2/Apr-Jun/2014
HUKUM PROGRESIF: UPAYA UNTUK Kata kunci: Hukum progresif, Ilmu hukum,
MEWUJUDKAN ILMU HUKUM MENJADI Pengetahuan hukum.
SEBENAR ILMU PENGETAHUAN HUKUM1
Oleh: Diana E. Rondonuwu2 PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
ABSTRAK Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah hukum tergolong sebagai pengetahuan
untuk mengetahui bagaimana perspektif yang masih muda,jika dibanding dengan
Ilmu Hukum dalam membangun Sistem disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terlebih
Hukum yang Progresif sebagai salah satu dahulu lahir3. Bahkan dibanding dengan
Ilmu Pengetahuan. Dengan menggunakan disiplin ilmu lain, Ilmu Hukum masih
metode penelitian hukum normatif, maka menjadi perdebatan dan perkembangan
dapat disimpulkan, bahwa: 1. Esensi yang untuk mengukuhkan diri menjadi ilmu yang
paling signifikan dari Hukum Progresif sebenar ilmu. Salah satu masalah yang
adalah membiarkan entitas empirik yang masih dihadapi oleh ilmu hukum terkait
bernama hukum itu seperti apa adanya. dengan hakikat pengetahuan apa yang
Hukum Progresif tidak berusaha untuk dikaji (ontologis), bagaimana cara untuk
mereduksi hukum hanya sekedar mengeksplorasi suatu pengetahuan yang
peraturan-peraturan, tetapi suatu yang benar (epistemologis), dan untuk apa
lebih besar dari itu yakni hukum diletakkan pengetahuan dipergunakan (aksiologis).
dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Pada dasarnya semua pengetahuan apakah
Hukum Progresif mengingatkan jika ada ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja
usaha mereduksi keutuhan dari realitas- mempunyai ketiga landasan tersebut. Yang
empirik, sejak awal sudah dapat diduga ia berbeda adalah materi perwujudannya
akan mengalami kegagalan dalam serta sejauh mana landasan-landasan dari
pengujiannya seperti yang pernah dialami tiga landasan tersebut dikembangkan dan
oleh teori Newton. 2. Bercermin dari dilaksanakan.4
kegagalan dari suatu ilmu yang mereduksi Tidak dapat dihindari bahwa dalam
kebenaran data sekaligus dengan perjalanannya ilmu hukum mengalami
meluaskan pandangannya terhadap pasang surut keberadaan tergantung pada
perkembangan ilmu di luar ilmu hukum konteks dan waktu dimana ilmu hukum
positif, maka dalam berolah ilmu, Hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum
Progresif menggunakan pendekatan holistik dapat berkualitas sebagai ilmu, maka tidak
dalam rangka menjadikan ilmu hukum yang dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk
berkualitas sebagai ilmu sebenarnya dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah
(genuine science) sehingga dapat ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain. Sudah sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu
cukup banyak contoh kegagalan penerapan mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat
hukum di Indonesia apabila hanya dari ilmu.
berdasarkan pada peraturan tertulis Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto
sebagai pedoman untuk melaksanakan Rahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk
hukum sebagaimana dianut oleh hukum kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila
modern.
3
. Lili Rasjidi,Sejarah Hukum suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung, Januari 2005, Jakarta, hal.ix.
4
. Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
1
Artikel Pengantar Populer,Pustaka Sinar Harapan, April
2
Dosen Fakultas Hukum Unsrat, Manado 2005, hal.35
75
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
kenyataan adalah untuk ilmu, maka dirinya7. Dengan pengertian tersebut, maka
kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu
cocok dengan ilmu dan teori yang ada5. berusaha untuk mengungkapkan kebenaran
Sebagai contoh teori Newton yang melihat (searching for the truth) yang universal dan
segalanya sebagai keteraturan, yang hakiki. Sejalan dengan pemikiran
berhubungan secara mekanistik. Dengan perkembangan kehidupan manusia, Liek
kata lain teori Newton bersifat linear, Wilardjo menyatakan bahwa kebenaran
matematis, dan deterministik. Teori yang ingin dicapai oleh ilmu itu tidak mutlak
Newton mengabaikan kenyataan dalam dan tidak langgeng, namun bersifat nisbi,
alam yang menyimpang dari teorinya. Ia sementara, dan hanya merupakan
menganggap bahwa fenomena yang ada di pendekatan saja. Apa yang selama ini
alam ini tidak dapat dimasukkan dalam dipedomani sebagai kebenaran akan selalu
tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai merupakan hasil jerih payah bertahun-
penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika tahun mengembangkan dan
teori Newton gagal menjelaskan fenomena menyempurnakan kebenaran lama.
tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain Demikian pula sesuai dengan siklus
yaitu teori kuantum yang mampu kehidupan manusia, maka apa yang
menjelaskan fenomena tersebut. sekarang ini menjadi pedoman untuk
Ditinjau dari sisi filsafat, maka ilmu dan mencari kebenaran, pada waktu yang
pengetahuan merupakan sesuatu yang datang muncul kebenaran yang lebih jati
berbeda pemahamannya. Imu adalah suatu lagi8. Manusia merupakan makhluk yang
cara untuk mengetahui, dalam artian selalu ingin tahu. Tidak pernah puas
bahwa ilmu bukanlah satu-satunya cara terhadap segala sesuatu yang telah ada.
bagi manusia untuk mengetahui. Di Sebagai konsekuensinya ilmu terus
samping ilmu terdapat cara lain untuk menerus berkembang sejalan dengan
mengetahui, yang secara umum disebut pemikiran manusia pada waktu dan tempat
dengan pengetahuan. Menurut Liek yang dijalaninya. Dalam perkembangan
Wilardjo ilmu itu merupakan bagian dari dunia yang semakin modern ilmu juga
pengetahuan. Sebagai bagian dari mengalami perubahan-perubahan. Dalam
pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar kaitan ini praktik-praktik komunitas
akumulasi informasi. Lebih dari itu, ilmu ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja
juga membentuk cara berpikir6. Selain itu dipengaruhi oleh Weltanschauung dan
Koento Wibisono Siswomihardjo perspektif religius serta politik sang
menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi
sebab fundamental dan kebenaran ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai
universal yang implisit melekat di dalam kekuasaan.9 Dengan perkembangan yang
demikian, maka akan sangat sulit untuk
5
. Satjipto Rahardjo“ Ilmu Hukum;Pencarian, mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak
Pembebasan dan Pencerahan, Penerbit
Muhammadiyah University Press.Tahun 2004. Hal.8
6 7
. Dengan menggunakan model revolusi ilmu dari . Koento Wibisono Siswomihardjo,”Ilmu
Kuhn, dapat diketengahkan bahwa paradigma akan Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai
membentuk cara berpikir dari suatu komunitas Kelahiran & Pengembangannya sebagai Pengantar
keilmuan. Lihat: Liek Wilardjo (1990) Realita dan untuk memahami Filsafat Ilmu” Dalam Tim Dosen
Desiderata. Duta Wacana University Press, Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu
Yogyakarta, hal. 168-169; H.R. Otje Salman dan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Anton F. Susanto (2004) Teori Hukum ( Mengingat, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 14.
8
Mengumpulkan dan Membuka Kembali). Refika . Liek Wilardjo. Op.cit. hal. 261.
9
Aditama, Bandung, hal. 38-40. . Ibid. hal. 220-221.
76
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
semula ilmu memang tidak netral, kubu tersebut sibuk dalam perdebatan-
melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai perdebatan yang tidak pernah selesai,
konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan karena perbedaan aliran-aliran pemikiran
dan karenanya juga proses serta produk yang diacu, yang tak satu pun memperoleh
kegiatan keilmuannya, melainkan juga nilai- penerimaan umum oleh para ilmuwan
nilai kontekstual. Dengan nilai-nilai hukum untuk dijadikan fundasi
kontekstual tersebut, ilmuwan sangat pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karena
rentan terhadap pengaruh kepentingan- itu, persoalan yang harus segera
kepentingan pihak lain. Dengan demikian, dipecahkan adalah bagaimana membangun
sistem nilai yang dianut suatu komunitas suatu ilmu hukum agar berkualitas sebagai
ilmuwan akan mempengaruhi kesepakatan sebenar ilmu.
