Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
12
hingga sampai saat ini terjadi. Ketahanan perkotaan menimbulkan
wawasan tentang ide – ide kompleks seputar keberlanjutan dan
memahami sistem sosial yang sangat kompleks seperti daerah perkotaan.
Permukiman artinya penunjang primer dalam kebutuhan hunian
bagi penduduk serta proses pembangunan secara berkelanjutan, akan
tetapi bagaimana perkotaan bisa memenuhi kebutuhan penduduk, dengan
terkonsentrasinya proses pertumbuhan urbanisasi yang semakin tinggi
pada kawasannya. Seperti yang terjadi pada kawasan lahan basah,
sesungguhnya tidak diperuntukan sebagai hunian atau permukiman
dikarenakan menimbulkan terjadinya bencana banjir serta kesehatan yang
tidak baik. Seperti halnya pada permukiman Ciputat dimana terdapat
sebagian hunian yang memanfaatkan bantaran sungai sebagai ruang,
kawasan yang rawan banjir dan sungai yang tercemar oleh limbah
campuran yang berasal dari Pasar Ciputat menimbulkan isu kenyamanan
dan kesehatan yang krisis.
2.1.1.3 Perkembangan Permukiman Perkotaan
13
berkelanjutan harus memiliki ekonomi yang kuat, area lingkungan
harmonis, tingkat keadilan sosial yang relatif sama, tingkat partisipasi
warga/penduduk yang tinggi, dan konservasi energi yang terkendali
(Budihardjo dan Sujarto, 2013). Inti dari pembangunan permukiman
berkelanjutan adalah meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan.
Dengan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu kawasan
dapat dirancang lebih tepat sasaran. Misalnya, Ijong dkk (2017) telah
menerapkannya pada desain kawasan pesisir kota Tahuna. Pada dasarnya
untuk tercapainya tujuan perkotaan berkelanjutan memiliki faktor – faktor
yang membuat terhambat jalannya proses, seperti fasilitas dan prasarana
sosial ekonomi, aksesibilitas, peruntukan tata lahan, dan migrasi yang
masih terkonsentrasikan.
2.1.1.4 Faktor dan Kebijakan Permukiman Perkotaan
14
terwujudnya ruang nasional yang aman, nyaman, efisien dan
berkelanjutan. Perumahan dan area pemukiman kembali merupakan satu
kesatuan sistem yang terdiri dari pembangunan, pengelolaan hunian,
pengelolaan kawasan pemukiman kembali, pemeliharaan dan perbaikan,
pencegahan serta peningkatan kualitas lokasi pemukiman kumuh menjadi
supaya lebih baik, penyediaan lahan, sistem pendanaan dan pembiayaan,
serta peran warga/penduduk (UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan
dan Permukiman).
Pemanfataan tata ruang dapat diwujudkan dari mengubah
pembangunan yang bersifat sentralistis menjadi desentralisasi,
diperuntukan memberi harapan bagi masyarakat untuk memahami lebih
terhadap memanfaatkan penataan ruang yang bersifat berkelanjutan. Hal
tersebut mengharuskan masyarakat mengenal peraturan UU dalam
pemanfataan tata lahan kota, serta perekembangan dalam sistem
infrastruktur permukiman.
2.1.2 Permukiman Kumuh
15
2.1.2.1 Kriteria Permukiman Kumuh
16
dalam membangun, bangunan yang berdiri deket aliran sungai, kondisi
lingkungan sekitar yang berasa tidak layak terhadap permukiman, dan
ditambah meningkatnya faktor urbanisasi mengakibatkan kepadatan
penduduk yang pada akhirnya tidak adanya lahan terbuka bagi
penghijauan (RTH) dengan kawasan yang sangat terbatas.
2.1.2.2 Definisi Tata Ruang Permukiman Kumuh
17
atau membangun rumah yang layak dari industri. Jika demikian, jika
dibiarkan, pembangunan perumahan/hunian dan permukiman dengan
skala besar di perkotaan selalu menghadapi masalah lahan yang semakin
mahal dan langka, maka penting sekali untuk menerapkan sebuah aturan.
2.1.2.3 Faktor dan Isu Permukiman Kumuh
18
tata kelola pemerintah. Hal tersebut terjadi dikarenakan banyaknya pelaku
urbanisasi yang berdatangan dari berbagai wilayah ke satu kota seperti
yang terjadi pada Kota Jakarta dan Tangerang Selatan, menciptakan
minimnya lapangan kerja yang tersedia dan lahan hunian.
Pelaku urbanisasi kebanyakan memiliki tujuan untuk membuka
usaha, bermukim di sekitar kawasan pusat perdagangan dan sebagian
besar mereka memiliki latar belakang ekonomi dengan kelompok
menengah ke bawah (Surtiani, 2006). Dengan tindakan yang dilakukan
urbanisasi untuk bermukim serta melaksanakan kegiatan perdagangan,
menyebabkan masalah bagi struktur perencanaan ruang kota (Daljoeni
2003: 78). Permukiman di Ciputat memiliki karaktersitik dengan adanya
pusat perdagangan (pasar). Dengan pemanfaatan potensi yang ada
dikawasan pusat distrik banyak penduduk Ciputat yang membuka usaha
rumahan, karena keterbatasannya lahan serta tingginya harga sewa
membuat mereka membuka usaha atau industri di huniannya (mixed land
use) (Eny, 2006). Meningkatnya urbanisasi, lahan hunian menjadi
kebutuhan penting bagi pendatang baru yang pada akhirnya menimbulkan
degradasi lingkungan yang semakin parah dan pemanfataan lahan kosong
dan lahan tidak memenuhi standar kelayakan sebagai hunian.
Seperti yang dipaparkan oleh Walikota Tangerang Selatan pada
SK, No. 663/Kep.265-Huk/2020 tentang Lokasi Permukiman Kumuh,
sebagaimana tindakan pemerintah untuk penanganan dan pengentasan
permukiman kumuh sudah direncanakan salah satunya pada kawasan
permukiman Ciputat. Keputusan tersebut ditetapkan dengan Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Permukiman (RP2KP)
Tahun 2014, Ditjen Cipta Karya Kementrian PUPR No. PR.01.03-
DC/544 tanggal 27 Oktober 2015 Tentang Program Peningkatan Kualitas
Kawasan Permukiman untuk mendukung penanganan kumuh perkotaan.
Serta mengacu kepada Perda Kota Tangerang Selatan No. 3 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Hunian dan Kawasan Permukiman. Pemerintah
Kota Tangerang Selatan melakukan langkah dengan membentuk Satuan
Kerja (Satker) Kotaku, Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas), dan
19
Pokja PKP Kota Tangerang Selatan. Dalam tujuan mengkoordinasikan
program pengentasan, memonitor pencapaian pengelolaan, dan
Menyiapkan peraturan mengenai Surat Keterangan (SK) kumuh.
2.1.3 Isu Bantaran Sungai
20
fasilitas hunian yang layak serta nyaman. Hakekatnya pengembangan
permukiman berkelanjutan menurut (Kirmanto, 2005) meningkatkan
kualitas kehidupan secara berkelanjutan mulai dari kondisi sosial, faktor
ekonomi, dan kualitas infrastruktur. Menurut (Maryono, 2003) sempadan
sungai diartikan sebagai bantaran sungai, sempadan sungai merupakan
daerah untuk mengendalikan banjir ditambah daerah rawan longsor jika
tebing sungai geser (sliding).
Menurut (Chalsie Janny, 2013) dalam skripsi, menjelaskan pada
intinya permukiman yang beridiri di bantaran sungai merupakan
permukiman marginal, karena menempati lahan dengan tata ruang yang
tidak semestinya difungsikan sebagai hunian. Sedangkan Menurut
(Suprijanto, 1995) dikutip dari (Wahyuningsih, 2014) secara umum
karakteristik permukiman bantaran sungai antara lain:
1. Kawasan permukiman cenderung sesak/padat dan identik dengan
permukiman kumuh, dikarenakan tidak ada penetapan standar
peraturan efektif maupun tertulis yang melandasinya.
2. Kondisi ekonomi penduduknya cenderung kalangan menengah
kebawah, dengan sumber pekerjaan dalam sektor informal.
3. Timbulnya permukiman pinggir sungai menyebabkan degradasi
kualitas bantaran sungai serta minimnya fasilitas, sanitasi,
kesehatan, dan bencana.
4. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan material bahan
yang terbuat dari kayu dan bahan–bahan yang dapat diketemukan
pada area sekitarnya.
2.1.3.2 Kebijakan Pemerintah
21
yang terletak di bantaran sungai, antara lain Undang-Undang Nomor 1.
Keputusan Menteri No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
Pekerjaan Umum Keputusan No. 63 Tahun 1993 tentang Batas dan Aliran
Air, Daerah Peruntukan Sungai dan Daerah Pengendalian Sungai.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) dalam perencanaan
kawasan menjelaskan bahwa perencanaan letak pembangunan pada area
aliran sungai harus memiliki aturan dan jarak dalam perencanaan dihitung
dari suatu peraturan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) atau RDTR
(Rencana Detail Tata Ruang) dengan acuan GSS (Garis Sempadan
Sungai). Seperti yang dijelaskan pada persyaratan administratif dalam tata
bangunan dan lingkungan Pasal 24 ayat 2 dan 3 Tentang “Setiap bangunan
tidak boleh melanggar peraturan izin bangunan yang diatur dalam Perda
RTRW Kawasan Tangerang Selatan. Peraturan Daerah tentang RDTR di
Kota Tangerang Selatan atau Peraturan Walikota tentang RTBL (Rencana
Tata Bangunan Lingkungan dan bangunan harus memenuhi standar garis
sempadan bangunan gedung dengan tepi sungai).”
2.1.3.3 Pembangunan Hunian Ilegal Menimbulkan Permasalahan
22
2.1.4 Potensi Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman
Kumuh
23
Penanganan Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh
pada Perkotaan (RP2KPKP) dalam menerapkan standarisasi dan idea
dalam menangani permukiman kumuh pada perkotaan yang menjadi
suatu faktor kegagalan kota.
Program pengelolaan permukiman kumuh juga berkembang,
dari sebuah konsep Kampung Improvement Program (KIP) tahun 1969
hingga penyusunan baseline 100-0-100 (akses air bersih 100%,
pengurangan permukiman kumuh menjadi 0% dan mencapai akses 100%
terhadap sanitasi layak) pada tahun 2015 dan program nasional KOTAKU
(Kota Tanpa Kumuh) pada tahun 2016 masih berlanjut hingga saat ini.
Selain peroses pengembangan kualitas permukiman kumuh dan
mencegah munculnya permukiman kumuh baru, program KOTAKU
berupaya agar meningkatkan akses infrastruktur dan pelayanan dasar.
Implementasi kebijakan untuk mengatasi permasalahan permukiman
kumuh di Kota Tangerang Selatan Kecamatan Pasar Ciputat, belum
terlaksana secara komprehensif dan menyeluruh.
2.1.4.2 Kebijakan Dalam Penanganan
24
Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan
satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Model pendekatan bottom-up
yang diusulkan oleh Smith di atas memberikan skor tinggi untuk realisme
dan kemampuan untuk mengeksekusi. Perumahan dan kawasan adalah
satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan
perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan
perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem
pembiayaan, serta peran masyarakat. (Undang-Undang No.1 Tahun 2011
tentang perumahan dan kawasan permukiman).
2.1.4.3 Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh
25
2.2 Penelitian Terdahulu
26
2.2.2 Jurnal yang ditulis oleh Nur Nafsi, Dkk, 2019, Universitas Islam
Sultan Agung dengan judul “Karakteristik Permukiman Kumuh
(Studi Kasus: Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang)”
Jurnal Malige Arsitektur Vol. 1, No. 1, Juni 2019, hal. 30-39
27
Dari ketiga penelitian terdahulu diatas menggambarkan beberapa
hubungan dalam penulisan penelitian tersebut, dimana yang akan dilaksanakan oleh
peneliti dengan berjudul Kajian Potensi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh
Pada Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan. Penelitian terdahulu tersebut
disajikan/dideduktifkan kedalam tabel dibawah ini, guna mempermudah
pemahaman para pembaca informasi mengenai penelitian terdahulu ini.
28
penataan permukiman kumuh
perkotaan.
29
2.3 Kerangka Pemikiran
Latar Belakang:
- Berkembangnya faktor urbanisasi yang menimbulkan beberapa isu di
Indonesia
- Fungsi lahan disalahgunakan oleh masyarakat
- Minimnya sarana dan prasarana untuk kebutuhan pada masyarakat
Indonesia
Rumusan Masalah
4. Bagaimana karakteristik permukiman kumuh pada kawasan Kecamatan
Ciputat Kota Tangerang Selatan?
5. Sudut pandang permasalahan yang menyebabkan terjadinya
permukiman kumuh di kawasan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang
Selatan?
6. Potensi dalam mengatasi penataan permukiman kumuh pada kawasan
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan?
Tujuan Penelitian
1. Memahami karakteristik permukiman kumuh perkotaan dengan teori
yang diperoleh dan memperoleh variabel serta aspek yang akan dikelola.
2. Mengkaji terhadap sebuah aspek untuk menyimpulkan permasalahan
serta penyebab dan mengkategorikan permukiman kumuh Di Ciputat.
3. Mengkaji dan memahami sebuah potensi untuk penataan kawasan pada
permukiman kumuh khususnya Di Kawasan Pasar Ciputat, dengan acuan
program pengentasan dan pencegahan permukiman kumuh.
4. Menjadi pembaharuan penelitian dari penelitian sebelumnya dengan tema
peneliti “Kajian Potensi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh Pada
Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan.”
30
Tinjauan Pustaka
Kajian Teori dan Peneltian Terdahulu
Pengumpulan Data:
Observasi Lapangan, Kajian Literatur, Wawancara, Dokumentasi, dan Riset
Terlaksana
Hasil
Kesimpulan Penelitian
31
2.4 Sintesis
32