Bertanya Pada Pakar Kenapa Presiden Indonesia Ham
Bertanya Pada Pakar Kenapa Presiden Indonesia Ham
Politik
30.9.22
Hei, tapi kan UU juga enggak mengatur bahwa presiden Indonesia otomatis
lengser dari kekuasaan kalau berkunjung ke Kediri (ini mitos masih populer
banget). Juga tidak ada satu pun UU yang menyatakan orang kelahiran bulan
Juni lebih berpotensi jadi presiden di Indonesia (meski realitanya demikian)
ketimbang orang yang lahir di bulan-bulan lain.
IKLAN
Satu yang harus disepakati perkara presiden yang pasti orang Jawa
berdasarkan kesimpulan orang-orang setelah mengamati tren presiden
Indonesia 70 tahun terakhir. Menurut konsensus, hanya B.J. Habibie
presiden Indonesia yang terhitung non-Jawa. Analisis macam ini toh diamini
juga oleh Luhut Binsar Panjaitan, tokoh penting yang menjabat berbagai
posisi dalam pemerintahan Joko Widodo.
Hal semacam ini tidak eksklusif di Indonesia. Negara tetangga Malaysia juga
dihinggapi pola serupa, yakni hanya memilih orang Melayu sebagai perdana
menteri. Kembali ke Indonesia, Developing Countries Studies Center (DCSC)
bilang, keyakinan ini juga dipicu kenyataan bahwa sepanjang sejarah politik
Indonesia, banyak figur bersuku Jawa yang menjadi pemimpin di kelompok-
kelompok dominan, baik yang alirannya nasionalis, agamis, maupun
komunis.
31.5.21
IKLAN
Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku menghubungi R.B. Abdul Gaffar
Karim, peneliti politik yang juga dosen di Departemen Politik dan
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Kepadanya, aku cukup mengajukan
dua pertanyaan yang dijawab dengan sangat lengkap. Ini obrolan kami.
Abdul Gaffar Karim: Pernyataan LBP itu bisa multi-dimensi. Di satu sisi, hal
itu bisa saja merupakan klaim kelompok mayoritas atas hak khusus mereka
dalam sebuah masyarakat. Klaim itu biasanya tidak dikatakan secara verbal
oleh kelompok mayoritas, tapi mereka melakukan apa pun secara kolektif
untuk memastikan kelompoknya berkuasa.
IKLAN
Untuk beberapa kasus masyarakat modern,
Satire
nasionalisme lama kadang bertarung dengan
Panduan
nasionalisme baru. Kasus Indonesia adalah contoh
Bertahan
menarik. Di negeri Indonesia ini, ada nasionalisme Hidup Andai
Indonesia
baru yang dibangun sejak awal abad ke-20, dan
Betulan Jadi
mencapai puncak peluangnya di akhir PD II. Orde Baru
Nasionalisme baru ini menghasilkan konsepsi Versi 4.0
ADI RENALDI
keindonesiaan yang berada di atas nasionalisme lama
27.9.19
[seperti, kejawaan, kesundaan, dll). Indonesia adalah
new-nation yang merupakan gabungan sejumlah old-
nation, yang sekarang cuma kita sebut sebagai “etnis” atau “suku-bangsa”.
Identitas nation-nation lama itu kompetitif satu sama lain. Kejawaan yang
merupakan mayoritas, adalah pemenang, dan akan mempertahankan hak
untuk menjadi pemenang.
IKLAN
Jadi, kenyataan sejarah mengonfirmasi klaim bahwa presiden Indonesia
adalah Jawa. Politik elit maupun politik elektoral membuktikan hal itu.
Yang bisa memungkinkan hal itu ada dua hal: ideologi dan program sang
kandidat. Memang, sekali lagi, tampaknya pemilih kita masih cenderung
sosiologis. Sebagian besar mereka juga transaksional [ada isu politik uang
yang masih santer]. Tapi dengan edukasi politik yang kuat, serta kandidat
dengan pijakan ideologi yang tegas serta programatika yang hebat, bisa saja
kandidat yang Islam non-Jawa memenangkan pilpres.
IKLAN
Aku segera membandingkannya dengan data demografi Indonesia. Pertama,
menurut Sensus Penduduk 2020, sebanyak 56,10 persen penduduk
Indonesia tinggal di Jawa. Ya bukan berarti mereka semuanya suku Jawa sih.
Sayangnya, tahun 2010 adalah terakhir kali BPS menyediakan data populasi
menurut suku.
Menurut data tersebut, suku Jawa adalah suku terbesar di Indonesia dengan
jumlah mencapai 40,05 persen populasi total. Jurang antara jumlah orang
Jawa dan orang Sunda (yang merupakan suku terbesar kedua) bahkan
lumayan besar, yakni 40,05 persen vs 15,50 persen. Suku-suku lainnya
masing-masing malah cuma 5 persen dari populasi.
Kedua, dan ini bukan pengetahuan baru, Islam adalah agama mayoritas.
Persentase pemeluk agama di Indonesia jika diurut dari besar ke kecil, yakni:
Islam 87 persen, Kristen 7,5 persen, Katolik 3,1 persen, Hindu 1,7 persen,
Buddha 0,75 persen, dan Konghucu 0,27 persen.
