H19 Sfe
H19 Sfe
Selly Febrianti
NIM H14150037
ABSTRAK
SELLY FEBRIANTI. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja
Daerah terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Dibimbing oleh
DS PRIYARSONO.
Kata kunci: belanja daerah, kemiskinan, rasio dana perimbangan , rasio PAD
ABSTRACT
SELLY FEBRIANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
Disetujui oleh
P M.Si
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2018 sampai Agustus 2019
ini ialah Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Arif Cahyadi
(Alm), Ibu Euis Mulyati, Kakek Eman Sulaeman (Alm), Nenek Ii Fatmah, Tante
Siti Aisyah, Paman Yandi, Paman Riki, dan adik-adik dari penulis (Yusril
Mulyawan, Juliana Safira, Inara Rafani) serta keluarga lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala do’a, motivasi, dan dukungan
baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain
itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis,
teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga
dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu
Heni Hasanah, SE, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan
atas kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu
Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada
penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Dihqon Nadaamist dan Crisnina
Handayani yang telah menjadi partner diskusi dan teman berbagi suka
duka dalam penyusunan skripsi ini.
5. Sahabat-sahabat penulis dan teman-teman Ilmu Ekonomi 52 yang selalu
memberikan keceriaan, masukan, dan semangat kepada penulis selama
studi.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Selly Febrianti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 5
Pembangunan Ekonomi 5
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal 5
Pendapatan Asli Daerah 6
Dana Perimbangan 6
Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah dengan Kemiskinan 7
Belanja Pro-Poor 9
Hubungan Belanja Pendidikan dengan Kemiskinan 10
Hubungan Belanja Kesehatan dengan Kemiskinan 10
Hubungan Belanja Perumahan dan Fasilitas Umum dengan Kemiskinan 11
Kemiskinan 11
Penelitian Terdahulu 12
Kerangka Pemikiran 13
Hipotesis Penelitian 14
METODE 14
Jenis dan Sumber Data 14
Metode Analisis 15
Metode Analisis Data Panel 15
Uji Kesesuaian Model 16
Uji Asumsi Klasik 16
Model Penelitian 17
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Kondisi Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 18
Kondisi Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah 23
Kondisi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah 29
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 32
SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 42
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
sebesar 10.12 persen. Selain itu dilihat dari nilai indeks kedalaman kemiskinan
senilai 2.12 persen menunjukkan bahwa Jawa Tengah memiliki nilai indeks yang
paling tinggi diantara Provinsi yang ada di Pulau Jawa. Hal tersebut
mencerminkan garis kemiskinan semakin jauh dari rata-rata pengeluaran
penduduk miskin. Di samping itu jika diihat dari nilai indeks keparahan
kemiskinan, Jawa Tengah juga memiliki nilai indeks yang tinggi yaitu senilai 0.55
persen. Hal tersebut mencerminkan semakin tingginya ketimpangan pengeluaran
diantara penduduk miskin di Jawa Tengah.
Permasalahan kemiskinan tersebut menjadi permasalahan pemerintah daerah
dalam mencapai pembangunan ekonomi daerah. Program penanggulangan
kemiskinan selalu menjadi prioritas dalam program pembangunan setiap tahunnya.
Berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2014, penanggulangan kemiskinan termasuk
dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Jawa Tengah.
Sebagaimana tertuang dalam RPJMD 2013-2018 yang memiliki misi dalam
menciptakan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
pengangguran. Berbagai program dicanangkan dalam pengentasan kemiskinan
tersebut diantaranya terkait pelayanan kesehatan, pendidikan, peningkatan
kesejahteraan pekerja, pemberdayaan masyarakat desa, peningkatan keadilan
gender dan perlindungan anak, serta berbagai program pembangunan lainnya yang
mendukung misi tersebut. Selanjutnya dalam RPJMD 2018-2023,
penanggulangan kemiskinan kembali menjadi salah satu tujuan pembangunan di
Jawa Tengah. Program penanggulangan kemiskinan selalu menjadi prioritas
dalam program pembangunan daerah setiap tahunnya.
