Anda di halaman 1dari 64

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemandirian


Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2019

Selly Febrianti
NIM H14150037
ABSTRAK
SELLY FEBRIANTI. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja
Daerah terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Dibimbing oleh
DS PRIYARSONO.

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan dalam pembangunan


daerah. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi. Pemerintah daerah melakukan pengelolaan keuangan
dengan meningkatkan kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah untuk
mencapai pembangunan ekonomi yang pada akhirnya diharapkan mampu
mengurangi kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
kemiskinan, kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah, serta pengaruh
kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah terhadap kemiskinan di 35
Kabupaten/Kota Jawa Tengah periode tahun 2008 sampai 2017. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Penelitian ini menggunakan
menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif regresi data panel.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa rasio PAD terhadap total pendapatan dan
belanja pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan di Jawa
Tengah, sedangkan rasio dana perimbangan berpengaruh positif signifikan
terhadap kemiskinan di Jawa Tengah. Adapun belanja kesehatan dan belanja
perumahan dan fasilitas umum tidak berpegaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Kata kunci: belanja daerah, kemiskinan, rasio dana perimbangan , rasio PAD

ABSTRACT

SELLY FEBRIANTI. Effect of Regional Financial Independence and Regional


Expenditures on Poverty in Regencies/Cities Central Java. Supervised by DS
PRIYARSONO.

Poverty is one of problems in regional development. Central Java is one of


provinces in Java with high poverty rate. The regional government conducts
financial management by increasing regional financial independence and regional
spending to achieve economic development which is ultimately expected to
reduce poverty. This study aims to analyze the condition of poverty, regional
financial independence and regional expenditure and the influence of regional
financial independence and regional expenditure on poverty in 35 regencies/cities
Central Java for period 2008 to 2017. The types of data used in the study are
secondary data. This research uses descriptive analysis method and quantitative
analysis of panel data regression method. The estimation results show that the
ratio of PAD and education spending negatively significant affects poverty in
Central Java, while the ratio of balance funds has a positive significant effect on
poverty in Central Java. As for health expenditure and housing and public
facilities expenditure, there is no significant effect on poverty.

Keywords: regional expenditure, poverty, ratio of balance funds, ratio of PAD


PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN
BELANJA DAERAH TERHADAP KEMISKINAN DI
KABUPATEN/KOTA JAWA TENGAH

SELLY FEBRIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Judul Skripsi: Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah
terhadap Kemiskinan di Kabupaten!Kota Jawa Tengah
Nama : Selly Febrianti
NIM : Hl4150037

Disetujui oleh

Prof Dr Ir D.S. Priyarsono, MS


Pembimbing

P M.Si

Tanggal Lulus : 3 0 AUG 2019


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2018 sampai Agustus 2019
ini ialah Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Arif Cahyadi
(Alm), Ibu Euis Mulyati, Kakek Eman Sulaeman (Alm), Nenek Ii Fatmah, Tante
Siti Aisyah, Paman Yandi, Paman Riki, dan adik-adik dari penulis (Yusril
Mulyawan, Juliana Safira, Inara Rafani) serta keluarga lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala do’a, motivasi, dan dukungan
baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain
itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis,
teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga
dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu
Heni Hasanah, SE, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan
atas kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu
Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada
penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Dihqon Nadaamist dan Crisnina
Handayani yang telah menjadi partner diskusi dan teman berbagi suka
duka dalam penyusunan skripsi ini.
5. Sahabat-sahabat penulis dan teman-teman Ilmu Ekonomi 52 yang selalu
memberikan keceriaan, masukan, dan semangat kepada penulis selama
studi.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2019

Selly Febrianti
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 5
Pembangunan Ekonomi 5
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal 5
Pendapatan Asli Daerah 6
Dana Perimbangan 6
Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah dengan Kemiskinan 7
Belanja Pro-Poor 9
Hubungan Belanja Pendidikan dengan Kemiskinan 10
Hubungan Belanja Kesehatan dengan Kemiskinan 10
Hubungan Belanja Perumahan dan Fasilitas Umum dengan Kemiskinan 11
Kemiskinan 11
Penelitian Terdahulu 12
Kerangka Pemikiran 13
Hipotesis Penelitian 14
METODE 14
Jenis dan Sumber Data 14
Metode Analisis 15
Metode Analisis Data Panel 15
Uji Kesesuaian Model 16
Uji Asumsi Klasik 16
Model Penelitian 17
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Kondisi Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 18
Kondisi Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah 23
Kondisi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah 29
Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 32
SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 42
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL

1. Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, indeks


kedalaman kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan, berdasarkan
provinsi di Pulau Jawa pada September 2017 1
2. Kemampuan keuangan daerah 8
3. Jenis dan sumber data 15
4. Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya 17
5. Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan Maret 2017 20
6. Persentase penduduk miskin usia 15 Tahun ke atas menurut
kabupaten/kota dan sektor bekerja pada Maret 2017 20
7. Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Maret 2017 22
8. Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota dan sektor bekerja, Maret 2017 22
9. Uji model terbaik pada model kemiskinan 32
10. Hasil estimasi REM pada model P0 (indeks kemiskinan) 34
11. Hasil estimasi FEM pada model P1 (indeks kedalaman kemiskinan) 34
12. Hasil estimasi FEM pada model P2 (indeks keparahan kemiskinan) 35

DAFTAR GAMBAR

1. Realisasi pendapatan APBD agregat Kabupaten/Kota Jawa Tengah


tahun 2017 (persen) 3
2. Hubungan kemandirian keuangan daerah dengan kemiskinan 8
3. Kerangka pemikiran 14
4. Persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dan Nasional
tahun 2008-2017 (persen) 18
5. Persentase penduduk miskin tertingi di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008-2017 (persen) 19
6. Persentase penduduk miskin terendah di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008-2017 (persen) 21
7. Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2017 (Persen) 23
8. Rasio PAD terhadap total pendapatan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008 dan 2017 (persen) 24
9. Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun
2008 (persen) 25
10. Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun
2017 (persen) 26
11. Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah Tahun 2008 dan 2017 (persen) 27
12. Jumlah dana perimbangan terhadap total pendapatan di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah Tahun 2008 dan 2017 (Miliar Rupiah) 28
13. Alokasi belanja fungsi pendidikan menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen) 29
14. Alokasi belanja fungsi kesehatan menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008 dan 2017 (persen) 30
15. Alokasi belanja fungsi perumahan dan fasilitas umum menurut
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen) 32

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji chow pada model indeks kemiskinan (P0) 42


2. Hasil uji hausman pada model indeks kemiskinan (P0) 42
3. Estimasi Random Effects Model pada model indeks kemiskinan (P0) 42
4. Hasil uji chow pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1) 43
5. Hasil uji hausman pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1) 43
6. Estimasi Fixed Effects Model pada model indeks kedalaman kemiskinan
(P1) 43
7. Hasil uji chow pada model indeks keparahan kemiskinan (P2) 44
8. Hasil uji hausman pada model indeks keparahan kemiskinan (P2) 44
9. Estimasi Fixed Effects Model pada model indeks keparahan kemiskinan
(P2) 44
10. Uji multikolinearitas pada model indeks kemiskinan (P0) 45
11. Uji glejser pada model indeks kemiskinan (P0) 45
12. Uji multikolinearitas pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1) 46
13. Uji glejser pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1) 46
14. Uji multikolinearitas pada model indeks keparahan kemiskinan (P2) 46
15. Uji glejser pada model indeks keparahan kemiskinan (P2) 47
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan daerah menjadi bagian yang terintegrasi dengan


pembangunan nasional serta memiliki tujuan dalam meningkatkan kualitas hidup
masyarakat di daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menjadi strategi
yang dilaksanakan dalam rangka mempercepat pembangunan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan yang awalnya tersentralisasi di pusat berubah
menjadi terdesentralisasi pada daerah. Titik tolak desentralisasi Indonesia terletak
pada pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten dan kota. Desentralisasi
seharusnya membuat pemerintahan dan pelayanan publik menjadi lebih efektif
karena pemerintah daerah yang lebih mengetahui kebutuhan dan potensi
daerahnya. Desentralisasi tersebut juga membuat alokasi anggaran diatur oleh
pemerintah daerah sehingga rancangan dan penggunaan anggaran menjadi
kewenangan setiap daerah dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi daerah.
Pembangunan ekonomi dan kegiatan perekonomian Indonesia saat ini masih
terpusat di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur
ekonomi Indonesia didominasi oleh provinsi yang ada di Pulau Jawa. Pada tahun
2017, Pulau Jawa menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB)
yaitu sebesar 58.49 persen. Kontribusi Pulau Jawa yang besar terhadap PDB
tersebut tidak menjadikan Pulau Jawa terbebas dari masalah kemiskinan. Pulau
Jawa menempati urutan pertama sebagai pulau dengan jumlah penduduk miskin
terbanyak dibanding pulau lainnya di Indonesia yaitu sebanyak 13.93 juta jiwa
dari total penduduk miskin 26.58 juta jiwa (BPS 2018). Hal ini mengindikasikan
bahwa kemiskinan menjadi salah satu permasalahan pembangunan ekonomi di
Pulau Jawa.

Tabel 1 Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, indeks kedalaman


kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan, berdasarkan provinsi di
Pulau Jawa pada September 2017
Jumlah Persentase Indeks Indeks
Penduduk Penduduk Kedalaman Keparahan
Provinsi
Miskin Miskin Kemiskinan Kemiskinan
(ribu jiwa) (persen) (persen) (persen)
Jawa Tengah 4,197.49 12.23 2.12 0.55
DKI Jakarta 393.13 3.78 0.61 0.15
Jawa Barat 3,774.41 7.83 1.39 0.35
DI Yogyakarta 466.33 12.36 2.09 0.46
Jawa Timur 4,405.27 11.20 2.09 0.56
Banten 699.83 5.59 0.78 0.16
Indonesia 26,582.99 10.12 1.79 0.46
Sumber: BPS 2019

Berdasarkan Tabel 1, Jawa Tengah termasuk provinsi dengan jumlah


penduduk miskin tinggi yakni mencapai 4.19 juta jiwa atau persentase penduduk
miskin sebesar 12.23 persen yang melebihi persentase kemiskinan nasional
2

sebesar 10.12 persen. Selain itu dilihat dari nilai indeks kedalaman kemiskinan
senilai 2.12 persen menunjukkan bahwa Jawa Tengah memiliki nilai indeks yang
paling tinggi diantara Provinsi yang ada di Pulau Jawa. Hal tersebut
mencerminkan garis kemiskinan semakin jauh dari rata-rata pengeluaran
penduduk miskin. Di samping itu jika diihat dari nilai indeks keparahan
kemiskinan, Jawa Tengah juga memiliki nilai indeks yang tinggi yaitu senilai 0.55
persen. Hal tersebut mencerminkan semakin tingginya ketimpangan pengeluaran
diantara penduduk miskin di Jawa Tengah.
Permasalahan kemiskinan tersebut menjadi permasalahan pemerintah daerah
dalam mencapai pembangunan ekonomi daerah. Program penanggulangan
kemiskinan selalu menjadi prioritas dalam program pembangunan setiap tahunnya.
Berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2014, penanggulangan kemiskinan termasuk
dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Jawa Tengah.
Sebagaimana tertuang dalam RPJMD 2013-2018 yang memiliki misi dalam
menciptakan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
pengangguran. Berbagai program dicanangkan dalam pengentasan kemiskinan
tersebut diantaranya terkait pelayanan kesehatan, pendidikan, peningkatan
kesejahteraan pekerja, pemberdayaan masyarakat desa, peningkatan keadilan
gender dan perlindungan anak, serta berbagai program pembangunan lainnya yang
mendukung misi tersebut. Selanjutnya dalam RPJMD 2018-2023,
penanggulangan kemiskinan kembali menjadi salah satu tujuan pembangunan di
Jawa Tengah. Program penanggulangan kemiskinan selalu menjadi prioritas
dalam program pembangunan daerah setiap tahunnya.
Pembangunan daerah tersebut dapat terwujud dengan adanya pengeluaran
pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan pengelolaan keuangan dan
belanja daerah untuk mencapai pembangunan ekonomi yang pada akhirnya
diharapkan mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi dasar pelimpahan kewenangan
keuangan atau desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal tersebut direspon
pemerintah daerah dengan cara (1) memusatkan perhatian pada upaya untuk
meningkatkan pendapatan daerah dan (2) lebih berorientasi pada efektivitas
pengeluaran belanja daerah (Makrifah 2010).
Upaya peningkatan pendapatan daerah dapat ditempuh dengan cara
menggali sumber daya ekonomi daerah sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD)
meningkat dan menciptakan kemandirian keuangan daerah. Kemandirian tersebut
ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan, serta rasio dana
perimbangan terhadap total pendapatan. Rasio PAD yang semakin besar
menunjukkan kemandirian keuangan daerah semakin baik. Sebaliknya, rasio dana
perimbangan yang semakin besar menunjukkan semakin rendah kemandirian
keuangan daerah dalam mendanai belanja daerah (DJPK 2011).
3

15.19% Pendapatan Asli Daerah

27.41%
Dana perimbangan

57.40% Lain-lain pendapatan yang


sah

Sumber: DJPK 2019


Gambar 1 Realisasi pendapatan APBD agregat Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 1, pendapatan daerah agregat Kabupaten/Kota Jawa


Tengah tahun 2017 terdiri dari 27.41 persen PAD, 57.40 persen dana
perimbangan, dan 15.19 persen lain-lain pendapatan daerah yang sah. Realisasi
pendapatan daerah yang bersumber dari dana perimbangan mendominasi
pendapatan daerah agregat Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Hal tersebut
mengindikasikan Kabupaten/Kota Jawa Tengah yang masih memiliki
ketergantungan tinggi pada dana transfer pemeritah pusat dan belum
memaksimalkan potensi dalam menggali sumber-sumber PAD.
Di samping upaya peningkatan penerimaan daerah, efektivitas pengeluaran
belanja daerah menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
keuangan daerah. Belanja daerah tersebut seharusnya berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan sehingga berdampak pada pengurangan tingkat
kemiskinan atau pro-poor social expenditure. Dalam beberapa penelitian
sebelumnya, beberapa kelompok belanja diduga memberikan manfaat bagi
penduduk miskin diantaranya Yao (2007) menggunakan belanja pendidikan,
kesehatan, dan pertanian sebagai kelompok belanja yang dapat mengurangi
kemiskinan. Dalam studi lainnya, Utama dan Kustiani (2012) menggunakan
belanja daerah menurut belanja klasifikasi fungsi berupa belanja pendidikan,
belanja kesehatan, belanja perumahan dan fasilitas umum, belanja perlindungan
sosial, dan belanja ekonomi sebagai kelompok belanja yang bekaitan dengan
pengurangan kemiskinan. Selain itu, dalam penelitian sebelumya oleh Wahyudi
(2011) menggunakan belanja daerah urusan kesehatan, pekerjaan umum, dan
pendidikan sebagai belanja yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan di
Jawa Tengah pada periode tahun 2007 sampai 2009. Dalam penelitian Wahyudi
(2011) tersebut belanja urusan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum
berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan.
Seiring perkembangan waktu yang dinamis, juga terdapat perubahan dalam
struktur anggaran daerah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kembali dikaji
pengaruh belanja daerah berdasarkan klasifikasi fungsi pendidikan, kesehatan, dan
perumahan dan fasilitas umum terhadap kemiskinan di Jawa Tengah. Selain dari
sisi pengeluaran, juga dilihat dari sisi pendapatan untuk mengetahui pengaruh
kemandirian keuangan daerah terhadap kemiskinan di Jawa Tengah.
4

Perumusan Masalah

Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan pembangunan ekonomi


daerah. Jawa Tengah merupakan provinsi di Pulau Jawa yang memiliki tingkat
kemiskinan tinggi yaitu 12.23 persen pada tahun 2017. Penanggulangan
kemiskinan termasuk dalam salah satu fokus utama Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Tengah periode 2014-2018 dan periode
2018-2023. Dalam hal ini pemerintah daerah melakukan pengelolaan kebijakan
fiskal dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi yang mampu
menurunkan angka kemiskinan daerah. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam mengatasi berbagai permasalahan pembangunan
salah satunya dengan cara meningkatkan penerimaan daerah dan meningkatkan
efektivitas pengeluaran belanja daerah.
Peningkatan penerimaan atau pendapatan daerah dilakukan untuk
meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai belanja daerah. namun saat
ini pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah masih didominasi oleh dana transfer
berupa dana perimbangan dari pemerintah pusat. Rasio dana perimbangan lebih
besar dibandingkan rasio PAD nya. Hal tersebut mencerminkan ketergantungan
pemerintah daerah terhadap dana transfer pemerintah pusat masih tinggi. Selain
itu, dari sisi pengeluaran, pemerintah daerah menetapkan kebijakan fiskal dalam
mengelola belanja daerah. Kualitas belanja daerah menjadi penting diperhatikan
agar memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi daerah
sehingga dapat menurunkan angka kemiskinan di Jawa Tengah.
Berdasarkan paparan di atas, permasalahan yang dianalisis dalam penelitian
ini antara lain:
1. Bagaimana kondisi kemiskinan, kemandirian keuangan daerah, dan belanja
daerah di Kabupaten/Kota Jawa Tengah?
2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah
terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah?

Tujuan Penelitian

1. Memberikan gambaran umum mengenai kondisi kemiskinan, kemandirian


keuangan daerah dan belanja daerah di Kabupaten/Kota Jawa Tengah.
2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah
terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan


kebijakan fiskal pemerintah daerah atau instansi terkait di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah.
2. Penelitian ini sebagai bahan bacaan yang dapat memberi manfaat bagi
pembacanya.
3. Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan atau referensi untuk
penelitian selanjutnya.
5

Ruang Lingkup Penelitian

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 35 Kabupaten/Kota


Jawa Tengah dengan data tahun 2008-2017. Indikator pembangunan ekonomi
sekaligus permasalahan yang dianalisis yaitu kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa
Tengah. Penelitian ini fokus pada pengelolaan keuangan baik dari sisi pendapatan
maupun pengeluaran/belanja daerah. Analisis pendapatan daerah dilihat dari
kemandirian keuangan daerah yang diperoleh dari rasio PAD terhadap total
pendapatan dan rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan. Analisis
pengeluaran/belanja daerah dilihat berdasarkan belanja daerah menurut klasifikasi
fungsi yaitu belanja pendidikan, kesehatan, dan perumahan dan fasilitas umum.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Ekonomi

Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pembangunan sebagai proses


multidimensi yang meliputi perubahan pada sikap masyarakat, struktur sosial, dan
institusi nasional, di samping tetap fokus pada percepatan pertumbuhan ekonomi,
perbaikan kondisi ketimpangan, dan penanggulangan kemiskinan. Tiga tujuan inti
pembangunan yaitu (1) peningkatan ketersediaan dan distribusi barang kebutuhan
pokok seperti pangan, sandang, papan, keamanan, dan kesehatan; (2) peningkatan
kualitas kehidupan yang sekaligus menciptakan rasa memiliki harga diri dalam
setiap pribadi indvidu; (3) perluasan akses pada berbagai pilihan ekonomis
maupun piihan sosial untuk setiap individu, dan bebas dari ketergantungan pada
pihak lain.
Tantangan utama pembangunan tidak lain yaitu memperbaiki kualitas
kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan tersebut di antaranya dapat dicapai
melalui perbaikan kualitas pendidikan, perbaikan kualitas kesehatan, pendapatan
yang lebih tinggi, pemerataan kesempatan, perbaikan kondisi lingkungan hidup,
peningkatan kondisi individual, pelestarian ragam kehidupan budaya, dan
pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu hal penting
yang perlu diperhatikan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, definisi otonomi


daerah yaitu pemberian hak, kewenangan, dan kewajiban pada daerah dalam
mengelola pemerintahan dan memenuhi kepentingan masyarakat daerah sesuai
perundangan yang berlaku. Pemberlakuan otonomi daerah juga diiringi adanya
desentralisasi pengelolaan keuangan atau desentralisasi fiskal.
Tujuan desentralisasi fiskal tersebut yaitu mengurangi kesenjangan fiskal
antar tingkat pemerintahan maupun antar pemerintah daerah. Selain itu,
desentralisasi fiskal juga dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan publik
serta pengurangan kesenjangan atas ketersediaan dan distribusi pelayanan publik
antar daerah. Melalui kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah daerah diberi
kewenangan dalam mengelola keuangan daerah sehingga perumusan dan
6

pelaksanaan APBD diserahkan pada pemerintah daerah. Namun demikian


pemerintah harus akuntabel dalam menjalankan tata kelola keuangannya
(Kurniasih 2011).

Pendapatan Asli Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, PAD merupakan


pendapatan yang diperoleh dan dipungut oleh pemerintah daerah sesuai
perundangan yang berlaku. Sumber PAD tersebut meliputi pajak dan retribusi
daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang
sah.
Pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan pada
peraturan yang telah ditetapkan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,
memuat penjelasan mengenai jenis pajak yang dapat ditarik oleh daerah baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi meliputi (1) pajak rokok;
(2) pajak bahan bakar kendaraan bemotor; (3) pajak balik nama kendaraan
bermotor; (4) pajak kendaraan bermotor; dan (5) pajak air permukaan. Adapun
jenis pajak kabupaten/kota antara lain (1) pajak restoran; (2) pajak hotel; (3) pajak
reklame; (4) pajak hiburan; (5) pajak mineral bukan logam dan batuan; (6) pajak
penerangan jalan; (7) pajak sarang burung walet; (8) pajak air tanah; (9) pajak
parkir; (10) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan; dan (11) pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan.
Selanjutnya terkait pengertian retribusi yaitu pungutan daerah atas
pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang diberikan pemerintah daerah
dalam memenuhi kepentingan orang pribadi atau suatu badan. Adapun yang
dimaksud pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yaitu pendapatan yang
diperoleh dari perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan yang meliputi bagian laba Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),
Lembaga Keuangan Bank, maupun Non Bank, dan Perusahaan Milik Daerah
lainnya, serta laba atas penyertaan modal pada pihak ketiga.
Adapun lain-lain pendapatan asli daerah yang sah meliputi hasil penjualan
aset daerah yang tidak dipisahkan, pendapatan atas jasa giro, pendapatan dari
bunga, pendapatan ganti rugi kekayaan daerah, keuntungan atas perolehan selisih
nilai tukar rupiah, denda keterlambatan pada pelaksanaan pekerjaan, denda
retribusi, denda pajak, hasil perolehan atas jaminan, pendapatan perolehan
pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan pendapatan lain-lain.

Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah bagian dana APBN yang dialokasikan kepada


daerah atau diberikannya anggaran dalam pelaksanaan desentralisasi. Dana
perimbangan meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pemberian dana perimbangan dimaksudkan agar
kesenjangan fiskal antar daerah dan tingkat pemerintahan dapat berkurang.
Penentuan besaran dana alokasi umum tersebut dihitung berdasarkan celah
fiskal yang diperoleh dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Komponen
penyusun kebutuhan fiskal terdiri dari total belanja rata-rata, luas wilayah, jumlah
7

penduduk, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto


(PDRB) perkapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Semakin besar
masing-masing komponen penyusun tersebut maka semakin besar kebutuhan
fiskal di suatu daerah. Adapun komponen penyusun kapasitas fiskal terdiri dari
PAD, DBH pajak, dan DBH SDA. Semakin besar komponen penyusun tersebut
maka semakin besar kapasitas fiskal di suatu daerah. Jadi adanya transfer dari
pusat bertujuan menutup celah fiskal agar belanja daerah dapat dipenuhi oleh
pemerintah daerah. Namun meskipun demikian, daerah seharusnya tidak terus
bergantung pada transfer DAU dari pusat sehingga pengeluaran dana APBN dapat
berkurang. Daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan kapasitas fiskal
daerah dengan menggali potensi yang ada di daerah.
Penentuan alokasi DAK didasarkan pada pemenuhan kriteria antara lain (1)
kriteria umum dilihat dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja Pegawai
Negeri Sipil di daerah; (2) kriteria khusus dilihat dari peraturan atau undang-
undang yang mangatur karakteristik daerah dan otsus; (3) kriteria teknis dibuat
berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang pendanaannya dibiayai
DAK. Penentuan DAK pada suatu daerah harus memenuhi ketiga kriteria
ketentuan tersebut. Besaran DAK ditetapkan oleh peraturan Menteri Keuangan
yang kemudian perancangan penggunaan DAK disusun melalui juknis yang
dibuat oleh Menteri Teknis.
Penentuan alokasi DBH didasarkan pada bagi hasil atas perolehan dari
sumber daya daerah, baik yang diperoleh dari SDA maupun pajak. DBH pajak
diperoleh dari Pajak Penghasilan (Pph), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Adapun DBH SDA
diperoleh dari lima jenis SDA antara lain (1) DBH kehutanan; (2) DBH
pertambangan umum, mineral, dan batu bara; (3) DBH minyak dan gas bumi; (4)
DBH pengusahaan panas bumi; dan (5) DBH perikanan. Penghitungan alokasi
DBH SDA dilakukan oleh Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, serta Departemen Kelautan dan Perikanan.

Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah dengan Kemiskinan

Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal salah satunya untuk meningkatkan


kemandirian keuangan daerah sehingga dapat mengurangi ketergantungan daerah
pada pemerintah pusat. Kemandirian keuangan daerah dicerminkan oleh rasio
PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana perimbangan terhadap total
pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki hubungan arah negatif atau makna
berkebalikan. Nilai rasio PAD yang semakin tinggi menunjukkan kemandirian
keuangan daerah yang semakin baik. Adapun nilai rasio dana perimbangan yang
semakin tinggi menunjukkan kemandirian keuangan yang semakin rendah. Rasio
PAD terhadap total pendapatan daerah dapat mengukur kemampuan keuangan
daerah. Rumus rasio PAD dan rasio dana perimbangan sebagai berikut.

Rasio PAD = x 100%

dan
Rasio Dana Perimbangan = x 100%
8

Tabel 2 Kemampuan keuangan daerah dilihat berdasarkan rasio PAD


Interval Kemampuan keuangan daerah
00.00 – 10.00 sangat kurang
10.01 – 20.00 kurang
20.01 – 30.00 cukup
30.01 – 40.00 sedang
40.01– 50.00 baik
>50.00 sangat Baik
Sumber: Depdagri dan Fisipol UGM (1991) dalam Suci (2013)

Selain itu, hubungan antara kemandirian keuangan daerah dengan indikator


pembangunan juga perlu diperhatikan, yakni salah satunya hubungannya dengan
kemiskinan di daerah. Penelitian Isramiwarti et al. (2017) menyebutkan bahwa
peningkatan PAD dapat meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan
alokasi belanja daerah terutama terkait dengan peningkatan pelayanan publik.
Peningkatan PAD pada akhirnya memiliki dampak meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menurunkan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Adha (2016)
diperoleh hasil penelitian bahwa kemandirian daerah yang ditunjukkan dengan
peningkatan PAD memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan.
Peningkatan PAD menunjukkan adanya peningkatan kinerja perekonomian daerah
dan berdampak pada penurunan angka kemiskinan.

Kemandirian Upaya Strategi pengelolaan PAD melalui


keuangan meningkatkan peningkatan kinerja aparatur
daerah perolehan PAD pemerintah daerah

Penggunaan PAD dalam


meningkatkan pelayanan publik
seperti sarana prasarana fasilitas
umum, infrastruktur, fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain

Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat

Mengurangi kemiskinan

Gambar 2 Hubungan kemandirian keuangan daerah dengan kemiskinan


Kemandirian keuangan daerah dapat meningkat dengan cara meningkatkan
PAD. Komponen penyusun PAD antara lain pajak, retribusi daerah, pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Beberapa langkah
yang dapat ditempuh untuk meningkatkan PAD antara lain:
9

1. Melakukan intensifikasi pajak daerah sehingga dapat mengurangi selisih antara


target dan potensi pajak. Pemungutan pajak didukung dengan sistem
administrasi perpajakan jelas serta mengintensifkan pembinaan atau
penyuluhan dan penyederhanaan prosedur pembayaran pajak yang disertai
peningkatan kompetensi aparatur pemungut pajak daerah.
2. Mengoptimalkan pengelolaan kekayaan dan aset daerah, restrukturisasi aset,
agar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang pada akhirnya dapat
mendatangkan pendapatan daerah melalui retribusi daerah atau pendapatan
sewa. Selain itu juga diperlukan penyederhanaan prosedur dan percepatan
pelayanan perizinan tertentu yang diberikan pemerintah daerah dalam
memenuhi kepentingan orang pribadi atau suatu badan.
3. Meningkatkan kerjasama dan sinergi dengan berbagai pihak yang terkait,
seperti pemerintah pusat, kabupaten/kota, perangkat daerah penghasil, POLRI,
dalam rangka peningkatan pajak daerah, pengelolaan, serta pemanfaatan
kekayaan milik daerah.
4. Mengoptimalkan pengelolaan BUMD, sebagai kepanjangan pemerintah daerah
dalam penyediaan layanan publik, motor perekonomian dan sumber
pendapatan daerah serta menciptakan iklim investasi yang dapat menarik
investor.
Setelah pemerintah daerah melakukan upaya-upaya dalam meningkatkan
PAD, langkah selanjutnya diperlukan strategi pengelolaan PAD melalui
peningkatan kinerja aparatur pemerintah daerah. Tahapan strategi pengelolaan
PAD terdiri dari intensifikasi dan ekstensifikasi pada tahap perencanaan,
koordinasi dan konsolidasi di pelaksanaan, serta optimalisasi pengawasan. Hal ini
sejalan dengan anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah perlu didorong untuk
bekerja lebih efektif dan efisien dalam mengelola penerimaan daerahnya melalui
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Perbaikan jasa layanan dan peningkatan fasilitas publik akan membuat kesadaran
wajib pajak meningkat dan secara langsung mendorong peningkatan kontribusi
PAD terhadap APBD.
Pengelolaan PAD yang baik dapat digunakan pemerintah daerah dalam
meningkatkan fasilitas pelayanan publik di daerah seperti sarana dan prasarana
fasilitas umum, infrastruktur, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal
tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada
akhirnya dapat menurunkan kemiskinan.

Belanja Pro-Poor

Kebijakan dalam perencanaan dan pelaksanaan APBD yang memihak dan


didedikasikan bagi masyarakat miskin dikenal sebagai kebijakan anggaran publik
yang bersifat pro-poor budget (Utama dan Kustiani 2012). Berek et al (2006)
dalam Wahyudi (2011) mengemukakan penjelasan terkait dengan pro-poor
budget. Pertama, pemberian anggaran yang diarahkan pada pentingnya kebijakan
pembangunan yang berpihak kepada orang miskin. Kedua, penyusunan dan
kebijakan mengenai anggaran sengaja ditujukan untuk program yang berpihak
kepada kepentingan orang miskin. Ketiga, kebijakan anggaran dampaknya dapat
menjadikan orang miskin memenuhi berbagai kebutuhan dasar.
10

Sejauh ini tidak ada definisi baku penetapan kelompok belanja pro-poor
yang sama antar region. Simson (2012) mengutip dalam IMF staff report, di
beberapa negara terdapat kelompok pengeluaran yang berperan dalam mengurangi
kemiskinan dan berbeda-beda untuk setiap negara. Di Zambia pengeluaran untuk
mengurangi kemiskinan meliputi pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Adapun
di Ethiopia, belanja yang berperan mengurangi kemiskinan yaitu belanja
pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, dan ketahanan pangan.
Sedangkan di Uganda belanja yang menurunkan kemiskinan antara lain
pengeluaran pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, pertanian, dan infrastruktur
jalan pedesaan.

Hubungan Belanja Pendidikan dengan Kemiskinan

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran
pendidikan minimal 20 persen dari total APBD. Hal ini dilakukan karena investasi
di bidang pendidikan menjadi investasi modal manusia dan bertujuan dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat
menurunkan kemiskinan di masa yang datang. Hal tersebut dikarenakan
peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat berdampak pada peningkatan
produktivitas, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan
masyarakat miskin. Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu tujuan pembangunan mendasar karena pendidikan menjadi
hal pokok untuk mencapai kehidupan yang lebih baik serta dapat membuat
keluarga miskin terlepas dari lingkaran setan kemiskinan. Selain itu, pendidikan
berperan dalam membentuk kemampuan suatu negara berkembang dalam
menyerap teknologi modern dan mengembangkan kapasitas untuk menciptakan
pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu pendidikan
menjadi komponen pertumbuhan dan pembangunan yang sangat penting karena
memiliki peran ganda baik sebagai input maupun output dalam pembangunan
ekonomi.
Dalam penelitian Yao (2007) ditemukan bahwa peningkatan pendidikan
terutama pendidikan dasar terbukti dapat mengurangi kemiskinan. Penelitian
Utama dan Kustiani (2012) menemukan terdapat hubungan negatif antara belanja
pendidikan dengan kemiskinan. Demikian juga penelitian oleh Adha (2016) dan
Wahyudi (2011) yang memperoleh hasil bahwa belanja pendidikan berpengaruh
signifikan dalam menurunkan kemiskinan di daerah.

Hubungan Belanja Kesehatan dengan Kemiskinan

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran kesehatan
minimal 10 persen dari total APBD. Hal ini dilakukan karena investasi di bidang
kesehatan termasuk dalam investasi modal manusia yang sangat penting dan
menjadi bagaian komponen pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Gupta dan
Mitra (2004) dalam Adha (2016) menyatakan bahwa peningkatan dalam
pelayanan kesehatan dasar dapat membantu menanggulangi kemiskinan karena
adanya hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesehatan.
11

Tingkat kesehatan yang lebih baik akan meningkatkan pendapatan melalui


kenaikan produktivitas, sementara pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan
membentuk sumber daya manusia yang lebih baik dan berdampak pada tingkat
kesehatan yang lebih baik.
Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa kesehatan merupakan
prasyarat bagi peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas tersebut
dapat meningkatkan perolehan pendapatan bagi masyarakat miskin. Oleh karena
itu kesehatan menjadi komponen pertumbuhan dan pembangunan yang sangat
penting karena memiliki peran ganda baik sebagai input maupun output dalam
pembangunan ekonomi. Dalam penelitian Wahyudi (2011) memperoleh hasil
bahwa belanja kesehatan berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan
di daerah. Namun penelitian Utama dan Kustiani (2012) dan Adha (2016)
memperoleh hasil bahwa belanja kesehatan tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan kemiskinan.

Hubungan Belanja Perumahan dan Fasilitas Umum dengan Kemiskinan

Belanja perumahan dan fasilitas umum adalah belanja yang berkenaan


dengan perumahan dan kawasan permukiman, serta pemenuhan sarana dan
prasarana fasilitas umum seperti jalan, drainase, sanitasi dan air minum, jaringan
listrik, jaringan telepon, dan lain-lain. Perumahan menjadi salah satu kebutuhan
pokok mendasar masyarakat dan fasilitas umum menjadi kebutuhan pendukung
yang sangat diperlukan.
Fan et al. (2002) dalam Parikesit et al. (2007) berpendapat bahwa investasi
listrik mempunyai peran yang cukup signifikan dalam pengurangan kemiskinan.
Listrik secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui
transmisi tidak langsung yaitu pertumbuhan ekonomi, serta transmisi langsung
yaitu produktivitas dan upah. Dalam penelitian Wahyudi (2011) menyimpulkan
bahwa belanja urusan pekerjaan umum berpengaruh negatif signifikan terhadap
penurunan kemiskinan.

Kemiskinan

Pengukuran kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dilihat


berdasarkan pada pengeluaran terhadap kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar
makanan maupun non makanan. Pemenuhan kebutuhan dasar makanan setara
dengan pengeluaran untuk memenuhi 2,100 kilokalori perkapita perhari,
sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar non makanan yaitu pengeluaran dalam
memenuhi kebutuhan minimal berupa perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan. Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut menjadi ukuran dalam
menentukan garis kemiskinan. Penduduk dengan rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah garis kemiskinan termasuk kategori penduduk miskin.
Terdapat beberapa indikator kemiskinan antara lain:
1. Persentase Penduduk Miskin (P0)
Persentase penduduk miskin merupakan persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Pengukuran tingkat kemiskinan berdasarkan proporsi
penduduk miskin yaitu banyaknya penduduk miskin dibagi jumlah penduduk.
12

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)


Indeks kedalaman kemiskinan menjadi ukuran dalam melihat rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Nilai indeks yang semakin tinggi menunjukkan rata-rata
pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan juga semakin jauh.
3. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Indeks keparahan kemiskinan menjadi gambaran penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Nilai indeks yang semakin tinggi menunjukkan
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga semakin tinggi.

Penelitian Terdahulu

Febiandani dan Suseno (2016) dalam penelitiannya menganalisis keterkaitan


antara kemandirian keuangan daerah dan ketergantungan daerah dengan
pengangguran dan kemiskinan. Metode yang digunakan yaitu analisis korelasi
kanonikal. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa kemandirian keuangan daerah
memiliki hubungan yang signifikan, kuat, dan searah dengan pengangguran dan
kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah yang
semakin baik berdampak pada kemiskinan dan pengangguran yang semakin
rendah. Adapun ketergantungan daerah memiliki hubungan yang signifikan, tidak
kuat, dan tidak searah dengan pengangguran dan kemiskinan, artinya
ketergantungan daerah memiliki hubungan yang lemah dengan variabel
kemiskinan dan pengangguran.
Selanjutnya penelitian oleh Adha (2016) menganalisis hubungan antara
belanja daerah dan kinerja keuangan daerah dengan kemiskinan. Dalam penelitian
ini, belanja daerah yang diduga terkait dalam penurunan kemiskinan yaitu belanja
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan pertanian. Adapun variabel kinerja
keuangan daerah dilihat berdasarkan rasio kemandirian, rasio efektivitas, dan rasio
keserasian belanja daerah. Dari hasil penelitian, hanya variabel belanja pendidikan,
rasio kemandirian, dan rasio efektivitas yang berpengaruh signifikan dalam
menurunkan kemiskinan.
Suci (2013) dalam penelitiannya melihat bagaimana hubungan antara
kemandirian keuangan daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di
Banten. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa rasio
PAD berpengaruh positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Beda
halnya dengan dana perimbangan yang menunjukkan pengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan terhadap pusat membuat daerah kurang
dalam menggali sumber-sumber pendapatan sehingga dapat mengurangi kinerja
perekonomian. Namun demikian dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa rasio
PAD justru berpengaruh dalam meningkatkan kemiskinan. Hal ini dikarenakan
peningkatan pendapatan juga diiringi dengan meningkatnya koefisien gini
sebagaimana sesuai dengan teori kurva Kuznets. Adapun dana perimbangan
berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan.
Tidak hanya dari segi perolehan pendapatan, pengelolaan keuangan juga
meski diperhatikan dari segi pengeluaran. Bahtera et al. (2018) dalam
penelitiannya meneliti pengaruh belanja pemerintah di bidang pendidikan dan
kesehatan pengaruhnya terhadap kemiskinan di Aceh. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian antara lain belanja pendidikan memiliki pengaruh negatif signifikan
13

dalam menurunkan kemiskinan, sedangkan belanja kesehatan tidak memiliki


pengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan. Selain itu, Syamsuri dan
Bandiyono (2018) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa belanja fungsi
pendidikan memiliki pengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), sedangkan belanja fungsi kesehatan tidak memiliki pengaruh
dalam meningkatkan IPM di Kabupaten/Kota Provinsi Aceh.
Dalam penelitian Utama dan Kustiani (2012), mengelompokkan kelompok
belanja berdasarkan klasifikasi fungsi yang diduga dapat menurunkan kemiskinan
di Pulau Jawa dan Bali. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa belanja
pendidikan berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan. Namun
belanja perumahan justru meningkatkan kemiskinan, sedangkan belanja kesehatan,
ekonomi, dan perlindungan sosial tidak berpengaruh signifikan terhadap
penurunan kemiskinan.
Selanjutnya dalam penelitian sebelumnya oleh Wahyudi (2011) yang
meneliti pengaruh belanja pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum terhadap
kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2007 sampai 2009 memperoleh hasil bahwa
ketiga kelompok belanja tersebut berpengaruh signifikan dalam menurunkan
kemiskinan.
Dalam penelitian oleh Gomanee et al. (2003) menyebutkan bahwa
pengeluaran belanja publik dapat digunakan sebagai saluran dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin. Pengeluaran yang diduga pro-poor atau
berpihak pada masyarakat miskin tersebut antara lain pengeluaran pendidikan,
kesehatan, dan sanitasi. Dalam penelitian tersebut proksi dari kesejahteraan adalah
IPM dan angka kematian bayi. Hasil dari penelitian, pengeluaran belanja publik
untuk kesehatan, pendidikan, dan sanitasi dapat dikaitkan dengan peningkatan
kesejahteraan sekaligus menjadi kelompok pengeluaran yang bermanfaat bagi
masyarakat miskin.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan daerah menjadi bagian yang terintegrasi dengan


pembangunan nasional. Strategi untuk mempercepat pembangunan daerah yaitu
salah satunya melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Pemerintah daerah dalam merespon desentralisasi fiskal tersebut dengan cara
melakukan upaya dalam meningkatkan pendapatan daerah dengan menggali
potensi ekonomi daerah sehingga PAD meningkat dan menciptakan kemandirian
keuangan daerah yang baik. Selain itu, pemerintah daerah bertanggung jawab
dalam mengelola kualitas belanja daerah sehingga terciptanya perekonomian
daerah sesuai arah pembangunan dan mengatasi berbagai permasalahan daerah
salah satunya yaitu masalah kemiskinan. Belanja daerah yang diduga pro-poor
dan digunakan dalam penelitian ini yaitu belanja pendidikan, kesehatan, serta
perumahan dan fasilitas umum. Dalam melihat pengaruh kemandirian keuangan
daerah dan belanja daerah terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
maka digunakan analisis data panel. Sistematis kerangka pemikiran tertera pada
Gambar 3.
14

Pembangunan Ekonomi

Otonomi Daerah

Desentralisasi Fiskal

Pendapatan Pemerintah Belanja Pemerintah

Kemandirian Keuangan
Daerah
Belanja Belanja Belanja
Pendidikan Kesehatan Perumahan

Analisis Deskriptif dan


Pengaruhnya pada Kemiskinan
Data Panel
Gambar 3 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka, maupun tinjauan empiris


rumusan hipotesis antara lain:
1. Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan mencerminkan
kemandirian keuangan daerah yang semakin baik dan diduga akan
meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga dapat menurunkan
angka kemiskinan.
2. Semakin besar rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan
mengindikasikan ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat masih
tinggi dan hal tersebut dapat mengurangi kinerja pembangunan daerah
sehingga meningkatkan kemiskinan.
3. Belanja pendidikan, belanja kesehatan, serta belanja perumahan dan fasilitas
umum diduga berpengaruh negatif dalam menurunkan kemiskinan.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel dengan
cross section 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan data time series waktu
15

tahunan periode 2008 sampai dengan 2017. Variabel yang digunakan adalah
persentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan
kemiskinan, rasio PAD, rasio dana perimbangan, belanja pendidikan, belanja
kesehatan, dan belanja perumahan dan fasilitas umum.

Tabel 3 Jenis dan sumber data


Jenis Data Satuan Simbol Sumber
Persentase penduduk miskin Persen BPS Jawa Tengah
Indeks kedalaman kemiskinan Persen BPS Jawa Tengah
Indeks keparahan kemiskinan Persen BPS Jawa Tengah
Rasio PAD Persen DJPK Kemenkeu
Rasio dana perimbangan Persen DJPK Kemenkeu
Belanja pendidikan Rupiah DJPK Kemenkeu
Belanja kesehatan Rupiah DJPK Kemenkeu
Belanja perumahan dan
Rupiah DJPK Kemenkeu
fasilitas umum

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis


kuantitatif. Gambaran umum mengenai kondisi kemiskinan, kemandirian
keuangan daerah, dan belanja daerah di Kabupaten/Kota Jawa Tengah dijelaskan
melalui analisis deskriptif. Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk
mengetahui pengaruh kemandirian keuangan daerah dan belanja daerah terhadap
kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Program Eviews 9 dan Microsoft
Excel digunakan untuk pengolahan data.

Metode Analisis Data Panel

Menurut Ekananda (2015) dalam ekonometrika proses penyatuan data time


series dan data cross section disebut dengan pooling, sedangkan data yang
dihasilkan disebut pooled data atau panel data. Keuntungan penggunaan data
panel yaitu jumlah observasi yang semakin banyak semakin baik untuk
memperoleh hasil estimasi parameter. Hal tersebut akan memperbesar derajat
kebebasan (degree of freedom) dan menurunkan kolinearitas antar variabel
independen. Keuntungan lainnya yaitu penggunaan data panel dapat mengestimasi
masing-masing karakteristik individu maupun karakteristik menurut waktu secara
terpisah. Dalam analisis data panel terdapat tiga pilihan model estimasi yaitu
Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model
(REM).
1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)
Pendekatan PLS mengasumsikan bahwa intersep dan slope adalah konstan
untuk setiap objek penelitian dan waktu. Dalam pendekatan ini pengolahan
data dilakukan dengan mengombinasikan data time series dan cross-section
serta metode yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).
2. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa efek individu tetap untuk setiap
waktu serta memiliki intersep yang berbeda namun slope yang sama. Oleh
16

karena itu komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari
intersep. Model efek tetap dapat merepresentasikan perbedaan intersep dengan
memasukkan variabel dummy sehingga model disebut juga Least Square
Dummy Variables (LSDV). Model ini mampu membedakan intersep antar unit
cross section yang berbeda.
3. Pendekatan Random Effect Model (REM)
Pendekatan REM mengasumsikan bahwa efek individu dan efek waktu
tidak memiliki korelasi dan memiliki pola bersifat acak (random). Dalam
model ini slope memiliki nilai yang tetap tetapi intersep bervariasi untuk setiap
individu. Metode Generalized Least Square (GLS) digunakan untuk
mengestimasi pendekatan REM sebagai pengganti metode OLS.

Uji Kesesuaian Model

Uji kesesuaian model dilakukan untuk memilih model terbaik yang


digunakan dalam pengolahan data panel terdiri dari:
1. Uji Chow
Uji chow adalah pengujian untuk memilih model yang digunakan PLS atau
FEM. Hipotesis dalam pengujian ini antara lain:
H0: Pooled Least Square
H1: Fixed Effects Model
Dalam menentukan model yang dipilih dapat dilihat dari nilai p-value. Jika
p-value nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, maka H0 ditolak sehingga
model yang dipilih adalah FEM. Sebaliknya jika nilai p-value lebih besar dari
taraf nyata 5 persen, maka model yang dipilih adalah PLS.
2. Uji Hausman
Uji hausman adalah pengujian untuk memilih model yang digunakan FEM
atau REM. Berikut ini hipotesis dalam uji hausman.
H0: Random Effects Model
H1: Fixed Effects Model
Dasar dalam menolak H0 dapat dilihat dari nilai p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari taraf nyata 5 persen, maka H0 ditolak dan model yang dipilih
adalah FEM. Sebaliknya jika nilai p-value lebih besar dari taraf nyata 5 persen,
maka model yang dipilih adalah REM.

Uji Asumsi Klasik

1. Multikolinearitas
Mutikolinearitas mengindikasikan terdapat hubungan linear pada beberapa
peubah bebas dalam model. Konsekuensi adanya mutikolinearitas yaitu hasil
estimasi dari koefisien secara individual hanya sedikit yang berpengaruh
signifikan atau bahkan tidak ada yang berpengaruh signifikan meskipun memiliki
nilai R-squared yang tinggi. Selain itu, data berubah sedikit saja maka hasil
estimasi dan standar error nya sangat sensitif terhadap perubahan data. Salah satu
cara untuk melihat adanya multikolineraitas pada suatu model yaitu dilihat dari
nilai korelasi antar peubah harus kurang dari 0.8 agar terbebas dari masalah
multikolinearitas.
17

Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah multikolineritas antara


lain (1) mengetahui informasi dugaan sebelumnya yang menjelaskan hubungan
antar variabel dalam model berdasarkan studi sebelumnya; (2) mengombinasikan
data coss section dan data time series; (3) mengeluarkan variabel yang memiliki
kolinearitas; (4) transformasi model misalnya dapat dilakukan dengan
meregresikan model regresi yang sebelumnya telah dikurangi dengan model
regresi diferensial; (5) penambahan atau pengadaan data baru (Gujarati 2013).
2. Heteroskedastisitas
Heteroskedastis menunjukkan ragam sisaan atau varians tidak sama untuk
tiap pengamatan dari variabel-variabel bebas dalam model regresi. Konsekuensi
adanya heteroskedastisitas yaitu penduga tidak efisien karena nilai ragam sisaan
tidak minimum (Gujarati 2013). Cara untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas pada model salah satunya dengan melakukan uji glejser. Jika
hasil uji glejser memiliki nilai probabilitas signifikan pada taraf nyata 5 persen
maka hipotesis nol ditolak, sehingga dapat disimpulkan ada heteroskedastisitas.
Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas
salah satunya dengan Metode Generalized Least Square (GLS). Metode GLS
dapat dapat memperbaiki standar error sehingga diperoleh standar error yang
robust.
3. Autokorelasi
Autokorelasi menunjukkan adanya korelasi antar sisaan, sehingga antar
sisaan tersebut tidak saling bebas. Konsekuensi adanya autokorelasi yaitu penduga
tidak efisien karena ragamnya tidak minimum, serta mempunyai standar error
yang bias ke bawah yang menyebabkan nilai statistik uji t tinggi atau overestimate
(Juanda 2009). Cara untuk megetahui ada tidaknya autokorelasi dilihat dari nilai
statistik Durbin Watson nya.
Tabel 4 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
Nilai DW Keputusan
4 – dL < DW < 4 Terdapat autokorelasi negatif
4 – dU < DW < 4 – dL Hasil tidak dapat ditentukan
dU < DW < 4 – dU Tidak terdapat autokorelasi
dL< DW < dU Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dL Terdapat autokorelasi positif
Sumber: Juanda 2009

Model Penelitian

Penelitian menggunakan tiga model dengan 3 variabel dependen dan 5


variabel independen untuk menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah
dan belanja daerah terhadap kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun
2008 sampai 2017. Berikut ini bentuk umum persamaan regresi dalam penelitian.
18

Keterangan:
: Intersep model (i)
: Koefisien masing-masing variabel model (i)
: Intersep model (ii)
: Koefisien masing-masing variabel model (ii)
: Intersep model (iii)
: Koefisien masing-masing variabel model (iii)
: Error Term
: Persentase penduduk miskin (persen)
: Indeks kedalaman kemiskinan (persen)
: Indeks keparahan kemiskinan (persen)
: Rasio PAD (persen)
: Rasio dana perimbangan (persen)
: Logaritma natural belanja pendidikan (rupiah)
: Logaritma natural belanja kesehatan(rupiah)
: Logaritma natural belanja perumahan dan fasilitas umum (rupiah)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Pemerintah daerah melakukan pembangunan selain meningkatkan kinerja


perekonomian daerah juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menurunkan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan menjadi
indikator yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya dan program
untuk menurunkan kemiskinan terus dilakukan Pemerintah daerah. Jawa Tengah
merupakan provinsi di Pulau Jawa yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi
melebihi tingkat kemiskinan nasional. Berdasarkan data BPS, persentase
penduduk miskin Jawa Tengah pada periode tahun 2008 sampai 2017 mengalami
penurunan yaitu dari 18.99 persen menjadi 12.23 persen.

20 18.99 17.48 16.11 16.21 14.98 14.44 13.58 13.32 13.19 12.23
Persen

10 15.42 14.15 13.33 12.36 11.66 11.47 10.96 11.13 10.7 10.12
0
2008 2009 2010 Sep-11 Sep-12 Sep-13 Sep-14 Sep-15 Sep-16 Sep-17
Tahun
Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah
Persentase Penduduk Miskin Nasional
Sumber: BPS Pusat dan BPS Jawa Tengah 2019
Gambar 4 Persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dan Nasional
tahun 2008-2017 (persen)
19

Secara umum dari tahun 2008 sampai 2017 persentase penduduk miskin
Jawa Tengah memiliki tren menurun. Namun pada September 2011 persentase
penduduk miskin mengalami peningkatan. Menurut data BPS Jawa Tengah, pada
September 2011 tersebut disebabkan oleh inflasi 0.41 persen dengan Indeks Harga
Konsumen (IHK) sebesar 125.80 karena pada September 2011 merupakan pasca
lebaran yang secara umum terjadi kenaikan harga pada berbagai komoditas.
Namun demikian pada tahun selanjutnya persentase penduduk miskin kembali
menurun.
Hal tersebut mencerminkan keberhasilan pemerintah daerah dalam
menurunkan persentase penduduk miskin pada setiap tahunnya meskipun belum
sesuai dengan target capaian RPJMD Jawa Tengah yang ingin menurunkan angka
kemiskinan menjadi 10 persen. Tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah yang
menunjukkan tren menurun setiap tahunnya belum merepresentasikan penurunan
tingkat kemiskinan di seluruh Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Berdasarkan data
BPS terdapat beberapa daerah yang memiliki persentase penduduk miskin yang
cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya yaitu Kab. Wonosobo, Kab. Kebumen,
Kab. Brebes, Kab. Purbalingga, Kab. Rembang, Kab. Pemalang, Kab.
Banjarnegara, Kab. Banyumas, Kab. Klaten, dan Kab. Sragen.

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
30
Persen

20
10
0

Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Jateng 2019
Gambar 5 Persentase penduduk miskin tertingi di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008-2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 5, secara umum persentase penduduk miskin di daerah


yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi tersebut selama periode 2008
sampai 2017 menunjukkan tren yang menurun. Meskipun trennya menurun
namun perlu adanya prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan di daerah
tersebut. Program yang dijalankan pemerintah daerah seharusnya memperbaiki
kondisi kemiskinan penduduk miskin. Dalam mengetahui kondisi kemiskinan
dapat dilihat dari salah satu karakteristik penduduk miskin yaitu kondisi
pendidikan dan ketenagakerjaannya.
Karakteristik penduduk miskin jika dilihat dari pendidikan tertinggi yang
ditamatkan sebagian besar penduduk miskin adalah tamat SD/SLTP. Keterbatasan
biaya dalam mengakses pendidikan membuat rendahnya tingkat pendidikan
penduduk miskin. Peningkatan kualitas pendidikan dapat menjadi modal
penduduk miskin untuk keluar dari garis kemiskinan.
20

Tabel 5 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut


kabupaten/kota dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan Maret 2017
(persen)
Pendidikan
Kabupaten/Kota Tamat
< SD SLTA+ Total
SD/SLTP
Kab.Wonosobo 33.27 60.51 6.22 100.00
Kab.Kebumen 27.07 56.49 16.44 100.00
Kab.Brebes 27.52 65.05 7.43 100.00
Kab.Purbalingga 38.56 56.12 5.32 100.00
Kab.Rembang 31.02 58.63 10.35 100.00
Kab.Pemalang 30.33 61.92 7.75 100.00
Kab.Banjarnegara 30.77 62.85 6.38 100.00
Kab.Banyumas 29.46 57.17 13.37 100.00
Kab.Klaten 30.42 46.50 23.08 100.00
Kab.Sragen 33.06 51.76 15.18 100.00
Sumber: Publikasi BPS Jateng 2019

Perbaikan kualitas pendidikan memegang peranan penting dalam upaya


penanggulangan kemiskinan. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan
meningkatkan kesempatan dalam menghadapi persaingan di dunia kerja sekaligus
dapat meningkatkan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dengan pendapatan
yang lebih baik. Hal tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
penduduk miskin bahkan mengeluarkannya dari kemiskinan.
Selanjutnya jika dilihat dari karakteristik ketenagakerjaan penduduk miskin,
secara umum 30 persen lebih penduduknya tidak bekerja. Pekerjaan menjadi salah
satu ukuran untuk melihat kemampuan keuangan dalam memenuhi kebutuhan
terhadap pengeluaran makanan maupun non makanan.
Tabel 6 Persentase penduduk miskin usia 15 Tahun ke atas menurut
kabupaten/kota dan sektor bekerja pada Maret 2017 (persen)
Sektor Bekerja
Kabupaten/Kota Tidak Bekerja di Bekerja Bukan di
Total
Bekerja Sektor Pertanian Sektor Pertanian
Kab.Wonosobo 25.64 46.52 27.84 100.00
Kab.Kebumen 37.42 29.21 33.37 100.00
Kab.Brebes 40.60 33.75 25.65 100.00
Kab.Purbalingga 35.62 20.17 44.21 100.00
Kab.Rembang 41.49 23.28 35.23 100.00
Kab.Pemalang 41.47 25.47 33.06 100.00
Kab.Banjarnegara 31.38 34.54 34.08 100.00
Kab.Banyumas 41.36 17.74 40.90 100.00
Kab.Klaten 38.20 18.56 43.24 100.00
Kab.Sragen 34.25 35.61 30.14 100.00
Sumber: Publikasi BPS Jateng 2019

Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa hanya Kab. Wonosobo, Kab. Brebes,


Kab. Banjarnegara, dan Kab. Sragen yang penduduk miskinnya lebih banyak
21

bekerja di sektor pertanian. Selebihnya yaitu Kab. Kebumen, Kab. Purbalingga,


Kab. Rembang, Kab. Pemalang, Kab. Banyumas, dan Kab. Klaten penduduk
miskinnya lebih banyak bekerja sektor non pertanian. Banyak penduduk miskin
saat ini tidak menggantungkan hidup pada sektor pertanian sebagai pekerjaan
utama dalam menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini juga
didorong oleh semakin sempitnya lahan pertanian di Jawa Tengah.
Di Jawa Tengah sendiri meskipun terdapat daerah dengan tingkat
kemiskinan yang sangat tinggi, juga terdapat beberapa daerah dengan tingkat
kemiskinan yang rendah bahkan lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional
pada tahun 2009 sampai 2017. Daerah tersebut antara lain Kota Semarang, Kota
Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Magelang, Kab. Kudus, Kab.
Semarang, Kab. Jepara, Kab. Sukoharjo, dan Kab. Tegal.

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
20
15
Persen

10
5
0

Kabupaten/Kota

Sumber : BPS Jateng 2019


Gambar 6 Persentase penduduk miskin terendah di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008-2017 (persen)

Pada Gambar 6 terlihat bahwa persentase penduduk miskin 10


kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan yang rendah di Jawa Tengah tersebut
selama periode 2008 sampai 2017 menunjukkan tren yang menurun. Kota
Semarang memiliki tingkat kemiskinan terendah di Jawa Tengah, persentase
penduduk miskinnya relatif tidak banyak berubah dengan rata-rata sebesar 5.15
persen.
Sama halnya dengan daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi,
karakteristik penduduk miskin di daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah
juga sebagian besar penduduk miskinnya adalah tamat SD/SLTP. Namun
perbedaannya terlihat pada persentase penduduk yang menamatkan pendidikan
SLTA, di daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah ini relatif lebih banyak
jika dibandingkan dengan daerah di Jawa Tengah yang memiliki tingkat
kemiskinan yang tinggi.
22

Tabel 7 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut


kabupaten/kota dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Maret 2017
(persen)
Pendidikan
Kabupaten/Kota
< SD Tamat SD/SLTP SLTA+ Total
Kota Semarang 17.71 50.55 31.74 100.00
Kota Salatiga 24.72 44.15 31.13 100.00
Kota Pekalongan 16.21 61.23 22.56 100.00
Kab. Kudus 24.02 57.30 18.68 100.00
Kab. Semarang 38.48 51.67 9.85 100.00
Kota Tegal 22.43 59.67 17.90 100.00
Kab. Jepara 25.78 58.92 15.30 100.00
Kota Magelang 18.93 45.58 35.49 100.00
Kab. Sukoharjo 17.62 55.58 26.80 100.00
Kab. Tegal 28.75 66.27 4.98 100.00
Sumber: Publikasi BPS Jateng 2019

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memberikan peluang kesempatan


kerja yang lebih baik. Pekerjaan akan menentukan tingkat upah. Sumber
penghasilan menjadi salah satu indikator dalam melihat tingkat kesejahteraan. Jika
dilihat berdasarkan status ketenagakerjaan penduduk miskin di daerah dengan
tingkat kemiskinan yang rendah, penduduk yang bekerja di sektor pertaniannya
terbilang cukup rendah.

Tabel 8 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut


kabupaten/kota dan sektor bekerja, Maret 2017 (persen)
Sektor Bekerja
Kabupaten/Kota Tidak Bekerja di Bekerja Bukan di
Total
Bekerja Sektor Pertanian Sektor Pertanian
Kota Semarang 43.45 1.39 55.16 100.00
Kota Salatiga 32.25 8.95 58.80 100.00
Kota Pekalongan 29.66 0.12 70.22 100.00
Kab.Kudus 46.03 4.99 48.98 100.00
Kab.Semarang 41.44 22.63 35.93 100.00
Kota Tegal 42.27 2.14 55.59 100.00
Kab.Jepara 39.25 12.07 48.68 100.00
Kota Magelang 55.71 - 44.29 100.00
Kab.Sukoharjo 40.43 14.94 44.63 100.00
Kab.Tegal 50.89 17.65 31.46 100.00
Sumber: Publikasi BPS Jateng 2019

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa banyak penduduk miskin yang


tidak bekerja. Ketiadaan penghasilan membuat penduduk miskin sulit dalam
memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan. Selain itu, di daerah
dengan tingkat kemiskinan yang rendah banyak penduduk miskin bekerja di
sektor non pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikarenakan
juga kondisi geografis di wilayah tersebut memiliki lahan pertanian yang sempit.
23

Selain mengetahui kondisi kemiskinan penduduk miskin yang dilihat


berdasarkan karakteristiknya, perlu diketahui indikator kemiskinan lainnya di
samping tingkat kemiskinan (P0) yakni dilihat juga dari indeks kedalaman
kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Indeks kedalaman
kemiskinan menunjukkan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks,
menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan
yang semakin jauh. Berdasarkan data BPS terdapat beberapa kabupaten/kota yang
memiliki indeks kedalaman kemiskinan yang cukup tinggi dibandingkan daerah
lainnya yaitu Kab. Wonosobo, Kab. Kebumen, Kab. Pemalang, Kab.
Banjarnegara, Kab. Rembang, Kab. Banyumas, Kab. Brebes, dan Kab.
Purbalingga. Hal ini sejalan dengan tingginya persentase penduduk miskin di
daerah tersebut.

Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan


4.5
4
3.5
3
Persen

2.5
2
1.5
1
0.5
0

Kota Magelang

Kota Semarang
Kab. Blora

Kota Surakarta
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Klaten

Kota Salatiga
Kab. Cilacap

Kab. Banjarnegara

Kab. Karanganyar

Kab. Grobogan

Kab. Kudus

Kab. Semarang
Kab. Banyumas

Kab. Pekalongan

Kota Pekalongan
Kab. Sragen

Kab. Kendal

Kab. Tegal
Kab. Wonogiri

Kab. Pati

Kab. Jepara
Kab. Kebumen

Kab. Sukoharjo

Kab. Demak
Kab. Rembang

Kab. Batang

Kab. Brebes

Kota Tegal
Kab. Purworejo

Kab. Pemalang
Kab. Temanggung
Kab. Purbalingga

Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Jawa Tengah 2019
Gambar 7 Indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2017 (Persen)

Indikator kemiskinan lainnya yaitu indeks keparahan kemiskinan (P2) yang


menunjukkan gambaran distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin. Nilai
indeks yang semakin tinggi menunjukkan ketimpangan pengeluaran diantara
penduduk miskin juga semakin tinggi. Beberapa kabupaten/kota yang memiliki
indeks keparahan kemiskinan yang cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya
yaitu Kab. Wonosobo, Kab. Kebumen, Kab. Pemalang, Kab. Banjarnegara, Kab.
Rembang, Kab. Banyumas, dan Kab. Brebes, dan Kab. Purbalingga

Kondisi Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Rasio PAD terhadap Total Pendapatan


PAD merupakan pendapatan yang sepenuhnya berasal dari sumber ekonomi
yang terdapat di daerah itu sendiri. PAD dapat diperoleh dari sumber-sumber
penerimaan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Pemerintah daerah diberi kewenangan
dalam mengelola dan menggali potensi ekonomi daerahnya dalam mengumpulkan
24

PAD sebagai wujud desentralisasi fiskal. Adanya desentralisasi fiskal tersebut


bertujuan meningkatkan kemandirian keuangan daerah sehingga dapat
mengurangi ketergantungan daerah pada dana transfer pemerintah pusat.
Kemandirian keuangan daerah dapat dicapai jika suatu daerah memiliki
kemampuan keuangan daerah yang baik. Tolak ukur dari kemampuan keuangan
tersebut dicerminkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan. Suatu daerah
dianggap memiliki kemampuan keuangan sangat kurang dan kurang jika rasio
PAD terhadap total pendapatan daerah berada pada interval masing-masing 00.00
sampai 10.00 persen dan 10.01-20.00 persen. Kemampuan keuangan daerah
cukup apabila rasio PAD berada pada interval 20.01 persen sampai 30 persen.
Selanjutnya rasio PAD pada interval 30.01 persen sampai 40 persen menunjukkan
kemampuan keuangan daerah yang sedang. Kemampuan keuangan daerah yang
baik dicapai ketika rasio PAD berada di interval 40.01 persen sampai 50 persen,
dan sangat baik pada interval lebih dari 50 persen. Setiap daerah memiliki
kemampuan keuangan yang berbeda-beda tergantung pada sumber daya ekonomi
dan pengelolaan keuangan daerah.

Persen 2008 2017


50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Kab. Banyumas

Kab. Sragen

Kab. Brebes
Kab. Grobogan
Kab. Blora
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang

Kab. Semarang

Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Cilacap

Kab. Boyolali
Kab. Klaten
Kab. Banjarnegara

Kab. Karanganyar

Kab. Kudus
Kab. Wonogiri

Kab. Kendal

Kab. Pekalongan

Kota Pekalongan
Kab. Tegal
Kab. Kebumen
Kab. Purworejo

Kab. Pati

Kab. Demak
Kab. Sukoharjo

Kab. Rembang

Kab. Batang

Kota Tegal
Kab. Purbalingga

Kab. Jepara

Kab. Pemalang
Kab. Temanggung

Kabupaten/Kota

Sumber : DJPK 2019


Gambar 8 Rasio PAD terhadap total pendapatan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2008 dan 2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 8, terdapat perbedaan rasio PAD Kabupaten/Kota


Jawa Tengah pada tahun 2008 dan 2017. Seluruh kabupaten/kota pada tahun 2017
memiliki rasio PAD yang lebih tinggi dibandingkan rasio PAD tahun 2008.
Namun secara umum pada tahun 2008, kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki
rasio PAD yang kurang dari 10 persen yang mencerminkan bahwa kabupaten/kota
di Jawa Tengah memiliki kemampuan keuangan daerah yang sangat kurang.
Selanjutnya pada tahun 2017, meskipun terdapat peningkatan rasio PAD, namun
secara umum kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki rasio PAD kurang dari 20
persen yang mencerminkan kondisi kemampuan keuangan daerah yang kurang.
Pada tahun 2008 daerah dengan rasio PAD terendah yakni Kab. Klaten.
Pada tahun 2008 rasio PAD Kab. Klaten sebesar 5.07 persen dengan jumlah PAD
Rp 49.5 Miliar. Komposisi penerimaan PAD Kab. Klaten tersebut terdiri dari Rp
18.02 Miliar pajak daerah, Rp 10.46 Miliar retribusi daerah, Rp 3.32 Miliar hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Rp 17.73 Miliar lain-lain PAD
25

yang sah. Selanjutnya pada tahun 2017, daerah dengan rasio PAD terendah yaitu
Kab. Wonosobo, rasio PAD nya sebesar 12.46 persen dengan besaran PAD Rp
228.01 Miliar. Komposisi penerimaan PAD Kab. Wonosobo terdiri dari Rp 38.32
Miliar pajak daerah, Rp 10.30 Miliar retribusi daerah, Rp 25.65 Miliar
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Rp 153.72 Miliar lain-lain
PAD yang sah.
Adapun daerah dengan rasio PAD terbesar pada tahun 2008 dan 2017 yakni
Kota Semarang dengan rasio PAD sebesar 22.95 persen pada tahun 2008 dan
meningkat menjadi 45.20 persen pada tahun 2017. Hal tersebut mencerminkan
bahwa Kota Semarang memiliki kemampuan keuangan daerah yang baik. PAD
Kota Semarang pada tahun 2008 mencapai Rp 236 Miliar dan meningkat menjadi
Rp 1.79 Triliun tahun 2017. Komposisi penerimaan PAD Kota Semarang tahun
2017 terdiri dari Rp 1.23 Triliun pajak daerah, Rp 85.74 Miliar retribusi daerah,
Rp 28.49 Miliar pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Rp 446.13
Miliar lain-lain PAD yang sah.

Rasio PAD (%)


30

3 1
20
-10 0 10 20 30 40 50
Growth PAD (%)
10

4 2
0
Kab. Banjarnegara Kab. Banyumas Kab. Batang Kab. Blora
Kab. Boyolali Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Demak
Kab. Grobogan Kab. Jepara Kab. Karanganyar Kab. Kebumen
Kab. Kendal Kab. Klaten Kab. Kudus Kab. Magelang
Kab. Pati Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Purbalingga
Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Semarang Kab. Sragen
Kab. Sukoharjo Kab. Tegal Kab. Temanggung Kab. Wonogiri
Kab. Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga
Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal
Sumber : DJPK 2019 (diolah)
Gambar 9 Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun
2008 (persen)

Pada Gambar 9 terlihat bahwa pada tahun 2008, secara keseluruhan


Kabupaten/Kota Jawa Tengah memiliki rasio PAD kurang dari dari 20 persen,
terkecuali Kota Semarang yang memiliki rasio PAD 22.95 persen. Namun
meskipun demikian masing-masing kabupaten/kota memiliki pertumbuhan PAD
yang berbeda-beda. Kabupaten/Kota Jawa Tengah yang berada pada Kuadran 2
memiliki rasio PAD rendah namun memiliki pertumbuhan PAD yang tinggi. Pada
kondisi ini kemampuan keuangan daerah belum ideal, namun daerah memiliki
kemampuan dalam mengembangkan potensi lokal terlihat dari pertumbuhan PAD
nya yang tinggi. Kabupaten/Kota yang memiliki rasio PAD rendah namun
pertumbuhan PAD tinggi pada tahun 2008 tersebut antara lain Kab. Blora, Kab.
Brebes, Kab. Batang, Kab. Pekalongan, Kab. Kudus, Kab. Demak, Kab. Cilacap,
Kab. Purbalingga, Kab. Pemalang, Kab. Magelang, Kab. Klaten, Kab. Kendal,
26

Kab. Sukoharjo, Kota Salatiga, Kota Magelang, Kab. Grobogan, Kab.


Karanganyar, dan Kota Surakarta.
Pada Kuadran 3 kondisi ini juga belum ideal. Sumbangan PAD terhadap
total pendapatan tinggi, namun pertumbuhan PAD nya rendah. Satu-satunya
daerah dalam Kuadran 3 adalah Kota Semarang. Selanjutnya Kuadran 4
menunjukkan kondisi paling tidak ideal. PAD belum mengambil peran yang besar
dalam total pendapatan, dan daerah belum mempunyai kemampuan
mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap total pendapatan dan
pertumbuhan PAD rendah. Kabupaten/Kota yang memiliki PAD rendah dan
pertumbuhan PAD rendah pada tahun 2008 antara lain Kab. Semarang, Kab.
Temanggung, Kab. Wonogiri, Kab. Kebumen, Kab. Banyumas, Kab. Wonosobo,
Kab. Banjarnegara, Kab. Tegal, Kab. Pati, Kab. Jepara, Kab. Sragen, Kab.
Purworejo, Kota Pekalongan, Kab. Boyolali, Kab. Rembang, dan Kota Tegal.
Rasio PAD
50
3 1
40

30

20
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Growth PAD
10

4 2
0
Kab. Banjarnegara Kab. Banyumas Kab. Batang Kab. Blora
Kab. Boyolali Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Demak
Kab. Grobogan Kab. Jepara Kab. Karanganyar Kab. Kebumen
Kab. Kendal Kab. Klaten Kab. Kudus Kab. Magelang
Kab. Pati Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Purbalingga
Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Semarang Kab. Sragen
Kab. Sukoharjo Kab. Tegal Kab. Temanggung Kab. Wonogiri
Kab. Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga
Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal
Sumber: DJPK 2019 (diolah)
Gambar 10 Rasio PAD dan pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Jawa Tengah
tahun 2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 10, pada tahun 2017 rasio PAD terhadap total
pendapatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah menunjukkan kondisi yang lebih baik
jika dibandingkan kondisi tahun 2008. Terdapat beberapa kabupaten/kota yang
memiliki rasio PAD lebih dari 20 persen yang berada pada Kuadran 1 dan
Kuadran 3. Pada Kuadran 1 menunjukkan kondisi yang ideal karena rasio PAD
berada di atas 20 persen dan pertumbuhan PAD lebih dari 10 persen. Pada
kuadran ini kabupaten/kota yang memiliki kemampuan keuangan daerah sedang
yaitu Kota Surakarta, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, dan Kab. Cilacap.
Adapun satu-satunya daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah baik
yaitu Kota Semarang.
Selanjutnya pada Kuadran 3 menunjukkan kondisi yang belum ideal karena
meskipun rasio PAD sudah lebih dari 20 persen namun pertumbuhan PAD nya
27

kurang dari 10 persen. PAD yang besar dalam total pendapatan memiliki peluang
yang kecil karena pertumbuhan PAD nya kecil. Sumbangan PAD terhadap
pendapatan tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Kabupaten/Kota yang
berada di Kuadran 3 antara lain Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kota Magelang,
dan Kota Tegal.
Pada Kuadran 2 juga menunjukkan kondisi belum ideal karena meskipun
pertumbuhan PAD nya tinggi atau lebih dari 10 persen namun rasio PAD nya
rendah atau kurang dari 20 persen sehingga kemampuan keuangan daerah masih
terbilang kurang maupun sangat kurang. Walaupun demikian daerah mempunyai
kemampuan mengembangkan potensi lokal sehinga PAD berpeluang memiliki
peran besar dalam total pendapatan. Sumbangan PAD terhadap total pendapatan
masih rendah namun pertumbuhan PAD nya tinggi. Kabupaten/Kota yang berada
di Kuadran 2 antara lain Kab. Banyumas, Kab. Wonosobo, Kab. Purworejo, Kab.
Tegal, Kab. Rembang, Kab. Semarang, Kab. Kudus, Kab. Boyolali, Kab.
Banjarnegara, Kab. Sragen, Kab. Karanganyar, Kab. Magelang, Kab. Purbalingga,
Kab. Pati, Kab. Grobogan, Kab. Wonogiri, Kab. Kebumen, Kab. Kendal, Kab.
Pemalang, Kab. Blora, dan Kab. Klaten.
Adapun Kuadran 4 menunjukkan kondisi paling tidak ideal karena PAD
belum mengambil peran yang besar dalam total pendapatan, dan daerah belum
mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Hal tersebut tercermin
dari sumbangan PAD terhadap total pendapatan rendah dan pertumbuhan PAD
yang juga rendah. Kabupaten/Kota yang berada di Kuadran 4 antara lain Kab.
Temanggung, Kab. Demak, Kab. Batang, Kab. Jepara, dan Kab. Pekalongan.

Rasio Dana Perimbangan terhadap Total Pendapatan


Dana perimbangan adalah dana transfer dari pemerintah pusat yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah sehingga besaran
transfer dilihat berdasarkan celah fiskal yakni selisih antara kebutuhan dengan
kapasitas fiskal daerah. Dana perimbangan tersebut diberikan pada daerah agar
dapat mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dan antar pemerintah daerah. Namun semakin besar rasio dana
perimbangan terhadap total pendapatan menunjukkan ketergantungan daerah yang
semakin tinggi terhadap dana transfer dari pemerintah pusat.
Persen 2008 2017
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Kab. Rembang
Kab. Klaten
Kab. Wonosobo
Kab. Banyumas
Kab. Purbalingga

Kab. Blora

Kab. Jepara

Kab. Batang

Kota Magelang

Kota Semarang
Kab. Sukoharjo

Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Banjarnegara
Kab. Kebumen

Kab. Sragen

Kota Pekalongan
Kab. Kendal
Kab. Kudus

Kab. Demak
Kab. Cilacap

Kab. Magelang
Kab. Boyolali

Kab. Wonogiri
Kab. Karanganyar

Kota Surakarta
Kab. Grobogan

Kab. Pati

Kab. Semarang
Kab. Temanggung

Kab. Tegal
Kab. Brebes

Kota Salatiga

Kota Tegal
Kab. Purworejo

Kabupaten/Kota

Sumber : DJPK 2019


Gambar 11 Rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan di Kabupaten/Kota
Jawa Tengah Tahun 2008 dan 2017 (persen)
28

Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat bahwa rasio dana perimbangan


Kabupaten/Kota Jawa Tengah pada tahun 2008 memiliki nilai yang lebih tinggi
jika dibandingkan tahun 2017. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa daerah dapat
mengurangi ketergantungannya terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Namun secara umum pada tahun 2008 dan 2017 kabupaten/kota di Jawa Tengah
memiliki rasio dana perimbangan lebih dari 50 persen. Bahkan pada 2008, hampir
semua Kabupaten/Kota Jawa Tengah memiliki rasio dana perimbangan mencapai
80 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dana perimbangan dari
pemerintah pusat. Pada tahun 2008, Kab. Brebes memiliki rasio dana
perimbangan tertinggi yaitu mencapai 94.37 persen atau besaran dana
perimbangan Rp 768.37 Miliar. Komposisi dana perimbangan Kab. Brebes
tersebut terdiri dari Rp 716.42 Miliar DAU, Rp 41.61 Miliar DBH, dan Rp 10.33
Miliar DAK. Selanjutnya pada tahun 2017 daerah dengan rasio dana perimbangan
tertinggi yaitu Kab. Grobogan sebesar 72.52 persen, besaran dana perimbangan
Kab. Grobogan yaitu sebesar Rp 1.52 Triliun yang meliputi Rp 1.09 Triliun DAU,
Rp 383.27 Miliar, dan Rp 47.73 Miliar DBH.
Adapun daerah dengan rasio dana perimbangan terkecil baik dari tahun
2008 maupun 2017 adalah Kota Semarang. Tahun 2008, rasio dana perimbangan
Kota Semarang sebesar 77.05 persen dengan besaran dana perimbangan sebesar
Rp 795.10 Miliar. Kemudian pada tahun 2017 rasio dana perimbangannya
menurun menjadi 41.39 persen dengan besaran dana perimbangan sebesar Rp 1.64
Triliun.
Jika dilihat dari rasio dana perimbangan dari tahun 2008 ke tahun 2017
memang rasio nya menunjukkan jumlah yang menurun, namun dari segi besaran
atau jumlah dana perimbangan yang ditransfer menunjukkan jumlah yang
meningkat. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya kebutuhan fiskal daerah
sehingga dana transfer untuk memenuhi kebutuhan belanja daerah juga semakin
meningkat.

Miliar Rupiah
2008 2017
2000
Billions

1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Kab. Demak
Kab. Brebes

Kab. Kebumen

Kota Surakarta
Kab. Blora

Kab. Jepara

Kab. Pemalang
Kab. Klaten

Kab. Purbalingga

Kab. Temanggung

Kota Magelang

Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Banjarnegara

Kab. Boyolali

Kab. Grobogan

Kab. Magelang
Kab. Pati
Kab. Banyumas

Kab. Wonosobo
Kab. Cilacap

Kab. Karanganyar

Kab. Pekalongan

Kab. Semarang

Kota Pekalongan
Kab. Kendal

Kab. Kudus

Kab. Sragen

Kab. Tegal
Kab. Batang

Kab. Wonogiri
Kab. Purworejo
Kab. Rembang

Kab. Sukoharjo

Kota Tegal

Kabupaten/Kota

Sumber : DJPK 2019


Gambar 12 Jumlah dana perimbangan terhadap total pendapatan di
Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2008 dan 2017 (Miliar
Rupiah)
29

Pada tahun 2008, daerah dengan transfer dana perimbangan tertinggi yaitu
Kab. Cilacap sebesar Rp 943.95 Miliar yang terdiri dari Rp 773.07 Miliar DAU,
Rp 91.97 DBH, dan Rp 78.89 DAK. Adapun daerah dengan transfer dana
perimbangan terendah pada tahun 2008 yaitu Kota Salatiga sebesar Rp 277.36
Miliar yang meliputi Rp 225.38 Miliar DAU, Rp 31.028 Miliar DAK, dan Rp
20.95 Miliar DBH. Selanjutnya pada tahun 2017, besaran dana transfer meningkat
signifikan jika dibandingkan tahun 2008. Tahun 2017, daerah dengan jumlah dana
perimbangan tertinggi yaitu Kab. Cilacap sebesar Rp 1.87 Triliun dengan rincian
Rp 1.36 Triliun DAU, Rp 440.53 DAK, dan Rp 74.04 Miliar DBH. Daerah
dengan transfer dana perimbangan terendah tahun 2017 yaitu Kota Magelang
sebesar Rp 553.11 Miliar yang terdiri dari Rp 440.04 Miliar DAU, Rp 86.38
Miliar DAK, dan Rp 26.68 DBH.

Kondisi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Belanja Pendidikan Kabupaten/Kota Jawa Tengah


Belanja pendidikan merupakan belanja daerah yang dikeluarkan untuk
program yang terkait dengan sektor pendidikan. Belanja optimal untuk sektor
pendidikan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, mewajibkan pemerintah daerah mengalokasikan
belanja pendidikan sebesar 20 persen belanja APBD. Standar minimal tersebut
ditetapkan dalam rangka menjamin pelayanan pendidikan kepada masyarakat.
Namun, pada kenyataannya tidak semua kabupaten/kota di Jawa Tengah
memenuhi standar alokasi minimal belanja pendidikan tersebut.

Persen 2008 2017


80
60
40
20
0
Kab. Kebumen
Kab. Purbalingga

Kab. Demak
Kab. Banjarnegara

Kab. Pemalang
Kab. Klaten

Kab. Jepara

Kab. Temanggung

Kab. Brebes

Kota Surakarta
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali

Kab. Blora

Kota Magelang

Kota Salatiga
Kota Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Banyumas

Kab. Karanganyar

Kab. Grobogan

Kab. Semarang

Kab. Pekalongan

Kota Pekalongan
Kab. Sragen

Kab. Kendal

Kab. Tegal
Kab. Wonogiri

Kab. Kudus
Kab. Purworejo

Kab. Pati
Kab. Sukoharjo

Kab. Rembang

Kab. Batang

Kota Tegal

Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 13 Alokasi belanja fungsi pendidikan menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa alokasi belanja pendidikan antar


kabupaten/kota cukup beragam. Alokasi anggaran pemerintah dalam belanja
daerah dikeluarkan sesuai fokus dan kebutuhan daerah dalam suatu tahun
anggaran. Pada tahun 2008, hanya sedikit Kabupaten/Kota Jawa Tengah memiliki
alokasi belanja pendidikan mencapai 20 persen dari total belanja. Rata-rata
belanja pendidikan Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2008 sebesar 18.24
persen. Daerah dengan alokasi belanja pendidikan terendah pada tahun 2008
30

adalah Kab. Grobogan yang belanja pendidikannya hanya 0.13 persen atau
sebesar Rp 299.21 juta. Pada tahun anggaran 2008 tersebut, Kab.Grobogan tidak
banyak dalam mengeluarkan belanja pendidikan, dan lebih banyak mengeluarkan
anggaran untuk belanja fungsi lainnya seperti belanja kesehatan yang mencapai
36.44 persen. Adapun daerah dengan alokasi belanja pendidikan tertinggi pada
tahun 2008 yaitu Kab. Wonosobo sebesar 41.90 persen atau senilai Rp 258.35
Miliar.
Pada tahun 2017, rata-rata alokasi belanja pendidikan Kabupaten/Kota Jawa
Tengah sebesar 16.35 persen. Pada tahun 2017, daerah yang paling banyak
mengalokasikan belanja pendidikan yaitu Kab. Klaten sebesar 40.34 persen
sedangkan yang paling sedikit yaitu Kab. Blora sebesar 3.73 persen. Kab. Blora
pada tahun 2017 lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk belanja fungsi
lainnya seperti belanja perumahan dan fasilitas umum sebesar 17.85 persen.
Belanja pendidikan tersebut digunakan untuk program-program dalam rangka
meningkatkan pelayanan dan kualitas pendidikan di daerah.

Belanja Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah


Belanja fungsi kesehatan merupakan belanja daerah yang dikeluarkan untuk
program kesehatan dan sejenisnya. Pengeluaran tersebut ditujukan dalam rangka
peningkatan kualitas kesehatan dan produktivitas masyarakat. Contoh
pembelanjaan fungsi ini antara lain seperti pelayanan kesehatan masyarakat,
pembelian obat, fasilitas kesehatan (alat medis maupun penunjang), gedung
kesehatan, dan lain-lain. Dalam rangka menjamin pelayanan kesehatan yang
optimal bagi masyarakat maka diberlakukan standar minimal alokasi belanja
fungsi kesehatan secara nasional untuk daerah dicanangkan minimal 10 persen.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa pemerintah daerah wajib
mengalokasikan belanja kesehatan sebesar 10 persen belanja APBD. Namun, pada
kenyataanya hanya beberapa kabupaten/kota yang realisasi belanja kesehatannya
memenuhi standar alokasi minimal.

Persen 2008 2017


60
50
40
30
20
10
0
Kab. Pekalongan
Kab. Grobogan
Kab. Purbalingga

Kab. Kebumen

Kab. Klaten

Kota Surakarta
Kab. Blora

Kab. Jepara
Kab. Demak

Kab. Pemalang

Kab. Brebes

Kota Salatiga
Kab. Magelang

Kab. Semarang
Kab. Cilacap
Kab. Banyumas

Kab. Karanganyar

Kab. Temanggung

Kota Magelang

Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kab. Banjarnegara

Kab. Wonosobo

Kab. Boyolali

Kab. Wonogiri

Kab. Sragen

Kab. Kudus
Kab. Purworejo

Kab. Pati

Kab. Kendal
Kab. Batang

Kab. Tegal

Kota Tegal
Kab. Sukoharjo

Kab. Rembang

Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 14 Alokasi belanja fungsi kesehatan menurut Kabupaten/Kota Jawa
Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)

Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa alokasi belanja fungsi kesehatan


antar kabupaten/kota cukup beragam. Tahun 2008, daerah dengan alokasi belanja
31

kesehatan terendah yaitu Kota Salatiga sebesar 1.99 persen atau senilai Rp 21.90
Miliar. Adapun daerah dengan alokasi belanja kesehatan tertinggi yaitu
Kab.Boyolali sebesar 56.41 persen atau senilai Rp 193.40 Miliar. Alokasi belanja
kesehatan yang tinggi tersebut telah membuat porsi anggaran lainnya berkurang.
Sebagai contoh, pada tahun anggaran 2008 tersebut Kab. Boyolali hanya
mengalokasikan belanja pendidikan sebesar 0.21 persen.
Pada tahun 2017, daerah yang paling sedikit mengalokasikan belanja
kesehatan adalah Kab. Cilacap sebesar 5.99 persen. Pada tahun anggaran tersebut
Kab. Cilacap banyak mengalokasikan anggaran pada belanja fungsi lainnya yaitu
belanja perumahan dan fasilitas umum mencapai 17.71 persen. Selanjutnya daerah
yang alokasi belanja kesehatannya paling tinggi yaitu Kab. Temanggung dan Kab.
Tegal masing-masing sebesar 29.77 persen dan 28 persen. Alokasi belanja
kesehatan yang tinggi tersebut telah mengurangi alokasi untuk belanja lainnya
yang mana pada tahun tersebut Kab. Temanggung memiliki alokasi yang cukup
rendah untuk belanja perumahan dan fasilitas umum yaitu hanya 1.81 persen,
sedangkan Kab. Tegal memiliki alokasi yang rendah pada belanja pendidikan
hanya sebesar 7.39 persen. Belanja kesehatan tersebut digunakan untuk program-
program dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kualitas kesehatan di daerah.

Belanja Perumahan dan Fasilitas Umum Kabupaten/Kota Jawa Tengah


Belanja perumahan dan fasilitas umum adalah belanja yang berkenaan
dengan perumahan dan kawasan permukiman, serta pemenuhan sarana dan
prasarana fasilitas umum seperti jalan, drainase, sanitasi dan air minum, jaringan
listrik, jaringan telepon, dan lain-lain. Alokasi belanja fungsi perumahan dan
fasilitas umum antar kabupaten/kota cukup beragam. Pada tahun 2008 daerah
dengan alokasi belanja perumahan dan fasilitas umum terbesar yaitu Kab. Tegal
sebesar 42.36 persen, sedangkan belanja terendah yaitu Kab. Boyolali sebesar
1.43 persen. Tahun 2008 Kab. Boyolali lebih banyak mengalokasikan belanja
daerah untuk belanja kesehatan hingga mencapai 56.41 persen.
Tahun 2017 daerah yang paling banyak mengalokasikan belanja perumahan
dan fasilitas umum adalah Kab. Wonogiri sebesar 30.34 persen, sedangkan yang
paling sedikit yaitu Kab. Temanggung sebesar 1.81 persen. Kab. Temanggung
memiliki alokasi belanja perumahan dan fasilitas kesehatan yang rendah pada
tahun 2017, karena pada tahun tersebut lebih banyak mengalokasikan anggaran
untuk belanja kesehatan sebesar 29.77 persen.
32

Persen 2008 2017


60
50
40
30
20
10
0

Kota Salatiga
Kab. Rembang

Kab. Demak
Kab. Purbalingga

Kab. Kebumen

Kab. Blora

Kab. Brebes

Kota Surakarta
Kab. Klaten

Kab. Jepara

Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Banyumas

Kab. Temanggung

Kota Magelang

Kota Semarang
Kab. Semarang

Kota Pekalongan
Kab. Banjarnegara

Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali

Kab. Grobogan
Kab. Karanganyar
Kab. Cilacap

Kab. Kudus
Kab. Wonogiri

Kab. Sragen

Kab. Pati

Kab. Kendal
Kab. Batang
Kab. Purworejo

Kab. Tegal

Kota Tegal
Kab. Sukoharjo

Kabupaten/Kota
Sumber : DJPK 2019
Gambar 15 Alokasi belanja fungsi perumahan dan fasilitas umum menurut
Kabupaten/Kota Jawa Tengah tahun 2008 dan 2017 (persen)

Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Belanja Daerah terhadap


Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Uji Kesesuaian Model


Pemilihan model terbaik dilakukan degan uji chow dan uji hausman. Uji
chow untuk memilih diantara model estimasi Common Effect Model (CEM) atau
Fixed Effect Model (FEM). Selanjutnya dilakukan uji hausman untuk menentukan
diantara model estimasi Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model
(REM) yang paling baik dalam membentuk model regresi dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini menggunakan 3 variabel dependen untuk melihat ukuran
kemiskinan yaitu indeks kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan
indeks keparahan kemiskinan (P2) serta 5 variabel independen yang sama untuk
setiap model. Variabel independen tersebut antara lain rasio PAD, rasio dana
perimbangan, belanja pendidikan, belanja kesehatan, dan belanja perumahan dan
fasilitas umum. Adapun perbandingan hasil uji chow dan uji hausman dari ketiga
model kemiskinan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut.

Tabel 9 Uji model terbaik pada model kemiskinan


Probabilitas Chi-Square
Uji Model Terbaik
Model P0 Model P1 Model P2
Uji chow 0.0000** 0.0000** 0.0000**
Uji hausman 0.1613 0.0191** 0.0115**
Keterangan: **signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil estimasi pengujian model terbaik, hasil uji chow pada
model P0 diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000 signifikan pada taraf nyata 5
persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM. Selanjutnya hasil uji hausman
diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.1613 tidak signifikan pada taraf nyata 5
persen, sehingga model yang dipilih adalah REM.
Hasil uji chow pada model P1 diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0000
signifikan pada taraf nyata 5 persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM.
33

Selanjutnya hasil uji hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0191


signifikan pada taraf nyata 5 persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM.
Adapun hasil uji chow pada model P2 diperoleh nilai probabilitas sebesar
0.0000 signifikan pada taraf nyata 5 persen, sehingga model yang dipilih adalah
FEM. Selanjutnya hasil uji hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.0115
signifikan pada taraf nyata 5 persen, sehingga model yang dipilih adalah FEM.

Uji Asumsi Klasik


1. Model P0
Hasil pengujian asumsi klasik menunjukkan model P0 yang menggunakan
model terbaik REM mengalami masalah heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil uji glejser (Lampiran 11). Selain itu juga dapat dilihat dari nilai
sum square resid Weighted Statistics lebih kecil dari sum square resid
Unweighted Statistics, sehingga model terdeteksi mengalami masalah
heteroskedastisitas. Namun demikian, masalah tersebut diatasi dengan
pembobotan GLS pada model REM sehingga masalah heteroskedastisitas dapat
teratasi. Model ini juga terbebas dari multikolinearitas (Lampiran 10). Selanjutnya
uji autokorelasi dilihat dari nilai statistik Durbin-Watson, nilai statistik Durbin-
Watson nya yaitu sebesar 0.734974, dimana 0 < DW (0.734974) < dL (1.79573),
sehingga model ini memiliki masalah autokorelasi positif. Namun dalam model
REM masalah autokorelasi tersebut dapat diabaikan.

2. Model P1
Hasil pengujian asumsi klasik menunjukkan model P1 yang menggunakan
model terbaik FEM mengalami masalah heteroskedastisitas. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil uji glejser (Lampiran 13). Selain itu juga dapat dilihat dari nilai
sum square resid Weighted Statistics lebih kecil dari sum square resid
Unweighted Statistics, sehingga model terdeteksi mengalami masalah
heteroskedastisitas. Namun demikian, masalah tersebut diatasi dengan melakukan
pembobotan GLS cross-section atau cross-section weights sehingga masalah
heteroskedastisitas dapat teratasi. Model ini juga terbebas dari multikolinearitas
(Lampiran 12). Kemudian uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai statistik
Durbin-Watson, nilai statistik Durbin-Watson nya yaitu sebesar 1.718992, dimana
0 < DW (1.718992) < dL (1.79573), sehingga model ini memiliki masalah
autokorelasi positif. Autokorelasi dapat diatasi dengan memilih white period atau
white diagonal pada saat melakukan estimasi.

3. Model P2
Sama halnya dengan model P1, hasil pengujian asumsi klasik model P2
yang menggunakan model terbaik FEM mengalami masalah heteroskedastisitas.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil uji glejser (Lampiran 15). Selain itu juga dapat
dilihat dari nilai sum square resid Weighted Statistics lebih kecil dari sum square
resid Unweighted Statistics, sehingga model terdeteksi mengalami masalah
heteroskedastisitas. Namun demikian, masalah tersebut diatasi dengan melakukan
pembobotan GLS cross-section atau cross-section weights sehingga masalah
heteroskedastisitas dapat teratasi. Model ini juga terbebas dari multikolinearitas
(Lampiran 14). Adapun uji autokorelasi dilihat berdasarkan nilai statistik Durbin-
Watson, nilai statistik Durbin-Watson nya yaitu sebesar 1.821715, dimana dL
34

(1.79573) < DW (1.821715) < dU (1.85366), sehingga hasil tidak dapat


ditentukan.

Hasil Estimasi Regresi Data Panel


Pada model P0 diperoleh nilai R-squared sebesar 0.685502. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman persentase penduduk miskin dapat dijelaskan
oleh variabel bebas dalam model sebesar 68.55 persen sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan pada
taraf nyata 5 persen yang artinya terdapat variabel independen yang berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen dalam model. Hasil estimasi model dapat dilihat
pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10 Hasil estimasi REM pada model P0 (indeks kemiskinan)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RPAD -0.202848 0.023703 -8.557811 0.0000***
RDAPER 0.100016 0.009051 11.05081 0.0000***
LN_PEND -0.217333 0.061803 -3.516539 0.0005***
LN_KES -0.034080 0.119858 -0.284334 0.7763
LN_PERUM -0.074251 0.100119 -0.741622 0.4588
C 18.80831 2.816498 6.677907 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.685502 Mean dependent var 1.368675
Adjusted R-squared 0.680931 S.D. dependent var 2.006103
S.E. of regression 1.133170 Sum squared resid 441.7219
F-statistic 149.9617 Durbin-Watson stat 0.734974
Prob(F-statistic) 0.000000

Selanjutnya pada model P1 diperoleh nilai R-squared sebesar 0.830404. Hal


ini menunjukkan bahwa keragaman indeks kedalaman kemiskinan dapat
dijelaskan oleh variabel bebas dalam model sebesar 83.04 persen sedangkan
sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang
signifikan pada taraf nyata 5 persen yang artinya terdapat variabel independen
yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen dalam model. Hasil estimasi
model dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11 Hasil estimasi FEM pada model P1 (indeks kedalaman kemiskinan)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RPAD -0.027474 0.008039 -3.417515 0.0007***
RDAPER 0.025989 0.003596 7.228066 0.0000***
LN_PEND -0.130325 0.027232 -4.785800 0.0000***
LN_KES -0.051612 0.059978 -0.860507 0.3902
LN_PERUM 0.058334 0.045326 1.286995 0.1991
C 4.185894 1.086874 3.851315 0.0001
Weighted Statistics
R-squared 0.830404 Sum squared resid 108.5849
Adjusted R-squared 0.809068 Durbin-Watson stat 1.718992
35

Adapun pada model P2 diperoleh nilai R-squared sebesar 0.737076. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman indeks keparahan kemiskinan dapat dijelaskan
oleh variabel bebas dalam model sebesar 73.70 persen sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan pada
taraf nyata 5 persen yang artinya terdapat variabel independen yang berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen dalam model. Hasil estimasi model dapat dilihat
pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12 Hasil estimasi FEM pada model P2 (indeks keparahan kemiskinan)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RPAD -0.005369 0.002586 -2.076289 0.0387***
RDAPER 0.008180 0.001269 6.447423 0.0000***
LN_PEND -0.039643 0.009527 -4.161262 0.0000***
LN_KES -0.017595 0.022104 -0.796005 0.4266
LN_PERUM 0.020606 0.015799 1.304226 0.1931
C 1.073590 0.397802 2.698807 0.0073
Weighted Statistics
R-squared 0.737076 Mean dependent var 0.737997
Adjusted R-squared 0.703998 S.D. dependent var 0.413558
S.E. of regression 0.239087 Sum squared resid 17.72037
F-statistic 22.28324 Durbin-Watson stat 1.821715
Prob(F-statistic) 0.000000

Interpretasi Hasil

Pengaruh Rasio PAD terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa


Tengah
Berdasarkan hasil estimasi model P0, variabel rasio PAD terhadap total
pendapatan berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan
koefisien sebesar -0.202848. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu
persen rasio PAD terhadap total pendapatan dapat menurunkan persentase
penduduk miskin sebesar 0.2028 persen dengan asumsi cateris paribus. Adapun
hasil estimasi model P1, variabel rasio PAD terhadap total pendapatan
berpengaruh signifikan terhadap indeks kedalaman kemiskinan dengan koefisien
sebesar -0.027474. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu persen rasio
PAD terhadap total pendapatan dapat menurunkan indeks kedalaman kemiskinan
sebesar 0.0274 persen dengan asumsi cateris paribus. Sedangkan hasil estimasi
model P2, variabel rasio PAD terhadap total pendapatan berpengaruh signifikan
terhadap indeks keparahan kemiskinan dengan koefisien sebesar -0.005369. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu persen rasio PAD terhadap total
pendapatan dapat menurunkan indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.0053
persen dengan asumsi cateris paribus.
Rasio PAD menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri
kebutuhan daerah baik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan, maupun
pelayanan publik. Selain itu, rasio PAD juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah. Hal tersebut ditunjukkan dengan
semakin tingginya rasio PAD maka mencerminkan semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang menjadi komponen
36

utama PAD. Partisipasi masyarakat yang semakin tinggi dalam membayar pajak
dan retribusi tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
semakin tinggi. Selain itu, dalam upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah
seharusnya menciptakan iklim investasi untuk menggerakkan usaha di daerah
seperti BUMD, BUMDes, dan lain-lain, agar sumbangannya terhadap PAD
semakin meningkat.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Febiandani dan Suseno
(2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kemandirian keuangan daerah
maka akan mendorong penurunan kemiskinan di suatu daerah.

Pengaruh Rasio Dana Perimbangan terhadap Kemiskinan di


Kabupaten/Kota Jawa Tengah
Hasil estimasi untuk rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan
berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan koefisien
sebesar 0.100016. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu persen rasio
dana perimbangan terhadap total pendapatan dapat meningkatkan persentase
penduduk miskin sebesar 0.10 persen dengan asumsi cateris paribus. Adapun
hasil estimasi untuk rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan
berpengaruh signifikan terhadap indeks kedalaman kemiskinan dengan koefisien
sebesar 0.025989. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu persen rasio
dana perimbangan terhadap total pendapatan dapat meningkatkan indeks
kedalaman kemiskinan sebesar 0.0259 persen dengan asumsi cateris paribus.
Sedangkan hasil estimasi untuk rasio dana perimbangan terhadap total pendapatan
berpengaruh signifikan terhadap indeks keparahan kemiskinan dengan koefisien
sebesar 0.008180. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu persen rasio
dana perimbangan terhadap total pendapatan dapat meningkatkan indeks
keparahan kemiskinan sebesar 0.0081 persen dengan asumsi cateris paribus.
Rasio dana perimbangan menggambarkan ketergantungan pemerintah
daerah terhadap sumber dana dari pemerintah pusat. Semakin tinggi rasio ini,
maka tingkat ketergantungan daerah pada pemerintah pusat semakin tinggi
sehingga daerah belum mampu dalam mengoptimalkan potensi daerah dalam
menghasilkan PAD. Selain itu, semakin besar dana perimbangan atau dana
transfer akan menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah
menghimpun pendapatan (under-collect), agar bisa memperoleh transfer yang
banyak dari pusat (Kurniasih 2011). Hal tersebut akan mengurangi kinerja
pembangunan daerah dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemiskinan.

Pengaruh Belanja Pendidikan terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota


Jawa Tengah
Hasil estimasi untuk belanja pendidikan berpengaruh signifikan terhadap
persentase penduduk miskin dengan koefisien sebesar -0.217333. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan satu persen belanja pendidikan dapat menurunkan
persentase penduduk miskin sebesar 0.2173 persen dengan asumsi cateris paribus.
Adapun hasil estimasi untuk indeks kedalaman kemiskinan belanja pendidikan
juga berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar -0.130325. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan satu persen belanja pendidikan dapat menurunkan
indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0.1303 persen dengan asumsi cateris
paribus. Begitu pun dengan indeks keparahan kemiskinan, belanja pendidikan
37

berpengaruh signifikan dengan koefisien sebesar -0.039643. Hal tersebut


menunjukkan bahwa kenaikan satu persen belanja pendidikan dapat menurunkan
indeks keparahan kemiskinan sebesar 0.0396 persen dengan asumsi cateris
paribus.
Belanja pendidikan sebagai wujud investasi dalam peningkatan sarana dan
prasarana pendidikan serta peningkatan akses pendidikan terutama bagi keluarga
miskin berpengaruh dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Peningkatan kualitas
pendidikan keluarga miskin tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas
sumber daya manusia sehingga dapat bersaing dalam memperoleh kesempatan
kerja dan berindikasi pada peningkatan pendapatan yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin di masa mendatang. Hasil ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Wahyudi (2011) yang menyatakan bahwa belanja
pendidikan berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan di Jawa
Tengah.

Pengaruh Belanja Kesehatan terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa


Tengah
Hasil estimasi untuk belanja kesehatan tidak berpengaruh signifikan
terhadap persentase penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, dan indeks
keparahan kemiskinan. Hal ini disebabkan masih minimnya aksesibilitas
pelayananan kesehatan bagi keluarga miskin. Masalah terkait kesehatan adalah
masih tingginya biaya kesehatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa
Tengah, tahun 2017 peserta jaminan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak
25.7 juta jiwa atau 75.07 persen. Namun meskipun telah dicanangkan program
jaminan kesehatan, permasalahan birokrasi sering menjadi penghambat keluarga
miskin dalam mendapatkan akses jaminan kesehatan (Utama dan Kustiani 2012).
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Utama dan Kustiani (2012)
yang menyatakan bahwa belanja kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota di
Pulau Jawa dan Bali tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan
kemiskinan.

Pengaruh Belanja Perumahan dan Fasilitas Umum terhadap Kemiskinan di


Kabupaten/Kota Jawa Tengah
Hasil estimasi untuk belanja perumahan dan fasilitas umum tidak
berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk miskin, indeks kedalaman
kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan. Dalam mengurangi kemiskinan,
terdapat beberapa masalah pokok yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
belanja fungsi perumahan dan fasilitas umum. Masalah terkait dengan
kemiskinan yaitu rendahnya akses keluarga miskin untuk mendapatkan tempat
tinggal atau rumah layak huni, sanitasi yang baik, dan lain-lain.
38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian, dapat


disimpulkan beberapa hal. Kemiskinan di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai
2017 menunjukkan tren yang menurun. Namun pada September 2011 terjadi
peningkatan persentase penduduk miskin yang disebabkan oleh kenaikan berbagai
harga komoditas pasca lebaran. Di Jawa Tengah masih terdapat beberapa
kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi diantaranya Kab.
Wonosobo, Kab. Kebumen, Kab. Brebes, Kab. Purbalingga, Kab. Rembang, Kab.
Pemalang, Kab. Banjarnegara, Kab. Banyumas, Kab. Klaten, dan Kab. Sragen.
Sedangkan kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan yang rendah yaitu Kota
Semarang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Magelang, Kab.
Kudus, Kab. Semarang, Kab. Jepara, Kab. Sukoharjo, dan Kab. Tegal
Selain itu, Kabupaten/Kota Jawa Tengah masih sangat bergantung pada
dana transfer sehingga kemandirian keuangan daerah masih rendah karena belum
mengoptimalkan potensi ekonomi daerah dalam menghasilkan PAD. Secara
umum kabupaten/kota nya memiliki rasio PAD kurang dari 20 persen sehingga
kemampuan keuangan daerahnya masih terbilang kurang. Kemudian dalam
pengelolaan belanja daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah cukup beragam,
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Alokasi belanja daerah
yang tinggi pada suatu sektor atau fungsi, akan mengurangi alokasi pada belanja
fungsi lainnya.
Dari hasil estimasi menggunakan regresi data panel menunjukkan bahwa
rasio PAD dan belanja pendidikan berpengaruh signifikan dalam menurunkan
kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah, sedangkan rasio dana perimbangan
berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa
Tengah. Belanja kesehatan dan belanja perumahan dan fasilitas umum tidak
berpengaruh signifikan dalam menurunkan kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa
Tengah.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diberikan untuk


menurunkan kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah diantaranya Pemerintah
daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah seharusnya terus meningkatkan upaya
dalam menggali potensi daerah dengan meningkatkan sumber-sumber yang
menghasilkan PAD dan menciptakan kemandirian keuangan daerah, serta
mengurangi ketergantungan daerah terhadap dana perimbangan dari pemerintah
pusat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah
menciptakan iklim investasi yang baik sehingga badan usaha di daerah yakni
BUMD, BUMDes, dan lain-lain dapat meningkatkan sumbangannya terhadap
PAD.
Selain itu, alokasi belanja berdasarkan fungsi harus disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat daerah sehingga dapat meningkatkan suatu
sektor yang memerlukan tambahan dana yang lebih besar dalam suatu tahun
anggaran. Oleh karena itu diperlukan perencanaan APBD yang efektif dan matang.
39

Di samping itu, pemerintah daerah Kabupaten/Kota Jawa Tengah


seharusnya meningkatkan belanja pendidikan yang seharusnya juga diikuti dengan
upaya peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Adha RB. 2016. Pengaruh Belanja Daerah dan Kinerja Keuangan Daerah
Terhadap Kemiskinan Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Lampung [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Anggriani N. 2017. Penentuan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah Berdasarkan Indikator Perumahan dengan Metode K-Error [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bahtera M, Muhammad S, Nazamuddin, Jamal A. 2018. Panel Analysis on the
Effect of Government Expenditure on Education and Health Sector against
Poverty Numbers in Aceh 2010-2015. International Journal of Scientific
Research and Management. 6(1).
[BPK]. Badan Pemeriksa Keuangan. 2008. Pemeriksaan Dana Perimbangan
[majalah BPK RI]. Jakarta (ID): BPK.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2018. Berita Resmi Statistik: Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia Triwulan IV-2017. Jakarta (ID): BPS.
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase
Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks Keparahan
Kemiskinan, Berdasarkan Provinsi 2007-2018. Jakarta (ID): BPS.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2012. Berita Resmi Statistik:
Profil Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Bulan September
2011.Semarang (ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2019. Jumlah Penduduk Miskin,
Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks
Keparahan Kemiskinan, Berdasarkan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun
2007-2018. Semarang (ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2019. Publikasi Data dan
Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2017. Semarang
(ID): BPS Jateng.
[BPS Jateng]. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2017. Publikasi Statistik
Keuangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2016.
Semarang (ID): BPS Jateng.
[Dinkes]. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. Semarang (ID): Dinkes.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Anggaran Belanja per
Fungsi Tahun 2008-2017. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Deskripsi dan
Analisis APBD 2011. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2016. Publikasi Dana
Alokasi Khusus. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2016. Publikasi Dana
Alokasi Umum. Jakarta (ID): DJPK.
40

[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Realisasi Belanja per


Fungsi Tahun 2008-2017. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Realisasi Pendapatan
APBD Agregat Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. Jakarta
(ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Ringkasan Anggaran
APBD tahun 2008-2017. Jakarta (ID): DJPK.
[DJPK]. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2019. Ringkasan Realisasi
APBD tahun 2008-2017. Jakarta (ID): DJPK.
[DPR RI]. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2018. Kebijakan dan
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam Pembangunan Nasional
[internet]. [Diunduh pada 28 Mei 2019]. Tersedia pada:
https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_tim/buku-tim-public-74.pdf
Ekananda M. 2015. Ekonometrika Dasar untuk Penelitian di Bidang Ekonomi,
Sosial, dan Bisnis. Jakarta (ID): Mitra Wacana Media.
Febiandani R, Suseno DA. 2016. Analisis Hubungan Kemandirian Keuangan
Daerah dan Ketergantungan Daerah Terhadap Pengangguran dan
Kemiskinan. Economics Development Analysis Journal. 5(2).
Gomanee K, Morrissey O, Mosley P, Verschoor A. 2003. Aid, Government
Spending and Walfare [CREDIT Research Paper]. United Kingdom (UK):
University Nottingham.
Gujarati DN, Porter DC. 2013. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta (ID): Salemba
Empat.
Gujarati D, Porter D. 2009. Basic Econometrics. McGraw-Hill Irwin.
Isramiwarti R, Rasuli M, Taufik T. 2017. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Jumlah Penduduk terhadap Tingkat
Kemiskinan dengan Belanja Daerah sebagai Variabel Intervening pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2011-2015. Pekbis Jurnal. 9(3).
Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press.
Kuncoro M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.
Yogyakarta (ID): AMP YKPN.
Kurniasih Y. 2011. Strategi Meningkatkan Kapasitas Fiskal (Pajak Daerah) di
Pemerintah Daerah Kota Bogor (Studi Kasus Dispenda Kota Bogor) [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Makrifah SA. 2010. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya
terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Parikesit et al. 2007. Kajian Aspek Kemasyarakatan Dalam Pengembangan
Infrastruktur Indonesia. Jakarta: Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Indonesia.
[PemprovJatim]. Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2017. Bab III Kebijakan
Umum Pengelolaan Keuangan Daerah [internet]. [Diunduh pada 28 Mei
2019]. Tersedia pada: http://jatimprov.go.id/ppid/uploads/berkasppid.pdf
[Perda Jateng]. Peraturan Daerah Jawa Tengah. 2014. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018. Semarang (ID): Gubernur.
41

[Permendagri]. Peraturan Menteri Dalam Negeri. 2006. Permendagri Nomor 13


Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta (ID):
Mendagri.
[RI]. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta (ID): RI.
[RI]. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta (ID): RI.
[RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI.
[RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): RI.
[RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): RI.
Sari NI. 2018. Determinan Tingkat Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2007 – 2014. Economics Development Analysis Journal. 7(2).
Simson R. 2012. Following the money: Examining the evidence on pro-poor
budgeting [background note]. United Kingdom (UK): Overseas
Development Institute.
Suci SC. 2013. Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Syamsuri MR, Bandiyono A. 2018. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah
Berdasarkan Fungsi Terhadap Peningkatan IPM dan Pengentasan
Kemiskinan (Studi Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh). Jurnal Info
Artha. 2(1):11-28.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi (Edisi Kesembilan).
Erlangga: Jakarta.
Ulfilianjani N. 2014. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Utama SB, Kustiani NA. 2012. Analisis Pengaruh Belanja Daerah Menurut
Klasifikasi Fungsi Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Era Desentralisasi
Fiskal (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali Tahun
2008-2010) [kajian akademis]. Jakarta (ID): Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan.
Wahyudi. 2011. Pengaruh Alokasi Belanja Daerah untuk Urusan Pendidikan,
Kesehatan, dan Pekerjaan Umum terhadap Penanggulangan Kemiskinan
(Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009)
[tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Widianingrum N. 2018. Hubungan Korupsi dan Inflasi serta Kaitannya dengan
Pertumbuhan Ekonomi: Studi Empiris di 117 Negara [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Yao, GA. 2007. Fiscal Decentralization and Poverty Reduction Outcomes: Theory
and Evidence [dissertation]. United State (US): George State University.
42

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji chow pada model indeks kemiskinan (P0)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 110.579385 (34,310) 0.0000


Cross-section Chi-square 901.163216 34 0.0000

Lampiran 2 Hasil uji hausman pada model indeks kemiskinan (P0)


Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 7.908629 5 0.1613

Lampiran 3 Estimasi Random Effects Model pada model indeks kemiskinan (P0)
Dependent Variable: P0
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD -0.202848 0.023703 -8.557811 0.0000


RDAPER 0.100016 0.009051 11.05081 0.0000
LN_PEND -0.217333 0.061803 -3.516539 0.0005
LN_KES -0.034080 0.119858 -0.284334 0.7763
LN_PERUM -0.074251 0.100119 -0.741622 0.4588
C 18.80831 2.816498 6.677907 0.0000

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 3.818225 0.9197


Idiosyncratic random 1.128410 0.0803

Weighted Statistics

R-squared 0.685502 Mean dependent var 1.368675


Adjusted R-squared 0.680931 S.D. dependent var 2.006103
S.E. of regression 1.133170 Sum squared resid 441.7219
F-statistic 149.9617 Durbin-Watson stat 0.734974
Prob(F-statistic) 0.000000
43

Lampiran 4 Hasil uji chow pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 18.013243 (34,310) 0.0000


Cross-section Chi-square 381.661410 34 0.0000

Lampiran 5 Hasil uji hausman pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 13.507437 5 0.0191

Lampiran 6 Estimasi Fixed Effects Model pada model indeks kedalaman


kemiskinan (P1)
Dependent Variable: P1
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/16/19 Time: 08:45
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
Linear estimation after one-step weighting matrix
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD -0.027474 0.008039 -3.417515 0.0007


RDAPER 0.025989 0.003596 7.228066 0.0000
LN_PEND -0.130325 0.027232 -4.785800 0.0000
LN_KES -0.051612 0.059978 -0.860507 0.3902
LN_PERUM 0.058334 0.045326 1.286995 0.1991
C 4.185894 1.086874 3.851315 0.0001

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.830404 Mean dependent var 2.860291


Adjusted R-squared 0.809068 S.D. dependent var 1.449061
S.E. of regression 0.591839 Sum squared resid 108.5849
F-statistic 38.91988 Durbin-Watson stat 1.718992
Prob(F-statistic) 0.000000
44

Lampiran 7 Hasil uji chow pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 9.847505 (34,310) 0.0000


Cross-section Chi-square 256.337006 34 0.0000

Lampiran 8 Hasil uji hausman pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 14.741771 5 0.0115

Lampiran 9 Estimasi Fixed Effects Model pada model indeks keparahan


kemiskinan (P2)
Dependent Variable: P2
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/16/19 Time: 09:20
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
Linear estimation after one-step weighting matrix
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD -0.005369 0.002586 -2.076289 0.0387


RDAPER 0.008180 0.001269 6.447423 0.0000
LN_PEND -0.039643 0.009527 -4.161262 0.0000
LN_KES -0.017595 0.022104 -0.796005 0.4266
LN_PERUM 0.020606 0.015799 1.304226 0.1931
C 1.073590 0.397802 2.698807 0.0073

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.737076 Mean dependent var 0.737997


Adjusted R-squared 0.703998 S.D. dependent var 0.413558
S.E. of regression 0.239087 Sum squared resid 17.72037
F-statistic 22.28324 Durbin-Watson stat 1.821715
Prob(F-statistic) 0.000000
45

Lampiran 10 Uji multikolinearitas pada model indeks kemiskinan (P0)


P0 RPAD RDAPER LN_PEND LN_KES LN_PERUM

P0 1.000000 -0.602772 0.441048 -0.051001 -0.069379 0.016695


RPAD -0.602772 1.000000 -0.651534 -0.065226 0.079481 0.036554
RDAPER 0.441048 -0.651534 1.000000 -0.181788 -0.137658 -0.100768
LN_PEND -0.051001 -0.065226 -0.181788 1.000000 0.489462 0.482396
LN_KES -0.069379 0.079481 -0.137658 0.489462 1.000000 0.530656
LN_PERUM 0.016695 0.036554 -0.100768 0.482396 0.530656 1.000000

Lampiran 11 Uji glejser pada model indeks kemiskinan (P0)


Dependent Variable: RESABS
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 07/16/19 Time: 09:49
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD -0.072103 0.019548 -3.688493 0.0003


RDAPER 0.021916 0.007496 2.923695 0.0037
LN_PEND -0.006240 0.051245 -0.121767 0.9032
LN_KES -0.136468 0.099405 -1.372850 0.1707
LN_PERUM -0.057470 0.083007 -0.692352 0.4892
C 7.704565 2.309785 3.335620 0.0009

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 2.396485 0.8675


Idiosyncratic random 0.936669 0.1325

Weighted Statistics

R-squared 0.209751 Mean dependent var 0.394474


Adjusted R-squared 0.198265 S.D. dependent var 1.044583
S.E. of regression 0.935316 Sum squared resid 300.9367
F-statistic 18.26117 Durbin-Watson stat 0.971271
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared -0.003225 Mean dependent var 3.215873


Sum squared resid 2193.580 Durbin-Watson stat 0.133248
46

Lampiran 12 Uji multikolinearitas pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)


P1 RPAD RDAPER LN_PEND LN_KES LN_PERUM

P1 1.000000 -0.513457 0.454705 -0.120700 -0.101073 0.020467


RPAD -0.513457 1.000000 -0.651534 -0.065226 0.079481 0.036554
RDAPER 0.454705 -0.651534 1.000000 -0.181788 -0.137658 -0.100768
LN_PEND -0.120700 -0.065226 -0.181788 1.000000 0.489462 0.482396
LN_KES -0.101073 0.079481 -0.137658 0.489462 1.000000 0.530656
LN_PERUM 0.020467 0.036554 -0.100768 0.482396 0.530656 1.000000

Lampiran 13 Uji glejser pada model indeks kedalaman kemiskinan (P1)


Dependent Variable: RESABS
Method: Panel Least Squares
Date: 07/16/19 Time: 09:58
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD 0.002428 0.006136 0.395679 0.6926


RDAPER 0.016921 0.003894 4.345634 0.0000
LN_PEND -0.055750 0.020713 -2.691590 0.0075
LN_KES -0.014215 0.042265 -0.336329 0.7369
LN_PERUM 0.056681 0.033502 1.691878 0.0917
C -0.425058 0.797472 -0.533007 0.5944

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.295580 Mean dependent var 0.385354


Adjusted R-squared 0.206959 S.D. dependent var 0.423522
S.E. of regression 0.377158 Akaike info criterion 0.994906
Sum squared resid 44.09697 Schwarz criterion 1.435813
Log likelihood -134.1086 Hannan-Quinn criter. 1.170403
F-statistic 3.335340 Durbin-Watson stat 1.690427
Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 14 Uji multikolinearitas pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)


P2 RPAD RDAPER LN_PEND LN_KES LN_PERUM

P2 1.000000 -0.443000 0.426015 -0.132598 -0.124323 0.014739


RPAD -0.443000 1.000000 -0.651534 -0.065226 0.079481 0.036554
RDAPER 0.426015 -0.651534 1.000000 -0.181788 -0.137658 -0.100768
LN_PEND -0.132598 -0.065226 -0.181788 1.000000 0.489462 0.482396
LN_KES -0.124323 0.079481 -0.137658 0.489462 1.000000 0.530656
LN_PERUM 0.014739 0.036554 -0.100768 0.482396 0.530656 1.000000
47

Lampiran 15 Uji glejser pada model indeks keparahan kemiskinan (P2)


Dependent Variable: RESABS
Method: Panel Least Squares
Date: 07/16/19 Time: 09:43
Sample: 2008 2017
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 350
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RPAD 0.003020 0.002482 1.216879 0.2246


RDAPER 0.007308 0.001698 4.302425 0.0000
LN_PEND -0.016173 0.008610 -1.878304 0.0613
LN_KES -0.001183 0.019420 -0.060905 0.9515
LN_PERUM 0.023994 0.016194 1.481712 0.1394
C -0.545139 0.330211 -1.650881 0.0998

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.307873 Mean dependent var 0.150417


Adjusted R-squared 0.220799 S.D. dependent var 0.185224
S.E. of regression 0.163502 Akaike info criterion -0.676773
Sum squared resid 8.287194 Schwarz criterion -0.235867
Log likelihood 158.4353 Hannan-Quinn criter. -0.501277
F-statistic 3.535766 Durbin-Watson stat 1.708826
Prob(F-statistic) 0.000000
48

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sukabumi, 25 Februari 1997 dan merupakan putri pertama


dari Bapak Arif Cahyadi dan Ibu Euis Mulyati. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar di SD Negeri 2 Gunung Guruh Sukabumi pada tahun 2009.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 13
Sukabumi dan menyelesaikan pada tahun 2012. Pada tahun 2015 penulis
menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 1 Sukabumi. Pada tahun
2015, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu
Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) menjabat sebagai Staff dan Sekretaris
Divisi Life Academic by Learning and Education (LABLE) pada tahun 2017 dan
2018. Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekonomi Umum
pada tahun 2017 dan 2018. Selain itu, penulis pernah mengikuti lomba FEM-art
di tingkat Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan memperoleh juara 2 dan juara 3
dalam lomba baca puisi pada tahun 2017 dan 2018.

Anda mungkin juga menyukai