Anda di halaman 1dari 57

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS FARMAKOTERAPI I
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Disusun Oleh:
Kelompok 7

Atvinda Prilya Afista 1406664221


Glory Claudia Karundeng 1406664410
Muhammad Muwaffaq Zaki 1406525496
Rimson Muara Jaya 1406664596

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015

1
BAB I
Pendahuluan

1.1 Pendahuluan
Pada umumnya diagnosis penyakit dibuat berdasarkan gejala penyakit
(keluhan dan tanda). Hasil pemeriksaan laboratorium dapat menunjang atau
menyingkirkan kemungkinan penyakit yang menyebabkan. Dalam diagnosis
penyakit kadang-kadang tidaklah mudah, terutama pada permulaan penyakit,
gejala klinis penyebabnya masih berupa kemungkinan. Karena itu, diperlukan
data-data tambahan dari pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lain.
Selain untuk menunjang diagnosis klinis, pemeriksaan laboratorium juga
berfungsi untuk menyingkirkan kemungkinan suatu diagnosis atau penyakit,
untuk digunakan sebagai pedoman terapi atau manajemen, untuk digunakan
sebagai panduan prognosis, serta untuk mendeteksi suatu penyakit (uji saring).
Konfirmasi pasti diagnosis, yaitu untuk memastikan penyakit yang diderita
seseorang, berkaitan dengan penanganan yang akan diberikan serta berkaitan
erat dengan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi, menemukan
kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala klinis, membantu
pemantauan pengobatan, menyediakan informasi prognosis atau perjalanan
penyakit (untuk memprediksi perjalanan penyakit dan berkaitan dengan terapi
dan pengelolaan pasien selanjutnya), memantau perkembangan penyakit dan
memantau efektivitas terapi yang dilakukan agar dapat meminimalkan
komplikasi yang dapat terjadi, serta mengetahui ada tidaknya kelainan atau
penyakit yang banyak dijumpai dan potensial membahayakan.

1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang
pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan guna menegakkan diagnosa.

2
BAB II
ISI

2.1 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium merupakan pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis penyakit, guna mendukung atau menyingkirkan diagnosis lainnya.
Pemeriksaan laboratorium merupakan penelitian perubahan yang timbul pada
penyakit dalam hal susunan kimia dan mekanisme biokimia tubuh (perubahan
ini bisa penyebab atau akibat).

2.2 Fungsi Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium dapat digunakan untuk berbagai tujuan, yakni :
1. Skrining atau uji saring adanya penyakit subklinis, dengan tujuan
menentukan resiko terhadap suatu penyakit dan mendeteksi dini penyakit
terutama bagi individu beresiko tinggi (walaupun tidak ada gejala atau
keluhan).
2. Konfirmasi pasti diagnosis, yaitu untuk memastikan penyakit yang diderita
seseorang, berkaitan dengan penanganan yang akan diberikan dokter serta
berkaitan erat dengan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi
3. Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala
klinis
4. Membantu pemantauan pengobatan.
5. Menyediakan informasi prognosis atau perjalanan penyakit, yaitu untuk
memprediksi perjalanan penyakit dan berkaitan dengan terapi dan
pengelolaan pasien selanjutnya.
6. Memantau perkembangan penyakit, yaitu untuk memantau perkembangan
penyakit dan memantau efektivitas terapi yang dilakukan agar dapat
meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi. Pemantauan ini sebaiknya
dilakukan secara berkala.
7. Mengetahui ada tidaknya kelainan atau penyakit yang banyak dijumpai
dan potensial membahayakan.

3
8. Memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak
didapati penyakit.

2.3 Tahap-tahap pemeriksaan laboratorium


Untuk mendapatkan hasil yang akurat dalam pemeriksaan laboratorium
harus mengacu kepada GLP (Good laboratory Procedure) yaitu melalui
tahapan:
1. Pre Analitik. Pada tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap persiapan awal,
dimana tahap ini sangat menentukan kualitas sampel yang nantinya akan
dihasilkan dan mempengaruhi proses kerja berikutnya. Yang termasuk
dalam tahap Pra Analitik meliputi Kondisi pasien, cara dan waktu
pengambilan sampel, perlakuan terhadap proses persiapan sampel sampai
sampel selesai dikerjakan.
2. Analitik. Adalah tahap pengerjaan pengujian sampel sehingga diperoleh
hasil pemeriksaan.
3. Pasca Analitik. Adalah tahap akhir pemeriksaan yang dikeluarkan untuk
meyakinkan bahwa hasil pemeriksaan yang dikeluarkan benar benar
valid atau benar.

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

2.4.1 Pemeriksaan Gula Darah


Dahulu, glukosa diperiksa dengan memanfaatkan sifat mereduksi glukosa
yang non spesifik dalam suatu reaksi dengan bahan indikator yang
memperoleh atau berubah warna jika tereduksi. Karena banyak jenis pereduksi
lain dalam darah yang dapat bereaksi positif, maka dengan metode ini kadar
glukosa bisa lebih tinggi 5-15 mg/dl dari kadar seharusnya. Sekarang,
pengukuran glukosa menggunakan metode enzimatik yang lebih spesifik
untuk glukosa. Metode ini umumnya menggunakan enzim glukosa oksidase
atau heksokinase, yang bekerja hanya pada glukosa dan tidak pada gula lain
dan bahan pereduksi lain. Perubahan enzimatik glukosa menjadi produk
dihitung berdasarkan reaksi perubahan warna (kolorimetri) sebagai reaksi

4
terakhir dari serangkaian reaksi kimia, atau berdasarkan konsumsi oksigen
pada suatu elektroda pendeteksi oksigen. Chemistry analyzer (mesin
penganalisis kimiawi) modern dapat menghitung konsentrasi glukosa hanya
dalam beberapa menit. Metode yang umum digunakan adalah metode GOD-
PAP, yaitu dengan menggunakan enzim glukosa oksigenase untuk mengubah
glukosa menjadi hidrogen peroksida, yang kemudian di-coupling dengan
aminofenazon dan fenol untuk menghasilkan warna. Warna ini dapat diperiksa
dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 546 nm, setelah
sebelumnya diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37C.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium,
antara lain obat-obatan seperti golongan kortison, tiazid, loop diuretik yang
dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah; trauma dan stress; waktu
pemeriksaan serum; merokok; dan aktivitas, dimana aktivitas yang berat
sebelum uji laboratorium dapat menurunkan kadar gula darah.

2.4.1.1 Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS).


Pemeriksaan Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.Pemeriksaan Glukosa
Darah Sewaktudilakukan bersamaan dengan telah adanya keluhan klinik yang
mengacu pada diabetes mellitus. Keluhan klinik berupa polidipsi, polifagi,
poliuria, berat badan yang menurun, glukosuria. Jika kadar glukosa plasma >
200 mg/dl maka sudah dikatakan positif DM dan penderita tidak perlu lagi
pemeriksaan tes toleransi glukosa
Tujuannya untuk deteksi awal pasien yang diduga menderita DM sebelum
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Di tempat praktek dokter biasanya sudah
tersedia alat yang ringkas untuk mendeteksi GDS yang biasa disebut GD stick.
Tinggal diambil sedikit darah dari ujung jari menggunakan jarum, stick
dimasukkan alat, darah ditotolkan ke stick, dan hasilnya keluar.
Nilai normal gula darah sewaktu 70-200 mg/dL. Hanya saja pemeriksaan
gula sewaktu kurang bisa mendiagnosis dengan tepat pada seseorang
berpenyakit Diabetes Mellitus (DM) misalnya, karena pada pemeriksaan ini

5
banyak faktor yang berpengaruh seperti makanan, minuman, aktifitas tubuh
dll.

Gambar 1. GD Stick untuk pemeriksaan GDS

2.4.1.2 Pemeriksaan Gula Darah Puasa(GDP)


Pemeriksaan gula darah puasa merupakan Pemeriksaan glukosa puasa
merupakanpengukuran kadar glukosa dalam darah pada kondisi puasa selama
12 jam. Pemeriksaan ini dapat menggambarkan kadar glukosa endogen.
Direkomendasikan bagi pasien dewasa yang tidak hamil.Manfaat Pemeriksaan:
1) Skrining dan diagnosis diabetes melitus (DM), pemantauan terapi DM, serta
mendukung dalam kontrol DM;
2) Diagnosis dan penanganan beberapa gangguan metabolik seperti asidosis,
ketosis, dehidrasi, dan koma diabetik
Persyaratan & Jenis Sampel: Serum, plasma heparin/EDTA (tidak lisis),
plasma flourida/lodoasetat. Stabilitas Sampel: Serum, plasma heparin/EDTA

6
(tidak lisis) : 8 jam pada 15-25 C, 72 jam pada 2-8 C; plasma flourida/lodoasetat
: 24 jam pada 15-25 C

Tabel 1. Klasifikasi Diagnosis GDP


Klasifikasi diagnosis keadaan penderita Glukosa plasma puasa
Normal < 100 mg/dL
Pra-Diabetes 100-125 mg/dL
IFG* atau IGT** ---
Diabetes 126 mg/dL

Keterangan: *) IFG = Impaired Fasting Glucose (terganggunya glukosa


puasa)
**) IGT = Impaired Glucose Tolerance (terganggunya toleransi glukosa)
[Sumber: Departeman Kesehatan RI, 2005, telah diolah kembali]

2.4.1.3 Pemeriksaan Glukosa Darah Post Prandial (GDPP)


Pemeriksaan glukosa 2 jam postprandial merupakan pengukuran kadar
glukosa dalam darah setelah 2jam pembebanan glukosa yang setara dengan 75
g glukosa. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk evaluasi aktivitas insulin di
dalam tubuh. Spesimen darah 2 jam setelah makan pada individu puasa
menunjukkan peningkatan yang langka pada individu normal tetapi meningkat
secara signifikan pada individu diabetes. Manfaat Pemeriksaan adalah:
1) Skrining dan diagnosis diabetes melitus (DM), pemantauan terapi DM,
serta mendukung dalam kontrol DM;
2) Diagnosis dan penanganan beberapa gangguan metabolik seperti
asidosis, ketosis, dehidrasi, dan koma diabetik.
Persyaratan & Jenis Sampel: Serum, plasma heparin/EDTA (tidak lisis),
plasma flourida/lodoasetat. Stabilitas Sampel: Serum, plasma heparin/EDTA
(tidak lisis) : 8 jam pada 15-25 C, 72 jam pada 2-8 C; plasma
flourida/lodoasetat : 24 jam pada 15-25 C. Persiapan Pasien: Sampel diambil
tepat 2 jam setelah asupan makanan terakhir, toleransi keterlambatan 10
menit. Bila melewati 10 menit, disarankan untuk diulang.Bila pemeriksaan

7
tetap dikerjakan dan tidak memenuhi persyaratan, maka diberi catatan di
HPsL.

Tabel 2. Klasifikasi Diagnosis GDPP


Klasifikasi diagnosis Glukosa plasma
keadaan penderita 2 jam setelah makan

Normal < 140 mg/dL

Pra-Diabetes ---
IFG* atau IGT** 140-199 mg/dL

Diabetes 200 mg/dL

2.4.1.4 Tes Toleransi Glukosa (TTGO)


Tes Toleransi Glukosa (TTGO) Sebelum dilakukan tes, pasiendiharuskan
berpuasa selama 12 jam, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk
selanjutnya dibuat kurva.Secara umum sama dengan pemeriksaan GDPP,
perbedaannya adalah setelah diambil darah dan urin ke-1 pasien tidak makan
tetapi minum glukosa dengan kadar yang telah ditentukan (75%). Terkadang
dokter meminta pengambilan darah 3 kali dengan interval 1 jam, jadi pasien
diambil darah dan urin puasa, 1 jam dan 2 jam setelah minum glukosa.
Pemeriksaan ini dilakukan pada:
kasus hiperglikemia yang tidak jelas,
glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau
glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau
bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya.
Diabetes gestasional, danIbu hamil dengan riwayat keluarga DM.