mengenai anggapan apa yang merupakan Kebutuhan untuk menempatkan Ilmu
ilmu itu. 10 Hukum sebagai sebenar ilmu pada akan
Ilmu Hukum yang berkembang hingga sangat menentukan terciptanya di samping
saat ini pada dasarnya tercipta setelah suatu landasan intelektual bagi komunitas
melalui perdebatan-perdebatan intelektual keilmuwan, juga memaparkan masalah-
yang panjang dan melelahkan untuk masalah yang perlu dibahas, dan langkah-
menemukan “kebenaran hukum” itu. langkah yang perlu ditempuh oleh para
Namun perlu dipahami bahwa meskipun pakar ilmu untuk memecahkan berbagai
suatu paradigma11 dalam suatu Ilmu Hukum persoalan yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.
dianggap telah usang dan tidak mampu
untuk menjawab dan memberi solusi atas B. PERMASALAHAN
problem baru yang muncul belakangan, Berdasarkan pergerakan-pergerakan
yang kemudian memunculkan paradigma masyarakat dan perkembangan ilmu
baru Ilmu Hukum, namun paradigma lama pengetahuan maka teknologi terus
tidak dengan sendirinya tergusur. mengalami perubahan secara cepat, oleh
Paradigma lama tersebut masih bertahan karena itu hukum harus bisa beradaptasi
secara teguh dalam suatu komunitas dengan perkembangan tersebut, maka
ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau dengan sendirinya hukum sebagai suatu
menoleh kepada paradigma yang muncul bidang ilmu dapat memberikan panduan
belakangan. bagi seorang sarjana hukum yang kini
Dalam kaitan ini terdapat dua kubu yang terbawa dan masuk dalam ranah ilmu
‘berhadap-hadapan’ yang belum saling hukum yang terintegral dengan ilmu-ilmu
sepakat tersebut, yakni antara kubu lainnya. Hal ini banyak membawa para
normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu sarjana hukum berfikir lebih praksis dan
empirik/non-dogmatis/non-doktrinal. bukan lagi berfikir sebagai ilmuwan hukum.
Seringkali, argumentasi yang dibangun Dengan merujuk pernyataan diatas maka
antara dua kubu tersebut berseberangan penulis mencoba mengkaji permasalahan
satu dengan lainnya tanpa melihat ilmu hukum yang menjadi pusat
kelebihan dan kekurangan dari masing- perdebatan dikalangan para sarjana hukum
masing. Para ilmuwan hukum dari kedua itu sendiri dengan permasalahan
“Bagaimanakah Perspektif Ilmu Hukum
10
. Ibid. hal. 221. Dalam Membangun Sistem Hukum Yang
11
. Paradigma terdiri atas asumsi-asumsi teoritis Progresif Sebagai Salah Satu Ilmu
yang umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik Pengetahuan”.
untuk penerapannya yang diterima oleh para
anggota suatu masyarakat ilmiah. H.R. Otje Salman
dan Anton F. Susanto. Op.Cit. hal. 39.
77
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
78
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
adalah penelitian tentang pertanyaan sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam
sejauh mana pengetahuan tentang khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari
“hakikat” dari hukum atau masalah- dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang
masalah filsafat hukum fundamental memprihantinkan ialah jika tolak tarik
lainnya mungkin. Jadi ini adalah suatu perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu
bentuk dari meta-filsafat.14 yang kontra produktif bagi perkembangan
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang hukum. Dikatakan kontra produktif, karena
manfaat yang diperoleh manusia dari para komunitas dari kedua kubu tersebut
pengetahuan yang didapatkannya. Tidak hanya sibuk berdebat dan bersilang
dapat dipungkiri bahwa ilmu telah sengketa mengenai kebenaran argumentasi
memberikan kemudahan-kemudahan bagi dan aliran pemikiran yang dijadikan
manusia dalam mengendalikan kekuatan- acuannya. Yang kemudian terjadi adalah
kekuatan alam. Aksiologi Hukum (ajaran mereka berkutat untuk saling mencari-cari
nilai,waardenleer) menurut Jan Gijssels dan kelemahan masing-masing tanpa mau
Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh melihat dan berusaha memahami secara
B.Arif Sidharta adalah penentuan isi dan jernih tentang kelemahan dan keunggulan
nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, yang ada dari kedua pandangan tersebut.
keadilan, kebebasan, kebenaran, Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan
penyalahgunaan hak. 15 ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih
berlangsung dengan cara yang hampir
B. MEWUJUDKAN LANDASAN KEILMUAN dapat dikatakan tanpa mengacu pada
ILMU HUKUM perencanaan atau pun kerangka konseptual
Dalam kaitan dengan upaya untuk dan teoretikalnya yang diterima secara
mewujudkan suatu landasan keilmuan ilmu umum oleh komunitas ilmuwan hukum.
hukum yang holistik, maka langkah yang Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini
dilakukan tidak hanya menetapkan unsur- dalam Ilmu Hukum belum memiliki
unsur teoritis tentang apa dan bagaimana kesepakatan menyangkut dalil-dalil,
suatu objek, tetapi juga menentukan konsep-konsep dan instrumentasi sebagai
sebagai apa orang dapat memandang dan model untuk mengembangkan tradisi riset
menjelaskan suatu fenomena. Dalam ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L.
kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan
mendasari suatu disiplin ilmu, maka kesepakatan menyangkut segi ontologis
landasan keilmuan itu sekaligus dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan
menentukan sikap dasar terhadap ilmuwan hukum sendiri16. Di samping itu,
pengetahuan dan hubungan pengetahuan adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan
tersebut dengan sasaran yang ingin hukum bahwa masuknya sosiologi dalam
diketahui, yaitu realitas. Upaya untuk kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap
mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum sebagai suatu intervensi orang luar dalam
mau tidak mau perlu melihat pada dua masalah-masalah dalam negeri.17
aliran yang sampai dengan saat ini masih
mempunyai pandangan yang berbeda
namun sebenarnya dapat saling 16
. Soerjono Soekanto (1994) Ulasan Terhadap
melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan “Kembali Ke Metode Penelitian Hukum”. Dalam
pandangan non-dogmatik, dapat dipandang C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit. hal. 75.
17
. H. Ph. Visser ‘t Hooft (2003) Filsafat Ilmu Hukum.
Terjemahan oleh Bernard Arief Sidharta,
14
. ibid. Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
15
. Ibid. Katolik Parahiyangan, Bandung, hal. 1- 5.
79
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
80
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal jelas memaparkan pandangannya tentang
ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang hukum, keadilan dan Ilmu Hukum. 21
berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang
Rechtswissenshaft (Ketidakilmiahan Ilmu ontologi dan epistemologi dari Ilmu Hukum
Hukum) yang terbit pada tahun 1932. mulai marak pada tahun 1970-an.
Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis
dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan
Hukum.19 reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu
Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui,
berpendapat bahwa obyek studi dari apa Ilmu Hukum yang dibangun dan
yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas
hukum positif yang hidup dan berlaku jajahan Belanda, hingga menjelang tahun
dalam suatu masyarakat. Begitu Ilmu 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran
Hukum selesai memaparkan sistem hukum positivisme hukum.
positif yang berlaku dalam masyarakat, Di dalam pengaruh paradigma
maka hasil pemaparannya itu akan positivisme,para pelaku hukum
tertinggal oleh dinamika hukum positif itu menempatkan diri dengan cara berpikir dan
sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena pemahaman hukum secara legalistik
hakikat dari sistem hukum positif itu yang positivis dan berbasis peraturan (rule
selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah bound) sehingga tidak mampu menangkap
mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. kebenaran, karena memang tidak mau
Dengan latar yang demikian ini, maka melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu
Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa hukum yang legalitis positivistis, hukum
objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti hanya dianggap sebagai institusi
ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – pengaturan yang kompleks telah direduksi
bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak menjadi sesuatu yang sederhana, linier,
dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena mekanistik, dan deterministik, terutama
selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari untuk kepentingan profesi. Dalam konteks
waktu ke waktu dan dari tempat ke hukum Indonesia, doktrin dan ajaran
tempat.20 Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki hukum demikian yang masih dominan,
landasan keilmuan sebagaimana yang termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal
dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti ini dikarenakan “legisme” melihat dunia
pandangan yang menolak keilmuan dari hukum dari teleskop perundang-undangan
Ilmu Hukum. Atas pandangan yang minor belaka untuk kemudian menghakimi
terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul peristiwa-peristiwa yang terjadi22. Dalam
Scholten melalui karyanya berjudul De Negara modern, penerapan positivisme
Structuur der Rechtswetenschap yang terbit dimaksudkan untuk mencapai kepastian
pada tahun 1942 mencoba menjernihkan hukum walaupun dalam kenyataannya
tentang status ilmu hukum sebagai ilmu
yang sesungguhnya. Dalam karyanya ini, 21
Scholten secara ringkas, jernih dan dan . Lebih lanjut baca Paul Scholten (1942) De
Structuur der Rechtswetenschap, yang telah
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta (2003) dengan
Judul Struktur Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
22
. Anwarul Yaqin, Law in Society in Malaysia,
19
. Paul Scholten (2003) Struktur Ilmu Hukum. Kualalumpur, Malaysia: International Law Books
Terjemahan oleh B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, Services,1996, dalam buku Achmad Ali,
hal. v–vi. Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan
20
. Ibid. Solusinya), hal.49-50
81
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
82
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
siapa pun. Obyek-telaah Ilmu Hukum merupakan bagian dari Ilmu Humaniora.
