Anda di halaman 1dari 43

1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada isi bab 2 ini akan menjelaskan mengenai konsep dari gaya

kepemimpinan, teori-teori kepemimpinan, Model Kepemimpinan, konsep teori

kepala ruangan, dan konsep teori kolaborasi perawat dan dokter.

2.1 Konsep Kepemimpinan

2.1.1 Definisi Kepemimpinan


Kepemimpinan adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan

memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan dapat

diartikan juga sebagai seni atau proses untuk memengaruhi orang lain sehingga

orang lain dengan senang hati melakukan tugas yang diberikan dalam upaya

mencapai tujuan organisasi.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi sikap dan

keyakinan karyawan dengan membimbing dan memotivasi mereka untuk

mencapai tujuan organisasi dan merupakan elemen penting untuk organisasi yang

sukses dan efisien. (Patarru, F, 2020).

2.1.2 Fungsi Kepemimpinan


Fungsi-Fungsi dari kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Menjaga adanya koordinasi serta integrasi didalam organisasi, agar

semuanya dapat beroperasi dengan efektif.

2. Mengatasi adanya pertentangan maupun perdebatan maupun konflik

yang muncul serta selalu mengadakan evaluasi dan evaluasi ulang.

3. Memprakarsai struktur dari organisasi.


2

4. Merumuskan tujuan institusional maupun organisasional serta

menentukan sarana dan cara yang efisien guna mencapau tujuan

organisasi.

5. Mengadakan perubahan, inovasi pengembangan serta juga

penyempurnaan didalam organisasi.

2.1.3 Latar Belakang Pemimpin


Pemimpin dapat mempengaruhi kegiatan dalam kelompok yang terorganisir

guna mencapai tujuan yang akan diinginkan. Kepempinan muncul saat adanya

peradapan umat manusia, berikut beberapa latar belakang dari pemimpin:

1. Teori Genetis

Pada teori ini menyatakan bahwa pemimpin tidak bisa direkayasa

melainkan terjadi karena adanya bakat yang luar biasa sejak lahir. Dapat

dipengaruhi oleh keturunan orang tua. Pemimpin bisa muncul karena

situasi serta kondisi tertentu.

2. Teori Sosial

Pada teori ini bahwa pemimpin tidak bisa lahir begitu saja, melainkan

perlu disiapkan serta dibentuk untuk menjadi pemimpin. Tiap orang bisa

menjadi pemimpin melalui usaha kaderisasi serta bisa melalui proses

pembelajaran.

3. Teori Ekologis

Pada teori ini yang merupakan gabungan dari teori sosial serta genetis

yang dimana pempin yang baik jika sejak lahir mempunyai bakat dalam

kepemimpinan, selanjutnya bakat itu dikembangkan melalui pengalaman


3

maupun pendidikan yang telah disesuaikan pada perkembangan

lingkungan.

2.1.4 Nilai-Nilai Kepemimpinan


Nilai-Nilai dari kepemimpinan merupakan sejumlah sifat utama yang wajib

dimiliki bagi seorang pemimpin supaya kepemimpinannya bisa efektif serta

efisien agar mencapai tujuan yang telah ditentukan. Maka beberapa nilai

kepemimpinan yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin, antara lain:

1. Integritas dan Moralitas

Integritas yang menyangkut dari sifat, mutu serta keadaan yang

menampilkan kesatuan yang utuh sehingga mempunyai potensi serta

kemampuan yang memberikan kewibawaan serta kejujuran. Sedangkan

moralitas yang menyangkut budi pekerti, akhlak, susila serta ajaran baik

serta buruk.

2. Visi Pemimpin

Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang identik terhadap visi

kepemimpinannya. Visi merupakan arah atau tujuan ke mana organisasi

serta orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin.

3. Tanggung Jawab

Pemimpin diwajibkan memiliki tanggung jawab atas apa yang akan

dilakukan serta tidak dilakukannya guna mencegah terjadinya

penyimpangan dalam organisasi.

4. Keteladanan

Keteladanan dari seorang pemimpin yaitu sikap serta tingkah laku yang

bisa menjadi panutan bagi orang-orang yang akan dipimpinnya.


4

Keteladanan sangat berkaitan erat dengan kehormatan, moralitas,

maupun integritas pemimpin.

5. Kebijaksanaan

Kebijaksanaan yang merupakan kearifan bagi seorang pemimpin dalam

mengambil keputusan sehingga bisa adil serta bijaksana. Hal ini,

kebijaksaan mempunyai makna lebih dari kecerdasan atau kepandaian.

6. Menjaga kehormatan

Pemimpin harus bisa menjaga kehormatan dengan tidak melakukan

perbuatan-perbuatan buruk karena semua perbuatan itu dapat menjadikan

contoh bagi bawahan serta orang-orang yang akan dipimpinnya.

7. Kemampuan berkomunikasi

Pemimpin serta yang dipimpin perlu adanya suatu ikatan yang kuat

sebagai satu keutuhan serta mempunyai ketergantungan antara satu sama

lain. guna mencapai hal itu maka seorang pemimpin wajib dapat

membangun komunikasi terhadap orang-orang yang dipimpinnya

sehingga pada kepemimpinannya bisa efektif serta efisien.

8. Beriman

Pemimpin sebagai manusia biasa dengan kekurangan dan keterbatasan

secara pikiran, fisik, serta akal budi, sehingga banyak masalah yang tidak

akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri, maka sangat

dibutuhkan untuk beriman kepada Tuhan yang maha Esa.

9. Komitmen meningkatkan kualitas SDM

Adanya sumber daya manusia yang merupakan faktor penentu dalam

kemajuan dari organisasi serta pemimpin harus mempunyai komitmen


5

yang kuat guna meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia

tersebut.

2.1.5 Syarat Kepemimpinan


. Terdapat tiga keahlian yang diperlukan oleh pemimpin diantaranya:

conceptual skill, technical skill, serta human relation skill. Dari ketiga tersebut

perlunya diimbangi dengan intelegensi yang baik, kemampuan dalam komunikasi

yang baik, serta kepekaan untuk tujuan bersama. Pemimpin pada saat ini perlu

mempunyai wawasan atau keahlian yang luas dan komprehensif

1. Pemimpin harus mempunyai kekuasaan

Otoritas, kekuatan serta legalitas yang memberikan kepercayaan atau

wewenang sebagai seorang pemimpin sehingga dapat memengaruhi

serta menggerakkan bawahannya.

2. Pemimpin harus mempunyai kemampuan

Segala kekuatan, daya, kecakapan, keterampilan teknis atau sosial yang

dianggap melebihi anggota lain, seingga pemimpin diwajibkan

mempunyai tiga unsur diantaranya IQ-SQ-EQ.

3. Pemimpin harus memiliki kewibawaan

Pemimpin yang harus mempunyai keunggulan, keutamaan serta yang

mampu untuk mengatur anggotanya.

2.1.6 Faktor-Faktor yang menghambat Kepemimpinan


Faktor yang bisa menghambat kempemimpinan terbagi menjadi 3 yaitu,
antara lain:
1. Praktik Korupsi yang dapat mengahmbat kemajuan organisasi serta bisa

melemahkan peran dari pemimpin tersebut. Pemimpin yang telah


6

melakukan korupsi maka berakibat pada bawahan sehingga meniru

perbuatan korupsi serta terjadi pembusukan pada organisasi.

2. Hedonisme (hidup untuk bersenang-senang), materialisme (mendewakan

materi), serta konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang yang

cenderung ingin mempunyai materi lebih (dimensi having) daripada

menjadi manusia yang bermartabat (dimensi being).

3. Proses dari rekrutmen pemimpin yang berorientasi mengejar uang serta

kekuasaan saja.

2.1.7 Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara yang dilakukan dalam proses

kepemimpian yang diimplementasikan melalui perilaku kepemimpinan seseorang

untuk mempengeruhi orang lain atau bawahan agar bertindak sesuai dengan apa

yang di inginkan untuk mencapai tujuan, gaya kepemimpinan yang diterapkan

dalam suatu organisasi dapat membantu menciptakan efektifitas kerja yang positif

bagi anggota. Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi

organisasi maka anggota akan lebih semangat dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya (Deniati & Yanti, 2019).

Pada penelitian Robbins dalam Agustin et al, (2019) bahwa Gaya

Kepemimpinan adalah cara yang digunakan seseorang untuk mempengaruhi

kelompok menuju tercapainya sasaran, hal itu berbeda dengan penelitian Rivai

dalam Prayatna & Made (2016) yang menyatakan bahwa Gaya Kepemimpinan

adalah pola menyeluruh dari tindakan pemimpin, baik yang nampak atau yang

tidak nampak oleh bawahannya.

1. Gaya Kepemimpinan Otoriter


7

Gaya kepemimpinan otoriter disebut sebagai kepemimpinan otoriter,

kepemimpinan langsung yang mengatur segala hal, serta kepemimpinan yang

ekstrem “diktator”. Pemimpin mengasumsikan pengontrolan ketat secara

berlebihan dalam keputusan dan aktivitas kelompok (organisasi yang terpusat).

Dalam pelaksanaanya, kepemimpinan dengan gaya kepemimpinan otoriter

sebagai berikut:

a. Pemimpin mempunyai perhatian yang kuat terhadap pekerjaan, tetapi

kurang perhatian pada orang yang menjalankan tugas.

b. Pemimpin mengatur standar dan metode yang kuat dalam menampilkan,

dan berhadap agar bawahan mematuhi peraturan dan mengikutinya sesuai

aturan yang ada.

c. Pemimpin mempunyai sifat mendominasi dengan atau tanpa maksud dan

bersifat keras.

d. Keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan dibuat sendiri, tanpa

memerdulikan permintaan pekerjaan dan berharap mereka menaati

keputusan tersebut.

e. Pemimpin tidak memiliki rasa percaya terhadap bawahan.

Gaya kepemimpinan otoriter juga memiliki beberapa kelebihan sebagai

berikut:

a. Gaya kepemimpinan otoriter tergolong efisien dalam hal waktu. Dalam hal

ini, lebih mudah untuk membuat keputusan oleh satu orang daripada

kelompok sehingga tidak menghabiskan banyak waktu.


8

b. Gaya kepemimpinan otoriter baik digunakan ketika hanya ada seorang

pemimpin yang berpengalaman dan mempunyai informasi penting, ketika

bawahan masih tergolong baru.

c. Gaya kepemimpinan otoriter juga baik digunakan ketika pekerja tidak

yakin dalam mengambil keputusan dan seorang pemimpin mengatakan

kepada mereka apa yang harus dilakukan.

Gaya kepemimpinan otoriter juga tidak terlepas dari beberapa kekurangan

sebagai berikut:

a. Gaya kepemimpinan otoriter menghambat partisipasi kelompok yang

hasilnya kurang berkembang. Kurangnya kepuasan bekerja dapat

menurunkan komitmen dalam mencapai tujuan suatu organisasi.

b. Kurangnya dukungan dari pemimpin dalam hasil keputusan yang dibuat

dengan konsultasi, meskipun orang tersebut mungkin benar.

c. Gaya kepemimpinan otoriter tidak menumbuhkan semangat terhadap

anggota kelompok, kurang meningkatkan kemampuan dan inisiatif

anggota, serta tidak menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas selama

menjadi anggota.

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan dalam memengaruhi

orang lain supaya bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara

pimpinan dan bawahan.

Gaya kepemimpinan ini mempunyai ciri sebagai berikut:


9

a. Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan;

keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan

b. Wewenang pimpinan tidak mutlak.

c. Komunikasi berlangsung timbal balik

d. Tugas-tugas kepada bawahan bersifat permintaan daripada instruktif.

e. Tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung bersama-sama.

Pada gaya kepemimpinan demokratis ini juga memiliki beberapa kelebihan

yaitu sebagai berikut :

a. Pemimpin mempromosikan dan melibatkan seseorang, menerima saran,

dan menghasilkan keputusan yang terbaik untuk bekerja dan kepuasan

dalam bekerja.

b. Keputusan dibuat oleh kelompok yang lebih efektif. Dalam hal ini,

mungkin banyak anggota lebih mempunyai informasi daripada pemimpin.

c. Pemimpin mengizinkan dan menyemangati semua pekerja untuk melatih

dalam membuat keputusan praktis.

3. Gaya kepemimpinan Laissez-Faire

Gaya kepemimpinan ini menganggap kepemimpinan sebagai formalitas,

membiarkan staf melaksanakan tugas tanpa arahan dan supervisi; menilai hasil

kerja staf menurut caranya sendiri yang dianggap tepat digunakan pada organisasi

informal.

Gaya kepemimpinan Laissez-Faire mempunyai keistimewaan sebagai berikut:

a. Anggota kelompok bebas mengatur dan menentukan aktivitas mereka

sendiri, dan mengizinkan anggota untuk melakukan apa yang menjadi

keinginan mereka. Berbagai tujuan mungkin dapat diatur oleh setiap


10

individu dan akan menjadi sulit untuk menyelesaikan tugas dari kelompok

dengan mudah.

b. Gaya kepemimpinan ini biasanya dipilih oleh pemimpin dengan asalan

sebagai berikut:

1) Kegagalan fungsi sebagai pemimpin yang efektif.

2) Pemimpin terlalu lemah untuk menggunakan pengaruhnya kepada

kelompoknya.

3) Pemimpin berusaha membuat segala hal merasa baik.

c. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini memberikan semangat serta

kebebasan dalam kegiatan dengan anggota kelompoknya.

1) Pemimpin hanya sedikit atau bahkan tidak memengaruhi anggota

kelompok.

2) Orang luar akan tidak mengenali pemimpin dalam sebuah kelompok.

3) Tidak ada petunjuk terpusat, pengawasan, koordinasi dan kendali.

Kelebihan dari gaya kepemimpinan Laissez-Faire yaitu:

a. Mencoba melakukan metode baru.

b. Dalam situasi yang mendesak, kreativitas bida menjadi semangat terhadap

maksud yang spesifik.

Kekurangan dari gaya kepemimpinan Laissez-Faire adalah:

a. Kelompok dan individu akan merasa bertanggung jawab terhadap masalah

yang mungkin bisa muncul. Anggota individu akan kehilangan minat,

inisiatif, dan keinginan dalam pencapaian.


11

2.1.8 Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan berbentuk secara historis pada tatanan individu

maupun sosial. Aplikasi dari pola epemimpinan ini telah terbutki efektik untuk

menjaga keharmonisan serta pencapaian tujuan. Kepemimpinan pada organisasi

merupakan induk penggerak yang menentukan arah dari pencapaian misi visi dan

aplikasi nilai yang berlaku pada organisasi tersebut. Beberapa teori dari

kepemimpinan secara umum yang digunakan yaitu antara lain:

1. Teori Sifat

Pemimpin mempunyai sifat bawaan yang membantu untuk memimpin. Pada

karakteristik teori sifat seperti inteligensi, ambisi, keagresifan, kepercayaan diri,

berpikir secara urut dan fleksibilitas.

Teori sifat ini mempunyai lima konsep utama yang biasa disebut dengan

kerangka big live personality seperti keterbukaan, kesadaran, ekstraversi, supel,

serta neurotisme atau kestabilan emosi. Dari lima konsep tersebut disebutkan

bahwa ekstraversi merupakan elemen yang paling jelas menggambarkan teori sifat

serta bisa diprediksi kemampuan seseorang pemimpin yang efektif. Dapat

disimpulkan bahwa sifat ekstraversi membantu orang untuk tampil signifikan

secara sosial, berdisiplin tinggi serta mampu mempertahankan komitmen ataupun

terbuka dan kreatif, sehingga bisa membentuk pola kepemimpinan yang

berkualitas (David, 2017)

2. Teori Behavioral

Teori behavioral menyatakan bahwa pemimpin tidak dilahirkan untuk

memimpin, tetapi mempelajari perilaku kepemimpinan. Perilaku ini meliputi

kemampuan untuk menciptakan struktur yang didalamnya ditetapkan jadwal,


12

prosedur ditulis dan kebijakan ditetapkan, serta mempertimbangkan dan

menghargai pandangan orang lain.

Teori perilaku yang berfokus pada pengakjian pola kerja serta fungsi seorang

pemimpin. Teori behavioral dikembangkan sebagai suatu pendekatan praktik

dalam kepemimpinan dengan meilhat gaya khusus yang ditampilkan dengan

membedakan seorang pemimpin serta orang yang dipimpin, identifikasi dimensi

serta perilaku independen dari seorang pemimpin dipersempit dalam dua kategori

yaitu inisiasi yang terstruktur serta konsiderasi atau pemimpin yang mampu

menciptakan suatu jalur komunikasi yang terarah. Pertimbangan yang mengarah

pada sikap keterbukaan seorang pemimpin dalam menilai bawahan secara

objektif, percaya serta menghargai ide-ide yang dikemukakan (David, 2017)

1. Teori Kontingensi atau situasional

Teori kontingensi menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan dipengaruhi oleh

situasi. Sebagai contoh, seorang manajer perawat memperlihatkan kepemimpinan

agresif dalam keadaan darurat ketika tugas-tugas harus dilakukan dengan cepat

dan akurat. Akan tetapi, ketika bekerja dengan perawat baru, manajer perawat

mengadopsi perilaku pengasuh (nurturing) yang memberikan waktu bagi perawat

baru untuk mengenal prosedur-prosedur departemen.

Keefektifan pada pola kepemimpinan berdasarkan pada sudut pandang teori

pendekatan situasional yang dibedakan dalam tiga tingkatan hubungan yang

mencakup tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, kemampuan interpersonal

serta situasi lingkungan pekerjaan yang mendukung implementasi. Faktor-faktor

pendukungnya yaitu tingkat kepercayaan, struktur tugas serta tujuan yang jelas,

dan kemampuan pemimpin untuk merangkul bawahan melalui reward serta


13

pendekatan. Secara umum bisa disimpulkan bahwa tantangan situasi serta

kemampuan seorang pemimpin dalam beradaptasi yang menjadikan kunci

keberhasilan (Fauziyyah dkk, 2021)

2. Teori Karismatik

Teori karismatik adalah gaya kepemimpinan yang dirumuskan oleh komitmen

emosional para manajer untuk mencapai tujuan.

3. Teori Transaksional

Teori Transaksional adalah pemimpin yang membimbing atau memotivasi

pengikut mereka ke arah tujuan yang ditetapkan dengan menjelaskan peran dan

persyaratan tugas. Menurut Robbins & Judge (2013: 383) yang berjudul

“Transactional leaders: Leaders who guide or motivate their followers in the

direction of established goals by clarifying role and task requirements”.

Hubungan pemimpin mengemukakan bahwa hubungan pemimpin

transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yaitu pemimpin

mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelaskan apa yang akan

mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan, pemimpin menukar

usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan, dan pemimpin

responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut

sebanding dengan nilai pekerjaan yang dilakukan karyawan. Menurut Bass dalam

Yuki (2010:260)

4. Teori Transformasional
14

Kepemimpinan transformasional yaitu suatu keadaan dimana para pengikut

dari seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman,

kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk

melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan mereka. Yuki (2013:313)

Pemimpin Transformasional merupakan pemimpin yang mengilhami pengikut

untuk mengubah kepentingan diri mereka sendiri dan yang mampu memiliki efek

mendalam dan luar biasa pada pengikut menurut Robbins & Judge (2013:383)

yang berjudul “Transformational Leaders: Leaders who inspire followers to

trancend their own self-interests and who are capable of having a profound and

extraordinary effect on followers”.

5. Teori Populistik

Teori ini yaitu merealisir kebebasan manusia serta memenuhi setiap kebutuhan

insani, yang dicapai melalui interaksi pemimpin terhadap bawahannya. Untuk

melakukan hal tersebut perlu organisasi yang baik serta pemimpin yang baik yang

dapat memperhatikan kepentingan serta kebutuhan bawahannya.organisasi

tersebut berperan untuk melaksanakan perintah serta memperhatikan kemampuan

bawahannya.

2.1.9 Model Asuhan Keperawatan Professional di RS Siti Khodijah

1. Model Tim

Pada model ini dicirikan dengan adanya hubungan saling percaya, saling

menghormati, dan kesetaraan dalam model ini lebih pada mengutamakan

pencapaian tujuan dan kepedulian pada orang lain.

Tiga kelebihan apabila menggunakan model ini:


15

a) Penugasan didasarkan pada tingkat pendidikan masing-masing tim.

Contohnya asisten perawat mengerjakan perawatan pagi dan malam,

sementara perawat teregistrasi menilai kondisi pasien.

b) Pasien menjadi akrab dengan tim karena mereka berinteraksi dengan

kelompok profesional layanan kesehatan yang sama setiap hari.

c) Masing-masing anggota tim merasa tanggung jawab pada perawatan

pasien secara menyeluruh. Ada jalur komunikasi yang terbuka dan

berkelanjutan diantara anggota tim.

Kelemahan model keperawatan ini:

a) Manajer perawat harus memiliki keterampilan komunikasi yang

unggul dan cukup menyelesaikan konflik diantara anggota tim.

b) Adanya perubahan jadwal diantara tim mengompromikan kontinuitas

perawatan. Anggota tim yang tidak masuk satu hari harus mendapat

pembaruan mengenai kondisi pasien.

c) Kebencian dapat tumbuh diantara anggota tim jika satu anggota tim

atau lebih merasa bahwa mereka selalu diberi tugas yang tidak

menyenangkan akibat pendidikan atau lisensi atau karena manajer

perawat lebih menyukai anggota tim yang satu daripada anggota lain.

d) Tim menghabiskan waktu untuk membahas kemajuan pasien.

Pertemuan ini sering berlarut-larut.

2. Model Primer

Model primer merupakan metode pemberian asuhan keperawatan dimana

perawat professional bertanggung jawab serta bertanggung gugat pada asuhan

keperawatan pasien selama 24 jam. Metode penugasan yang dimana satu orang
16

perawat bertanggung jawab penuh selama 24 jam pada asuhan keperawatan

pasien, mulai pasien masuk hingga keluar Rumah Sakit. Nursalam, (2014).

Setiap perawat primer mempunyai 6-4 pasien serta bertanggung jawab selama

24 jam saat pasien dirawat di Rumah Sakit. Perawat primer bertanggung jawab

untuk mengadakan komunikasi serta koordinasi dalam perencanaan asuhan

keperawatan serta juga akan membuat rencana pulang pasien apabila

diperlukan.

Kelebihan Model Primer antara lain:

1) Keuntungan yang dirasakan yaitu pasien merasa dipedulikan karena

terpenuhinya kebutuhan secara individu, asuhan yang diberikan

mempunyai mutu tinggi serta tercapai pelayanan yang efektif pada

pengobatan, dukungan, proteksi, advokasi, serta informasi. Dokter

juga merasakan kepuasan terhadap model primer karena mendapatkan

informasi mengenai kondisi pasien yang selalu diperbarui serta

komprehensif.

