Anda di halaman 1dari 17

Deng Kulleng Sang Pemuda Tanah Bugis

Babak 1: Pengenalan

Adegan 1: Deng Kulleng dan Ayam Jagonya

Di sudut desa tanah Bugis yang indah, matahari perlahan mulai menyapa dengan sinarnya
yang hangat. Selembaran embun membelai hamparan rumput hijau di sekitar rumah sederhana
Deng Kulleng. Dalam keheningan pagi, suara gemericik air sungai kecil dan kiacauan burung menjadi
latar yang menenangkan.

Deng Kulleng, pemuda pemberani yang dikenal di seluruh desa, bangkit dari tidurnya dengan
semangat yang membara. Di ruang kecil yang dipenuhi oleh aroma kopi segar, ia menatap keluar
jendela dengan tatapan penuh determinasi. Hari itu, seperti biasa, ia telah menetapkan tekad untuk
menjadi penolong bagi siapa pun yang membutuhkan.

Saat langkahnya melangkah keluar, angin pagi mengibaskan rambutnya yang hitam legam. Di
pundaknya, ia membawa beban keberanian dan tanggung jawab, siap untuk menghadapi apa pun
yang mungkin terjadi. Langkahnya mantap, seakan tanah di bawah kakinya memberikan kekuatan
tambahan, memberinya keyakinan bahwa dia adalah pahlawan bagi desanya. Di halaman rumah,
Manu', ayam jago kesayangannya, menyambut dengan kokokan riang. Deng Kulleng tersenyum
melihatnya, seolah mendapat semangat tambahan dari kehadiran setia hewan peliharaannya atau
temannya itu.

Deng Kulleng: (Berbicara kepada Manu sambil mengelus kepalanya) “Ayo, Manu’! Hari ini kita pergi
berlajan-jalan di desa.”

Manu’: (Berkokok dengan semangat sambil mematuk tanah) “Kukuruyuk, berilah aku makan dahulu
sebelum membawaku pergi berkeliaran Kulleng”

Deng Kulleng: “Apakah kau lapar Manu’ ? Mengapa kau mematuk tanah terus? Jika kau lapar
bilanglah?

Manu’ : (Berbicara dalam hati) “Kukuruyuk, jika aku berbicara di depanmu kau akan ketakutan
setengah mati nantinya”

Deng Kulleng: (Berjalan mengambil jagung sambil menepuk kepalanya sendiri) “Bodohnya, aku lupa
kau ini ayam jadi tidak bisa bicara”

Manu’ : (Berbicara dalam hati sambil memakan jagung) “Apakah kau baru sadar Kulleng? Aku sudah
lama menganggapmu bodoh karena berbicara terus denganku setiap hari”

Deng Kulleng: (Menantap ayamnya dengan tersenyum) “Mungkin kau tidak bisa bicara karena kau
kesepian tanpa betina di sini Manu’, tenanglah mari ke pasar untuk mencarikan istri untukmu”

Manu’ : Kukuruyuk (Bodoh)

Deng Kulleng pun membawa Manu pergi ke pasar desa. Di perjalana, mereka melihat
seorang nenek tua yang kesulitan membawa kayu bakar. Nenek tua itu membawa 3 potong kayu
besar, satu diikat di punggungnya dan yang lainnya berada di kedua tangannya. Deng Kulleng segera
berlari untuk membantunya.

Deng Kulleng: “Nek, biarkan aku membantumu membawa kayu bakar itu.”
Nenen tua: “Tidak usah Nak, hiraukanlah saja Nenek tua ini lanjutkan urusanmu.”

Deng Kulleng: (Dengan pelan mengambil kayu bakar dari nenek) “Nek, bagaimana aku bisa
melakukan hal itu? Mendiam Ayahku selalu berpesan padaku untuk menolong orang yang
membutuhkan .”

Manu: (berkata dalam hati) “Kukuruyuk, lihatlah dunia ini adalah Kulleng yang baik hati”

Nenek tua: “Terima kasih banyak, Nak! Saya tidak tahu harus bagaimana tanpa bantuanmu.”

Deng Kulleng: “Sama-sama, Nek. Ayo, aku akan membawa kayu-kayu ini sampai ke rumahmu Nek.”

Deng Kulleng pun membantu sang Nenek membawa kayu bakar itu pulang ke rumahnya yang jauh
dari desa.

Deng Kulleng: “Sungguh jauh kau membawa kayu bakar itu Nek. Apakah kau tidak punya orang lain
yang membantumu?”

Nenek tua: “Aku tinggal sendirian, suamiku sudah meninggal dan anak-anakku pergi dari desa untuk
merantau”

Deng Kulleng: (Menepuk dadanya) “Tenang saja Nek, aku Kulleng akan sering ke sini untuk
membantumu membawa kayu bakar nantinya”

Nenek tua: (Tersenyum) “Terima kasih, pemuda yang baik hati. Sampai di sini saja dan simpanlah
kayu bakar itu. Kita sudah sampai di gubukku, tunggu sebentar aku akan mengambilkanmu sesuatu”

Deng Kulleng: “Tidak usah Nek, aku Ikhlas membantu tanpa adanya imbalan sepeserpun”

Nenek tua: (Wajah sedih sambil memberikan hadiah kepada Kulleng) “Jadi kau akan menolak
pemberian Nenek tua yang akan mati ini, sungguh pemuda yang tidak berbakti. Sepertinya aku akan
mati sekarang”

Manu’ : (Berkata dalam hati sambil mematuk Kulleng) “Kukuruyuk, Kulleng bodoh ambillah
pemberian Nenek itu. Apakah kau ingin melihatnya mati sekarang”

Deng Kulleng: (Wajah tertekan sambil menegadahkan tangannya) “Aku tidak bisa berkata apa lagi
Nek jika kau memaksa seperti ini, tetapi terima kasih hadiahnya”

Nenek tua: (Wajah Bahagia) “Aku memberimu dua hadiah, yang buah berwarna keemasan itu untuk
ayammu yang inda dan badik itu untukmu sendiri. Ingatlah jika menghadapi masalah di masa depan,
janganlah menyerah Kulleng! Sekarang pulanglah”

Deng Kulleng: “Sehat-sehatlah Nek, aku dan Manu’ akan sering-sering ke sini menemuimu. Ohh dan
Manu’ bukanlah ayam Ajaib. Ia hanya ayam bodoh yang jelek” (Wajah tersenyum sambil mengambil
tangan Nenek dan menciumnya)

Adegan 2: Deng kulleng dan Sahabatnya

Pulanglah Kulleng dari gubuk Nenek sambil menggendong Manu’ di tangan kanannya dan
memainkan hadiah “badik” di tangan kirinya. Ia juga memberikan Manu’ buah keemasan dari Nenek
untuk dimakan diperjalanan pulangnya. Di jalan pulang Kulleng bertemu dengan tiga sahabatnya.
Ballaorang yang membawa kayu bakar di punggungnya, Macca yang membawa busur panah di
punggungnya, dan Baji’ yang membawa ember besar air di kedua tangannya.
Ballaorang: (Wajah tersenyum bangga) “Oi taukah kalian, apa yang kulihat saat aku membabat kayu
bakar di hutan tadi?”

Baji’ : (Tertawa) “Ehh…kau bodoh yah, bagaimana bisa aku tau apa yang kau lihat? Sedangkan kami
tidak ada di sana.”

Ballaorang: (Marah sambil menunjuk Baji’) “Bodoh? Kau yang bodoh Baji’. Aku beritahu apa yang
kulihat di hutan tadi adalah harimau besar, yang tingginya sampai 2 Meter. Jika kau berada di sana
kau akan kencing di celana karena ketakutan setengah mati HAHAHA.

Macca’ : (Wajah tegas dan berani sambil menepuk pundak Ballaorang) Di mana kau melihatnya
Ballaorang? Harimau itu membahayakan warga desa. Apalagi banyak warga desa yang sering ke
hutan mencari kayu bakar. Katakanlah agar aku bisa melapor ke Kepala Desa untuk menangani hal ini.

Baji’ : (Wajah berani sambil mengankat ember) “Ya Ballaorang, di mana harimau itu aku juga akan
ikut dan membawa ember ini untuk menutupi kepala besarnya”

Deng Kulleng: (Berlari menghampiri ketiganya dengan wajah terkejut) “Hei, apa yang kalian
bicarakan? Di kejauhan aku mendengar tentang harimau? Apakah benar ada harimau di Hutan?”

Macca’ : Ohh ternyata Kulleng datang, baguslah kita bisa pergi bersama mencari harimau itu!

Deng Kulleng: (Wajah tegas) “Ayo pergi kalau begitu, tunggu apa lagi? Aku akan mengambil tali di
rumah untuk mengikat harimau itu

Macca’ dan Baji’ : “Ayo pergi”

Ballaorang: (Wajah panik dan gugup) “ Tu.. tuu.. tunggu, kalian tidak perlu semangat begini. Aku su..
su…sudah menangananinya sendiri. Harimau itu aku sudah membunuhnya dengan parangku ini dan
ia sudah mati”

Deng Kulleng: (Wajah tersenyum dan terkejut) “Benarkah? Kau membunuhnya Ballaorang?”

Ballaorang: (Wajah kaku) “Kau tidak percaya? Kau pikir aku ini siapa Kulleng? Aku adalah pendekar
pemberani dari desa kita HAHAHA”

Baji’ : (Tertawa) “Ya Ballaorang, kau pendekar paling pemberani dari desa kita HAHAHHA”

Ballaorang: (Wajah tersenyum sambil menepuk pundak Baji’) “Senang akhirnya kau mengerti dengan
kepala bodohmu itu Baji’ temanku”

Baji’ : (Tertawa dengan muka polos sambil menyeret Ballaorang) “Ayo Ballaorang, bawa aku ke
tempat kau membunuh harimau itu. Aku ingin mengumpulkan bulunya dan menjualnya di pasar. Ayo
cepat Ballaorang keburu tubuhnya dimakan hewan lain”

Ballaorang: (Wajah tertekan karena terseret tarikan Baji’) “Tenanglah Baji’ tubuh harimau itu aku
sudah menguburnya jauh di dalam tanah dan jangan mengganggu peristirahatan terakhir harimau
itu”

Macca’: (Wajah tersenyum) “Tenanglah Baji kau akan menyakiti Ballaorang dengan seretanmu itu
HAHAHA.”

Deng Kulleng: (Wajah tersenyum dan terkejut) “HAHAHA, ini Ballaorang kita yang pemberani yang
sudah membunuh harimau. Dulu bahkan gonggongan anjing membuatnya lari ketakutan dan
lompatan tikus membuatnya pingsan.
Macca’ dan Baji’: (Wajah tertawa dan Gerakan menyembah) “Puji Ballaorang kita sang pendekar
pembunuh harimau HAHAHA”

Manu’ : (Berkata dalam hati) “Kukuruyuk, untuk Ballaorang yang pemberani”

Ballaorang: (Wajah merah dan malu sehingga berjalan lebih cepat meninggalkan ketiganya) “Kalian
sialan”

Dalam perjalanan pulang, keempat sahabat tersebut bercengkrama dengan ria membicarakan
banyak hal. Mulai dari kejadian masa kecil yang lucu, tindakan memalukan, kesedihan, dan
sebagainya. Mulai dari Deng Kulleng yang pemberani dan suka menolong orang lain, Deng Macca’
yang tenang dan pintar melakukan sesuatu, Deng Baji’ yang rajin, polos, dan gampang percaya pada
orang lain, Deng Ballaorang yang bermulut besar, pamer, dan sok berani terhadap sesuatu. Tawa
mereka bergema di bawah angin Hutan yang sejuk.

Adegan 3 : Hari Raya Panen di Desa

Suasana dipenuhi dengan keramaian dan keceriaan. Hari ini adalah Hari Raya Panen, di mana
seluruh warga desa Bugis bersuka cita merayakan hasil jerih payah mereka selama berbulan-bulan.
Deng Kulleng, dengan senyum lebar, berjalan menuju lapangan desa bersama Manu yang bertengger
gagah di bahunya.

Hiasan dari dedaunan kelapa dan janur kuning menghiasi lapangan. Di tengah lapangan, terdapat
gunungan hasil panen berupa padi, jagung, dan berbagai macam buah-buahan. Warga desa,
mengenakan pakaian adat Bugis yang berwarna cerah, berkumpul bersama untuk berdoa dan
mengucap syukur atas panen yang melimpah.

Kepala desa: (Berdiri di atas podium dengan wajah bahagia) “Hari ini adalah hari yang istimewa bagi
kita semua. Kita telah bekerja keras bersama-sama dan hasilnya sangat luar biasa. Ini adalah bukti
bahwa kebersamaan dan kerja keras kita memiliki nilai yang tak ternilai, huraiiiiiii.”

Penduduk desa: (Tersenyum dengan wajah Bahagia) “Hurrai, huraai, Huraaii

Kepala desa: (Wajah Bahagia) Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kulleng, Macca’, Baji’, dan Ballaorang karena berkontribusi besar dalam panen kali ini.

Deng Kulleng: (Wajah Bahagia) “Ini bukan hanya kerja keras kami berempat tetapi kerja keras seluruh
penduduk desa yang menjadikan hasil panen melimpah”

Ballaorang: (Wajah tersenyum Bahagia) “Benar ini kerja keras kami, jika bukan kami hasilnya tidak
akan seperti sekarang HAHAHAA”

Macca’: (Wajah tersenyum Bahagia) “Tidak perlu berterima kasih karena ini adalah kerja keras kita
semua”

Baji’: (Wajah tersenyum Bahagia) “Hahahha, hasil yang melimpah kita harus bersyukur kepada tuhan
atas nikmatnya”

Manu’, ayam jago setia Deng Kulleng, juga hadir di tengah-tengah kerumunan, dipeluk erat oleh
anak-anak desa.
Anak desa 1 : (Wajah tersenyum Bahagia) “Wah ayam jago Deng Kulleng sungguh pintar, dia
mengerti saat disuruh melompat”

Anak desa 2 : (Wajah tersenyum Bahagia) “Benar, Manu’ juga bisa berkokok dengan suara yang
Panjang sangat hebat”

Anak desa 3: (Wajah tersenyum Bahagia) “Sepertinya Manu’ terlihat enak apabila dijadikan ayam
bakar’”

Manu’: (Wajah marah) “Huh, sialan dibalik senyum kalian ternyata ingin memakanku yahh. Kulleng
tolong aku. Kukuruyuk”

Macca’: (Wajah tersenyum dan tertawa) “Kulleng, sepertinya Manu’ ketakutan dan meminta
pertolonganmu HAHAHA”

Deng Kulleng: (Wajah tersenyum sambil memakan pisang) “Jangan pedulikan ayam bodoh itu
biarkan dia bermain dengan anak-anak. Ayo kita nikmati perayaan ini HAHAHA”

Tenri Sai: (Datang sambil membawa makanan dan minuman di atas talenan) “Kulleng, ayo makan-
makan ini, kalian dari tadi hanya makan buah-buahan”

Ballaorang: (Tersenyum bahagia sambil mengambil kue di atas talenan) “Wah, ternyata yang datang
adalah Tenri Sai si bunga paling cantik di desa kita”

Baji’: (Tersenyum bahagia sambil mengambil minuman di atas talenan) “Terima kasih atas
minumannya Tenri Sai”

Macca”: (Tersenyum sambil mengambil makanan) “Ternyata putri kepala desa juga menyajikan
makanan untuk kita, kita harus berterima kasih Kulleng. HAHHAH”

Tenri Sai: (Tersenyum sambil mengepalkan tangannya menghadap mereka) “Gadis ini juga bisa
berkelahi loh, apakah kalian ingin mencobanya?”

Deng Kulleng: (Wajah tersenyum sambil memakan kue yang dibawakan) “Terima kasih atas
makanannya Tenri Sai”

Tenri Sai: (Tersenyum sambil berjalan pergi) “Kalau begitu makanlah, aku juga akan membawanya ke
yang lain”

Acara hari raya panen diisi dengan berbagai pertunjukan tradisional, seperti tarian dan musik
yang meriah. Setiap warga desa berbagi makanan dan cerita di bawah sinar matahari yang hangat.
Hari Raya Panen menjadi momen yang tepat bagi warga desa untuk bersuka cita dan mempererat
hubungan kekeluargaan. Deng Kulleng, di sela-sela keramaian, tak lupa untuk berbagi kebahagiaan
bersama teman dan orang yang dicintainya.

Babak 2: Komplikasi

Adegan 1: Kedatangan Penjajah

Suasana damai di desa Bugis terusik dengan kedatangan kelompok besar tentara berbendera
asing. Para tentara dilengkapi dengan pakaian dan senjata yang lengkap. Mereka berbaris dengan
rapi dan wajah yang garang saat memasuki desa. Ketakutan terpancar dari wajah para warga desa
saat melihat kelompok tentara ini.
Kepala Desa: (Berdiri di depan warga) "Tenanglah, Saudara-saudaraku! Mereka mungkin hanya
tentara yang lewat tidak perlu panik dan takut."

Penduduk Desa 1: (Berbisik-bisik dengan penuh kekhawatiran) "Apa yang akan terjadi pada desa
kita?" "Apakah mereka akan menyakiti kita?"

Penduduk Desa 2: (Berbisik-bisik dengan penuh kekhawatiran) "Aku tidak tau tetapi mereka terlihat
sangat menakutkan”

Anak desa 1: (Wajah ketakutan) “Aku takut”

Ballaorang: (Wajah kaku dan tegang) “Huh, apa yang diinginkan kelompok ini dengan datang ke desa
kita?”

Baji’: (Wajah tersenyum) “Jangan-jangan mereka lapar sehingga datang untuk meminta makanan”

Macca’: “Kalian diamlah, jangan ada yang bertingkah gegabah dan tetap tenang!”

Deng Kulleng: “Aku takut mereka tidak datang dengan niat baik”

Para penjajah, dipimpin oleh seorang komandan yang arogan, langsung menuju ke tengah
desa tempat berkumpulnya penduduk desa. Melihat kedatangan mereka, kepala desa langsung
menyambut mereka dengan hangat dan menyediakan makanan yang enak. Kepala desa dan
komandan penjajah duduk saling berhadapan sambil makan dan berbicara.

Kepala desa: (Wajah memaksakan senyum) “Apa tujuan tuan datang ke desa kecil kami? Apa ada
yang bisa kami bantu?

Komandan penjajah: (Wajah tersenyum sinis) “Tentu saja ada kepala desa, kami datang kemari
karena mendengar bahwa desa ini terkenal akan hasil alamnya yang melimpah sehingga ingin
menguasai desa ini”

Kepala desa: (Wajah memaksakan senyum) “Aku tidak mengerti tuan, apa maksudnya?”

Komandan penjajah: (Wajah tersenyum sinis) “Aku ingin kalian agar menyerahkan hasil panen dan
menjadi budak tentara Belanda kami HAHAHa”

Kepala desa: (Wajah marah sambil berdiri) “Tidak bisa tuanku, kami warga bugis tidak akan pernah
menjadi budak orang lain. Sekarang pergilah dan keluar dari desa kami”

Komandan penjajah: (Wajah tersenyum sinis) “Aku ingin kau mempertimbangkannya dengan baik
kepala desa, atau..?”

Kepala desa: (Wajah marah sambil menunjuk komandan penjajah) “Atau apa? Kau akan membunuh
kami?”

Komandan penjajah: (Wajah marah sambil mengeluarkan pistol dan menembak kepala desa)
“Seperti yang kau inginkan kepala desa. Kau MATI!”

Boom, bunyi ledakan pistol terdengar ke seluruh desa seiring jatuhnya kepala desa. Seluruh
desa, mulai dari anak-anak, pemuda, dan orang tua terdiam seribu kata tidak tau apa yang sedang
terjadi. Mereka semua tersadar saat teriakan melengking seorang Wanita membangunkan
semuanyaa.

Tenri Sai: (Menangis sambil berteriak menghampiri tubuh kepala desa) “ KYAAA!!! Ayah, Ayah, Ayah!
Bangunlah! Jangan tinggalkan aku sendiri!
Deng Kulleng: (Marah sambil berlari menuju komandan penjajah dengan balok yang ada di tanah)
“Bajingan!!! Beraninya kau membunuh kepala desa! Aku akan membunuhmu!

Prajurit Belanda 1: (Mengangkat senapannya dan menembak ke arah Kulleng) “Verdomessh, dasar
rakyat jelata, mati!

Deng Kulleng yang berlari menghampiri penjajah terjatuh berguling-guling. Ledakan senapan
tersebut lebih besar dari pistol yang membuat seluruh warga desa ketakutan dan tiarap. Tentara
Belanda menghampiri Deng Kulleng yang jatuh dan menendang perutnya.

Prajurit Belanda 1: (Wajah tersenyum dan menginjak Kulleng) “Kau beruntung rakyat jelata aku
hanya membidik bahumu, jika itu kepalamu kau akan terbaring Bersama kepala desamu HAHAHA”

Macca’: (Wajah marah dan bergegas maju) “Beraninya kau!!”

Prajurit Belanda 1: (Wajah tersenyum sinis sambil membidik) “Kali ini aku akan membidik kepalanya”

Deng Kulleng: (Berteriak sambil berbaring di tanah) “Jangan kemari Macca’! Diam di tempat! Aku
baik-baik saja! BAJI’ BALLAORANG tahan Macca’ dan robohkan dia”

Ballaorang: (Berbaring di tanah ketakutan sambil menangis) “Tolong-tolong”

Macca’: (Dipeluk Baji’ ditanah sambil berteriak) “Lepaskan aku Baji’! Aku akan menolong Kulleng!”

Baji’: (Berteriak sambil menangis) “Tenang, Kulleng baik-baik saja!”

Prajurit Belanda 2: (Berjalan mendekat mendekati Macca’ dan mengarahkan senjatanya di kepala)
“Verdomessh, kau telah berteriak sangat keras. Sekarang matilah!”

Komandan Belanda: (Wajah tersenyum) “Berhentilah, kau sudah menakuti rakyat jelata itu
HAHAHA”

Prajurit Belanda 1, 2, 3, dan 4: (Tersenyum dan tertawa keras) “HAHAHA”

Komandan Penjajah: (Dengan suara keras) "Dengarkan baik-baik, penduduk desa Bugis! Aku Petro
komandan resimen 1 pasukan Belanda. Kami datang ke sini untuk mengambil alih desa ini. Jika ada
yang berani melawan, maka mati!!!”

Adegan 2: Rencana Melarikan Diri

Kedatangan tentara Belanda di desa Bugis menjadikan tempat yang sebelumnya damai dan
Bahagia menjadi kacau dan sengsara. Di bawah sinar bulan yang redup, tampak para penduduk desa
diikat dan disiksa oleh tentara Belanda. Deng Kulleng dan teman-temannya, Ballaorang, Macca, dan
Baji, tak luput dari kekejaman mereka. Melihat kondisi desa yang seperti ini, maka Kulleng pun
merencanakan pelarian.

Prajurit Belanda 1: (Dengan suara keras dan menendang Macca’) " Diam kau jelata! Beraninya
melawan kami!”

Macca’: (Menahan rasa sakit) “Lepaskan kami! Kami tidak bersalah! Pergilah dari desa kami!

Prajurit Belanda 2: (Menampar Macca’) “Diam! Kau tidak punya hak untuk berbicara!”

Ballaorang: (Menangis ketakutan) “Uhh hiss uhh, diamlah Macca’ mereka akan memukuli kita lagi
kalau kau bicara”
Prajurit Belanda 1: (Berjalan menghampiri Ballaorang sambil menepuk-nepuk pipinya) “Sepertinya
kau pintar juga jelata!”

Macca’: (Wajah marah kepada Ballaoraang) “Beraninya kau menyuruhku untuk diam pengecut! Dari
tadi kau takut berbicara pada penjajah laknat ini dan bersembunyi paling belakang”

Deng Kulleng yang melihat ini hanya bisa terdiam, menahan amarah dan frustrasi melihat
kekejaman para tentara Belanda. Di tengah kekacauan itu, Kulleng diam-diam mengamati situasi. Dia
mencari celah untuk melarikan diri dan membebaskan penduduk desa.

Baji’: (Berbisik kepada Kulleng) "Apa yang kau rencanakan Kulleng?"

Deng Kulleng: (Berbisik) "Kita harus lari. Cari kesempatan saat mereka lengah."

Macca’: (Berbisik) “Tetapi bagaimana dengan penduduk desa?”

Ballaorang: (Berbisik) “Kita tinggalkan saja mereka, kita harus melarikan diri dulu!”

Macca’: (Marah sambil menendang Ballaorang) “Sialan, dasar pengecut dan penakut. Apa kau ingin
warga desa mati?”

Ballaorang: (Wajah marah dan membalas) “Huh, apa katamu? Kau pikir dirimu hebat Macca’,
sebenarnya dihadapan penjajah itu kau tidak berguna. Biarkan saja penduduk desa itu mati!”

Deng Kulleng: (Wajah tenang sambil meringis) “Tenanglah kalian berdua, kita akan melarikan diri
bersama semuanya, kita tunggu sampai para penjajah itu tertidur”

Malam semakin larut. Para tentara Belanda mulai kelelahan dan terlena. Kulleng melihat ini sebagai
kesempatan emas. Deng Kulleng bergerak dengan hati-hati, mendekati tenda para penjajah. Dia
mengintip ke dalam dan melihat beberapa penjajah tertidur pulas.

Deng Kulleng: (Berbisik kepada Ballaorang, Macca, dan Baji) "Mereka semua sudah tertidur. Kita
mulai."

Ballaorang: "Bagaimana caranya kita melepaskan ikatan kita dan penduduk desa?"

Manu’: (Berjalan mendekat sambil menggigit pisau kecil) “Kukuruyuk”

Deng Kulleng: (Melihat Manu’ dengan gembira sambil mengambil pisau kecil di mulutnya) "Ohh
Manu’ yang pintar. Aku akan memotong tali ikatan satu per satu. Tetap tenang!!!"

Deng Kulleng dan teman-temannya mulai memotong tali ikatan penduduk desa. Mereka
bergerak dengan tenang dan tanpa suara. Kulleng dan teman-temannya berhasil membebaskan
seluruh penduduk desa.

Penduduk Desa 1: (Berbisik) "Terima kasih, Kulleng."

Penduduk Desa 2: "Kau pahlawan kami."

Deng Kulleng: (Berbisik) "Kita harus segera pergi dari sini. Mereka akan segera sadar."

Macca’: (Menghampiri Kulleng dan berbisik) “Kulleng, Tenri Sai tidak mau pergi dia ingin tetap di
sini”

Deng Kulleng: (Mengerutkan kening) "Di mana dia? Bawa aku menemuinya.”

Macca’: “Ok”
Deng Kulleng: (Mendekati Tenri Sai yang termenun) “Tenri Sai, ayo pergi bersama yang lainnya”

Tenri Sai: (Wajah sedih dan lelah) “Kemana Kulleng? Aku ingin tetap di sini bersama ayahku!
Pergilah!!”

Deng Kulleng: (Menampar Tenri Sai) “ Sadarlah Tenri Sai, Ayahmu telah mati dibunuh penjajah itu.
Ayo pergi bersama setelah itu kita akan membalas dendam!”

Tenri Sai: (Wajah penuh tekad) “Ayo pergi, cepat atau lambat mereka akan kubalas atas apa yang
terjadi pada Ayahku”

Deng kulleng berhasil membebaskan semua penduduk desa. Mereka hampir tiba di gerbang
desa. Tiba-tiba, Ballaorang tersandung batu dan terjatuh. Rasa sakit yang teramat sangat
membuatnya tak kuasa menahan teriakan. Teriakan Ballaorang membangunkan para penjajah yang
sedang tertidur.

Ballaorang: (Teriak kesakitan) "Ahhh!"

Prajurit Belanda 1: (Terbangun) "Siapa di sana?!"

Prajurit Belanda 2: (Terbangun) "Cepat, cari sumber suara itu!"

Deng Kulleng: (Berteriak) "Cepat lari! Mereka sudah bangun!"

Para penjajah Belanda dengan sigap keluar dari tenda dan mencari sumber suara. Kulleng,
Macca, dan Baji berlari sekuat tenaga. Penduduk desa yang sudah dibebaskan juga turut berlari
mengikuti mereka. Para penjajah Belanda mengejar Kulleng dan penduduk desa. Suara tembakan
dan teriakan bergema di malam hari.

Deng Kulleng: (berlari sambil menoleh ke belakang) "Macca, Baji, bantu Ballaorang!"

Macca’: (berlari sambil membantu Ballaorang) "Ayo, Ballaorang! Kita hampir sampai ke hutan!"

Melihat sahabatnya yang tertinggal, Kulleng pun berhenti berlari ke depan dan mulai berlari
ke belakang. Kulleng berlari dengan kecepatan penuh, berusaha untuk mengalihkan perhatian para
penjajah. Dia berlari ke arah penjajah dan memancing penjajah menjauh dari penduduk desa.
Nafasnya terengah-engah, kakinya terasa lemas. Dia bersembunyi di balik semak-semak, berusaha
untuk tidak terlihat.

Prajurit Belanda 1: (Berteriak) "Dia pasti ada di sini! Cari dia!"

Prajurit Belanda 2: (Berteriak) "Jangan biarkan dia lolos!"

Suara langkah kaki para penjajah semakin dekat. Kulleng sudah pasrah, dia tidak tahu lagi
harus bersembunyi di mana. Dia hanya berbaring di balik Semak belukar sambil nenahan nafasnya.
Penjajah menghampiri Semak tersebut dan menembak. Suara BOOM terdengar bersamaan dengan
suara ayam Jantan melompat keluar dari Semak sambil terjatuh

Prajurit Belanda 1: (Berteriak) "Verdomessh, aku kira itu si jelata yang kabur tetapi Cuma ayam”

Prajurit Belanda 2: (Berteriak) "HAHAHA, jangan membuang peluru hanya untuk ayam. Ayo pergi cari
di tempat lain!”

Deng Kulleng: (Keluar dari Semak menghampiri Manu’ sambil menangis) "Manu’, dasar ayam bodoh.
Mengapa kau bertingkah berani seperti itu! His his, aku tidak ingin kehilanganmu Manu! Wahai
temanku!
Manu’: (Berbaring sambil terengah-engah) “Kukuruyuk” (Sampai jumpa temanku Kulleng, kau harus
menjaga dirimu karena aku akan pergi dulu)

Deng Kulleng: (Berteriak histeris saat Manu’ menutup matanya) " Tidak Manu’!!! Jangan tinggalkan
aku temanku!!!”

Kulleng menguburkan Manu’ di bawah pohon besar di hutan. Dia berjanji untuk
membalaskan dendam Manu kepada para penjajah. Manu’, ayam jantan kesayangan Kulleng,
mengorbankan diri untuk menyelamatkan Kulleng. Kematian Manu’ membuat Kulleng semakin
marah dan bertekad untuk melawan para penjajah.

Adegan 3: Penghianatan dan Kekalahan

Sinar matahari pagi menembus dedaunan hutan, menerangi wajah Kulleng yang masih basah
oleh air mata. Dia menguburkan Manu’ di bawah pohon besar, sebuah makam sederhana untuk
sahabatnya yang setia. Di atas gundukan tanah, Kulleng menaruh sebuah batu pipih dengan tulisan
"Manu’, Sang Penyelamat". Kulleng bangkit dan bersiap untuk kembali ke desa. Dia tahu bahwa
penduduk desa membutuhkannya. Rasa duka atas kematian Manu’ masih terasa, namun tekadnya
untuk melawan Belanda semakin kuat.

Deng Kulleng: (Berteriak ke langit) "Terima kasih, Manu’. Aku tidak akan pernah melupakan
pengorbananmu. Aku akan membalas dendam atas kematianmu. Aku akan mengusir para penjajah
dari desa ini kita."

Kulleng berjalan dengan penuh tekad, menembus hutan lebat. Untuk bertemu dengan
sahabatnya dan penduduk desa yang bersembunyi di hutan. Dia bertemu dengan para penduduk
desa yang telah menanti kedatangannya. Para penduduk desa berkumpul di lapangan desa,
menyambut kedatangan Kulleng. Wajah mereka penuh harap dan kerinduan.

Penduduk Desa 1: (Berteriak) "Kulleng! Kau kembali!"

Penduduk Desa 2: (Berteriak) "Syukurlah kau selamat!"

Kulleng melihat sahabatnya dan penduduk desa dengan wajah-wajah yang penuh luka dan
kesedihan. Dia tahu bahwa para penduduk desa telah mengalami banyak penderitaan di bawah
penjajahan Belanda. Para penduduk desa berkumpul di sekitar Kulleng, mendengarkan dengan
seksama strateginya. Kulleng menjelaskan tentang kekuatan Belanda dan kelemahan mereka. Dia
juga membagi tugas kepada para penduduk desa.

Deng Kulleng: (Berteriak) "Baiklah, mari kita susun strategi untuk melawan Belanda!"

Macca’: (Berteriak) "Kita akan menyerang Belanda pada malam hari. Kita akan menggunakan api dan
kejutan untuk mengalahkan mereka."

Tenri Sai: (Berbicara dengan tekad) “Komandan Belanda itu, aku sendiri yang akan membunuhnya!”

Baji’: (Wajah tersenyum) “Mereka harus membayar apa yang telah mereka lakukan”

Ballaorang: (Wajah tersenyum) “Ya mereka harus membayarnya dengan mahal”

Suasana remang-remang menyelimuti gubuk tersembunyi di dalam hutan. Di dalam gubuk


itu, Kulleng dan para sahabatnya, Macca, Baji, dan beberapa penduduk desa lainnya, tengah
menyusun strategi untuk melawan Belanda.
Deng Kulleng: (berbisik) "Kita harus menyerang mereka saat mereka lengah. Kita akan gunakan api
dan kejutan untuk mengalahkan mereka."

Macca’: (Berbisik) "Kita harus tahu berapa jumlah pasukan mereka dan di mana mereka
ditempatkan."

Penduduk desa 1: (Berbisik) "Aku akan menyelinap ke markas mereka dan mencari informasi."

Tenri Sai: “Di mana Ballaorang? Dari tadi aku tidak melihatnya.”

Baji’ : “Ohh Ballaorang tadi sore pergi untuk mencari makanan di hutan. Sebentar lagi dia akan
kembali”

Deng Kulleng: “Ya tenanglah Tenri Sai, Ballaorang pergi mencari makanan untuk kita”

Macca’: “Mari kita lanjutkan rencananya!”

Diskusi mereka berlangsung dengan penuh semangat dan optimisme. Mereka yakin bahwa
dengan tekad dan persatuan, mereka dapat mengalahkan Belanda. Namun, di tengah-tengah diskusi,
Mereka mendengar suara ketukan pintu gubuk.

Baji’: (Wajah tersenyum Bahagia) “Akhirnya Ballaorang datang, dia pasti membawa makanan untuk
kita”

Penduduk desa 1: (Wajah tersenyum bahagia sambil membuka pintu) “Aku akan membuka pintu
untuknya, HUH? Ballaorang? Apa yang kau lakukan? Mengapa kau membawa penjajah kemari.”

Ballaorang: (Masuk ke gubuk sambil menendang penduduk desa 1) “"Aku datang untuk membantu
kalian. Aku membawa pasukan Belanda untuk menghabisi kalian semua."

Penduduk desa 2: (Wajah marah sambil bergegas maju menikam Ballaorang) “BALLAORANG!!!
Ternyata kau penghianat. Matilah!”

Komandan Belanda: (Masuk di samping Ballaorang dan menembakkan pistolnya kepada penduduk
desa 2) “Verdomeshh, dasar tikus sekarang matilah!!!”

Kulleng tersentak kaget sambil termenung di tempatnya. Dia tidak percaya bahwa
Ballaorang, sahabatnya, tega berkhianat. Kulleng pun memimpin sahabatnya dan para penduduk
desa untuk melawan Belanda dengan berani.

Deng Kulleng: (Berteriak sambil menarik badiknya) "Pengkhianat! Kau telah mengkhianati desa ini!
Serang mereka"

Tenri Sai: (Wajah marah sambil menyerang komandan Belanda) “Hari ini akan menjadi hari
kematianmu”

Macca’: (Wajah marah menyerang Ballaorang) “Dasar tidak punya harga diri sebagai pemuda Bugis!
Aku sendiri yang akan membunuhmu Ballaorang”

Kulleng dan penduduk desa melawan para prajurit Belanda dengan gagah berani.
Pertempuran semakin sengit. Pada akhirnya Kulleng dan para penduduk desa kewalahan
menghadapi prajurit Belanda yang terlatih dan kuat. Melihat hal ini, Kulleng pun mengisyaratkan
untuk mundur ke hutan agar bisa mengatur strategi selanjutnya.

Deng Kulleng: (Wajah Lelah dan berani) “Semunya, kita mundur dulu. Lari ke hutan sekarang!”
Tenri Sai: (Wajah tegas sambil melawan komandan penjajah) “Pergilah Kulleng, aku akan menahan
mereka”

Baji’’: (Berteriak sambil melihat kulleng) “Aku dan Tenri Sai akan menahan mereka. Pergi Kulleng!
Macca’ bawa Kulleng ke hutan untuk bersembunyi”

Macca’: (Berlari menyeret Kulleng) “Kau tidak boleh tertangkap, kita harus membuat strategi ulang
untuk melawan Belanda.

Kulleng dan para penduduk desa yang tersisa harus melarikan diri ke hutan. Mereka kalah
dalam pertempuran melawan Belanda dan Ballaorang. Kini, mereka harus mencari cara untuk
bertahan hidup dan melanjutkan perjuangan mereka.

Babak 3: Penyelesaian

Adegan 1: Pertemuan dengan pendekar tua

Kulleng dan para penduduk desa yang tersisa berlari tanpa henti, menembus hutan lebat. Suara
napas mereka tersengal-sengal, luka mereka perih, dan rasa lelah mendera tubuh mereka.

Penduduk desa 1: "Kita harus berhenti sebentar. Aku tidak bisa berlari lebih jauh lagi."

Deng Kulleng: "Tapi Belanda masih mengejar kita. Kita tidak bisa berhenti sekarang."

Macca’: "Kita harus mencari tempat persembunyian. Kita tidak bisa terus berlari seperti ini."

Deng Kulleng: (Menunjuk gua) "Lihat di sana ada gua! Kita bisa bersembunyi sementara di sana!”

Kulleng dan para penduduk desa lainnya berlari ke arah gua. Mereka berharap bisa
menemukan tempat berlindung di sana. Pintu gubuk terbuka, dan seorang pendekar tua dengan
rambut putih panjang dan jenggot lebat muncul di depan mereka. Melihatnya, Deng Kulleng memiliki
perasaan yang sangat akrab, seperti orang yang selalu hidup bersama selama bertahun-tahun.

Pendekar Tua: (Tersenyum) "Masuklah, kalian semua. Kalian aman di sini."

Kulleng dan para penduduk desa masuk ke dalam gubuk. Pendekar tua menutup pintu gua dengan
belukar lebat.

Deng Kulleng: "Terima kasih, Tuan. Telah memberikan kami pertolongan"

Pendekar Tua: (Tersenyum sambil mengelus janggut) "Jangan khawatir. Kalian akan aman di sini. Aku
akan membantu kalian. Makanlah ini dulu"

Pendekar tua memberikan makanan dan minuman kepada Kulleng dan para penduduk desa. Dia juga
merawat luka mereka dengan obat tradisional.

Deng Kulleng: (Tersenyum) "Siapa namamu, Tuan?"

Pendekar Tua: (Tersenyum) "Namaku Ki Manu’. Aku adalah seorang pendekar tua yang hidup yang
hidup mengembara."

Deng Kulleng: (Wajah sedih melamun) "Manu’? Itu nama yang sama dengan temanku yang telah
menyelamatku, sayangnya dia meninggal"
Pendekar Tua: (Tersenyum) “Tidak perlu sedih anak muda, temanmu itu akan sedih bila kau meratapi
pengorbanannya seperti ini. Kau juga bisa menganggapku sebagai temanmu yang sudah meninggal
itu!”

Deng Kulleng: (Wajah sedih melamun) "Terima kasih Ki Manu’ tetapi aku tidak bisa melakukannya
karena temanku itu hanya seekor ayam bodoh yang berani. Terima kasih Ki Manu’ saya dan seluruh
penduduk desa Bugis, berhutang padamu"

Pendekar Tua: (Tersenyum) “HAHHA, sebenarnya aku juga adalah ayammu, tetapi lupakan itu. Aku
akan membantu kalian. Aku akan mengajari kalian ilmu bela diri dan strategi untuk melawan
Belanda."

Kulleng dan para penduduk desa senang mendengarnya. Mereka tahu bahwa dengan bantuan Ki
Manu’ sang pendekar tua, mereka akan bisa mengalahkan Belanda dan membebaskan desa mereka.
Kulleng dan para penduduk desa berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Ki Manu’. Hutan lebat
menjadi saksi bisu semangat mereka untuk membebaskan desa Bugis dari penjajahan Belanda.

Ki Manu’: (Berteriak) "Lebih cepat! Lebih kuat! Kalian harus siap untuk menghadapi Belanda!"

Kulleng dan para penduduk desa berlatih berbagai macam ilmu bela diri. Mereka belajar cara
menggunakan pedang, tombak, dan panah. Ki Manu’ juga mengajari mereka strategi untuk melawan
Belanda.

Deng Kulleng: (Berteriak) "Kami tidak akan menyerah! Kami akan melawan Belanda sampai akhir!"

Ki Manu’ melihat tekad di mata Kulleng. Dia yakin bahwa Kulleng adalah orang yang tepat untuk
memimpin desa Bugis melawan Belanda. Latihan berlangsung selama berhari-hari. Kulleng dan para
penduduk desa semakin terampil dalam ilmu bela diri dan strategi. Mereka semakin yakin bahwa
mereka bisa mengalahkan Belanda. Suatu malam, Ki Ageng mengumpulkan Kulleng dan para
penduduk desa.

Ki Manu’: (Tersenyum) "Waktunya telah tiba. Besok, kita akan menyerang Belanda."

Macca’: (Tersenyum) “Akhirnya telah tiba Kulleng, aku akan membalaskan dendam Baji’ dan yang
lainnya”

Deng Kulleng: (Tersenyum) "Kau benar! Harinya telah tiba.

Para penduduk desa bersorak dengan penuh semangat. Mereka sudah siap untuk berperang dan
membebaskan desa mereka.

Adegan 2: Pertempuran Terakhir

Cahaya matahari pagi menyapa desa Bugis yang diselimuti aura tegang. Hening sebelum badai.
Para penduduk desa berkumpul di lapangan, siap untuk pertempuran terakhir melawan Belanda. Di
tengah lapangan, Kulleng berdiri tegap dengan penuh semangat, memimpin rakyatnya mengenakan
pakaian perang tradisional Bugis. Di tangannya, dia memegang badik pemberian sang nenek.
Matanya berbinar penuh tekad. Di samping kirinya, sahabat terakhirnya Macca’ berdiri sambil
memegang tombaknya, dan di sebelah kanannya ada Ki Manu’, sang pendekar tua memberikan
dukungan terakhir.

Tiba-tiba, suara terompet Belanda terdengar dari kejauhan, memecah keheningan. Dari balik
gerbang desa, pasukan Belanda muncul dengan gagah. Mereka dipimpin oleh Tuan Petro sang
komandan Belandan dan Ballaorang sang pengkhianat desa Bugis
Komandan Belanda: (Wajah sombong dan bangga) “Menyerahlah Deng Kulleng kau tidak akan bisa
mengalahkan kami. Bergabunglah dengan kami, maka apapun yang kau inginkan akan kau miliki”

Deng Kulleng: (Tersenyum dan berteriak) "Apapun? Maka aku ingin nyawa kalian semua, para
penjahat! Harga diri dan kehormatan orang Bugis harus dibayar mahal!”

Ballaorang: (Berteriak dengan sombong) "Lancang Kulleng, kau dan rakyatmu tidak akan bisa
mengalahkan kami! Menyerahlah dan tunduk pada Belanda!"

Macca’: (Berteriak) “Ballaorang, apa yang terjadi dengan Baji’, Tenri Sai, dan yang lainnya? Di mana
mereka?”

Ballaorang: (Tertawa dengan ganas) “Mereka? Tenri Sai? Wanita pemberani itu mati dengan
menyedihkan karena tidak mau menyerah, mayatnya mungkin sudah dimakan anjing liar. Sedangkan
Baji’ pria bodoh itu juga telah mati, aku sendiri yang menusuk dadanya dengan senjataku HAHHAHA”

Macca’: (Berteriak histeris berlari maju) “Ahhhh, beraninya kau melakukannya pada temanmu yang
bodoh itu. Aku sendiri yang akan membunuhmu Ballaorang”

Deng Kulleng: (Berteriak sambil berlari maju) “Serang, serang, hari ini adalah hari pembalasan”

Penduduk Desa: (Wajah berani dan ganas) “Serang!!!”

Komandan Belanda: (Berteriak maju) “Verdemehss, serang mereka!”

Prajurit Belanda: (Berlari maju) “Bunuh mereka”

Penduduk desa Bugis dan prajurit belanda pun bertemu. Pertempuran sengit pun tak
terelakkan. Kulleng dan para penduduk desa melawan dengan gagah berani. Kulleng menggunakan
ilmu bela diri yang diajarkan oleh Ki Manu’. Dia berhadapan langsung dengan komandan Belanda
satu lawan satu. Sahabat terakhir Kulleng, Macca’ berhadapan dengan si penghianat Ballaorang.

Komandan Belanda: (Wajah ganas) “Deng Kulleng, ini adalah hari kematianmu!”

Deng Kulleng: (Berteriak sambil berlari maju) “Huh, kau yang akan mati hari ini!”

Macca’: (Menusuk tombaknya ke Ballaorang) “Kau harus membayar dosa-dosamu!”

Ballaorang: (Membalas dengan ganas) “HAHHAA, kalian semua akan menemui Baji’ dan yang lainnya
dipelukan Tuhan”

Pasukan Belanda menyerang dengan brutal. Para penduduk desa melawan dengan gagah
berani. Macca' bertarung dengan Ballaorang dengan penuh amarah. Keduanya saling menyerang
dengan tombak dan pedang. Pertempuran berlangsung sengit. Suara pedang beradu, teriakan
kesakitan, dan gemuruh perang memenuhi udara. Di tengah pertempuran, Kulleng berhasil melukai
tuan Petro sang komandan Belandaa dengan parah. Tuan Petro jatuh tak berdaya ke tanah. Melihat
komandan mereka terluka, para prajurit Belanda mulai panik dan mundur.

Deng Kulleng: (Menyerang dengan ganas) “Matilah dan bayar dosa-dosamu!”

Komandan Belanda: (Wajah kesakitan dengan mulut berdarah) “Sialan, Deng Kulleng! Beraninya
jelata sepertimu”

Prajurit Belanda: (Wajah panik dan ketakutan sambil berlari) “Verdomessh, komandan mati! Kita
harus melarikan diri dan melapor ke markas!
Macca': (Berteriak kepada Ballaorang) "Menyerahlah, pengkhianat! Kau tidak akan bisa lolos!"

Ballaorang: (Tertawa sinis) "Jangan mimpi! Aku akan membawamu juga ke neraka!"

Ballaorang menyerang Macca' dengan brutal. Macca' berusaha bertahan dengan sekuat
tenaga, namun dia terluka parah. Kulleng melihat Macca' terluka. Amarahnya memuncak. Dia berlari
ke arah Ballaorang dan menyerangnya dengan penuh semangat. Pertarungan sengit terjadi antara
Kulleng dan Ballaorang. Keduanya saling menyerang dengan badik dan pedang. Juga mengeluarkan
semua kemampuan mereka. Kulleng berhasil menusuk Ballaorang dengan Badiknya. Ballaorang
terjatuh ke tanah, mati bersimbah darah.

Deng Kulleng: (Wajah sedih sambil menusuk badik ke Ballaorang) “Temanku Ballaorang yang
pemberani, pergillah temui Baji’ dan Tenri Sai untuk meminta maaf padanya!”

Ballaorang: (Wajah menangis dengan mulut berlumuran darah) “Maafkan aku temanku, aku hanya
ingin menjadi pemberani sepertimu dan Macca”

Macca’: (Berjalan ke tubuh Ballaorang sambil menutup matanya) “Selamat tinggal temanku”

Kulleng dan para penduduk desa bersorak dengan penuh kemenangan. Desa Bugis telah
terbebas dari penjajahan Belanda. Pertempuran sengit telah usai. Kulleng dan para penduduk desa
berhasil mengalahkan Belanda dan Ballaorang. Desa Bugis terbebas dari penjajahan. Di tengah
sorakan penduduk desa, datanglah 3 pendekar menghampiri desa Bugis dengan seorang tawanan.

Adegan 3: Pendekar dan Kehormatan

Di tengah hutan, satu tentara Belanda yang panik dan kelelahan berlari mencari tempat
persembunyian. Tiba-tiba, mereka dikepung oleh dua pendekar berpakaian hitam dengan topeng di
wajah mereka.

Pendekar 1: (Berteriak dengan suara lantang) "Berhenti di situ! Kalian tidak akan bisa lolos!"

Tentara Belanda 1: (Berteriak ketakutan) "Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?"

Pendekar 2: (Berbicara dengan suara dingin) "Kami adalah utusan Raja Bugis. Kami di sini untuk
menangkap kalian dan membawa kalian ke hadapan raja!"

Para pendekar menyerang tentara Belanda dengan gagah berani. Tentara Belanda berusaha
melawan, namun mereka tidak berdaya melawan keahlian para pendekar. Dalam waktu singkat, para
pendekar berhasil melumpuhkan semua tentara Belanda. Para pendekar membawa para tentara
Belanda yang terikat ke arah desa Bugis. Kedatangan para pendekar utusan Raja Bugis telah
membawa rasa keadilan bagi rakyat desa. Tentara Belanda yang melarikan diri telah ditangkap dan
akan diadili. Desa Bugis kini benar-benar terbebas dari penjajahan.

Kulleng duduk bersama Macca, dikelilingi oleh para penduduk desa yang sedang mengobati luka
mereka. Tiba-tiba, dua pendekar berpakaian hitam dengan topeng di wajah mereka datang dan
berlutut di hadapan Kulleng.

Pendekar 1: (Berbicara dengan suara rendah) "Ampun, Deng Kulleng. Kami datang terlambat untuk
membantu Anda melawan Belanda."

Kulleng: (Tersenyum lemah) "Tidak apa-apa, Pendekar. Kalian datang tepat waktu untuk membantu
kami menangkap tentara Belanda yang melarikan diri."
Pendekar 2: (Melepas topengnya) "Terima kasih, Deng Kulleng. Kami bersyukur atas kemurahan hati
Anda."

Kedatangan para pendekar telah membawa rasa keadilan bagi rakyat desa Bugis. Para
pendekar telah meminta maaf atas keterlambatan mereka, dan Kulleng telah memaafkan mereka.
Desa Bugis kini benar-benar terbebas dari penjajahan dan bersatu dalam kebahagiaan.

Babak 4: Hikmah

Hikmah cerita dan nilai-nilai yang dapat dipelajari dari drama di atas antara lain:

1. Keberanian dan Kepedulian: Deng Kulleng dikenal sebagai pemuda pemberani yang selalu
siap membantu warga desa yang membutuhkan. Keberaniannya dalam menghadapi
tantangan, seperti membantu nenek tua membawa kayu bakar dan bersedia membantu
siapapun, mengajarkan pentingnya memiliki jiwa yang berani dan peduli terhadap sesama.
2. Sikap Hormat terhadap Sesama: Meskipun memiliki perbedaan kepribadian, seperti yang
terlihat dari karakteristik sahabat-sahabat Deng Kulleng, mereka tetap saling menghormati
dan mendukung satu sama lain. Ini mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan dan
tetap menjaga hubungan yang baik meskipun ada perbedaan pendapat atau kepribadian.
3. Pengorbanan dan Persahabatan: Hubungan persahabatan antara Deng Kulleng dan sahabat-
sahabatnya, terutama Manu' (ayam jago), menunjukkan betapa pentingnya kesetiaan dalam
sebuah hubungan. Mereka saling mendukung dan melindungi satu sama lain, bahkan dalam
situasi yang sulit sekalipun.
4. Kegigihan dan Keteguhan Hati: Meskipun mengalami berbagai rintangan dan kekalahan,
Kulleng dan para penduduk desa tetap gigih dan teguh dalam perjuangan mereka melawan
penjajah. Mereka tidak menyerah meskipun dihadapkan pada kesulitan, dan tetap
mempertahankan tekad untuk melawan sampai akhir.
5. Perlawanan Terhadap Penindasan: Drama ini menggambarkan pentingnya perlawanan
terhadap penindasan dan penjajahan. Para karakter menunjukkan keberanian untuk
melawan ketidakadilan dan menegakkan kebenaran, meskipun mereka berhadapan dengan
kekuatan yang lebih besar.
6. Penerimaan dan Pengampunan: Meskipun terkadang ada perbedaan pendapat atau tindakan
yang kurang bijaksana, seperti yang terjadi antara Deng Kulleng dan Ballaorang, namun
penting untuk memiliki sikap penerimaan dan pengampunan. Ini membantu menjaga
keharmonisan dan ketentraman dalam hubungan sosial.
7. Pengampunan dan Kemanusiaan: Meskipun mengalami penderitaan dan kehilangan yang
besar, Kulleng menunjukkan kemurahan hati dengan memaafkan para pendekar yang datang
terlambat. Ini mencerminkan nilai-nilai pengampunan dan kemanusiaan, yang mengajarkan
pentingnya memberi kesempatan kedua dan menyelesaikan konflik dengan damai.
8. Harga diri dan kehormatan: Para karakter menolak untuk tunduk pada penjajah dan menolak
untuk menjadi budak mereka. Mereka memilih untuk mempertahankan harga diri dan
martabat mereka sebagai manusia yang merdeka. Meskipun dihadapkan pada intimidasi dan
ancaman, para karakter tetap memilih untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan apa
yang mereka yakini sebagai benar dan adil. Mereka tidak akan mengorbankan kehormatan
mereka demi kenyamanan atau keselamatan pribadi.
Melalui perjuangan dan pengorbanan para karakter, drama ini mengajarkan nilai-nilai moral yang
kuat seperti keberanian, keadilan, kebersamaan, dan pengampunan. Ini menginspirasi penonton
untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi kesulitan dan untuk selalu mempertahankan
integritas moral mereka, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dengan memahami
hikmah-hikmah dan nilai-nilai tersebut, kita dapat belajar untuk menjadi individu yang lebih berani,
peduli, bekerja sama, hormat terhadap sesama, setia dalam persahabatan, serta mampu
menciptakan kehangatan dan kedamaian dalam lingkungan sosial kita.

Anda mungkin juga menyukai