adalah tata hukum positif, yakni sistem Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka
aturan hukum yang ada pada suatu waktu Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan
tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah titik tolak dari manusia sebagai
tertentu26. Lebih lanjut diuraikan bahwa 30
subyeknya . Meletakkan Ilmu Hukum
Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran sebagai bagian dari Ilmu Humaniora
Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu tersebut jelas sangat berbeda dengan
Praktis merupakan medan tempat berbagai pendapat Sidharta di atas yang menyatakan
ilmu bertemu dan berinteraksi, yang bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran
produk akhirnya berupa penyelesaian yang Ilmu Praktikal-Normologik. Dengan objek
secara ilmiah (rasional) dapat telaah (ontologi) yang berbeda tersebut,
27
dipertanggungjawabkan. Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya
Meski obyek telaahnya adalah tata adalah semata-mata pada teks-teks
hukum positif, dalam perkembangannya, otoritatif. Sedangkan Ilmu Hukum Non-
Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu dogmatis objek telaahnya adalah hukum
mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa dengan sekalian keterkaitannya dengan
berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada
kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu model penelaahan (epistemologi) yang
normatif. 28 berbeda pula. Metode penelitian dalam
Memasuki abad 21, muncul karya yang Ilmu hukum Dogmatik menggunakan
berbeda dengan pendapat Sidharta metode penelitian hukum beserta
tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan perangkat-perangkat penafsirannya yang
Ilmu Hukum. Bernard L. Tanya seorang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu
pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris)
Hukum tidaklah memadai jika hanya menggunakan perangkat metode penelitian
berkubang dalam paradigma normatif- ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’
dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar metode yang dikembangkan ilmu lain. 31
pada aspek normatif saja, maka tidaklah Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke
akan dapat menangkap hakikat hukum dalam hukum dan menyibukkan diri dengan
sebagai upaya manusia untuk menertibkan membicarakan dan melakukan analisis ke
diri dan masyarakat berikut kemungkinan dalam, khususnya hukum sebagai suatu
berfungsi atau tidaknya hukum tersebut bangunan peraturan yang dinilai sebagai
dalam masyarakat.29 sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari
Untuk melihat hakikat hukum dengan Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya
segala kompleksitasnya tersebut, kemudian menelaah bangunan logis-rasional dari
Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum deretan pasal-pasal peratuiran. Oleh
karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti
26
. C.A. van Peursen,Filsafat Ilmu-ilmu. ini juga lazim disebut dengan analytical
Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Pusat Kajian
Humaniora Universitas Katolik Parahiyangan,
30
Bandung, Tahun 2005,hal. 39-42. . Satjipto Rahardjo “Ilmu Hukum, Pencarian,
27
. Bernard Arief Sidharta, Op.cit. hal. 114. Pembebasan dan Pencerahan”. Edt. Khudzaifah
28
. Bernard L. Tanya “Beban Budaya Lokal Dimyati, Muhammadiyah University Press,
Menghadapi Hukum Negara: Analisis Budaya atas Univeritas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta,
Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Tahun 2004,hal. xii.
31
Regulasi Negara”. Disertasi Program Doktor Ilmu . Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif”. Program
2000,hal. 4. Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No.
29
. Ibid. hal 12. 1/April 2005, hal. 7.
83
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
84
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda berorientasi pada masalah yang secara
dari aliran hukum positif yang sosial terintegrasi. 37
menggunakan sarana analytical Terkait dengan Legal Realism dan
jurisprudence yang bertolak dari premis Freirechtslehre, Hukum Progresif melihat
peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum hukum tidak dari kacamata hukum itu
Positif (dogmatik), kebenaran terletak sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan
dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik sosial yang ingin dicapainya serta akibat-
oleh Hukum Progresif, sebab melihat akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
hukum yang hanya berupa pasal-pasal jelas Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan
tidak bisa menggambarkan kebenaran dari dengan tujuan sosialnya, maka Hukum
hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang Progresif juga dekat dengan Sociological
tidak bisa menjelaskan kebenaran yang Jurisprudence38 dari Roscoe Pound, yang
kompleks dari realitas-empirik jelas sangat
diragukan posisinya sebagai ilmu hukum 37
. Aliran sosiologis dalam ilmu hukum berasal dari
yang sebenar ilmu (genuine science). pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound,
Hukum Progresif secara sadar dalam bahasa asalnya disebut the Sociological
Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam
menempatkan kehadirannya dalam
jurisprudence yang berkembang di Amerika Seikat
hubungan erat dengan manusia dan sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum
masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, tersebut disebut sociological karena dikembangkan
maka Hukum Progresif dapat dikaitkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver
dengan developmetal model hukum dari Wendel Holmes, perintis pemikiran realisme dalam
ilmu hukum yang mengatakan” bahwa sekalipun
Nonet dan Selznick. Hukum Progresif juga
hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang
berbagi paham dengan Legal Realism dan dihasilkan lewat proses-proses yang dapat
Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dipertanggungjawabkan menurut imperative-
dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe imperatif logika, namun the life of law has not been
responsif36. Dalam tipe yang demikian itu, logic, it is experience. Yang dimaksud dengan
experience oleh Holmes adalah the sosial atau
hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan
mungkin the socio psychological experience. Oleh
di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. karena itu dalam sociological jurisprudence,
Atau sebagaimana disebutkan oleh walaupun fokus kajian tetap pada persoalan kaidah
Mulyana dan Paul S.Baut bahwa hukum positive berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk
responsif mencoba mengatasi kepicikan mengembangkan sistem normative hukum berikut
prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan
(prokialisme) dalam moralitas masyarakat
praktik professional, namun faktor-faktor sosiologis
serta mendorong pendekatan yang secara realistis (walaupun tidak selalu harus secara
normative-positif) senantiasa ikut diperhatikan
dalam setiap kajian.
38
. Satjipto Rahardjo, dalam Pertemuan Ilmiah LIPI,
tanggal 17 dan 18 Oktober 1977, hal. 20 yang
dimuat dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas
yang bertujuan untuk memelihara status quo; Diponegoro” Masalah-masalah Hukum” menyatakan
hukum otonom yang bertujuan untuk membatasi bahwa modernisasi kebanyakan dikaitkan dengan
kesewenang-wenangan tanpa mempersoalkan pembuatan banyak peraturan baru mengenai
tatanan sosial dan yang secara legalistis kaku,; serta ekonomi, sosial, industri.Tetapi yang lebih utama
hukum responsive yang bersifat terbuka terhadap adalah:apakah yang selanjutnya akan terjadi?disini
perubahan masyarakat dan mengabdi pada usaha- mulai memasuki masalah efektivitas dari sistem
usaha untuk mencapai keadilan dan emansipasi hukum yang sementara itu telah dimodernisir.
sosial. Baca selanjutnya dalam buku Philippe Nonet Selanjutnya dalam hal.26 beliau mengatakan bahwa
& Philip Selznick (1978) Law and Society in Indonesia sekarang ini mewarisi pemakaian sistem
Transition: Toward Responsive Law. Harper hukum yang boleh dikategorikan ke dalam hukum
Colophon Books, New York. modern, menurut klafisikasi weber. Dalam istilah
36
. Ibid.hal.21 Friedman, maka modernitas ini meliputi unsur
85
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
menolak studi hukum sebagai studi tentang “institusi manusia”, yang saling melengkapi
peraturan-peraturan.39 Dengan demikian satu dengan lain dengan aspek manusia,
dalam berolah ilmu, Hukum Progresif baik dalam hubungan antar manusia
melampaui peraturan dan dokumen hukum maupun masyarakat yang lebih luas.
yang positivistik40. Hukum Progresif juga Bagi Hukum Progresif, hukum adalah
dekat dengan teori-teori Hukum Alam, realitas yang ada dan hadir dalam
yakni pada kepeduliannya terhadap hal-hal kehidupan manusia. Hukum, sebagaimana
yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta- halnya dengan alam dan kehidupan, bahkan
juridical’. Dengan demikian, Hukum sebelumnya lagi yakni Allah SWT,
Progresif mendahulukan kepentingan merupakan realitas yang telah ada lebih
manusia yang lebih besar daripada dulu daripada ilmu. Realitas itu merupakan
menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan basis ilmu. Kebenaran adalah jalan yang
peraturan’. Meski hampir mirip dengan melalui itu ilmu digali dan disajikan kepada
Critical Legal Studies Movement yang publik. Kebenaran merupakan moral dari
muncul di Amerika Serikat tahun 197741, ilmu. Tidak ada jalan lain yang dapat
tapi Hukum Progresif tidak hanya berhenti digunakan oleh ilmu dalam menghadapi
pada kritik atas sistem hukum liberal. hukum kecuali berdasarkan kebenaran. 43
Hukum Progresif mengetengahkan paham Agar ilmu hukum dapat tampil sebagai
bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan sebenar ilmu, maka pemahaman,
oleh hukum positif atau hukum perundang- penggarapan, dan penyelenggaraan hukum
undangan, tetapi ia juga digerakkan pada dilakukan dengan secara holistik. Untuk
aras non-formal. Oleh sebab Hukum mencapai tujuan seperti itu, maka hukum
Progresif bersumsi dasar bahwa hukum itu harus diterima sebagai realitas yang utuh,
ada dan hadir untuk manusia maka sangat tanpa ada reduksi. Untuk itu cara pandang,
tepat jika dikatakan bahwa ‘law as a great pemikiran ataupun pendekatan yang
anthropological document.42 Dengan bersifat linier-mekanistik-rasional, perlu
pengertian tersebut, maka Hukum Progresif direkonstruksi secara menyeluruh, bukan
menempatkan hukum sebagai suatu saja pada tataran normatif, melainkan juga
pada tataran paradigmatis. Paradigma baru
yang dibutuhkan adalah paradigma
struktur dan substansinya. Tetapi sayangnya kita holistik.44
belum juga dapat mengatakan, bahwa pemakaian
sistem hukum yang demikian itu, diikuti oleh
43
pertumbuhan struktur masyarakatnya yang sesuai. . Sudjito (2005) Ringkasan Disertasi, Hukum
39
. Dikutip oleh Satjipto Rahardjo (2005) Op.Cit. hal. Pengelolaan Irigasi: Suatu Percobaan untuk
7-8, dari Wolgang Friedmann (1953) Legal Theory. Melakukan Pengaturan Secara Holistik. Program
Stevens and Sons Ltd, London; dan Roscoe Pound Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
(1912) Scope and Purpose of Sociological Diponegoro, Semarang, hal. 10.
44
Jurisprudence. Havard Law Review. Vol. 25, . Satjipto Rahardjo dalam Makalah yang
Desember 1912. disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah LIPI, tanggal
40
. Ibid. hal 9, sebagaimana dikutip dari Andrew 17 dan 18 Oktober 1977) menguraikan Marc
Altman (1990) Critical Legal Studies – a Liberal Galanter yang menyebut tidak kurang dari 11
Critique. Pricenton Univ. Press, Pricenton, N.J. (sebelas) karakteristik hukum modern.Beberapa
41
. Satjipto Rahardjo (2000) Mengajarkan diantaranya: hukum itu lebih bersifat territorial
Keteraturan Menemukan Ketidak-Teraturan daripada personal, dalam arti penerapannya tidak
(Teaching Order Finding Disorder) Tigapuluh Tahun terikat pada kasta, agama atau ras tertentu;sistem
Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan. diorganisir secara hierarkis dan birokratis; sistem itu
Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar juga rasional, artinya, teknikteknisnya dapat
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dipelajari dengan menggunakan logika dari bahan-
Semarang 15 Desember 2000, hal. 4. bahan hukum yang tersedia dan di samping itu
42
. Satjipto Rahardjo (2004) Op.Cit. hal. 2-18. hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai
86
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
Pendekatan holistik dalam ilmu hukum dianggap tidak dapat dimasukkan dalam
ini merupakan pendekatan baru yang tubuh teorinya, akan dipandang sebagai
berbeda bahkan berseberangan dengan ”aberrational data”, dan oleh karena itu
pendekatan konvensional yang positivistik. harus dibuang. Hal demikian dilakukan
Pendekatan ini penting untuk digunakan demi menjaga, menyelamatkan dan
sebab saat ini dalam tataran teoritis mempertahankan teorinya. Lebih lanjut
maupun praktis telah terjadi krisis hukum ketika tertib berpikir Newtonian yang
yang begitu kompleks dan multidimensional mekanistik juga dimasukkan dalam berolah
dalam skala lokal, nasional maupun global. ilmu, maka keutuhan realitas menjadi
Krisis hukum tersebut apabila dicermati semakin tereduksi. Realitas yang dapat
identik dengan pemikiran Newtonian, diterima dan dipandang rasional serta
hukum positif atau sering disebut sebagai dijadikan obyek kajian, hanyalah realitas
hukum modern45 adalah karya manusia yang diperoleh melalui cara-cara kerja yang
yang purposeful, sistematis, logis-rasional, atomistik-linier-mekanistik.
sehingga segala hal yang serba metafisis Dalam suasana rationality above else
dan teologis dipandang sebagai dan tertib berpikir yang atomistiklinier-
“abberational data”, dan oleh karenanya mekanistik itu, perkembangan ilmu hukum
mesti ditolak. “Positivisme”, berolah ilmu seakan-akan telah menemukan bentuknya,
dengan cara-cara atomisasi, yaitu yaitu hukum yang diperlukan bagi manusia
memecah-mecah, memilah-milah, dan modern. Apa yang ingin dicapai dengan
menggolong-golongkan obyek yang “hukum” bukanlah “keadilan dan
dipelajarinya secara rasional. Hasil berolah kebahagiaan”, melainkan “cukup”
ilmu positivisme yang demikian itu membuat, menjalankan dan menerapkan
menghasilkan ilmu hukum sebagai building hukum secara rasional. Artinya, hukum
blocks – ibarat bangunan yang tersusun sudah diyakini sebagai cermin kebenaran
atas batubatu, di mana masing-masing batu apabila orang sudah berpegangan pada
itu merupakan entitas yang terpisah dan rasionalitas itu. Hukum tidak untuk tujuan
mandiri. Dengan mendasarkan diri pada yang lebih besar daripada sekedar
tertib berfikir Cartesian (Cogito ergo sum), rasionalitas. Akibatnya, hukum menjadi
maka terlihat bahwa “berpikir” adalah kering.46
kategori tersendiri, sementara obyek yang Perkembangan ilmu dan teori-teori
dipelajari pun merupakan kategori hukum mutakhir, seperti teori relativitas,
tersendiri pula, yang masing-masing teori kuantum maupun chaos theory of law,
terlepas. Di sana, ada pemisahan antara tidak dapat menerima tertib berpikir yang
mind dan matter. Pikiran, memiliki otoritas atomistik-linier-mekanistis tersebut. Bagi
penuh, dan pikiranlah yang menentukan
identitas dari obyek yang dipelajari itu. 46
. Hal tersebut sangat berseberangan dengan
Dalam posisi mind determined the matter pendapat Mulyana W. Kusumah dan Paul S Baut,
itulah, berbagai manipulasi terhadap obyek dalam bukunya Hukum, Politik dan Perubahan
dapat dan sering terjadi. Manipulasi itu Sosial,hal.21 yang menguraikan bahwa dengan
antara lain berujud pembuangan data yang konsep hukum responsip, kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih
terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum
sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari menjadi semacam forum politik, dan partisipasi
kualitas formalnya; hukum itu bias diubah-ubah dan hukum mengandung dimensi politik. Dengan
bukan merupakan sesuatu yang keramat-kaku; perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi
eksistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatan) kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
Negara. untuk berperan serta dalam menentukan
45
. Satjipto Rahardjo (2000) Op.Cit., hal. 19. kebijaksanaan umum/www.legalitas.org
87
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
88
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
89
Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014
90