8
2.4.1.5 Tes Toleransi Glukosa Oral
Tes ini dapat diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan riwayat
keluarga DM, pada penderita penyakit vaskuler atau neurologik, atau infeksi
yang tidak jelas sebabnya. Test ini dilakukan pada jika nilai glukosa sewaktu
140 200 mg/dl, glukosa puasa antara 110 126 mg/dl dan bila ada glukosuria
yang tidak jelas sebabnya.
TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes
gestasional). Banyak diantara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan
gejala, tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil.
Penting untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu
hamil dengan riwayat keluarga diabetes, riwayat meninggalnya janin pada
kehamilan, atau riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg. Skrining
diabetes hamil sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara 26-32
minggu. Pada mereka dengan resiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining
lebih awal.
a. Prosedur
Selama 3 hari sebelum test dilakukan penderita harus mengkonsumsi
sekjitar 150 gram karbohidrat setiap hari. Terapi obat yang dapat
mempengaruhi hasil labioratorium harus dihentikan hingga test dilaksanakan.
Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium adalah
insulin, kortikosteroid (kortison), kontrasepsi oral, esterogen, antikonvulsi,
diuretik, tiazid, salisilat, asam askorbat. Selain itu penderita juga tidak boleh
minum alkohol.
Kekurangan karbohidrat, tidak ada aktivitas atau berbaring dapat
mengganggu hasil pemeriksaan toleransi glukosa. Karena itu TTGO tidak
boleh dilakukan pada penderita yang sedang sakit, sedang dirawat baring atau
tidak boleh turun dari tempat tidur, orang yang diet yang tidak mencukupi.
Protokol urutan pengambilan darah pada waktu jam, 1 jam, 1 jam dan 2
jam. Sebelum dilakukan tes, penderita harus berpuasa selama 12 jam.
Pengambilan sampel darah dilakukan sebagai berikut :

9
a) Pada pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 3-5 ml untuk
uji glukosa darah puasa. Penderita mengosongkan kandung kemihnya dan
mengumpulkan urinenya.
b) Penderita diberikan minum glukosa Diberikan glukosa 75 gram (orang
dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), yang dilarutkan dalam segelas
air (250 ml). Lebih baik jika ditambahkan perasa, misalnya dengan lemon.
c) Pada waktu jam, 1 jam, dan 2 jam penderita diambil darah untuk
pemeriksaan glukosa. Pada waktu 1 jam dan 2 jam penderita
mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya
secara terpisah.
Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum kopi, teh, makan
permen, merokok, atau melakukan aktivitas fisik yang berat. Minum air putih
yang tidak mengandung gula masih diperkenankan.
b. Nilai rujukan :
Puasa : 70 110 mg/dl (3,9 6,1 mmol/L)
Jam : 110 170 mg/dl (6,1 9,4 mmol/L)
1 Jam : 120 170 mg/dl (6,7 9,4 mmol/L)
2 Jam : 100 140 mg/dl (5,6 7,8 mmol/L)
2 Jam : 70 120 mg/dl (3,9 6,7 mmol/L)
c. Interpretasi
a) Toleransi glukosa normal
Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai
puncaknya pada waktu 1 jam, kemudian turun ke kadar 2 jam yang
besarnya di bawah 126 mg/dl (7 mmol/L). Tidak ada glikosuria.
Gambaran yang diberikan disini adalah untuk darah vena. Jika digunakan
darah kapiler, kadar glukosa puasa lebih tinggi 5,4 mg/dl (0,3 mmol/L),
kadar puncak lebih tinggi 19,8 30,6 mg/dl (1,1 1,7 mmol/L), dan kadar
2 jam lebih tinggi 10,8 19,8 mg/dl (0,6 1,1 mmol/L). Untuk plasma
vena kadar ini lebih tinggi sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L).
b) Toleransi glukosa melemah
Pada toleransi glukosa yang melemah , kurva glukosa darah terlihat
meningkat dan memanjang. Pada DM kadar glukosa darah di atas 126

10
mg/dl (7 mmol/L), jika tidak begitu meningkat diabetes bisa didiagnosa
bila kadar antara 1 jam dan kadar 2 jam di atas 180 md/dl (10 mmol/L).
Toleransi glukosa melemah ringan (tak sebanyak diabetes) jika kadar
glukosa puasa dibawah 126 mg/dl (7 mmol/L), kadar antara di bawah 180
mg/dl (10 mmol/L) dan kadar 2 jam antara 126-180 mg/dl (7 10
mmol/L). Terdapat glikosuria, walaupun tak selalu ada dalam sampel
puasa.
Pada diabetes gestasional, glukosa puasa normal, glukosa 1 jam 165 mg/dl
(9,2 mmol/L) dan glukosa 2 jam 145 mg/dl (8 mmol/L).
Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa
darah meningkat pada keseluruhan waktu test. Kurva diabetic dari jenis
yang sama dijumpai pada penyakit Cushing yang berat.
Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan),
kehamilan lanjut (atau karena kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat
terutama staphylococci, sindrom cushing, sindrom conn, akromegali,
tirotoksikosis, kerusakan hepar yang luas, keracunan menahun, penyakit
ginjal kronik, pada usia lanjut, dan pada DM yang ringan atau baru mulai.
Test toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu
mendeteksi diabetes yang baru mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO
dilaksanakan, penderita diberikan 100 mg kortison, maka glukosa darah
pada 2 jam meningkat di atas 138,8 mg/dl (7,7 mmol/L) pada oarng-orang
yang memiliki potensi menderita diabetes.
c) Penyimpanan glukosa yang lambat
Terdapat peningkatan glukosa darah yang curam. Kadar puncak dijumpai
pada jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Kemudian kadarnya menurun
tajam dan tingkatan hipiglikemia dicapai sebelum waktu 2 jam. Terdapat
kelambatan dalam memulai homeostatis normal, terutama penyimpanan
glukosa sebagai glikogen. Biasanya ditemukan glukosuria transien.
Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan
kadang-kadang para tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena
absorbs lebih cepat setelah gastrektomi, gastroentrostomi, atau vagotomi.
Kadang-kadang dapat dijumpai pada orang yang normal.

11
d) Toleransi glukosa meningkat
Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu test
kadarnya tidak bervariasi lebih dari 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini
bisa terlihat pada penderita miksedema (yang mengurangi absorbs
karbohidrat) atau yang menderita antagonis insulin seperti penyakit
Addison dan hipopituarisme. Tidak ada glikosuria. Kurva yang rata juga
sering dijumpai pada penyakit seliak. Pada glikosuria renal, kurva toleransi
glukosa bisa rata atau normal tergantung pada kecepatan hilangnya
glukosa melalui urin.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium.
a) Penggunaan obat-obatan tertentu
b) Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas
dapat meningkatkan kadar glukosa darah
c) Aktivitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Obat hipiglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah
d) Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi
insulin menurun karena proses penuaan

2.4.2 Hemoglobin A1C (HbA1C)


Pengukuran kadar glukosa darah hanya memberikan informasi mengenai
homeostasis glukosa yang sesaat dan tidak dapat digunakan untuk
mengevaluasi pengendalian glukosa jangka panjang (mis. beberapa minggu
sebelumnya). Untuk keperluan ini dilakukan pengukuran hemoglobin
terglikosilasi dalam eritrosit atau juga dinamakan hemoglobin glikosilat atau
hemoglobin A1C (HbA1C). Apabila hemoglobin bercampur dengan larutan
dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat
satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi.
Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal,
sekitar 4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin
glikosilat atau hemoglobin A1C. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan,
kadar hemoglobin A1C dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak

12
mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar
hemoglobin A1C yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes
selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil,
kadar hemoglobin A1C kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
Karena HbA1C terkandung dalm eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari,
maka HbA1C mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4
bulan. Hal ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan
informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif
terapi diabetik yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1C > 8%
mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali, dan penderita
berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti nefropati,
retinopati, neuropati, dan/atau kardiopati. Eritrosit yang tua, karena berada
dalam sirkulasi lebih lama daripada sel-sel yang masih muda, memiliki kadar
HbA1C yang lebih tinggi. Penurunan palsu kadar HbA1C dapat disebabkan
oleh penurunan jumlah eritrosit. Pada penderita dengan hemolisis episodik
atau kronis, darah mengandung lebih banyak eritrosit muda sehingga kadar
HbA1C dapat dijumpai dalam kadar yang sangat rendah. Glikohemoglobin
total merupakan indikator yang lebih baik untuk pengendalian diabetes pada
penderita yang mengalami anemia atau kehilangan darah.

Keadaan yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran HbA1C


Kadar HbA1C merupakan bagian dari hemoglobin keseluruhan maka
setiap perubahan jumlah eritrosit, kadar dan susunan hemoglobin dapat
mempengaruhi kadar HbA1C. Contoh perubahan masa hidup eritrosit
misalnya perdarahan, anemia, hemolisis (pecahnya eritrosit), kekurangan zat
besi (Fe), vit B 12 atau asam folat atau kelainan hemoglobin (varian
hemoglobin atau thalassemia) dan juga pengobatannya. Pada keadaan-keadaan
ini maka diperlukan pemeriksaan lain. Pada keadaan gagal ginjal, pengaruh
zat yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh dan obat-obatan juga dapat
mempengaruhi kadar HbA1C. Contoh hasil rendah palsu adalah pada
perdarahan, transfusi darah, defisiensi anemia dan hemolisis, pergantian
eritrosit yang lebihcepat, sebaliknya hasil tinggi palsu mungkin dijumai pada

13
penyakit ginjal kronis, kelainan hemoglobin tertentu (misalnya HbS dan
metHb).

Cara pengukuran HbA1C


Terdapat banyak metode pemeriksaan kadar HbA1C yang dapat dibedakan
berdasarkan prinsip pemeriksaannya. Kelompok pertama yang berdasarkan
sifat fisik/ kimia/ muatan listrik (kromatografi cation ion-exchange,
elektroforesis, isoelectric focusing, kromatografi affinity). Kelompok kedua
berdasarkan strukturnya (immunoassay) dan kelompok ketiga berdasarkan
reaksi enzimatik. Oleh karena hasil pemeriksaan HbA1C antar metode dapat
berbeda maka telah diupayakan untuk membakukan metode pemeriksaan,
dimaka dianjurkan semua pemeriksaan kadar HbA1C merujuk ke RM IFCC.
Pengukuran HbA1C dapat digunakan untuk:
1. Mengetahui kepatuhan penggunaan obat dari pasien DM
2. Mengetahui sudah berapa lama keadaan hiperglikemia dari seseorang yang
baru didiagnosa DM
3. Memonitor keberhasilan dari terapi yang sedang berjalan

Tabel 3. Kriteria Hasil Pada Tes HbA1C


Bukan DM Pra-Diabetes DM

Persentase
<5,7 5,7-6,4 >6,5
HbA1C (%)

2.4.3 Pemeriksaan keton


Keton, secara umum, merupakan penanda dari defisiensi insulin dan
kebutuhan asupan insulin. Standar tes untuk keton yang dilakukan adalah
dengan mendeteksi badan keton pada urin menggunakan strip tes. Uji tersebut
bergantung dari hasil semikuantitatif dari reaksi nitroprusida, yaitu reaksi
antara asetosat pada urin dengan nitroprusida pada strip tes yang kemudian
akan mengalami perubahan warna. Namun, tes dengan metode ini tidak
mendeteksi -hidroksibutirat yang merupakan badan keton predominan pada

14
ketoasidosis diabetes. Monitor tingkat keton pada penderita diabetes penting
untuk menghindari ketoasidosis diabetes parah yang dapat mengakibatkan
koma.
Tes keton dapat dilakukan dengan sampel urin maupun darah.
Rekomendasi untuk tes keton dalam urin ini adalah melakukan tes setiap dua
hingga empat jam sekali ketika glukosa darah konsisten melebihi 300 mg/dL
(>1,67 mmol/L). Sedangkan untuk tes keton dalam darah lebih dianjurkan
karena terdapat metode yang dapat mengetahui jumlah -hidroksibutirat.
Kriteria tingkat keton dalam darah 0,6 mmol/L adalah normal. Tingkat keton
>0,6-1,5 mmol/L dianjurkan untuk memeriksa kadar gula darah setelah 1 jam
dan dipertimbangkan untuk meningkatkan asupan insulin setelah 1 jam. Jika
tingkat keton >1,5-3 mmol/L, dianjurkan untuk menggunakan insulin short
acting atau rapid acting. Jika hasilnya diatas 3 mmol/L dan/atau disertai
muntah dan tidak dapat mentoleransi cairan disarankan untuk menghubungi
tenaga kesehatan.

