Anda di halaman 1dari 13

HORMON SITOKININ

1. Sejarah Sitokinin Pada sekitar tahun 1931, Gottlieb Haberlandt di Austria menemukan suatu senyawa tak dikenal yang memacu pembelahan sel yang menghasilkan kambium gabus dan memulihkan luka pada umbi kentang yang terpotong. senyawa tersebut terdapat pada jaringan pembuluh berbagai jenis tumbuhan. Temuan ini tampaknya merupakan ungkapan pertama tentang senyawa yang dikandung tumbuhan, yang sekarang dinamakan senyawa sitokinin yang memacu sitokinensis. Pada tahun 1940-an Johannes van Overbeek menemukan bahwa endosperma cair buah kelapa yang belum matang juga kaya akan senyawa yang dapat memacu sitokinesis. pada awal tahun 1950-an, Folke Skoog dan beberapa kawannya, yang tertarik pada auksin yang ternyata mampu memacu pertumbuhan biakan jaringan tumbuhan, mendapati bahwa sel potongan empulur batang tembakau membelah jauh lebih cepat bila sepotong jaringan pembuluh diletakkan di atasnya, hal itu mempertegas hasil yang didapatkan Haberlandt. Skoog dan para pembantunya mencoba mengenali faktor kimia jaringan pembuluh itu dengan menggunakan pertumbuhan sel empulur tembakau sebagai sistem uji biologi. Sel dibiakkan dalam medium agar yang mengandung gula, garam mineral, vitamin, asam amino, dan IAA yang jumlahnya diketahui. IAA sendiri cepat meningkatkan pertumbuhan dengan mendorong terbentuknya sel yang cukup banyak, Tapi sel itu tidak membelah sehingga banyak di antaranya poliploidi dengan beberapa inti. Dalam upaya mencari seyawa yang bisa memacu pembelahan sel, mereka menemukan senyawa lir-adenin yang sangat aktif dari ekstrak khamir. Hal itu mengarahkan penelitian kepada kemampuan DNA dalam memacu sitokinensis (sebab DNA mengandung adenin). Salah satu dilakukan pada tahun 1954 oleh Carlos Miller yang menemukan senyawa sangat aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hearing atau DNA yang di autoklav. Mereka menamakan senyawa trsebut kinetin (di telaah oleh Miller tahun 1961). Kinetin sendiri memang belum ditemukan pada tumbuhan, dan bukan merupakan bahan aktif yang ditemukan Hibetlandt dari jaringan floem, namun kerabat sitokinin ditemukan ada di dalam tumbuhan. F.C. Steward, dengan menggunakan teknik biakan jaringan, juga pada tahun 1950-an, menemukan berbagai jenis sitokinin dalam air kelapa yang mampu mendorong pembelahan sel pada jaringan akar wortel. Yang paling aktif, berdasarkan hasil pengujian D.S. Letham (1974) adalah senyawa yang sebelumnya diberi nama umum zeatin atau zeatin ribosida. Pada tahun 1964, untuk pertama kalinya zeatin dicirikan pada saat yang bersamaan oleh Letham dan Carlos Millar, keduanya menggunakan endosperma cair jagung sebagai sumbernya. Sejak itu, sitokinin lain yang strukturnya lir-adenin, mirip dengan kinetin dan zeatin, berhasil dikenali di berbagai tumbuhan berbiji. Tak satu pun sitokinin terdapat dalam DNA atau dalam produk pecahan DNA, tapi terdapat dalam beberapa molekul RNA pemindah (dan kadang dalam RNA ribosom) tumbuhan berbiji, khamir, bakteri dan bahkan primata, dan lebih dari 30 jenis terdapat sebagai sitokinin bebas.

Gambar memperlihatkan struktur bentuk basa bebas dari 3 jenis sitokinin yang paling sering terlacak dan paling aktif secara fisiologis pada berbagai tumbuhan : zeatin, dihidrizeatin, dan isopenil adenin (IPA). Semua sitokinin memiliki rantai samping yang kaya akan karbon dan hidrogen, yang menempel pada nitrogen yang menonjol dari pucak incin purin. Setiap sitokinin bisa ditemukn dalam bentuk basa bebas atau sebagai nukleosida yang gugus ribosanya melekat pada atom nitrogen pada kedudukan 9. contohnya adalah zeatin ribosida, yaitu sitokinin yang cukup banyak terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Selanjutnya, ukleosida dapat diubah menjadi nukleotida, yang fosfatnya diesterifikasi menjadi ribosa 5- karbon, seperti pada adenosin 5- fosfat. Pda beberapa kasus diperoleh bukti adanya pembentukan nukleosida difosfat dan trifosfat yang irip dengan ADP dan ATP, namun semua nukleotida ini tampaknya kurang banyak dibandingkan dengan jumlahnya dalam bentuk basa-bebas atau nukleosida. Sebagian mempertimbangkan juga penemuan awal yang menunjukkan bahwa sitokinin memacu sitokinesis (pembelahan sel)pada jaringan yang ditumbuhkan in vitro, seperti biakan empulur tembaka, floem wortel, atau batang kedelai. Bahkan R. horgan (1984) sudah memberikan batasan sebagai senyawa yang, dengan adanya auksin pada konsentarasi optimum, menginduksi pembelahan sel pada empulur tembakau atau sistem uji serupa yang ditumbuhkan pada medium yang komposisinya optimum.penulis lain lebih menyukai batasan yang juga menyatakan bahwa senyawa tersebut merupakan turunan adenin, dan bahwa mereka mempunyai efek umum yang penting, selain memacu sitokinesis tampak masuk akal unytuk membatasi sitokinin sebagai senyawa adenin lain yang memacu pembelahan sel pada sistem jaringan yang disebut diatas.pernyataan tntang benar tyidaknya bentuk basa-bebas, nukleosida, atau nukleotida merupakan bentuk aktif, memang belum terjawab secara menyakinkan. Sebagian besar bukti mendukung basa-bebas sebagai bentuk aktif (Letham dan palni 1983, Van der krieken dkk, 1990). Aktifitas kimia dan biologis dari 200-an sitokinin alami dan tiruan diulas oleh Matsubara (1990). Ulasan tersebut memberikan kita gambaran yang sangat baik tentang struktur kimia yang penting untuk aktivitas sitokinin, dan basa-bebas pada gambar 18.1 pada umumnya tampak mempunyai struktur yang hampir sempurna. Sitokinin didapati pada lumut , ganggang coklat, dan ganggang merah serta tampak juga pada diatom, kadang sitokinin disebut memacu pertumbuhan gangang, kemungkinan besar sitokinin cukup tersebar luas, bahkan boleh dikatakan terdapat didunia tumbuhan; namun sangat sedikit yang diketahui tentang fungsinya, kecuali pada agiospermae, beberapa konifer dan lumut. Bakteri dan cendawan patogen tertentu mengandung sitokinin yang dinyakini berpengaruh pada proses penyakit yang disebabkan oleh kedua mikroba ini, dan sitokinin yang dihasilkan oleh cendawan dan bakteri bukan patogen diperkirakan mempengaruhi hubungan mutualistiknya dengan tumbuhan, seperti pembentukan mikoriza dan bintil akar (Greene, 1980; Ng dkk, 1982; Stuarteven dan Taller. 1989).

2.

Metabolisme sitokinin Ada dua pertanyaan penting tentang metabolisme sitokinin yang patut dikemukakan bagaimana tumbuhan mensintesis sitokinin dan bagaimana tumbuhan mengatur banyaknya sitokinin yang dikandungnya? Terobosan dalam pengetahuan kita tentang biosintesis datang dari Chong- Maw Chen dan DK Meliz (1979) yang memukakan bahwa jaringan tumbuhan mengandung enzim yang dinamakan isopentenil AMP sintase (sebelum ditemukan pada cendawan lendir)yang membentuk isopentenil adenosin -5-fosfat (isopentenil AMP). Dari AMP dan salah satu isomer isopentenil pirofosfat. (senyawa terahir merupakan hasil lintasan mevalonat dan prazat penting bagi sterol, giberelin, karotenoid, dan senyawa isoprenoid lain: baca p[asal 15.3 ) isomer tersebut meliputi isopentenil -2-isopentenil pirofosfat, yang awalnya - berarti bahwa molekul tersebut memiliki ikatan rangkap 2dan 3, reaksi yang terjadi dijaringan tembakau disajikan [pada gambar 18.2 perhatikan bahwa pirofosfat (ppi) dilepaskan dari gugus isopentenil dan kemudian gugus ini bergabung dengan nitrogen amino yang melekat pada karbon 6 cincin purin. Isopentenil AMP yang terbentuk dalm reaksi ini kemudian dapat diubah menjadi isopentenjil addenosin melalui hidrolisis enzim fosfatase, yang melepas ggus fosfat; selanjutnya isopentenil adenosin dapat berubah menjadi isopentenil adenin dengan melepaskan gugus ribosa melauihidrolisis. Lalu isopentenil adenin dioksidasi menjadi zeatin dengan mengganti satu hidrogen gugus metinya pada cincin samping isopentenil dengan OH (bandingkan dengan struktur gambar 18.1). kemudian, dihidrozeatin terbentuk dari Zeatin melalui reduksi (deengan NADPH) ikatan rangkap pada cincin samping isopentenil (Martin dkk, 1989). Sejumlah reaksi ini mungkin bertanggung jawab dalam pembentukan ketiga bahan dasar utama sitokinin, namun masih trdapat kemungkinan lain untuk biosintesis ini. Sitokinin ditingkat sel ditentukan oleh perusakannya dan mungkin oleh perubahanyan menjadi berbagai turunan yang bersifattidak aktif, selain nukleosida dan nukleotida. Perusakan sebagian terjadi oleh sitokinin oksidase, yaitu sistem enzim yang merenggut cincin samping 5 carbon dan menghasilkan adenin- bebas (atau, bila zeatin ribosida yang dioksidasi, akan dihasilkan adenosin bebas) pembentukan turunan sitokini lebih rumit, sebab dapat terbentuk banyak konjugat (letnam dan Palni, 1983). Konjugat yang paling lazim ditemui menggandung glukosa atau alanin; yang mengandung glukosa disebut sitokinin glukosida. Pada salah satu jenis glukosida, karbon 1 dari glukosa melekat pada gugus hidroksi rantai samping dari zeatin, zeati ribosida, dihidrozeatin ribosida. Pada jenis glukosida yang kedua, karbon 1 dari dari glukosanyan menempel pda atom nitrogen (dengan ikatan C-N) Pada kedudukan 7 atau 9 pada cincin adenin diketiga bahan dasar utama sitokinin. Pada konjugat alanin , alanin dihubungkan melaui ikatan peptida dengan nitrogen dikedudukan 9 pada cincin purin. Fungsi dari semua konjugat ini belum dikerahui,tapi glukosida mungkin disi,pan sebagai bahan cadangan atau, pada beberapa kasus merupakan bentuk sitokinin yang khusus untuk diangkut. Menurut Mc. Gaw (1987) konjugat alanin tak mungkin disimpan sebagi bahan cadangan, melainkan sebagi produk pengikatan sitokinin yang terbentuk secara tak terbalikkan. Tidaklah mungkin konjugat seperti ini merupakan sitokini yang aktif secara fisiologis.

3.

Tapak sintesis dan pengangkutan sitokinin Apabila kita mengetahui bahwa seberapa aktif reaksi yang membentuk isopentenil AM, isopentenil adenin, zeatin, dan dihidrozeatin diberbagai organ dan jaringan, kita akan memperoleh informasi biokimia yang baik tentang tapak biosintesis sitokinin. Sayang, informasi itu belum ada, sehingga digunakan metode tidak langsung untuk mnentukan tempat siokinin dibentuk, salah satu metode telah digunakan untuk melacak tempat bertimbunya sitokinin. Umumnya, sitokinin paling banyak diorgan muda(biji, buah, daun) dan dijung akar.tampak masuk akal bahwa sitokinin disintesis disemua organ tersebut, namun pada beberapa kasus, kemungkinan adanya pengangkutan dari tapak lain tidak bisa diabaikan. Sintesis hampir dapat dipastikan terjadi diujung akar, sebab jika akar dipotong mendatar, sitokinin mengalir keluar (karena tekana akar) dari xilem potongan bawah akar itu sampai slam empat hari (Skene, 1975; Torrey, 1976). Akar bagian bawah ini tidak mungkin dapat menyimpan sitokinin yang berasal dari sumber lain yang memasok xilem dalam rentang waktu cukup lama seperti itu. Bukti seperti ini membangkitkan dugaan bahwa ujung akar mensintesis sitokinin dan mengangkutnya melalui xilem keseluruh bagian tumbuhan. Hal ini bisa menjelaskan terjadinya penimbunan pada daun, buah, dan biji muda melalui penggangkutan xilem, namun umumnya floem merupakan sistem pemasok yang lebih efektif untuk organ yang transpirasinya sedikit seperti itu. Walaupun ujung akar barangkali menjadi sumber sitokinin yang penting untuk berbagai bagian tumbuhan, diketahui tanaman tembakau kecil tanpa akar ternyata dapat mengubah adenin radioaktif menjadi berbagai macam sitokinin (Chen dan Petschow, 1978). Ada pula adenin radiaktif yang dapat diubah menjadi beberapa sitokinin, bukan saja oleh akar tanaman kapri, tetapi juga oleh btang dan daunya(Chen dkk,1985) akar wortel juga diteliti, dan ternyata bagian kambium akarnya yang terutama mensintesis serndiri sitokinin yang mereka butuhkan. Pengangkutan berbagai jenis sitokinin pasti terjadi dalam xilem(Jameson dkk, 1987) namun tabung tapis juga mengandung sitokinin, seperti dibuktikan dengan adanyan sitokinin dalam kutu empedu madu. Bukti lain mengenai pengangkutan dalam floem diperoleh melalui percobaan dengan menggunakan daun dikotil yang dipetik. Ketika selai daun daun dewasa dipetik dari tumbuhan spesies tertentu dan dijag a kelembabanny, sitokinin bergerak kepangkal tangkai daun dan tertimbun disitu. Pergerakan ini barangkali terjadi melaui floem , bukan melaui xilem, karena trasfirasi sangat mendukung aliran xilemdari tangkai kehelai daun. Penimbuna sitokinindi tangkai menyirat bahwa helai daun dewasa dapat memasok sitokinin kedaun muda dan jaringan muda melaui floem, tentu saja aslkan daun tersebut mampu mensintesis sitokinin atau menerimanya dari akar. Walaupun demikian, jika sitokinin radioaktif diberikan diPermukaan sehelai daun, sedikit sekali Sitokinin yang terserapitu dapat diangkut keluar. Hasil pengamatan ini dan banyak pengamatan lainnya menunujukkan bahwa sitokinin tidak mudah tersebar dalam floem. Hampir dapat dipastikan bahwa daun, buah, dan biji muda, yang merupakan wadah penampung bagi pengangkutan, tidak mudah memindahkan sitokininnya ke

tempat lain, baik melalui xylem maupun melalui floem. Kesimpulan sementara kami adalah: pengangkutan sitokinin pada tajuk agak terbatas, kecuali penyebarannya dari akar ke daun. 4. Sitokinin memacu pembelahan sel dan pembentukan organ Telah dijelaskana bahwa fungsi utama sitokinin adalah memacu pembelahan sel, Skoog dan beberapa kawannya menemukan bahwa jika empelur batang tembakau, kedelai, dan beberapa tumbuahan dikotil lain dipisahkan dan dibiakkan secara aseptic pada medium agar yang mengandung auksin dan hara yang tepat, akan terbentuk massa sel yang tak terspesialisasi, tak beraturan, khususnya poliploid, yang disebut kalus. Jika sitokinin juga ditambahkan, sitokinesis terpacu sekali, seperti yang pernah dikemukaan. Besarnya pertumbuhan sel baru dapat dipakai sebagai uji biologi yang peka dan sangat khas bagi sitokinin dan penting untuk penyusunan batasan bagi senyawa ini.Skoog dan kawan-kawannya juga mendapati bahwa jika nisbah sitokinin, terhadap auksin didpertahankan, akan tumbuh sel meristem pada kalus tersebut; sel itu membelah dan mempengaruhi sel lainnya untuk berkembang menjadi kuncup, batang dan daun. Tapi, bila nisbah sitokinin-auksin diperkecil, pembentukan akar terpacu. Dengan memilih nisbah yang tepat, kalus dari banyak spesies (terutama jenis dikotil) dapat didorong pertumbuhannya menjadi tumbuhan utuh baru. Kemampuan kalus untuk menjadi tumbuhan lengkap digunqakan sebagai alat untuk menteleksi tananman yang memiliki ketahanan terhadap kekeringan, rawan garam, patogen dan herbaisida tertentu atau yang memiliki ciri lain yang bermanfaat. Cara kalus membentuk tumbuhan baru cukup beragam. Jika nisbah sitokinin-auksin cukup tinggi, sering hanya system tajuk yang mula-mula berkembang, kemudian akar liar terbentuk secara spontan dari batang, saat masih berada dalam kalus. (pembentukan akar dapat pula diinduksidengan teknik hortikultura umum dari batang tajuk muda yang diangkat dari kalus) pembentukan taujuk dan atau dari akar liar oleh kalus disebut organogenesis. Namun kadang kalus menjadi embriogenik dan membentuk embrio yang berkembang menjadiakar dan tajuk yang disebut embryogenesis. Sitokinin dan auksin biasanya harus ditambahkan ke medium jika embryogenesis diinginkan; tapi hanya sedikit informasi yang menunjukkan cara auksin dan auksin bertindak sebagai factor pengendali. Sitokinin dan IAA diperlukan untuk mengendalikan pembentukan serta perkembangan tumor pada batang banyak tumbuhan dikotil dan gimnospermae, yang disebut tumor mahkota. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Agrobacterium tumefaciens (berkerabat dekat dengan anggota bakteri penambat nitrogen, Rhizobium).Tumor tersebut dapat ditumbuhkan dalam biakan steril tanpa ditambah sitokinin atau auksin; artinya, selnya tak bergantung pada hormone ini. A. tumefaciens mempunyai beberapa plasmid, yang disebut plasmid Ti, mengandung potongan DNA yang dapat adipindahkan ke sel batang tumbuhan inang saat menginfeksi, dan menyebabkan pertumbuhan tumor dengan cepat serta tak beraturan. Potongan DNA ini disebut T-DNA (huruf T berarti dipindahkan, transferred). T-DNA mengandung beberapa gen, yang salah satunya menyandikan enzim isopentenil AMP sintase;dua diantaranya menyandikan enzim yang mengubah triptofan menjadi IAA, serta morfologi tajuk. Jika ketiga gen tersebut termutasi sehingga tidak aktif, tumor tak akan

berkembang dan tingkat hormone tetap rendah. Jika hanya gen isopentenil AMP sintase yang tidak aktif, maka tingkat sitokinin menurun, tumor tumbuh lambat dan membentuk banyak akar melalui organogenesis. Jika salah satu gen biosintesis auksin tidak aktif, maka tumor tumbuh lambat, pembentukan IAA sedikit sekali, dan tajuk berdaun dihasilkan, dengan sedikit atau mendukung pernyataan Skoog tentang efek nisbah sitokinin-auksin. Ulasan yang baik mengenai gen tumor mahkota dan efek hormone ditulis oleh Morris (1986, 1987) dan oleh Weiler serta Schroder (1987), sedangkan tulisan yang lebih mutakhir, yang umumnya mendukung kesimpulan di atas, diterbitkan oleh Spanier dkk (1989) dan oleh Smigocki dan Owens (1989). 5. Sitokinin menunda penuaan dan meningkatkan aktivitas wabah penampungan hara Jika kita memetik sehelai daun dewasa yang masih aktif, daun tersebut akan mulai kehilangan klorofil, RNA, protein dan lipid dari membran kloroplas lebih cepat dari pada jika daun inimasih melekat pada induknya, walaupun diberi garam mineral dan air melalui ujungnya yang terpotong. Penuaan prematur ini, yang ditandai dengan menguningnya daun, berlangsung sangat cepat jika daun diletakkan di dalam gelap. Pada daun tumbuhan dikotil, akar liar sering terbentuk pada pangkal tangkai dan kemudian penuaan helai daun sangat tertunda. Akar tampaknya memberikan sesuatu pada daun untuk mempertahankannya secaara fisiologis. Sesuatu tersebut hampir dapat dipastikan mengandung sitokinin yang diangkut melalui xilem. Terdapat dua bukti utama yang menyatakan keterlibatan sitokinin: banyak jenis sitokinin mampu menggantikan sebagian factor yang ditumbuhkan akar untuk menunda penuaan, dan kandungan sitokinin helai daun meningkat berlipat ganda ketika akar liar terbentuk. Pada tanaman bunga matahari, kandungan sitokinin dalam cairan xylem meningkat selama masa pertumbuhan cepat, kemudian sangat menurun saat pertumbuhan terhenti atau berhenti dan tanaman mulai berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa berkurangnya angkutan sitokinin dari akar ke tajuk mengakibatkan penuaan terjadi lebih cepat (Skene, 1975). Cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun oat yang dipetik banyak diteliti oleh Kenneth V Thimann, pelopor penelitian auksin, bersama beberapa kawannya di Thimann Lobolatories di Santa Cruz, California (baca Thimann 1987). 6. Efek Sitokinin Pada Batang Dan Akar Pertumbuhan normal batang dan akar diduga membutuhkan sitokinin, namun sitokinin endogen jarang ditemukan sebagai faktor pembatas pertumbuhan. Akibatnya pemberian sitokinin eksogen pun tak berhasil meningkatkan pertumbuhan organ tersebut. Hal tersebut dapat teramati pula pada tembakau dan arabidopsis dalam percobaan rekayasa genetika, yang tingkat sitokinin endogennya nyata meningkat pada tumbuhan yang ditransformasi (Medfork dkk, 1989). Cara lain untuk memastikan perlunya sitokinin bagi perlunya pertumbuhan normal akar dan batang adalah dengan membuat irisan jaringan dan menumbuhkannya in vitro. Dalam percobaan itu dianggap bahwa irisan jaringan akan kehabisan sitokinin saat dipisahkan dari ujung tajuk atau ujung akarnya, yang diperkirakan bertindak sebagai sumber hormon. Namun, melalui pengukuran yang sesungguhnya, tak seorang pun pernah mendapatkan bahwa irisan jaringan tersebut benar-benar menjadi kekurangan sitokinin. Jika irisan batang atau akar

ditumbuhkan secara in vitro dengan ditambahkan sitokinin, maka pemanjangan hampir selalu terlambat di bandingkan dengan irisan pembanding Apa yang dapat kita simpulkan dari hasil yang hanya memperlihatkan penghambatan pemanjangan ? mungkin kesimpulannya adalah bahwa batang dan akar yang sedang memanjang tidak memerlukan sitokinin. Atau, walaupun kedua organ tersebut mungkin membutuhkan hormon tersebut untuk memanjang, kandungan sitokinin dalam kandungannya sudah mencukupi. Pada kedua kemungkinan itu masih diperdebatkan dugaan pertumbuhan in vitro dengan menyebabkan konsentrasi dalam menjadi berlebihan. Tampaknya tak mudah untuk mengatasi masalah ini tanpa mengukur konsentrasi dalam sitokinin pada irisan jaringan, tertutama pada sel epidermis yang diduga menghalangi keseluruhan laju pemanjangan. Namun, ada dua kasus yang dikenal, yang menunjukkan bahwa pemberian sitokinin bener-benar memacu pemanjangan: potongan koleoptil muda tanaman gandum (Wright, 1966) dan hipokotil utuh tanaman semangka, terutama dari kultivar katai atau kerdil (Loy, 1980). Pada koleotil gandum, pemacuan pertumbuhan terjadi hanya jika jaringan tersebut masih muda dan pembelahan sel masih berlangsung, namun teramati pula bahwa sitokinin menyebabkan pertumbuhan dengan cara mendorong pemanjangan sel, bukan pembelahan sel. Pada semangka katai, sitokinin eksogen terbukti memacu pemanjangan hipokotil, terutama karena laju pemanjangan sel meningkat, peningkatan ini dihasilkan dari sitokonon yang diberikan pada ujung tajuk atau pada akar. Singkatnya sitokinin memacu pembesaran sel pada daun muda, kotiledon, koleoptil gandum, dan hipokotil semangka, tapi masih banyak yang perlu diteliti mengenai normal hormon ini dalam pembesaran sel, terutama pada kar dan batang.

7. Sitokinin memacu perkembangan kloroplas dan sintesis kloropil.


Dari kecambah tanaman angiosperma yang ditumbuhkan ditempat gelap, dau muda dan kotiledonnya dipetik untuk diuji apakah penambahan sitokinin berpengaruh pada perkembangan kloroplas atau sintesis kloropil. Percobaan ini dapat dilaksanakan karena dalam keadaan gelap, kloropil tidak terbentuk dan perkembangan kloroplas terhambat. Plastid muda terhambat pada tahap proplastid atau pada etioplas. Etioplas (dari kecambah yang ditumbuhkan dalam gelap atau teretiolasi) berwarna kuning karena mengandung karotenoid. Etioplas memiliki sistem membran dalam yang menarik, yang tersususn rapat menjadi kisi-kisi dalam yang disebut badan prolamela. Setelah terkena cahaya, badan prolamela itu akan menghasilkan sistem tilakoid yang ditemukan pada kloroplas hijau yang normal. Perkembangan ini disertai pembentukan protein tilakoid khusus yang melekat pada kloropil, yaitu pada kedua fotosistem dan kompleks pemanen cahaya. Pemberian sitokinin pada daun atau kotiledon yang teretiolasi beberapa jam sebelum dipajankan pada cahaya, menghasilkan dua efek utama : (1) memecu perkembangan lanjut dalam keadaan terang etioplas menjadi kloroplas, khususnya dengan mendorong pembentukan grana, dan (2) meningkatkan laju pembentukan kloropil. Alasan utama bagi munculnya kedua efek itu mungkin karena sitokinin mendorong terbentuknya protein, tempat kloropil menempel dan menjadi mantap. Diduga bahwa sitokinin endogen meningkatkan perkembangan kloroplas daun

dengan cara serupa. Kemampuan sitokinin dalam mengaaktifkan sisntesis protein yang mengikat kloropil dan berkenaan dengan mekanisme kerja sitokinin. 8. Mekanisme kerja sitokinin Beragamnya efek sitokinin menunjukkan bahwa senyawa tersebut mungkin mempunyai beberapa macam mekanisme kerja dalam jaringan yang berbeda. Namun, secara sederhana diduga bahwa satu efek utama yang umum diikuti oleh sejumlah efek sekunder, yang bergantung pada keadaan fisiologis sasarannya. Seperti pada hormon lain, penguatan efek uyama harus terjadi, karena sitokinin terdapat dalam konsentrasi yang rendah (0,01 sampai 1 M). Adanya efek pemacuan oleh sitokinin pada pembentukan RNA dan enzim sudah diduga sejak lama, antara lain karena efek sitokinin biasanya terhambat oleh zat penghambat sintesis RNA atau protein. Belum diketahui efek khususnya pada sintesis DNA, walaupun sitokinin eksogen sering dapat meningkatkan pembelahan sel dan mungkin memang dibutuhkan untuk proses tersebut. Pada contoh tanaman tembakau lain yang di transformasi, tanaman yang kahat IAA dihasilkan melalui penyisipan gen yang menyandikan enzim yang mengubah IAA menjadi konjugat dengan asam amino lisin yang tak aktif. Tanaman tembakau tak dapat dengan mudah menguraikan konjugat ini, sehingga IAAnya menjadi tak tersedia. Seperti tumbuhan penghasil sitokinin yang berlebihan, tanaman tersebut bercabang banyak dibandingkan dengan tanaman pembanding yang tak ditransformasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nisbah sitokinin: auksin berperan penting untuk mengendalikan dominansi apikal (penekanan kuncup samping); nisbah yang tinggi mendorong perkembangan kuncup dan nisbah yang rendah mendukung dominansi. Percabangan samping yang terpacu juga terjadi pada tumbuhan yang terserang penyakit bakteri, terutama oleh dua jenis bakteri pathogen yang mensintesis sitokinin. Salah satunya adalah penyakit lamad (fasiasi, yang disebabkan oleh corinebachsterium fachians), yang menyerang berbagai jenis tumbuhan dikotil seprti seruni, kapri hias, kapri manis. Pada pelamadan, batang yang biasanya bundar menjadi pipih dan banyak kuncup sampingnya berkembang menjadi cabang, sering terbentuk berkas batang lir-sapu. Pada kapri hias, gejala penyakit ini meningkat dua kali lipat bila tanaman mudanya diberi sitokinin. Galur bakteri yang bersifat fatogen kuat mempunyai sebuah plasmid, galur yang bersifat patogen tidak memilik plasmid ini galur yang bersifat patogen mensintesis beberapa jenis sitokinin dan melepaskannya kedalam medium tumbuhnya, yang hamper dipastikan menyebabkan penyakit lamad tersebut. Carynebakterium fascians juga menyebabkan timbulnya beberapa bentuk sapu pada pepohonan juga disertai dengan banyaknya kuncup samping yang tumbuh menjadi cabang. 2 Jenis pathogen lain (eksobasydium sp.) Yang menyebabkan timbulnya bentuk sapu juga menghasilkan sitokinin. Pada kasus tersebut diduga sitokinin pulalah yang menyebabkan munculnya gejala penyakit.

9. Sitokonin memacu pembesaran sel pada kotiledon dan daun tumbuhan dikotil. Banyak biji tumbuhan dikotil yang dikecambahkan di tempat gelap munculkan kotiledonnya ke atas tanah, tetapi kotiledon itu tetap berwarna kuning dan kecil. Jika kotiledon itu tetap berwarna kuning dan kecil. Jika kotiledon itu dikenai cahaya, pertumbuhannya meningkat pesat, walaupun energy cahaya yang diberikan sebenarnya terlalu rendah untuk melangsungkan fotosintetis. Inilah efek gfotomorfogenik yang antara lain dikendalikan oleh fotokrom dan barangkali juga oleh sitokinin. Jika kotiledin dipelihara dan diberikan sitokinin, lalu pertumbuhannya meningkat dua atau tiga kali lipat dibandingkan dengan kotiledon pebanding yang tidak mendapatkan tambahan hormone, baik dalam gelap maupun terang. Pertumbuhan itu seluruhnya disebabkan oleh air yang mengembangkan sel, sebab bobot kering jaringan tidak bertambah. Pemacuan pertumbuhan ini terjadi pada lebih dari selusinan spesies tumbuhan yang sudah dikenal, termasuk lobak, bit-gula, slada, bunga matahari, mentimun dan labu kuning. Sebagian spesies itu mengandung lemak sebagai cadangan makanan utama dalam kotiledon. Kotiledon biasanya muncul diatas tanah dan menjadi mampu melakukan fotosintesis. Tidak terlihat adanya respon terhadap spesies yang kotiledonnya tetap di bawah tanah selain berkecambah, atau jenis kacang-kacangan yang kotiledonnya muncul tapi tidak menyerupai daun. Menunjukkan efek pemacuan zeatin pada pembesaran kotiledon lobak, dalam gelap dan terang; gambar tersebut pula menunjukkan bahwa cahaya bisa efektif dalam keadaan tanpa zeatin. Auksin tidak memacu pertumbuhan kotiledon, dan giberelin hanya memberikan efek kecil bila kotiledon dibiakkan dala air atau dalam keadaan gelap; jadi, respon ini dapat digunakan sebagai uji biologi bagi sitokinin. (Letham, 1971, Narain dan Laloraya 1974). Apakah sitokinin memacu pertumbuhan kotiledon hanya dengan cara meningkatkan pembesaran sel yang sudah ada sebelumnya, atau apakah hormone tersebut memacu pembelahan sel dan pembesaran sel anak yang dihasilkan? Semua hasil percobaan menunjukkan bahwa sitokinin meningkatkan baik sitokinesis tidak meningkatkan pertumbuhan organnya sendiri, sebab sitokinesis tidak meningkatkan pertumbuhan organnya sendiri, sebab sitokinesis hanya merupakan proses pembelahan saja. oleh Karena itu, keseluruhan pertumbuhan membutuhkan pemelaran sel, dan pertumbuhan yang terpacu oleh sitokinin meliputi pemelran sel yang lebih cepat dan produksi sel yang lebih banyak. Karena kotiledon, yang pertumbuhannya dipacu oleh sitokinin, akhirnya tumbuh menjadi organ fotosintetik, dapat dipertanyakan apakah daun sejati juga membutuhkan sitokinin untuk pertumbuhannya. Efek pemacuan yang jelas pada daun utuh tumbuhan dikotil dari beberapa spesis terlihat setelah sitokinin diberikan berulang-ulang, namun biasanya efeknya kecil dan mungkin timbul secara tak langsung melalui pengambilan metabolit dari organ lain. Jika sejumlah cakram diambil dari daun dikotil dengan alat pelubang gabus, dan diupayakan tetap lembab, maka sitokinin dapat meningkatkan pemelaran dengan cara memacu pertumbuhan sel. Inipun menunjukkan fungsi normal sitokinin yang datang dari organ lain, misalnya akar, pada pertumbuhan daun. Bukti selanjutnya bahwa sitokinin dari akar memacu pertumbuhan daun berasal dari percobaan pada kacang-kacangan dan beras belanda musim dingin (Secale creale), yang sebagian atau seluruh akarnya dibuang. Pertumbuhan daun dari kedua spesies tumbuhan tanpa akar tersebut segera melambat, tapi bila sitokinin ditambahkan pada daun, pertumbuhannya banyak dipulihkan.

Permukaan sehelai daun, sedikit sekali Sitokinin yang terserap itu dapat diangkut keluar. Hasil pengamatan ini dan banyak pengamatan lainnya menunujukkan bahwa sitokinin tidak mudah tersebar dalam floem. Hamper dapat dipastikan bahwa daun, buah, dan biji muda, yang merupakan wadah penampung bagi pengangkutan, tidak mudah memindahkan sitokininnya ke tempat lain, baik melalui xylem maupun m elalui floem. Kesimpulan sementara kami adalah: pengangkutan sitokinin pada tajuk agak terbatas, kecuali penyebarannya dari akar ke daun.

Sitokinin memacu pembelahan sel dan pembentukan organ


Telah dijelaskana bahwa fungsi utama sitokinin adalah memacu pembelahan sel, Skoog dan beberapa kawannya menemukan bahwa jika empelur batang tembakau, kedelai, dan beberapa tumbuahan dikotil lain dipisahkan dan dibiakkan secara aseptic pada medium agar yang mengandung auksin dan hara yang tepat, akan terbentuk massa sel yang tak terspesialisasi, tak beraturan, khususnya poliploid, yang disebut kalus. Jika sitokinin juga ditambahkan, sitokinesis terpacu sekali, seperti yang pernah dikemukaan. Besarnya pertumbuhan sel baru dapat dipakai sebagai uji biologi yang peka dan sangat khas bagi sitokinin dan penting untuk penyusunan batasan bagi senyawa ini.Skoog dan kawan-kawannya juga mendapati bahwa jika nisbah sitokinin, terhadap auksin didpertahankan, akan tumbuh sel meristem pada kalus tersebut; sel itu membelah dan mempengaruhi sel lainnya untuk berkembang menjadi kuncup, batang dan daun. Tapi, bila nisbah sitokinin-auksin diperkecil, pembentukan akar terpacu. Dengan memilih nisbah yang tepat, kalus dari banyak spesies (terutama jenis dikotil) dapat didorong pertumbuhannya menjadi tumbuhan utuh baru. Kemampuan kalus untuk menjadi tumbuhan lengkap digunqakan sebagai alat untuk menteleksi tananman yang memiliki ketahanan terhadap kekeringan, rawan garam, patogen dan herbaisida tertentu atau yang memiliki ciri lain yang bermanfaat. Cara kalus membentuk tumbuhan baru cukup beragam. Jika nisbah sitokinin-auksin cukup tinggi, sering hanya system tajuk yang mula-mula berkembang, kemudian akar liar terbentuk secara spontan dari batang, saat masih berada dalam kalus. (pembentukan akar dapat pula diinduksidengan teknik hortikultura umum dari batang tajuk muda yang diangkat dari kalus) pembentukan taujuk dan atau dari akar liar oleh kalus disebut organogenesis. Namun kadang kalus menjadi embriogenik dan membentuk embrio yang berkembang menjadiakar dan tajuk yang disebut embryogenesis. Sitokinin dan auksin biasanya harus ditambahkan ke medium jika embryogenesis diinginkan; tapi hanya sedikit informasi yang menunjukkan cara auksin dan auksin bertindak sebagai factor pengendali. Sitokinin dan IAA diperlukan untuk mengendalikan pembentukan serta perkembangan tumor pada batang banyak tumbuhan dikotil dan gimnospermae, yang disebut tumor mahkota. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Agrobacterium tumefaciens (berkerabat dekat dengan anggota bakteri penambat nitrogen, Rhizobium).Tumor tersebut dapat ditumbuhkan dalam biakan steril tanpa ditambah sitokinin atau auksin; artinya, selnya tak bergantung pada hormone ini. A. tumefaciens mempunyai beberapa plasmid, yang disebut plasmid Ti, mengandung potongan DNA yang dapat adipindahkan ke sel batang tumbuhan inang saat menginfeksi, dan menyebabkan pertumbuhan tumor dengan cepat serta tak beraturan. Potongan DNA ini disebut T-DNA (huruf T berarti dipindahkan, transferred). T-DNA mengandung beberapa gen, yang salah satunya menyandikan enzim isopentenil AMP sintase;dua diantaranya menyandikan enzim yang mengubah triptofan menjadi IAA, serta morfologi tajuk. Jika ketiga gen tersebut termutasi sehingga tidak aktif, tumor tak akan berkembang dan tingkat hormone tetap rendah. Jika hanya gen isopentenil AMP sintase yang

tidak aktif, maka tingkat sitokinin menurun, tumor tumbuh lambat dan membentuk banyak akar melalui organogenesis. Jika salah satu gen biosintesis auksin tidak aktif, maka tumor tumbuh lambat, pembentukan IAA sedikit sekali, dan tajuk berdaun dihasilkan, dengan sedikit atau mendukung pernyataan Skoog tentang efek nisbahsitokinin-auksin. Ulasan yang baik mengenai gen tumor mahkota dan efek hormone ditulis oleh Morris (1986, 1987) dan oleh Weiler serta Schroder (1987), sedangkan tulisan yang lebih mutakhir, yang umumnya mendukung kesimpulan di atas, diterbitkan oleh Spanier dkk (1989) dan oleh Smigocki dan Owens (1989).

Sitokinin menunda penampungan hara

penuaan

dan

eningkatkan

aktivitas

wabah

Jika kita memetik sehelai daun dewasa yang masih aktif, daun tersebut akan mulai kehilangan klorofil, RNA, protein dan lipid dari membran kloroplas lebih cepat dari pada jika daun inimasih melekat pada induknya, walaupun diberi garam mineral dan air melalui ujungnya yang terpotong. Penuaan prematur ini, yang ditandai dengan menguningnya daun, berlangsung sangat cepat jika daun diletakkan di dalam gelap. Pada daun tumbuhan dikotil, akar liar sering terbentuk pada pangkal tangkai dan kemudian penuaan helai daun sangat tertunda. Akar tampaknya memberikan sesuatu pada daun untuk mempertahankannya secaara fisiologis. Sesuatu tersebut hampir dapat dipastikan mengandung sitokinin yang diangkut melalui xilem. Terdapat dua bukti utama yang menyatakan keterlibatan sitokinin: banyak jenis sitokinin mampu menggantikan sebagian factor yang ditumbuhkan akar untuk menunda penuaan, dan kandungan sitokinin helai daun meningkat berlipat ganda ketika akar liar terbentuk. Pada tanaman bunga matahari, kandungan sitokinin dalam cairan xylem meningkat selama masa pertumbuhan cepat, kemudian sangat menurun saat pertumbuhan terhenti atau berhenti dan tanaman mulai berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa berkurangnya angkutan sitokinin dari akar ke tajuk mengakibatkan penuaan terjadi lebih cepat (Skene, 1975). Cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun oat yang dipetik banyak diteliti oleh Kenneth V Thimann, pelopor penelitian auksin, bersama beberapa kawannya di Thimann Lobolatories di Santa Cruz, California (baca Thimann 1987). Jika daun Oat dan banyak spesies lain dipetik dan diapungkan di larutan garam mineral encer, dqaun tersebut mulai menua, yang mula-mula dicirikan dengan terurainya protein menjadi asam amino dan Banyak peneliti telah mencoba memastikan apakah tumbuhan memiliki protein penerimakhusus ynag mengikat sitokinin,yang kemudian menimbulkan berbagi efek fisiologis yang di temukan oleh jenis selnya. Beberapa protein yang mengikat sitokonin secara agak khas telah ditemukan di berbagai bagian tumbuhan namun hampir semua protein tersebut tidak terikat cukup khas atau tiodak mempunyai afinitas yang cukup tinggi terhadap sitokinin aktif.Terdapat kekecualian yang menarik yaitu protein pengikat pada daun serai,yang mengikat ziatin dengan afinitas yang sangat tinggi dan mengikat sitokinin yang lain yang berhubungan dekat dengan aktifitas biologisnya.Penelitian lebih lanjut terhadap spesies lainnya perlu di lakukan sebelum di ketahui apakah proten tersebut benar merupakan protein penerima hormon yang berperan secara fisiologis. Sementara itu pendekatan lain dapat di gunakan untuk memastikan secara kerja sitokinin. Pemacuan sitokinesisi merupakan salah satu respon sitokinin yang terpenting, sebab hal itu menyebabkan sitokinin di manfaatkan secara komersial dalam upaya perbanyakan mikro tananman budidaya dari biakan jaringa.aspek biokimia dari respon yang sudah lama di ketahui itu kini sedang di teliti.menyiompulkan bahwa sitokinin mendorong pembelahan sel dalam

biakan jaringan dengan cara meningkatkan peralihan dari G2 ke mitosis dan bahwa hal tersebut karena sitokinin menaikkan laju sintesis protein. Beberapa protein itu berupa protein pembangun atau enzim yang di butuhkan untuk mitosis tentu saja sintesis protein dapat di tingkatkan dengan cara memacu pembentukan RNA-kurir yang menyandikan protein tersebut, namun nyatanya penongkatan produksi RNA-kurir belum pernah di dapati.Fosket dan bebrapa kawannya menyimpukan bahwa sitokinin bekerja khususnya pada proses translasi salah satu dari beberapa bukti yang melandasi kesimpulan itu ialah bahwa ribosom dalam sel yang di beri perlakuan sitokini berkelompok dalam polisompensintesis protein yang besra,bukan dalam pilosom kecil atau sebagai monoribosom-bebas (yang terakhit ini menjadi ciri khas sel yang lambat membelah). Namun hingga kini belum ada penjelasan tentang bagaimana sitokinin meningkatkan pembentukan polisom atau translasi dan belum di temukan pula enzim khusus atau protei lain yang mungkin mendorong ke arah mitosis dalam sel yang di beri perlakuan sitokinin. Dari kajian terhadap pembelahan sel yang di aktifkan oleh sitokinin di meristem, apikal.Houssa,dkk (1990) memperoleh hasil yang sebagian besar sejalan dengan hasil yang di dapatkan Fosket dan peneliti lainnya mereka menemukan bahwa benziladenin sangat mepersingkat waktu berlangsungnya fase S dalam daur sel (dari G2 ke mitosis,yaitu terhadap sintesis DNA dan protein pembelahan sel).Mereka menunjukkan bahwa suatu protein inti menjadi sasaran sitokinin. Diduga protein tersebut memacu7 pembelahan sel secara langsung: dengan cara mengendalikan sintesis DNA,misalnya,namun ingat bahwa protein inti yang dapat berlaku sebagai sasaran kerja sitikinin atau hormon lain dari inti tidak menghasilkan protein sendiri.oleh karena itu ,sitokini mungkin baru memiliki efek sasaran di inti setelah terlebih dahulu memacu p[roduksiprotein inti melalui translasi di sitosol. Kasus khusus lainnya tentang sitokinin (misalnya pemacuan tumbuhan) juga tampaknya bekenaan dengan efek pada translasi seperti terbukti dengan naiknya jumlah polisom lebih cepatnya penggabungan asam amino radioaktif dalam protein dan terlambatnya respons biologi oleh zat penghambat sintesis protein.temuan ini telah melahirkan konsep yang terkenal, bahwa auksin transkripsi di inti,sedangkan khusus berpengaruh dalam sitosol.hal itu mungkin saja tidak benar. Chin ,dkk(1987) memperlihatkan bahwa benziladinin mengubah jenis Mrna yang terbentuk oleh irisan koteledon labu kuning di situ,sitokinin mendorong pembelahan sel.pembelahan sel dan sintesis klorofil,jumlah bebrep jenis mRNA di tingkatkan oleh benziladenin sementara jenis lainnya di turunkan. Perubahan plaing didni terlacak setelah sitokinin di tambahkan, dan biasanya di butuhkan waktu yang lebih lama untuk mengamati munculnya kerja sitokinin dalam organ ini dan di bagian tumbuhan yang lainnya, juga lebih lama di banding dengan munculnya efek auksin atau gibrelin di bagian tumbuhan yang memberikan respon terhadap hormon ini.Penjelasan paling sederhan untuk menerangkan perubahan tingkat mRNA yang di sebabkan oleh sitokinin ialah karena transkripsi beberapa ge terpacu dan transkripsi gen lainnya tertekan.Barangkali sitokinin hanya bekerja pada saat transkripsi, atau hanya mempengaruhi kestabilan mRNA atau keduanya. dalam kajian lainnya dengan irisan kotiledon,pembentuk

polisom yang meningkat tampaknya akibat sintesis mRNA yang lebih cepat,karen adanya RNA polimerase yang lebih aktif. Dalam sedikitnya tiga kasus, sitokinin mempengaruhi molekul mRNA yang menyandikan beberapa protein yang sudah di kenal. Dua jenis protein serta mRNA sangat terpelihara (terbentuk lebih cepat atau rusak lebih lambat).jenis yang pertama dalah protein pengikat klorofil (yang menjadi bagian dari LHCII di tilakoid) dan jenis kedua adalah subunit protein rubisko. Jika daun yang di tumbuhkan di tempat gelap (teretolasi) di beri sitokinin dalam keadaan gelap atau di beri cahaya tanpa di beri sitokinin, jumlah ke dua protein tersebut serta mRNAnya menjadi jauh lebih banyak dari pada daun yang tidak di beri sitokinin (di telaah oleh plores dan tobin, 1987 dan oleh cotton 1990). Kedua mRNAnya tersebut di sandikan oleh gen inti : hal itu menunjukkan kerja sitokinin pada transkripsi di inti.tetapi plores dan tobin 1987 memperoleh buktu bahwa sitokin justru bekerja dengan cara meningkatkan kesatabilan mRNA dan karena itu mempercepat translasi pesan genetik mereka menjadi protein.contoh ketiga tentang pengendalian sitokinin atas protein yang sudah di kenal serta mRNAnya serta protein fitokrom. Pembentukan protein dan mRNA kurang terpelihara ( terbentuk lebih lambat atau di timbun dalam jumlah sedikit). Akibat adanya sitokinin zeatin dan sinar merah yang di serap oleh fitokrom itu sendiri.Masih belum di ketahui apakah ziatin bekerja dengan cara membuat gen fitokrom di inti menjadi tidak aktif atau mendorong kerusakan mRNA fitokrom. Hasil ini khususnya menarik karena menunjukkan efek umum sitokinin dan sinar merah yang di serap fitokriom terhadap protein tertentu dan mRNAnya. Selanjutnya Bracale dkk 1988 mendapati bahwa cahaya dan benziladenin menyebabkan perubahan yang serupa pada polipeptida dan morfologi plastid pada saat terjadi peralihan dari etioplas menjadi kloroplas.Dengan teramatinya berbagi efek sitokinin ini dapat dirangkum bahwa kita tidak mungkin mengetahui secara pasti apakah sitokinin umumnya bekerja pada translasi, pada kestabilan mRNA atau pada transkripsi, sebab banyak bukti mendukung ketiga hal itu.Barangkali sitokinin mempengaruhi ketiga proses tersebut di spesies atau bagian tumbuhan yang berlainan.di colorado state university ( Thomas,dkk 1981) mendapati bahwa perlakuan sitokinin meningkatkan plastisitas bukan elastisitas dinding sel kotiledon lobak dan mentimun artinya dinding menjadi mengendur sehingga dapat melar lebih cepat secara tak terbalikkan dalam tekanan turgor yang biasa.Kotiledon yang di beri perlakuan sitokinin tumbuh hanya dengan tekanan turgor kurang lebih 0,15 MPa di bandingkan dengan 0,90 Mpa pada kotiledon yang tak diberi perlakuan Apapun mekanisme pengenduran dinding sel, hampir di pastikan tidak di sebabkan oleh pengasaman dinding. Sehingga mekanisme pertumbuhan asam tidak lagi berlaku. Seperti auksin dan geberelin sitokinin menyebabkan dinding sel terganggu, sehingga dinding menjadi lebih plastis namun sifat gangguan ini secara enzim atau beberapa enzim yang menyebabkannya masih belum di ketahui dan masih terus di teliti.

Anda mungkin juga menyukai