Anda di halaman 1dari 11

SASTRA ANAK SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN LITERASI AWAL

YANG BERWAWASAN MULTIKULTURAL


UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN DI ERA GLOBAL

Eka Listiyaningsih, Purbarani Jatining Panglipur


S2 Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Email: listiyaningsihe@yahoo.co.id, purbarani1994@gmail.com

ABSTRAK : Sastra anak merupakan sastra yang ditulis untuk anak-anak. Sastra anak
berisi pengalaman dan pengetahuan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak
sesuai dengan perkembangan emosionalnya. Sastra anak mengandung nilai-nilai
karakter yang dapat diteladani oleh anak pada masa pertumbuhannya. Sastra anak
dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran literasi awal. Sastra anak memiliki
gaya yang unik dalam menceritakan sesuatu dan cerita lebih dekat dengan kehidupan
anak. Bahkan, cerita yang disajikan dapat mendorong anak untuk berpikir dan
berimajinasi. Sastra anak ini akan menjadi bahan literasi awal karena gaya
penceritaannya menarik, bermuatan nilai-nilai pendidikan, dan mengandung wawasan
baru. Selain itu, pada sastra anak dapat pula ditemukan kemajemukan masyarakat
melalui sikap dan perilaku hidup yang berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lain. Dengan demikian, sastra anak diharapkan mampu mendorong anak
untuk memaknai perbedaan antarbudaya secara positif.
KATA KUNCI : sastra anak, pembelajaran literasi, tantangan era global

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai manusia yang masih
kecil. Hal ini senada dengan pendapat Sarumpet (2010:4) bahwa anak adalah seseorang yang
memerlukan segala fasilitas, perhatian, dorongan, dan kekuatan untuk membuatnya bisa
bertumbuh sehat, mandiri, dan dewasa. Sementara itu, Kurniawan (2009:39) menyatakan
bahwa anak adalah orang yang berusia 2 tahun sampai sekitar 12—13 tahun, yaitu masa
prasekolah dan berkelompok. Seorang anak membutuhkan bimbingan agar bisa berkembang
dan menjadi manusia yang baik. Salah satu bimbingan yang bisa mempengaruhi anak dan
perkembanganya yaitu melalui sastra.
Di Indonesia perkembangan sastra anak belum jelas awal keberadaannya. Hasil
penelitian Chistantiowati menunjukkan bahwa pada tahun 1800-an sudah ada bacaan yang
diperuntukkan untuk anak-anak. Berdasarkan penelitian setelah kemerdekaan, bacaan anak-
anak Indonesia belum begitu mendapatkan perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga
berada banyak memiliki dan membaca karya-karya sastra. Pada tahun 1970-an pemerintah
mengadakan proyek pengadaan buku INPRES untuk mendukung pertumbuhan perbukuan
dan sastra anak di Indonesia. Kemudian secara konsisten sastra anak semakin berkembang di
Indonesia. Pada tahun 1997 terbitlah penghargaan Adikarya IKAPI yang hingga saat ini
masih rutin menilai dan menghargai bacaan anak yang terbit di Indonesia. Saat ini penerbitan
buku anak semakin membaik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra memberikan banyak
manfaat dalam kehidupan ini baik untuk orang dewasa maupun untuk anak.
Anak perlu mendapatkan pengetahuan sejak awal agar kelak dapat memiliki
wawasan global. Sastra bercerita tentang kehidupan yang mampu menjadikan manusia
seutuhnya. Sastra anak merupakan sastra yang ditujukan kepada anak-anak agar anak
mendapatkan banyak manfaat dan berguna bagi kehidupan di masa yang akan datang. Sastra
memilik genre sama dengan genre sastra dewasa, yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama. Sastra
anak memiliki manfaat terhadap pihak anak untuk perkembangan intelektual dan
perkembangan emosional. Selain itu, sastra anak dapat bermanfaat untuk perkembangan
karakter anak di era global seperti saat ini. Kesuma, dkk. (2011:11) menjelaskan karakter
sebagai suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku anak. Karakter merupakan hal
yang harus dibentuk sejak awal karena fenomena saat ini menunjukkan bahwa karakter anak-
anak bangsa mulai berubah dan cenderung merosot. Perilaku anak cenderung lupa kebarat-
baratan dan lupa terhadap jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, agar anak memiliki
karekter baik di era global perlu diadakan pembinaan, salah satunya melalui pembelajaran
literasi awal yang berwawasan multikultural melalui sastra anak.

PEMBAHASAN
Hakikat Sastra Anak
Sastra anak adalah sastra terbaik yang dibaca anak dengan karakteristik yang
beragam, tema, dan format (Sarumpet, 2010:2). Sastra anak ditulis berdasarkan sudut
pandang anak yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak. Terdapat empat hal
terkait dengan sastra anak. Pertama, sastra anak adalah sastra yang memang sengaja
ditujukan untuk anak-anak seperti Bobo, Mentari dll. Kedua, sastra anak berisi cerita yang
menggambarkan pengalaman, pemahaman, dan perasaan anak. Ketiga, sastra anak adalah
sastra yang ditulis oleh anak-anak. Keempat, sastra anak adalah sastra yang berisi nilai-nilai
moral atau pendidikan yang bermanfaat untuk anak. Dari beberapa urain di atas dapat
disimpulkan bahwa sastra anak adalah karya imajinatif dalam bentuk bahasa yang berisi
pengalaman, perasaan, dan pikiran anak yang khusus ditujukan bagi anak-anak, ditulis oleh
pengarang anak-anak maupun pengarang dewasa. Topik sastra anak dapat mencakup semua
yang dekat dengan dunia anak, kehidupan manusia, binatang, tumbuhan yang mengandung
nilai-nilai pendidikan, moral, agama, dan nilai positif lainnya (Rumidjan, 2013:2).
Rumidjan (2013:2) menjelaskan bahwa karakteristik sastra anak dapat dilihat dari
dua segi, yaitu kebahasaan dan kesastraan. Dari segi kebahasaan dapat dilihat dari struktur
kalimat, pilihan kata, dan gaya bahasa (majas). Struktur kalimat yang digunakan masih
sederhana, berupa kalimat tunggal, kalimat berita, kalimat tanya, atau kalimat perintah
sederhana. Pilihan kata dalam sastra anak menggunakan kata-kata yang sudah dikenal oleh
anak-anak. Gaya bahasa masih sedikit karena lebih menggunakan kata-kata konkret. Dari
segi kesastraan memiliki karakteristik dalam hal alur cerita, tokoh, dan tema. Alur cerita
disusun secara kronologis dengan hubungan sebab-akibat. Tokoh cerita berupa manusia,
binatang, atau tanaman. Watak tokoh dalam cerita jelas baik dan jahat begitu saja. Tema
dalam sastra anak memiliki tema tunggal.

