Anda di halaman 1dari 3

Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air

dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah
Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan
daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal. Jazirah Arab dibatasi Laut
Merah dan gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian
besar negara Iraq bagian selatan. Di sebelah selatan dibatasi laut Arab yang bersambung
dengan lautan India dan di sebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negara
Iraq.
azirah Arab merupakan sebuah semenanjung, luasnya hampir mencapai 3000 Km 2,
yang terletak di Barat Daya Asia. Semenanjung ini berbatasan dengan Teluk Oman dan Teluk
Persi (Teluk Arab) di sebelah Timur, Laut Merah di sebelah Barat, Lautan India di sebelah
Selatan, Irak dan Syiria di sebelah Utara. Meskipun daerah ini bisa dihitung sebagai daerah
yang dikelilingi laut, namun daerahnya hampir 5/6 merupakan padang pasir atau sahara yang
tandus dan luas seakan tak terbatas serta tidak tampak ada tumbuh-tumbuhan yang rindang di
kebanyakan daerah ini. Di tempat ini juga sangat jarang mendapatkan curah hujan yang
mengakibatkan iklimnya menjadi salah satu negeri terkering dan terpanas di dunia. Bahkan,
sungai-sungai yang berada di daerah ini sering mengalami kekeringan dan hanya tanpak
digenangi air ketika musim hujan. Dalam kondisi geografis yang seperti itu, masyarakat daerah
ini tanpak miskin dan sering terjadi saling merampas harta, bahkan mereka membunuh
anaknya sendiri karena takut miskin. Hal ini nantinya yang direformasi al-Qur’an dengan
memberikan peraturan larangan perampasan terhadap harta orang dengan jalan yang tidak
benar dan larangan membunuh anak karena merasa hawatir akan kemiskinan.
Dalam pembentukan keluarga, bangsa Arab mengikuti dua model perkawinan,
perkawinan Ba’al dan Shadiqah. Perkawinan Ba’al adalah perkawinan yg didasari kepada dua
model perkawinan, hasil penangkapan dan persetujuan antara pihak laki-laki dan perempuan.
Dalam perkawinan model ini perempuan dan anaknya dikuasai oleh klein laki-laki setelah
pembayaran mahar, yang maksudnya sebagai uang pembelian atau pengganti, kepada
keluarga (wali) perempuan.
Perkawinan Shadiqah adalah perkawinan yang didasari pada kesepakatan pihak laki-
laki dan perempuan. Dalam model ini ada yang disebut dengan perkawinan Benna dan Mut’ah.
Dalam perkawinan Benna perempuan tetap menjadi kliennya sendiri, sehingga perempuan
mempunyai “kemerdekaan” dan kebebasan di bawah perlindungan laki-laki dari kliennya
sendiri. Pada masa awal Islam, beberapa model perkawinan Arab pra Islam ini masih
dipertahankan, seperti perkawinan melalui penangkapan perang dan kawin mut’ah. Akan tetapi,
model-model perkawinan yang dianggap tidak bisa membentuk tatanan sosial yang solid tidak
lagi diberlakukan dalam masyarakat Islam. Oleh karenanya, semua bentuk perkawaninan Arab
tradisional tidak ada lagi dilaksanakan dalam masyarakat Islam, kecuali model
perkawinan ba’al.
Adapun bangunan struktur masyarakat bangsa Arab didasari dengan pembentukan
klein, dimana klein tersebut terbentuk dari keluarga-keluarga yang hidup di tenda-tenda. Satu
perkemahan dari tenda-tenda tersebut membetuk sebuah komunitas yang mereka sebut
dengan hayy, dimana anggota-anggota hayy kemudian membentuk sebuah suku (qawm).
Sejumlah gabungan dari qawm selanjutnya hidup berlompok dan membentuk satu kabilah. Dari
kabilah-kabilah lahir sebuah komunitas masyarakat yang mereka sebut dengan banu yang
mayoritasnya diambil dari jalur laki-laki, hanya sebagian yang sangat kecil dari masyarakat
Arab yang diasumsikan mengambil dari jalur perempuan (matrilineal).[8]
Sekalipun sulit menemukan bukti sejarah yang dapat mendukung asumsi ini, cara
penulisan biografi pra dan masa awal Islam cukup menjadi bukti kuat bahwa bangsa Arab
pernah mengikuti matrilineal. Misalnya, penyebutan ibu dalam sistim penulisan silsilah dalam
perkawinan Arab pra Islam,[9] cara penulisan biografi yang terkadang ditulis juga dari jalur
ibu, dan cara penyebutan keluarga Nabi yang menyebut-nyebut nama perempuan dari jalur ibu
dan bibinya.
Lebih dari itu, ahlul bayt dalam doktrin Ahlissunnah wal Jama’ah dan terutama Syi’ah
hanya diambil dari jalur keturunan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah bint Rasulillah, bukan dari
katurunan Ali yang lain. Artinya, yang dimaksud dengan ahlul bayt sesungguhnya adalah
keturunan Rasulullah dari jalur Fatimah. Karena pandangan ini, Rooded menyebutnya dengan
sindrom Fatimah.
Perlu dicatat, pengambilan sebagian jalur ibu yang disebutkan tadi, sama sekali tidak
menunjukkan adanya sumber perasaan kekeluargaan dari jalur perempuan dan penghormatan
pada perempuan, karena sumber utama perasaan kekeluargaan Arab hingga masa awal Islam
tersebut tetap berpegang pada relasi peternal, sebagaimana kebanyakan masyarakat agresif
lainnya. Sedangkan penghormatan kepada perempuan, yang sebagiannya tercermin dalam
beberapa sastra Arab, merupakan ekspresi maternitas (sifat keibuan), dimana perempuan
dihormati apabila ia telah menjadi seorang ibu.
Reformasi Islam pada bangsa Arab ketika itu sudah dapat merekonstruksi tatanan sosial yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya dimana perempuan sama sekali tidak
mendapatkan posisi terhormat. Bahkan, al-Qur’an mengabadikan bangsa Arab yang tidak
senang dengan kehadiran anak perempuannya dan tidak sedikit dari perempuan-perempuan
Arab yang kemudian menjadi hak waris bagi anak laki-lakinya sendiri yang sulung. Lebih dari
itu, perempuan daerah diperlakukan layaknya barang yang diperdagangkan, diwariskan pada
anak-anaknya dan tidak mempunyai hak waris, dimiliki oleh keluarganya dan tidak mempunyai
hak untuk memiliki apapun

Anda mungkin juga menyukai