Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

TAHAP UJI PENGEMBANGAN OBAT BARU

CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH


Mahasiswa mampu merancang metode penelitian menggunakan hewan uji
utuh (in vivo) untuk mengevaluasi efek farmakologi suatu bahan (C4, A3)
(S2, S3, S8, S9, P1, P2, P4, P7, P8, P10, KU1, KU2, KU3, KU4, KU5, KK1,KK4,
KK8)
Mahasiswa mampu merancang metode penelitian secara in vitro untuk
mengevaluasi efek farmakologi suatu bahan (C5, A3) (S2, S3, S8, S9, P1, P2,
P4, P7, P8, P10, KU1, KU2, KU3, KU4, KU5, KK1,KK4, KK8)
CAPAIAN PEMBELAJARAN LULUSAN
C4, C5 A3, S2, S3, S8, S9, P1, P2, P4, P7, P8, P10, KU1, KU2, KU0, KU4, KU5,
KK1, KK4, KK8
TUJUAN PEMBELAJARAN
(SUB-CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH )
Mahasiswa memahami dan mampu mnejelaskan Tahap Uji Pengembangan
Obat Baru
GARIS BESAR MATERI / SUBSTANSI BELAJAR (SUB-BAB)
1. Tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu bahan dapat
digunakan
sebagai obat
2. Uji khasiat
3. Uji keamanan

Proses penemuan suatu obat baru jangan dibayangkan seperti proses


penemuan benda lain misalnya suatu barang elektronik baru. Mengapa?
Proses untuk ditemukannya suatu obat baru memerlukan waktu yang sangat
panjang, dapat dibutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan dapat sampai lintas
generasi. Selain itu dalam proses penemuan obat baru juga dibutuhkan
kontribusi dari para ahli berbagai disiplin ilmu

1
1.1. Tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu bahan dapat
digunakan sebagai obat

Suatu bahan agar dapat digunakan sebagai obat harus memenuhi tiga
persyaratan. Ketiga persyaratan tersebut adalah : berkhasiat, aman dan
memiliki karakteristik. Khasiat suatu bahan bisa berdasarkan informasi
empiris. Informasi empiris merupakan informasi penggunaan bahan tersebut
di masyarakat secara turun temurun. Tentu saja data khasiat suatu bahan
tidaklah cukup hanya mengandalkan informasi empiris. Informasi empiris
tersebut haruslah dibuktikan secara ilmiah.
Jika suatu bahan terbukti secara ilmiah memiliki suatu khasiat, itu pun
belumlah cukup untuk dijadikan suatu obat. Selain berkhasiat, bahan tersebut
juga haruslah aman pada saat digunakan. Dengan kata lain bahan tersebut
tidak menimbulkan efek toksik (keracunan) pada saat digunakan untuk
pengobatan.
Untuk memastikan khasiat dan keamanan suatu bahan, maka harus
ditetapkan dosis yang tepat. Menurut Paracelsus, tidak ada suatu bahan yang
dengan sendirinya bersifat toksik. Sifat toksik suatu bahan ditentukan oleh
dosisnya. Agar suatu bahan memiliki dosis yang jelas, maka bahan tersebut
harus memiliki karakateristik yang jelas. Jika suatu bahan tidak memiliki
karakteristik yang jelas, maka dosisnya pun menjadi tidak jelas dan dengan
sendirinya khasiat dan keamanannya pun menjadi dipertanyakan. Pada buku
ini pembahasan lebih difokuskan pada uji khasiat dan keamanan dari suatu
bahan yang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi suatu obat.
Tahapan riset pengembangan suatu obat baru dimulai dari saat suatu
obat diimpikan oleh sang ahli sampai dengan dipergunakan oleh pasien.

2
Selain itu, penemuan obat baru memerlukan keterlibatan berbagai disiplin
ilmu, meskipun peran sentral dijalankan oleh ahli farmasi. Jika proses
penemuan obat baru diibaratkan suatu aliran sungai, maka ahli farmasi
berperan, dari hulu sampai ke hilir.
Tentu saja peran ahli farmasi di sini tidak dijalankan oleh satu individu
seluruhnya. Bidang farmasi terdiri dari empat pilar (bidang kajian) yaitu
farmasi bahan alam, farmakologi dan toksikologi, farmakokimia dan
farmaseutika. Farmasi bahan alam mempelajari sumber bahan obat (dari
alam). Farmakologi dan toksikologi mempelajari khasiat dan keamanan bahan
obat. Farmakokimia mempelajari penetapan karakteristik bahan obat.
Farmaseutika mempelajari aspek optimasi yaitu pengembangan bentuk
sediaan obat.
Selanjutnya yang tidak boleh diabaikan adalah peran dokter. Peran
dokter sangat menentukan agar suatu “calon obat” dapat digunakan pada
manusia. Dalam tahap uji pengembangan suatu obat baru para dokter sangat
berperan dalam tahap uji coba ke manusia. Tanpa peran dokter, tidak mungkin
suatu obat baru dapat dinyatakan memenuhi syarat untuk digunakan oleh
manusia.
Ahli kimia sangat berperan dalam ketersediaan bahan baku obat
terutama karena keahliannya dalam hal sintesis. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa Industri farmasi di Indonesia, rata-rata masih mengandalkan
bahan baku impor dalam memproduksi sutau produk obat. Masyarakat pada
umumnya menyangka bahwa para ahli farmasi telah melalaikan tugasnya
yaitu tidak berupaya untuk membuat bahan baku obat sendiri. Sangkaan ini
sebenarnya keliru. Disiplin ilmu yang berperan dalam memproduksi bahan
baku adalah ilmu kimia, bukan farmasi. Ahli kimia memiliki kompetensi

3
untuk mensintesis berbagai bahan baku untuk berbagai kebutuhan, salah
salah satu diantaranya untuk obat. Ahli farmasi selanjutnya memanfaatkan
bahan baku tersebut untuk produk obat. Jadi tanggug jawab ahli farmasi
sebenarnya adalah pada penggunaan bahan baku obat, bukan
memproduksinya. Degan kata lain ketiadaan bahan baku sering dianggap
merupakan kesalahan industri farmasi padahal industri kimia -lah yang tidak
atau belum berjalan sebagaimana mestinya.
Ahli biologi pun sangat berperan dalam proses penemuan obat baru.
Pemanfaatan bahan alam terutama dari tumbuhan atau hewan, memerlukan
peranan ahli biologi. Dalam hal ini ahli biologi berperan pada aspek morfologi
dan sistematika tumbuhan atau hewan agar tidak terjadi kasus tertukarnya
suatu bahan alam dengan bahan lama yang lain. Selain itu, pada proses
penemuan obat baru terdapar tahap uji praklinis yang menggunakan hewan
uji. Dalam penggunaan hewan uji ini diperlukan ahli biologi antara lain dalam
hal kepastian galur, penangkaran sampai pengenalan sifat-siftanyanya
sehingga diketahui bagaimana cara menangani hewan uji dengan benar.
Diperlukan juga dokter hewan yang mengetahui betul apakah suatu hewan uji
tersebut sehat atau tidak sehingga dapat dinyatakan layak untuk digunakan
dalam penelitian. Dokter hewan juga berperan penting dalam menjaga
kesehatan hewan uji selama penelitian serta mengobati jika hewan uji tersebut
jika sakit sebelum dipergunakan.
Peran ahli pemasaran sangat dibutuhkan pula dalam pengembangan
suatu obat baru. Suatu obat baru yang telah melalui tahapan begitu panjang
tentu pada akhirnya harus dapat dipasarkan dengan baik di masyarakat.
Masyarakat harus mengenal produk obat tersebut dengan baik sehingga pada
saat mengalami keluhan tertentu yang ternyata sesuai dengan indikasi obat

4
tersebut, langsung teringat pada produk obat tersebut dan tergerak untuk
membelinya, Ahli pemasaran juga harus mampu menganalisa apakah produk
obat tersebut akan laku di pasaran, sebelum diputuskan untuk diproduksi
dalam skala industry. Hal yang juga tidak dapat dilupakan adalah aspek
keterjangkauan masyarakat pada harga obat tersebut. Bagaimanapun
ampuhnya suatu obat, namun jika harganya tak terjangkau misalnya karena
proses penelitiannya memerlukan biaya tinggi maka sebaiknya tidak
direkomendasikan untuk diproduksi dalam skala industri. Hal ini untuk
mencegah penyandang dana mengalami kerugian. Penyandang dana tentu
saja tidak akan mau menanamkan modal untuk suatu produk yang tidak
menjanjikan prospek baik di pasaran.
Hal yang juga sangat penting adalah aspek hukum. Peran ahli hukum
di bidang kesehatan sangat diperlukan. Obat bukanlah komoditi dagang
biasa. Peredaran obat harus diatur berdasarkan perangkat hukum. Obat tidak
boleh diperjualbelikan di sembarang tempat. Sebagai contoh, obat keras jelas
tidak boleh diperjualbelikan di warung atau toko kelontong bahkan di toko
obat. Obat keras hanya boleh diperjualbelikan di apotik. Pengaturan yang
kebih ketat diberlakukan pada obat golongan narkotika dan psikotropika. Hal
ini karena jika tidak ada pengaturan berdasarkan oleh hukum perundang-
undangan akan menimbulkan penyalahgunaan di masyarakat. Jika terjadi
pelanggaran pada ketentuan tersebut, maka aka nada konsekuensi hukum
bagi pihak yang terlibat.
Suatu calon obat dapat mengalamai kegagalan memasuki pasaran.
Kegagalan dapat terjadi karena ; Toksisitas tidak dapat diterima, Gagal
menghasilkan efek terapi yang diharapkan, atau Potensi pasar untuk

5
penjualan tidak menutupi biaya pengembangan. Oleh karena itu dalam upaya
pengembangan suatu obat baru harus melibatkan ahli pemasaran.
Di Negara kita, pelaksana riset suatu obat baru dapat berupa Lembaga
riset milik pemerintah (contoh : LIPI, BPPT), Perusahaan farmasi (bagian R &
D atau Perguruan tinggi. Agar proses tersebut berjalan dengan lebih efekif,
efisien dan terarah, pemerintah telah mengembangkan sentra-sentra
penelitian. Sentra-sentra penelitian tersebut merupakan gabungan dari
berbagai lembaga yang meliputi Perguruan Tinggi, Rumah Sakit,industry dan
instansi pemerintah terkait.
Faktor-faktor pendorong riset meliputi antara lain penyakit-penyakit
yang telah lama ada tetapi belum ada obatnya. Sebagai contoh adalah
influenza. Penyakit influenza merupakan penyakit yang sudah tidak asing
lagi. Namun demikian sebenarnya belum ada obat yang khusus untuk
menyemebuhkan penyebabnya yaitu virus influenza. Obat-obat yang
digunakan untuk penanganan influenza adalah onbat untuk meredakan gejala
seperti analgetik-antipiretik, dekongestan hidung, ekspektoransia, atau obat
untuk meningkatkan daya tahan tubuh seperti multivitamin atau
imunostimulan. Bahkan sering digunakan pula antihistamin. Antihsitamin
dimanfaatkan efek sampingnya yaitu menyebbakan kantuk. Dengan demikian
penderita influenza menjadi mengantuk dan bisa beristirahat yaitu tidur,
Tidur yang cukup juga membantu mempercepat proses penyembuhan
influenza secara tidak langsung.
Faktor pendorong yang lain adalah munculnya penyakit baru. Sebagai
contoh adalah munculnya penyakit AIDS pada manusia semenjak tahun 1987.
Berbagai riset dikerahkan untuk menemukan obat untuk mengatasi penyakit
yang disebbakn oleh virus HIV ini. Akhirnya berhasil ditemukan obat-obat

6
AIDS seperti zidovudin, lamivudine, abacavir dan lain-lain. Selanjutnya pada
tahun 2019 muncuk penyakit COVID-19. Sampai saat ini sedang dikerahkan
berbagai upaya untuk mencari obat penangkal virus corona, penyebab
COVID-19.
Meningkatnya kebutuhan untuk menyelamatkan hidup manusia juga
dapat mendorong riset untuk penemuan obat baru. COVID-19 dapat dijadikan
sebagai contoh kembali. Tingkat penularan penyakit ini sangat tinggi sehingga
telah menjadi pandemi dunia. Tingkat prevalensi dan mortalitas penykait
yang diduga bermula dari Wuhan, China ini makin meningkat dari waktu ke
waktu. Oleh karena sebagaimana dikemukakan di atas, dilakukanlah berbagai
upaya oleh para ahli untuk mencari obat yang efektif. Pencarian ini bukan
hanya berupa upaya pengembangan obat baru, namun juag menggali manfaat
dari obat yang sudah ada, yang diduga berkhasiat pada virus corona.
Dalam sejarah penemuan obat-obatan juga pernah terjaid hal yang
terkait dengan masalah peperangan. Peperangan berdampak pula pada
kesulitan-kesulitan pasokan obat. Sebagai contoh, pada masa perang ddunia
kedua terjadi kelangkaan kina di Amerika Serikat. Obat yang sangat manjur
untuk mengatasi penyakit malaria ini didatangkan dari Indonesia (saat itu :
Hindia Belanda). Kelangkaan kina terjadi karena Indonesia dikuasai oleh
Jepang yang saat itu merupakan musuh Amerika Serikat. Tentu saja Jepang
menghentikan pasokan kina ke Amerika Serikat. Namun ternyata kondisi ini
mendorong para ahli farmasi di Amerika Serikat untuk mengembangkan obat
baru yang ampuh untuk malaria. Akhirnya dihasilkan obat baru yang sangat
ampuh untuk malaria yaitu klorokuin.
Untuk penyakit tertentu obat yang sudah ada ternyata masih dirasakan
belum efektif atau tingkat keamanan rendah. Sebagai contoh adalah obat

7
kanker. Sebagaimana diketahui obat-obat kanker yang ada saat ini
efektifitasnya masih rendah bahkan menimbulkan efek samping yang sangat
berat. Hal inilah yang menyebabkan terus dilakukannya upaya
pengembangan antikanker baru sampai saat ini.

Gambar I.1. Tahap pengembangan obat baru (klasik)


Obat selain digunakan untuk menyembuhkan penyakit, juga
dimaksudkan untuk mencegah penyakit. Sebagai contoh adalah
pengembangan obat-obat berkhasiat antioksidan. Obat-obat berkhasiat
antioksidan dimaksudkan untuk melawan radikal bebas yang merupakan
pemicu berbagai jenis oenyakit degeneratif.

1.2. Uji khasiat


Apabila suatu bahan diduga berpotensi untuk dikembangkan sebagai
obat, biasanya berdasarkan data empiris, maka dilakukan penapisan efek

8
farmakologi (pra klinik). Dari penapisan farmakologi ini maka akan dapat
disimpulkan khasiat bahan tersebut mempengaruhi sistem organ apa dari
tubuh kita, Penapisan farmakologi dilanjutkan dengan uji toksisitas akut. Uji
toksisitas akut yaitu uji keamanan suatu bahan alam satu kali pemberian.
Jika suatu bahan disimpulkan memiliki efek fakmololgi dan berada
dalam kategori tidak toksik pada dosis efektifnya maka dilanjutkan dengan uji
farmakologi lanjutan. Uji ini masih termasuk ke dalam uji praklinik
berdasarkan uji farmakologi lanjutan ini. Tahap uji farmakologi lanjutan ini
harus disertai dengan uji toksisitas subkronis. Uji toksisitas subkronis adalah
uji untuk menilai keamanan bahan tersebut pada penggunaan secara
berulang. Selain itu pada bahan tersebut wajib dilakukan uji teratogenik dan
uji mutagenik. Uji teratogenik adalah uji untuk menilai keamanan suatu bahan
apabila digunakan oleh wanita hamil. Uji mutagenik adalah uji untuk menilai
keamanana sutau bahan dalam hal apakah menimbulkan efek mutasi pada
tubuh atau tidak. Selain itu pada bahan tersebut diluji karsinogenitas, untuk
mengevaluasi apakah bahan tersebut dapat berpotensi menimbulkan kanker
atau tidak. Pada tahap yang mana suatu uji farmakologi lanjutan ini dilakukan,
dilakukan pula uji stabilitas bahan dan uji farmakokinetika pada hewan uji.
Tahap selanjutnya adalah tahap uji klinis. Pada tahap uji klinis ini, yang
menjadi acuan dosis adalah berdasarkan uji pra klinis. Tahap uji klinis
menggunakan manusia (sukarelawan). Proses penelitian diamati oleh para
ahli klinis (dokter). Uji klinis terdiri dari tahap I sampai IV.
Uji klinis Tahap I dilakukan pada sukarelawan sehat. Data yang
diperoleh adalah Kecepatan obat yang diabsorpsi, kecepatan dan tingkat kadar
obat dalam darah, cara dan kecepatan eliminasi dari tubuh, efek toksik (jika

9
ada) dalam jaringan tubuh dan organ utama, perubahan dalam darah dan
perubahan dalam proses-proses fisiologi normal.
Uji klinis Tahap II dilakukan pada sukarelawan sakit (di rumah sakit).
Tujuan utama uji klinis tahap II adalah untuk menentukan efektivitas obat
dalam mengurangi dan menghilangkan penyakit, mencari efek samping dan
gejala toksik yang tidak muncul pada uji dengan hewan atau pada
sukarelawan sehat. Tambahan data yang diharapkan diperoleh dari uji klinis
tahap II adalah pola absorpsi obat, eksresi obat, metabolit obat yang
kemungkinan terjadi, efek samping yang timbul, tingkat dosis (pasien tidak
tahan efek toksik / pengaruh bahaya obat) yaitu untuk batas keamanan
Uji klinis Tahap III melibatkan dokter-dokter praktek swasta
diikutsertakan bersama-sama dengan ahli klinis berpengalaman Uji tahap ini
adalah untuk menentukan manfaat obat baru di kalangan dokter swasta. Uji
klinis tahap III ini dapat melibatkan ribuan pasien. Dokter-dokter praktek
swasta yang ikut serta melaporkan penemuan kepada badan penyelidik,
melaporkan informasi dan evaluasi kepada instansi pemerintah yang
berwenang (Badan POM). Badan POM mengevaluasi dan hasilnya disebarkan
kepada dokter-dokter swasta yang ikut dalam penelitian. Jika data tidak
menjamin, uji klinis dapat dihentikan. Jika selama 3 tahap uji, obat cukup
aman dan terapi baik maka dapat dituliskan surat permohonan registrasi obat
kepada Instansi pemerintah yang berwenang. Badan POM berwenang
memberi keputusan apakah obat tersebut diijinkan dipasarkan atau tidak atau
Masih dimintai data tambahan sebelum diberi keputusan. Badan POM
berwenang menarik obat dari pasaran apakah bersifat sementara atau tetap.
Tingkat pemasaran suatu obat baru tidak menghentikan upaya
penelitian yang dilakukan, misalnya oleh suatu perusahaan farmasi tertentu.

10
Uji klinis berlanjut ke tahap IV, yang dilakukan pada Uji klinis Tahap IV
adalah menambah pengertian mekanisme kerja obat atau menunjukkan
penyembuhan atau indikasi baru. Jika obat tsb menunjukkan kemanfaatan
dalam mengobati para penderita dari penyakit-penyakit lain yang tidak
direncanakan maka dapat diajukan ke instansi yang berwenang untuk
memperoleh izin mempromosikan dan memasarkan obat karena ada indikasi
baru.
Rangkaian tahap pada gambar I.1. di atas adalah tahapan klasik. Pada
saat ini telah ada ketentuan baru yaitu suatu bahan tidak boleh langsung diuji
pada hewan sebelum ada data uji invitro yang menunjukkan bahwa bahan
tersebut memiliki potensi memiliki aktivitas tertentu (gambar I.2).

Gambar I.2. Tahap pengembangan obat baru (modern)

11
Uji in vitro adalah jenis penguji dengan tidak menggunakan hewan atau
tidak menggunakan hewan secara utuh. Jenis uji ini wajib dilakukan sebelum
uji pra klinik. Uji pra klinik baru dapat dilakukan jika hasil uji in vitro
menunjukkan adanya prospek mengenai efek farmakologi yang diinginkan.
Saat ini bahkan sebelum uji in vitro sudah mulai dilakukan pula uji in silico
(pengamatan kemungkinan adanya aktivitas bahan uji dg menggunakan
program komputer). Uji in silico juga dilakukan untuk melengkapi data hasil
uji aktivitas

1.3. Uji keamanan


Bagaimanakah menilai keamanan suatu bahan yang akan digunakan
sebagai obat? Penilaian bisa dilakukan dengan perhitungan indeks terapi.
Untuk melakukan uji keamanan dilakukan dengan uji toksisitas. Hal ini
diilustrasikan pada gambar 1.3.

Gambar 1.3. Ilustrasi penilaian dan uji keamanan suatu bahan.

12
1.3.1. Indeks terapi
Indeks terapi adalah nilai yang diperoleh dengan cara membagi nilai DL50
dengan DE50. DL50 adalah singkatan dari Dosis Letal 50, artinya adalah dosis
yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan. DE50 adalah
singkatan dari Dosis Efektif 50, artinya adalah dosis yang menyebabkan efek
pada 50% hewan percobaan. Jika nilai indeks terapi berdasarkan perhitungan
di atas makin tinggi, maka bahan tersebut makin aman.

1.3.2. Uji keamanan


Uji untuk menguji keamanan suatu bahan dikenal dengan istilah uji
toksisitas. Uji toksiitas terdiri dari : uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis,
uji toksisitas kronis, serta Uji toksisitas khusus. Uji toksisitas khusus terdiri
dari uji teratogenik, uji karsinogenik dan uji mutagenic.
Uji toksisitas akut adalah uji untuk menilai keamanan suatu bahan pada
satu kali pemberian. Pengamatan yang dilakukan pada uji ini adalah profil
farmakologi dan kematian. Dosis uji dari 0 mg/kg bb mencit atau tikus sampai
dengan batas dosis uji tertinggi berdasarkan prosedur operasional baku uji
toksisitas (PPOM dan WHO) dengan interval dosis berdasarkan faktor pengali
tetap. Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut adalah nilai DL50 .
Uji toksisitas subkronis adalah uji untuk menilai keamanan suatu bahan
pada pemberian berulang. Pengamatan yang dilakukan pada uji ini adalah
profil farmakologi, organ (bobot absolut dan relatif, makropatologi dan
histopatologi), hematologi (blood count, hematokrit, hemoglobin), Urin (bj,
volume, mikroskopik urin), biokimia klinis (SGOT, SGPT, bilirubin, kolesterol,
kreatinin), kematian. DL50 menjadi dasar penentuan dosis uji

13
Uji toksisitas kronis adalah uji untuk menilai keamanan suatu bahan
pada pemberian dalam jangka waktu lama atau seumur hidup. Pengamatan
yang dilakukan adalah profil farmakologi, organ (bobot absolut dan relatif,
makropatologi dan histopatologi), hematologi (blood count, hematokrit,
hemoglobin), urin (bj, volume, mikroskopik urin), biokimia klinis (SGOT,
SGPT, bilirubin, kolesterol, kreatinin) dan kematian hewan uji.
Uji toksisitas khusus meliputi uji teratogenik, uji mutagenic dan
karsinogenik. Uji teratogenik adalah pengamatan terhadap kemungkinan
terjadinya gangguan pada janin pada penggunaan suatu bahan (penggunaan
suatu bahan oleh ibu hamil). Kewajiban uji teratogenik diberlakukan karena
munculnya kasus talidomid. Pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, para
wanita hamil sering menggunakan talidomid untuk menghilangkan gejala
hamil muda seperti mual dan pusing. Namun ternyata, pada wanita hamil
menyebabkan terhentinya perkembangan anggota badan janin. Misalnya,
bayi lahir tanpa tangan dan kaki, Anggota badan terbentuk sebagian, bentuk-
bentuk tidak sempurna dari hidung, mata, telinga serta jantung dan saluran
pencernaan tidak berfungsi dengan baik.
Uji karsinogenik adalah pengamatan terhadap kemungkinan
terjadinya kanker pada penggunaan suatu bahan. Uji mutagenik adalah
pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya mutasi pada bagian tubuh.
Mutasi ini juga berpotensi untuk mencetuskan kanker.

PERTANYAAN
1. Sebutkan tiga persyaratan suatu bahan agar dapat digunakan sebagai
obat!

14
2. Jelaskan kaitan karakteristik suatu bahan dengan jaminan khasiat dan
keamanan suatu bahan!
3. Jelaskan apa perbedaan uji pra klinis dan uji klinis pada pengembangan
suatu obat baru!

15

Anda mungkin juga menyukai