Genre Sastra Anak


Genre sastra anak dapat digolongkan seperti genre sastra orang dewasa. Menurut
Winarni (2014:9), sastra anak dapat digolongkan menjadi tiga macam yakni puisi, prosa, dan
drama.
Pertama, puisi adalah serangkaian kata dalam bait yang memperhatikan rima dan
irama dengan menggunakan bahasa yang indah. Menurut Winarni (2014:9), ada tiga unsur
pokok yang terkandung di dalam puisi, yaitu: (1) pemikiran, ide, atau emosi; (2) bentuknya;
dan (3) kesannya. Dapat dikatakan puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang
berirama. Menurut Waluyo (dalam Winarni, 2014:10) puisi terbagi atas tiga, yaitu puisi
naratif, puisi lirik, dan puisi deskriptif. Puisi hadir dengan bahasa yang singkat dan padat.
Puisi merupakan suatu bentuk ekpresi, deskripsi, protes maupun narasi. Puisi adalah genre
sastra yang amat memperhatikan pemilihan aspek kebahasaan, sehingga tidak salah jika
dikatakan bahwa bahasa puisi adalah bahasa yang tersaring penggunaannya (Nurgiyantoro,
2016:312). Puisi anak sudah banyak ditemukan dalam majalah Bobo, koran dll.
Kedua, prosa adalah karya sastra yang tidak dibuat atas rangkaian bait demi bait tetapi
dibuat atas rangkaian alinea dengan merangkaikan unsur-unsur tempat, waktu, suasana,
kejadian, alur peristiwa, pelaku berdasarkan tema cerita yang diperoleh secara imajinatif.
Menurut Cullinan (dalam Winarni, 2014:17) jenis prosa fiksi antara lain; prosa fiksi sains,
prosa fiksi realistik, dan prosa fiksi imajinatif.
Ketiga, drama merupakan cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang
diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action di hadapan penonton
(Winarni, 2014:23). Dengan demikian, drama merupakan salah satu karya sastra yang dipakai
sebagai medium penggungkapan gagasan atau perasan melalui serangkaian dialog antar
pelaku dan adegan yang tujuan utamanya akan dipertunjukkan.
Manfaat Sastra Anak
Karya sastra memiliki banyak manfaat bagi pembacanya. Dari segi unsur
instrinsiknya karya sastra bermanfaat untuk (1) memberi kesenangan, kegembiraan, dan
kenikmatan bagi anak-anak, (2) mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka
mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, penagalamaan atau gagasan, (3)
memberikan pengalaman baru yang seolah-olah dirasakan dan dialami sendiri, (4)
mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku kemanusiaan, (5) menyajikan
dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman universal, dan (6) meneruskan warisan
sastra. Dari segi unsur ekstrinsiknya sastra anak bermanfaat untuk (1) perkembangan bahasa,
(2) perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial.

Pembelajaran Literasi Awal


Anak mulai mengenal dengan dunia sastra melalui sarana bunyi, kemudian direspon
lewat pendengaran. Dalam hal ini, sastra terbatas pada sastra lisan, terutama yang berwujud
tembang dolanan, kemudian diikuti oleh cerita-cerita singkat. Melalui tembang dolanan dan
cerita singkat inilah anak belajar bahasa dan mulai diperkenalkan dengan kehidupan di
sekelililngnya. Aktivitas yang dilakukan orang tua dan orang dewasa dengan membacakan
cerita atau menembangkan lagu dolanan tersebut dapat menanamkan kesadaran anak tentang
budaya literasi.
Dalam rangka pengembangan pengetahuan dunianya, seorang anak sangat
membutuhkan informasi. Oleh karena itu, mereka rajin menanyakan sesuatu. Kenyataan
tersebut memotivasi siswa untuk mencari tahu sendiri informasi tersebut tanpa bantuan orang
dewasa di sekelilingnya. Keadaan ini merupakan suasana yang tepat untuk mulai
mengenalkan literasi kepada anak melalui berbagai media yang sengaja dirancang untuk
kepentingan itu tersebut, salah satunya melalui sastra anak.
Literasi berasal dari bahasa Inggris literacy berarti melibatkan penguasaan sistem-
sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Literasi berhubungan dengan
bahasa dan penggunaannya. Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca
dan menulis atau kadang disebut dengan istilah atau “melek aksara” atau keberaksaraan
(Harras, 2011). Hal ini senada dengan pedapat Nurgiantoro (2016:120), literasi dapat
dipahami sebagai melek huruf, kemelekhurufan, mengenal tulisan, serta dapat membaca dan
menulis. Literasi menurut Besnier adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara
visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat Sementara itu, menurut Kirsch dan
Jungeblut, literasi kontemporer diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga
mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas (Takdir, 2012). Membaca-berpikir-menulis
yang merupakan inti literasi sangat diperlukan siswa untuk menyelesaikan studi, melanjutkan
studi, mempersiapkan diri memasuki dunia pekerjaan, dan belajar sepanjang hayat di tengah
masyarakat (Suyono, 2009:204). Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran literasi berperan penting pada perkembangan anak. Pembelajaran literasi dalam
bahasan ini lebih berkaitan dengan konsep budaya membaca.
Kemampuan literasi tidak akan dicapai tanpa usaha secara sadar dan terencana. Oleh
karena itu, pengenalan literasi harus dilakukan dengan terus-menerus dan berkesinambungan.
Akan tetapi, lebih dari itu,contoh yang dilakukan orang tua dengan kebiasaan membaca juga
berperan penting karena anak akan memahami bahwa kebiasaan itu merupakan tingkah laku
budaya yang seharusnya dilakukan.

Wawasan Multikultural di Indonesia


Indonesia memiliki beragam budaya. Selain itu, Indonesia dikenal sebagai negara
dengan masyarakat yang majemuk (pluralistic society). Hal ini dapat dilihat dari realitas
sosial yang ada. Kemajemukan masyarakat Indonesia dilandasi oleh berbagai perbedaan, baik
suku,bahasa, adat istiadat, agama, politik, sosial, ekonomi, mauun budaya. Dengan kata lain,
keberagaman budaya merupakan ciri khas yang melekat dalam diri bangsa Indonesia.
Adanya keberagaman budaya di Indonesia disebabkan oleh empat hal, yaitu: (1)
sejarah Indonesia, (2) pengaruh budaya asing, (3) keadaan geografis, dan (4) keadaan fisik
dan geologi. Pertama, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang
melimpah, sehingga menarik negara asing, seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang
untuk tinggal lama di Indonesia. Bahkan, ada pula yang menikah dengan penduduk pribumi.
Keadaan inilah yang menambah kekayaan budaya dan ras di Indonesia. Kedua, globalisasi
berperan penting dalam penyebaran budaya, masuknya budaya asing ke Indonesia merupakan
salah satu faktor yang memperkaya budaya dan membuat masyarakat menjadi multikultural.
Ketiga, letak geografis Indonesia yang begitu strategis, yaitu dua benua dan dua samudra,
membuat Indonesia dijadikan sebagai jalur perdagangan internasional, sehingga banyak
negara asing datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang, seperti Cina, India, Arab, dan
negara-negara Eropa. Kondisi inilah yang menjadikan budaya yang masuk ke Indonesia kian
bertambah dan terciptanya masyarakat Indonesia yang multikultural. Keempat, jika dilihat
dari struktur geologi, Indonesia terletak di antara tiga lempeng yang berbea, yaitu Asia,
Australia, dan Pasifik. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang memiliki beberapa tipe,seperti tipe Asia, peralihan, dan Australis. Keberadaan pulau-
pulau di Indonesia, maka kehidupan masyarakat setiap pulau berbeda-beda sesuai dengan
kondisi pulaunya.
Landasan terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
multikulturalisme, yaitu ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
keselarasan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model
multikulturalisme, sebuah masyarakat dipandang sebagai sebuah mozaik. Dalam mozaik itu
mencakup semua kebudayaan masyarakat yang lebih kecil dan membentuk terwujudnya
masyarakat yang lebih besar. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan
sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam bingkai kebudayaan bangsa,
sebagaimana yang terungkap dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945, yang berbunyi
“kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa multikultural yang dimiliki
masyarakat Indonesia merupakan anugerah bagi bangsa. Sudah sepatutnta kita memberikan
perhatian yang lebih terhadap kemajemukan ini. Hal ini karena kemajuan bangsa Indonesia
ditentukan pula oleh kemampuan para pemimpinnya untuk mengelola keberagaman budaya
di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat ditempuh melalui penggunaan sastra anak sebagai
pembelajaran literasi awal bermuatan wawasan multikultural.

Potret Multikultural dalam Sastra Anak


Multikulturalisme dapat dipahami sebagai kepercayaan kepada normalitas dan
penerimaan keberagaman. Multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya
(cultural basic) dan pendidikan. Keragaman dapat tercermin dalam berbagai fenomena
budaya dan karya sastra. Hal tersebut dapat dikaitakan dengan adanya anggapan bahwa
sastra menwarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Keberadaan sastra untuk
memberikan hiburan dan pemahaman tentang kehidupan. Pemahaman berasal dari eksplorasi
terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan, dan pengungkapan
berbagai karakter manusia, dan sebagainya yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman
tersebut diharapkan dapat membentuk karakter siswa menjadi pribadi yang cerdas, lembut
hati, tajam pikiran, dan perbuatan.
Pembelajaran sastra bertujuan agar anak memperoleh pengetahuan tentang sastra
(literary knowledge) dan pengalaman bersastra (literary experience). Pengetahuan tentang
sastra diperoleh melalui pemahaman pengetahuan teoritis dan historis, sedangkan
pengalaman bersastra diperoleh melalui apresiasi dan dan berekspresi sastra. Dengan
demikian, hendaknya orang tua maupun guru bersikap selektif dalam menyuguhkan bahan
bacaan sastra yang sesuai dengan kondisi dan usia anak dengan mengutamakan muatan nilai
karakter dan pembelajaran multikultural yang sesuai dengan budaya Indonesia. Hal ini
merupakan upaya untuk mencetak generasi yang bermartabat dan sadar budaya. Melalui
fenomena tersebut dapat diketahui bahwa karya sastra dapat dijadikan seagai sarana
mengembangkan sikap menghargai perbedaan pada diri anak. Dengan membaca, memahami,
dan mengapresiasi karya tersebut, seorang anak akan dihadapkan pada beragam fenomena.
Keragaman tersebut tentunya dapat dihubungkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang
homogen. Pada akhirnya anak akan mengambil sikap berdasarkan pemahaman yang
dimilikinya.
Melalui karya sastra, seorang anak dapat belajar mengenal dan memahami keragaman
budaya di Indonesia karena pada karya sastra menyediakan informasi keragaman budaya
yang melatari kelahirannya, misalnya sastra anak terjemahan berjudul Harry Potter. Harry
Potter berlatar dan berokoh orang dari negara lain yang tentu berbeda dengan cerita yang
berlatar dan bertokoh orang Indonesia. Norton dan Norton (dalam Nurgiyantoro, 2016:46)
menyatakan bahwa aktivitas pembacaan buku sastra komparatif merupakan cara dan sumber
penting pembelajaran wawasan multikultural karena ia akan memberanikan anak untuk
mengidentifikasi dan mengapresiasi kemiripan dan perbedaan lintas budaya.

Pembelajaran Literasi Awal yang Berwawasan Multikultural melalui Sastra Anak


Pembelajaran literasi awal yang berwawasan multikultural melalui sastra anak
merupakan suatu cara menggunakan perbedaan-perbedaan budaya yang ada pada anak,seperti
perbedaan etnik, suku, ras, agama, kelas sosial, gender, bahasa dan perbedaan lainnya agar
proses belajar menjadi lebih efektif. Pembelajaran literasi awal yang berwawasan
multikultural dapat membangun karakter anak yang demokratis, humanis, dan pluralis dalam
lingkungan mereka. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran multikultural adalah untuk
menerapkan prinsip-prinsip humanisme pada anak.
Pembelajaran literasi awal yang berwawasan multikultural melalui sastra anak penting
dilakukan sebagai salah satu agenda pendidikan masa depan Indonesia, terutama dalam
mencetak generasi muda yang unggul. Generasi muda yang unggul tidak hanya cerdas dan
berkemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga
berkarakter baik. Karakter baik tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap rela menerima
budaya lain sebagai kesatuan tanpa memandang segala perbedaan. Oleh karena itu, sebagai
upaya pembelajaran literasi awal yang berwawasan multikultural, perlu diperhatikan
perbedaan yang terdapat pada sastra anak, yaitu: keberagaman (1) agama, (2) multi etnik dan
corak bahasa, dan (3) jenis kelamin, gender, serta (4) status sosial.
Melalui sastra anak, anak dapat mengetahui wawasan budaya dari berbagai kelompok
di belahan dunia. Dalam sastra dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang
mencerminkan perbedaan budaya suatu masyarakat. Sastra tradisional yang merupakan
bagian dari sastra anak mengandung berbagai aspek kebudayaan masyarakat pendukungnya,
maka dengan membaca cerita tradisional dari berbagai daerah, akan diperoleh pengetahuan
dan wawasan tentang kebudayaan masyarakat. Dengan kata lain, membaca cerita tradisional
tidak hanya bermanfaat untuk memperoleh kenikmatan membaca cerita, tetapi juga
pengetahuan dan pemahaman budaya tradisional masyarakat lain.
Keberadaan anak-anak Indonesia dalam masyarakat majemuk menggunggah
kesadaran kita terhadap perkembangan budaya. Oleh karena itu pengajar maupun orang tua
perlu memilih bahan literasi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya melalui sikap dan
perilaku para tokoh, bahkan latar budaya yang menaungi cerita, sehingga anak-anak dapat
menyikapi dan memahami setiap perbedaan yang ada.
Salah satu cerita anak yang bermuatan multikultural adalah cerita tradisional atau juga
dikenal dengan dengan istilah sastra tradisional. Nurgiyantoro (2016:167) menyatakan bahwa
dilihat dari fungsi kesastraan bagi kehidupan manusia, sastra tradisional (traditional
literature) mempunyai fungsi yang tidak berbeda halnya dengan kesastraan modern dewasa
ini yang sengaja dicipta sebagai bahan bacaan cerita sastra (composed literature). Sastra
tradisional juga mendukung berbagai perkembangan anak, baik perkembangan aspek
emosional, afektif, kognitif, imajinatif, erasaan estetis, maupun perkembangan kebahasaan,
dan hiburan yang mneyenangkan. Jika dikaitkan dengan keragaman budaya, cerita tradisional
juga dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial masyarakat. Dengan kata lain, membaca
sastra tradisional dapat pula mengetahui kehidupan sosial, budaya, adat istiadat, maupun
sikap masyarakat pendukungnya. Pembelajaran literasi yang berwawasan multikulturaldapat
dinilai sebagai salah satu upaya mengajarkan anak tehadap kejadian masa lalu, mengenal
budaya nenek moyang, dan mengapresiasi warisan leluhur. Selain itu, literasi yang
berwawasan multikultural dapat dijadikan sarana untuk mengenalkan budaya lain agar anak-
anak dapat mengapresiasi dan menghargai budaya tersebut.
Berikut ini merupakan contoh sastra anak yang berwawasan multikultural, yaitu kisah
Malin Kundang dari Sumatra Barat. Kisah ini bermula dari perkawinan antara Malin dan sang
istri yang memiliki perbedaan latarbelakang sosial. Malin berasal dari keluarga yang hidup
sederhana, bahkan kekurangan. Sementara sang istri berasal dari bangsawan. Fenomena ini
menunjukkan keberagaman kelas sosial. Pernikahan Malin dan istrinya sedikit banyak telah
mengubah perilaku Malin Kundang. Oleh sebab itulah, tak heran jika ketika Malin berlabuh
di daerah tempat tinggalnya, dia tak mau mengakui ibunya yang miskin dan sudah tua.

Hiduplah seorang janda miskin yang mempunyai anak bernama Maln Kundang. Suatu
hari Malin Kundang pergi merantau dan berat hati sang ibu melepaskannya. Sekian
lama pergi, tak ada kabar dari Malin, sampai suatu ketika berlabuhlah sebuah kapal
mewah ke pantai. Orang-orang kampung berebut untuk melihat kapal mewah itu, dan
tidak ketinggalan Ibu Malin Kundang yang sudah tua dan bungkuk juga ikut. Si Ibu
mengenali bahwa yang berada di atas kapal itu adalah Malin Kundang, karena bekas
luka yang masih kelihatan, maka ia langsung merangkul dan memeluknya. Malin
merasa kaget dan istrinya meludah karena jijik. Karena merasa malu, Malin
menendang sang ibu hingga pngsan. Begitu sadar, sang ibu berdoa dan mengutuk jika
anak laki-laki tersebut adalah Malin, ia dikutuk menjadi batu.

Kisah Malin Kundang memberikan ajaran moral bahwa seorang anak yang mendurhakai
orang tuanya akan mendapat laknat. Oleh karena itu, kita tidak boleh meniru sikap dan
tingkah laku Malin Kundang dan istrinya yang durhaka pada sang ibu. Dalam kisah Malin
Kundang tersebut, terdapat sebuah peristiwa yang melegenda, yaitu kutukan seorang ibu
kepada anaknya yang durhaka dan kutukan tersebut benar-benar bertuah.
Selain cerita tradisional yang berbentuk legenda, terdapat pula cerita tradisional yang
berbentuk mitos. Menurut Nurgiyantoro (2016:172), mitos adalah salah satu jenis cerita lama
yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan suprasegmental yang lain yang
melebihi batas-batas kemampuan manusia. Sebagai contoh mitos yang menejlaskan hal-hal
bersifat alamiah seperti formasi bumi, pergerakan matahari dan bumi, perbintangan,
perubahan cuaca, dan lain-lain. Selain ditemukan di Jawa, mitos jenis ini juga terdapat di
berbagai budaya di pelosok dunia, misalnya mitos yang berasal dari Yunani Klasik. Pada
mitos yang berasal dari Yunani Klasik, kisah dewa-dewi masing-masing memiliki ‘wilayah’
kekuasaan tersendiri, misalnya Paseldon (Romawi: Neptune) adalah dewa laut, Ares (Mars)
dewa perang, Athena (Minerwa) dewi kebijaksanaan, Apollo (pollo) dewa kebenaran
matahari, Aphrodite (Venus) dewi cinta dan kecantikan, Eros (Cupid) dewa cinta, Hephaestus
(Vulcan) dewa api, dan lain-lain. Tak hanya kisah di Yunani Klasik, dewa-dewa dalam cerita
pewayangan (budaya Jawa), juga menampilkan tokoh-tokoh penguasa pada wilayahya
masing-masing, misalnya Batara Wisnu adalah dewa penjaga alam, Batar Bayu dewa angin,
Batara Brama dewa api, Batara Baruna Dewalaut, Batara Kamajaya-Dewi Ratih dewa-dewi
cinta, dan lain-lain. Para dewa tersebut memilii kekuasaan dan wilayah alam tertentu akan
tunduk. Mitos yang terkenal dalam budaya Jawa yaitu Nyai Roro Kidul (Ratu Laut Selatan)
yang mampu menaklukkan laut yang terkenal dengan gelombangna yang ganas. Dalam mitos
ini dikisahkan Nyai Roro Kidul mampu memerintah gelombang sebagaimana yang
dikehendakinya. , berjalan atau naik kereta di atas gelombang laut. Selain itu, Nayi Roro
Kidul juga menguasai dan merajai ular. Para pembantu dan dayang setianya juga berwujud
ular, sebagaimana yang ditayangkan dalam berbagai film di televisi. Tidak hanya itu, mitos
yang beredar di masyarakat, jika berkunjung ke pantai selatan tidak boleh mengenakan
pakaian berwarna hijau atau merah. Konon apabila menggunakan pakaian berwarna hijau
atau merah akan terseret ganasnya ombak di pantai selatan, bahkan tak sedikit juga yang
berujung pada kematian. Kisah Nyai Roro Kidul mengandung pesan bahwa dimana pun kita
berada, tetap harus berhati-hati, terseretnya ombak di pantai selatan jika dilogika bukan
masalah warna pakaian yang kita gunakan, tetap faktor manusia yang tidak berhati-hati di
setia tindakannya.
Kisah Malin Kundang dan mitos merupakan contoh pembelajaran literasi awal yang
berwawasan multikultural melalui sastra anak yang berbentuk prosa. Berikut merupakan
contoh pembelajaran literasi awal yang berwawasan multikultural melalui sastra anak
berbentuk tembang dolanan.
SLUKU-SLUKU BATHOK
Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo
Si rama menyang Solo
Leh olehe payung montha,
Pak jenthit lolobah,
Wong mati ora obah,
Nek obah medeni bocah,
Nek urip nggoleka dhuwit.

Tembang dolanan tersebut mengisahkan budaya orang Jawa. Tembang dolanan tersebut
mengandung makna yang berkaitan dengan masalah adat-istiadat dan budi pekerti. Tembang
dolanan tersebut mengandung amanat bahwa kita harus bekerja keras. Hal ini terlihat pada
larik Nek urip nggoleka dhuwit. Fenomena ini juga tidak bisa dipungkiri dapat kita temukan
pada wilayah lain di luar Jawa. Akan tetapi, tak sedikit pula kita temukan bahwa di
masyarakat tertentu terkadang justru tidak membiarkan anaknya untuk bekerja, dengan alasan
harta yang dimiliki sudah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup anaknya.
Fenomena ini menunjukkan keragaman pola pikir masyarakat.

PENUTUP
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra anak merupakan sastra
yang ditujukan kepada anak-anak agar anak mendapatkan banyak manfaat yang berguna bagi
kehidupan di masa mendatang. Sastra anak memiliki beberapa genre yang sebenarnya hampir
sama dengan sastra pada umumnya, seperti prosa, puisi, dan drama. Sastra anak memiliki
beberapa karakteristik yang berbeda dari sastra orang dewasa. Sastra anak berperan dalam
pembelajaran literasi awal yang berwawasan multikultural untuk menghadapi tantangan di
era global. Era global yaitu kedaan di mana budaya luar masuk ke dalam Indonesia, sehingga
sedikit banyak juga memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali
perkembangan karakter anak.
Sebagai generasi penerus, sudah semestinya kita menggali kembali muatan budaya
yang ada agar tidak punah ditelan perkembangan zaman dan tetap kokoh menjadi jati diri
bangsa Indonesia. Masyarakat diharapkan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman
tanpa mengabaikan budaya Indonesia. Dengan demikian, budaya global dapat mewarnai
khasanah budaya tanpa meninggalkan budaya Indonesia. Selain itu, orang tua diharapkan
selektif dalam memilihkan bahan literasi untuk anak.

Daftar Rujukan
Harras, Kholid A. 2011. Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga,
Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1.
Kesuma, Dharma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika,
Hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Nurgiyantoro, Burhan. 2016. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
UGM Press
Rumidjan. 2013. Dasar Keilmuan dan Pembelajaran Sastra Anak SD. Malang: FIP UM
Sarumpet, Riris Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Suyono. 2009. Pembelajatan Efektif dan Produktif Berbasis Literasi: Analisis Konteks,
Prinsip, dan Wujud Alternatif Strategi Implementasinya di Sekolah. Jurnal Bahasa
dan Seni. Vol 37 nomor 2
Takdir, Muhammad. 2012. Pendidikan Berbasis Budaya Literasi, Suara Pembaharuan Edisi
7 September.
Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai