Anda di halaman 1dari 12

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Tersedia label online di www.worldnewsnaturalsciences.com

WNOFNS 25 (2019) 72-83 EISSN 2543-5426

Sesi upwelling di perairan Indonesia

Noir P.Purba1,* DanAlexander MA Khan2


1Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, Indonesia
2Jurusan Perikanan, Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, Indonesia
*Alamat email: noir.purba@unpad.ac.id

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis data bulanan suhu permukaan laut (SST) dan satelit
klor-a selama 16 tahun sejak tahun 2003 di wilayah selatan Jawa hingga utara Papua. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola temporal dan spasial sebaran SST dan klor-a sangat berhubungan dengan pola
monsun. Sesi upwelling dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober, pada musim hujan tenggara.
SST terendah (25-30 °C) dan klor-a tertinggi (2,23 mg/l) terdapat pada bulan Agustus pada musim muson
tenggara. Selain itu, daerah upwelling terbesar terjadi pada bulan Juli dengan rentang 790.221 km2berukuran.

Kata kunci:wilayah pesisir, zona ekonomi eksklusif, monsun periodik, data satelit, upwelling

1. PERKENALAN

Indonesia memiliki lebih dari 17.054 pulau dengan sistem cekungan laut dan bentuk yang
kompleks di sekitarnya. Sirkulasi lautan dipengaruhi oleh sistem yang kompleks, termasuk interaksi
atmosfer [1, 2]. Salah satu akibat dari sistem yang kompleks ini adalah kejadian upwelling. Upwelling
adalah pergerakan massa air termasuk unsur hara dan sifat lainnya dari lapisan yang lebih dalam ke
permukaan. Secara umum, upwelling laut mengacu pada interaksi kompleks antara laut dan atmosfer
[3, 4]. Situasi ini dipaksakan oleh angkutan Ekman di sepanjang pantai [2]. Indonesia terletak di garis
khatulistiwa dan karena letak geografisnya, fenomena upwelling dapat terjadi pada musim hujan
yang berbeda-beda. Upwelling merupakan salah satu fenomena penting yang mendorong nutrisi
bagi sistem biologis di kolom air yang terkait dengan jaring makanan [5]. Upwelling dapat
diidentifikasi dengan Suhu Rendah dan Klorofil Tinggi (LTHC) di permukaan. SST dan klor-a

(Diterima 04 Juni 2019; Diterima 20 Juni; Tanggal Terbit 21 Juni 2019)


Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

kemungkinan besar menjadi pendorong penting kelimpahan tuna [6]. Di Indonesia, sistem monsun
Asia-Australia, upwelling batas timur di Samudera Hindia berkembang paling signifikan di sepanjang
pantai Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara pada periode monsun tenggara [7]. Di perairan Sumbawa, SPL
paling dingin (26,58 °C) berasosiasi dengan kandungan klor-a tertinggi (0,6 mg/m3) yang terjadi pada
bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) sebagai bagian dari monsun tenggara [7, 8].
Telah banyak penelitian mengenai upwelling di Indonesia terkait suhu dan klorofil. Studi awal
mengenai upwelling dilakukan oleh Wrytki [1] dan dilanjutkan dengan beberapa penelitian yang
dilakukan di Laut Banda [9, 10], di Spermonde dan Makassar Selatan [11, 12], Jawa Selatan [13], Bali
[14], Sumbawa [8], Laut Bone dan Flores [15], Laut Maluku [16], Papua Utara [17], Sumatera Barat
[18]. Saat ini, data satelit yang tepat dan rinci dapat digunakan untuk memprediksi upwelling, baik
dari segi waktu maupun pola spasial. Tujuan dari makalah ini adalah menganalisis kondisi upwelling
dengan proksi SST dan klor-a untuk mengukur intensitas upwelling dari citra spasial tinggi 16 tahun.
Tujuan akhirnya adalah menganalisis SPL dan klor-a pada bulan Mei hingga Oktober. Penelitian ini
akan menambah pengetahuan mengenai daerah upwelling yang berguna untuk peramalan daerah
penangkapan ikan. Keterbatasan penelitian adalah tidak ada peristiwa El-Niňo pada tahun 2008 dan
2015 yang dianalisis karena fokus penelitian ini. Jika tidak, data yang digunakan disediakan setiap
bulan, sehingga hasilnya tidak menunjukkan anomali.

2. BAHAN-BAHAN DAN METODE-METODE

Gambar 1.Lokasi area dengan titik data insitu (bue dot) dan pin (green dot). (1,2,3) mewakili
Sumatera Barat, (4,5,6,7) mewakili Jawa Selatan, (8) Nusa Tenggara, (9) Laut Sawu, (10) Sulawesi
Selatan), (11) Sulawesi Tenggara, (12,13) Laut Arafuru dan Banda, (14) Papua Utara, (15)
Laut Seram, (16) Laut Maluku, (17) Laut Halmahera

- 73-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

Wilayah penelitian di sekitar perairan Indonesia yang terletak pada 15°LU – 20°LS dan 90° –
140°BT merupakan sirkulasi lautan unik dan kompleks yang mengelilingi wilayah kepulauan. Letaknya
di sisi barat (Laut Natuna, Selat Malaka, Laut Jawa) yang relatif dangkal. Di sebelah timur (Selat
Makassar, Laut Banda, dan Halmahera) panjangnya bisa mencapai 6 km. Perairan Indonesia
berbatasan dengan Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Terdapat 17 titik
sampel untuk sampel SPL klora dan 21 titik data in-situ yang sebagian besar berlokasi di wilayah
timur Indonesia dan Samudera Hindia. Pemilihan titik sampel didasarkan pada penelitian sebelumnya
mengenai upwelling di lokasi tersebut, kira-kira pada kedalaman 0-20m (Gambar 1). Materi yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data utama dan data pendukung. Data utama yang
digunakan adalah data SPL bulanan dan klor-a tahun 2003-2018 level 3 dengan resolusi 4 km. Data
SST diperoleh dari situs oceancolour (https://oceancolor.gsfc.nasa.gov) [19], dan data klor-a dari
globcolour (http://hermes.acri.fr). Data in-situ dari XBT, XTD, dan MBT diperoleh dari
www.nodc.noaa.gov. Data divisualisasikan dengan perangkat lunak SeaDAS (SeaWiFS Data Analysis
System). Data dianalisis dengan deskripsi kualitatif grafis dan gambar.

3. HASIL
3. 1. Variasi temporal
Secara keseluruhan, SPL dan klor-a bervariasi di semua bulan. SST terendah terjadi pada bulan
Agustus (25,3 ºC) dan STT tertinggi terjadi pada bulan Mei (31,32 ºC). Sebaliknya, nilai tertinggi
terdapat pada bulan Agustus (2,34 mg/L) dan terendah pada bulan Februari (0,13 mg/l) (Tabel 1).
Kisaran SST sekitar 25,30 ºC (Agustus) dan tertinggi 31,32 ºC (Mei). Untuk klor-a, tertinggi juga
ditemukan pada bulan Agustus (2,23 mg/l) dan terendah pada bulan Februari (0,13 mg/l).

Tabel 1.Statistik data.

Januari Februari Merusak April Mungkin Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

0,14 0,13 0,15 0,14 0,18 0,18 0,18 0,15 0,15 0,17 0,18 0,14
Klor-a (mg/L)

Minimal

Maks 0,34 0,30 0,35 0,37 0,70 1.45 2.07 2.23 1.65 1.15 0,82 0,37

STDEV 0,06 0,05 0,05 0,07 0,14 0,35 0,51 0,58 0,50 0,31 0,18 0,07

Minimal 28.82 29.10 28.90 29.47 28.34 27.00 25.99 25.30 25.64 26.90 28.10 29.00
SST (ºC)

Maks 30.29 30.88 30,99 30.80 31.32 31.04 30.63 30.75 30.50 30.91 30.43 30.75

STDEV 0,36 0,46 0,51 0,41 0,92 1.42 1.66 1.88 1.70 1.27 0,78 0,52

Kisaran simpangan baku klor-a lebih rendah (0,06-0,35) dibandingkan SST (0,36-1,88).
Selain itu, untuk validasi data antara data satelit dan data in situ, data satelit menunjukkan nilai
yang sama dengan data pengamatan in situ pada stasiun dengan R2= 0,61 (Gambar 2).

- 74-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

Gambar 2.Data insitu vs satelit

Berbagai SST dan klor-a ditemukan di seluruh area pin. Sebaliknya, pada bulan Januari hingga April
dan Desember, terdapat pola serupa. Di Jawa bagian Selatan, Laut Banda dan Aru mempunyai pola serupa
sepanjang bulan. Berbeda dengan bulan Januari-April, SST ditemukan rendah di wilayah Selatan Jawa, Laut
Banda dan Aru (Gambar 3).
Untuk beberapa wilayah di Indonesia, SPL dan klor-a mengalami peningkatan yang signifikan
terutama pada bulan Agustus. Klor-a tertinggi dan SPL terendah terjadi di wilayah Selatan Jawa dengan SPL
minimum sekitar 25,99 º dan klor-a 2,23 mg/l. Di Sumatera bagian barat, kadar klor-a tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan pada semua bulan.
Kondisi ini tidak hanya dipengaruhi oleh sistem periodik monsun, namun juga dipengaruhi oleh Arus
Selatan Jawa (SJV). Jika tidak, ITF di wilayah timur Indonesia juga dapat mempengaruhi distribusi SPL di wilayah
timur Indonesia. Musim hujan tenggara dimulai pada bulan Juni dan berakhir pada bulan Agustus setiap
tahunnya.

- 75-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

Gambar 3.Variasi temporal SST dan Klor-a pada stasiun

3. 2. Variabilitas Spasial SST


Rata-rata klimatologi spasial SST dan klor-a di wilayah Indonesia jelas menunjukkan
variabilitas dengan sistem yang kompleks. Kondisi klimatologi bulanan SPL dan khl-a di
perairan Indonesia digambarkan pada Gambar 2 dan 3. Pola SPL di Indonesia
mencerminkan karakteristik perairan hangat khas ekuator. Pada musim muson barat,
hangatnya perairan di Indonesia dipengaruhi oleh hangatnya arus dan angin dari benua
Asia. Sebaliknya pada musim muson timur, aliran massa air dingin dari Australia timur
mempengaruhi perairan timur Indonesia.

- 76-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

Konsentrasi klor-a yang relatif tinggi dan tersebar luas terlihat pada bulan Mei hingga Oktober.
Selama periode ini, konsentrasi tinggi dapat ditemukan di beberapa daerah. Di wilayah timur cenderung
meluas hingga wilayah tengah dan barat Laut Banda [20] (Gambar 4). Di selatan Jawa, konsentrasi yang
lebih tinggi terletak di dekat Bali dan seluruh pesisir selatan Jawa.

Gambar 4.Rata-rata SST bulanan di seluruh Indonesia

Suhu sejuk sebagai sinyal upwelling pertama kali terjadi pada bulan Mei. Bulan-bulan
berikutnya hingga bulan Oktober, wilayah seperti Sulawesi bagian selatan, Laut Aru, dan Laut Banda
mulai terlihat adanya penurunan SST pada musim tenggara [21].

- 77-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

3. 3. Variabilitas Spasial Klor-a


Konsentrasi klor-a yang tinggi dan sebaran yang luas terlihat jelas pada bulan Mei dan tertinggi
pada bulan Juli hingga Agustus. Daerah lain di Indonesia, misalnya Kalimantan bagian selatan dan
Sumatera bagian timur, memiliki konsentrasi klor-a yang tinggi akibat penumpukan unsur hara yang
berasal dari sungai. Di Laut Banda ditemukan di JJA konsentrasi klor-a berkisar 0,35-0,43 mg/m3.
Konsentrasi di Sulawesi Selatan juga lebih tinggi pada JJA dibandingkan DJF.

Luas klor-a meningkat secara signifikan terutama di perairan Aru pada bulan Juli sampai September dan
menurun pada bulan November. Konsentrasi khl-a yang lebih tinggi terdapat di wilayah selatan Kalimantan dan utara

- 78-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

Pulau Sumatera umumnya berada di sepanjang pantai, akibat limpasan unsur hara dari sungai. Di Jawa
Selatan, perilaku ini dapat diamati pada musim upwelling (Juli hingga Oktober) dan khususnya pada bulan
Agustus dan September ketika upwelling mencapai nilai tertinggi [13]. Pola upwelling di Bali bagian selatan
terjadi pada bulan Juli sampai Oktober dan puncak upwelling terjadi pada bulan Agustus dan September
[22].

3. 4. Sesi Upwelling dan Mekanismenya


Secara umum SST dan Klor-a mendukung kondisi upwelling. Situasi tersebut berkorelasi
dengan situasi monsunal. Luas wilayah upwelling terjadi pada bulan Mei hingga Oktober (Tabel 2).
Dalam hal ini upwelling terjadi di seluruh perairan dengan cakupan wilayah dan intensitas yang
berbeda-beda dari bulan ke bulan (Tabel 2).

Meja 2.Ringkaslah luasan upwelling (warna merah menunjukkan luas terbatas sedangkan warna biru
menunjukkan area yang luas).

Jarak (~km2)
Lokasi
Mungkin Juni Juli Agustus September Oktober

Jawa Selatan 42.396 71.055 89.637 88.221 106.352 85.849

Nusa Tenggara 28.597 47.690 64.558 52.207 42.285 29.669

Laut Sabu 14.928 33.998 54.080 37.029 19.251 14.852

Laut Arafuru dan Laut Banda 225.979 373.326 353.942 246.483 232.416 192.462

Laut Seram 19.735 49.491 69.920 110.001 54.086 22.104

Laut Halmahera 35.137 53.132 54.363 42.810 25.516 23.760

laut maluku 16.530 24.173 30.730 49.580 30.603 13.508

Sulawesi Selatan 8.749 9.480 14.590 17.640 12.790 9.025

Sulawesi Tenggara 8.347 22.541 27.750 15.480 12.996 9.506

Sumatera Barat 18.389 38.241 25.230 30.689 51.971 38.270

Papua Utara 9.840 8.668 5.421 5.976 6.807 8.474

TOTAL 428.627 731.795 790.221 696.116 595.073 447.479

Perubahan luas cakupan upwelling dipengaruhi oleh kecepatan angin yang menghasilkan transpor
Ekman dan juga dipengaruhi oleh lokasi, seperti terlihat bahwa di selatan Jawa, upwelling terjadi dari arah
timur-selatan Jawa. Kemudian pada bulan berikutnya akan berpindah ke barat. Penelitian sebelumnya [16,
23] menunjukkan bahwa mekanisme mekarnya klor-a di Laut Maluku adalah

- 79-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

terkait dengan peningkatan medan angin sepanjang pantai yang menarik air dingin dari bawah lapisan
campuran, yang mendukung pertumbuhan fitoplankton di wilayah tersebut. Upwelling dimulai di wilayah timur
dan bergerak ke barat. Oleh karena itu, Laut Banda bagian timur dan Laut Aru cenderung menjadi lokasi
terjadinya peristiwa upwelling terbesar di Indonesia.
Ringkasnya, upwelling di Indonesia terjadi di 11 wilayah dengan intensitas berbeda-beda.
Wilayahnya terletak di Sumatera bagian barat, sekitar selatan Jawa dan Nusa Tenggara, Laut Aru dan
Banda, Sulawesi, Halmahera, dan Papua bagian utara (Gambar 5). Ini adalah lokasi permanen dimana
upwelling terjadi setiap tahun. Tidak terdapat daerah upwelling di perairan dangkal khususnya di Laut
Natuna Jawa karena kedalamannya. Apalagi di Selat Malaka, angin tidak cukup untuk mendorong massa air
dari bawah karena sempitnya selat tersebut.

Gambar 5.Rangkuman lokasi upwelling

Musim hujan secara signifikan mengendalikan situasi upwelling di wilayah studi.


Upwelling terjadi pada musim tenggara dari Australia ke Asia melewati Indonesia. Di
Pulau Jawa angin bertiup sejajar pantai dan akibat gaya coriolis arus dibelokkan
menjauhi pantai. Interaksi antara gaya coriolis, gesekan air dan angin mengakibatkan
munculnya transpor Ekman (Gambar 6).
Fenomena upwelling terjadi ketika air yang bercampur dari bawah bergerak ke atas
menuju permukaan. Gesekan antara angin dan massa air di permukaan menyebabkan air mulai
bergerak. Gaya coriolis membelokkan air ke kanan (di BBU) dan ke kiri (di BBS). Kemudian,

- 80-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

angkutan Ekman mengakibatkan pergerakan massa air menuju lepas pantai. Upwelling pantai dapat terjadi
ketika massa air permukaan digantikan oleh massa air yang mengalir ke bawah.

Gambar 6.Pola muson dan arah Ekman pada Muson Tenggara.

Upwelling di Sumatera bagian barat tidak bervariasi secara jelas, namun di ujung selatan Sumatera,
Lampung menunjukkan bahwa upwelling mungkin terjadi di wilayah yang terbatas. Di perairan Papua, upwelling
terindikasi pada bulan Februari (musim barat) [17]. Tidak adanya upwelling pada musim barat di wilayah
Indonesia bagian utara disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perairan bagian utara Indonesia, khususnya di
Selat Malaka dan Laut Natuna, dikenal sebagai wilayah yang perairannya dangkal sehingga tidak ada massa air
dari perairan dalam yang naik ke atas. Selain itu, wilayah Indonesia bagian utara hingga timur, khususnya
Sulawesi dan Morotai, juga mengalami kondisi yang sama. Karena daerah penelitian dekat dengan garis
khatulistiwa, maka gaya coriolis dapat diabaikan.

4. KESIMPULAN

Artikel ini telah mengidentifikasi sesi upwelling di wilayah Indonesia berdasarkan data
satelit (suhu dan klor-a) dan menganalisis karakteristiknya.Upwelling terjadi pada musim
tenggara dari Australia menuju Asia melewati perairan Indonesia.Hasil yang disajikan di sini
menunjukkan adanya wilayah upwelling di selatan Jawa, Laut Banda dan Aru, selatan
Sulawesi, Laut Maluku, dan Papua Utara. Ciri-ciri upwelling dipengaruhi oleh

- 81-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

periodik monsun.Musim hujan sangat mempengaruhi kondisi upwelling di wilayah studi. Bentuk
kawasan ini stabil secara spasial dan temporal setiap tahunnya [24].

Referensi

[1] Wyrtki, K. 1961. Hasil ilmiah investigasi kelautan di Laut Cina Selatan dan Teluk
Thailand. Oseanografi Fisik Perairan Asia Tenggara. Universitas California, 2,
32-33.
[2] Purba, NP, dan WS Pranowo. 2019. Dinamika oseanografi, deskripsi karakteristik massa
Udara dan sirkulasi laut. UNPAD Pers, 272 hal.
[3] Godfrey, JS 1996. Pengaruh aliran Indonesia terhadap sirkulasi lautan dan
pertukaran panas dengan atmosfer: Tinjauan.J Geofis Res101, 12217-12237
[4] Siswanto dan Suratno, 2008. Pola angin musiman menyebabkan terjadinya upwelling di
perairan laut Jawa-Bali dan sekitarnya.Antar. J. Penginderaan Jauh dan Ilmu Bumi5, 46-56
[5] Kunarso, Hadi, S., Ningsih, NS, Baskoro, MS 2011. Variabilitas suhu dan klorofil pada
daerah upwelling berdasarkan situasi ENSO dan IOD di selatan Jawa terhadap
perairan Timor.J. Ilmu Kelautan16(3), 171-180
[6] Zainuddin, M. 2011. Cakalang dalam kaitannya dengan suhu permukaan laut dan konsentrasi
klorofil-a di teluk tulang menggunakan data satelit penginderaan jauh.Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis,3(1), 82-90
[7] Adi, R., Tisiana, R., Kuswardani, D., Feng, M., Ivey, G., Lee, T. 2016. Inisiatif Penelitian
Upwelling Samudera Hindia Timur (EIOURI). Laporan, 49 hal.
[8] Taufikurahman dan Hidayat. 2017. Coastal upwelling di pesisir selatan Pulau
Sumbawa, Indonesia.Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan54 (2017)
012075 doi:10.1088/1755-1315/54/1/012075
[9] Moore, TS, Marra, J., Alkatiri, J. 2003. Respon Laut Banda terhadap monsun
tenggara.Mar.Ecol. Prog. Ser.261, 41-49
[10] Tadjuddah, M., 2016. Pengamatan suhu permukaan laut secara spasial dan temporal menggunakan
satelit aqua MODIS di Laut Banda bagian barat.Lingkungan Procedia. Sains.33, 568–573. https://
doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.109

[11] Nurdin, S., Mustapha, MA, Lihan, T. 2013. Hubungan suhu permukaan laut dengan
konsentrasi klorofil-a pada daerah agregasi perikanan di perairan kepulauan
spermonde menggunakan citra satelit.Konferensi AIP. Proses.1571, 466–
472.https://doi.org/10.1063/1.4858699
[12] Utama, FG, Atmadipoera, AS, Purba, M., Sudjono, EH, Zuraida, R. 2017. Analisis kejadian
upwelling di Selat Makassar Selatan.Konferensi IOP. Ser.: Lingkungan Bumi. Sains.54
012085
[13] Varela, R., Santos, F., Gómez-Gesteira, M., Álvarez, I., Costoya, X., Días, JM 2016. Pengaruh
upwelling pantai terhadap Tren SST di sepanjang pantai selatan Jawa.PLoS Satu
11, e0162122. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162122

- 82-
Berita Dunia Ilmu Pengetahuan Alam 25 (2019) 72-83

[14] Tito dan Susilo. 2016. Korelasi fenomena upwelling dengan kejadian mola-mola laut di
Nusa Penida Bali. Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 55 (2017) 012031

[15] Kunarso, Ismanto, A., Situmorang, P., Wulandari, YS 2018. Variabilitas upwelling di Teluk Bone
dan Laut Flores.Int. J.Civ. bahasa Inggris Teknologi.9, 742-751

[16] Atmadipoera, AS, Khairunnisa, Z., Kusuma, DW 2018. Karakteristik upwelling pada saat El
Nino 2015 di Laut Maluku.Konferensi IOP. Ser. Lingkungan Bumi. Sains.176, 1-18

[17] Satrioajie, WN 2016. Deteksi upwelling menggunakan gambar modis dan pelampung triton di
Perairan Papua Utara.J.Segara10, 129-136. https://doi.org/10.15578/segara.v10i2.22

[18] Pratama, GA, Pranowo, WS, Sunarto, Purba, NP 2015. Hubungan sifat fisik dan
kimia dengan sebaran klorofil a di Sumatera Barat. Omni AkuatikaXiV, 33-43

[19] Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, Laboratorium Ekologi Laut, Grup
Pemrosesan Biologi Laut; (2014): Data Warna Laut Sensor Bidang Pandang Lebar (SeaWiFS)
Pemandangan Laut, NASA OB.DAAC. doi:10.5067/ORBVIEW-2/SEAWIFS_OC.2014.0

[20] Pusparini, N., Prasetyo, B., Ambariyanto, Widowati, I. 2017. Lapisan termoklin dan
variabilitas konsentrasi klorofil-a pada musim tenggara di Laut Banda, pada:
Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan. https://
doi.org/10.1088/1755-1315/55/1/012039
[21] Moore, TS, Marra, J., Alkatiri, A. 2003. Respon Laut Banda terhadap monsun
tenggara.Mar.Ecol. Prog. Ser. 261, 41–49. https://doi.org/10.3354/meps261041
[22] Raditya, FD, Ismunarti, DH, Handoyo, G. 2013. Luas upwelling di Jawa Timur hingga Lombok
berkorelasi dengan lokasi penangkapan ikan.Jurnal Oseanografi2(1), 111-127.
[23] Setiawan, RY dan Habibi, A. 2011 Deteksi satelit mekarnya klorofil-a musim panas di Teluk
Tomini.Jurnal IEEE tentang Topik Pilihan dalam Pengamatan Bumi Terapan dan
Penginderaan Jauh4(4), 944-948
[24]Achmad Rizal, Heti Herawati, Irfan Zidni, Izza M. Apriliani, M. Rudiansyah Ismail.
Peran strategi optimalisasi sektor kelautan dalam stabilisasi perekonomian
Indonesia.Berita Ilmiah Dunia102 (2018) 146-157

- 83-

Anda mungkin juga menyukai