Anda di halaman 1dari 28

KOLASE OLEH VICE.

SUMBER FOTO: PRESIDEN SUKARNO (KEYSTONE-FRANCE/GAMMA); PRESIDEN SUHARTO (CORBIS);


PRESIDEN JOKOWI (SEONGJOON CHO/BLOOMBERG) SEMUA FOTO VIA GETTY IMAGES

Politik

Bertanya pada Pakar: Kenapa Presiden


Indonesia Hampir Selalu Orang Jawa?
Jawa, cowok, Islam seakan jadi syarat capres, seperti disampaikan Om Luhut Binsar. Walau kita
sudah punya pemilu yang lebih demokratis, kriteria presiden Indonesia kenapa masih gitu-gitu
aja ya?

Oleh Prima Sulistya

30.9.22

amu cuma perlu nimbrung di tongkrongan bapak-bapak buat


K menyadari bahwa presiden Indonesia itu hampir pasti dan harus orang
Jawa. Menariknya, tak ada satu pun dari 20 syarat mencalonkan diri sebagai
presiden yang diatur UU Pemilu 2017 Pasal 169 menyatakan begitu.

Hei, tapi kan UU juga enggak mengatur bahwa presiden Indonesia otomatis
lengser dari kekuasaan kalau berkunjung ke Kediri (ini mitos masih populer
banget). Juga tidak ada satu pun UU yang menyatakan orang kelahiran bulan
Juni lebih berpotensi jadi presiden di Indonesia (meski realitanya demikian)
ketimbang orang yang lahir di bulan-bulan lain.

IKLAN

Satu yang harus disepakati perkara presiden yang pasti orang Jawa
berdasarkan kesimpulan orang-orang setelah mengamati tren presiden
Indonesia 70 tahun terakhir. Menurut konsensus, hanya B.J. Habibie
presiden Indonesia yang terhitung non-Jawa. Analisis macam ini toh diamini
juga oleh Luhut Binsar Panjaitan, tokoh penting yang menjabat berbagai
posisi dalam pemerintahan Joko Widodo.

Dalam podcast bersama Rocky Gerung, Luhut yang ditanya apakah


berkeinginan menjabat RI-1 menyatakan dengan tegas, “Harus tahu diri juga
lah, kalau kau bukan orang Jawa jangan terus, ini antropologi, kalau anda
bukan orang Jawa, pemilihan langsung hari ini,” urai Luhut. “Saya enggak
tahu [apakah preferensi pemilih berubah] 25 tahun lagi. Udah lupain deh,
enggak usah kita memaksakan diri kita, sakit hati, yang bikin sakit hati kita
kan kita sendiri.”

Hal semacam ini tidak eksklusif di Indonesia. Negara tetangga Malaysia juga
dihinggapi pola serupa, yakni hanya memilih orang Melayu sebagai perdana
menteri. Kembali ke Indonesia, Developing Countries Studies Center (DCSC)
bilang, keyakinan ini juga dipicu kenyataan bahwa sepanjang sejarah politik
Indonesia, banyak figur bersuku Jawa yang menjadi pemimpin di kelompok-
kelompok dominan, baik yang alirannya nasionalis, agamis, maupun
komunis.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa nyaris selalu


Politik
orang Jawa? Terutama setelah pemilu langsung,
Bertanya Pada
apakah faktor kesukuan masih jadi penggugah
Pakar: Emang
konstituen untuk memilih calon yang ini ketimbang Pejabat di
Indonesia
yang itu? Apakah faktor suku berperan membuat SBY
Harus Senurut
dan Jokowi bahkan bisa terpilih dua kali berturut- Itu Sama
Partainya?
turut?
IKHWAN HASTANTO

31.5.21
IKLAN
Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku menghubungi R.B. Abdul Gaffar
Karim, peneliti politik yang juga dosen di Departemen Politik dan
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Kepadanya, aku cukup mengajukan
dua pertanyaan yang dijawab dengan sangat lengkap. Ini obrolan kami.

VICE: Tempo hari santer orang membicarakan pernyataan Luhut


Pandjaitan bahwa presiden Indonesia harus/pasti orang Jawa. Bagaimana
Mas Gaffar melihat kepercayaan ini? Menurut Anda, apa yang menjadi
akar dari kepercayaan ini?

Abdul Gaffar Karim: Pernyataan LBP itu bisa multi-dimensi. Di satu sisi, hal
itu bisa saja merupakan klaim kelompok mayoritas atas hak khusus mereka
dalam sebuah masyarakat. Klaim itu biasanya tidak dikatakan secara verbal
oleh kelompok mayoritas, tapi mereka melakukan apa pun secara kolektif
untuk memastikan kelompoknya berkuasa.

Ini fenomena umum. Di Indonesia, kelompok dominan adalah Jawa-Islam-


abangan [kalau kita ikuti trikotomi ala Geertz, santri-abangan-priyayi]. Di
Malaysia, Melayu. Di Amerika Serikat, ada WASP [White, Anglo-Saxon,
Protestant].

Dalam bukunya yang berjudul Identity (2018), peneliti politik Francis


Fukuyama menulis tentang “the demand for dignity”. Menurut dia, semua
orang membutuhkan pengakuan atas dignity [martabat]. Ini adalah sesuatu
yang sulit dipenuhi oleh demokrasi liberal. Itu sebabnya, kata Fukuyama,
nasionalisme dan agama akan tetap dibutuhkan untuk menjadi basis
identitas, yang memudahkan pemuasan atas dahaga akan dignity itu.

IKLAN
Untuk beberapa kasus masyarakat modern,
Satire
nasionalisme lama kadang bertarung dengan
Panduan
nasionalisme baru. Kasus Indonesia adalah contoh
Bertahan
menarik. Di negeri Indonesia ini, ada nasionalisme Hidup Andai
Indonesia
baru yang dibangun sejak awal abad ke-20, dan
Betulan Jadi
mencapai puncak peluangnya di akhir PD II. Orde Baru
Nasionalisme baru ini menghasilkan konsepsi Versi 4.0
ADI RENALDI
keindonesiaan yang berada di atas nasionalisme lama
27.9.19
[seperti, kejawaan, kesundaan, dll). Indonesia adalah
new-nation yang merupakan gabungan sejumlah old-
nation, yang sekarang cuma kita sebut sebagai “etnis” atau “suku-bangsa”.
Identitas nation-nation lama itu kompetitif satu sama lain. Kejawaan yang
merupakan mayoritas, adalah pemenang, dan akan mempertahankan hak
untuk menjadi pemenang.

Saya rasa, itulah basis utama klaim bahwa kepemimpinan new-nation


bernama Indonesia itu harus berada di tangan orang-orang yang berlatar-
belakang old-nation Jawa.

Meninggalkan Kehidupan Kota Sehari Untuk Menjadi Penjaga Hutan


Itu di satu sisi. Di sisi lain, pernyataan LBP itu punya cukup bukti empirik
yang kuat juga. Kenyataannya memang presiden Indonesia cenderung
adalah Jawa dan Islam-abangan. Dua perkecualian yang tidak menyandang
double-majority itu adalah B.J. Habibie dan Gus Dur. BJH adalah “santri” dan
non-Jawa, sementara GD adalah Jawa dan santri. Keduanya berkuasa dalam
interregnum yang singkat.

Ketika presiden dipilih langsung sejak tahun 2004, kenyataannya para


pemenang juga selalu Jawa dan Islam-abangan. Di sini ada penjelasan lain
dari teori perilaku memilih. Tampaknya, sebagian besar pemilih kita adalah
pemilih sosiologis, yang mendasarkan pilihannya pada kesamaan identitas
kandidat dengan dirinya. Dengan mayoritas pemilih yang berlatar belakang
suku-bangsa Jawa dan beragama Islam [asumsinya Islam-abangan], maka
kandidat seperti SBY dan Jokowi tampak paling sesuai bagi banyak orang.

IKLAN
Jadi, kenyataan sejarah mengonfirmasi klaim bahwa presiden Indonesia
adalah Jawa. Politik elit maupun politik elektoral membuktikan hal itu.

Mungkinkah tren/kepercayaan ini dibongkar? Jika ya, apa saja syaratnya?