2.4.4 Pemeriksaan Albumin


Albumin merupakan sebuah komponen protein yang membentuk lebih dari
setengah protein plasma. Albumin disintesis di hepar sehingga pemeriksaan
nilai albumin juga terkait dengan fungsi sintesis hepar. Albumin
meningkatkan tekanan osmotik sel sehingga jika terjadi penurunan serum
albumin cairan sel akan keluar dan terjadi udem.
Rasio A/G adalah perhitungan dari distribusi 2 fraksi utama protein, yakni
albumin dan globulin. Nilai normal dari rasio A/G (nilai albumin dibagi
dengan nilai globulin) lebih besar dari 1,0. Rasio A/G yang lebih dari satu
tidak bermakna secara klinis, namun rasio A/G/ yang rendah mengindikasikan
terjadinya penyakit liver atau ginjal. Elektroforesis protein lebih akurat dan
telah menggantikan perhitungan rasio A/G. Adapun nilai rujukan albumin
normal dalam serum adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Nilai Rujukan Albumin Normal dalam Serum
Rentang Usia Nilai serum albumin (g/dL)
Dewasa 3,5-5,0 (52% - 68% dari total protein)

15
Bayi baru lahir 2,9-5,4
Anak (1-3 tahun) 4,4-5,4
Anak (sampai 12 tahun) 4,0-5,8
Ketidak normalan nilai albumin (peningkatan atau penurunan) dapat
menunjukkan beberapa kemungkinan, diantaranya :
a) Penurunan nilai albumin (hipoalbuminemia) terjadi pada : sirosis hepar,
gagal hepar akut, luka bakar parah, malnutrisi parah, preeklamsi,
gangguan ginjal, beberapa jenis malignansi, malabsorpsi, dan pengaruh
obat-obatan seperti penisilin, sulfonamida, aspirin dan vitamin C.
b) Peningkatan albumin (hiperalbuminemia) terjadi pada : dehidrasi,
muntah yang parah, diare yang parah, juga pada pengaruh heparin.

2.4.5 Pemeriksaan Serum Kreatinin


Serum kreatinin diketahui lebih sensitif dan indikator spesifik dari
penyakit ginjal dibandingkan BUN. Hal tersebut dikarenakan tidak
dipengaruhi oleh diet atau asupan cairan. Serum kreatinin ini khususnya
digunakan pada evaluasi fungsi glomerulus. Serum kreatinin merupakan tes
laboratorium untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan untuk mengestimasi
efektivitas dari filtrasi glomerulus. Darah intravena sebanyak 10 mL darah
dikumpulkan pada tabung. Perkiraan perhitungan GFR sering dilakukan secara
matematis menggunakan formula Cockroft dan Gault, serta MDRD (Levey)
dengan diketahuinya serum kreatinin seseorang.
a. Cockroft dan Gault
Pada formula ini variabilitas akibat perbedaan SCr disebabkan
perbedaan dalam massa otot akibat jenis kelamin dan usia. Oleh karena
itu, dapat terjadinya ketidaktepatan pengukuran GFR apabila dengan
individu massa otot yang lebih rendah dengan pasien dengan obesitas.
Berikut formula Cockroft dan Gault:
Laki-laki : (140 Umur) x (BBI)/72 x SCr)
Wanita : (140 Umur) x (BBI)/72 x SCr) x 0,85
SCr merupakan serum kreatinin, sedangkan BBI (Berat Badan Ideal) dapat
dihitung sebagai berikut:

16
Laki-laki : 50 kg + 2,3 kg tiap inchi apabila lebih dari 5 kaki
Wanita : 45,5 kg + 2,3 kg tiap inchi apabila lebih dari 5 kaki
b. Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
Pada awalnya formula MDRD memperkirakan GFR menggunakan
enam variabel, yaitu umur, ras, jenis kelamin, urea nitrogen, serum
kreatinin, dan konsentrasi serum albumin.
GFR : 170 x Cr-0,999 x Umur-0,176 x BUN-0,170 x Alb0,318
Pada wanita hasil dikali 0,762 dan jika berkulit hitam hasil dikali 1.180
Namun, selanjutnya disederhanakan menjadi empat variabel, yaitu serum
kreatinin, usia, ras, dan jenis kelamin.
GFR :186,3 x Cr-1,154 x Umur-0,203 x 1,212 (untuk berkulit hitam) x
0,742 (untuk wanita)
Cr merupakan kreatinin serum (mg/dL), BUN merupakan nitrogen urea
darah (mg/dL), Alb merupakan albumin serum (g/dL).
Perbedaan diantara kedua formula diatas adalah formula Cockcroft dan
Gault memasukkan data berat badan, sedangkan rumus MDRD memasukkan
berat badan, karena hasil yang terakhir ini dinyatakan dalam mL/min/1.73 m3.

2.4.6 Pemeriksaan Kadar LDL, HDL, Trigliserida, dan Kolesterol


Total
Pemisahan fraksi-fraksi lemak dengan menggunakan ultra sentrifuge.
Biasanya lemak akan bergabung dengan protein dan membentuk lipoprotein.
pada lipoprotein berat jenis ditrentukan oleh perbandingan anatar banyaknya
lemak dan protein. makin tinggi perbandingan ini makin rendah BJ nya, lemak
murni mempunyai BJ yang lebih rendah dari air.

17
Gambar 2. Komposisi kelas lipoprotein

2.4.6.1 Metode Pengukuran HDL


Prinsip : sampel kolesterol dihidrolisis dan dioksidasi (hasil merah
keunguan)
Nilai normal : pria >40 mg/dL ; wanita > 50 mg/dL
Prosedur :
Metode sentrifugasi untuk memisahkan HDL dilakukan dalam 3 tahap,
yaitu:
a. Ultrasentrifugasi 1,006 g/ml untuk menghilangkan lipoprotein kaya
trigliserida (VLDL)
b. Presipitasi lipoprotein yang mengandung apo B (IDL, LDL, dan Lp (a)
dari ultracentrifugal infranatant dengan heparin dan MnCl2
c. Mengukur jumlah kolesterol dalam supernatan menggunakan metode
Abell-Kendall

18
2.4.6.2 Metode Pengukuran LDL
Prinsip : Metode enzimatik kolorimetrik untuk mereaksikan sampel
kolesterol dengan reaksi oksidasi dan reaksi esterfikasi sehingga
menghasilkan senyawa 4-(p-benzoquinone-monoamino)-phenazone (biru
keunguan)
Nilai normal : <100 mg/dL
Prosedur :
Kadar LDL dapat diperkirakan dengan pendekatan Friedewald sebagai
berikut
TG
= TC HDL
5
Metode diatas menghasilkan nilai akurat jika kadar TG < 400 mg/dl.
Untuk pasien dengan kadar TG >400 mg/dl diperlukan metode
ultrasentrifugasi kompleks. Penderita yang mengalami peningkatan
trigliserida secara signifikan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut

2.4.6.3 Metode Pengukuran Trigliserida


Prinsip : Dengan metode ini trigliserida akan dihidrolisa dengan enzimatis
menjadi gliserol dan asam bebas. Dengan lipase khusus akan membentuk
kompleks warna yang dapat diukur kadarnya menggunakan spektrofotometer.
Nilai normal : <150 mg/dL
Reaksi :
Lipase
Trigliserida + H2O Gliserol + Asam Lemak

Gliserol Kinase
Gliserol + ATP Gliserol-3-phosphate + ADP

Gliserol Phosphate Oksidase


Gliserol-phosphate + O2 Dihidro-aseton-
phosphate + H2O2

Peroksidasi
H2O2 + 4-aminofenazon + 4-chlorophenol 4-(p-
benzokinonmonoimino)-fenazon + 4 H2O + HC

Prosedur :

19
1) Standar Trigliserida di buat dengan mengambil 5 l dimasukkan ke
dalam tabung reaksi.
2) Ke dalam tabung reaksi ditambahkan reagen sebanyak 500 l. (Waktu
dan suhu saat direaksikan antara reagen dengan larutan seri dicatat).
3) Masing-masing larutan dikocok hingga homogen.
4) Setelah dikocok, masing-masing larutan tersebut di inkubasi selama
10 menit pada suhu 37o C , kemudian diukur serapannya
menggunakan mikrolab.
5) Hasil yang diperoleh adalah angka absorbansi dari mikrolab.

Penetapan kadar sampel :


1) Darah diambil sebanyak 1mL, lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi.
2) Ditambahkan EDTA kemudian Didiamkan hingga terjadi koagulasi.
3) Setelah terjadi koagulasi dilakukan sentrifugasi selama 10 menit.
Diperoleh serum.
4) Bagian serum diambil sebanyak 5 L menggunakan mikropipet.
5) Di tambahkan reagen sebanyak 500 l, di kocok sampai homogen.
6) Kemudian di inkubasi selama 10 menit pada suhu 37o C.
7) Hasil inkubasi di ukur absorbannya menggunaka alat mikrolab.
8) Absorban yang di ukur alat di catat
9) Dihitung kadar Trigliserida dalam sampel menggunakan perhitungan
penetapan kadar trigliserida.

2.4.6.4 Metode Pengukuran Kolesterol Total


Pemeriksaan kadar kolesterol menggunakan metode CHOD-PAP.
Prinsipnya adalah kolesterol dan ester-esternya dibebaskan dari lipoprotein
oleh detergent. Kolesterolesterase menghidrolisa ester-ester tersebut dan
H2O2 dibentuk dari kolesterol dalam proses oksidasi enzimarik oleh
kolesterol oksidase. H2O2 bereaksi dengan 4-amino-antipyrin dan phenol
dengan katalisator peroksidase membentuk quinonimine yang berwarna.
Absorbansi warna ini sebanding dengan kolesterol dalam sample

20
Nilai normal : 125-200 mg/dL
Reaksi:
Kolesterol Esterase
Ester kolesterol + H2O Kolesterol + RCOOH
Kolesterol Oksidase
Kolesterol + O2 Kolestenon + H2O2
POD
2 H2O2 + fenol + 4-aminofenazon 4-(p-benzokinonmono
imino)-fenazon + 4 H2O
Prosedur
Kurva kalibrasi kolesterol :
1) Standar kolesterol di buat dengan mengambil 5 l dimasukkan ke
dalam tabung reaksi.
2) Ke dalam tabung reaksi ditambahkan reagen sebanyak 500 l. (Waktu
dan suhu saat direaksikan antara reagen dengan larutan seri dicatat).
3) Masing-masing larutan dikocok hingga homogen.
4) Setelah dikocok, larutan tersebut diukur serapannya menggunakan alat
mikrolab.
5) Hasil yang diperoleh adalah angka absorbansi dari mikrolab kemudian
di catat

Penetapan kadar sampel :


1) Darah diambil sebanyak 1 mL, lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi.
2) Didiamkan beberapa saat. Kemudian disentrifugasi selama 10 menit.
3) Diperoleh plasma dan serum.
4) Bagian serum diambil sebanyak 5 L menggunakan mikropipet.
5) Lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
6) Ditambahkan 500L reagen. (waktu dan suhu dicatat)
7) Kemudian dikocok hingga homogen.
8) Setelah dikocok, larutan tersebut diukur serapannya menggunakan alat
mikrolab.
9) Hasil yang diperoleh adalah angka absorbansi dari mikrolab dan di
catat,

21
10) Dihitung kadar kolesterol dalam sampel menggunakan perhitungan
penetapan kadar kolesterol.

2.4.7 SGOT (Serum Glutamic Oxalacetic Transaminase)


Enzim yang ditemukan terutama di otot hati dan jantung dengan jumlah
yang banyak, di otot rangka, ginjal, pankreas. Konsentrasi AST rendah di
darah, kecuali apabila ada cedera sel. SGOT, atau yang sering disebut juga
dengan aspartat aminotransferase (AST), merupakan suatu enzim yang
berperan dalam proses biosintesis urea dan katabolisme asam amino di hati,
dengan mengkatalisis terjadinya reaksi transaminasi. Reaksi transaminasi
saling mengkonversipasangan-pasangan asam -amino dan asam -keto
dengan transfer gugus amino. SGOT mengkatalisis interkonversi oksaloasetat
menjadi aspartat melalui transfer gugus amino dan kopling dari interkonversi
glutamat menjadi oksoglutarat.
Reaksi tersebut bersifat reversible dan dapat digambarkan seperti berikut
:

Gambar 3. Reaksi transaminase dengan enzim SGOT sebagai katalisator

Enzim SGOT meningkat pada penyakit yang melibatkan jaringan di mana


enzim tersebut banyak terdapat di dalamnya. Pada penyakit jantung, kondisi di
mana nilai serum SGOT mengalami peningkatan adalah pada infark miokard,
gagal jantung, perikarditis, kardiak aritmia, dan pada keadaan setelah
dilakukannya operasi jantung atau kateterisasi. Beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa 92%-98% pasien dengan infark miokard akut mengalami

22
peningkatan SGOT serum, biasanya sebesar 4-10 kali dari batas atas kadar
SGOT serum normal. Pada pasien dengan elektrokardiografik dan kriteria
klinis sebagaicoronary insufficiency, peningkatan serum GOT lebih
mungkin terjadi dibandingkan pada keadaan infark.Penilaian SGOT juga
berguna untuk mengetahui ada atau tidaknya kekambuhan atau perburukan
dari infark selama masa penyembuhan.
Tujuan dari pemeriksaan SGOP/ AST antara lain:
1. Untuk mendeteksi peningkatan serum AST, yang meningkatkan selama
MI akut dan kerusakan hati.
2. Untuk membandingkan hasil AST dengan CK dan LDH untuk
mendiagnosa MI akut.

Tabel 5. Nilai Rujukan SGOT


Dewasa Nilai rata-rata : 8-38 U/l ; 5-40 U/ml
(frankel), 4-36 IU/l, 16-60 U/ml at 30 C
(Karmen), 8-33 U/l at 37oC (SI uints).
Nilai-nilai perempuan mungkin sedikit lebih
rendah dibandingkan laki-laki.
Anak- anak Bayi baru lahir: empat kali dari nilai normal
Anak-anak : serupa dengan dewasa
Lansia: Sedikit lebih tinggi daripada orang
dewasa

Peningkatan kadar AST terjadi pada IM akut, hepatitis, nekrosis hati,


penyakit muskuloskeletal dan trauma, pankreatitis akut, kanker hati, angina
pektoris berat, olahraga berat serta obat- obatan. Obat yang mempengaruhi
antara lain: Antibiotik (ampisilin, karbenisilin, klindamisin, kloksasilin,
eritromisin, gentamisin), vitamin (asam folat, vitamin A), Narkotika (morphin,
codein), antihipertensi (metildopa). Penurunan kadar AST terjadi terjadi pada
kehamilan, diabetes ketoasidosis dan pengaruh obat ( salisilat).
Prosedur dalam pengujian SGOT/ AST perlu memperhatikan factor-
faktor sebagai berikut:

23
a. Tidak ada batasan makanan atau cairan
b. Kumpulkan 3-5ml darah venadi dalam tabung (Hindari hemolisis)
c. Hindari pemberian obat-obatan yang dapat meningkatkan atau
menurunkan AST sebelum melakukan tes.
d. Tidak melakukan injeksi IM
Faktor yang mempengaruhi hasil laboratorium :
a. Suntikan IM dapat meningkatkan kadar serum AST
b. Hemolisis dari spesimen darah dapat mempengaruhi hasil laboratorium
c. Obat meningkatkan kadar serum AST dapat mempengaruhi hasil tes
d. Salisilat dapat menyebabkan kadar serum positif palsu.

2.4.8 SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)\


SGPT, atau yang sering disebut juga sebagai alanin aminotransferase
(ALT), merupakan enzim transaminase yang berperan mengkatalisis
interkonversi piruvat menjadi alanin melalui transfer gugus amino dan kopling
dari interkonversi glutamat menjadi oksoglutarat. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:

Gambar 4. Reaksi transaminasi dengan enzim SGPT sebagai katalisator

Nilai normal SGPT serum adalah 0 45 IU/L pada orang dewasa dan pada
bayi baru lahir nilainya hingga 90 unit. Pada pasien infark miokard, nilai
SGPT serum dapat sedikit meningkat atau tetap normal. SGPT lebih baik dan
lebih spesifik digunakan dalam diagnosis gangguan pada fungsi hati.Enzim

24
transaminase saat ini tidak lagi direkomendasikan untuk digunakan sebagai
marker dalam diagnosis kelainan jantung karena telah digantikan dengan
marker troponin yang lebih spesifik untuk jantung.

2.4.9 LDH (Laktat Dehidrogenase)


LDH adalah enzim intraseluler yang terdapat di hampir semua sel
metabolisme, dengan konsentrasi tertinggi di jantung, otot rangka , hati, ginjal,
otak, dan sel darah merah. LDH mempunyai dua sub unit yang berbeda yaitu
M (otot) dan H (jantung). Adapun, kelima isoenzim yang dapat dibentuk dari
kedua subunit ini adalah LDH1 (HHHH), LDH2 (HHHM), LDH3 (HHMM),
LDH4(HMMM), dan LDH5 (MMMM). LDH1 dan LDH2 memiliki afinitas
yang lebih tinggi terhadap laktat dibandingkan piruvat, sedangkan LDH4 dan
LDH5 memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap piruvat dibandingkan
laktat. Proporsi relative dari kelima isoenzim tersebut dalam serum normal
adalah LDH2> LDH1> LDH3>LDH4> LDH5. Kelima isoenzim LDH memiliki
profil stabilitas yang sangat bervariasi. LDH4 dan LDH5sangat tidak stabil
pada suhu kulkas (4oC) dan freezer serta suhu tinggi, sedangkan LDH1 dan
LDH2 tetap stabil pada suhu tersebut (the heat-stable fractions).Pada infark
miokard akut, konsentrasi akan meningkat dalam waktu 24-48 jam, mencapai
puncaknya dalam 3-6 hari setelah onset dan kembali normal setelah 8-14 hari.
LDH mempunyai 5 isoenzim. Isoenzim LDH1 lebih spesifik untuk kerusakan
otot jantung sedangkan LDH4 dan LDH5 untuk kerusakan hati dan otot skelet.

Tabel 6. Komposisi isoenzim LDH di berbagai sumber jaringan

25
Nilai rujukan untuk LDH sebagai berikut:
Nilai Normal LDH Total : 110210 IU/L
Isoenzymes:
a. LDH1: 1727%
b. LDH2: 2838%
c. LDH3: 1728%
d. LDH4: 515%
e. LDH5: 515%
Nilai LDH serum dapat meningkat pada berbagai kondisi, seperti infark
miokard akut, cerebrovaskuler accident, kanker (paru-paru, tulang, otak, hati,
dan ginjal), infark paru-paru akut, anemia (pernisiosa, defisiensi asam folat,
sickle cell, dan acquired hemolytic), hepatitis akut, dan skeletal muscular
diseases.
Ketidakspesifikan tes LDH dapat diatasi dengan membandingkannya
dengan tes enzimatik lainnya, yaitu SGOT, SGPT, dan CK. Jika aktivitas
LDH meningkat, namun tidak disertai dengan peningkatan aktivitas SGOT,
SGPT, dan CK atau terjadi peningkatan yang kecil, maka hal ini menunjukkan
adanya kerusakkan pada sel-sel darah (sel darah merah atau sel darah putih),
ginjal, paru-paru, nodus limfatik, atau tumor. Peningkatan aktivitas CK dan
LDH disertai dengan peningkatan yang lebih besar pada aktivitas SGOT
daripada SGPT menunjukkan adanya luka pada jantung atau otot rangka. Pada
kondisi gagal hepatik, kadar SGPT dan LDH serum meningkat dengan
peningkatan kadar LDHserum yang lebih cepat pada awalnya. Peningkatan
nilai LDH serum juga terjadi pada pasien infark pulmonal, biasanya dalam
waktu 24 jam setelah onset rasa sakit. Pola nilai SGOT yang normal dan nilai
LDH serum yang meningkat dalam waktu 1-2 hari setelah kejadian rasa sakit
di dada memberikan bukti yang cukup meyakinkan akan keberadaan infark
pulmonal.Peningkatan nilai LDH serum juga terjadi pada pasien infark
pulmonal, biasanya dalam waktu 24 jam setelah onset rasa sakit. Pola nilai
SGOT yang normal dan nilai LDH serum yang meningkat dalam waktu 1-2
hari setelah kejadian rasa sakit di dada memberikan bukti yang cukup
meyakinkan akan keberadaan infark pulmonal.

26
Selain melakukan perbandingan dengan tes enzimatik
lainnya,sumberpelepasan LDH juga dapat ditentukan dengan menilai aktivitas
kelima isoenzim LDH secara individual. Metode yang dapat digunakan untuk
memisahkan kelima isoenzim ini adalah dengan pemanasan pada suhu 60oC
selama 30 menit (isoenzim yang tetap aktif adalah the heat-stable fraction)
dan elektroforesis (fraksi tercepat adalah LDH1 dan LDH2, sedangkan fraksi
terlambat adalah LDH4 dan LDH5). Untuk menilai kerusakkan miokardium,
digunakan nilai LDH1 dan LDH2 serum. Kondisi saat peningkatan nilai
LDH1 serum lebih tinggi dari LDH2 serum cukup spesifik untuk kejadian
nekrosis miokardium ketika faktor hemolisis dan infark renal dieksklusi.
Beberapa faktor yang dapat mengganggu penilaian LDH serum adalah
riwayat hamil, anemia tertentu, dan operasi yang baru dilakukan (karena LDH
juga terdapat di dalam sel otot rangka sehingga nilai total LDH serum menjadi
diragukan pada 1 minggu pertama setelah operasi) serta hemolisis spesimen
(karena LDH1 juga terdapat di dalam sel darah merah sehingga hemolisis
serum dapat mempengaruhi nilai LDH serum secara signifikan).

2.4.10 C-Reactive Protein (CRP) dan High Sensitivity CRP ( hs CRP)


Protein C-Reaktif (CRP) adalah marker inflamasi yg menilai resiko
terjadinya penyakit kardiovaskolar di kemudian hari, baik pada sindrom
koronari kaut (SKA), infark miokard akut (IMA), dan pada pria atau pria atau
wanita sehat. Tinggi rendahnya kadar CRP berhubungan dengan aktifitas
inflamasi, perubahan ateroskerosis yang cepat, dan prognosis yang jelek.
Reaksi inflamasi berhubungan juga dengan nekrosis jaringan otot yang
berperan untuk meningkatkan kadar CRP. CRP merupakan protein fase akut
yang dihasilkan oleh liver dalam respons terhadap cidera atau inflamasi
jaringan. Kadar CRP pada individu sehat adalah kurang dari 1 mg/dL
menunjukkan adanya proses inflamasi. Nilai klinis paling besar dari
pengukuran CRP terletak pada kolerasi dengan aktivitas penyakit.Kolerasi
telah ditemukan untuk pemulihan pascaoperasi, penyakit-penyakit infeksi,
evaluasi klinis untuk stress, trauma, infeksi, inflamasi, dan tingkat
bedah.CRPdiproduksi dihati sebagai respon pada cedera dan

27
inflamasijaringan. CRP terdapat di darah 6-10 jam setelah proses inflamasi
akut dan kerusakan jaringan dan mencapai puncak 48-72 jam.
CRP biasanya menurun setelah hari ketiga cedera. Serum CRP juga
ditemukan di banyak cairan tubuh (yaitu pleura, peritonial, dan cairan
sinovial). Jenis protein ini diperlukan untuk melawan cedera dan infeksi.
Peradangan dapat menyebabkan protein menjadi protein inflamasi. Banyak
referensi menyatakan bahwa protein inflamasi merupakan faktor penting
dalam penyakit kardiovaskular. Dalam perkembangannya CRP dikembangkan
menjadi hs CRPdimana tingkat sensitifitas hs CRP lebih tinggi sehingga uji ini
dikembangkan untuk pemeriksaan jantung.
Infeksi kronis, lemak, hipertensi, merokok, penyakit jantung, stroke,
dan rheumatoid arthritis dapat memproduksi protein inflamasi yang
melemahkan pembuluh darah. Plak menjadi gumpalan yang menyebabkan
penurunan aliran darah dan bahkan serangan jantung. Tingginya tingkat
protein inflamasi dalam darah menunjukkan potensi tinggi untuk
aterosklerosis.
Tujuan:
a. Untuk melihat peningkatan kadar CRP dalam proses inflamasi akut.
b. Untuk mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (hs CRP).
c. Untuk membandingkan hasil tes dengan tes laboratorium lain

Tabel 7 Nilai Rujukan CRP


Dewasa Tidak terlihat
Qualitative : > 1 : 2 titer
Quantitative : 20 mg/dl
Anak-anak Tidak terlihat
N high Sensitivity CRP Adult < 0,175 mg/l

28
Gambar 5. Kadar hs CRP dan resiko CV

Peningkatan CRP terjadi pada :


Rheumatoid arthiritis, infark miokard akut, penyakit pembuluh darah,
ginjal, kanker payudara, penyakit radang usus, penyakit Hodgkin, lupus
sistemik, infeksi bakteri, akhir kehamilan, alat kontrasepsi intrauterine. Obat
yang mempengaruhi : kontrasepsi oral.
Penurunan CRP terjadi pada :
Steroids (cortisone, prednison), salisilat (aspirin) dan penggunaan statin.
Prosedur:
a. Batasi makanan dan cairan, kecuali air, selama 8-12 jam sebelum tes.
b. Kumpulkan 3-5ml darah vena dalam tabung
c. Hindari panas karena CRP termolabil.
Faktor yang mempengaruhi hasil laboratorium:
a. Kehamilan (trimester ketiga) bisa meningkatkan kadar CRP.
b. Kontrasepsi oral dan alat kontrasepsi intrauterine mungkin meningkatkan
kadar CRP
Kelebihan penggunaan hs CRP dalam deteksi resiko penyakit CV:
a. Stabil dalam periode lama penyimpanan,

29
b. t nya lama,
c. Menunjukan spesivitas tinggi untuk menentukan resiko kardiovaskular,
d. Tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.
e. Mempunyai hubungan langsung dengan keadaan disfungsi endotelial
f. Mempunyai peran langsung dalam ekspresi molekuler adhesion sel
g. Pengujian yang terjangkau
Kekurangan penggunaan hs CRP dalam deteksi resiko penyakit CV
adalah kurang valid hasil ujinya pada pasien yang juga mengalami penyakit
inflamasi kronik lainnya, misal: Lupus, RA

2.4.11 Troponin (cTn)


Komponen-komponen kardiomiosit dirilis ke dalam aliran darah dalam
jumlah yang lebih besar menandakan adanya proses patologis pada jaringan.
Konsentrasi penanda kardiak yang meningkat merupakan tanda adanya
kerusakan yang mungkin terjadi akibat ketidakseimbangan suplai dengan
kebutuhan, efek toksik, atau stres hemodinamik.
Troponin merupakan protein kompleks pada filamen tipis bagian
kontraktil otot lurik. Troponin terdiri dari tiga protein berbeda yang dikode
oleh gen yang berbeda. Fungsi dari cardiac troponin (cTn) adalah modulasi
fungsi kontraktil sarkomer sebagai respon terhadap kalsium sitosolik dan
fosforilasi protein. Kompleks cTn berperan penting terhadap regulasi eksitasi
dan kontraksi jantung.
Konsep klinis troponin jantung adalah (1) merupakan komponen
pengatur penting dari bagian kontraktil miokard, (2) troponin dirilis sebagai
akibat adanya kerusakan yang serius dan kemungkinan bersifat irreversible,
(3) rilis cTnI dan cTnT sangat spesifik untuk kerusakan miokard, berlawanan
dengan penanda yang digunakan dimasa lampau seperti kreatin kinase dan
isoenzim MB, LDH serta isoenzimnya dan mioglobin, dan (4) tidak hanya
kerusakan akibat iskemi yang menyebabkan rilis cTn, melainkan semua tipe
kerusakan miokard.
Pengukuran cTn dapat berguna untuk menilai efek samping dari
prosedur-prosedur, seperti percutaneous coronary intervention (PCI) dan

30
operasi jantung. Rekomendasi yang umum digunakan untuk penilaiannya:
peningkatan tiga kali lipat dari batas atas kadar normal mengindikasikan MI
yang terkait PCI dan peningkatan lima kali lipat dari batas atas kadar normal
selama 72 jam pertama setelah prosedur bypass arteri koroner
mengindikasikan MI periprosedural. Meskipun CK-MB juga dapat meningkat
pada kondisi periprosedural, namun troponin adalah marker yang lebih sensitif
daripada CK-MB untuk kerusakan kecil miokard dan peningkatan troponin
setelah PCI lebih umum terjadi dibandingkan kenaikan CK-MB.
Nilai normal cTnT adalah < 0,2 ng/mL. Bila penderita yang tidak
ditemui adanya perubahan EKG yang khas, namun cTnT positif, maka hal
tersebut merupakan risiko serius dan terkait dengan kejadian jantung koroner.
Apabila ditemukan peningkatan cTnI, cTnT, atau CK-MB yang disertai gejala
dan perubahan pada EKG yang diduga merupakan iskemia, maka itu termasuk
ke dalam kriteria terjadinya infark miokard akut. Dengan demikian, cTnT juga
dapat digunakan sebagai kriteria dalam penetapan keputusan terapi. cTnT
memang kurang sensitif untuk diagnosis infark miokard akut, namun lebih
sensitif dalam mendeteksi luka miokard yang baru terjadi.
cTnI spesifik untuk jantung dan hanya terdeteksi di dalam serum ketika
terjadi cedera miokard. Nilai cTnI > 0,4 ng/mL dinyatakan positif mengalami
peningkatan. Setiap kenaikan 1,0 ng/mL cTnI terkait dengan meningkatnya
risiko relatif kematian. Nilai cTnI 1 ng/mL merupakan klasifikasi untuk
pasien dengan non-ST-elevation MI (NSTEMI).
Ketika pasien mengalami nyeri dada terutama di bagian jantung, maka
Unit Gawat Darurat (UGD) di rumah sakit harus segera melakukan
pemeriksaan troponin. Salah satu dari cTnI atau cTnT yang dilakukan
pemeriksaan, tidak perlu dilakukan pemeriksaan keduanya. Umunya dilakukan
pemeriksaan cTnI, karena lebih spesifik untuk jantung. Pemeriksaan diulangi
2 hingga 3 kali dalam 12-16 jam pertama. Pada umumnya pemeriksaan
diulangi pada 6 dan 12 jam setelah pemeriksaan pertama dilakukan.

31
2.4.12 Kreatin Kinase (CK)
Kreatin kinase merupakan enzim, terutama ditemukan di dalam jantung,
otot rangka, dan juga otak (dalam jumlah kecil). Kadar CK yang tinggi
merupakan tanda adanya kerusakan atau stres pada daera tertentu. Selain itu
kadar CK yang tinggi juga dapat merupakan tanda adanya cedera otot rangka
yang parah, kerusakan sistem saraf pusat yang parah dan juga adanya penyakit
pada saluran cerna, renal, dan kemih. Akurasi kadar CK total lebih rendah
dibandingkan dengan marker lain, sehingga penggunaan total CK untuk
penilaian kondisi patologis jantung (terutama MI) tidak direkomendasikan.
CK memiliki 3 buah isoenzim, yaitu:
1. CK 1 atau CK-Brain-Brain (CK-BB), terutama ditemukan di jaringan otak
dan otot polos paru-paru.
2. CK 2 atau CK-Muscle-Brain (CK-MB), terutama ditemukan di jantung.
3. CK 3 atau CK-Muscle-Muscle (CK-MM), terutama ditemukan di otot
rangka.
Pada pasien dengan penyakit spesifik miokard seperti stenosis
aorta,penyakit arteri koroner ataupun keduanya, CK-MB memiliki bagian
sebanyak 20% dari total CK pada jantung, serta kurang dari 3% total CK pada
otot rangka. CK-BB memiliki kontribusi yang kecil terhadap total CK dan
tidak ditemukan pada jantung. Pada individu yang sehat, nilai CK-MB kurang
dari 1,1%, sehingga peningkatan CK-MB spesifik untuk menilai kondisi
patologis pada jaringan miokard jantung.
Kadar CK mengalami peningkatan pada 3 sampai 6 jam setelah gejala
awal dan mencapai puncak pada 16 sampai 24 jam setelah gejala awal. CK
hanya mampu bertahan dalam waktu 2 sampai 3 hari. Peningkatan CK yang
cepat namun disertai dengan normalisasi yang cepat memberikan keuntungan
untuk penilaian reinfark. Nilai normal CK pada wanita adalah 40-150 U/L
(0.672.50 kat/L SI units) dan pada pria 38174 U/L (0.632.90 kat/L SI
units). Nilai normal CK-BB adalah 0-1% dari total CK, CK-MB kurang dari
3% total CK, dan CK-MM 95-100% total CK.
Kekurangan penilaian CK-MB antara lain:

32
1. Kehilangan spesifitas untuk MI pada penyakit otot jantung dan kerusakan
otot miokard akibat bedah
2. Kehilangan sensitifitas saat awal MI akut (onset < 6 jam) atau sesudahnya
setelah onset (36 jam) dan untuk kerusakan otot jantung minor (terdeteksi
dengan troponin)
Setelah nekrosis jaringan, CK-MB2 secara cepat dirilis ke dalam plasma
dan mengalami konversi menjadi CK-MB1. Pada keadaan normal, isoform
CK-MB1 dan CK-MB2 berada dalam kesetimbangan, dengan rasio keduanya
mendekati 1,0. Namun dalam keadaan MI akut, sejumlah besar CK-MB2
yang dirilis tidak secara sempurna dikonversi menjadi CK-MB1.
Hal ini kemudian menyebabkan rasio CK-MB2/CK-MB1 yang lebih
tinggi ( 1,5). Adanya peningkatan rasio CK-MB2/CK-MB1 dapat
digunakansebagai penanda dengan sensitivitas tinggi untuk nekrosis pada
jaringan miokard, tertama hingga 6 jam setelah awal kejadian.

2.4.13 Hidroksibutirat Dehidrogenase (HBD)


Pada umumnya penggunaan HBD untuk menentukan kondisi patologis
seringkali dalam bentuk rasio LD/HBD. Pada pasien MI rasio LD/HBD
berada di bawah nilai normal. Pada pasien MI nilai rasio LD/HBD berada di
bawah 1,2. Nilai HBD ditemukan meningkat dalam jumlah signifikan pada
pasien yang mengalami MI. Peningkatan dalam jumlah yang lebih kecil
ditemukan pada pasien dengan iskemi miokard, infark pulmonari, pneumonia
atau bronkitis. Nilai 140 U/L merupakan nilai yang paling tepat intuk
membedakan MI dengan kondisi patologis lain, termasuk iskemi miokard.
Efisiensi penggunaan HBD sebagai penanda keadaan patologis jantung lebih
besar dibandingkan dengan SGOT, terutama 3 sampai 10 hari setelah episode
akut.
HBD dalam serum berada dalam jangka waktu yang cukup lama setelah
kejadian MI. HBD dapat mendeteksi kondisi patologis selama 48 sampai 72
jam. Nilai HBD akan kembali normal dalam waktu 13 hari setelah MI.
Namun saat ini HBD sudah tidak digunakan lagi dalam menilai kondisi
patologis jantung karena kurang spesifik untuk jantung.

33
2.4.14 Mioglobin
Mioglobin merupakan sebuah protein heme yang berada dalam
sitoplasma jantung dan sel otot rangka. Mioglobin berfungsi sebagai transpor
oksigen intraseluler. Rasio mioglobin dalam jaringan dan plasma sangat
tinggi. Sehingga ketika terjadi nekrosis, kadar mioglobin dalam darah
meningkat dengan cepat. Kadar normal mioglobin dalam darah adalah 0
sampai 0,85 ng/mL. Mioglobin dirilis dalam waktu 1 sampai 2 jam setelah
gejala awal terjadinya MI akut. Kadar mioglobin mencapai puncak dalam
waktu 6 sampai 12 jam, sehingga digunakan untuk mendeteksi awal
terjadinya MI. Durasi peningkatan kadar mioglobin dalam darah kurang dari
24 jam sebelum kembali normal.
Spesifitas mioglobin terhadap jantung yang rendah menyebabkan
mioglobin tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya parameter untuk
penilaian kondisi patologis jantung. ACCF/AHA memberikan rekomendasi
(kelas IIb) agarpengukuran mioglobin bersama dengan CK-MB atau cTn saat
awal dan setelah 90 menit pada pasien dengan gejala telah berlangsung 6 jam.
Penggunaan mioglobin sebagai penanda untuk kondisi patologis berada
dalam rekomendasi kelas III, seperti penilaian total CK, LDH, dan SGOT.

Tabel 8. Ringkasan Uji


No Jenis Deteksi Penyakit Kadar Normal Keterangan
Uji
Jika 1 ng/mL atau
MI lebih: NSTEMI
< 0,4 ng/mL atau <0,4
1 CtnI Angina tak stabil (non ST Elevation
g/L SI Unit
ACS Myocardial
Infarction)
EKG normal,
MI
< 0,2 ng/mL atau <0,2 cTnT >
2 CTnT Angina tak stabil
g/L SI Unit 0,2 ng/mL:
ACS
Resiko jantung

34
koroner
EKG abnormal,
cTnT
abnormal + akibat
iskemi
miokardial:
MI akut
MI Wanita: 40150 U/L
Cedera otot
Pria: 38174 U/L
rangka parah
CK Kerusakan CNS
3
Total parah
Penyakit pada
saluran cerna,
renal & kemih
Bisa untuk
4 CK-MB AMI <3% CK total mendeteksi
reinfark
Mioglob
Pria: 20-90 ng/mL
5 in AMI
Wanita: 12-75 ng/mL
serum
Mioglob
6 MI Negatif
in urin
Kurang spesifik,
< 140 IU/L saat
7 HBD AMI Rasio LD/HBD di ini tidak
bawah 1,2 : AM digunakan
lagi
Adult : 8 38 unit/l AST bukan
Newborns: 4 x nilai merupakan enzim
8 AST AMI
normal yang pertama
Child : similar to kalimuncul ketika

35
adult terjadi
Eldery : sedikit lebih kerusakan hati.
tinggi dari adult
Infark
Miokard Akut
Cerebrovascul
ar accident
Kanker LDH1: 17%-27%
Laktat Infark Paru- LDH2: 28%-38%
9 Dehidro paru LDH3: 17%-28%
genase Akut LDH4: 5%-15%
Anemia LDH5: 5%-15%
Hepatitis Akut
Skeletal
muscular
disease
0.01-0.07 mg/dL
low risk
Penyakit CV
0.07-0.11 mg/dL
Hipertensi
mild risk
Acute
0.12-0.19 mg/dL
10 Hs CRP Myocardial
moderate risk
Infarction
0.20-0.38 mg/dL
(AMI)
high risk
Stroke
0.36-1.50 highest
risk

2.4.15 Elektrokardiografi
Tubuh manusia berisi sejumlah cairan elektrolit sehingga merupakan
suatu konduktor ruang yang homogen, yang dapat menghantarkan medan
listrik dalam tubuh ke semua arah dengan kekuatan yang sama pula. Kegiatan
listrik jantung yang terbangkit selama fase depolarisasi dan repolarisasi sel

36
miokardium akan menyebar ke jaringan di sekitar jantung dan selanjutnya
dihantarkan ke seluruh jantung. Sebagian kecil dari aktifitas listrik jantung
akan mencapai permukaan kulit tubuh dan dapat dicatat menggunakan
elektroda perekam. Hasil pencatatan kegiatan listrik jantung tersebut
dinamakan elektrokardiografi (EKG) (Santoso, 2008).
Ada tiga hal yang perlu diperhatiakan tentang EKG, antara lain:
a. EKG merupakan gambaran sebagian kecil kegiatan listrik jantung yang
diteruskan melalui cairan tubuh ke permukaan kulit, bukan pencatatan
langsung kegiatan listrik yang aktual.
b. EKG merupakan pencatatan kompleks yang menggambarkan penyebaran
aktifitas listrik jantung pada jantung secara menyeluruh, selama fase
depolarisasi dan repolarisasi. Rekaman ini bukanlah pencatatan sebuah
potensial aksi tunggal dari satu sel otot pada satu saat saja. EKG adalah
gambaran sumasi kegiatan listrik seluruh otot jantung yang aktif, saat
sebagian sel mungkin sedang membentuk potensial aksi sedangkan
sebagian lagi mungkin belum teraktivasi. Dengan demikian, pola aktivasi
listrik jantung secara keseluruhan akan bervariasi dengan waktu, sesuai
dengan saat penyebaran impuls selama satu siklus jantung.
c. EKG merupakan pencatatan beda potensial listrik (voltase) antara dua
buah elektroda yang ditempatkan pada dua tempat berlainan di permukaan
kulit, apabila tidak terdapat perbedaan potensial listrik antar dua buah
elektroda pencatat, pada EKG akan tercatat garis lurus mendatar disebut
garis dasar atau garis isoelektris, misalnya pada saat seluruh sel
miokardium ventrikel selesai berdepolarisasi atau
berepolarisasi.(Pakpahan, 2012).
Sistem Konduksi Jantung
Konduktor adalah bagian yang memiliki sifat penghantar listrik dan
merupakan jalur listrik jantung mengalir. Menurut Faqih Ruhyanudin
(2007), dalam EKG perlu diketahui tentang system konduksi yang terdiri
atas:
A. SA Node (Sino-Atriale Node)

37
Terletak di batas atrium kanan (RA) dan vena cava superior (VCS). Sel-sel
dalam SA node ini secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls
(rangsangan listrik) dengan frekuensi 60-100 kali permenit. Kemudian
menjalar ke atrium, sehingga menyebabkan seluruh atrium terangsang.
Iramanya adalah sinus (sinus rhythm).
B. Jalur internodus (traktus internodus)
Jalur listrik antara nodus sinoatrial dan nodus arterioventrikuler.
C. AV Node (Atrio-ventricular node)
Terletak di septum internodal bagian sebelah kanan, di atas katup
tricuspid. Sel-sel dalam AV Node mengeluarkan impuls dengan frekuensi
40-60 kali permenit. Oleh karena AV Node mengeluarkan impuls lebih
rendah, maka dikuasai oleh SA Node yang mempunyai impuls lebih
tinggi. Kalau SA Node rusak, maka impuls akan dikeluarkan oleh AV
Node. Iramanya disebut junctional rhythm/ nodal rhytm
D. Berkas HIS (HIS Bundle): Terletak di dalam interventrikular dan
bercabang 2
yaitu:
a. Cabang berkas kiri
b. Cabang berkas kanan
Setelah melewati kedua cabang ini, impuls akan diteruskan lagi ke
cabang-cabang yang lebih kecil yaitu serabut purkinje.
E. Serat / Serabut Purkinje.
Serabut purkinje ini akan mengadakan kontak dengan sel-sel ventrikel.
Dari sel-sel ventrikel impuls dialirkan ke sel-sel yang terdekat sehingga
seluruh sel akan terangsang. Di ventrikel juga tersebar sel-sel pacemaker
yang secar otomatis mengeluarkan impuls dengan frekuensi 20-40 kali
permenit. Iramanya idioventricular rhytm. Oleh karena frekuensinya lebih
rendah dariAV Node, maka dalam keadaan normal sel-sel ventrikel tidak
mengeluarkan impuls.
Untuk menilai EKG digunakan 2 jenis sadapan , yaitu sadapan ektermitas
dan sadapan precordial
a. Sadapan Prekordial

38
b. Sadapan Ektermitas
Gelombang EKG
Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan
kecepatan standar 25mm/ detik dan defleksi 10 mm sesuai potensial 1mV.
Gambaran EKG normal terdiri dari :

Gambar 6. Gelombang EKG

A. Gelombang P
Gelombang ini berukuran kecil dan merupakan hasil dari depolarisasi dari
atrium kanan dan kiri. Nilai normal interval P adalah kurang dari 0,12
detik
B. Segmen PR
Segmen ini merupakan garis iso-elektrik yang menghubungkan gelombang
P pada QRS. Lama interval PR : 0,12 0,20 detik.
C. Gelombang kompleks QRS
Merupakan hasil depolarisasi dari ventrikel kanan dan kiri .lama interval
QRS adalah 0,07 -0,10 detik.
D. Segmen ST

39
Segmen ini merupakan garis iso-elektrik yang menghubungkan gelombang
QRS pada T
E. Gelombang T
Merupakan potensial repolarisasi dari ventrikel kanan dan kiri
F. Gelombang U
Gelombang ini berukuran kecil dan sering tidak ada , asal dari gelombang
ini merupakan hasil repolarisasi dari atria yang sering tidak dikenali
karena ukurannya kecil dan terbenam pada gelombang QRS.(Pakpahan,
2012)
Interpretasi EKG
Secara ringkas interpretasi EKG dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 9.Interpretasi EKG

2.4.16 Chest X-Ray


Chest x-ray (CXR) merupakan metode yang biasanya digunakan pada
langkah awal dalam mengetahu fungsi jantung dengan menggunakan
spektrum cahaya tampak, sinar gama, dan radiasi kosmik, menghasilkan
bayangan yangmenunjukkan bagian dalam dari organ tubuh pasien, yang
terekam pada film rontgen. Bagian tubuh manusia memiliki tingkatan absorbsi
yang berbeda terhadap sinar-x yang dipancarkan, seperti yang terlihat pada
Gambar 27. Tulang termasuk dalam high absorption ditunjukkan dengan
warna putih, jaringan/organtermasuk dalam middle absorption ditunjukkan

40
dengan warna abu-abu, dan udara pada rongga tubuh termasuk dalam low
absorption yang ditunjukkan dengan warna hitam.

Gambar 7. Hasil Chest x-ray (CXR) rongga dada


Dalam evaluasi fungsi jantung dengan menggunakan metode CXR,
terdapat dua jenis sudut pandang pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
posteroanterior (PA) dan anteriorposterior (AP). Pemeriksaan posteroanterior
(PA), sinar-x berpenetrasi pada film melalui bagian belakang pasien
(punggung), sedangkan pada pemeriksaan anteriorposterior (AP), sinar-x
berpenetrasi ke film melalui bagian depan pasian.
Semakin jauh letak organ dari film maka gambar foto yang didapat
akantermagnifikasi (diperbesar) sehingga tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya, oleh sebab itu, untuk pemeriksaan jantung dan paru lebih
mendekati dengan pemeriksaan PA, karena lebih dekat dengan film.
Prosedur evaluasi jantung dengan menggunakan metode CXR meliputi:
1. Pengecekan kualitas film yang digunakan, dan menentukan sudut pandang
dari film, posteroanterior (PA) atau anteriorposterior (AP). Dalam hal ini,
film rontgen disediakan oleh bagian farmasi.
2. Pengambilan film (gambar) dilakukan saat inspirasi penuh untuk
meningkatkan kontraksi antara struktur radiolucent dan radiopaque yang
akan memperluas ruang thorax.
3. Cek putaran, apakah tulang punggung telah lurus dibagian tengah sternum
dan diantara clavicals.
Dalam membaca hasil CXR, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pastikan dahulu kelengkapan identitas film/foto (nama, umur, jenis
kelamin, nomor film/foto, tanggal dan keterangan klinisnya), hal ini

41
dilakukan agar tidak tertukar dan memastikan bahwa hasil film/foto
tersebut sesuai dengan identitas pasien.
2. Pastikan foto tersebut layak baca atau tidak, untuk menghindari
misinterpretasi. Syarat foto layak baca diantarnya:
Inspirasi maksimum: tampak Iga ke-6 berpotongan dengan diafragma.
Tulang Clavicula berbentuk huruf V dan jarak antara ujung clavicula.
dengan procesus spinosus adalah sama.
Vertebra Thorakalis tampak dari V ke-1-V ke-5.
3. Tentukan posisi foto AP atau PA.
Posisi AP: skavula tampak mendatar, skapula berada di dalam
lapangan paru, dan yang tampak depan adalah costae anterior.
Biasanya identitas pasien ada di sebelah kanan atas (kiri pasien).
Posisi PA: yang tampak depan adalah costae posterior, klavikula
menjungkit, dan skapula berada di luar lapangan paru. Biasanya
identitas pasien ada di sebelah kiri atas (kanan pasien)

Gambar 8. Hasil CXR rongga dada pada posisi anteriorposterior (AP) dan
posterioranterior (PA).
4. Membandinkan keadaan kiri dan kanan film, kemudian perhatikan :
Dinding torax: costa dan intercosta, clavicula dan scapula, tulang
vertebrae, jaringan lunak dinding torax, bayangan pleura, trachea pada
leher.
Sinus costaprencus berbentuk lancip pada orang normal.
Diafragma (letak tinggi/ rendah/ normal), dapat dilakukan dengan cara
menghitung costa yang berpotongan dengan diafragma. Normalnya 5-
6.

42
Hialus, tempat keluar masuknya arteri dan vena pulmonalis, bronkus,
dan juga saluran limfe. Normalnya diameter hialus sama dengan
diameter trakea.
Bentuk dan ukuran jantung, dilakukan dengan menggunakan CTR
(Cardiothoraco ratio). Normalnya pada orang dewasa adalah 48-50%,
sedangkan pada anak-anak sebesar 52-53%. Cara menghitungnya
adalah:

Gambar 9. Hasil CXR rongga dada

2.4.17 Uji Latih Jantung


Uji latih jantung (Exercise Stress Testing) dilakukan dengan meminta
pasien untuk melakukan latihan fisik sampai kapasitas maksimal, sementara
pengamat memantau gejala fisik dan EKG. Pada pemeriksaan latih jantung
sederhana, pasien diminta untuk berjalan di treadmill atau mengendarai
sepeda olahraga. Kemudian diamati adanya perubahan irama, adanya blok
AV, dan perubahan segmen ST pada pola EKG, yang mengindikasikan
hipoksia. Awitan gejala fisik, seperti nyeri pada dada dan sesak napas yang
ekstrim harus dipantau.

43
Gambar 10. Uji latih jantung (Exercise Stress Testing) dengan menggunakan
treadmill

Pada pemeriksaan ini menggunakan elektroda yang diletakkan pada


bagian ada, dan alat ukur tekanan darah pada lengan. Kemudian pasien
berjalan padaalat treadmill, awalnya dengan kecepatan rendah, dan 3 menit
kemudian kecepatan dianikkan, hal tersebut bertujuan agar jantung bekerja
lebih keras, sehingga adanya blok pada arteri dapat terdeteksi sebagai keadaan
abnormalitas pada EKG. Pemeriksaan ini tidak memerlukan persiapan khusus
sebelum melakukan pengujian.

Gambar 11. Kardiogram EKG pada kondisi istirahat (atas) dan pada
keadaanbekerja/ berlari pada treadmill (bawah)

Hasil pemeriksaan berupa kardiogram. Gambar di atas merupakan


kardiogram yang dihasilkan EKG pada kondisi istirahat. Terlihat perubahan
depresi segmen ST yang menunjukkan adanya terbentungnya (blok) arteri

44
pada kardiogram setelah pasien melakukan aktifitas dengan treadmill yang
ditunjukkan oleh tanda panah berwarna merah.

2.4.18 Phonocardiogrphy
Phonocardiography adalah metode diagnosa yang dapat menghasilkan
rekaman grafik suara dan murmur yang dihasilkan oleh jantung, termasuk
katub dan pembuluh darah. Suara jantung ditimbulkan dari detak jantung
akibat adanya aliran darah melalui jantung (khususnya adanya turbulensi
ketika katup jantung tertutup). Pada auskultasi kardiak, pemeriksa bisanya
menggunakan stetoskop untuk mendengar bunyi jantung, pada orang dewasa
yang sehat biasanya terdengar dua bunyi normal jantung yaitu lub dan dub
(atau dup), yang muncul secara berurutan. Bunyi lub menunjukkan
tertutupnya katupatriventrikular (A-V) pada permulaan sistol, dan bunyi dub
menunjukkan tertutupnya katup semilunar (aortic dan pulmonary) pada akhir
sistol.
Bunyi lub disebut sebagai bunyi jantung yang pertama, dan bunyi
dub adalah bunyi jantung yang kedua, hal tersebut dikarenakan pada siklus
normal pompa jantung, biasanya diawali ketika katup A-V tertutup pada onset
ventricular sistol. Selain bunyi normal, terkadang juga terdengar bunyi yang
lain seperti bunyi murmur, bunyi yang tiba-tiba, dan bunyi dengan ritme yang
cepat S3 dan S4.
Bunyi murmur jantung biasanya berkaitan dengan laju alir darah yang
turbulen, yang mengalir keluar maupun ke dalam jantung. Bunyi murmur
merupakan bunyi yang normal (fisiologi), dan bisa juga mengindikasikan
ketidak normalan (patofisiologi). Bunyi murmur yang abnormal dapat
disebabkan oleh terhalangnya katup jantung saat hendak terbuka oleh
stenosis, menyebabkan turbulensi aliran darah yang masuk. Selain itu bunyi
murmur juga muncul dengan ketidak mampuan katup jantung, yang
mengakibatkan mengalirnya kembali darah ketika katup tidak mampu
menutup dengan baik. Bunyi murmur yang terdengar akan berbeda pada
bagian yang berbeda pula, tergantung penyebab murmurnya.
Pengujian dengan Phonocardiography

45
Microphone atau kapsul stetoskop diletakkan pada daerah auskultasi,
diantaranya adalah:
1. Daerah mitral : area kelima interkostal sebelah kiri, pertengahan hingga
kiri garis midclavikular.
2. Daerah tricuspid : area keempat interkostal sebelah kiri, sebelah bawah
kiri batas sterna.
3. Daerah aorta : area kedua interkosta sebelah kanan, bagian atas batas
sterna.
4. Daerah pulmonari : area kedua interkosta kiri, bagian atas batas sterna.

Langkah yang dilakukan:


1. Letakkan microphones pada torax daerah utama auskultatori; microphone
yang digunakan akan menangkap suara antara 25-200 Hz, biasanya
dilakukan bersamaan dengan EKG.
2. Pastikan bahwa elketroda melekat dengan aman pada kulit. Jika terlepas,
maka tidak akan diperoleh hasil EKG yang bagus. Subjek harus releks
selama prosedur kalibrasi. Lengan subjek harus rileks sehingga sinyal otot
(EMG) tidak merusak sinyal EKG; posisi terlentang, fisik dan mental
dalam keadaan rileks.
3. Terdapat dua jenis sura yang dihasilkan, yaitu suara berfrequensi tinggi
yang berhubungan dengan menutup dan membukanya katup jantung, dan
suara berfrequensi rendah yang berhubungan dengan pengisian ventrikel
awal dan akhir.
4. Menganalisa perubahan interval durasi secara mekanik dan
elektromekanik pada saat pernapasan dalam dan kondisi berkatifitas.
a. Suara dengan frequensi tinggi
i. Berhubungan dengan menutup dan membukanya katup AV
Suara mitral (MI) dan triscupid (TI) menutup (S1)
- Muncul pada detik ke 0,02-0,04 setelah kompleks QRS
- Kurang dari 0,12 0,15 detik
- Bunyi lub
- Frequensi 30-40 Hz

46
- Tertutupnya katup mitral, triscuspid, dan terbukanya katup
pulmonary, dan pembulu darah aorta.
- Bunyi terbaik dapat didengarkan di daerah mitral dan tricuspid
auskultatori.
- Selaras atau sesuai dengan puncak denyutan
- Dimulai setelah 30-35 ms setelah katup mitral tertutup
Terbukanya mitral dengan keras dan triscupid (suara diastolic)
Nonejection bunyi klik, disebabkan oleh katup mitral (suara
menengah akhir sistol)
ii. Berhubungan dengan menutup dan membukanya katup semilunar
Suara aortik (A2) dan pulmonik (P2) tertutup (S2)
Suara ejeksi awalan valvular atau cbunyi klik aortic dan pulmonary
(bunyi sistolik)
b. Suara dengan frequensi rendah
i. Suara ketiga fisiologi jantung (S3)
Suara ke-3 biasanya disebut sebagai suara protodiastolik gallop
atau ventricular gallop. S3 muncul pada awal diastole setelah S2 dan
menunjukkan grafik yang rendah daripada S1 atau S2. S3 disebabkan
oleh oscillation darah balik dan bunyi darah yang mengalir antara
dinding ventrikel dari atrial.
ii. Suara jantung keempat (S4)
Suara ke-4 pada orang dewasa disebut sebagai pre-sistolik gallop
atau atrial gallop. Suara ini dihasilkan akibat darah ditekan ke dalam
stiff dan/ atau hypertrophic ventrikel.
Hasil pemeriksaan Phonocardiography
Pada gambar dibawah ini mrupakan kardiogram hasil rekaman A yang
menunjukkan jenis grafik suara pada jantung normal, terlihat vibrasi pertama,
kedua, dan ketida, dan diikuti bunyi atrial yang lemah. Secara tidak spesifik,
bahwa bunyi ke tiga dan atrial jantung masing-masing suranya sangat lemah.

47
Gambar 12. Phonocardiogram jantung normal (A) dan abnormal

2.4.19 Echocardiography

Echocardiography merupakan pemeriksaan jantung dengan


menggunakan ultrasound (gelombang suara) frekuensi 2-6 MHz.
Echocardiography bisa disebut juga USG jantung dan tes gema, merupakan
suatu alat yang mengambil gambar dari jantung dengan menggunakan
gelombang suara. Pengujian hati dan jantung dengan menggunakan
echocardiography dapat memungkinkan untuk melihat struktur, fungsi, dan
aliran darah dari hati atau jantung tanpa menggunakan sinar-x.
Echocardiography dilakukan dengan menggunakan tongkat plastik yang
lembut (suatu echo-transducer) untuk memancarkan gelombang suara ke dada
atau abdomen. Gelombang suara lewat dengan aman sampai badan dan gema
yang dihasilkan akan ditafsirkan oleh suatu sistem yang terkomputerisasi dan
diperoleh dalam bentuk echocardiogram (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R,
Silviana, & Yuliwardhana, 2010).
Fungsi echocardiography
Echocardiography memiliki fungsi diantaranya adalah :

48
a. Memberikan gambaran struktural anatomi jantung dan pembuluh darah
besar.
b. Berperan dalam diagnosa kelainan jantung bawaan (congenital).
c. Mendeteksi kelainan struktur anatomi katup jantung misalnya adanya
kekakuan, gangguan pembukaan-penutupan katup, tebal dan geraknya,
serta apakah ada perlekatan.
d. Membantu dokter dalam menilai kemampuan gerak otot -otot dinding
jantung akibat penyempitan pembuluh koroner, pembengkakan otot
jantung (dilated cardiomypathy), dan penebalan otot jantung (hiperthrophy
cardiomypathy) yang disebabkan hipertensi dan kelainan otot jantung
bawaan.
e. Melihat massa tumor seperti thrombus, vegetasi atau cairan perikad.
(Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, & Yuliwardhana, 2010)

Karena echocardiography dapat menghasilkan gambar atau frame


dengan inherensi (jumlah potongan) yang tinggi,maka echocardiography
dapat digunakan untuk melihat pergerakan struktur pada jantung.
Echocardiography dengan kombinasi Doppler digunakan untuk melihat fungsi
ruang-ruang jantung, katup jantung dan adanya pintas-pintas (shunt, seperti
ASD atau VSD) dalam jantung (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, &
Yuliwardhana, 2010).
Pemeriksaan Echocardiography
Terdapat empat jenis pemeriksaan yang dapat dideteksi dengan
evhocardiography, yaitu:
a. Trans Thoracal Echocardiography (TTE)
Trans Thoracal Echocardiography (TTE), merupakan standar
pemeriksaan echocardiography, tanpa menimbulkan rasa nyeri, tanpa efek
radiasi dan non-invasif (meletakkan tranduser pada dada dengan
menggunakan pelumas atau gel). Proses pemeriksaan jantung pada jenis
echocardiography ini tergolong cukup mudah. Bagian dari
echocardiography yaitu tranduser diletakkan di dada pasien. Tranduser
tersebut mengirim gelombang suara, ultrasound melalui dinding dada dan

49
jantung pasien. Telinga manusia tidak dapat mendengar gelombang
ultrasound sehingga kita tidak merasakan apapun. Gelombang ultrasound
tersebut memantul dari struktur jantung dan kemudian ditangkap
olehpenangkap gelombang pada mesin echocardiography. Gelombang
tersebut kemudian dikonversi oleh mesin echocardiography menjadi
gambar pada layar. Hasil analisa kemudian dapat dilihat pada kertas yang
disebut dengan echocardiogram (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R,
Silviana, & Yuliwardhana, 2010).

[Sumber: Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, & Yuliwardhana, 2010]


Gambar 13. Pemeriksaan jantung secara Trans Thoraca Echocardiography
(TTE)

b. Trans Esophageal Echocardiography (TEE)


Adalah pemeriksaan jantung, menggunakan alat transduser masuk
melalui tenggorokan menuju esophagus (saluran cema atas yang terletak
dekat dengan jantung), sehingga penampilan bagian-bagian tertentu
jantung akan lebih jelas. Jenis pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
aorta dan bagian lain dari jantung pasien secara langsung. Dalam
pengujian ini, transduser dipasang pada ujung tabung fleksibel. Tabung
kemudian dimasukkan ke dalam tenggorokan pasien dan masuk ke
kerongkongan (bagian terkemuka dari mulut ke perut anda). Hal ini
memungkinkan dokter untuk mendapatkan gambar yang lebih rinci dari
jantung pasien (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, &
Yuliwardhana, 2010).

50
[Sumber: http://phc.org.au/services/other-tests/toe/]
Gambar 14. Pemeriksaan Trans Esophageal Echocardiography (TEE)

[Sumber: Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, & Yuliwardhana, 2010]


Gambar 15. Proses pemeriksaan secara Trans EsophagealEchocardiography
(TEE)

c. Stress Echocardiography
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat gerakan otot-otot jantung
lebih akurat dengan menggunakan alat treadmill atau memasukkan obat
untuk menstimulasi gerakan otot-otot jantung. Stress echo ini dilakukan
sebagai bagian dari tes stress. Selama tes stress, pasien disuruh
berolahraga atau minum obat (yang diberikan oleh dokter) untuk membuat
jantung pasien bekerja keras dan detak jantung menjadi lebih cepat.
Seorang teknisi akan mengambil gambar jantung pasien dengan
menggunakan echocardiography sebelum pasien berolah raga dan segera
setelah pasien selesai berolahraga. Beberapa masalah jantung, seperti
penyakit jantung koroner, lebih mudah didiagnosis ketika jantung

51
bekerjakeras dan beatnya lebih cepat (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R,
Silviana, &Yuliwardhana, 2010).

[Sumber: Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, & Yuliwardhana, 2010]


Gambar 16. Proses pemeriksaan secara stress echocardiography
d. Fetal Echocardiography
Fetal Echocardiography sering disebut dengan echocardiography
janin karena jenis pemeriksaan ini digunakan untuk melihat jantung bayi
yang belum lahir. Seorang dokter dapat merekomendasikan pemeriksaan
ini untuk memeriksa bayi untuk masalah jantung. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan selama kehamilan sekitar 18 - 22 minggu. Untuk pemeriksaan
ini, tranduser diletakkan diatas perut ibu hamil yang mana hasilnya akan
muncul di layar (Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, &
Yuliwardhana, 2010).

Gambar 17. Proses dan hasil pemeriksaan secara fetal echocardiography

52
Pada pemeriksaan secara stress echocardiography, terdapat beberapa
prosedur yang berbeda. Berikut adalah prosedur khusus untuk
stressechocardiography:
A. Pada hari pemeriksaan, jangan makan atau minum apapun kecuali air
selama empat jam sebelum tes. Jangan minum atau makan produk kafein
(cola, coklat, kopi, teh) selama 24 jam sebelum tes. Kafein akan
mengganggu dengan hasil pemeriksaan, termasuk obat-obat yang
mengandung kafein selama 24 jam sebelum tes. Jangan meminum obat
jantung selama 24 jam sebelum pengujian Anda kecuali dokter Anda
memberitahu Anda sebaliknya, atau kecuali obat yang dibutuhkan untuk
mengobati ketidaknyamanan dada. Misalnya :
a. Beta blockers (misalnya, Tenormin, Lopressor, Toprol, atau Inderal).
b. Mononitrate dinitrate (misalnya, Isordil, Sorbitrate)
c. Mononitrate isosorbide (misalnya, Ismo, Imdur, Monoket)
d. Nitroglycerin (misalnya, Deponit, Nitrostat, Nitropatches)
B. Dokter juga dapat meminta Anda untuk berhenti minum obat jantung
lainnya pada hari pemeriksaan. Jika Anda memiliki pertanyaan tentang
obat-obatan Anda, tanyakan kepada dokter Anda. Jangan menghentikan
obat apa pun tanpa terlebih dahulu berbicara dengan dokter Anda. Jika
Anda menggunakan inhaler untuk bernafas Anda, dapat dibawa pada saat
pemeriksaan.
C. Elektroda yang tersambung ke monitor akan diletakkan di dada.
D. Sebuah alat pengukur tekanan darah akan ditempatkan pada lengan
Anda untuk memonitor tekanan darah Anda selama pemeriksaan. Sebuah
klip kecil, menempel pada oksimeter pulsa, akan ditempatkan di jari
Anda untuk memantau tingkat oksigen darah Anda selama pemeriksaan.
E. Sebuah endoskopi, tipis (alat viewing) akan dimasukkan ke dalam
mulut Anda, ke tenggorokan anda dan masuk ke kerongkongan Anda.
F. Setelah endoskopi diposisikan, gambar jantung diperoleh di berbagai
sudut.
G. Ketika selesai, tabung ditarik. Anda akan dipantau selama 20-30 menit
setelah proses pengujian

53
H. Lama pengujian sekitar 90 menit.
(Andini, Hariyanto, Kurniastuti, R, Silviana, & Yuliwardhana, 2010)

54
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemeriksaan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan


khusus dengan fungsi untuk uji saring adanya penyakit subklinis, konfirmasi pasti
diagnosis, menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala
klinis, membantu pemantauan pengobatan, menyediakan informasi prognosis atau
perjalanan penyakit, memantau perkembangan penyakit, mengetahui ada tidaknya
kelainan serta memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak
didapati penyakit. Dalam pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa tahap
yakni: Pra-analitik, Analitik, dan Pasca analitik.
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dibahas pada makalah ini yaitu
pemeriksaan gula darah, Hemoglobin AIC (HbA1C), pemeriksaan keton,
pemeriksaan albumin, pemeriksaan serum kreatinin, pemeriksaan kadar LDL,
HDL, Trigliserida, dan kolesterol total, SGOT (Serium Glutamic Oxalacetik
Transaminase), SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase), Laktat
Dehidrogenase (LDH), C-Reactive Protein (CRP) dan High Sensitivity (hs CRP),
kreatin kinase (CK), Hidroksibutirat Dehidrogenase (HBD), mioglobin,
elektrokardiografi, chest x-ray, uji latih jantung, phonocardiography,
echocardiography

3.2 Saran
Bagi mahasiswa diharapkan dapat memanfaatkan makalah ini untuk menambah
pengetahuan tentang pemeriksaan laboratorium yang berguna bagi profesi dan
orang disekitar kita.

55
Daftar Pustaka

Albert JS, Biasucci LM, Koenig W, Mueller C, Huber K, Hamm C, Jaffe AS, Thygesen
K, Mair J, Katus H, Plebani M,Venge P, Collinson P, LindahlB, Giannitsis E,
Hasin Y, Golvani M, Tubaro M, 2010, Recommendation for The Use of Cardiac
Troponin Measurement in Cardiac Care. European Heart Journal. 31: 2197-220
American Diabetes Association. (2010). Standard of Medical Care in Diabetes (Position
Statement). Diabetes Care 33: (Suppl.1), S11-S36.
Andini, A., Hariyanto, G., Kurniastuti, I., R, A. Y., Silviana, D. A., &Yuliwardhana, R.
(2010). Echocardiography. Teknobiomedik-UniversitasAirlangga .
Andrew, J. Krentz & Clifford, J. Bailey. (2005). Oral Antidiabetic Agents Current Role in
Type 2 Diabetes Mellitus. Review Article Drugs, 65(3), 385-411.
Atlas, S. (2007). The Renin-Angiotensin Aldosteron System: Pathofisisology Role and
Pharmalogic Inhibition. Journal of Managed care Pharmacy, 9-10.
Babuin L, Jaffe AS, 2005, Troponin: The Biomarker of Choice for The Detection of
Cardiac Injury. CMAJ. 173(10): 1191-1203
Burnside-Mc Glynn, 1995, Adams Diagnosis Fisik, EGC, Jakarta.
Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathophysiology (3rd ed.). Lippincott Williams &
Wilkins.
Delp and Manning, 1996, Major Diagnosis Fisik, EGC, Jakarta.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matske, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M.
(2005). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (6th ed.). United
Satates of Amerika: McGraw-Hill.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (2006). Pharmaceutical Care untuk
Pasien Penyakit Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan.
Franklin, S., Pio, J., Wong, N., Larson, M., Leip, E., Vasan, R., et al. (2005). Predictors
of New-Onset Diastolic and Systolic Hypertension-The Framingham Heart Study.
Circulation, 1121-1127.
Kee, Joyce LeFever. (2005). Laboratory & Diagnostic Test with Nursing Implication.
United States of America : Pearson Education, Inc.
Kocemba , J., Kawecka-Jaszcz, K., Gryglewska, B., &Grodzicki, T. (1998). Isolated
systolic hypertension: pathophysiology, consequences and therapeutic benets.
Journal of Human Hypertension, 621626 .

56
Kemp, M., Donovan, J., Higham, H., & Hooper, J. (2004). Biochemical Markers of
Myocardial Injury. British Journal of Anaesthesia 93 (1)
Mayer, B., et al., 2002, ECG interpretation, Springerhouse, Pennsylvania.
McPhee, S., & Ganong, W. (2010). Patofisiologi Penyakit. Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis. Jakarta: Penerbit BukuKedokteran EGC.
Nagueh, S. F., Appleton, C., Gillebert, T., Marino, P. N., Oh, J. K., Smiseth, O. A., et al.
(2009). Recommendations for the Evaluation of Left VentricularDiastolic
Function by Echocardiography. European Journal of Echocardiography , 10, 65-
193.
Nafrialdi. (2009). FarmakologidanTerapi. Jakarta: balai Penerbit FKUI.Prodia. (n.d.).
PemeriksaanPenunjang: EKG. Retrieved September 10, 2014, from
LaboratoriumKlinikProdia: http://prodia.co.id/pemeriksaan-penunjang/ekg
Radiological Society of North America (RSNA). (2014, Jun 23). Magnetic
Resonance Imaging (MRI) - Cardiac (Heart).
Sassen, J., & carter, B. (1999). Pharmacotherapy. A Patophysiologic Approach. United
States of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology : From Cells to Systems, 7th Edition,
Brooks/Cole. Canada, 303-311
Shim, D., Lloyd, T.R., Crowley, D.C., Beekman, R.H., 1999, Neonatal Cardiac
Catheterization: A 10-Year Transition from Diagnosis to Therapy, PediatrCardiol
20 (2): 131-133.
Siregar, E. Y. (2014). Uji Penghambatan Aktivitas Angiotensin Converting Enzyme
(Ace) Oleh Fraksi-Fraksi Ekstrak Herba Suruhan (Peperomiapellucida L.HBK).
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Sobel, B. E., R. Roberts, and K. B. Larson. (1976). Considerations in the use of
biochemical markers of ischemic injury. Circ. Res. 38: I-99-I-108.
Srivastava, T. &Chosdol, K. (2007). Clinical Biochemistry: Clinical Enzimologyand Its
Applications. New Delhi: All India Institute of Medical Sciences
Schindler, T. H., Schelbert, H. R., Querciolo, A., &Dialsizian, V. (2010). Cardiac PET
Imaging for the Detection and Monitoring of Coronary Artery Disease
danMicrovascularHealt. JACC: Cardiovascular Imaging , 3, 623-640.
World Health Organization, 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes
Mellitus.

57

Anda mungkin juga menyukai