2) Mempunyai sifat kontinuitas serta komprehensif.

3) Memberikan keuntungan pada pasien, perawat, dokter, serta Rumah

Sakit (Gillies,1989 dalam Nursalam, 2014).

4) Perawat primer mendapatkan akuntabilitas tinggi pada hasil dan

memungkinkan untuk pengembangan diri.

Kekurangan Pada Model Primer antara lain:

1) Hanya dilakukan oleh perawat yang mempunyai pengalaman dan

pengetahuan yang memadai dengan kriteria asertif, self direction,

kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan


17

klinis, adanya pertimbangan, dan mampu berkolaborasi dengan

berbagai disiplin ilmu.

2.1.10 Faktor-Faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan

Menurut Teori dari Joseph Reitz dalam Rahayu dkk (2017) menyatakan

bahwa aktivitas pemimpin ada beberapa faktor yang mempengaruhi gaya

kepemimpinan antara lain:

1. Kepribadian (Personality)

Kepribadian merupakan pengalaman di masa lalu serta harapan

pemimpin, hal itu mencakup nilai-nilai, latar belakang serta

pengalaman yang akan memengaruhi pilihan akan gaya

kepemimpinannya.

2. Harapan dan perilaku pemimpin terhadap karyawan

3. Karakteristik yang merupakan harapan serta perilaku pada karyawan

yang memengaruhi pimpinan pada bentuk seperti apa gaya

kepemimpinan yang akan dipakai.

4. Kebutuhan akan tugas merupakan setiap tugas karyawan juga akan

mempengaruhi gaya kepemimpinan seorang pemimpin.

5. Iklim serta kebijakan organisasi yang bisa memengaruhi harapan serta

perilaku karyawan.

6. Harapan dan perilaku rekan kerja akan memengaruhi gaya

kepemimpinan.
18

2.1.11 Indikator Gaya Kepemimpinan

Menurut Purba A, (2021) Adanya beberapa faktor yang dapat berpengaruh

pada kepemimpinan di dalam organisasi diantara lain:

1. Kecerdasan: pemimpin harus mempunyai kecerdasan yang melebihi

para bawahannya. Kematangan serta keluasan spsial seorang pemimpin

biasanya mempunyai emosi stabil, mempunyai aktivitas serta

pandangan yang cukup luas.

2. Motivasi: dalam diri seorang pemimpin harus memiliki motivasi serta

dorongan untuk mencapai tujuan.

3. Hubungan antar manusia: pemimpin harus dapat mengenali serta

menghargai para kawyawannya (Khotimah, 2021b)

Menurut Kartini Kartono dalam gaya kepemimpinan yang terdiri dari lima

indikator yaitu:

1. Sifat, merupakan sifat seorang pemimpin yang sangat berpengaruh

dalam menentukan keberhasilan yang akan dicapai untuk menjadi

seorang pemimpin, hal itu ditentukan dalam kemampuan pribadi.

2. Kebiasaan, merupakan yang memegang peran untuk penentu dalam

pergerakan perilaku

3. Tempramen, merupakan ciri dari seorang pemimpin dalam memberikan

respon pada saat berinteraksi dengan orang lain.


19

4. Watak, merupakan salahsatu yang menentukan bagi keunggulan

pemimpin dalam mempengaruhi ketekunan, daya tahan, keyakinan

maupun keberanian.

5. Kepribadian, merupakan kepribadian sorang pemimpin dalam

menentukan keberhasilan yang ditentukan dari karakteristik

kepribadiannya (Nurlia, 2017).


20

2.2 Konsep Kepala Ruangan

2.2.1 Pengertian Kepala Ruangan

Kepala Ruangan merupakan seorang tenaga perawat profesional yang

diberi tanggung dan wewenang untuk mengelola kegiatan pelayanan keperawatan

di suatu ruangan rawat inap. Dalam pengelolaan pelayanan keperawatan disuatu

rumah sakit, Kepala Ruangan merupakan manajer tingkat lini yang bertanggung

jawab untuk meletakkan konsep praktik, prinsip dan teori manajemen

keperawatan, serta mengelola lingkungan organisasi untuk menciptakan situasi

yang optimal dan menjamin kesiapan asuhan keperawatan oleh perawat klinik.

Kepala Ruangan merupakan perawat yang mempunyai tanggung jawab,

wewenang untuk mengendalikan serta mengatur kegiatan asuhan di ruangan rawat

inap dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada perawat

pelaksana menurut Setiowati, (2020)

2.2.2 Fungsi Kepala Ruangan

Kepala ruangan memainkan peran penting dalam administrasi layanan

keperawatan karena manajer perawat merupakan kunci utama organisasi. Menurut

Susanti et al (2020) manajer keperawatan berperan penting dalam meningkatkan

manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan, untuk mencapai hal tersebut,

manajer perlu melaksanakan peran dan fungsi manajemen untuk mencapai tujuan

organisasi. Pada analisis, fungsi manajemen berpontensi ditingkatkan. Terdapat

lima fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan,

pengarahan serta pengendalian, hierarki dalam perencanaan meliputi misi,


21

filosofi, tujuan, sasaran, kebijakan, aturan, dan prosedur menurut Marquis &

Broome, (2017)

Fokus utama perencaaan organisasi kepala bidang keperawatan merupakan

perencanaan strategis. Implementasi rencana strategis membutuhkan

pengorganisasian, alokasi sumber daya, dan evaluasi berkenlanjutan (Uzarski and

Broome, 2019). Perencanaan strategis untuk pelayanan kesehatan menggunakan

strategi bisnis unit yaitu strategi adaptif.

Fungsi dari kepala ruangan terdiri atas 4 fungsi yang utama yaitu:

1. P: Planning (Fungsi perencanaan)

Planning adalah suatu aktivitas menyusun tujuan dari organisasi kemudian

dilanjutkan dengan menyusun berbagai rencana untuk mencapai suatu tujuan

yang telah ditentukan. Beberapa aktivitas dalam fungsi perencanaan yaitu:

a. Menentukan sumber daya yang dibutuhkan

b. Menetapkan standar kesuksessan untuk pencapaian suatu tujuan serta target

bisnis.

c. Menetapkan arah tujuan dan target bisnis

d. Membuat program kerja unit

Manfaat dari Planning:

a. Bisa menghindari kesalahan yang mungkin akan terjadi.

b. Bisa memudahkan pengawasan

c. Bisa membuat pelaksanaan tugas jadi tepat serta aktivitas tiap unit akan

terorganisasi ke arah tujuan yang sama.

d. Bisa digunakan sebagai pedoman dasar dalam menjalankan aktivitas.

2. O: Organizing (Fungsi pengorganisasian)


22

Organizing merupakan aktivitas pengaturan dalam sumber daya manusia serta

sumber daya fisik yang lainnya yang dimiliki oleh perusahaan untuk bisa

melaksanakan rencana yang telah ditetapkan serta mencapai tujuan utama pada

perusahaan.

Ada beberapa aktivitas yang ada pada Organizing (Fungsi pengorganisasian)

a. Menetapkan struktur perusahaan yang menunjukkan adanya garis

kewenangan dan tanggung jawab.

b. Aktivitas penempatan tenaga kerja dalam posisi yang pas serta paling tepat

c. Aktivitas perekrutan menyeleseksi orang, pelatihan dan pengembangan

tenaga kerja.

d. Mengalokasikan sumber daya, menyusun serta menetapkan tugas-tugas

dan menetapkan prosedur yang dibutuhkan.

3. D: Directing / Actuating (Pengarahan)

Directing merupakan fungsi untuk meningkatkan efektivitas serta efisiensi

kinerja dengan optimal serta menciptakan suasana lingkungan kerja yang

dinamis dan sehat.

Tiga Aktivitas yang dilakukan pada fungsi pengarahan:

a. Bisa Memberikan tugas dan penjelasan secara rutin tentang pekerjaan.

b. Bisa Menjelaskan semua kebijakan yang telah ditetapkan.

c. Bisa Mengimplementasikan suati proses kepemimpinan, pembimbingan

serta memberikan motivasi terhadap pekerja agar dapat bekerja secara

efektif dan efisien dalam mencapai tujusn yang ditetapkan.

4. C: Controlling (Pengendalian)
23

Controlling adalah kegiatan untuk menilai suatu kinerja yang berdasarkan pada

standar yang telah dibuat perubahan atau perbaikan jika dibutuhkan.

Beberapa fungsi dari pengendalian antara lain:

a. Bisa memberikan alternatif solusi atas masalah yang terjadi dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

b. Bisa mengevaluasi keberhasilan dalam proses mencapai tujuan serta target

mengikuti indikator yang telah ditetapkan.

c. Bisa memberikan alternatif solusi atas masalah yang terjadi dalam

mencapai tujuan yang ditetapkan.

2.2.3 Peran Kepala Ruangan

Pemimpin perawat memainkan peran penting dalam mempengaruhi

perawatan kesehatan secara positif di dunia, dan perawat harus mengembangkan

keterampilan kompetensi di semua tingkatan dan pengaturan (Doherty and Revell,

2020). Peran manajerial mencakup tiga peran utama yaitu peran interpersonal

(figurehead, leader, liaison), peran informasional (monitor, disseminator,

spokesperson) (Robbins and Judge, 2017).

Kepala Ruangan sebagai manajer operasional dari sebuah ruang perawatan

bertanggung jawab untuk mengorganisasikan kegiatan pelayanan dan asuhan

keperawatan diruang rawat inap. Kegiatan ini meliputi pengelompokan kelompok,

struktur orgnanisasi, evaluasi kegiatan, koordinasi, dan pembentukan kelompok

kerja atau pembagian tugas.

Pada buku karangan Peter Drucker dalam bukunya The Frontiers of

Management , ia merupakan ahli mengelola organisasi, yang menggambarkan

bahwa manajer perawat memiliki empat fungsi dasar yaitu:


24

a) Menganalisis, menilai, daan mengintrepretasikan kinerja, dan

mengomunikasikan makna alat pengukuran beserta hasilnya kepada staf dan

atasan.

b) Mengorganisasi dan menganalisis aktivitas, relasi, dan keputusan yang

diperlukan dan membagi mereka ke dalam tugas-tugas yang dapat dikelola.

c) Memotivasi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang bertanggung jawab

terhadap berbagai tugas melalui kerja tim.

d) Menetapkan sasaran serta tujuan untuk setiap area dan mengomunikasikan

mereka kepada orang-orang yang bertanggung jawab untuk mencapainya.

2.2.4 Peran Perawat Penanggung Jawab Asuhan

Perawat sebagai yang melaksanakan pelayanan kesehatan pada instansi

kesehatan mempunyai peran yang dibebankan terhadap mereka, antara lain

seperti:

1) Melakukan asuhan keperawatan pada pasien.

2) Merencanakan intervensi keperawatan guna mengatasi masalah serta membuat

langkah atau cara pemecahan masalah.

3) Melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana

4) Melaksanakan serah terima setiap pergantian dinas termasuk pasien dan

peralatan.

5) Memelihara lingkungan guna kelancaran pelayanan

6) Melakukan dinas sesuai jadwal yang telah dibuat oleh kepala ruangan

7) Menciptakan hubungan kerjasama yang baik dengan pasien serta keluarganya

ataupun dengan anggota tim kesehatan lain.

8) Memelihara, menyimpan, dan menyiapkan alat siap pakai


25

9) Mengikuti pertemuan yang diadakan oleh kepala ruangan

10) Menyiapkan pasien yang akan keluar Rumah Sakit

11) Melakukan program orientasi terhadap pasien mengenai instalansi kesehatan

serta lingkungannya, peraturan dan tata tertib yang berlaku dan fasilitas yang

ada pada penggunanya.

12) Mentaati peraturan yang sudah ditetapkan di Rumah Sakit

13) Membantu merujuk pasien pada petugas kesehatan lain yang lebih mampu

untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.

Sedangkan menurut Doheny dalam penelitian (Wirentanus.L, 2019)

mengidentifikasikan beberapa peran perawat professional, antara lain:

1. Care Giver (Pemberi asuhan keperawatan perawat dapat memberikan

pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,

dengan menggunakan proses keperawatan seperti pengkajian, diagnosa,

perencaan, pelaksanaan, dan evaluasi).

2. Clien Advocate (Pelindung klien)

3. Counsellor (Pembimbing)

4. Educator (Pendidik Klien)

5. Collaborator (bekerjasama dengan tim)

6. Coordinator (Perawat memanfaatkan semua sumber dan potensi yang ada

baik materi ataupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada

intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih)

7. Change Agent (Sebagai agen pembaharu)

8. Consultant (Sebagai sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik

klien)
26

2.3 Konsep Kolaborasi Interprofesi

2.3.1 Pengertian Kolaborasi Interprofesi

Istilah kolaborasi antar profesi adalah salah satu sistem yang terus

dikembangkan supaya pasien mendapat pelayanan kesehatan yang komprehensif.

Definisi kolaborasi banyak dikemukakan antara lain menurut Henderson (2018)

mendefinisikan sebagai kerjasama antara tenaga kesehatan seperti Dokter,

perawat, dan tenaga kesehatan lain) baik dengan pasien serta keluarganya untuk

mencapai suatu tujuan. Kolaborasi juga bisa di artikan sebagai hubungan timbal

balik dimana pemberi pelayanan memegang tanggung jawab besar untuk

melakukan perawatan terhadap pasien dalam kerangka kerja bidang respektif

mereka. Pada praktik kolaborasi menekankan pada tanggung jawab bersama

dalam manajemen perawatan pasien dengan adanya proses pembuatan keputusan

bilateral yang didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan

praktisi

Interprofessional Collaboration (IPC) merupakan proses dalam

mengembangkan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif pelajar,

praktisi, pasien atau klien atau kerga dan masyarakat untuk mengoptimalkan

pelayanan kesehatan menurut D’Amour, (2018). Praktik Kolaborasi yang

didefinisikan oleh Reeves et al (2017) merupakan proses dimana kelompok

professional perawatan kesehatan serta sosial yang berbeda bekerjasama untuk

memberikan dampak positif pada perawatan. IPC dimaksudkan untuk mencapai

tujuan dan memberikan manfaat bersama bagi semua yang terlibat (Ridar and

Santoso, 2018)
27

2.3.2 Manfaat Kolaborasi Interprofesi

Menurut Suilaninggsih, dkk (2017) menyatakan bahwa melalui koordinasi

yang efektif dari berbagai tenaga kesehatan yang terlibat maka kolaborasi

interprofesional dapat terjalin dengan baik. Koordinasi yang baik tentu bermanfaat

dalam pengambilan keputusan masalah kesehatan pasien. Dalam prosesnya,

diharapkan tidak ada tumpang tindih peran kolaborasi para praktisi kesehatan

dalam menyelesaikan masalah pasien. Tim dalam kolaborasi interprofesi ini

sangat diperlukan dalam penyelesaian masalah pasien karena perawat dan dokter

saling melakukan pemeriksaan pada pasien untuk memastikan apakah pasien

memiliki tanda-tanda efek samping atau komplikasi juga agar perawatan pasien

berjalan maksimal.

Interprofessional Collaboration terjadi ketika berbagai profesional medis

bekerja dengan keluarga, pasien dan komunitas untuk memberikan perawatan

yang komprehensif dan berkualitas tinggi serta memberi manfaat bersama bagi

semua yang terlibat Menurut Green and Johnson, (2017) tenaga kesehatan harus

melakukan praktik kolaboratif yang baik serta tidak melaksanakan pelayanan

kesehatan sendiri-sendiri, hal itu agar keselamatan pasien lebih terjaga di Rumah

Sakit Menurut Fatalina, (2017)

Pernyataan Dulahu,Y Wirda, dkk (2021) Pada pelaksanaan kolaborasi

antara perawat dan dokter juga bisa terlaksana dengan baik karena perawat dan

dokter sama-sama mengetahui apa yang telah dijelaskan kepada pasien terkait

kondisinya atau perawatannya serta perawat dan dokter saling menyapa setiap

hari. Ketiga pelaku itu dapat menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik
28

antar perawat dan dokter, sehingga perawat dan dokter bisa menjalin hubungan

kolaborasi interprofesional dengan baik.

2.3.3 Elemen-elemen Kolaborasi Dalam Praktik Kolaborasi

Sinubu, dkk (2021) kerjasama interprofesi dokter dan perawat yang efektif

memerlukan adanya pemahaman yang benar mengenai kolaborasi interprofesi dan

penguasaan kompetensi merupakan inti dari praktik kolaborasi. Menurut Kozier,

(2017) Elemen penting dalam kolaborasi tim kesehatan adalah komunikasi yang

efektif, saling menghargai dan percaya, assertive, proses pembuatan keputusan,

dan otonomi

Menurut Penelitian Suharno (2019) kunci dari elemen kolaborasi

interprofesi meliputi:

1. Kerjasama yaitu dalam praktik kolaborasi interprofesi usaha yang dilakukan

semua tenaga kesehatan yang terlibat berguna untuk mencapai tujuan bersama

dalam proses pelayanan kesehatan kepada pasien yang lebih baik.

2. Saling mendengarkan, menerima serta mendukung pendapat antar tenaga

kesehatan yang terlibat dalam praktik kolaborasi interprofesi.

3. Bertanggung jawab yaitu dalam menjalankan praktik kolaborasi interprofesi

tenaga kesehatan yang terlibat harus bertanggung jawab atas perannya masing-

masing.

4. Komunikasi yaitu antar tenaga kesehatan yang menjalankan praktik kolaborasi

interprofesi harus saling berkomunikasi secara terbuka terkait dengan masalah

kesehatan yang dialami pasien dan terkait perawatan pasien selanjutnya.

5. Pemberian pertolongan yaitu semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam

praktik kolaborasi interprofesi dapat memberikan pertolongan kepada pasien


29

yang membutuhkan, tetapi juga harus memperhatikan peran serta tanggung

jawab masing-masing profesi tenaga kesehatan.

6. Kewenangan yaitu penanganan masalah kesehaatan yang dihadapi pasien oleh

tenaga kesehatan dalam praktik kolaborasi interprofesi dalam batas

kompetensinya.

7. Koordinasi yaitu semua tenaga kesehatan saat melakukan praktik kolaborasi

interprofesi bisa membangun organisasi yang tepat serta baik yang dibutuhkan

untuk penyelesaian masalah kesehatan pasien.

8. Tujuan umum yaitu untuk meningkatkan kesehatan pasien setiap tindakan yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam praktik kolaborasi interprofesi harus

berdasarkan tujuan yang telah disepakati bersama di awal.

2.3.4 Indikator Kolaborasi Perawat-Dokter

Ada 3 indikator kolaborasi menurut Caricati, dkk (2014) dalam Ushiro

(2009) dalam melakukan praktik kolaborasi antara perawat dan dokter antara lain:

1. Berpartisipasi bersama dalam proses pengambilan keputusan pengobatan

maupun perawatan klien.

2. Berbagi informasi kepada klien .

3. Saling membantu

Sedangkan menurut Siegler dan Whitney dalam Sari, P (2020) terdapat

empat indikator dalam pelaksanaan praktik kolaborasi perawat dengan dokter

antara lain:

1. Kontrol Kekuasaan

Adanya kontrol kekuasaan bersama bisa terbina apabila dokter ataupun

perawat mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendiskusikan pasien


30

tertentu. Karena kemungkinan jika hal tersebut tidak ada mungkin bisa ada

informasi yang tidak lengkap pada saat memberi perawatan kepada pasien.

2. Lingkungan

Lingkungan praktik menunjukkan suatu tanggung jawab dari masing-masing

orang. Meskipun perawat serta dokter mempunyai bidang praktik yang terpisah

sesuai dengan peraturan dari negara yang bersangkutan tetapi terdapay tugas

tertentu yang memang harus dilakukan bersama.

3. Kepentingan bersama

Para Teoritis memaparkan bahwa kepentingan bersama yang secara

operasional dengan menggunakan suatu istilah tingkat ketegasan masing-

masing atau usaha untuk memuaskan kepentingannya sendiri serta faktor

kerjasama untuk memberi kepuasan bagi kepentingan orang lain.

4. Tujuan bersama

Adanya tujuan bersama bisa menjadi tumpang tindih dengan lingkungan

praktik seperti dengan contoh diagnosa penyakit maupun gangguan tubuh,

namun tujuan tersebut bersifat lebih berorientasi pada pasien serta bisa

membantu menentukan bidang tanggung jawab yang ada kaitannya dengan

prognosis pasien. Tujuan sepenuhnya dari perawat seperti memelihara

integritas kulit serta pengaturan pola eliminasi. Selanjutnya, contoh dari

tanggung jawab yang sepenuhnya diprakarsai oleh dokter misalnya

menentukan waktu kapan pasien diberikan izin untuk pulang dari rumah sakit.

Kemudian contoh dari tujuan bersama yang dilakukan perawat dan dokter

diantaranya pennyebaran serta pencegahan infeksi silang bagi pasien serta

tenaga kesehatan.
31

2.3.5 Alat Ukur Kolaborasi Interprofesi

1. NPCS (Nurse Physician Collaboration Scale)

Alat ukur ini berfokus pada metode interaksi yang bermanfaat untuk

memecahkan masalah didalam pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan perawatan yang komprehensif bagi klien dalam manajemen

kolaborasi. Tujuan dari kuesioner ini yaitu untuk mengukur, serta

mengevaluasi organisasi dan manajemen profesi profesional perawat-

dokter dalam kegiatan praktik kolaborasi dalam memberikan perawatan

kepada pasien. Terdapat 20 pertanyaan yang dibuat berdasarkan

wawancara serta observasi interaksi antara perawat-dokter dibangsal

dengan menggunakan poin skala likert mulai dari yang selalu sampai tidak

pernah (Ushiro, 2009 dalam Caricati dkk, 2013)

2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji Validitas bisa memberikan gambaran pada data penelitian yang

mempunyai manfaat untuk mengukur valid dan tidaknya kuesioner.

Validitas tinggi maupun rendah akan berpengaruh oleh suatu instrumen

penelitian, apabila instrumen valid maka validitas juga akan tinggi negitu

pula sebaliknya (Nursalam, 2016 dalam Astuti, 2017)

Pada penelitian ini tidak perlu dilakukan uji validitas lagi, dikarenakan

peneliti menggunakan instrumen NPCS (Nurse-Physician Collaboration

Scale) yang diteliti oleh Ushiro (2009) yang telah dilakukan uji validitas

dengan memakai sampel dari perawat serta dokter yang memenuhi syarat,

diantaranya:
32

1) Validitas Konstruk

Analisis faktor eksplorasi mengungkapkan bahwa NPCS mempunyai

tiga dimensi. Skala dimensi tersebut yang selanjutnya dinilai oleh CFA

serta mendapatkan hasil CFI <0,9 dan RMSEA <0,08. Kemudian

dimodifikasi dengan indeks modifikasi pada amos versi 7.0 serta

dengan hasil perubahan yang sesuai meningkat menjadi CFI > 0,9 serta

RMSEA <0,08

2) Validitas Konvergen

Adanya korelasi yang positif signifikan terhadap NPCS secara statistik

diantara tanggapan perawat (r = 0,360-0,523, P<0,01) serta dari

tanggapan dokter (r = 0,435-0,639, P<0,01).

3) Validitas Serentak

Partisipasi bersama pada proses pengambilan keputusan pengobatan

maupun perawatan pasien secara statistik korelasi negatif yang

signifikan untuk ketiga faktor (r = 0,20-0,236, P<0,01). Berbagi

informasi kepada pasien (r = 0,165, P<0,01) serta kegotongroyongan (r

= 0,152, P<0,01)

Adapaun dengan hasil yang didapatkan bahwa dari uji validitas maka

instrumen tersebut dinyatakan valid, sehingga bagi peneliti tidak perlu

melakukan uji validitas lagi.

3. Uji Reliabilitas
33

Pada penelitian ini tidak diperlukan uji reliabilitas kembali, dikarenakan

peneliti menggunakan instrumen NPCS (Nurse Physician Collaboration

Scale) yang sudah digunakan oleh peneliti Uchiro (2009) dengan 20

pertanyaan dengan didapatkan nilai Alpha Cronback dengan nilai 0,8 dari

hasil yang didapatkan dari uji reliabilitas maka instrumen tersebut

dinyatakan reliabel sehingga peneliti tidak perlu untuk uji reliabilitas lagi.

2.3.6 Dampak Pelaksanaan Kolaborasi

2.3.6.1 Keselamatan Pasien

Interprofessional collaboration memberi pengaruh yang baik pada

pelaksanaan sasaran keselamatan pasien yang ada di Rumah Sakit karena melalui

kolaborasi dan kerjasama yang baik maka keselamatan pasien meningkat hal itu

dijelaskan pada penelitian Kurniasih et al. (2019), dan selaras dengan penelitian

dari Andriani, et al. (2019) yang menjelaskan bahwa kolaborasi memberi dampak

positif pada tingkat keselamatan pasien.

2.3.6.2 Kualitas Pelayanan Rumah Sakit

Kerjasama merupakan strategi yang efektif untuk mencapai kualitas hasil

yang diharapkan, karena dengan kerjasama yang baik, maka kualitas dan mutu

pelayanan rumah sakit akan meningkat, menurut penelitian dari Ariyani, (2017)

dan sejalan dengan penelitian dari Ellys, (2019) bahwa kerjasama merupakan

salahsatu strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

2.3.7 Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kolaborasi

Menurut penelitian dari Hardin, (2019) bahwa keterbatasan pemahaman

akan peran masing-masing jabatan akan berpengaruh pada pelaksanaan kerjasama,


34

seperti pelaksanaan kerjasama antara perawat dan dokter yang sering

menimbulkan kesalahpahaman yaitu masih banyak dokter yang kurang

memahami ruang lingkup praktik perawat, sehingga tanggung jawab perawat dan

dokter sering tumpang tindih, serta dokter kurang yakin dengan kemampuan

perawat saat mengambil keputusan mengenai perawatan pasien.

1. Latar Belakang tingkat pendidikan yang berbeda

Sesuai dengan penelitian dari Kurniasih, et al.(2019) bahwa Faktor

penghambat dalam upaya penyelamatan pasien yang sering terjadi karena

kesalahan yang dapat disebabkan oleh pelaksana kesehatan seperti perawat dan

dokter yang dimana dokter merasa bahwa pengetahuan dan perannya lebih tinggi

dibandingkan dengan perawat, sehingga pada kolaborasi dan kemitraan yang

dilakukan menjadi kurang baik. Latar belakang tingkat pendidikan dari masing-

masing tenaga kesehatan akan berpengaruh pada perilaku seseorang dalam

melakukan peran dan tanggung jawabnya saat melakukan tindakan kolaborasi

ynng dapat diartikan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan

semakin besar keinginannya dalam memanfaatkan ketrampilan dan

pengetahuannya.

2. Komunikasi

Penelitian yang dilakukan oleh Ita Kalista, et al.(2021) bahwa komunikasi

adalah hal penting yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan kolaborasi, karena

melalui komunikasi, proses penyampaian informasi antar satu dengan yang lain

akan lebih jelas dan dapat meningkatkan kerjasama dan kolaborasi yang baik.

Tenaga kesehtan harus bekerjasama dengan baik serta tidak melakukan pelayanan

kesehatan sendiri yang akan mendatangkan keuntungan sendiri. Salahsatu faktor.


35

yang menghambat terselenggaranya kerjasama antar tenaga kesehatan yaitu

kurangnya komunikasi yang baik. Lestari, et al.(2018) menjelaskan pada

penelitiannya bahwa faktor penghambat pada pelaksanaan interprofessional

collaoration yaitu butuknya komunikasi antar tenaga kesehatan karena

komunikasi yang buruk maka akan terjadi kesalahpahaman dan akan

menyebabkan perawatan yang kurang baik bagi pasien sehingga bisa

menyebabkan dampak buruk pada keselamatan dan kesehatan pasien.

Komunikasi dianggap efektif apabila tepat waktu, akurat, lengkap, tidak

mendua (ambiguous) serta diterima oleh penerima informasi yang bertujuan

mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien. Pasien

secara verbal lewat telepon ditulis lengkap, dibaca ulang oleh penerima pesan,

serta dikonfirmasi oleh pemberi pesan. Penyampaian hasil pemeriksaan diagnostik

secara verbal ditulis lengkap, dibaca ulang, dan dikonfirmasi oleh pemberi pesan

secara lengkap (KARS, 2017)

Model teknik komunikasi SBAR dapat membantu perawat untuk

mengorganisasi cara berpikir, mengorganisasi informasi, dapat memudahkan

penyampaian pesan dan berdiskusi saat berkomunikasi dengan dokter.

Komunikasi SBAR dapat meningkatkan kemampuan dengan dokter, menurut

Mardiana, dkk (2019) Sedangkan menurut (Astuti, Ilmi dan Wati, 2019) bahwa

penerapan komunikasi SBAR pada perawat dalam melaksanakan handover dapat

menemukan hambatan sehingga perlu upaya manajemen keperawatan untuk

meningkatkan penerapan metode SBAR dengan cara melakukan perbaikan pada

format SBAR sehingga pelayanan keperawatan berkelanjutan serta kepuasan

pasien meningkat.
36

Menurut Leonard (2018) Situation, Background, Assessment, and

Recommendation atau SBAR merupakan sebuah teknik komunikasi.

Situation merupakan sebuah pernyataan padat pada permasalahan pasien.

Background merupakan informasi yang relevan serta singkat yang berhubungan

dengan situasi.

Assessment merupakan apa yang perawat temukan serta pikirkan mengenai

analisis dan konsiderasi atas kondisi klien.

Recommendation merupakan merujuk pada apa yang perawat lakukan untuk

dilakukan atau disarankan selanjutnya.

2.3.8 Prinsip-Prinsip Kolaborasi

Proses kerja sama dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar

prinsip saling menghormati, saling kerja sama, saling percaya, saling menghargai,

saling asah, asih, asuh, dan saling memberikan kemanfaatan. (Permenhut P.19

tahun 2104)

Menurut Buku Manajemen Keperawatan Sagala R, (2018) bahwa prinsip-

prinsip kolaborasi dibagi menjadi 6 yaitu:

1) Prinsip saling menghormati artinya saling memahami dan menghormati peran

dan kedudukan masing-masing dalam kegiatan bersama.

2) Prinsip saling kerja sama artinya ikut serta dan berpartisipasi sesuai peran dan

kedudukan masing-masing.

3) Prinsip saling asah,asih, dan asuh artinya dalam berkolaborasi setiap pihak bisa

saling belajar, peduli, serta menyayangi. Dengan adanya perbedaan maka kita

mempunyai peluang untuk saling belajar satu sama lain, saling peduli serta

menyayangi.
37

4) Prinsip saling percaya artinya konsep umum untuk semua prinsip kolaborasi.

Tanpa adanya rasa percaya, saling menghormati serta saling menghargai

menjadi tanpa makna, kerja sama tidak akan pernah ada, tidak ada saling

belajar, menyayangi, dan peduli dalam kebersamaan.

5) Prinsip saling menghargai artinya menghargai pendapat orang lain serta

bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan

kepercayaan.

6) Prinsip saling memberi kemanfaatan artinya tiap individu dalam tim

mengartikannya sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi proses dinamis

antara orang-orang yang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan

serta kepuasan setiap anggota.

2.3.9 Nilai-nilai pendelegasian Dokter kepada Perawat

Pada bidang pelayanan kesehatan meliputi pekerjaan yang diperitahkan oleh

dokter untuk dilakukan pada seorang pasien seperti pergantian perban,

pemasangan infus, pemasangan kateter, dan hal lainnya yang bisa membantu

tugas seorang dokter. Menurut penelitian Amir, N & Purnama, (2021) Berikut

tugas yang merupakan pendelegasian tugas dari dokter pada perawat terdapat 7

nilai yang terkandung adalah sebagai berikut:

1) Alturism yaitu perawat wajib mempunyai rasa kepedulian pada kesejahteraan

pasien. Dalam menjalankan nilai ini maka dapat dilihat dari pencerminan sikap,

contohnya tekun, penuh kasih sayang,, bekerja keras, dan sabar saat

menghadapi berbagai tindakan.


38

2) Aesthetic, yaitu perawat wajib memberikan kepuasan bagi atasan, lingkungan

sekitar, dan pasien. Dalam menjalankan nilai ini maka dapat dilihat dari

pencerminan sikap, seperti kreatif serta berintegritas.

3) Human dignity yaitu sikap perawat harus menghargai martabat dari pasien

sebagai makhluk ciptaan tuhan.

4) Equality yaitu antara perawat satu dengan yang lain mempunyai kedudukan

hak serta status yang sama.

5) Kebebasan yaitu dalam menerapkan nilai ini sikap perawat bisa berupa adanya

rasa mandiri dan rasa percaya diri.

6) Justice yaitu perawat harus selalu menjaga prinsip-prinsip pada etik dan legal.

7) Truth yaitu kesesuaian antara fakta serta realitas. Sikap yang dicerminkan oleh

seorang perawat saat menerapkan nilai ini adalah jujur dan rasional.

2.3.10 Peran Perawat dalam Kolaborasi Interprofesi

Menurut penelitian dari Anggarawati & Sari (2016), peran perawat

didalam kolaborasi interprofesi antara lain:

1. Perawat bisa menciptakan rasa saling menghargai, saling menghormati serta

kasih sayang sehingga pasien nantinya akan terlaksana dengan baik

2. Perawat bisa memberikan layanan kesehatan terhadap pasien

3. Perawat harus memberikan asuhan keperawatan dengan baik serta sesuai dan

harus memperhatikan Standar Prosedur Operasional (SPO)

4. Perawat dapat memberikan informasi mengenai masalah yang dihadapi pasien.

5. Perawat perlu melakukan diskusi dengan tenaga kesehatan lainnya mengenai

penyakit yang diderita pasien.


39

Sedangkan menurut Yudi, dkk (2019) bahwa peran perawat dalam kolaborasi

interprofesi antara lain:

1. Ketika mendapatkan penemuan penting mengenai masalah yang dihadapi

pasien, perawat berhak untuk berdiskusi secara langsung kepada tenaga

kesehatan lain untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seperti

ketika terlihat adanya perubahan tanda-tanda vital pada pasien serta terapi obat

tambahan yang dibutuhkan oleh pasien.

2. Perawat juga akan langsung menuliskan pada rekam medis pasien mengenai

temuan masalah pada pasien supaya tim kesehatan lain dapat melihat ataupun

mengetahui tentang apa yang terjadi pada pasien.

3. Ketika perawat mengelola pasien, maka perawat akan melakukan observasi

pada kondisi pasien tiap jam.

4. Perawat juga perlu melakukan diskusi dengan tenaga kesehatan lain mengenai

penyakit yang diderita oleh pasien.


40

2.3.11 Model atau Pola Praktik Kolaborasi Interprofesi

National America Joint Practice Commission (NJPC) didalam Sirgler &

Whitney (2000) mengidentifikasi 3 model ataupun pola dari praktik kolaborasi

antara lain model praktik hirarkis tipe 1, model praktik kolaborasi tipe 2, serta

model praktik kolaborasi tipe 3.

1. Pada model praktik hirarki tipe 1 yang paling dominan yaitu dokter sehingga

kontak langsung akan terbatas antara pasien dengan dokter serta pemusatan

komunikasi hanya menggunakan satu arah

. Dokter

Registered Nurse

Pasien

Gambar 2.1 Model Praktik Hirarkis Tipe 1 Burchell, R.C., Thomas D.A., dan
Smith H.L. (1983) dalam Siegler & Whitney (2000)
41

2. Pada model praktik kolaborasi tipe 2, posisi utama dokter sehingga hubungan

antara dokter dengan pasien terbatas, bisa melakukan komunikasi dengan dua

arah.

Dokter

Perawat Pemberi pelayanan


lain

Pasien

Gambar 2.2 Model Praktik Kolaborasi Tipe 2 Burchell, R.C., Thomas D.A.,
dan Smith H.L. (1983) dalam Siegler & Whitney (2000)

3. Pada model praktik kolaborasi tipe 3, tidak ada yang saling mendominasi

semua tenaga kesehatan, dapat bekerjasama dengan pasien, komunikasi dapat

menggunakan semua arah.

Dokter Perawat

Pasien
42

Pemberi pelayanan
lain

Gambar 2.3 Model Praktik Kolaborasi Tipe 3 Burchell, R.C., Thomas D.A., dan
Smith H.L. (1983) dalam Siegler & Whitney (2000)

2.4 Kerangka Konseptual

Gambar 2.4.1 kerangka konseptual gaya kepemimpinan dan kolaborasi


perawat dokter

Eelemen-elemen Kolaborasi:

1. Kerjasama
2. Saling mendengarkan
3. Bertanggung jawab
4. Komunikasi
5. Pemberian pertolongan
6. Kewenangan
Gaya Kolaborasi
7. Koordinasi Kepemimpinan: Dokter dan
8. Tujuan umum Otoriter Perawat (YI)
Demokratis
Laissez-Faire Pada lembar
Sumber: Suharno (2019)
format Catatan
perkembangan
pasien terintegrasi
Faktor yang mempengaruhi Sumber:McEachen “Konsul SBAR”
kepemimpinan: , Irene 2018

1. Kepribadian
2. Harapan dan perilaku
pemimpin terhadap
karyawan
3. Karakteristik pimpinan
4. Kebutuhan akan tugas yang
memepengaruhi gaya
Gambarkepemimpinan
2.5:
5. Iklim dan kebijakan
organisasi
6. Harapan dan perilaku rekan
kerj
Sumber:Teori Joseph Reitz dalam
Rahayu (2017)
43

Keteranagan :

Tidak Diteliti:

Diteliti:

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarakan pada kerangka konseptual yang telah diidentifikasi diatas maka

hipotesis yang disimpulkan adalah:

H1: Ada pengaruh Indikator kolaborasi interprofesi (X1) dengan Gaya

kepemimpinan (otoriter,demokratis, laissez-Faire) kepala ruangan terhadap

kolaborasi perawat-dokter.

Anda mungkin juga menyukai