Konon angka tak pernah berbohong. Gaffar sempat menyatakan jika pun
pakem Jawa-Islam-abangan terhenti, tokoh Islam non-Jawa tetap lebih
berpeluang menang ketimbang tokoh Jawa non-Islam. Ya tak lain karena di
atas kertas, orang Islam jumlahnya lebih banyak. Apakah ini indikasi menjadi
minoritas agama di Indonesia akan terasa lebih berat daripada menjadi
minoritas suku/etnis? Mungkin saja….
IKLAN
Kini kita sudah cukup paham apa yang melatarbelakangi keyakinan presiden
Indonesia mestilah orang Jawa. Walau, yah, masih saja ada pertanyaan
tersisa. Ini sebenarnya problem klasik ketika kita memaksa bikin label:
emang gimana sih cara orang menentukan kesukuan seseorang?
Jika Sukarno saja bimbang untuk dikatakan sebagai “orang Jawa”, Megawati
mestinya lebih sulit dilabeli karena ibunya orang Melayu-Bengkulu. Gus Dur
pun demikian, mengingat ia pernah mengaku punya darah etnis Tionghoa.
11.1.22
Tantangan di level candidacy ini yang tampaknya bikin
suara perempuan tak terlihat. Sejak Sensus Penduduk
2010, jumlah penduduk perempuan dan laki-laki nyaris seimbang, yakni 119
juta laki-laki dan 118 juta perempuan. Tapi hingga berbagai lembaga survei
merilis calon kuat capres 2024, tetap tidak ada calon perempuan yang cukup
unggul.
So, Aidit was right. Jawa adalah kunci. (Kami tak bisa memastikan D.N. Aidit
beneran mengucapkan kata-kata itu, tetapi momennya pas sih.)
Memenangkan Jawa artinya memenangkan Indonesia karena Jawa adalah
basis penduduk dan kapital. Dan Jawa bisa berubah.
Kalau aku jadi respondennya, jawabanku juga bakal sama sih. Jawa atau non-
Jawa sebetulnya sudah enggak relevan. Yang kubutuhkan adalah pemimpin
yang bisa bikin hidup kita sebagai WNI enggak jadi insecure terus.
MORE
FROM VICE
Revisi KUHP
7.7.22
Perlindungan Perempuan
15.6.22
Korupsi
6.9.22
Konten Viral
10.6.22
Politik Internasional
13.4.22
LGBTQ di Indonesia
11.5.22
YOU
MAY LIKE
Innovating With the Cloud
ADVERTISEMENT: THE WALL STREET JOURNAL
Prices of Used American Cars Could Surprise You
ADVERTISEMENT: USED AMERICAN CARS | SPONSORED LISTINGS
Free Quiz: Find Out How Much You Could Earn After
an MBA
ADVERTISEMENT: MBA.COM
RITUAL NGLANGSE ATAU PEMASANGAN KAIN MORI DI SALAH SATU POHON DI TEPI KALI GOWANG OLEH KOMUNITAS RESAN
GUNUNGKIDUL. SEMUA FOTO OLEH ALFIAN WIDI.
Lingkungan
Oleh Titah AW
7.4.22
“Ngeyub mriki mbak, panas niku mboten wonten wite,” (Berteduh di sini
mbak, di situ panas tidak ada pohonnya).
IKLAN
Ritual nglangse ini adalah bagian dari kegiatan penanaman pohon yang
diinisiasi komunitas konservasi Resan Gunungkidul di Kali Gowang dan
Petilasan Gunung Bagus, Kapanewon (setara kecamatan) Paliyan,
Gunungkidul pada 20 Maret 2022 lalu. Hari itu, dua pohon besar di tepi
sungai dipasangi langse.
IKLAN
Pohon resan biasa ditemui dalam wujud pohon-pohon raksasa yang tumbuh
dekat mata air, sungai, telaga, atau sumber air lainnya. Tak semua pohon
termasuk resan, karena kriteria utamanya adalah pohon yang akarnya
mampu mengikat air di tanah. Cirinya adalah pohon yang daunnya
senantiasa hijau sepanjang musim bahkan saat kemarau, dan tanah yang
selalu lembab dan gembur di sekitarnya. Jenis resan ada banyak mulai dari
beringin, trembesi, bambu, jambu alas, gayam, timaha, randhu, asem, bulu,
kepuh, hingga gandhok.
Dan memang demikian adanya. Dari kisah Adam dan Hawa di bawah pohon
buah khuldi, mitos kuno Nordik soal Yggdrasil sang pohon kehidupan
penyangga alam semesta, pencerahan Siddharta Gautama di bawah pohon
Bodhi, hingga Kayon (kaprah disebut ‘gunungan’) wayang dalam budaya Jawa
—semua melibatkan pohon besar.
IKLAN
Sayangnya, saat ini banyak pohon resan berusia ratusan tahun di
Gunungkidul yang mati—karena ditebang, diracun, atau faktor alami. Jika tak
ditangani, matinya pohon-pohon tua bisa berbuntut persoalan gawat,
mengingat Gunungkidul rutin mengalami krisis air bersih.
RITUAL MEMULE LELUHUR DI SITUS BATU GOWANG DI TEPI KALI GOWANG. RITUAL DILAKUKAN SEBELUM MENANAM
POHON.
“Dulu ratusan telaga di sini enggak pernah kering. Airnya dipakai untuk
apapun, minum, mencuci, mengairi sawah. Enggak ada tuh ceritanya simbah
sakit perut minum air telaga, padahal mandiin sapi ya di situ. Sekarang
begitu dibangun telaga buatan, malah kekeringan,” tutur Edi Padmo.
Memanfaatkan musim hujan yang melimpahkan debit air, sejak awal 2022
Resan GK rutin mengadakan agenda penanaman mingguan di lokasi
berbeda. Seminggu sebelum di Paliyan, mereka berkolaborasi bareng
kelompok pemuda lokal menanami tebing Pantai Ngunggap, Gunung Sumilir,
dan Kapanewon lainnya.
IKLAN
Meski masih pagi, matahari sudah terik karena nyaris tak ada pohon besar,
hanya rumput dan semak. Setelah menggali lubang sedalam 50 cm di area-
area tandus, bibit ditanam. Suara tonggeret bersahut-sahutan dengan
rericik air Kali Gowang, jadi tanda sebentar lagi kemarau akan tiba.
”Kalau saja [kearifan lokal] masih dipakai, pasti sumber air dan pohon
dirawat. Sekarang orang terbiasa putar kran PDAM, lupa sama pohon. Cara
pikir instan ini yang membuat kita mengabaikan proses alam,” tandasnya.
IKLAN
AKTIF BEKERJA SAMA DENGAN KELOMPOK PEMUDA, KOMUNITAS RESAN GK MENANAM BIBIT RESAN HAMPIR TIAP
MINGGU DI LOKASI BERBEDA.
Dengan geram Edi bercerita bahwa tak sedikit tuk (mata air) yang malah
dijadikan tempat buang sampah atau dikubur. “Sekarang secara teknologi
kita naik, tapi justru secara rasa kita turun. Terhadap apapun, menghargai
apapun, orang lain, termasuk ke alam.”
Kadang tantangan lain dari upaya konservasi ini adalah warga yang memilih
menanam tumbuhan bernilai ekonomi, dibanding mempertahankan resan.
Edi berharap masyarakat tidak selalu terkungkung, seolah konservasi dan
kepentingan ekonomi mustahil beriringan. “Kalau alam rusak, mau bertani
bagaimana? Kalau kekeringan, beli air satu tangki bisa jual kambing satu lho.
Itukan ekonominya terganggu, ” ujarnya.
IKLAN
Farid Stevy, seniman dan musisi yang bergabung dengan Resan GK sejak
2020, berbagi cerita senada. “Aku cari ke banyak tempat, ternyata di
menanam pohon ini aku menemukan makna. Menanam pohon itu hal baik,
tidak ada keragukan seperti di kegiatanku yang lain. Aku menemukan spirit
fundamental, dekat dengan alam, aku merasa pulang,” ujarnya. Memakai
surjan lurik dan kain batik, ia nampak sama sekali berbeda dari penampilan
biasanya di atas panggung.
Jika sedang tak menanam, mereka biasanya melakukan gali sumber air,
pembibitan mandiri di 17 tempat, ziarah leluhur, juga wedangan (nongkrong)
bersama. Baru-baru ini, mereka berhasil menghidupkan kembali sumber air
Komplet di Kapanewon Playen. Sumber itu mereka gali Februari lalu setelah
konon rusak dan kering sejak gempa besar Yogyakarta 2006. Tepat 35 hari
setelah digali dan didoakan, air bening memancar dari sela-sela akar pohon
dan dinding batu kolam.
IKLAN
Di lain sisi, strategi konservasi berbasis kearifan lokal ini patut dicoba
komunitas di daerah lain. Merujuk laporan terbaru Intergovermental Panel
on Climate Change (IPCC), manusia nyaris kehabisan waktu untuk sekedar
menunda kenaikan suhu 1,5 celcius dan kenaikan permukaan air laut. Jika
skenario itu terwujud, akan berdampak katastrofik ke seluruh dunia.
Kegiatan Resan GK mengingatkan saya bahwa krisis iklim secara global tak
hanya disebabkan rusaknya alam oleh faktor yang “kelihatan” seperti
eksploitasi dan pembangunan tak konstektual oleh manusia, tapi juga oleh
faktor yang lebih subtil. Relasi manusia dan alam yang selama berabad-abad
telah mengalami pendangkalan. Berbagai ritual dan laku dari kearifan lokal,
yang bisa disebut panduan “teknis” relasi manusia dan alam, tak lagi
diamalkan.
“Kalau dulu pohon-pohon resan secara alami menjaga kita, sekarang karena
banyak ancaman, simbah-simbah ini harus kita jaga. Dengan kita jaga
mereka, mereka menjaga kita.”
ADVERTISEMENT
TENTANG
PARTNER
KARIER
CODE OF ETHICS
KEBIJAKAN PRIVASI