Menurut saya, politik elektoral punya peluang untuk


Politik Internasional
membuktikan bahwa presiden Indonesia tidak harus
Kembali
Jawa dan Islam. Presiden Indonesia bisa tidak double- Berkuasanya
majority [Jawa sekaligus Islam-abangan]. Pilpres bisa Dinasti Marcos
di Filipina
saja menghasilkan presiden yang menyandang salah Bukti Bahaya
satu identitas saja. Dia bisa Islam tapi non-Jawa [ini Disinformasi
Sejarah
kemungkinannya bisa cukup besar] atau Jawa tapi
JC GOTINGA
non-Islam [ini sangat kecil kemungkinannya]. Di
11.5.22
Amerika, sudah ada beberapa presiden yang tidak
“lengkap” sebagai WASP. Kennedy itu White tapi
Katolik, sama seperti Biden. Obama Black tapi Kristen Protestan.

Yang bisa memungkinkan hal itu ada dua hal: ideologi dan program sang
kandidat. Memang, sekali lagi, tampaknya pemilih kita masih cenderung
sosiologis. Sebagian besar mereka juga transaksional [ada isu politik uang
yang masih santer]. Tapi dengan edukasi politik yang kuat, serta kandidat
dengan pijakan ideologi yang tegas serta programatika yang hebat, bisa saja
kandidat yang Islam non-Jawa memenangkan pilpres.

Semoga aku tak salah menyimpulkan: penyebab presiden Indonesia hampir


selalu Jawa tak lain karena itulah wajah mayoritas penduduk Indonesia. Atau
persisnya lagi, menurut pemaparan Gaffar, yang disukai adalah figur Jawa-
Islam-abangan (cenderung sekuler) karena mencerminkan pemilih dominan.

IKLAN
Aku segera membandingkannya dengan data demografi Indonesia. Pertama,
menurut Sensus Penduduk 2020, sebanyak 56,10 persen penduduk
Indonesia tinggal di Jawa. Ya bukan berarti mereka semuanya suku Jawa sih.
Sayangnya, tahun 2010 adalah terakhir kali BPS menyediakan data populasi
menurut suku.

Menurut data tersebut, suku Jawa adalah suku terbesar di Indonesia dengan
jumlah mencapai 40,05 persen populasi total. Jurang antara jumlah orang
Jawa dan orang Sunda (yang merupakan suku terbesar kedua) bahkan
lumayan besar, yakni 40,05 persen vs 15,50 persen. Suku-suku lainnya
masing-masing malah cuma 5 persen dari populasi.

Kedua, dan ini bukan pengetahuan baru, Islam adalah agama mayoritas.
Persentase pemeluk agama di Indonesia jika diurut dari besar ke kecil, yakni:
Islam 87 persen, Kristen 7,5 persen, Katolik 3,1 persen, Hindu 1,7 persen,
Buddha 0,75 persen, dan Konghucu 0,27 persen.

Oh ya, selain fakta 87 persen penduduk Indonesia memeluk Islam, sebagian


besar pemeluk Islam ini juga menghuni Jawa. Pemeluk Islam paling banyak
tinggal di Jawa Barat, kemudian Jawa Timur, lalu Jawa Tengah.

Konon angka tak pernah berbohong. Gaffar sempat menyatakan jika pun
pakem Jawa-Islam-abangan terhenti, tokoh Islam non-Jawa tetap lebih
berpeluang menang ketimbang tokoh Jawa non-Islam. Ya tak lain karena di
atas kertas, orang Islam jumlahnya lebih banyak. Apakah ini indikasi menjadi
minoritas agama di Indonesia akan terasa lebih berat daripada menjadi
minoritas suku/etnis? Mungkin saja….
IKLAN

Kini kita sudah cukup paham apa yang melatarbelakangi keyakinan presiden
Indonesia mestilah orang Jawa. Walau, yah, masih saja ada pertanyaan
tersisa. Ini sebenarnya problem klasik ketika kita memaksa bikin label:
emang gimana sih cara orang menentukan kesukuan seseorang?

Umumnya khalayak menelusuri kesukuan lewat darah. Alhasil Habibie


dianggap bersuku Bugis karena bapaknya orang Bugis Gorontalo.
Masalahnya, ibu Habibie kan bersuku Jawa, bahkan punya gelar raden ayu.
Sementara Sukarno dianggap Jawa meskipun bapaknya Jawa dan ibunya
orang Bali.