Pembangunan daerah tersebut dapat terwujud dengan adanya pengeluaran
pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan pengelolaan keuangan dan
belanja daerah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang pada akhirnya
diharapkan mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi dasar pelimpahan kewenangan
keuangan atau desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal tersebut direspon
pemerintah daerah dengan cara (1) memusatkan perhatian pada upaya untuk
meningkatkan pendapatan daerah dan (2) lebih berorientasi pada efektivitas
pengeluaran belanja daerah (Makrifah 2010).
Upaya peningkatan pendapatan daerah dapat ditempuh dengan cara
menggali sumber daya ekonomi daerah sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD)
meningkat dan menciptakan kemandirian keuangan daerah. Kemandirian tersebut
ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan, serta rasio dana
perimbangan terhadap total pendapatan. Rasio PAD yang semakin besar
menunjukkan kemandirian keuangan daerah semakin baik. Sebaliknya, rasio dana
perimbangan yang semakin besar menunjukkan semakin rendah kemandirian
keuangan daerah dalam mendanai belanja daerah (DJPK 2011).
3
27.41%
Dana perimbangan
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi
Dana Perimbangan
dan
Rasio Dana Perimbangan = x 100%
8
Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
Mengurangi kemiskinan
Belanja Pro-Poor
Sejauh ini tidak ada definisi baku penetapan kelompok belanja pro-poor
yang sama antar region. Simson (2012) mengutip dalam IMF staff report, di
beberapa negara terdapat kelompok pengeluaran yang berperan dalam mengurangi
kemiskinan dan berbeda-beda untuk setiap negara. Di Zambia pengeluaran untuk
mengurangi kemiskinan meliputi pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Adapun
di Ethiopia, belanja yang berperan mengurangi kemiskinan yaitu belanja
pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, dan ketahanan pangan.
Sedangkan di Uganda belanja yang menurunkan kemiskinan antara lain
pengeluaran pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, pertanian, dan infrastruktur
jalan pedesaan.
Kemiskinan
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Pembangunan Ekonomi
Otonomi Daerah
Desentralisasi Fiskal
Kemandirian Keuangan
Daerah
Belanja Belanja Belanja
Pendidikan Kesehatan Perumahan
METODE
Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel dengan
cross section 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan data time series waktu
15
tahunan periode 2008 sampai dengan 2017. Variabel yang digunakan adalah
persentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan
kemiskinan, rasio PAD, rasio dana perimbangan, belanja pendidikan, belanja
kesehatan, dan belanja perumahan dan fasilitas umum.
Metode Analisis
karena itu komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari
intersep. Model efek tetap dapat merepresentasikan perbedaan intersep dengan
memasukkan variabel dummy sehingga model disebut juga Least Square
Dummy Variables (LSDV). Model ini mampu membedakan intersep antar unit
cross section yang berbeda.
3. Pendekatan Random Effect Model (REM)
Pendekatan REM mengasumsikan bahwa efek individu dan efek waktu
tidak memiliki korelasi dan memiliki pola bersifat acak (random). Dalam
model ini slope memiliki nilai yang tetap tetapi intersep bervariasi untuk setiap
individu. Metode Generalized Least Square (GLS) digunakan untuk
mengestimasi pendekatan REM sebagai pengganti metode OLS.
1. Multikolinearitas
Mutikolinearitas mengindikasikan terdapat hubungan linear pada beberapa
peubah bebas dalam model. Konsekuensi adanya mutikolinearitas yaitu hasil
estimasi dari koefisien secara individual hanya sedikit yang berpengaruh
signifikan atau bahkan tidak ada yang berpengaruh signifikan meskipun memiliki
nilai R-squared yang tinggi. Selain itu, data berubah sedikit saja maka hasil
estimasi dan standar error nya sangat sensitif terhadap perubahan data. Salah satu
cara untuk melihat adanya multikolineraitas pada suatu model yaitu dilihat dari
nilai korelasi antar peubah harus kurang dari 0.8 agar terbebas dari masalah
multikolinearitas.
17
Model Penelitian
Keterangan:
: Intersep model (i)
: Koefisien masing-masing variabel model (i)
: Intersep model (ii)
: Koefisien masing-masing variabel model (ii)
: Intersep model (iii)
: Koefisien masing-masing variabel model (iii)
: Error Term
: Persentase penduduk miskin (persen)
: Indeks kedalaman kemiskinan (persen)
: Indeks keparahan kemiskinan (persen)
: Rasio PAD (persen)
: Rasio dana perimbangan (persen)
: Logaritma natural belanja pendidikan (rupiah)
: Logaritma natural belanja kesehatan(rupiah)
: Logaritma natural belanja perumahan dan fasilitas umum (rupiah)
20 18.99 17.48 16.11 16.21 14.98 14.44 13.58 13.32 13.19 12.23
Persen
10 15.42 14.15 13.33 12.36 11.66 11.47 10.96 11.13 10.7 10.12
0
2008 2009 2010 Sep-11 Sep-12 Sep-13 Sep-14 Sep-15 Sep-16 Sep-17
Tahun
Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah
Persentase Penduduk Miskin Nasional
Sumber: BPS Pusat dan BPS Jawa Tengah 2019
Gambar 4 Persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dan Nasional
tahun 2008-2017 (persen)
19
Secara umum dari tahun 2008 sampai 2017 persentase penduduk miskin
Jawa Tengah memiliki tren menurun. Namun pada September 2011 persentase
penduduk miskin mengalami peningkatan. Menurut data BPS Jawa Tengah, pada
September 2011 tersebut disebabkan oleh inflasi 0.41 persen dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) sebesar 125.80 karena pada September 2011 merupakan pasca
lebaran yang secara umum terjadi kenaikan harga pada berbagai komoditas.
Namun demikian pada tahun selanjutnya persentase penduduk miskin kembali
menurun.
Hal tersebut mencerminkan keberhasilan pemerintah daerah dalam
menurunkan persentase penduduk miskin pada setiap tahunnya meskipun belum
sesuai dengan target capaian RPJMD Jawa Tengah yang ingin menurunkan angka
kemiskinan menjadi 10 persen. Tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah yang
menunjukkan tren menurun setiap tahunnya belum merepresentasikan penurunan
tingkat kemiskinan di seluruh Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Berdasarkan data
BPS terdapat beberapa daerah yang memiliki persentase penduduk miskin yang
cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya yaitu Kab. Wonosobo, Kab. Kebumen,
Kab. Brebes, Kab. Purbalingga, Kab. Rembang, Kab. Pemalang, Kab.
Banjarnegara, Kab. Banyumas, Kab. Klaten, dan Kab. Sragen.
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
30
Persen
20
10
0
Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Jateng 2019
Gambar 5 Persentase penduduk miskin tertingi di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008-2017 (persen)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
20
15
Persen
10
5
0
Kabupaten/Kota
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Kota Magelang
Kota Semarang
Kab. Blora
Kota Surakarta
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Klaten
Kota Salatiga
Kab. Cilacap
Kab. Banjarnegara
Kab. Karanganyar
Kab. Grobogan
Kab. Kudus
Kab. Semarang
Kab. Banyumas
Kab. Pekalongan
Kota Pekalongan
Kab. Sragen
Kab. Kendal
Kab. Tegal
Kab. Wonogiri
Kab. Pati
Kab. Jepara
Kab. Kebumen
Kab. Sukoharjo
Kab. Demak
Kab. Rembang
Kab. Batang
Kab. Brebes
Kota Tegal
Kab. Purworejo
Kab. Pemalang
Kab. Temanggung
Kab. Purbalingga
Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Jawa Tengah 2019
Gambar 7 Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2017 (Persen)
Kab. Sragen
Kab. Brebes
Kab. Grobogan
Kab. Blora
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Semarang
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Boyolali
Kab. Klaten
Kab. Banjarnegara
Kab. Karanganyar
Kab. Kudus
Kab. Wonogiri
Kab. Kendal
Kab. Pekalongan
Kota Pekalongan
Kab. Tegal
Kab. Kebumen
Kab. Purworejo
Kab. Pati
Kab. Demak
Kab. Sukoharjo
Kab. Rembang
Kab. Batang
Kota Tegal
Kab. Purbalingga
Kab. Jepara
Kab. Pemalang
Kab. Temanggung
Kabupaten/Kota
yang sah. Selanjutnya pada tahun 2017, daerah dengan rasio PAD terendah yaitu
Kab. Wonosobo, rasio PAD nya sebesar 12.46 persen dengan besaran PAD Rp
228.01 Miliar. Komposisi penerimaan PAD Kab. Wonosobo terdiri dari Rp 38.32
Miliar pajak daerah, Rp 10.30 Miliar retribusi daerah, Rp 25.65 Miliar
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Rp 153.72 Miliar lain-lain
PAD yang sah.
Adapun daerah dengan rasio PAD terbesar pada tahun 2008 dan 2017 yakni
Kota Semarang dengan rasio PAD sebesar 22.95 persen pada tahun 2008 dan
meningkat menjadi 45.20 persen pada tahun 2017. Hal tersebut mencerminkan
bahwa Kota Semarang memiliki kemampuan keuangan daerah yang baik. PAD
Kota Semarang pada tahun 2008 mencapai Rp 236 Miliar dan meningkat menjadi
Rp 1.79 Triliun tahun 2017. Komposisi penerimaan PAD Kota Semarang tahun
2017 terdiri dari Rp 1.23 Triliun pajak daerah, Rp 85.74 Miliar retribusi daerah,
Rp 28.49 Miliar pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Rp 446.13
Miliar lain-lain PAD yang sah.
3 1
20
-10 0 10 20 30 40 50
Growth PAD (%)
10
4 2
0
Kab. Banjarnegara Kab. Banyumas Kab. Batang Kab. Blora
Kab. Boyolali Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Demak
Kab. Grobogan Kab. Jepara Kab. Karanganyar Kab. Kebumen
Kab. Kendal Kab. Klaten Kab. Kudus Kab. Magelang
Kab. Pati Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Purbalingga
Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Semarang Kab. Sragen
Kab. Sukoharjo Kab. Tegal Kab. Temanggung Kab. Wonogiri
Kab. Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga
Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal
Sumber : DJPK 2019 (diolah)
Gambar 9 Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun
2008 (persen)
30
20
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Growth PAD
10
4 2
0
Kab. Banjarnegara Kab. Banyumas Kab. Batang Kab. Blora
Kab. Boyolali Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Demak
Kab. Grobogan Kab. Jepara Kab. Karanganyar Kab. Kebumen
Kab. Kendal Kab. Klaten Kab. Kudus Kab. Magelang
Kab. Pati Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Purbalingga
Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Semarang Kab. Sragen
Kab. Sukoharjo Kab. Tegal Kab. Temanggung Kab. Wonogiri
Kab. Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga
Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal
Sumber: DJPK 2019 (diolah)
Gambar 10 Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2017 (persen)
Berdasarkan Gambar 10, pada tahun 2017 rasio PAD terhadap total
pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah menunjukkan kondisi yang lebih baik
jika dibandingkan kondisi tahun 2008. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang
memiliki rasio PAD lebih dari 20 persen yang berada pada Kuadran 1 dan
Kuadran 3. Pada Kuadran 1 menunjukkan kondisi yang ideal karena rasio PAD
berada di atas 20 persen dan pertumbuhan PAD lebih dari 10 persen. Pada
kuadran ini kabupaten/kota yang memiliki kemampuan keuangan daerah sedang
yaitu Kota Surakarta, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, dan Kab. Cilacap.
Adapun satu-satunya daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah baik
yaitu Kota Semarang.
Selanjutnya pada Kuadran 3 menunjukkan kondisi yang belum ideal karena
meskipun rasio PAD sudah lebih dari 20 persen namun pertumbuhan PAD nya
27
kurang dari 10 persen. PAD yang besar dalam total pendapatan memiliki peluang
yang kecil karena pertumbuhan PAD nya kecil. Sumbangan PAD terhadap
pendapatan tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kabupaten/Kota yang
berada di Kuadran 3 antara lain Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kota Magelang,
dan Kota Tegal.
Pada Kuadran 2 juga menunjukkan kondisi belum ideal karena meskipun
pertumbuhan PAD nya tinggi atau lebih dari 10 persen namun rasio PAD nya
rendah atau kurang dari 20 persen sehingga kemampuan keuangan daerah masih
terbilang kurang maupun sangat kurang. Walaupun demikian daerah mempunyai
kemampuan mengembangkan potensi lokal sehinga PAD berpeluang memiliki
peran besar dalam total pendapatan. Sumbangan PAD terhadap total pendapatan
masih rendah namun pertumbuhan PAD nya tinggi. Kabupaten/Kota yang berada
di Kuadran 2 antara lain Kab. Banyumas, Kab. Wonosobo, Kab. Purworejo, Kab.
Tegal, Kab. Rembang, Kab. Semarang, Kab. Kudus, Kab. Boyolali, Kab.
Banjarnegara, Kab. Sragen, Kab. Karanganyar, Kab. Magelang, Kab. Purbalingga,
Kab. Pati, Kab. Grobogan, Kab. Wonogiri, Kab. Kebumen, Kab. Kendal, Kab.
Pemalang, Kab. Blora, dan Kab. Klaten.
Adapun Kuadran 4 menunjukkan kondisi paling tidak ideal karena PAD
belum mengambil peran yang besar dalam total pendapatan, dan daerah belum
mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Hal tersebut tercermin
dari sumbangan PAD terhadap total pendapatan rendah dan pertumbuhan PAD
yang juga rendah. Kabupaten/Kota yang berada di Kuadran 4 antara lain Kab.
Temanggung, Kab. Demak, Kab. Batang, Kab. Jepara, dan Kab. Pekalongan.
Kab. Blora
Kab. Jepara
Kab. Batang
Kota Magelang
Kota Semarang
Kab. Sukoharjo
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Banjarnegara
Kab. Kebumen
Kab. Sragen
Kota Pekalongan
Kab. Kendal
Kab. Kudus
Kab. Demak
Kab. Cilacap
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Wonogiri
Kab. Karanganyar
Kota Surakarta
Kab. Grobogan
Kab. Pati
Kab. Semarang
Kab. Temanggung
Kab. Tegal
Kab. Brebes
Kota Salatiga
Kota Tegal
Kab. Purworejo
Kabupaten/Kota
Miliar Rupiah
2008 2017
2000
Billions
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Kab. Demak
Kab. Brebes
Kab. Kebumen
Kota Surakarta
Kab. Blora
Kab. Jepara
Kab. Pemalang
Kab. Klaten
Kab. Purbalingga
Kab. Temanggung
Kota Magelang
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Banjarnegara
Kab. Boyolali
Kab. Grobogan
Kab. Magelang
Kab. Pati
Kab. Banyumas
Kab. Wonosobo
Kab. Cilacap
Kab. Karanganyar
Kab. Pekalongan
Kab. Semarang
Kota Pekalongan
Kab. Kendal
Kab. Kudus
Kab. Sragen
Kab. Tegal
Kab. Batang
Kab. Wonogiri
Kab. Purworejo
Kab. Rembang
Kab. Sukoharjo
Kota Tegal
Kabupaten/Kota
Pada tahun 2008, daerah dengan transfer dana perimbangan tertinggi yaitu
Kab. Cilacap sebesar Rp 943.95 Miliar yang terdiri dari Rp 773.07 Miliar DAU,
Rp 91.97 DBH, dan Rp 78.89 DAK. Adapun daerah dengan transfer dana
perimbangan terendah pada tahun 2008 yaitu Kota Salatiga sebesar Rp 277.36
Miliar yang meliputi Rp 225.38 Miliar DAU, Rp 31.028 Miliar DAK, dan Rp
20.95 Miliar DBH. Selanjutnya pada tahun 2017, besaran dana transfer meningkat
signifikan jika dibandingkan tahun 2008. Tahun 2017, daerah dengan jumlah dana
perimbangan tertinggi yaitu Kab. Cilacap sebesar Rp 1.87 Triliun dengan rincian
Rp 1.36 Triliun DAU, Rp 440.53 DAK, dan Rp 74.04 Miliar DBH. Daerah
dengan transfer dana perimbangan terendah tahun 2017 yaitu Kota Magelang
sebesar Rp 553.11 Miliar yang terdiri dari Rp 440.04 Miliar DAU, Rp 86.38
Miliar DAK, dan Rp 26.68 DBH.
Kab. Demak
Kab. Banjarnegara
Kab. Pemalang
Kab. Klaten
Kab. Jepara
Kab. Temanggung
Kab. Brebes
Kota Surakarta
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Blora
Kota Magelang
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Banyumas
Kab. Karanganyar
Kab. Grobogan
Kab. Semarang
Kab. Pekalongan
Kota Pekalongan
Kab. Sragen
Kab. Kendal
Kab. Tegal
Kab. Wonogiri
Kab. Kudus
Kab. Purworejo
Kab. Pati
Kab. Sukoharjo
Kab. Rembang
Kab. Batang
Kota Tegal
Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 13 Alokasi belanja fungsi pendidikan menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)
adalah Kab. Grobogan yang belanja pendidikannya hanya 0.13 persen atau
sebesar Rp 299.21 juta. Pada tahun anggaran 2008 tersebut, Kab.Grobogan tidak
banyak dalam mengeluarkan belanja pendidikan, dan lebih banyak mengeluarkan
anggaran untuk belanja fungsi lainnya seperti belanja kesehatan yang mencapai
36.44 persen. Adapun daerah dengan alokasi belanja pendidikan tertinggi pada
tahun 2008 yaitu Kab. Wonosobo sebesar 41.90 persen atau senilai Rp 258.35
Miliar.
Pada tahun 2017, rata-rata alokasi belanja pendidikan Kabupaten/Kota Jawa
Tengah sebesar 16.35 persen. Pada tahun 2017, daerah yang paling banyak
mengalokasikan belanja pendidikan yaitu Kab. Klaten sebesar 40.34 persen
sedangkan yang paling sedikit yaitu Kab. Blora sebesar 3.73 persen. Kab. Blora
pada tahun 2017 lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk belanja fungsi
lainnya seperti belanja perumahan dan fasilitas umum sebesar 17.85 persen.
Belanja pendidikan tersebut digunakan untuk program-program dalam rangka
meningkatkan pelayanan dan kualitas pendidikan di daerah.
Kab. Kebumen
Kab. Klaten
Kota Surakarta
Kab. Blora
Kab. Jepara
Kab. Demak
Kab. Pemalang
Kab. Brebes
Kota Salatiga
Kab. Magelang
Kab. Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Banyumas
Kab. Karanganyar
Kab. Temanggung
Kota Magelang
Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kab. Banjarnegara
Kab. Wonosobo
Kab. Boyolali
Kab. Wonogiri
Kab. Sragen
Kab. Kudus
Kab. Purworejo
Kab. Pati
Kab. Kendal
Kab. Batang
Kab. Tegal
Kota Tegal
Kab. Sukoharjo
Kab. Rembang
Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 14 Alokasi belanja fungsi kesehatan menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)
kesehatan terendah yaitu Kota Salatiga sebesar 1.99 persen atau senilai Rp 21.90
Miliar. Adapun daerah dengan alokasi belanja kesehatan tertinggi yaitu
Kab.Boyolali sebesar 56.41 persen atau senilai Rp 193.40 Miliar. Alokasi belanja
kesehatan yang tinggi tersebut telah membuat porsi anggaran lainnya berkurang.
Sebagai contoh, pada tahun anggaran 2008 tersebut Kab. Boyolali hanya
mengalokasikan belanja pendidikan sebesar 0.21 persen.
Pada tahun 2017, daerah yang paling sedikit mengalokasikan belanja
kesehatan adalah Kab. Cilacap sebesar 5.99 persen. Pada tahun anggaran tersebut
Kab. Cilacap banyak mengalokasikan anggaran pada belanja fungsi lainnya yaitu
belanja perumahan dan fasilitas umum mencapai 17.71 persen. Selanjutnya daerah
yang alokasi belanja kesehatannya paling tinggi yaitu Kab. Temanggung dan Kab.
Tegal masing-masing sebesar 29.77 persen dan 28 persen. Alokasi belanja
kesehatan yang tinggi tersebut telah mengurangi alokasi untuk belanja lainnya
yang mana pada tahun tersebut Kab. Temanggung memiliki alokasi yang cukup
rendah untuk belanja perumahan dan fasilitas umum yaitu hanya 1.81 persen,
sedangkan Kab. Tegal memiliki alokasi yang rendah pada belanja pendidikan
hanya sebesar 7.39 persen. Belanja kesehatan tersebut digunakan untuk program-
program dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kualitas kesehatan di daerah.
Kota Salatiga
Kab. Rembang
Kab. Demak
Kab. Purbalingga
Kab. Kebumen
Kab. Blora
Kab. Brebes
Kota Surakarta
Kab. Klaten
Kab. Jepara
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Banyumas
Kab. Temanggung
Kota Magelang
Kota Semarang
Kab. Semarang
Kota Pekalongan
Kab. Banjarnegara
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Grobogan
Kab. Karanganyar
Kab. Cilacap
Kab. Kudus
Kab. Wonogiri
Kab. Sragen
Kab. Pati
Kab. Kendal
Kab. Batang
Kab. Purworejo
Kab. Tegal
Kota Tegal
Kab. Sukoharjo
Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 15 Alokasi belanja fungsi perumahan dan fasilitas umum menurut
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)
Berdasarkan hasil estimasi pengujian model terbaik, hasil uji chow pada
model P0 diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000 signifikan pada taraf nyata 5
persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM. Selanjutnya hasil uji hausman
diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.1613 tidak signifikan pada taraf nyata 5
persen, sehingga model yang dipilih adalah REM.
Hasil uji chow pada model P1 diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000
signifikan pada taraf nyata 5 persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM.
33
2. Model P1
Hasil pengujian asumsi klasik menunjukkan model P1 yang menggunakan
model terbaik FEM mengalami masalah heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil uji glejser (Lampiran 13). Selain itu juga dapat dilihat dari nilai
sum square resid Weighted Statistics lebih kecil dari sum square resid
Unweighted Statistics, sehingga model terdeteksi mengalami masalah
heteroskedastisitas. Namun demikian, masalah tersebut diatasi dengan melakukan
pembobotan GLS cross-section atau cross-section weights sehingga masalah
heteroskedastisitas dapat teratasi. Model ini juga terbebas dari multikolinearitas
(Lampiran 12). Kemudian uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai statistik
Durbin-Watson, nilai statistik Durbin-Watson nya yaitu sebesar 1.718992, dimana
0 < DW (1.718992) < dL (1.79573), sehingga model ini memiliki masalah
autokorelasi positif. Autokorelasi dapat diatasi dengan memilih white period atau
white diagonal pada saat melakukan estimasi.
3. Model P2
Sama halnya dengan model P1, hasil pengujian asumsi klasik model P2
yang menggunakan model terbaik FEM mengalami masalah heteroskedastisitas.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil uji glejser (Lampiran 15). Selain itu juga dapat
dilihat dari nilai sum square resid Weighted Statistics lebih kecil dari sum square
resid Unweighted Statistics, sehingga model terdeteksi mengalami masalah
heteroskedastisitas. Namun demikian, masalah tersebut diatasi dengan melakukan
pembobotan GLS cross-section atau cross-section weights sehingga masalah
heteroskedastisitas dapat teratasi. Model ini juga terbebas dari multikolinearitas
(Lampiran 14). Adapun uji autokorelasi dilihat berdasarkan nilai statistik Durbin-
Watson, nilai statistik Durbin-Watson nya yaitu sebesar 1.821715, dimana dL
34
Adapun pada model P2 diperoleh nilai R-squared sebesar 0.737076. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman indeks keparahan kemiskinan dapat dijelaskan
oleh variabel bebas dalam model sebesar 73.70 persen sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan pada
taraf nyata 5 persen yang artinya terdapat variabel independen yang berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen dalam model. Hasil estimasi model dapat dilihat
pada Tabel 12 berikut ini.
Interpretasi Hasil
utama PAD. Partisipasi masyarakat yang semakin tinggi dalam membayar pajak
dan retribusi tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
semakin tinggi. Selain itu, dalam upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah
seharusnya menciptakan iklim investasi untuk menggerakkan usaha di daerah
seperti BUMD, BUMDes, dan lain-lain, agar sumbangannya terhadap PAD
semakin meningkat.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Febiandani dan Suseno
(2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kemandirian keuangan daerah
maka akan mendorong penurunan kemiskinan di suatu daerah.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adha RB. 2016. Pengaruh Belanja Daerah dan Kinerja Keuangan Daerah
Terhadap Kemiskinan Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Lampung [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Anggriani N. 2017. Penentuan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah Berdasarkan Indikator Perumahan dengan Metode K-Error [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bahtera M, Muhammad S, Nazamuddin, Jamal A. 2018. Panel Analysis on the
Effect of Government Expenditure on Education and Health Sector against
Poverty Numbers in Aceh 2010-2015. International Journal of Scientific
Research and Management. 6(1).
[BPK]. Badan Pemeriksa Keuangan. 2008. Pemeriksaan Dana Perimbangan
[majalah BPK RI]. Jakarta (ID): BPK.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2018. Berita Resmi Statistik: Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia Triwulan IV-2017. Jakarta (ID): BPS.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase
Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks Keparahan
Kemiskinan, Berdasarkan Provinsi 2007-2018. Jakarta (ID): BPS.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2012. Berita Resmi Statistik:
Profil Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Bulan September
2011.Semarang (ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2019. Jumlah Penduduk Miskin,
Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks
Keparahan Kemiskinan, Berdasarkan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun
2007-2018. Semarang (ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2019. Publikasi Data dan
Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2017. Semarang
(ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2017. Publikasi Statistik
Keuangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2016.
Semarang (ID): BPS Jateng.
[Dinkes]. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. Semarang (ID): Dinkes.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Anggaran Belanja per
Fungsi Tahun 2008-2017. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Deskripsi dan
Analisis APBD 2011. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2016. Publikasi Dana
Alokasi Khusus. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2016. Publikasi Dana
Alokasi Umum. Jakarta (ID): DJPK.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji chow pada model indeks kemiskinan (P0)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Lampiran 3 Estimasi Random Effects Model pada model indeks kemiskinan (P0)
Dependent Variable: P0
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
Swamy and Arora estimator of component variances
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
Lampiran 4 Hasil uji chow pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Lampiran 5 Hasil uji hausman pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Effects Specification
Weighted Statistics
Lampiran 7 Hasil uji chow pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Lampiran 8 Hasil uji hausman pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Effects Specification
Weighted Statistics
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
Unweighted Statistics
Effects Specification
Effects Specification
RIWAYAT HIDUP