Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN EVIDENCE BASED PRACTICE SISTEM


ENDOKRIN (KASUS DIABETES MELLITUS)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Endokrin,
Pencernaan, Perkemihan, dan Imunologi. Dengan dosen pengampu Upik Rahmi.,S,Kp.,M.Kep

Disusun oleh:

Amallia Lubna 2209813


Angger Raisia 2210363
Dinda Sylvania Raisa 2205849

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayat serta kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Pemeriksaan Diagnostik dan Evidence Based Practice Sistem Endokrin (Kasus Diabetes
Mellitus)”. Tidak lupa shalawat serta salam kami curahkan kepada nabi kita, Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya dan para sahabatnya.
Kami ucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang mendukung kami dalam
menyelesaikan makalah ini, terutama:
1. Ibu Upik Rahmi.,S,Kp.,M.Kep selaku dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Dewasa
Sistem Endokrin, Pencernaan, Perkemihan, dan Imunologi.
2. Keluarga yang telah memberi kami dukungan baik verbal maupun nonverbal.
3. Rekan-rekan keperawatan kelas 2B yang senantiasa membantu kami ketika mengalami
kesulitan.
Tentu makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi isi maupun penulisan. Untuk itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian agar
kami dapat memperbaikinya di karya kami selanjutnya. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pembaca. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, 8 Februari 2024

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ....................................................................... 1
1.1 Tujuan .......................................................................................................................... 1
1.2 Prosedur dan Persiapan ................................................................................................ 1
BAB II GIZI PADA PENYAKIT DM ........................................................................... 4
2.1 Tujuan .......................................................................................................................... 4
2.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 4
2.3 Pembahasan .................................................................................................................. 4
BAB III FARMAKOLOGI/NON FARMAKOLOGI PADA PENYAKIT DM ......... 7
3.1 Tujuan .......................................................................................................................... 7
3.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 7
3.3 Pembahasan................................................................................................................... 7
BAB IV REHABILITASI MEDIS PADA PENYAKIT DM ........................................ 13
4.1 Tujuan .......................................................................................................................... 13
4.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 13
4.3 Pembahasan .................................................................................................................. 13
BAB V PENUTUP ............................................................................................................ 20
5.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

ii
BAB I
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.1 Tujuan
Pemeriksaan diagnostik pada diabetes mellitus bertujuan untuk mengonfirmasi keberadaan
kondisi diabetes, menentukan jenis diabetes (tipe 1, tipe 2, gestasional, dll.), dan mengevaluasi
tingkat kontrol gula darah pada penderita.
1.2 Prosedur dan Persiapan
Menurut Barbara C. Long (2009) pemeriksaan diagnostik untuk penyakit diabetes mellitus
adalah:

Pemeriksaan Prosedur dan persiapan Interpretasi

Gula darah puasa Puasa mulai tengah malam Kriteria diagnostik untuk diabetes
(GDP) : 70 – 110 melitus > 140 mg/dL paling sedikit
mg/dL plasma vena dalam 2x pemeriksaan atau > 140
mg/dL disertai gejala klasik
hiperglikemia atau CGT : 115 : 140
mg/dL

Gula darah 2 jam Gula darah diukur 2 jam Digunakan untuk skrining atau
post prandial < 140 setelah makan berat atau 2 evaluasi pengobatan, bukan
mg/dL jam setelah mendapat 100 gr diagnostik
gula

Gula darah sewaktu Digunakan untuk skrining bukan


: 140 mg/dL diagnostik

Tes intoleransi Puasa mulai tengah malam, Kriteria diagnostik untuk diabetes
glukosa oral GDP diambil diberi 75 mg melitus, GDP : 140 mg/dL. Tapi
(TTGO). GD < 115 glukosa, sampel darah (dan gula darah 2 jam dan pemeriksaan
mg/dL urine) ditampung pada ½ 1, lainya > 200 mg/dL dalam 2x
dan 2 jam kadang-kadang pemeriksaan untuk 165 GDP < 140
pada 2, 4, dan 5 jam berikut. mg/dL 2 jam antara 140-200 mg/dL
dan pemeriksaan untuk IGT : GDP
< 140 mg/dL . TTGO dilakukan
hanya pada pasien yang bebas diit
dan beraktivitas fisik 3 hari
sebelum tes, tidak dianjurkan pada
(1) hiperglikemia yang sedang
puasa (2) orang yang mendapat
thiazide, dilantin propranolol, lasix,
tiroid, estrogen, pil KB, steroid (3)
pasien yang dirawat

1
Tes toleransi Sama untuk TTGO Dilakukan jika TTGO merupakan
glukosa intravena kontra indikasi kelainan
(TTGI) gastrointestinal yang
mempengaruhi glukosa
(Sumber : Perawatan Medikal Bedah. Barbara C. Long. 2009)
Cara diagnosis diabetes melitus dapat dilihat dari peningkatan kadar glukosa darahnya.
Terdapat beberapa kriteria diagnosis Diabetes Melitus berdasarkan nilai kadar gula darah,
berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarkan ADA (2017):
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1 mmol/L). Glukosa
darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria, polidipsia dan berat badan turun
tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L). Puasa adalah pasien tak mendapat
kalori sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes Toleransi Glukosa Oral
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr
glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil
yang diperoleh :
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140- 199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/L).
GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/L).
Berikut ini merupakan langkah-langkah diagnostik DM:

2
Gambar 1.1. Alur Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu
(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Syam AF (2014))
Keterangan:
- GDP = Glukosa Darah Puasa,
- GDS = Glukosa Darah Sewaktu,
- GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu,
- TGT = Toleransi Glukosa Terganggu,
- * = GDPT bila GDP 110-126 Normal bila GD 2 jam PP 110-126.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien DM diantaranya yaitu:
a). Postprandial. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan 2
jam setelah makan dan minum. Untuk mengindikasikan bahwa hasil pemeriksaan tersebut
dapat dikatakan diabetes yaitu dengan melihat angka gula darah. Apabila kadar gula darah di
atas angka 130 mg/dl maka dapat disebut diabetes.
b). Hemoglobin glikosilat (HbA1C). Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberi pasien air
gula 75 gram dilakukan setelah pasien berpuasa semalaman lalu akan diuji selama 24 jam.
Angka gula darah normal 2 jam setelah meminum cairan tersebut yaitu kurang dari 140 mg/dl.
c). Test glukosa darah dengan finger stick. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menusukkan
jarum pada jari kemudian sampel darah diletakkan di sebuah strip yang ada di glukometer.

3
BAB II
GIZI PADA PENYAKIT DIABETES MELLITUS
2.1 Tujuan
Mengetahui pola makan yang sehat dan sesuai untuk penderita diabetes yang melibatkan
kontrol gula darah, manajemen berat badan, pencegahan komplikasi, dan peningkatan
kesehatan secara keseluruhan.
2.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana asupan gizi yang tepat dan sesuai untuk pasien diabetes mellitus?
2. Bagaimana peran perawat dalam melakukan penatalaksanaan gizi untuk pasien diabetes
mellitus?
2.3 Pembahasan
Gizi merupakan salah satu elemen penting yang perlu diperhatikan pada penyandang DM.
Status gizi seorang penyandang DM dipengaruhi oleh usia, tingkat sosial ekonomi, kebiasaan
makan, dan aktivitas fisiknya. Konsumsi gizi merupakan topik yang mencakup prinsip
pengaturan pola makan bagi penyandang DM. Prinsip tersebut melibatkan ketepatan atau
kesesuaian dalam jadwal makan, jenis makanan, dan jumlah makanan. Pada dasarnya,
penyandang DM harus melakukan semua prinsip pengaturan pola makan tersebut untuk
mengendalikan kadar glukosa darah agar normal dan pada akhirnya dapat mengurangi
morbiditas serta mortalitas.
Asupan zat gizi dan serat bagi penderita penyakit DM, antara lain:
1. Asupan Karbohidrat dan Serat
Efek karbohidrat pada kadar gula darah sangatlah kompleks. Sumber-sumber gula yang
dimurnikan (refined sugar) akan diserap lebih cepat dibandingkan dengan karbohidrat
yang berasal dari pati atau makanan berserat seperti sereal atau buah atau dari jenis
karbohidrat kompleks. Makanan dengan IG (Indeks Glikemik) tinggi akan menyebabkan
kenaikan kadar glukosa darah lebih cepat. Oleh karena itu dianjurkan bagi pasien penderita
DM agar memilih makanan dengan IG rendah. Diet rendah IG akan memperbaiki kadar
glukosa darah pada penderita DM tipe 1 dan 2. Studi meta analisis pada 14 studi
(randomized controlled trials) yang melibatkan 356 penderita DM ditemukan bahwa
dengan diet rendah IG memperbaiki kadar glukosa darah jangka pendek dan panjang, yang
direfleksikan melalui penurunan secara signifikan kadar fruktosamin dan hemoglobin

4
A1C. Makanan dengan IG rendah adalah antara lain whole grain, buah-buahan, sayuran,
dan kacang-kacangan yang juga termasuk dalam makanan kaya serat.
Mengonsumsi serat dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat
metabolik berupa pengendalian gula darah, hiperinsulinemia, dan kadar lipid plasma atau
faktor risiko kardiovaskular. Jumlah serat yang dianjurkan untuk dikonsumsi bagi
penderita DM sama dengan jumlah serat yang dianjurkan pada masyarakat umum, yaitu
15-20 gram/1000 kkal setiap harinya dari berbagai bahan makanan sumber serat, terutama
serat larut.
2. Asupan Lemak
Tujuan diet yang utama dalam kaitannya dengan lemak makanan pada penyandang DM
adalah membatasi asupan lemak jenuh dan kolesterol dari makanan. Lemak jenuh
merupakan determinan diet yang penting untuk menentukan kadar LDL-kolesterol di
dalam plasma. Aspek paling penting yang berhubungan dengan komposisi diet adalah
konsumsi lemak jenuh <10% dari total energi atau bahkan <8% bagi pasien dengan risiko
kardiovaskuler tinggi. Adanya rekomendasi kuat, yaitu tingginya risiko menderita penyakit
kardiovaskuler pada pasien diabetes dan kenyataan bahwa asupan lemak jenuh
memberikan efek terhadap metabolisme lemak (meningkatkan kolesterol LDL), resistensi
insulin, dan tekanan darah. Penyandang DM tampaknya lebih sensitif terhadap kolesterol
dalam makanan ketimbang populasi yang bukan DM. Asupan kolesterol sebaiknya juga
dikurangi, yaitu <300 mg per hari bagi semua penderita diabetes dan <250 mg per hari bagi
individu yang mengalami peningkatan kolesterol LDL.
Makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi yang perlu dibatasi adalah terutama
dari daging, makanan laut (seafood), produk susu, seperti keju dan es krim. Selain itu perlu
membatasi konsumsi makanan penganan (snacks), margarin, makanan yang dipanggang
atau dibakar dan makanan olahan yang banyak mengandung lemak trans.
3. Asupan Vitamin C
Selain zat gizi makro, zat gizi mikro juga berperan terhadap penyakit DM. Salah satu zat
gizi mikro tersebut adalah vitamin C yang berperan sebagai antioksidan, yaitu menurunkan
resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endothelial dan menurunkan stress oksidatif
sehingga mencegah berkembangnya kejadian diabetes tipe 2.

5
Upaya dalam merawat penderita DM melalui suplementasi antioksidan atau
makanan kaya dengan antioksidan akan memberikan manfaat dalam memperkuat enzim
pertahanan dan menurunkan peroksidasi lipid. Dari hasil penelitian Azrimaidaliza, Melva
Diana, dan Ramadani (2010) diketahui orang dewasa di Kota Padang Panjang banyak
mengonsumsi sayur-sayuran seperti bayam, daun singkong, dan tomat serta buah-buahan
seperti pepaya, jeruk, dan mangga. Menurut Almatsier (2001), sayur-sayuran seperti
bayam, daun singkong, dan tomat serta buah-buahan seperti pepaya, jeruk dan mangga
merupakan beberapa makanan sumber vitamin C yang baik dikonsumsi.
Selain zat gizi yang sudah disebutkan sebelumnya, bagi penderita diabetes dianjurkan
untuk membatasi konsumsi garam, yaitu <6 gram per hari terutama yang menderita tekanan
darah tinggi. Peran perawat diperlukan untuk memberikan bimbingan teknis kepada
penyandang DM mengenai pola makan tepat jumlah, jadwal, dan jenis. Intervensi keperawatan
yang berkaitan dengan gizi telah dijelaskan dalam Nursing Interventions Classification (NIC)
dan terdapat 4 intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat, salah satunya adalah nutritional
management. Perawat dapat melakukan penatalaksanaan gizi dengan cara menentukan jumlah
kalori dan jenis gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi penyandang DM.

6
BAB III
FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI PADA PENYAKIT
DIABETES MELLITUS
3.1 Tujuan
1. Mengetahui cara pengobatan farmakologi pada pasien dengan diabetes mellitus
2. Mengetahui cara pengobatan non farmakologi pasien dengan diabetes mellitus
3.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengobatan farmakologi pada pasien dengan diabetes mellitus?
2. Bagaimana pengobatan non farmakologi pada pasien dengan diabetes mellitus?
3.3 Pembahasan
Penatalaksanaan pada pasien dengan diabetes mellitus utamanya adalah dengan mengubah
pola hidup dari sebelumnya menjadi pola hidup sehat lalu dibantu dengan terapi secara
farmakologi.
1. Pengobatan farmakologi diabetes mellitus
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO). Obat-obat pada pasien diabetes mellitus yang
diberikan secara oral untuk mengendalikan glikemia pada diabetes mellitus tipe 2
menurut Sugondo (2006) diantaranya sebagai berikut:
- Sulfonilurea. Sulfonilurea merupakan obat diabetes mellitus tipe 2 yang
berfungsi untuk menurunkan kadar gula darah dengan merangsang pankreas
untuk memproduksi lebih banyak insulin. Obat golongan sulfonilurea
menjadi pilihan utama bagi pasien dengan berat badan normal dan kurang,
namun tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan ginjal, hati, dan pasien
geriatri. Contoh obat golongan sulfonilurea diantaranya ialah glibenklamid,
glimepirid, tolbutamid dan glipizid.
- Glinid. Secara umum, cara kerja glinid sama dengan sulfonilurea. Obat ini
baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial (setelah makan). Obat jenis
glinid diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi
melalui hati. Contoh obat golongan glinid adalah repaglinid.
- Biguanid. Obat utama dan satu-satunya dari golongan ini adalah metformin.
Metformin umumnya merupakan obat pertama yang diresepkan untuk pasien
diabetes tipe 2. Obat ini juga merupakan pilihan pertama pada pasien dengan

7
berat badan lebih apabila diet ketat gagal dalam mengendalikan diabetes, obat
ini juga digunakan sebagai pilihan jika sulfonilurea sudah tidak efektif.
Mekanisme kerja metformin adalah dengan mengurangi pembentukan
glukosa pada hati dan meningkatkan fungsi insulin dalam mengendalikan
kadar gula darah. Mengkonsumsi metformin dapat memberikan efek samping
diantaranya mual, kembung, dan diare. Namun, seiring dengan adaptasi tubuh
dengan metformin, efek sampingnya pun akan berkurang.
- Tiazolidinedionas. Mekanisme obat ini adalah dengan menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat jenis tiazolidinedionas
memiliki kontraindikasi pada pasien dengan penyakit gagal jantung karena
dapat meningkatkan retensi cairan dan memperberat edema. Contoh obat
jenis ini adalah rosiglitazon dan pioglitazon.
- Inhibitor alfa-glukosidase. Obat jenis ini bekerja dengan menghambat
pemecahan karbohidrat dari makanan menjadi glukosa untuk mengendalikan
kadar gula darah. Obat jenis ini juga mengurangi absorbsi glukosa pada usus
halus sehingga menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Contoh obat
ini adalah acarbose dan miglitol. Efek samping yang sering dijumpai pada
pemberian obat jenis ini adalah pada saluran pencernaan seperti kembung dan
flatulens.
b. Insulin. Pankreas pada pasien dengan diabetes tipe 1 tidak lagi bisa memproduksi
insulin, sehingga insulin dapat diberikan melalui suntikan untuk menjaga kadar
gula darah dalam kondisi normal. Insulin biasanya diberikan pada pasien dengan
diabetes tipe 1, sedangkan untuk pasien dengan diabetes tipe 2 diberikan apabila
tidak dapat mengontrol gula darah. Pemberian insulin hanya bisa dilakukan melalui
suntikan, karena insulin akan rusak di dalam lambung jika diberikan dengan rute
oral. Setelah disuntikan, insulin akan diserap kedalam aliran darah dan dibawa ke
seluruh tubuh. Insulin akan bekerja menormalkan kadar gula darah (blood glucose)
dan merubah glukosa menjadi energi. Insulin terbagi menjadi beberapa macam,
diantaranya:

8
a) Rapid-Acting insulin (kerja cepat). Jenis insulin ini memiliki waktu kerja
yang cepat tepat setelah insulin disuntikkan, penyerapan insulin lebih cepat
ke dalam aliran darah, dan durasi kerja menjadi lebih pendek. Jenis insulin ini
dirancang untuk meniru respons insulin alami yang terjadi di dalam tubuh
setelah makan, yaitu untuk membantu mengontrol kadar gula darah. Suntikan
analog insulin kerja cepat 15-20 menit sebelum makan dapat menghasilkan
pengurangan maksimal lonjakan glukosa postprandial, dibandingkan dengan
30 menit atau lebih sebelum makan untuk insulin reguler (short-acting).
Contoh insulin jenis ini adalah insulin lispro, aspart, dan glulisine.
b) Short-Acting insulin (kerja pendek). Insulin kerja pendek atau insulin reguler
memiliki penundaan efek 30-60 menit, sehingga pasien dianjurkan
menyuntikkan insulin jenis ini 30 menit sebelum makan untuk mencocokkan
ketersediaan insulin dan penyerapan karbohidrat. Insulin reguler bekerja
segera ketika disuntikkan secara intravena.
c) Intermediate-Acting insulin (kerja sedang). Insulin yang dipakai pada jenis
ini adalah Netral Protamine Hagedorn (NPH). Insulin NPH diciptakan pada
tahun 1936 setelah ditemukan bahwa efek insulin yang disuntikkan secara
subkutan dapat diperpanjang dengan penambahan protein protamine. Insulin
NPH merupakan insulin kerja menengah, dengan permulaan kerja kira-kira 2
jam, efek puncak 6-14 jam, dan durasi kerja 10-16 jam (tergantung besar
kecilnya dosis). Karena puncaknya yang luas dan durasi kerja yang lama,
NPH dapat berfungsi sebagai insulin basal hanya jika diberikan pada waktu
tidur, atau insulin basal dan prandial jika diberikan pada pagi hari.
d) Long-Acting insulin (kerja panjang). Insulin kerja panjang merupakan
campuran dari insulin dan protamine, insulin ini diabsorpsi dengan lambat
dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lama yaitu
sekitar 24 – 36 jam. Insulin kerja panjang juga menyediakan cakupan insulin
basal. Insulin basal menekan glukoneogenesis hati untuk mencegah kenaikan
kadar glukosa selama keadaan puasa pada pasien yang kekurangan insulin.
Contoh insulin jenis ini adalah insulin detemir, glargine, dan degludec.

9
e) Insulin Mixtures (kombinasi). Insulin jenis ini merupakan kombinasi insulin
jenis kerja menengah dengan insulin reguler atau kerja cepat. Insulin jenis ini
diberikan sebelum sarapan atau makan malam yang dengan dosis sekali
sehari, atau lebih umum dua kali sehari yaitu sebelum sarapan dan makan
malam.
c. Obat yang meniru efek incretin (Incretin Mimetics)
- Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) receptor agonists. Obat jenis ini diresepkan
oleh dokter jika obat-obatan sebelumnya tidak mampu mengontrol kadar gula
darah. Obat jenis ini bekerja dengan menstimulasi reseptor GLP-1 di
pankreas, sehingga meningkatkan pelepasan insulin oleh pankreas ketika
kadar gula darah tinggi. Selain itu, GLP-1 agonists juga mengurangi
pelepasan glukagon, hormon yang meningkatkan produksi glukosa oleh hati
melalui hormon inkretin. Obat diabetes jenis ini juga dapat membantu
memperlambat pencernaan sehingga mencegah lambung cepat kosong dan
menahan nafsu makan. Beberapa obat GLP-1 agonis yang umum digunakan
yaitu exenatide, liraglutide, dulaglutide, dan semaglutide.
- Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) inhibitor. Obat jenis ini bekerja dengan
menghambat enzim DPP-4 yang bertanggung jawab dalam memecah hormon
incretin, seperti glucagon-like peptide-1 (GLP-1). Dengan menghambat DPP-
4, obat ini dapat meningkatkan ketersediaan dan efek hormon inkretin, dan
hormon tersebut yang dapat meningkatkan pelepasan insulin dan
menghambat pelepasan glukagon oleh pankreas. Beberapa obat yang umum
digunakan pada jenis ini diantaranya sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin dan
alogliptin.
d. Sodium-Glucose Co-Transporter 2 (SGLT2) inhibitors. Obat diabetes jenis ini
mempengaruhi fungsi penyaringan darah di ginjal dengan menghambat kembalinya
glukosa ke aliran darah. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat aksi
protein SGLT2 yang terdapat di ginjal. SGLT2 normalnya bertanggung jawab
untuk menyerap kembali glukosa dari urine ke dalam aliran darah. Dengan
menghambat aksi SGLT2, obat ini memungkinkan glukosa lebih banyak
diekskresikan melalui urine, sehingga membantu menurunkan kadar glukosa dalam

10
darah. Beberapa contoh obat dari jenis ini diantaranya canagliflozin, dapagliflozin,
dan empagliflozin.
2. Pengobatan non farmakologi diabetes melitus. Menurut PERKENI (2011), terapi non
farmakologi meliputi edukasi, terapi gizi, latihan jasmani dan pengendalian gula darah.
a. Edukasi. Edukasi pada pasien dengan diabetes mellitus dapat mencakup edukasi
tentang pola hidup yang sehat, pantangan dalam mengkonsumsi makanan,
pencegahan serta pengetahuan tentang komplikasi pada diabetes mellitus. Selain
edukasi pada pasien, edukasi juga perlu dilakukan pada orang terdekat pasien
dengan memberi dukungan pada pasien dan ikut memperhatikan dan mendukung
pola hidup sehat bagi pasien penderita diabetes mellitus.
b. Terapi gizi. Perencanaan makanan yang baik dan manajemen nutrisi pada pasien
DM tipe 2 bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yaitu
mempertahankan kadar glukosa darah, profil lemak dan tekanan darah dalam
rentang normal serta mencegah terjadinya komplikasi (ADA, 2011). Adapun
kebutuhan nutrisi yang dianjurkan untuk pasien DM tipe 2 yaitu terdiri dari 60-70%
karbohidrat, 15-20% protein, 30% lemak dengan 10% berasal dari lemak jenuh.
c. Pelatihan jasmani. Latihan jasmani pada pasien DM tipe 2 perlu disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Olahraga yang dianjurkan bisa dimulai secara
bertahap dan teratur (3-4 kali dalam seminggu). Hal yang harus diperhatikan,
penderita DM tidak dianjurkan berolahraga jika kadar glukosa darahnya (≥ 250
mg/dL) karena pada saat itu terjadi peningkatan glukagon yang akan menyebabkan
timbulnya benda keton.
d. Pengendalian gula darah. Menurut Soewondo (2009), pemantauan status metabolik
pada pasien diabetes merupakan hal yang penting dan menjadi bagian dari
pengendalian diabetes. Pemeriksaan kadar glukosa bisa dilakukan melalui
pemeriksaan di laboratorium maupun pemeriksaan mandiri, karena dengan hal ini
dapat menurunkan potensi terjadinya komplikasi.
3. Pengobatan non farmakologi dengan tanaman herbal. Salah satu pengobatan diabetes
mellitus dengan tanaman herbal yaitu dengan daun belimbing wuluh. Belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah Amerika dan
dibudidayakan di sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura dan lainnya. Di Indonesia

11
sendiri, belimbing wuluh sudah mulai dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan, salah
satunya ialah memanfaatkan daunnya.
Daun belimbing wuluh memiliki kandungan diantaranya flavonoid, saponin, tanin,
sulfur, asam format, peroksidase, kalsium oksalat, dan kalium sitrat. Saponin dan flavonoid
merupakan zat aktif pada daun belimbing wuluh yang memiliki banyak manfaat. Saponin
berfungsi sebagai antihiperglikemik dengan cara mencegah pengambilan glukosa pada
brush border (enzim yang bertugas untuk memecah chyme menjadi partikel yang lebih
kecil) di usus halus. Sedangkan flavonoid merupakan alfa glukosidase yang berfungsi
untuk menunda absorpsi karbohidrat sehingga kadar glukosa darah akan menurun. Selain
itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zurha, Tarigan, dan Sihotang pada tahun
2008, didapatkan hasil bahwa flavonoid juga memiliki efek antioksidan yang kuat. Pada
saat penelitian, dilakukan pembuatan infusa belimbing wuluh dengan dosis aloksan yang
diberikan pada hewan coba mencit. Infusa tersebut disuntikkan secara subkutan dan efek
hiperglikemik akan muncul setelah 72 jam.
Berdasarkan tahapan penelitian, ekstraksi daun wuluh dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Daun belimbing wuluh dicuci hingga bersih, kemudian diiris.
2) Daun belimbing wuluh yang sudah diiris kemudian dimasukkan ke dalam
bejana atau toples dan ditambahkan pelarut air atau etanol 70 % dengan
berbagai rasio bahan pelarut (b/v) (1:4 ; 1:5 ; 1:6).
3) Daun belimbing wuluh dan pelarut yang telah tercampur kemudian ditutup
rapat agar terlindung dari sinar matahari.
4) Diamkan selama 24 jam untuk proses ekstraksi
5) Pisahkan filtrat dan residu dengan menggunakan corong yang telah dialasi
dengan kain saring.
6) Setelah diperoleh filtrat, kemudian dievaporasi dengan suhu 75o C hingga total
padatan terlarut mencapai 60o Brix untuk menghilangkan pelarut

12
BAB V
REHABILITASI MEDIS PADA PENYAKIT DIABETES
4.1 Tujuan
1. Mengetahui apa saja rehabilitasi medis pada penderita penyakit DM
2. Mengetahui manfaat dari rehabilitasi medis pada penderita penyakit DM
4.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis rehabilitasi medis bagi penderita Diabetes Mellitus?
2. Apa manfaat rehabilitasi medis bagi penderita Diabetes Mellitus?
4.3 Pembahasan
Rehabilitasi untuk pasien diabetes dapat mencakup berbagai jenis intervensi fisioterapi dan
program latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan kualitas hidup
pasien.(Fabiola et al., n.d.)
Latihan fisik memiliki peran penting dalam manajemen diabetes. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kontrol glikemik, sensitivitas
insulin, dan kapasitas mitokondria otot pada pasien dengan diabetes tipe 2. Selain itu,
latihan fisik juga dapat mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan kandungan serta
fungsi mitokondria pada pasien diabetes tipe 2. Program latihan gabungan, yang
melibatkan latihan aerobik dengan intensitas sedang dan latihan ketahanan, telah terbukti
memberikan manfaat dalam kontrol glikemik dan sensitivitas insulin pada pasien diabetes.
(Bassi-Dibai et al., 2022) Selain itu menurut Colberg (2010) dalam (Lubis & Kanzanabilla,
2021), aktivitas fisik harus dilakukan minimal sebanyak tiga kali dalam seminggu
dikarenakan efek dari sekali berolahraga sesuai anjuran terhadap sensitivitas insulin hanya
dapat bertahan selama 24 hingga 72 jam.
Menurut (Fabiola et al., n.d.) berikut adalah beberapa jenis rehabilitasi yang umumnya
direkomendasikan untuk pasien diabetes:
4.3.1 Jenis - jenis rehabilitasi medis penderita DM
A. Latihan Aerobik
Latihan aerobik telah terbukti bermanfaat dalam meningkatkan kontrol glikemik pada
pasien dengan diabetes tipe 1 (T1DM) dan juga telah terbukti mendorong peningkatan
kontrol glikemik yang diamati dengan glukosa puasa dan hemoglobin terglikasi (HbA1c)
pada pasien diabetes tipe 2 (T2DM). (Bassi-Dibai et al., 2022)

13
Latihan aerobik merupakan bagian penting dari program rehabilitasi untuk pasien diabetes
karena dapat membantu
a. Meningkatkan sensitivitas insulin, yang memungkinkan tubuh menggunakan
glukosa dengan lebih efisien.
b. Membantu menurunkan kadar glukosa darah, melalui aktivitas fisik aerobik, tubuh
membutuhkan lebih banyak energi, sehingga meningkatkan pengambilan glukosa
oleh otot. Ini dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah secara
keseluruhan.
c. Meningkatkan kondisi kardiorespirasi, latihan aerobik membantu meningkatkan
kapasitas kardiorespirasi dan kekuatan jantung. Hal ini penting untuk kesehatan
jantung dan pembuluh darah, yang seringkali rentan pada pasien diabetes.
d. Mengurangi Risiko Komplikasi, dengan mengontrol kadar glukosa darah dan
meningkatkan kondisi fisik, latihan aerobik dapat membantu mengurangi risiko
komplikasi jangka panjang yang sering terkait dengan diabetes, seperti penyakit
jantung, stroke, dan kerusakan saraf.
e. Meningkatkan Metabolisme, melalui latihan aerobik, metabolisme tubuh dapat
meningkat, yang dapat membantu dalam manajemen berat badan dan pengendalian
lemak tubuh, faktor risiko penting pada pasien diabetes.
Latihan aerobik dapat mencakup aktivitas seperti berjalan cepat, berlari, bersepeda,
berenang, atau senam aerobik. Menurut (Lubis & Kanzanabilla, 2021) olahraga yang
disarankan untuk menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus tipe 2
adalah latihan aerobik seperti senam. Senam diabetes merupakan senam fisik yang
dirancang menurut usia dan status fisik yang merupakan bagian dari pengobatan diabetes
melitus. Senam diabetes melitus dilakukan secara teratur selama 30-60 menit sebanyak 3-
5 kali dalam seminggu latihan fisik secara teratur dapat menurunkan kadar HbA1c.
Menurut Menurut penelitian Mahdia (2018) dalam (Lubis & Kanzanabilla, 2021),
frekuensi olahraga terbukti berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dengan P=0,001. Senam yang dilakukan tiga kali dalam seminggu akan
meningkatkan kerja insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2.
Tidak harus selalu senam, pasien juga dapat memilih aktivitas yang disukai dan sesuai
dengan kondisi fisik mereka. Yang paling penting ialah memperhatikan intensitas latihan

14
aerobik. Pasien diabetes disarankan untuk mencapai intensitas sedang hingga tinggi, yang
dapat diukur dengan menggunakan skala seperti denyut nadi atau tingkat kelelahan yang
dirasakan. Disarankan untuk melakukan latihan aerobik selama minimal 150 menit per
minggu, dengan pembagian sesi latihan setidaknya 3-5 kali seminggu. Durasi latihan per
sesi dapat bervariasi tergantung pada tingkat kebugaran dan toleransi individu. Selama
latihan aerobik, pasien perlu memantau kadar glukosa darah mereka untuk memastikan
tidak terjadi hipoglikemia. Jika kadar glukosa darah terlalu rendah, pasien perlu segera
mengkonsumsi sumber karbohidrat cepat.
B. Latihan Ketahanan
Latihan ketahanan telah terbukti bermanfaat dalam rehabilitasi pasien diabetes. Sebuah
studi menunjukkan bahwa latihan ketahanan dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan
kontrol glikemik pada pasien diabetes tipe 2. Selain itu, latihan ketahanan juga dapat
membantu dalam meningkatkan kekuatan otot perifer dan kapasitas fungsional pada pasien
dengan miopati diabetik. Program rehabilitasi yang mencakup latihan ketahanan juga telah
terbukti aman dan efektif dalam meningkatkan kapasitas latihan dan fungsionalitas pada
pasien diabetes. Oleh karena itu, latihan ketahanan merupakan komponen penting dalam
program rehabilitasi untuk pasien diabetes, karena dapat memberikan manfaat dalam
kontrol glikemik, sensitivitas insulin, dan kekuatan otot. (Bassi-Dibai et al., 2022)
Menurut (Armstrong et al., 2015) latihan ketahanan yang direkomendasikan untuk
penderita diabetes tipe 2 adalah latihan resistensi, seperti latihan beban atau menggunakan
alat resistensi seperti pita resistensi. Latihan semacam itu telah terbukti meningkatkan
kontrol glikemik, sensitivitas insulin, dan kekuatan otot pada orang dewasa dengan
diabetes tipe 2.
Contoh program pelatihan ketahanan dapat mencakup berbagai modus, intensitas, durasi,
frekuensi, dan perkembangan. Sebagai contoh, program pelatihan ketahanan dapat
melibatkan beban bebas, mesin angkat beban, atau resistensi pita dengan intensitas sedang
hingga kuat, dilakukan minimal dua namun idealnya dilakukan tiga hari tidak berurutan
per minggu, dengan satu hingga tiga set dan 8-15 repetisi per set.
Selain itu terdapat manfaat lain dalam melakukan latihan ketahanan seperti berikut:
a. Meningkatkan Kekuatan Otot

15
Penderita diabetes cenderung memiliki kekuatan otot yang lebih rendah
dibandingkan dengan individu yang tidak menderita diabetes tipe 2. Melalui latihan
kekuatan, mereka dapat memperkuat otot-otot mereka, termasuk otot inti, yang
dapat membantu meningkatkan keseimbangan, postur, dan kemampuan fungsional.
b. Meningkatkan Metabolisme
Latihan kekuatan dapat membantu meningkatkan metabolisme tubuh, yang dapat
membantu dalam pengendalian berat badan dan kadar glukosa darah. Dengan
meningkatkan massa otot, tubuh dapat lebih efisien dalam mengatur kadar gula
darah.
c. Meningkatkan Sensitivitas Insulin
Latihan kekuatan telah terbukti dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada
penderita diabetes. Dengan meningkatnya sensitivitas insulin, tubuh dapat lebih
efektif dalam menggunakan glukosa darah sebagai sumber energi, yang dapat
membantu mengontrol kadar gula darah.
d. Mengurangi Risiko Komplikasi
Latihan kekuatan dapat membantu mengurangi risiko komplikasi jangka panjang
dari diabetes, seperti penyakit jantung, stroke, dan kerusakan saraf. Dengan
memperkuat otot dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, penderita
diabetes dapat mengurangi risiko komplikasi yang terkait dengan kondisi mereka .
e. Meningkatkan Kualitas Hidup
Latihan kekuatan juga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes
dengan meningkatkan kekuatan, stamina, dan kemampuan fungsional. Hal ini dapat
membantu mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih mudah dan
meningkatkan kemandirian
C. Latihan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan pada penderita diabetes neuropati dapat disebabkan oleh
disfungsi somatosensoris. Disfungsi somatosensoris dapat memicu instabilitas
postural yang berdampak pada peningkatan risiko jatuh.(Gu & Dennis, 2016
dalam Sativani, 2019) Latihan keseimbangan dapat membantu memperkuat otot-otot inti,
meningkatkan koordinasi, dan memperbaiki postur, sehingga dapat membantu mencegah
cedera dan kejadian jatuh yang sering terjadi pada penderita diabetes. Latihan

16
keseimbangan untuk pasien diabetes dilakukan dengan berbagai metode dan teknik yang
dirancang untuk meningkatkan stabilitas postur tubuh dan mengurangi risiko jatuh. Salah
satu contoh latihan keseimbangan yang bisa diberikan ialah menggunakan media ball
training. Ball training merupakan metode latihan keseimbangan yang melatih kerja otot
perut/core work dan kontrol postural. Core work dan kontrol postural merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi bidang tumpu (base of support) dan terlibat
dalam menentukan posisi pusat gravitasi (center of gravity). Pusat gravitasi/center of
gravity(COG) berperan dalam mendistribusikan massa benda secara merata dan
menjaga tubuh tetap berada dalam keadaan seimbang. Latihan keseimbangan dan
stimulasi somatosensoris dilakukan lima kali seminggu selama tiga minggu. Satu sesi
latihan dilakukan selama lima puluh lima menit (pemanasan lima menit, latihan int empat
puluh lima menit, dan pendinginan lima menit) (Fall Prevention Center of Excellence,
2010; Rojhani-Shirazi, et al.,2016;Sativani, 2019).
Beberapa metode yang umum digunakan dalam latihan keseimbangan untuk pasien
diabetes meliputi:
a. Latihan berdiri dengan satu kaki, latihan ini melibatkan pasien untuk berdiri dengan
satu kaki sambil menjaga keseimbangan. Latihan ini membantu meningkatkan
kekuatan otot-otot kaki dan pergelangan kaki yang penting untuk menjaga
keseimbangan.
b. Latihan berjalan di permukaan yang tidak rata, pasien diabetes dapat melakukan
latihan berjalan di atas permukaan yang tidak rata, seperti menggunakan papan
keseimbangan atau bantal busa. Latihan ini membantu melatih koordinasi gerakan
dan responsivitas otot untuk menjaga keseimbangan.
c. Latihan keseimbangan dinamis, latihan keseimbangan dinamis melibatkan gerakan
tubuh yang kompleks untuk meningkatkan koordinasi dan keseimbangan.
Contohnya adalah melakukan gerakan seperti mengangkat kaki ke samping atau ke
belakang sambil menjaga keseimbangan.
D. Edukasi Hidup Sehat
Edukasi hidup sehat dapat menjadi bentuk rehabilitasi yang efektif untuk penderita diabetes
karena memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi mereka dan memberikan

17
panduan praktis untuk mengelola diabetes sehari-hari. Berikut adalah beberapa cara di
mana edukasi hidup sehat dapat menjadi bentuk rehabilitasi untuk penderita diabetes:
a. Pemahaman tentang diabetes, edukasi hidup sehat memberikan pemahaman yang
lebih baik tentang diabetes, termasuk penyebab, gejala, dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Dengan pemahaman yang baik, pasien dapat lebih sadar akan
kondisinya dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengelola diabetes
mereka.
b. Manajemen gaya hidup, edukasi hidup sehat membantu pasien diabetes untuk
mengadopsi gaya hidup yang sehat, termasuk pola makan seimbang, aktivitas fisik
teratur, manajemen stres, dan tidur yang cukup. Hal ini dapat membantu
mengontrol kadar glukosa darah, menjaga berat badan yang sehat, dan
meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.
c. Pengelolaan diet, Edukasi hidup sehat memberikan panduan tentang pola makan
yang sehat dan sesuai untuk penderita diabetes, termasuk pengaturan asupan
karbohidrat, lemak, dan protein. Pasien diajarkan cara menghitung karbohidrat,
memilih makanan yang rendah gula, dan mengelola porsi makan agar dapat
mengontrol kadar glukosa darah dengan lebih baik.
E. Terapi Perilaku
Terapi perilaku bertujuan untuk membantu pasien mengubah pola perilaku yang tidak
sehat, meningkatkan ketaatan terhadap pengobatan, dan mengelola stres terkait kondisi
diabetes. Pendekatan kognitif juga dapat membantu pasien dalam mengatasi rasa takut,
kecemasan, dan depresi yang sering terkait dengan diabetes. Selain itu, terapi perilaku juga
dapat membantu pasien dalam mengadopsi pola makan sehat, meningkatkan aktivitas fisik,
dan mengelola berat badan, yang semuanya merupakan faktor penting dalam manajemen
diabetes.

4.3.2 Manfaat rehabilitasi medis untuk penderita DM


Sudah pasti rehabilitasi diatas memiliki banyak manfaat untuk penderita diabetes melitus
seperti yang sudah disebutkan, namun masih ada manfaat lain seperti: (Berland & Bentsen,
2017)

18
a. Meningkatkan Kualitas Hidup: Program rehabilitasi medis dapat membantu
meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes melalui pendekatan multi-disiplin
dan multi-modal yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi metabolisme jangka
panjang, mengurangi dampak penyakit, dan membatasi kerusakan pribadi dan
ekonomi.
b. Manajemen Gula Darah: Melalui edukasi, pemantauan, dan intervensi yang terarah,
rehabilitasi medis dapat membantu penderita diabetes memahami dan mengelola
gula darah mereka dengan lebih baik, sehingga membantu mengontrol kondisi
mereka secara efektif.
c. Pencegahan Komplikasi: Program rehabilitasi medis dapat membantu dalam
pencegahan, deteksi dini, dan penanganan komplikasi diabetes, seperti neuropati,
retinopati, dan penyakit jantung, sehingga mengurangi risiko komplikasi jangka
panjang.
d. Edukasi dan Keterampilan Mandiri: Melalui program pelatihan keterampilan
internistik, penderita diabetes dapat diberikan edukasi yang komprehensif tentang
manajemen kondisi mereka, diet sehat, olahraga, penggunaan obat-obatan, dan
perawatan mandiri, sehingga meningkatkan pemahaman dan kemandirian mereka
dalam mengelola diabetes.
e. Dukungan Psikologis: Rehabilitasi medis juga dapat menyediakan dukungan
psikologis bagi penderita diabetes untuk membantu mereka mengatasi stres,
depresi, kecemasan, dan masalah emosional lainnya yang terkait dengan kondisi
mereka, sehingga meningkatkan kesejahteraan mental.

19
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu sindrom penyakit metabolisme yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia akibat kekurangan insulin ataupun karena adanya
resistensi insulin. Sebelum seseorang dinyatakan mengidap penyakit diabetes, ia harus
melakukan beberapa pemeriksaan diantaranya dengan pemeriksaan GDP, GDS, GDPT, dan
lainnya yang bertujuan untuk mengonfirmasi keberadaan diabetes dan menentukan jenis
diabetesnya. Seseorang dengan diabetes mellitus memerlukan pengobatan sepanjang hidup
untuk mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, dan mencegah agar tidak
berkembang ke arah komplikasinya, adapun beberapa pengobatan yang dapat dilakukan oleh
pasien dengan diabetes adalah dengan mengonsumsi secara oral obat yang termasuk OHO
(Obat Hipoglikemik Oral), mengobatinya dengan suntik insulin, dan lainnya. Di sisi lain,
pengobatan dapat dilakukan dengan terapi gizi, pengendalian gula, pelatihan jasmani, hingga
menggunakan tanaman herbal seperti daun belimbing wuluh. Sedangkan rehabilitasi pada
pasien dengan diabetes dapat mencakup berbagai jenis intervensi fisioterapi dan program
latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan kualitas hidup pasien (Fabiola
et al., n.d.). Rehabilitasi yang direkomendasikan diantaranya adalah latihan aerobik, latihan
ketahanan, latihan keseimbangan, edukasi hidup sehat, dan terapi perilaku.

20
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2001). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Armstrong, M. J., Colberg, S. R., & Sigal, R. J. (2015). Moving Beyond Cardio: The Value of
Resistance Training, Balance Training, and Other Forms of Exercise in the Management of
Diabetes. Diabetes Spectrum, 28(1), 14–23. https://doi.org/10.2337/diaspect.28.1.14

Azrimaidaliza, A. (2011). ASUPAN ZAT GIZI DAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS.


Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 6(1), 36–41. https://doi.org/10.24893/jkma.v6i1.86

Azrimaidaliza, Diana, M., Fivi & Ramadani, M. (2010). Analisis asupan energi, serat, dan
faktor lainnya dengan kadar gula darah orang dewasa di Kota Padang Panjang Tahun 2010.
Laporan Penelitian Dana DIPA PSIKM FK Unand.

Bassi-Dibai, D., Santos-de-Araújo, A. D., Dibai-Filho, A. V., De Azevedo, L. F. S., Goulart, C.


D. L., Luz, G. C. P., Burke, P. R., Garcia-Araújo, A. S., & Borghi-Silva, A. (2022).
Rehabilitation of Individuals With Diabetes Mellitus: Focus on Diabetic Myopathy.
Frontiers in Endocrinology, 13, 869921. https://doi.org/10.3389/fendo.2022.869921

Berland, A., & Bentsen, S. B. (2017). Medication errors in home care: A qualitative focus
group study. Journal of Clinical Nursing, 26(21–22), 3734–3741.
https://doi.org/10.1111/jocn.13745

DeWitt, D.E., Hirsch, I.B. (2003). Outpatient Insulin Therapy in Type 1 and Type 2 Diabetes
Mellitus: Scientific Review. JAMA Medical Article, 289(17), 2254–2264. doi:
10.1001/jama.289.17.2254

Donnor T, Sarkar S. (2023). Insulin- Pharmacology, Therapeutic Regimens and Principles of


Intensive Insulin Therapy. Online Endocrinology Book. diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278938/

Fabiola, M., Sharmila, G., Thirumagal, J., Vennila, S., Aruna, S., & Niyas, M. I. (n.d.).
Review Of Physiotherapy and Rehabilitation In Diabetes Mellitus Management.

Giajati, S. A., & Kusumaningrum, N. S. D. (2020). KONSUMSI GIZI PADA


PENYANDANG DIABETES MELLITUS DI MASYARAKAT. Journal of Nutrition
College, 9(1), 38-43. https://doi.org/10.14710/jnc.v9i1.26424

Lestari, E., Kurniawaty, E. (2016). Uji Efektivitas Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) sebagai Pengobatan Diabetes Melitus. Majority, 5(2), 32-36.

Long, C., B. (2009). Perawatan Medikal Bedah

21
Lubis, R. F., & Kanzanabilla, R. (2021). Latihan Senam Dapat Menurunkan Kadar Glukosa Darah
pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, dan Informatika
Kesehatan, 1(3), 177. https://doi.org/10.51181/bikfokes.v1i3.4649

Sativani, Z. (2019). Latihan Keseimbangan dan Stimulasi Somatosensoris Meningkatkan


Keseimbangan Statis pada Penderita Diabetes Neuropati. Quality : Jurnal Kesehatan, 13(1),
36–41. https://doi.org/10.36082/qjk.v13i1.54

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.,W., Setiyohadi, B., Syam, A.,F. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. E-book.

Simatupang, A. (2019). Monografi. Farmakologi klinik obat-obat Diabetes Mellitus Tipe 2. E-


book.

Tim Promkes RSST. (2023). Mengenal Obat Diabetes. Artikel Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan Kementerian Kesehatan. Diakses pada
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2051/mengenal-obat-diabetes

22

Anda mungkin juga menyukai