Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN ANESTESIOLOGI PERAWATAN INTENSIVE DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

JOURNAL READING DESEMBER 2011

PERBANDINGAN AKUPUNTUR DENGAN INJEKSI TRIGGERPOINT PADA NYERI MYOFASCIAL


Comparison of Acupuncture to Injection for Myofascial Trigger Point Pain Miriam C.B. Gazi, MD; Adriana M. Issy, PhD; Ilada P. vila;Rioko K. Sakata, MD, PhD Department of Anesthesia, Universidade Federal de So Paulo, So Paulo, Brazil

OLEH : Vindy Nugraha Siampa (C11105169) Pembimbing : dr. Muh. Rifai Arsyad Supervisor : dr. A. Muh. Takdir Musba, Sp.An, KMN

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI PERAWATAN INTENSIVE DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Comparison of Acupuncture to Injection for Myofascial Trigger Point Pain Miriam C.B. Gazi, MD; Adriana M. Issy, PhD; Ilada P. vila; Rioko K. Sakata, MD, PhD Department of Anesthesia, Universidade Federal de So Paulo, So Paulo, Brazil

ABSTRAK Tujuan: Banyak pengobatan telah diusulkan untuk sindrom nyeri myofascial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efek analgesik dari akupunktur dengan injeksi trigger-point yang dikombinasikan dengan cyclobenzaprine chlorhydrate dan dipyrone natrium. Metode: Sebuah penelitian yang dilakukan secara acak pada 30 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok: G1 menerima injeksi trigger-point dengan 0,25% bupivakain dua kali seminggu, dan cyclobenzaprine chlorhydrate 10 mg/hari dan natrium dipyrone 500 mg tiap 8 jam; G2 menerima akupuntur klasik pada trigger-point dua kali seminggu. Semua pasien diinstruksikan untuk latihan fisik. Parameter berikut ini dievaluasi: intensitas nyeri yang dinilai pada skala numerik, jumlah trigger-point, dan kualitas hidup sebelum dan 4 minggu setelah pengobatan. Hasil: Skor nyeri dan jumlah dari trigger-point berkurang secara signifikan pada kedua kelompok, dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Perbaikan yang signifikan dalam skor kualitas hidup yang diamati dari beberapa domain fungsional dalam 2 kelompok, sementara tidak ada perbaikan dari domain derajat kesehatan secara umum pada kedua kelompok atau dari domain emosional pada G1. Kesimpulan: Akupunktur, jika dibandingkan dengan injeksi trigger-point, yang dikombinasikan dengan chlorhydrate cyclobenzaprine dan dipyrone natrium

memberikan penurunan nyeri yang mirip dan perbaikan dalam kualitas hidup dalam 4 minggu. Kata Kunci: akupunktur, sindrom nyeri myofascial, injeksi trigger-point, penelitian acak

PENDAHULUAN Sindrom nyeri myofascial ditandai dengan adanya nyeri pada kelompok otot yang berhubungan dengan adanya trigger-point. Titik tersebut merupakan nodul-nodul yang kecil dan keras dalam berkas otot yang dapat dinilai dengan palpasi dengan karakteristik nyeri yang menjalar. Sindrom ini terutama mempengaruhi orang dewasa, dengan predominan pada

perempuan. Regio yang paling sering terkena adalah leher, punggung bagian atas, bahu, regio interscapular, daerah pinggang, dan bokong. Rasa sakit yang dalam, moderat, atau intens, dan disertai dengan rasa kaku, kelelahan, lemah, ketegangan, spasme, dan mobilitas yang terbatasnya. Pasien biasanya mempertahankan posisi antalgic, yang dapat mengarah pada kontraksi otot yang persisten dan nyeri. Pembatasan ini menyebabkan rangsangan pada trigger-point yang terus menerus dan mengarah pada perubahan bentuk. Otot dapat memendek, dan sangat nyeri bila

memanjang . Hal ini Tergantung pada lokasi, sakit kepala, tinnitus, pusing, pendengaran yang berkurang, penglihatan kabur, diamati. Sejumlah pengobatan untuk sindrom nyeri myofascial telah mual, dan muntah dapat

diusulkan, seperti injeksi trigger-point dan akupunktur. Akupunktur telah banyak digunakan untuk kontrol syndrome nyeri myofascial. Kurangnya laporan yang membandingkan efek dari akupunktur dan injeksi trigger-point pada nyeri dan kualitas hidup merupakan motivasi dari penelitian ini. Ada beberapa bukti yang masih terbatas bahwa menusukkan jarum ke triggerpoint memiliki efek pengobatan bila dibandingkan dengan pengobatan secara

standar. Namun, jumlah sampel yang terbatas dan kualitas penelitian yang buruk maka perlunya dilakuan percobaan yang terkontrol.

METODE Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik, dan persetujuan tertulis diperoleh dari semua pasien sebelum dilakukan penelitian. Urutan

pembagian dan pendaftaran partisipan dilakukan oleh salah satu peneliti, dan peneliti lainnya ditugaskan membagi partisipan kedalam kelompok. Tiga puluh pasien dengan sindrom nyeri myofascial lebih dari 3 bulan lamanya, mulai usia dari 18 tahun sampai 65 tahun, dialokasikan ke dalam 2 kelompok. Pasien diacak dengan cara diundi dengan mengambil dalam amplop yang tertutup. Sampel diperoleh dari klinik nyeri di universitas yang berbasis penetapan layanan tersier. Faktor inklusi dari diagnosis sindrom nyeri myofascial didapatkan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Gejalagejala dan temuan fisik adalah: nyeri lokal, trigger-point, nyeri yang menjalar, otot yang menegang, pemendekan otot, dan gerak yang terbatas. Distribusi dan pendaftaran pasien dilakukan oleh seorang dokter, dan injeksi triggerpoint dan akupunktur dilakukan oleh dokter lain (spesialis akupunktur di klinik nyeri), sedangkan lain dokter melakukan evaluasi hasil. Para praktisi yang terlibat hanya bekerja dalam praktek nyeri dan telah memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dengan terapi akupunktur. Trigger-point didiagnosis dengan palpasi otot menggunakan ujung jari. Lokasi trigger-point adalah referensi untuk menentukan meridian akupunktur, dan titik-titik akupunktur klasik dipilih pada meridian tersebut untuk menentukan penusukan jarum. Hal yang juga dianggap penting bahwa rasa kesemutan (dikenal sebagai Teh-chi) yang berhubungan dengan stimulasi titik akupuntur klasik yang diperoleh dari kondisi sine qua non merupakan keberhasilan pengobatan. Pasien dengan skor nyeri 3 atau lebih (dinilai pada skala numerik mulai dari 0 sampai 10) dimasukkan dalam penelitian. Dikecualikan adalah pasien dengan herniasi diskus, fibromyalgia, osteoarthritis, kolaps vertebta,

Figure 1: Diagram dari alur pendataan

disfungsi sendi temporomandibular, infeksi, kanker, koagulopati, penyakit kejiwaan, dan gangguan kognitif. Pasien yang telah menggunakan semua jenis analgesik atau relaksan otot selama 15 hari sebelum penelitian dan mereka menggunakan antikoagulan juga dikecualikan Pasien pada kelompok 1 (n=15) diberikan injeksi trigger-point bupivakain 0,25% tanpa epinefrin (1 mL/point) dua kali seminggu dalam kombinasi dengan 10mg chlorhydrate cyclobenzaprine yang diberikan pada malam hari dan 500 mg natrium dipyrone secara oral setiap 8 jam selama 4 minggu. Jarum yang digunakan untuk injeksi trigger-point adalah ukuran 1.5 in.22. Pada kelompok G2 (n=15), pasien tersebut diberikan akupunktur klasik dan trigger-point dua kali seminggu selama 4 minggu. Titik yang digunakan untuk pengobatan akupunktur adalah: SI3, BL62, GB41, TW5, GB20, GB21, BL10, BL11, TW15, BL23, BL24, BL25, GB25, SI12, SI13, dan SI14. Digunakan jarum akupuntur dengan stainless steel tunggal PKG ukuran

0,25x40 dengan tube. Penusukan jarum akupunktur yang pada kedalaman 10-25 mm, cukup dalam untuk menembus otot, dan digerakkan dengan cara memutar-mutar sampai stimulus nyeri diperoleh. Setiap sesi berlangsung sekitar 30 menit, teknik yang digunakan adalah penusukan jarum yang menyakitkan. Akupunktur dilakukan dalam 2 tahap: Pertama, jarum ditempatkan pada tangan dan kaki pada titik-titik SI-3 (houxi), BL-62 (shenmai), GB-41 (zulinqi), dan TW-5 (waiguan). Stimulasi dengan listrik frekuensi tinggi (20 Hz) diberikan dengan bantuan multiple Electronic Acupunctoscope (Chinese WQ10DI). Intensitas tersebut dibawah level ambang nyeri pada semua kasus, tetapi sudah cukup intens untuk mengaktifkan struktur-struktur dalam dan menghasilkan kontraksi otot. Stimulasi listrik diterapkan selama 15 menit, dan jarum kemudian dilepaskan. Setelah itu, jarum ditempatkan pada titik-titik di leher, bahu, dan punggung, di GB-20 (feng chi), GB-21 (jian jing), Bl-10 (Tianzhu), Bl-11 (Dazu), TW-14 (jianliao), LI-15 (Jianyu), BL-23 (shenshu), BL-24 (qihaishu), BL-25 (dachangshu), GB-25 (Jinmen), SI-12 (Bingfeng), SI13 (quyuan), dan SI-14 (jianwaishu). Sekali lagi, diberikan stimulasi listrik selama 15 menit. Semua pasien menerima bimbingan dari seorang fisioterapis dalam melakukan latihan peregangan pada kelompok otot sebanyak 4 kali sehari selama 10 sampai 15 menit segera setelah gejala nyeri membaik. Hasil tersebut diukur dengan menggunakan skor nyeri numerik dan short form-36 (SF-36). Hasil yang utama adalah pengukuran intensitas nyeri, dan hasil sekunder adalah pengukuran kualitas hidup. Pemenuhannya ditentukan pada follow-up. Intensitas nyeri dinilai pada skala numerik yang berkisar dari 0-10 (0:tidak ada nyeri, 10: nyeri terkuat) sebelum dan 4 minggu setelah pengobatan. Pasien menyelesaikan kuesioner untuk pengukuran

kualitas hidup (SF-36) sebelum dan 4 minggu setelah pengobatan, dengan poin 0 untuk kualitas hidup yang buruk dan 100 dengan kualitas hidup yang

baik. Jumlah titik picu dicatat, efek samping juga dicatat. Untuk meningkatkan kualitas pengukuran, semua penilai secara dilatih khusus . Adanya perbedaan minimal 3 dalam skor skala nyeri numerik maka dianggap signifikan. Berdasar pemeriksaan sementara, kami memperkirakan standar deviasi (SD) untuk skor numerik menjadi 2,2. Untuk kekuatan 0,95 dan =0,05, jumlah sampel 15 pasien dalam masing-masing kelompok

digunakan untuk perhitungan yang sesuai. Data dinyatakan sebagai mean SD. Perhitungan ukuran sampel dilakukan dengan menggunakan Instat Graph program (Graph Pad Software, Inc, La Jolla, CA, USA).

Perbandingan dari 2 kelompok umur, indeks massa tubuh, jumlah triggerpoint, intensitas nyeri, dan kualitas hidup dilakukan dengan Mann- Whitney test; gender dengan Exact Fisher test , dan berat badan dan tinggi dengan Student t-test.

HASIL Tiga puluh subyek diacak ke dalam 2 kelompok yang setara (Gambar 1). Demografi yang mirip pada 2 kelompok sehubungan dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi (Tabel 1). Rata-rata durasi nyeri adalah 28,7 bulan (3-120 bulan) di G1 dan 24,4 bulan (3 sampai 96 bulan) di G2, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok (MannWhitney tes, P = 0,755). Otot-otot yang terlibat ditunjukkan pada Tabel 2 dan perawatan sebelumnya di Tabel 3.

Tabel 1: Data demografi dari pasien

Tabel 2: Otot-otot yang terlibat

Tabel 3: Pengobatan sebelumnya

Terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah trigger-point sebelum dan 4 minggu setelah pengobatan pada kedua kelompok. Sebuah penurunan yang signifikan dalam jumlah trigger-point setelah pengobatan diamati pada kedua kelompok (Test Mann-Whitney; Tabel 4). Tidak ada perbedaan signifikan dalam intensitas nyeri yang diamati di antara kedua kelompok sebelum dan 4 minggu setelah pengobatan. Kedua kelompok mengalami penurunan yang signifikan dalam intensitas nyeri 4 minggu setelah pengobatan (Mann-Whitneytest; Tabel 5).

Tabel 4: Jumlah dari trigger-point

Tabel 5: Intensitas nyeri

Terdapat peningkatan yang signifikan dalam skor kualitas hidup yang diamati pada domain kapasitas fungsional, aktivitas fisik, vitalitas, fungsi sosial, nyeri, dan kesehatan mental pada kedua kelompok, sedangkan tidak ada perbaikan dari domain status kesehatan umum pada kedua kelompok atau pada domain emosional di G1. Sebelum pengobatan, skor dari aspek aktivitas fisik, vitalitas, fungsi sosial, dan emosional lebih tinggi di G1, sedangkan tidak ada perbedaan antara kedua kelompok di salah satu domain yang diamati setelah pengobatan (Tabel 6). Efek samping yang dilaporkan adalah: kantuk (G1:6 pasien), nyeri lokal (G1:3 pasien; G2:1 pasien), mulut kering (G1:2 pasien), lipothymia (G2:1 pasien), dan epigastralgia (G1: 1 pasien).

Tabel 6: Kuisioner dari kualitas hidup (short-form36)

PEMBAHASAN Keterbatasan yang paling signifikan dari penelitian ini adalah ketidakmampuan blind subject pada distribusi kelompok sebagai pengobatan yang berbeda secara signifikan. Selain itu, sampel terutama terdiri

dari perempuan dan pasien di bawah usia 50, yang tidak konsisten dengan literature yang dipublikasikan. Akibatnya, jumlah pasien laki-laki terlalu kecil untuk menilai perbedaan gender. Durasi dan intensitas nyeri juga mirip dengan yang dilaporkan dalam penelitian lain tentang sindrom nyeri myofascial sebelumnya. Ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah trigger-point tetapi intensitas nyeri mirip pada kedua kelompok sebelum pengobatan. Diagnosis dibuat berdasarkan alasan klinis seperti pada laporan sebelumnya. Secara klasik, sindrom nyeri myofascial digambarkan sebagai teraba tegang dari sekelompok otot, sebuah titik halus yang terlokalisasi di kelompok otot yang tegang, pola karakteristik dari nyeri menjalar pada tekanan dari trigger-point, kronis Otot-otot yang terlibat konsisten dengan laporan

dan kejang lokal sebagai respon dari palpasi trigger-point. Nyeri digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar. Adanya gejala dan temuan fisik meliputi: parestesia; spasme otot, kelemahan dan kaku, nyeri tekan lokal; penurunan gerak dan kekuatan; kelainan postural, kesemutan, dan gejala disfungsi otonom. Mekanisme patofisiologi dari sindrom nyeri myofascial dianggap terkait dengan cedera akut atau microtrauma kronis pada otot. Hal ini menghasilkan spasme-nyeri yang berkelanjutan. Frekuensi dari pengobatan bervariasi di kalangan praktisi dalam

praktek klinis. Protokol pengobatan umum nyeri trigger-point di institusi kami adalah injeksi dengan anestesi lokal seminggu sekali, tetapi pengobatan dalam penelitian ini dilakukan dua kali seminggu untuk meniru pasien kelompok akupunktur. Adjuvant hanya digunakan dalam 1 grup karena penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas akupunktur sendiri, tanpa obat tambahan. Ada beberapa penelitian mengenai pengobatan akupunktur pada sindrom nyeri myofascial. Teknik ini menggunakan akupuntur klasik, yang mana membutuhkan penyisipan jarum di titik spesifik dari meridian organ yang terkait dengan otot yang terlibat. Beberapa titik berhubungan dengan trigger-point, dengan demikian, kadang-kadang disebut dengan trigger-point akupunktur. Akupunktur telah digunakan untuk terapi sindrom nyeri myofascial, dengan menusukan jarum pada area tertentu untuk jangka waktu yang

tepat untuk menekan rasa nyeri . Efek fisiologis dari akupunktur telah dikaitkan dengan fenomena counterirritation. Efek ini juga dikenal sebagai kontrol penghambat nosisepsi secara difus , dimana efek analgesik yang diperoleh oleh stimulasi nosisepsi dan intensitas dari efek analgesik sebanding dengan besarnya stimulus noxious. Penelitian menunjukkan bahwa akupunktur memberikan sebuah efek fisiologis dan efek psikologis yang meliputi baik harapan tentang kemanjuran akupunktur dan keinginan untu mencoba pengobatan alternatif.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aksi dari injeksi triggerpoint lebih berkaitan dengan mekanisme refleks daripada efek farmakologi. Namun, penelitian lebih lainnya telah menunjukkan analgesia yang lebih efektif dengan injeksi dari beberapa obat-obatan dibandingkan dengan

penusukan jarum biasa. Tujuan dari injeksi adalah untuk menginaktifkan trigger-point, sehingga mengurangi rasa sakit dan memulihkan fungsi. Injeksi tidak hanya digunakan untuk meredakan memudahkan terapi fisik tetapi juga

digunakan untuk

nyeri dengan

cepat. Anestesi

lokal dapat

mengurangi nyeri dan iritasi yang disebabkan oleh jarum. Dalam penelitian kami, injeksi trigger-point diikuti oleh pemberian obat muscle-relaxing

(cyclobenzaprine chlorhydrate) dan analgesik (natrium dipyrone) untuk mencegah kambuhnya gejala. Sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan bahwa tidak ada yang bukti jelas dari manfaat atau ketidakefektifan injeksi trigger-point. Untuk

meningkatkan khasiat dari injeksi, pengobatan harus dilengkapi dengan program pelatihan fisik. Dalam penelitian ini, kedua kelompok menerima instruksi mengenai latihan tertentu di rumah yang dilakukan dua kali sehari selama 4 minggu. Latihan Physiotherapeutic yang terdiri dari peregangan dan latihan penguatan dari kelompok otot yang terlibat sangat bermanfaat untuk kontrol nyeri dan untuk keuntungan dalam keleluasaan gerakan. Latihan ini bisa dimulai pada awal pengobatan atau segera setelah perbaikan dari nyeri. Tujuan latihan ini adalah memperbaiki neuromuskular untuk

mematahkan siklus nyeri dan peningkatan spasme otot oleh sensitisasi sentral. Fisioterapi (relaksasi dan peregangan aktif dari otot yang terlibat) dianjurkan setelah nyeri menghilang, karena latihan pada otot yang menyakitkan dapat meningkatkan intensitas nyeri. Dalam penelitian kami, tidak ada pengurangan dosis pengobatan karena desain dari penelitian ini adalah untuk menjaga agar obat

(cyclobenzaprine dan dipyrone) tidak tergantung dari pengurangan keluhan nyeri.

Nyeri kronis sering menyebabkan kecatatan, menghasilkan kerugian ekonomi dan sosial yang serius, dan konsekuensinya mengorbankan kualitas hidup pasien. Kami menemukan perkembangan penggunaan dari penilaian kualitas hidup dalam literatur, yang menekankan karakter multidimensi dari kesehatan dan faktor yang secara langsung berkaitan dengan hal itu. Penurunan kualitas hidup telah sering dilaporkan pada pasien yang

menderita nyeri kronis. Perbedaan antara kelompok dalam beberapa domain sebelum pengobatan mungkin berhubungan dengan intensitas nyeri yang lebih pada 1 kelompok walaupun telah dilakukan secara acak. Skor SF-36 yang diperoleh untuk domain yang berbeda menunjukkan peningkatan yang signifikan dari kapasitas fungsional, aktivitas fisik,

vitalitas, fungsi sosial, kesehatan mental, dan nyeri dalam 2 kelompok setelah pengobatan. Mengingat peningkatan yang signifikan dalam domain

emosional di G2, harapan mengenai khasiat akupunktur dan keinginan untuk mencoba pengobatan alternatif pasien yang menerima akupunktur mungkin telah mempengaruhi hasilnya. Penelitian untuk lain, yang pasien menerapkan dengan nyeri

kuesioner SF-36 tentang

kualitas hidup

muskuloskeletal kronis diobati hanya dengan akupunktur, tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam berbagai domain sebelum dan setelah pengobatan Rasa kantuk dan mulut kering mungkin berhubungan dengan cyclobenzaprine chlorhydrate, dan lipothymia dapat terjadi setelah

akupunktur, sementara epigastralgia tampaknya tidak berhubungan dengan pengobatan Kesimpulannya, akupunktur atau injeksi trigger-point yang

dikombinasikan dengan cyclobenzaprine chlorhydrate (10 mg /hari) dan natrium dipyrone (500 mg / 8 jam), dan dikaitkan dengan fisioterapi yang diterapkan selama 4 minggu memberikan penurunan nyeri yang mirip dan perbaikan kualitas hidup. Terlepas dari intensitas nyeri yang lebih tinggi di G2 setelah pengobatan, perbedaan minimal yang dianggap secara klinis

signifikan adalah 3 pada 11-titik skala numerik (0 sampai 10). Hasil dari penelitian ini dibatasi oleh waktu follow-up yang singkat. Ketidakmampuan untuk secara efektif pada kelompok blind subjects merupakan keterbatasan yang lain. Kedua kelompok memperlihatkan penurunan yang signifikan dalam intensitas nyeri. Akan tetapi, karena kedua metode ini belum dibandingkan dengan plasebo, maka perbaikan dapat terjadi akibat fisioterapi atau dalam 1 kelompok karena analgesik dan muscle relaxant. Satu hal penting untuk dipertimbangkan adalah biaya yang diperlukan untuk akupunktur ($30 setiap pasien), yang mana rendah dari untuk injeksi trigger-point ($85 setiap pasien). Penelitian lebih lanjut akan diperlukan, karena banyaknya hasil yang bias.

Anda mungkin juga menyukai