Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

INFEKSI SALURAN KEMIH

OLEH : KELOMPOK II KELAS B PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER 1. Akbar Awaluddin (N21111033) 2. Diena Rifaah (N21111040) 3. Rusnah (N21111185) 4. Angela Sumbung (N21111193) 5. Nurhafni Hirosa (N21111200) 6. Dian Mareti Rizki (N21111207) 7. Hasmira Hasanuddin (N21111684) 8. Muh. Anugerah Alam Waris (N21111698)

MAKASSAR 2012

INFEKSI SALURAN KEMIH

I. Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi jamur dan virus juga dapat menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering adalah yang disebabkan oleh Escherichia coli, suatu organisme yang sering ditemukan di daerah anus. (1) Infeksi saluran kemih sering terjadi pada wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih. Faktor lain yang berperan meingkatkan infeksi saluran kemih pada wanita adalah kecenderungan untuk menahan urin, serta iritasi kulit lubang uretra pada wanita sewaktu berhubungan kelamin. Uretra yang pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel di lubang uretra sewaktu berhubungan kelamin memiliki akses ke kandung kemih. Wanita hamil mengalami relaksasi semua otot polos yang dipengaruhi oleh progesteron, termasuk kandung kemih dan ureter, sehingga mereka cenderung menahan urin di bagian-bagian tersebut. Uterus pada kehamilan juga dapat menghambat aliran urin pada keadaan-keadaan tertentu. (1)

Faktor protektif yang melawan infeksi saluran kemih pada wanita adalah pembentukan selaput mukus yang dependen estrogen di kandung kemih. Mukus ini memiliki fungsi sebagai antimikroba. Pada menopaus, kadar estrogen turun dan perlindungan ini lenyap. pada kedua jenis kelamin, proteksi terhadap infeksi saluran kemih terbentuk oleh sifat alami urin yang asam dan berfungsi sebagai bahan antibakteri. (1) Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada pria, meskipun jarang terjadi. Pada pria dengan usia yang sudah lanjut, penyebab paling sering adalah prostatitis atau hiperplasia prostat. Prostat adalah sebuah kelenjar seukuran kenari yang terletak tepat di bawah saluran keluar kandung kemih. Hiperplasia prostat dapat menyebabkan obstruksi aliran yang merupakan predisposisi untuk timbulnya infeksi. Dalam keadaan normal, sekresi prostat memiliki efek protektif antibakteri. (1) Pengidap diabetes juga berisiko mengalami infeksi saluran kemih berulang karena tingginya kadar, glukosa dalam urin, fungsi imun yang menurun, dan peningkatan frekuensi kandung kemih neurogenik. Individu yang mengalai cedera korda spinalis atau menggunakan karakter urin untuk berkemih juga mengalami peningkatan risiko infeksi. (1) Bakteriuria asimtomatik umum lansia berumur 65 tahun ditemukan, khususnya lebih, di / ml urin) mana tanpa di antara

atau

ditemukan adanya

adanya bakteriuria signifikan (> 105 bakteri

gejala. Gejala Abacteriuria terdiri dari keluhan yang berulang dan dysuria

tanpa adanya bakteriuria signifikan. Sindrom ini umumnya terkait dengan infeksi Chlamydia. (2) Abacteriuria signifikan adalah membedakan kehadiran istilah yang digunakan untuk yang

mikroorganisme yang

mewakili infeksi

sebenarnya terhadap kontaminasi urin saat melewati uretra distal sebelum pengumpulan. Jumlah bakteri sama atau lebih besar dari dari

100.000 organisme/ mL urin

dalam spesimen. Hitungan kurang

100.000 organisme /mL urin, bagaimanapun, mungkin merupakan infeksi yang sebenarnya di situasi tertentu. Misalnya, urin aliran cepat, kemih dengan pemberian pH atas. urin rendah, (2)

obat bersamaan antibakteri, atau kerusakan

saluran

II. Jenis-Jenis Infeksi Saluran Kemih ISK terdiri dari infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah. Infeksi kemih), saluran bawah berhubungan dengan sistitis (kandung merupakan infeksi

dan pielonefritis (infeksi menyangkut ginjal)

saluran atas. (2) Iinfeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi cystitis dan pielonefritis. Cystitis adalah infeksi kandungan kemih, tempat tersering untuk infeksi. Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis dapat bersifat akut atau kronik. (1) Pielonefritis akut biasanya terjadi akibat infeksi kemih asendens. Pielonefritis akut juga dapat terjadi melalui infeksi hematogen. Infeksi dapat terjadi di satu atau kedua ginjal. (1) Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter. Pada infeksi ginjal, terjadi respons imun dan peradangan yang menyebabkan edema interstisium dan kemungkinan pembentukan jaringan parut. Yang paling sering terkena adalah tubulus dan dapat mengalami atrofi. Pada pielonefritis kronik, terjadi pembentukan jaringan parut dan obstruksi tubulus yang luas. Kemampuan ginjal untuk memekatkan urin menurun karena rusaknya tubulus-tubulus. Glomerulus biasanya tidak terkena. Dapat timbul gagal ginjal kronik. (1) ISK juga dapat terjadi dengan atau tanpa komplikasi. Infeksi tanpa komplikasi terjadi pada individu yang tidak memiliki kelainan struktural

atau fungsional

dari saluran

kemih yang Infeksi

mengganggu aliran ini terjadi pada

normal mekanisme urin

atau berkemih.

wanita dari usia subur (15 sampai 45 tahun) yang sebetulnya normal, orang yang sehat. Infeksi pada laki-laki umumnya tidak tergolong tanpa komplikasi karena infeksi ini jarang terjadi dan lebih

sering merupakan kelainan struktural atau neurologis (2) Pemeriksaan mikroskopis dari urin untuk leukosit juga digunakan untuk menentukan adanya piuria. Adanya gejala pyuria menandakan bakteriuria yang signifikan, yang darah putih (WBC) lebih besar didefinisikan sebagai jumlah sel dari 10 WBC/mm3 urin. Sebuah

perhitungan 5 sampai 10 WBC/mm3 diterima sebagai batas normal. Harus ditekankan bahwa piuria tidak peradangan dan belum spesifik dan hanya menandakan adanya Dengan tidak demikian pasien memiliki infeksi.

tentu infeksi. atau mungkin

dengan piuria mungkin

Piuria steril telah lama dikaitkan dengan TB kemih, dan infeksi kemih Clamydia kemih dan jamur. (2) Hematuria, mikroskopis atau makroskopis, seringkali pasien dengan ISK tetapi tidak gangguan lain, spesifik. seperti batu muncul pada

Hematuria dapat ginjal, tumor,

menunjukkan adanya

atau glomerulonefritis. Proteinuria ditemukan umumnya infeksi. (2)

pada adanya

KASUS I 1. Seorang pasien wanita hamil trimester ke-2 berumur 28 tahun mengeluh rasa terbakar saat urinasi. Dia tidak mengalami demam maupun rasa mual. Sejak 2 hari lalu, pasien tersebut merasakan peningkatan frekuensi dan urgensi untuk urinasi. Pasien tidak memiliki obstruksi saluran kemih dan tidak sedang menggunakan kateter. Pilihan obat yang tepat untuk pasien ini adalah a. Sulfonamid b. Tetracycline c. Ciprofloksasin d. Cotrimoxazol Pembahasan : Anamnese 1. Identitas Penderita Umur Jenis Kelamin 2. Keluhan utama Mengeluh rasa terbakar saat urinasi. Dia tidak mengalami demam maupun rasa mual. Sejak 2 hari lalu, pasien tersebut merasakan peningkatan frekuensi dan urgensi untuk urinasi. Pasien tidak memiliki obstruksi saluran kemih dan tidak sedang menggunakan kateter. : 28 Tahun (hamil trimester ke-2) : Perempuan

Diagnosa : Infeksi saluran kemih bagian bawah

Dari kasus di atas, pasien ini menderita infeksi saluran kemih. Hal ini dapat diketahui dari adanya rasa terbakar saat urinasi dan terjadinya peningkatan frekuensi dan urgensi untuk urinasi. Namun, wanita tersebut bukan penderita ISK yang berulang dan tanpa komplikasi. Hal ini dapat diketahui dari informasi bahwa gejala berupa peningkatan frekuensi dan urgensi urinasi baru dirasakan pada 2 hari sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita yang tengah hamil pada trimester ke-2 tersebut menderita ISK bawah tanpa komplikasi. Sebagai bukti pendukung, ISK ini (tanpa komplikasi) biasanya terjadi pada individu tanpa ada kelainan pada struktur dan fungsi saluran kemih, dengan aliran urin normal, yang terjadi pada wanita umur 15-45 tahun. (2)

Penggunaan antibiotika pada wanita hamil : Penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik pada ibu hamil perlu diberikan perhatian khusus karena dapat mengakibatkan teratogenisitas. Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan. Food and Drug Administration memperkenalkan 5 kategori untuk obat-obat yang diberikan selama kehamilan. Lima kategori itu adalah : a. Kategori A : Obat-obat yang menurut studi terkontrol tidak menimbulkan resiko pada janin.

b. Kategori B : Untuk obat-obat yang berdasarkan studi pada binatang dan manusia tidak menunjukkan resiko yang bermakna. Termasuk disini adalah : 1. Dari studi pada binatang tidak menunjukkan resiko, tetapi belum ada studi pada manusia mengenai hal tersebut. 2. Dari studi pada binatang menunjukkan adanya resiko, tetapi dari hasil studi yang terkontrol baik pada manusia menunjukkan tidak adanya resiko. c. Kategori C : Untuk obat-obat yang belum didukung studi adekuat, baik pada binatang maupun pada manusia atau obat-obat yang menunjukkan efek yang merugikan pada penelitian menggunakan binatang tetapi belum ada studi pada manusia. d. Kategori D : Untuk obat-obat yang ada bukti resikonya pada janin tetapi manfaatnya jauh lebih besar e. Kategori X : Untuk obat-obat yang terbukti mempunyai resiko terhadap janin dan resiko itu lebih berat daripada manfaatnya. Antibiotika tidak ada yang termasuk kategori X. Umumnya masuk kategori B, kecuali beberapa yang masuk kategori C atau D. Prinsip teratogenik yang menyebabkan suatu antibiotika bisa menimbulkan efek teratogenik yaitu :

1. Sifat antibiotika dan kemampuannya untuk memasuki tubuh janin 2. Saat obat bekerja 3. Kadar dan lama pemberian (dosis) 4. Kesempurnaan genetik janin

Maka, pilihan obat pada kasus ini yaitu Amoxicillin. Amoxicillin merupakan derivat penisilin yang berspektrum luas. Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs Protein binding penisilins), sehingga menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri menjadi pecah (lisis). Obat ini efektif pada infeksi saluran kemih bagian bawah tanpa komplikasi dengan penggunaan dosis tunggal 6 x 500 mg selama 1 hari maupun dosis ganda 500 mg 2 kali sehari selama 3 hari. Amoxicillin aman diberikan pada wanita hamil dan termasuk dalam obat kategori B. (3) Tidak dipilih obat-obat golongan lain karena : 1. Sulfonamid Obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dengan mencegah penggunaan PABA (para amino benzoic acid) oleh bekteri untuk mensintesis PGA (pteroylglutamic acid). Sulfonamid sebaiknya dihindari pada wanita hamil yang hampir melahirkan dan pada bayi baru lahir atau bayi prematur. Sulfonamid berkompetisi dengan bilirubin pada tempat ikatan di albumin sehingga meningkatkan bilirubin bebas dalam serum. Akibatnya resiko terjadinya kern-ikterus pada bayi meningkat. Beberapa sulfonamid telah menunjukkan efek teratogenik pada tikus. Maka sulfonamid sebaiknya dihindari pada kehamilan. Selain itu, bakteri penyebab sering terjadinya infeksi saluran kemih pada masa kehamilan

yaitu Escherichia coli yaitu sebanyak 90% kasus tercatat. Beberapa strain E.coli penyebab infeksi saluran kemih telah resisten terhadap sulfonamid, karena itu sulfonamid bukan obat pilihan lagi untuk penyakit infeksi tersebut. Jadi, sulfonamid tidak dapat diberikan pada pasien ini. (13-14) 2. Tetracycline Golongan tetrasiklin bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri. Tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam kehamilan. Obat ini melintasi plasenta dengan cepat dan terikat pada tulang dan gigi yang sedang tumbuh. Karena dapat menyebabkan reaksi toksik yang berat baik pada janin maupun pada ibu, maka penggunaan obat ini dalam kehamilan harus dihindarkan. Pemberian tetrasiklin dalam terimester pertama kehamilan dapat menyebabkan kelainan pada janin berupa mikromelia dan keabnormalan tulang rangka. Pada kehamilan trimester kedua dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tulang dan pembentukan desiduous gigi. Jika diberikan pada trimester ketiga obat ini akan disimpan dalam tulang dan desiduous gigi. Jadi obat ini tidak dapat diberikan pada pasien ini. (3,5) 3. Ciprofloksasin Ciprofloksasin merupakan golongan kuinolon generasi kedua. Mekanisme kerjanya yaitu dengan menghambat enzim DNA-gyrase bakteri sehingga menghambat sintesis DNA nya. Ciprofloksasin tidak dapat digunakan pada pasien ini karena ia termasuk obat golongan C, akibat adanya indikasi bahwa ia dapat menyebabkan kelainan di tulang

rawan dan persendian pada binatang percobaan. Senyawa ini tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil karena dapat melintasi plasenta. (6) 4. Cotrimoxazol Cotrimoksazol merupakan kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim. Sulfametoksazol menghambat perubahan PABA (Para Amino Benzoic Azid) menjadi DHFA (Dihidrofolic Acid), sementara trimetoprim merintangi enzim dihidrofolatreduktase, yang mereduksi dihidrofolic acid (DHFA) menjadi tetrahidrofolic acid (THFA). Akibatnya adalah terhentinya sintesis folinic acid yang merupakan bahan pangkal untuk sintesis purin dan DNA/RNA, sehingga pembelahan sel bakteri dihentikan.

Sulfametoksazol dapat menyebabkan kernikterus pada bayi yang baru lahir apabila diberikan selama kehamilan, dan trimetoprim bersifat teratogenik dan termasuk dalam kategori C. Jadi, pemberian

cotrimoksazol pada pasien ini tidak dianjurkan. (6)

KASUS II 2. Seorang wanita merasakan dysuria dan terjadi pyuria pada urinnya. Setelah diperiksa, jumlah mikroorganisme kurang dari 105

organisme/mL.

Keluhan

tersebut

terjadi beberapa

saat

setelah

melakukan hubungan seksual. Suhu tubuh normal dan tidak mengalami gangguan pencernaan. Pilihan obat pertama yang dapat diberikan adalah

a. b. c.

Azithromycin Amoxicillin Moxifloksasin

d. Cotrimoxazole Pembahasan : Anamnese 1. Identitas Penderita Jenis Kelamin 2. Keluhan utama Merasakan dysuria dan terjadi pyuria pada urinnya sesaat setelah melakukan hubungan seksual. 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Jumlah mikroorganisme kurang dari 105 organisme/mL : Perempuan

Diagnosa : Infeksi saluran kemih bagian bawah (Uretritis) Dari kasus di atas, dapat diketahui bahwa wanita tersebut menderita Infeksi Saluran Kemih. Hal ini ditandai dengan adanya dysuria dan pyuria. Dysuria adalah kondisi nyeri saat berkemih, dan pyuria adalah kondisi di mana jumlah sel darah putih >10 SDP/ mm 3 pada urin. Data laboratorium menunjukkan tidak terjadi bakteriuria, karena jumlah bakteri pada uria adalah <105 bakteri/urin. Dengan tidak adanya gangguan pencernaan (seperti mual dan muntah) dan tidak demam, pasien tersebut kemungkinan menderita ISK bawah. Pyuria adalah tanda spesifik yang

sering dikaitkan dengan adanya infeksi Clamydia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasien tersebut telah menderita ISK bawah, dengan infeksi Clamydia setelah berhubungan seksual. Pendekatan klinik pada wanita dengan disuria (7)

Tanpa gejala

Bergejala

Kultur urin

Urinalisis

Kultur urin

Negatif

Positif Keduanya (-) Piuria

Bakteriuria dengan atau tanpa piuria

Tidak diobati lagi

Pengobatan 10 hari Observasi , obati dengan analgetik Piuria, bakteriuria (-) Obati jangka panjang

Obati intra Chlamydia Trakomalis

Maka, obat pilihan pertama yang diberikan pada pasien ini yaitu cotrimoksazol. Cotrimoksazol merupakan kombinasi dari sulfametoksazol

dan trimetoprim. Sulfametoksazol menghambat perubahan PABA (Para Amino Benzoic Azid) menjadi DHFA (Dihidrofolic Acid), sementara trimetoprim merintangi enzim dihidrofolatreduktase, yang mereduksi dihidrofolic acid (DHFA) menjadi tetrahidrofolic acid (THFA). Akibatnya adalah terhentinya sintesis folinic acid yang merupakan bahan pangkal untuk sintesis purin dan DNA/RNA, sehingga pembelahan sel bakteri dihentikan. Cotrimoksazol merupakan obat pilihan pertama pada infeksi saluran kemih dalam hal ini uretritis. Cotrimoksazol bersifat bakterisid dengan spektrum kerja yang luas, juga aktif terhadap proteus dan Chlamydia. Digunakan 1 tablet (yang terdiri dari sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg) 2 kali sehari selama 3 hari. (2,3,8) Tidak digunakan obat lain, karena : 1. Azitromisin Azitromisin termasuk kelompok azalida, yakni makrolida dengan atom N di cincin laktonnya, Azitromisin terikat baik pada jaringan, dengan kadar sapai lima puluh kali lebih besar daripada dalam plasma. Begitupula kadarnya dalam lekosit, makrofag, dan fibroblast, lebih tinggi daripada eritromisin. Masa paruhnya 13 jam, maka dapat ditakarkan dalam single dose. Pada infeksi saluran kemih dengan Chlamidya ternyata 1 dd 1000 mg sangat efektif. Merupakan pilihan utama pada pengobatan uretritis apabila terjadi kegagalan terapi Cotrimoksazol. (3, 8-12)

2. Amoxicillin Amoxicillin merupakan derivat penisilin yang berspektrum luas. Amoxicillin adalah obat pilihan pertama untuk terapi infeksi saluran kemih jenis gonococcal uretritis, tidak spesifik terhadap Chlamydia trachomatis, sehingga tidak diberikan pada pasien ini.

3. Moxifloksazin Merupakan golongan kuinolon yang bukan merupakan pilihan dalam pengobatan uretritis akibat infeksi Chlamydia trachomatis. Senyawasenyawa fluorokuinolon sebaiknya digunakan sebagai obat cadangan pada ISK bagian bawah untuk menghindari terjadinya resistensi. Moxifloksazin dianjurkan untuk tidak digunakan karena konsentrasinya yang tidak memadai dalam urin. Moxifloksazin lebih digunakan untuk pengobatan bronchitis dan pneumonia, dan terkadang pada infeksi saluran kemih dengan komplikasi apabila obat-obat lain

dikontraindikasikan. (2,3,8)

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin E J. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. 2001. Hal. 480-483. 2. Di Piro J T. Pharmacotherapy 8th ed. Access from McGraw-Hill, The McGraw-Hill companies. Chapter 125. Available on HTML 3. Sukandar YE, Andrajati R, Sigit JI, dkk. ISO Farmakoterapi. Penerbit PT ISFI Penerbitan. Jakarta. Hal. 814 4. Jawet E. Prinsip kerja obat antimikroba. In : Katzung B, eds. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : EGC, 1998 ; 699-751 5. Yankowitz J. Use of medications in pregnancy : General principles, teratology, and current developments. In : Yankowitz J, Niebyl J, eds. Drug therapy in pregnancy. London : Lippincott Williams & Wilkins, 2001 ; 1-19 6. Pedler S, Orr K. Bacterial, fungal and parasitic infections. In : Baron W, Lindheimer M, Davison J, eds. Medical disorders during pregnancy. London : Mosby, 2000 ; 411-418 7. Oesman R, Siregar P, Wigunu, & Markum. Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih. Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo. Jakarta. 8. Tjay T. 2003. Obat-Obat Penting. Elex Media Computindo: Jakarta. Hal: 78,80,135. 9. Mycek M, Harvey R, Champe, P. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta. Hal: 321 10. Southwick F. 2007. Infection Disease Clinical Short Course Second Edition. Mc Graw Hill Book. USA. Hal: 258 11. Wells B, Dipiro J, Schwinghammer T. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. Mc Graw Hill Book. USA. Hal: 547 12. Dipiro J, Talbert R, Yee G. 2008. Pharmacotheraphy Phatophisiologic Aproach Seventh Edition. Mc Graw Hill Book. USA. Hal: 1762.

13. Loh, K.Y., Sivalingam N., 2007. Urinary Tract Infection In Pregnancy. Malaysia: Academy of Family Physicians of Malaysia Available from http://www.emfp.org/2007v2n2/pdf/urinary%20tract%20infection%20in %20pregnancy.pdf

14. Sulistia G.G.,2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai