related to Default in Cross-Border
Electronic Transaction in The Perspective of Private International Law. Lex Anthologia by ALSA LC UI.
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 1, No. 1 (2023), hal. 81.
fungsi dan peranan yang esensi dalam pembentukan dan pelaksanaan hubungan di
bidang hukum harta kekayaan, tetapi lembaga jaminan (perorangan) kurang menyita
perhatian dan perbicangan. Selain pengaturan yang kurang dalam perkembangan, itu
juga turut disebabkan relatif sedikit sengketa dalam pengajuan gugatan terhadap
orang-orang yang bertindak selaku guarantor yang diajukan ke Pengadilan.5 Dalam
pemberian fasilitas kredit pada praktiknya jaminan bahkan lebih dominan atau
diutamakan, sehingga jaminan lebih dipentingkan daripada hanya sekedar jaminan
yang berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk melunasi utangnya.
Dalam kasus jaminan perorangan (personal guarantee) William Suryadjaja
dalam kasus non-likuid PT Bank Summa International, jaminan perorangan yakni
William Suryadjaja yang selanjutnya disebut dengan Guarantor 1 (“G1”). Tindakan
G1 melaksanakan tanggungjawabnya kepada kreditur sindikasi, maka hampir
dipastikan bahwa dalam jaminan perorangan yang dibuat telah turut diatur
penyampingan ketentuan yang diberikan peraturan perundangan-undangan bagi
guarantor, khususnya ketentuan Pasal 1831 KUHPer. Konsekuensi yuridisnya G1
diwajibkan segera melaksanakan tanggungjawabanya sebagai guarantor setelah
borrower dinyatakan wanprestasi dalam hal itu didasarkan ketetapan dari Bank
Indonesia terhadap lenders. Dengan demikian, pelaksaan kewajiban dari G1 dapat
dipandang tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, atau setidak-tidaknya
selaras dengan hukum kebiasaan yang berlaku terhadap guarantor dalam praktik
perkreditan bank.
Jaminan peroangan yang dinyatakan secara lisan oleh G1, sebagaimana
dikutip melalui media cetak, tidak bertentangan dengan norma-norma keabsahan
suatu perjanjian menurut hukum perjanjian yang berlaku, Keberadaan dari G1 dalam
penjaminan yang juga merupakan pemegang saham salah satu bank kreditur pada
hakikatnya juga tidak mengandung permasalahan yuridis. Karena pada umumnya
pemegang saham dalam suatu peseroan terbatas hanya dipertanggungjawabkan
sebatas modal yang diambil bagiannya dan yang telah disetor, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang melarang tegas pemegang saham untuk menjamin
perseroannya. Jaminan peroangan yang dinyatakan oleh G1 dan mengikatkan para
kreditur. Dalam ketentuan yuridis yang menjadi landasan bahwa jaminan perorangan
G1 tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur ketentuan Pasa 1320

5
Stivenly Christian Sumual. Tinjaun Hukum dalam Perjanjian Pinjaman Kredit Sindikasi Menurut
Peraturan Perbankan. E-Journal Unsrat. Lex et Societatis, Vol. IV, No. 2 (2016), hal. 114.
KUHPer. Sedangkan masalah suatu penjaminan tidak menjadi syarat kebatalan sebab
para pihak tidak menolak atau telah menyepakati hal tersebut, Karena itu G1 wajib
untuk mengembalikan uang kreditur. Para kreditur mengajukan gugatan ke pengadilan
agar dinyatakan pailit. Sehingga dari pelelangan harta kekayaan G1 dibayarkan
kembali uang tabungan dan/atau deposito dari para kreditur bank.
Pembebanan jaminan setelah peristiwa hukum yang dijamin terjadi tidak
selaras dengan hakikat dan maksud pengaturan jaminan dalam ketentuan yang
berlaku, Ketidaan ketentuan yang mengatur tegas mengenai kapan waktu jaminan
dapat dan atau harus diberikan, tidak berarti dapat secara mutlak, baik mencipatkan
ketidakpastian hukum, tetapi mengurangi nilai-nilai keadilan. Tidak ada pernyataan
tegas dari G1 demi kepastian hukum dan keadilan tidak sepatutnya untuk dimintai
bertanggungjawab secara absolut dalam kasus kreditur bank, karena hal itu tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 1824 KUHPer. Dengan perkataan lain, G1 kurang
berdasar disebut wanprestasi dan digugat agar dinyatakan pailit.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setiap subjek hukum, baik secara peroangan atau bersama-sama dengan orang
lain dapat menjadi guarantor dalam pelaksaan perjanjian kredtir sindikasi di
Indonesia, apabila telah memenuhi syarat sosiologis, syarat ekonomis, dan syarat
harta kekayaan yang dijamin dalam juridiksi negara Indonesia. Konsekuensi yuridis
yang bersifat accesoir dalam setiap perjanjian jaminan merupakan diri guarantor
yang melekat dengan unsur kewajiban yang melaksanakan jaminannya jika debitur
mengalami wanprestasi atau dalam keadaan insolvensi oleh pengadilan. Kedudukan
hukum antara guarantor dengan kreditur dalam praktik perjanjian kredit sindikasi
tidak setara. Hak-hak lender pada umumya lebih dominan dari pada guarantor, yang
disebabkan oleh pengaturan atas hak istimewa guarantor dalam KUHPer yang mudah
dikesampingkan lender dalam pembuatan perjanjian jaminan. Dalam perjanjian kredit
sindikasi, syarat klausul yang halal dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHper
wajib dipenuhi juga dengan lender maupun borrower sebelum perjanjian yang dibuat
atau ditandatangani hingga akhir perjanjian tersebut. Dan dalam praktik peradilan
bida perdata di Indonesia di nilai kurang melindungi hak-hak atau kepentingan dari
Lembaga perbankan yang menjadi lender dalam perjanjian kredit sindikasi dengan
personal guarantee untuk melakukan eksekusi terhadap kekayaan guarantor karena
debitur wanprestasi ataupun dalam keadaan insolvensi.

Saran
1. Upaya memberikan kepastian hukum yang lebih hakaki kepada para pihak dalam
perjanjian personal guarantee yang dibuat untuk pejanjian kredit sindikasi, dapat
disarakan agar Pemerintah Indoensia melalui kementerian keuangan dan Bank
Indonesia menetapkan suatu peraturan secara khusus yang jelas dan tegas
mengatur tentang syarat-syarat subjektif dan objektif yang wajib dipenuhi oleh
peroangan yang akan menjadi guarantor untuk perjanjian kredit di Indoensia.
2. Lalu, dalam upaya melindungi kepentingan kedudukan kreditur maupun
perorangan yang bertindak selaku guarantor dalam pelaksanaan perjanjian kredit,
disarankan agar dibentuk suatu peraturan pelaksananaan Undang-Undang
Perbankan yang mengatur mengenai kemungkinan pihak guarantor untuk
mendapatkan informasi-informasi penting sehubung dengan pelaksanaan
perjanjian kredit.

DAFTAR PUSAKA
Dahlan Siamat, “Manajemen Bank Umum”, Intermedia, Jakarta (1993).

Weirase Engine, Kashadi, Siti Malikhatun Badriyah. Penyelesaian Sengketa Tanah Objek
Hak Tanggungan yang Dijual oleh Debitor Tanpa Sepengetahuain Bank (Studi Di
Bank Pembangunan Daerah Kantor Cabang Takengo). DIPONEGORO LAW
JOURNAL. Vol. 5, No. 3 (2016).

Subekti, “Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia”, Citra


Aditya Bakti, Bandung (1991).

Ibrahim Siregar and Yorris Pangestu. Dispute Settlement Related to Default in Cross-Border
Electronic Transaction in The Perspective of Private International Law. Lex
Anthologia by ALSA LC UI. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 1, No. 1
(2023).

Stivenly Christian Sumual. Tinjaun Hukum dalam Perjanjian Pinjaman Kredit Sindikasi
Menurut Peraturan Perbankan. E-Journal Unsrat. Lex et Societatis, Vol. IV, No. 2
(2016).

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai