Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

Kajian teori merupakan pengidentifikasian teori sebagai landasan pola pikir


untuk melakukan suatu kajian, dengan kata lain menggambarkan pola kerangka
acuan teori atau penelitian terdahulu yang akan digunakan dalam
mempertimbangkan masalah pada penelitian.
Kajian teori ini berkenan dengan Kajian Potensi Penataan Kawasan
Permukiman Kumuh Pada Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan. Untuk lebih
menjelaskan penelitian ini peneliti akan menguraikan rangkaian teori sebagai
berikut:
2.1.1 Penataan Kawasan
2.1.1.1 Pengertian Tata Ruang dan Peraturan

Pada Permen - PU nomor 17 tahun 2009 dalam dokumen


Penataan Ruang menjelaskan Tentang Tujuan Penataan Ruang Wilayah
Perkotaan, sebagaimana telah dimantapkan oleh pemerintahan kota. Hal
tersebut merupakan arah terwujudnya visi dan misi pembangunan kota
jangka panjang dari segi tata ruang, pada hakikatnya merupakan pedoman
bagi penjabaran rencana tata ruang kota.
Dalam UU-RI No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 25 menjelaskan
bahwa, kawasan perkotaan merupakan daerah dengan aktivitas primer
bukan difungsikan sebagai pertanian, melainkan susunan fungsi daerah
yang diperuntukan menjadi sebuah permukiman perkotaan, pemusatan
wilayah, pelayanan sosial serta aktivitas ekonomi dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan dalam peraturan – peraturan,
bahwasanya pemerintah perkotaan memiliki rencana untuk pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang komprehensif dan terarah.
Peran arsitektur perkotaan memiliki berbagai fungsi untuk
meujudkan sebuah kebutuhan atas ruang pada wilayah perkotaan.
Menurut Sarosa (2018), memaparkan perkotaan dapat bersifat fungsional
untuk mendukung aktivitas masyarakat, nyaman sebagai kegitan
keseharian masyarakat, memiliki perspektif baik, dan memiliki
keseragaman budaya seperti sosial masyarakat. Tata ruang dikaitkan guna
untuk menciptakan pembangunan perkotaan untuk keberlanjutan secara
tertata dan teratur, hal ini menciptakan sebuah ruang yang nyaman dan
aman bagi pengguna. Serta menurut Eryudawan peran arsitektur dan
peraturan pemerintah merupakan sebuah terwujudnya perkembangan
perkotaan.
2.1.1.2 Definisi Permukiman dan Ketahanan dalam Membangun
Perkotaan

Beberapa ahli mendefinisikan pemukiman masyarakat sebagai


hunian dengan sarana dan prasarana yang terkelola atau baik, seperti
Doxiadis (1967) mengemukakan bahwa area permukiman terdiri dari isi
dan wadah, yaitu permukiman warga meliputi ruang kegiatan dan orang-
orang yang mendiaminya. Isi adalah isi wadah, atau orang adalah subjek
sentral yang memberi makna pada wadah. Oleh karena itu, konten dan
permukiman masyarakat dalam wadah tersusun dari cangkang, jaringan,
alam, manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, para pemukim dapat
melihat dari sumber daya manusia dan alamnya.
Daerah perkotaan adalah fondasi bangunan yang dapat
meningkatkan ekonomi serta sebagai pusat populasi dan investasi
(Kapucua, 2021). Meningkatnya kepentingan daerah perkotaan halnya
urbanisasi mengakibatkan munculnya ancaman – ancaman mulai dari
kesenjangan perekonomian, fasilitas perkotaan, dan lainnya yang bersifat
kompleks. Ketahanan perkotaan didefinisikan sebagai “kemampuan
sistem perkotaan dari semua jaringan sosioekologis dan sosio-teknis
dengan tujuannya untuk mempertahankan perkotaan dari bencana alam
dan mengembalikan fungsi fasilitas yang mengalami gangguan”
(Kapucua, 2021). Ketahanan perkotaan pada Kota Tangerang Selatan
yang terjadi meliputi bencana alam banjir dan pandemi covid-19 yang

12
hingga sampai saat ini terjadi. Ketahanan perkotaan menimbulkan
wawasan tentang ide – ide kompleks seputar keberlanjutan dan
memahami sistem sosial yang sangat kompleks seperti daerah perkotaan.
Permukiman artinya penunjang primer dalam kebutuhan hunian
bagi penduduk serta proses pembangunan secara berkelanjutan, akan
tetapi bagaimana perkotaan bisa memenuhi kebutuhan penduduk, dengan
terkonsentrasinya proses pertumbuhan urbanisasi yang semakin tinggi
pada kawasannya. Seperti yang terjadi pada kawasan lahan basah,
sesungguhnya tidak diperuntukan sebagai hunian atau permukiman
dikarenakan menimbulkan terjadinya bencana banjir serta kesehatan yang
tidak baik. Seperti halnya pada permukiman Ciputat dimana terdapat
sebagian hunian yang memanfaatkan bantaran sungai sebagai ruang,
kawasan yang rawan banjir dan sungai yang tercemar oleh limbah
campuran yang berasal dari Pasar Ciputat menimbulkan isu kenyamanan
dan kesehatan yang krisis.
2.1.1.3 Perkembangan Permukiman Perkotaan

Kota menjadi sebuah sentra infrastruktur dalam mikro


perekonomian daerah, yang memiliki perkembangan terus-menerus
dilaksanakan khususnya pembangunan infrastruktur. Menurut Tenaga
Ahli Nurwino Wajib Tahun 2016 dalam pemaparannya diprogram Kota
Tanpa Kumuh (KOTAKU), bahwa “perkembangan kota dilaksanakan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk di kawasan dan tidak lepas dari
fenomana kegagalan perkotaan, dengan munculnya faktor – faktor
permasalahan yang terjadi pada perkotaan.” Kota memiliki tujuan untuk
mewujudkan sebuah perkotaan yang berkelanjutan pastinya memerlukan
adanya sebuah keseimbangan antara per-ekonomian, sosial, dan
lingkungan.
Menurut Kirmanto (2002), pembangunan berkelanjutan di
sektor pemukiman didefinisikan sebagai upaya dalam meningkatkan
kondisi sosiologi, ekonomi, dan lingkungan untuk menjadikannya tempat
bagi setiap orang untuk hidup dan bekerja. Permukiman yang

13
berkelanjutan harus memiliki ekonomi yang kuat, area lingkungan
harmonis, tingkat keadilan sosial yang relatif sama, tingkat partisipasi
warga/penduduk yang tinggi, dan konservasi energi yang terkendali
(Budihardjo dan Sujarto, 2013). Inti dari pembangunan permukiman
berkelanjutan adalah meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan.
Dengan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu kawasan
dapat dirancang lebih tepat sasaran. Misalnya, Ijong dkk (2017) telah
menerapkannya pada desain kawasan pesisir kota Tahuna. Pada dasarnya
untuk tercapainya tujuan perkotaan berkelanjutan memiliki faktor – faktor
yang membuat terhambat jalannya proses, seperti fasilitas dan prasarana
sosial ekonomi, aksesibilitas, peruntukan tata lahan, dan migrasi yang
masih terkonsentrasikan.
2.1.1.4 Faktor dan Kebijakan Permukiman Perkotaan

Presepsi kegagalan kota selalu dikaitkan dengan faktor migrasi


atau urbanisasi, dikarenakan dengan pertumbuhan penduduk yang sangat
pesat pemerintah kota harus memenuhi kebutuhan seperti garis besar
lahan untuk permukiman. Urbanisasi adalah proses pembentukan kota,
suatu proses yang didorong oleh perubahan struktural dalam masyarakat,
sehingga lokasi-lokasi yang sebelumnya merupakan kawasan perdesaan
dengan agraris struktur penghidupan dan sifat kehidupan
warga/masyarakat, baik secara tingkatan maupun sebagai akibat dari
proses yang tiba - tiba mengambil karakter kehidupan kota. Pengertian
urbanisasi yang kedua adalah bahwa urbanisasi mengacu pada gejala
perluasan pengaruh area kota terhadap kawasan perdesaan yang dilihat
dari segi morfologi, per-ekonomian, sosial dan psikologis. Kota semakin
perlu menciptakan permukiman dan lahan untuk mereka yang
membutuhkan tempat tinggal di sekitar pusat kegiatan karena membantu
untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam suatu kawasan perkotaan sudah pasti adanya suatu aturan
rencana pembangunan dalam pemerintahan daerah. Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) mendukung

14
terwujudnya ruang nasional yang aman, nyaman, efisien dan
berkelanjutan. Perumahan dan area pemukiman kembali merupakan satu
kesatuan sistem yang terdiri dari pembangunan, pengelolaan hunian,
pengelolaan kawasan pemukiman kembali, pemeliharaan dan perbaikan,
pencegahan serta peningkatan kualitas lokasi pemukiman kumuh menjadi
supaya lebih baik, penyediaan lahan, sistem pendanaan dan pembiayaan,
serta peran warga/penduduk (UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan
dan Permukiman).
Pemanfataan tata ruang dapat diwujudkan dari mengubah
pembangunan yang bersifat sentralistis menjadi desentralisasi,
diperuntukan memberi harapan bagi masyarakat untuk memahami lebih
terhadap memanfaatkan penataan ruang yang bersifat berkelanjutan. Hal
tersebut mengharuskan masyarakat mengenal peraturan UU dalam
pemanfataan tata lahan kota, serta perekembangan dalam sistem
infrastruktur permukiman.
2.1.2 Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh menjadi salah satu faktor berpengaruh bagi skala


kota maupun kawasan dan lingkungan, dan dapat disimpulkan bahwasanya
kegagalan kota terjadi pada pemanfaatan lahan maupun penataan ruang
kawasan yang tidak sesuai rencana serta peraturan. Kata "slum" sering
digunakan sebagai gambaran permukiman informal di area per-kotaan
mengenai perumahan yang tidak layak untuk dihuni dengan kondisi
lingkungan yang buruk (Permana dkk, 2017). Dengan kata lain permukiman
kumuh juga di artikan sebagai permukiman tidak terencana dalam
fungsinya, baik secara teknis maupun non-teknis. Sejak tahun 2008, 26%
penduduk Indonesia di perkotaan berpenghuni pada kawasan permukiman
kumuh (Budiprayitno, 2014).

15
2.1.2.1 Kriteria Permukiman Kumuh

Karakteristik permukiman/hunian kumuh perkotaan dapat ter-


ukur dari variabel dan indikator yang menyebabkan kekumuhan. Kriteria
permukiman kumuh digunakan sebagai menentukan tipe/status
permukiman kumuh di permukiman perkotaan dengan hunian kumuh,
terbagi ke dalam 3 kategori yaitu; ringan, sedang dan berat (Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Republik Indonesia, 2016),
(Fitria dan Setiawan, 2014), (Febrian dkk. 2020), (Wisesa, 2021). Kriteria
permukiman kumuh dapat ditinjau dari beberapa aspek–aspek:
1. Aspek fisik (gedung, jalan lingkungan, penyediaan air bersih, drainase
area, pengelolaan air limbah, pengelolaan limbah hunian dan proteksi
bencana kebakaran).
2. Aspek tipe (perairan, tepi sungai, dataran rendah, daerah perbukitan,
dan area rawan bencana).
3. Aspek lokasi (kondisi kumuh/tidak layak dan legalitas lahan).
4. Aspek Intangible (nilai strategis lokasi, jumlah penduduk dan kondisi
sosiologi, ekonomi dan budaya).
Sedangkan menurut (Nursyahbani & Pigawati, 2015:270)
bahwa karakteristik tapak pada lingkungan permukiman kumuh adalah :
1. Hunian (tingkat kepadan huniannya tinggi dan menimbulkan faktor).
2. Bangunan (meliputi kepadatan hunian, sarana, fisik, dan rencana tata
ruang wilayah)
3. Prasarana di bawah standar hidup minimum (kondisi fasilitas
lingkungan (ekologi) terbatas dan buruk, area limbah, kondisi
pembangunan perumahan tidak sesuai dan tidak memenuhi
persyaratan mengenai peraturan pembangunan perumahan/hunian,
permukiman yang terkena banjir, penyakit dan keamanan).
Pada intinya kawasan pemukiman dapat menimbulkan ancaman
(fisik maupun non-fisik) bagi manusia maupun lingkungan. Karakteristik
permukiman kumuh juga dapat disimpulkan dari kondisi bangunan pada
lahan sebagai contoh bangunan yang tidak mengikuti standar aturan

16
dalam membangun, bangunan yang berdiri deket aliran sungai, kondisi
lingkungan sekitar yang berasa tidak layak terhadap permukiman, dan
ditambah meningkatnya faktor urbanisasi mengakibatkan kepadatan
penduduk yang pada akhirnya tidak adanya lahan terbuka bagi
penghijauan (RTH) dengan kawasan yang sangat terbatas.
2.1.2.2 Definisi Tata Ruang Permukiman Kumuh

Penataan permukiman kumuh menjadi salah satu tantangan


tersendiri untuk pemerintah, terutama bagi daerah dengan pertumbuhan
penduduk (urbanisasi) yang cukup pesat dan memiliki keterbatasan lahan
perkotaan sebagai hunian layak khususnya. Seperti yang terjadi di
Indonesia dimana urbanisasi selalu bertambah dari tahun ke tahun dengan
pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan meningkat, menurut data
Kemdikbud rata – rata kenaikan penduduk ± 2% per tahun. Keterbatasan
sumber daya manusia dan kemampuan masyarakat dengan perekonomian
rendah, menyebabkan masyarakat menempati lahan secara ilegal dalam
pemanfataan ruang (slums dan illegal settlements). Hal tersebut
menimbulkan permasalahan sosial ekonomi dan kurangnya lahan hunian,
pada akhirnya menimbulkan penyakit/permasalahan pada masyarakat
(pathology social) merupakan bentuk penyimpangan perilaku manusia
akibat kondisi lingkungan yang kurang baik (Ridlo, 2011:11).
Mendirikan permukiman di tempat – tempat yang melanggar
hukum dapat menimbulkan kurang baiknya kondisi kota, seperti
pembangunan hunian di bantaran sungai, akses atau jalur kereta api, dan
lainnya yang bisa membahayakan penghuni. Situasi tersebut menjadi
tidak terbendung dan menjadi kekacauan pada wilayah dan perkotaan,
serta mengubah kota menjadi kawasan kumuh akibat pemanfaatan tata
ruang yang kurang baik.
Menurut (Budihardjo 1997:24), jika tanah dibiarkan sebagai
komoditas ekonomi yang diperebutkan secara leluasa, sebagian besar
masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan akan berada dalam
kondisi yang lebih buruk dan semakin tidak mampu untuk mendapatkan

17
atau membangun rumah yang layak dari industri. Jika demikian, jika
dibiarkan, pembangunan perumahan/hunian dan permukiman dengan
skala besar di perkotaan selalu menghadapi masalah lahan yang semakin
mahal dan langka, maka penting sekali untuk menerapkan sebuah aturan.
2.1.2.3 Faktor dan Isu Permukiman Kumuh

Kawasan permukiman kumuh pada perkotaan menjadi salah


satu permasalahan yang harus sesegera ditangani, salah satu faktor
timbulnya permukiman kumuh juga dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduk yang masih terkonsentrasi pada setiap negara salah satunya Di
Indonesia. Kepadatan permukiman semakin padat dan banyak
menimbulkan titik - titik kumuh karena terbatasnya pelayanan dasar hal
tersebut muncul dikarenakan faktor urbanisasi yang masih terkonsentrasi
pada perkotaan.
P.J.M Nas, (2010) mengungkapkan bahwa pengertian pertama
urbanisasi adalah proses pembentukan kota, suatu proses yang didesak
oleh perubahan struktural dalam masyarakat. Sehingga daerah - daerah
yang sebelumnya merupakan kawasan perdesaan dengan agraris struktur
penghidupan dan sifat kehidupan penduduk/masyarakat, baik dilakukan
bertahap maupun sebagai akibat dari proses yang tiba-tiba mengambil
karakter kehidupan kota.
Urbanisasi dikaitkan dengan kemiskinan dan migrasi.
Kemiskinan merupakan faktor utama yang memaksa sejumlah besar
orang di berbagai bagian negara berkembang untuk bermigrasi ke daerah
perkotaan untuk mencari pekerjaan. Selain itu, kondisi kehidupan modern
menjadi salah satu tujuan dan dimanfaatkan pelaku urbanisasi seperti
kesempatan kerja yang lebih baik, infrastruktur yang lebih baik, fasilitas
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, serta kesempatan rekreasi,
mendorong masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota-kota. Menurut
Tenaga Ahli Fitri Ramdhani Harahap, (2013) arus urbanisasi yang tidak
terkendalikan menimbulkan negatif bagi strategi atau rencana
pembangunan infrastruktur kota dan merusak fasilitas perkotaan diluar

18
tata kelola pemerintah. Hal tersebut terjadi dikarenakan banyaknya pelaku
urbanisasi yang berdatangan dari berbagai wilayah ke satu kota seperti
yang terjadi pada Kota Jakarta dan Tangerang Selatan, menciptakan
minimnya lapangan kerja yang tersedia dan lahan hunian.
Pelaku urbanisasi kebanyakan memiliki tujuan untuk membuka
usaha, bermukim di sekitar kawasan pusat perdagangan dan sebagian
besar mereka memiliki latar belakang ekonomi dengan kelompok
menengah ke bawah (Surtiani, 2006). Dengan tindakan yang dilakukan
urbanisasi untuk bermukim serta melaksanakan kegiatan perdagangan,
menyebabkan masalah bagi struktur perencanaan ruang kota (Daljoeni
2003: 78). Permukiman di Ciputat memiliki karaktersitik dengan adanya
pusat perdagangan (pasar). Dengan pemanfaatan potensi yang ada
dikawasan pusat distrik banyak penduduk Ciputat yang membuka usaha
rumahan, karena keterbatasannya lahan serta tingginya harga sewa
membuat mereka membuka usaha atau industri di huniannya (mixed land
use) (Eny, 2006). Meningkatnya urbanisasi, lahan hunian menjadi
kebutuhan penting bagi pendatang baru yang pada akhirnya menimbulkan
degradasi lingkungan yang semakin parah dan pemanfataan lahan kosong
dan lahan tidak memenuhi standar kelayakan sebagai hunian.
Seperti yang dipaparkan oleh Walikota Tangerang Selatan pada
SK, No. 663/Kep.265-Huk/2020 tentang Lokasi Permukiman Kumuh,
sebagaimana tindakan pemerintah untuk penanganan dan pengentasan
permukiman kumuh sudah direncanakan salah satunya pada kawasan
permukiman Ciputat. Keputusan tersebut ditetapkan dengan Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Permukiman (RP2KP)
Tahun 2014, Ditjen Cipta Karya Kementrian PUPR No. PR.01.03-
DC/544 tanggal 27 Oktober 2015 Tentang Program Peningkatan Kualitas
Kawasan Permukiman untuk mendukung penanganan kumuh perkotaan.
Serta mengacu kepada Perda Kota Tangerang Selatan No. 3 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Hunian dan Kawasan Permukiman. Pemerintah
Kota Tangerang Selatan melakukan langkah dengan membentuk Satuan
Kerja (Satker) Kotaku, Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas), dan

19
Pokja PKP Kota Tangerang Selatan. Dalam tujuan mengkoordinasikan
program pengentasan, memonitor pencapaian pengelolaan, dan
Menyiapkan peraturan mengenai Surat Keterangan (SK) kumuh.
2.1.3 Isu Bantaran Sungai

Fenomena permukiman tidak terencana oleh pemerintah atau kota (ilegal)


sebagai bagian dari faktor urbanisasi yang begitu pesat dan membuat
persoalan yang kompleks. Semakin pelaku urbanisasi berdatangan ke
perkotaan menimbulkan kebutuhan lahan yang meningkat sehingga harga
lahan relatif tinggi atau mahal, masyarakat yang melakukan perpindahan
kebanyakan berasal dari pedesaan dengan latar belakang pekerjaan petani
dan penghasilan rendah.
2.1.3.1 Pemanfaatan Lahan Basah

Pembangunan hunian pada bantaran sungai tidak diperkenankan


oleh pemerintah akan tetapi minimnya lahan membuat penempatan
tempat tinggal menjadi tidak tertata dengan baik dan pada akhirnya
membuat kawasan kota menjadi tidak rapi, serta memungkinkan menjadi
area kumuh pada perkotaan. Pada Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 38
Tahun 2011 pasal 1 ayat 5 dan 8 tentang Sungai, menjelaskan
bahwasannya daerah aliran sungai berfungsi sebagai penampung atau
penyimpanan serta mengalirkan air yang asalnya dari curah hujan ke laut
secara alami dan bantaran sungai diartikan sebagai ruang antara tepian
aliran sungai dan tanggul sebelah dalam yang posisinya di kiri–kanan tepi
sungai. Permukiman yang berada pada bantaran sungai biasanya memiliki
sebuah pola unik yaitu linear dimana pada umumnya mengikuti jalur
sungai. Bangunan yang berdiri pada bantaran sungai dianggap dalam
kriteria permukiman kumuh, yang mengakibatkan bahwa kegagalan kota
dalam kondisi kenyamanan kawasan.
Permukiman di bantaran sungai merupakan gambaran adanya
kesenjangan terhadap lahan untuk kebutuhan hunian masyarakat
khususnya sehingga menyebabkan tidak semua pemukim dapat memiliki

20
fasilitas hunian yang layak serta nyaman. Hakekatnya pengembangan
permukiman berkelanjutan menurut (Kirmanto, 2005) meningkatkan
kualitas kehidupan secara berkelanjutan mulai dari kondisi sosial, faktor
ekonomi, dan kualitas infrastruktur. Menurut (Maryono, 2003) sempadan
sungai diartikan sebagai bantaran sungai, sempadan sungai merupakan
daerah untuk mengendalikan banjir ditambah daerah rawan longsor jika
tebing sungai geser (sliding).
Menurut (Chalsie Janny, 2013) dalam skripsi, menjelaskan pada
intinya permukiman yang beridiri di bantaran sungai merupakan
permukiman marginal, karena menempati lahan dengan tata ruang yang
tidak semestinya difungsikan sebagai hunian. Sedangkan Menurut
(Suprijanto, 1995) dikutip dari (Wahyuningsih, 2014) secara umum
karakteristik permukiman bantaran sungai antara lain:
1. Kawasan permukiman cenderung sesak/padat dan identik dengan
permukiman kumuh, dikarenakan tidak ada penetapan standar
peraturan efektif maupun tertulis yang melandasinya.
2. Kondisi ekonomi penduduknya cenderung kalangan menengah
kebawah, dengan sumber pekerjaan dalam sektor informal.
3. Timbulnya permukiman pinggir sungai menyebabkan degradasi
kualitas bantaran sungai serta minimnya fasilitas, sanitasi,
kesehatan, dan bencana.
4. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan material bahan
yang terbuat dari kayu dan bahan–bahan yang dapat diketemukan
pada area sekitarnya.
2.1.3.2 Kebijakan Pemerintah

Menurut (Muhadjir dalam Budiyono, 2011) menunjukkan


bahwa analisis kritis terhadap kebijakan daerah otonom berupa peraturan
perundang-undangan yang dimantapkan serta diperlukan sebagai dasar
untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan efektif dan efisien
dalam mengatasi permasalahan yang ada. Negara Indonesia, terdapat
kebijakan berupa peraturan perundang-undangan mengenai permukiman

21
yang terletak di bantaran sungai, antara lain Undang-Undang Nomor 1.
Keputusan Menteri No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
Pekerjaan Umum Keputusan No. 63 Tahun 1993 tentang Batas dan Aliran
Air, Daerah Peruntukan Sungai dan Daerah Pengendalian Sungai.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) dalam perencanaan
kawasan menjelaskan bahwa perencanaan letak pembangunan pada area
aliran sungai harus memiliki aturan dan jarak dalam perencanaan dihitung
dari suatu peraturan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) atau RDTR
(Rencana Detail Tata Ruang) dengan acuan GSS (Garis Sempadan
Sungai). Seperti yang dijelaskan pada persyaratan administratif dalam tata
bangunan dan lingkungan Pasal 24 ayat 2 dan 3 Tentang “Setiap bangunan
tidak boleh melanggar peraturan izin bangunan yang diatur dalam Perda
RTRW Kawasan Tangerang Selatan. Peraturan Daerah tentang RDTR di
Kota Tangerang Selatan atau Peraturan Walikota tentang RTBL (Rencana
Tata Bangunan Lingkungan dan bangunan harus memenuhi standar garis
sempadan bangunan gedung dengan tepi sungai).”
2.1.3.3 Pembangunan Hunian Ilegal Menimbulkan Permasalahan

Pemukiman di daerah perkotaan di sepanjang bantaran sungai


atau di sepanjang jalur kereta api merupakan akibat dari lemahnya daya
beli tanah para pendatang dengan perekonomian rendah di perkotaan.
Permukiman ilegal ini tidak memenuhi kriteria perumahan yang layak,
karena penduduk tidak memiliki sumber daya penghasilan yang cukup
untuk memperbaiki kondisi hunian, maka mereka dilengkapi dengan
sarana dan prasarana yang memadai. Permukiman ilegal juga terkadang
dianggap sebagai anak tiri dari pemerintah, dan program perbaikan
permukiman oleh pemerintah lebih menjurus berfokus pada permukiman
kumuh. Permukiman liar atau tidak terencana menyebabkan penurunan
keadaan lingkungan alam dan mengurangi estetika tata kota. Permukiman
liar juga seringkali berada di kawasan yang tidak aman dalam arti-an
rawan bencana alam seperti yang sering terjadi yaitu banjir.

22
2.1.4 Potensi Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman
Kumuh

Penangan permukiman kumuh dapat menimbulkan hal positif bagi


perkotaan seperti program PBB, salah satunya terkait dengan sustainable
development goal’s (SDGs) yang terus – menerus ditetapkan. Dalam
perwujudan dan mendorong kota berkembang serta berkelanjutan pada
masa mendatang. Kawasan permukiman kumuh yang terjadi pada Kota
Tangerang Selatan tepatnya permukiman Pasar Ciputat.
2.1.4.1 Potensi Penanganan Terhadap Program Tercapai

Melalui strategi yang telah diterapkan oleh para ahli dalam


penataan salah satunya strategi collective housing, suatu permukiman
yang terdiri dari beberapa rumah namun pada setiap rumah dihuni oleh
sebuah keluarga satu dengan yang lainnya (rusunawa) dan akan
memunculkan sebuah kelompok penghuni lainnya. Dengan tahapan
strategi co-housing sebagai berikut; On-Site Reblocking (penataan tata
ruang kawasan), On-Site Reconstruction (pembangunan kembali), On-
Site Upgrading (memperbaiki fisik area), dan Government Regulations
(peraturan pemerintah tentang wilayah permukiman). Menurut Asyah
(2019) Konsep co-housing dirasa relevan untuk diterapkan pada kawasan
dengan ketersediaan lahan semakin sedikit salah satunya Di Indonesia,
co-housing memiliki konsep kolaboratif dimana hal ini menjadikan
sebuah kesempatan untuk menangani permasalahan permukiman
informal dan kumuh. Hal ini berhasil dilaksanakan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Asyah “Penentuan Preferensi Bermukim Masyarakat
Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai Jakarta
Selatan. (2014)” Garis besar dalam pengakuan para pemukim dikawasan
kumuh dalam penggusuran, berharap mereka bertempat tinggalkan
bersama dengan tetangga terdahulunya. Perspektif pada strategi co-
housing yang telah dilaksanakan dapat menjadi alternatif yang dapat
diterapkan, khususnya pada studi kasus penelitian. Serta, Rencana

23
Penanganan Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh
pada Perkotaan (RP2KPKP) dalam menerapkan standarisasi dan idea
dalam menangani permukiman kumuh pada perkotaan yang menjadi
suatu faktor kegagalan kota.
Program pengelolaan permukiman kumuh juga berkembang,
dari sebuah konsep Kampung Improvement Program (KIP) tahun 1969
hingga penyusunan baseline 100-0-100 (akses air bersih 100%,
pengurangan permukiman kumuh menjadi 0% dan mencapai akses 100%
terhadap sanitasi layak) pada tahun 2015 dan program nasional KOTAKU
(Kota Tanpa Kumuh) pada tahun 2016 masih berlanjut hingga saat ini.
Selain peroses pengembangan kualitas permukiman kumuh dan
mencegah munculnya permukiman kumuh baru, program KOTAKU
berupaya agar meningkatkan akses infrastruktur dan pelayanan dasar.
Implementasi kebijakan untuk mengatasi permasalahan permukiman
kumuh di Kota Tangerang Selatan Kecamatan Pasar Ciputat, belum
terlaksana secara komprehensif dan menyeluruh.
2.1.4.2 Kebijakan Dalam Penanganan

Namun menurut Smith (1973:205) menyatakan bahwa, ada 4


variabel serta indikator yang perlu diperhatikan dalam potensi kebijakan
atau peraturan daerah.
1. Idealized policy: Bentuk interaksi yang diidealkan pada politik
untuk meyakinkan kelompok sasaran untuk melaksanakannya.
2. Target group: Bagian kelompok kepentingan politik yang
diharapkan mengadopsi pola interaksi yang diharapkan para
pembuat kebijakan serta peraturan.
3. Implementing organization: Lembaga pelaksana atau birokrasi
pemerintah yang bertanggung jawab atas implementasi kebijakan.
4. Environmental factors: Faktor lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan
politik.

24
Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan
satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Model pendekatan bottom-up
yang diusulkan oleh Smith di atas memberikan skor tinggi untuk realisme
dan kemampuan untuk mengeksekusi. Perumahan dan kawasan adalah
satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan
perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan
perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem
pembiayaan, serta peran masyarakat. (Undang-Undang No.1 Tahun 2011
tentang perumahan dan kawasan permukiman).
2.1.4.3 Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh

Menurut Sunarti dkk (2014), peningkatan kualitas lingkungan


perumahan dapat melalui perbaikan fisik dan legalisasi lahan atau
kepemilikan atas tanah hal ini akan memberikan kenyamanan dan
keamanan serta peluang bagi pengembangan per-ekonomian
warga/masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan permukiman kumuh
perkotaan dapat dimulai dengan penciptaan kawasan dan lingkungan
produktif yang memberikan tuntuan dalam tambahan sistem ekonomi
bagi masyarakat ber-penghasilannya rendah (Ervianto&Susharajanti,
2019).
Selanjutnya, aspek ekonomi dan sosial perlu diperhatikan dalam
proses pencapaian permukiman yang berkelanjutan, selain peningkatan
kualitas lingkungan atau infrastrukturnya. Berkaitan dengan hal tersebut,
perlu dilakukan upaya langkah selanjutnya dengan program pemerintah
seperti RP2KPKP agar masyarakat mampu meningkatkan taraf hidupnya
yang akan berdampak langsung pada kualitas kehidupan dalam kategori
permukimannya. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan kesebelas,
yaitu: menyediakan perumahan yang terjangkau dan layak huni bagi
semua penduduk sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan
(SDGs) 2030 yang termasuk dalam “Kota dan Komunitas yang
Berkelanjutan.”

25
2.2 Penelitian Terdahulu

Pada bagian penelitian terdahulu ini peneliti mencantumkan berbagai hasil


riset yang sudah di laksanakan, penilitian tersebut terkait dengan riset peneliti
yang akan dilakukan yang bertemakan “Kajian Potensi Penataan Kawasan
Permukiman Kumuh Pada Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan.” Kemudian
peneliti akan menjelaskan ringkasannya dengan acuan terhadap teori yang
diperoleh. Dengan melakukan langkah ini, bahwasnya dapat dilihat sejauh mana
pencapaian penelitian dan orisinalitas yang hendak dilakukan. Penelitian ini juga
menjadi salah satu acuan dan perbandingan dari pengamatan peneliti terhadap
riset terdahulu, terdapat beberapa riset yang relevan dan mempunya kesamaan
dan keterkaitan dalam riset yang di teliti, diantaranya:

2.2.1 Skripsi yang ditulis oleh Ramadhayanti Safitri, 2021, Universitas


Lambung Mangkurat dengan Judul “Efektivitas Penanganan
Permukiman Kumuh Di Kawasan Basirih Kota Banjarmasin
Berdasarkan Analisis Metode Direktorat PKP Dan Badan Pusat
Statistik” ISBN: 1920828320049

Penulisan pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif


dan menghasilkan sebuah data – data berupa numerik dengan
perkiraaan nilai pengukur volume pekerjaan serta penilaian tingkat
kumuh, penelitian mengaitkan metode kualitatif sebagai bahan data
pertimbangan melalui kuesioner dengan fakta di studi kasus.
Pada penelitian terdahulu ini peneliti yang bersangkutan
memiliki tujuan untuk mendapatkan nilai dari perhitungan
menggunakan metode Pengembangan Kawasan Permukiman (PKP)
dan Badan Pusat Statistik (BPS), hal ini dilakukan supaya megetahui
berapa tingkat efektivitas penanganan hunian kumuh Di Kawasan
Basirih Kota Banjarmasin.

26
2.2.2 Jurnal yang ditulis oleh Nur Nafsi, Dkk, 2019, Universitas Islam
Sultan Agung dengan judul “Karakteristik Permukiman Kumuh
(Studi Kasus: Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang)”
Jurnal Malige Arsitektur Vol. 1, No. 1, Juni 2019, hal. 30-39

Penulisan jurnal malige arsitektur ini menggunakan metode


penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan rasionalistik, metode
tersebut digunakan untuk mendapatkan sebuah penjelasan umum
hingga khusus dengan cara berfikir secara induksi.
Penelitian ini dimulai dari menelaah data yang didapat oleh
peniliti dan dikumpulkan peneliti terdahulu, dan menghasilkan sebuah
kesimpulan yang luas serta umum dalam rincian mengenai karakteristik
yang terjadi pada permukiman kumuh Di Kecamatan Semarang Utara.
2.2.3 Skripsi yang ditulis oleh Diana Margaretha Asa, 2015, Institut
Teknologi Nasional dengan judul “Penanganan Permukiman
Kumuh Di Kelurahan Panggungrejo Kota Pasuruan”

Penulisan pada penelitian ini menggunakan metode penelitian


kualitatif dengan pendekatan kuantitatif untuk mengahsilkan data
berupa penilaian serta dianalisis dalam penjabarannya, hal ini
digunakan untuk mendapatkan faktual pada studi kasus.
Penelitian terdahulu ini mengaitkan pada penanganan
permukiman kumuh yang terjadi Di Kelurahan Panggungrejo, Peneliti
bersangkutan melakukan penelitian dengan menjelaskan kondisi
permukiman di studi kasusnya. Hingga memunculkan data berupa
analisis yang dikaji menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan cara
analisis melalui prospektif partisipatif dengan bentuk simbol berupa
angka. Kemudian data yang diperoleh melalui angka dapat di
simpulkan dengan penjelasan sesuai kriteria, dan mendapatkan hasil
untuk penanganan permukiman kumuh Di Kelurahan Panggungrejo.

27
Dari ketiga penelitian terdahulu diatas menggambarkan beberapa
hubungan dalam penulisan penelitian tersebut, dimana yang akan dilaksanakan oleh
peneliti dengan berjudul Kajian Potensi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh
Pada Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan. Penelitian terdahulu tersebut
disajikan/dideduktifkan kedalam tabel dibawah ini, guna mempermudah
pemahaman para pembaca informasi mengenai penelitian terdahulu ini.

Tabel 2.1 Kerangka Hasil Penelitian Terdahulu

No. Nama dan


Hasil yang Diperoleh dari
Tahun Judul Penelitian
Penelitian Terdahulu
Penelitian
1. Ramadhayanti “Efektivitas Penelitian yang dilakukan
Safitri, (2021). Penanganan oleh peneliti terdahulu ini
Permukiman Kumuh Di berupa evaluasi terkait tingkat
Kawasan Basirih Kota efektivitas penanganan dari
Banjarmasin sebuah penilaian, berdasarkan
Berdasarkan Analisis PKP dan BPS. Dibandingkan
Metode Direktorat PKP penelitian yang kini peneliti
Dan Badan Pusat riset dimana data BPS dan
Statistik, 2021” PKP hanya menjadi data
subtansi dalam menjawab
variabel.
2. Nur Nafsi, “Karakteristik Riset pada jurnal dilakukan
Dkk, 2019 Permukiman Kumuh untuk pemahaman tentang
Jurnal Malige (Studi Kasus: karakteristik permukiman
Arsitektur Kecamatan Semarang kumuh yang terjadi Di Kota
Vol. 1, No. 1, Utara Kota Semarang), Semarang. Dibandingkan
Juni 2019, hal. 2019” penelitian yang kini peneliti
30-39 riset dimana karakteristik
merupakan rujukan variabel
untuk menemukan
kesimpulan dalam potensi

28
penataan permukiman kumuh
perkotaan.

3. Diana “Penanganan Dari penelitian terdahulu


Margaretha Permukiman Kumuh tersebut, dapat menjadi pola
Asa, (2015) Di Kelurahan dasar peneliti untuk
Panggungrejo mendapatkan variabel dalam
Kota Pasuruan, 2015” penelitian yang sudah
dilakukan. Perbedaan dari
penelitian terdahulu ini yaitu
cara menjabarkan pada
penelitian penanganan
permukiman kumuh, dengan
kata lain peneliti tidak
menggunakan unsur berupa
angka. Namun perbedaan
juga meliputi dari tujuan,
penelitian yang peneliti riset
memiliki tujuan memberi
solusi untuk ke depannya.

29
2.3 Kerangka Pemikiran

Tabel 2.2 Kerangka Pemikiran

Latar Belakang:
- Berkembangnya faktor urbanisasi yang menimbulkan beberapa isu di
Indonesia
- Fungsi lahan disalahgunakan oleh masyarakat
- Minimnya sarana dan prasarana untuk kebutuhan pada masyarakat
Indonesia

Rumusan Masalah
4. Bagaimana karakteristik permukiman kumuh pada kawasan Kecamatan
Ciputat Kota Tangerang Selatan?
5. Sudut pandang permasalahan yang menyebabkan terjadinya
permukiman kumuh di kawasan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang
Selatan?
6. Potensi dalam mengatasi penataan permukiman kumuh pada kawasan
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan?

Tujuan Penelitian
1. Memahami karakteristik permukiman kumuh perkotaan dengan teori
yang diperoleh dan memperoleh variabel serta aspek yang akan dikelola.
2. Mengkaji terhadap sebuah aspek untuk menyimpulkan permasalahan
serta penyebab dan mengkategorikan permukiman kumuh Di Ciputat.
3. Mengkaji dan memahami sebuah potensi untuk penataan kawasan pada
permukiman kumuh khususnya Di Kawasan Pasar Ciputat, dengan acuan
program pengentasan dan pencegahan permukiman kumuh.
4. Menjadi pembaharuan penelitian dari penelitian sebelumnya dengan tema
peneliti “Kajian Potensi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh Pada
Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan.”

30
Tinjauan Pustaka
Kajian Teori dan Peneltian Terdahulu

Pengumpulan Sumber Data Penelitian

Data Online Data Offline


- Mengolah data – data meng - Observasi / wawancara
enai peraturan tata ruang mengenai strategi yang
wilayah Kawasan Tangerang diterapkan pada permukiman
Selatan. kumuh Di Kawasan Ciputat.
- Meriset kembali strategi yang - Memahami isu yang
diterapkan. menghambat kota sulit untuk
- Memahami pengelolaan dan teratur.
mencegahan permukiman
kumuh di studi kasus.

Mengkaji Strategi dalam Pencegahan dan Pengelolaan Permukiman Kumuh


melalui Program – Program Pemerintah KOTAKU dan RP2KPKP

Pengumpulan Data:
Observasi Lapangan, Kajian Literatur, Wawancara, Dokumentasi, dan Riset
Terlaksana

Analisis Data Penelitian

Hasil

Kesimpulan Penelitian

31
2.4 Sintesis

Setelah melakukan peninjauan terhadap sejumlah kajian – kajian teori dan


pustaka yang digunakan pada penelitian, peneliti akan menjabarkan kembali
sintesis yang peneliti rangkai untuk dapat membuat satu alur pembahasan yang
terjelaskan dan dapat dikaitkan dengan hasil penelitian. Dengan ini peneliti
mengharapkan pembaca informasi dapat memahami isi, tujuan serta manfaat
dari penelitian.

Sintesis dimulai dengan tinjauan mengenai pembahasan kriteria


permukiman kumuh dengan membahas aspek aspek yang menyebabkan
permukiman kumuh terjadi. Pembahasan tersebut terkait dengan aspek fisik,
dalam lingkup sarana dan prsarana, kepadatan hunian, keteraturan bangunan,
kualitas bangunan, dan legalitas lahan. Prihal non-fisik meliputi perekonomian
penduduk, ketenagakerjaan, kepadatan penduduk, frekuensi bencana,
kesehatan, dan tingkat kriminalitas.

Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan isu kebijakan pola tata ruang


yang strategis Di Indonesia karena adanya suatu peningkatan luas permukiman
kumuh. Meluasnya kawasan permukiman slum di perkotaan telah
mempengaruhi dalam kualitas lingkungan, tingkat kesehatan masyarakat yang
menurun, menurunnya kualitas pelayanan dan infrastruktur permukiman. Untuk
itu permasalahan kawasan permukiman kumuh di perkotaan harus segera
diperhatikan dan diatasi. Serta proses untuk penanganan tersebut peneliti
memiliki rencana untuk memberikan saran dalam penerapan sebuah strategi
yang sudah terlaksana yaitu menggunakan metode co-housing dikarenakan
dapat mencakup sebuah keberlanjutan masyarakat dan perkotaan serta
memadahi sebuah fasilitas-fasilitas pendukung. Menjadi sebuah alternatif
permasalahan mengenai penyediaan perumahan dan solusi penataan kawasan
permukiman kumuh perkotaan. Namun mengaitkan dengan peneltiian lainnya
seperti program pemerintah Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), RP2KPKP, dan
jurnal yang membahas hal sama dengan penelitian “Kajian Potensi Penataan
Kawasan Permukiman Kumuh Pada Pasar Ciputat Kota Tangerang Selatan.”

32

Anda mungkin juga menyukai