Jika Sukarno saja bimbang untuk dikatakan sebagai “orang Jawa”, Megawati
mestinya lebih sulit dilabeli karena ibunya orang Melayu-Bengkulu. Gus Dur
pun demikian, mengingat ia pernah mengaku punya darah etnis Tionghoa.

Kalau melihat situasi politik sekarang, sulit memang


Politik
membayangkan presiden Indonesia yang lebih variatif.
Kami Minta
Selain adanya tantangan berupa sosiologi konstituen, Digital
sebenarnya ada tantangan yang lebih awal dan aku Marketer
Mereview
yakini lebih berat: yakni memenangkan bursa
Joget TikTok
pencalonan di level partai. Kegaduhan “Puan vs Ganjar” 'Politisi
Milenial'
contoh terangnya. Belum lagi soal modal politik dan
Indonesia
finansial. IKHWAN HASTANTO

11.1.22
Tantangan di level candidacy ini yang tampaknya bikin
suara perempuan tak terlihat. Sejak Sensus Penduduk
2010, jumlah penduduk perempuan dan laki-laki nyaris seimbang, yakni 119
juta laki-laki dan 118 juta perempuan. Tapi hingga berbagai lembaga survei
merilis calon kuat capres 2024, tetap tidak ada calon perempuan yang cukup
unggul.

So, Aidit was right. Jawa adalah kunci. (Kami tak bisa memastikan D.N. Aidit
beneran mengucapkan kata-kata itu, tetapi momennya pas sih.)
Memenangkan Jawa artinya memenangkan Indonesia karena Jawa adalah
basis penduduk dan kapital. Dan Jawa bisa berubah.

Survei DCSC Indonesia mendapati, 73,3 persen responden mereka


menganggap faktor kesukuan capres tidak begitu penting. Lalu April tahun
ini, survei Populi Center mendapati 68,4 persen responden mereka oke-oke
saja jika presiden mereka berasal dari suku di luar Jawa.

Kalau aku jadi respondennya, jawabanku juga bakal sama sih. Jawa atau non-
Jawa sebetulnya sudah enggak relevan. Yang kubutuhkan adalah pemimpin
yang bisa bikin hidup kita sebagai WNI enggak jadi insecure terus.

TAGGED: INDONESIA,DEMOKRASI,JAWA,BERTANYA PADA PAKAR,PEMILU,OPINI,LUHUT PANJAITAN,CALON PRESIDEN

MORE
FROM VICE
Revisi KUHP

RUU KUHP 'Draf 4 Juli' Beredar, Ada Pasal-Pasal Bermasalah


Mengancam Hak Kita
IKHWAN HASTANTO

7.7.22
Perlindungan Perempuan

Rangkuman 7 Poin Progresif RUU KIA, Cuti Melahirkan Bisa Sampai


6 Bulan
PRIMA SULISTYA

15.6.22

Korupsi

Pegawai Bawaslu di Depok Tilap APBD Rp1,1 Miliar, Termasuk untuk


Dugem
IKHWAN HASTANTO

6.9.22

Konten Viral

Pemilik Restoran yang Viral Karena Jual Masakan Padang Non-


Halal Dipanggil Polisi
IKHWAN HASTANTO

10.6.22

Politik Internasional

Partai-partai Indonesia Ternyata Menjalin Kerja Sama dengan


Partai Komunis Cina
MUHAMMAD ZULFIKAR RAKHMAT

13.4.22

LGBTQ di Indonesia

Mahfud MD Tegaskan Hukum Indonesia Tidak Melarang Eksistensi


Warga LGBTQ
VICE STAFF

11.5.22

YOU
MAY LIKE
Innovating With the Cloud
ADVERTISEMENT: THE WALL STREET JOURNAL
Prices of Used American Cars Could Surprise You
ADVERTISEMENT: USED AMERICAN CARS | SPONSORED LISTINGS

Find the right probiotic for you. Take this quiz!


ADVERTISEMENT: OMBRE

Free Quiz: Find Out How Much You Could Earn After
an MBA
ADVERTISEMENT: MBA.COM
RITUAL NGLANGSE ATAU PEMASANGAN KAIN MORI DI SALAH SATU POHON DI TEPI KALI GOWANG OLEH KOMUNITAS RESAN
GUNUNGKIDUL. SEMUA FOTO OLEH ALFIAN WIDI.

Lingkungan

Komunitas Dicap 'Penyembah Pohon' Aktif


Selamatkan Gunungkidul dari Kekeringan
Kelompok Resan Gunungkidul di DIY tak hanya rutin menanam pohon dan menjaga mata air.
Mereka turut melakukan ritual konservasi berbasis kearifan lokal, meski kadang dicap 'merawat
setan'.

Oleh Titah AW

AW Foto Oleh Alfian Widiantono

7.4.22

“Ngeyub mriki mbak, panas niku mboten wonten wite,” (Berteduh di sini
mbak, di situ panas tidak ada pohonnya).

Merasa kasihan melihat saya berdiri terpanggang terik matahari


Gunungkidul siang itu, seorang laki-laki menawari berteduh di naungan
pohon besar. Hanya ada beberapa pohon di tepi Kali Gowang, pohon ini
salah satunya. Dari dekat baru kita sadari bila pohon tersebut sesungguhnya
terdiri atas tiga pohon berbeda saling menjalin jadi satu: beringin, gandhok,
hampelas. Meski tumbuh di tanah miring, akar tunggangnya mencengkeram
hingga ke permukaan, membuatnya kokoh. Pohon raksasa ini, nanti kalian
akan pahami, merupakan salah satu jawaban terbaik umat manusia
menghadapi perubahan iklim.

IKLAN

Di sekeliling batangnya, lima orang berpakaian tradisional Jawa


merentangkan tangan. Selembar kain mori putih dioper dengan arah
melawan jarum jam, sampai membungkus lingkar batang pohon, lalu diikat.
Lilitan kain itu disebut Langse. Seperti adat saput poleng di Bali, ritual unik
di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilakukan demi memuliakan pohon besar
yang dianggap sakral masyarakat setempat.

Ritual nglangse ini adalah bagian dari kegiatan penanaman pohon yang
diinisiasi komunitas konservasi Resan Gunungkidul di Kali Gowang dan
Petilasan Gunung Bagus, Kapanewon (setara kecamatan) Paliyan,
Gunungkidul pada 20 Maret 2022 lalu. Hari itu, dua pohon besar di tepi
sungai dipasangi langse.

Sebelumnya, dilakukan juga ritual memule leluhur di beberapa situs di


sekitar Kali Gowang. Layaknya ziarah leluhur, dilakukan penghaturan sesaji,
membakar dupa-menyan, dan doa. Setelah rangkaian ritual dilakukan, bibit
pohon ditanam di tanah.

“Selain pangeling-eling [pengingat ajaran] leluhur, ini sebagai bentuk kula


nuwun ke penunggu tempat yang tidak terlihat. Bahwa kita mau nanam
pohon, titip anak pohon ke ibu bumi di sini supaya dijaga dan tumbuh,” ujar
Sigit Nurwanto, dalang muda anggota Resan GK yang selalu bertugas
memimpin ritual-ritual mereka.
SIGIT NURWANTO MEMIMPIN RITUAL MEMULE LELUHUR DI PETILASAN JAKA TARUB, GUNUNGKIDUL, MENGAWALI
AGENDA PENANAMAN POHON.

Berbagai ritual dan pengamalan kearifan lokal membedakan komunitas


Resan GK dan gerakan konservasi lingkungan lain. Resan GK aktif menanam
dan merawat pohon-pohon besar, juga memelihara mata air, meneladani
nama komunitas yang mereka emban. Istilah resan berasal dari bahasa Jawa
Kawi reksa (menjaga) dan wreksa (pohon besar). Kata ini dipakai atas
pemaknaan mereka terhadap pohon sebagai entitas penjaga mata air,
penjaga tanah, dan pada akhirnya penjaga kehidupan seluruh makhluk.

IKLAN
Pohon resan biasa ditemui dalam wujud pohon-pohon raksasa yang tumbuh
dekat mata air, sungai, telaga, atau sumber air lainnya. Tak semua pohon
termasuk resan, karena kriteria utamanya adalah pohon yang akarnya
mampu mengikat air di tanah. Cirinya adalah pohon yang daunnya
senantiasa hijau sepanjang musim bahkan saat kemarau, dan tanah yang
selalu lembab dan gembur di sekitarnya. Jenis resan ada banyak mulai dari
beringin, trembesi, bambu, jambu alas, gayam, timaha, randhu, asem, bulu,
kepuh, hingga gandhok.

Pohon dan sumber air ini, selain mempunyai fungsi


Kedaulatan Pangan
ekologis, juga punya nilai spiritual di masyarakat.
Sebuah
Karena itu kegiatan Resan GK tak sekedar bertujuan Sekolah di
memperbanyak pohon, lebih tepatnya mengembalikan Gunungkidul
Mengajarkan
relasi manusia dan pohon, sekaligus alam, dalam
Taktik
tataran subtil. Bertahan dari
Bencana Iklim
dan Pangan
“Menanam adalah budaya yang sangat tua, sebab dari
TITAH AW
dulu manusia hidup dari apa-apa yang tumbuh di 5.3.20

bumi. Hampir semua mitos dan sejarah peradaban


bermula dari pohon. Pohon itu saudara tua manusia,”
ujar Edi Padmo, anggota dan inisiator Resan GK.

Dan memang demikian adanya. Dari kisah Adam dan Hawa di bawah pohon
buah khuldi, mitos kuno Nordik soal Yggdrasil sang pohon kehidupan
penyangga alam semesta, pencerahan Siddharta Gautama di bawah pohon
Bodhi, hingga Kayon (kaprah disebut ‘gunungan’) wayang dalam budaya Jawa
—semua melibatkan pohon besar.

IKLAN
Sayangnya, saat ini banyak pohon resan berusia ratusan tahun di
Gunungkidul yang mati—karena ditebang, diracun, atau faktor alami. Jika tak
ditangani, matinya pohon-pohon tua bisa berbuntut persoalan gawat,
mengingat Gunungkidul rutin mengalami krisis air bersih.

RITUAL MEMULE LELUHUR DI SITUS BATU GOWANG DI TEPI KALI GOWANG. RITUAL DILAKUKAN SEBELUM MENANAM
POHON.

Dilansir dari KR Jogja, pada 2021 lalu Pemkab Gunungkidul mengumumkan


status siaga darurat kekeringan di 16 dari 18 kapanewon di sana. Lebih dari
100 ribu orang terpaksa menunggu kiriman tangki air bersih dari desa, atau
membeli sendiri dengan harga mahal. Berbagai upaya telah dijajal, termasuk
membangun telaga buatan, tapi krisis air terus jadi masalah tahunan warga.

“Dulu ratusan telaga di sini enggak pernah kering. Airnya dipakai untuk
apapun, minum, mencuci, mengairi sawah. Enggak ada tuh ceritanya simbah
sakit perut minum air telaga, padahal mandiin sapi ya di situ. Sekarang
begitu dibangun telaga buatan, malah kekeringan,” tutur Edi Padmo.

Memanfaatkan musim hujan yang melimpahkan debit air, sejak awal 2022
Resan GK rutin mengadakan agenda penanaman mingguan di lokasi
berbeda. Seminggu sebelum di Paliyan, mereka berkolaborasi bareng
kelompok pemuda lokal menanami tebing Pantai Ngunggap, Gunung Sumilir,
dan Kapanewon lainnya.

IKLAN

Deretan “divisi rombong ijo”—ikonik karena warna hijau mencolok dan


terlihat konvoi di jalan—membawa ratusan bibit dan 50-an peserta
berkumpul di Taman Ki Ageng Giring sejak pagi. Selepas dibuka dengan
ritual, bibit dibawa peserta berjalan sekitar 300 meter turun ke tepi sungai
lalu menyebar ke sepanjang tepian Kali Gowang.

Meski masih pagi, matahari sudah terik karena nyaris tak ada pohon besar,
hanya rumput dan semak. Setelah menggali lubang sedalam 50 cm di area-
area tandus, bibit ditanam. Suara tonggeret bersahut-sahutan dengan
rericik air Kali Gowang, jadi tanda sebentar lagi kemarau akan tiba.

Menurut Edi jika ekosistem terjaga alami, kekeringan


Covering Climate
di Gunungkidul harusnya tak lagi terjadi. Kabupaten Now
Gunungkidul terbagi jadi tiga zona topografi dengan Penduduk
Asia Tenggara
karakter air tanah yang berbeda di tiap zonanya. Zona Diminta
Bersiap
Batur Agung utara yang didominasi tanah latosol Hadapi
Kekeringan
menyimpan banyak mata air seperti sendhang dan tuk.
Parah
Berkepanjang
Zona Ledhoksari tengah mulai banyak mengandung an
MUSTIKA HAPSORO
kapur, sungai di zona ini akan kering di musim
26.4.19
kemarau namun masih banyak mata air memancar.
Zona Gunung Sewu selatan yang berbatasan dengan
laut adalah wilayah karst, banyak aliran sungai bawah
tanah dan telaga alami di sana. Total, upaya konservasi ini berhasil menanam
13 ribu bibit pohon sejak 2018 sampai sekarang.

”Kalau saja [kearifan lokal] masih dipakai, pasti sumber air dan pohon
dirawat. Sekarang orang terbiasa putar kran PDAM, lupa sama pohon. Cara
pikir instan ini yang membuat kita mengabaikan proses alam,” tandasnya.

IKLAN
AKTIF BEKERJA SAMA DENGAN KELOMPOK PEMUDA, KOMUNITAS RESAN GK MENANAM BIBIT RESAN HAMPIR TIAP
MINGGU DI LOKASI BERBEDA.

Dengan geram Edi bercerita bahwa tak sedikit tuk (mata air) yang malah
dijadikan tempat buang sampah atau dikubur. “Sekarang secara teknologi
kita naik, tapi justru secara rasa kita turun. Terhadap apapun, menghargai
apapun, orang lain, termasuk ke alam.”

Kadang tantangan lain dari upaya konservasi ini adalah warga yang memilih
menanam tumbuhan bernilai ekonomi, dibanding mempertahankan resan.
Edi berharap masyarakat tidak selalu terkungkung, seolah konservasi dan
kepentingan ekonomi mustahil beriringan. “Kalau alam rusak, mau bertani
bagaimana? Kalau kekeringan, beli air satu tangki bisa jual kambing satu lho.
Itukan ekonominya terganggu, ” ujarnya.

Tersebab selalu berpakaian tradisional dan melakukan ritual saat menanam,


Resan GK tak jarang menerima komentar “menyembah pohon” atau “ngopeni
dhemit” (merawat setan). Namun mereka tak ambil pusing. Apa yang mereka
lakukan juga bisa dilihat sebagai strategi. “Dulu kepercayaan [klenik]
dipatuhi masyarakat lebih dari undang-undang,” komentar Edi.
Meski teknisnya adalah menanam pohon, yang mendorong Edi Padmo
akhirnya menjalin jejaring Resan GK justru adalah pencarian spiritual. “Saya
menemukan ilmu ikhlas itu di pohon,” ceritanya setelah agenda penananam
di lokasi kedua Petilasan Gunung Bagus selesai. Kami ngobrol di teras
makam, beratap rimbun ranting pepohonan, “Coba, apa sih bagian dari
pohon yang dipakai untuk dirinya sendiri? Tidak ada, semua untuk makhluk
lain. Apalagi akar, kerjanya tidak terlihat, tapi hasilnya banyak sekali.”

IKLAN
Farid Stevy, seniman dan musisi yang bergabung dengan Resan GK sejak
2020, berbagi cerita senada. “Aku cari ke banyak tempat, ternyata di
menanam pohon ini aku menemukan makna. Menanam pohon itu hal baik,
tidak ada keragukan seperti di kegiatanku yang lain. Aku menemukan spirit
fundamental, dekat dengan alam, aku merasa pulang,” ujarnya. Memakai
surjan lurik dan kain batik, ia nampak sama sekali berbeda dari penampilan
biasanya di atas panggung.

Motivasi para anggota berbeda-beda. Mahmudi, kakek satu cucu asli


Gunungkidul, mengaku menanam untuk hidup cucunya kelak. Sementara
Sigit begabung setelah menyaksikan pohon beringin raksasa di depan
rumahnya di Pasar Kawak mati diracun oknum tak bertanggung jawab.

Tahun 2021 lalu, Resan GK melakukan “penyulaman” pohon dengan


menanam bibit baru di tengah batang pohon yang telah mati. “Setelah
melihat teman-teman Resan GK bela rasa di Beringin Pasar Kawak itu, saya
putuskan ikut. Ternyata apa yang mereka dan yang saya lakukan, menuju ke
arah yang sama,” ujar Sigit.

Sebanyak 15 anggota Resan GK berlatar beda-beda, dari mulai petani,


perangkat desa, PNS, guru, pengusaha, hingga seniman. Meski begitu,
mereka punya spirit yang sama: menanam tak sekedar urusan ekologi
semata, tapi juga batin.
BIBIT DIBAWA KOMUNITAS RESAN GK MENYUSURI TEPI KALI GOWANG UNTUK MENEMUKAN SPOT TERBAIK MENANAM
POHON.

Jika sedang tak menanam, mereka biasanya melakukan gali sumber air,
pembibitan mandiri di 17 tempat, ziarah leluhur, juga wedangan (nongkrong)
bersama. Baru-baru ini, mereka berhasil menghidupkan kembali sumber air
Komplet di Kapanewon Playen. Sumber itu mereka gali Februari lalu setelah
konon rusak dan kering sejak gempa besar Yogyakarta 2006. Tepat 35 hari
setelah digali dan didoakan, air bening memancar dari sela-sela akar pohon
dan dinding batu kolam.

IKLAN
Di lain sisi, strategi konservasi berbasis kearifan lokal ini patut dicoba
komunitas di daerah lain. Merujuk laporan terbaru Intergovermental Panel
on Climate Change (IPCC), manusia nyaris kehabisan waktu untuk sekedar
menunda kenaikan suhu 1,5 celcius dan kenaikan permukaan air laut. Jika
skenario itu terwujud, akan berdampak katastrofik ke seluruh dunia.

Kegiatan Resan GK mengingatkan saya bahwa krisis iklim secara global tak
hanya disebabkan rusaknya alam oleh faktor yang “kelihatan” seperti
eksploitasi dan pembangunan tak konstektual oleh manusia, tapi juga oleh
faktor yang lebih subtil. Relasi manusia dan alam yang selama berabad-abad
telah mengalami pendangkalan. Berbagai ritual dan laku dari kearifan lokal,
yang bisa disebut panduan “teknis” relasi manusia dan alam, tak lagi
diamalkan.

Di titik lain, upaya membangun kembali relasi klasik


Konflik Lahan
tersebut seperti diusung Resan GK bisa dengan mudah
Mari Kita
dituding sebagai upaya menghidupkan anismisme-
Rebut Kembali
dinamisme. Kita tahu, cap macam itu berpeluang Lapangan-
Lapangan
membuat seseorang dianggap kolot atau musyrik oleh
Golf, Jadikan
masyarakat modern. Lahan
Produktif
JORDAN PEARSON
Edi Padmo terbahak menanggapi pendapat saya, “Lha
1.3.18
kita kan memang harus menyembah alam. Di Jawa,
alam itu Gusti Allah kang ketok [yang terlihat]. Alam ini
ibu dari semua kehidupan. Seperti ibu yang melahirkan dan merawat kita, ya
harus kita sembah,” tutur Edi.

“Kalau dulu pohon-pohon resan secara alami menjaga kita, sekarang karena
banyak ancaman, simbah-simbah ini harus kita jaga. Dengan kita jaga
mereka, mereka menjaga kita.”

Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di


Instagram
TAGGED: FEATURES,INDONESIA,KERUSAKAN LINGKUNGAN,PERUBAHAN IKLIM,KONSERVASI LINGKUNGAN,
KEARIFAN LOKAL,GUNUNGKIDUL

ADVERTISEMENT
TENTANG

PARTNER

KARIER

CODE OF ETHICS

KEBIJAKAN PRIVASI

© 2022 VICE MEDIA GROUP

Anda mungkin juga menyukai