Anda di halaman 1dari 58

Arsitektur

Mandailing
Sejarah dan Teori 3
Arsitektur

Kelompok 4

Indah Yogina Srg (09-003)


Rima Amalia Srg (09-006)
Haffidz Irfansyah (09-015)
Elida Fitri Afriani Pane (09-018)
M.Adib Widhianto (09-020)
Reza Chairanda (09-027)
Anisa Ammar (09-030)
Indra Kesuma (09-031)
Yemima Adewina Manurung (09-036)
Chairunnisa (09-39)
Agata Herlinawati Simamora (09-043)
Theresia Sendytin (09-064)
Cyntia Harmaytha Harahap (09-073)
Zulvita Amanda (09-083)
Danu Kuntoro (090-096)
Fahima Istiana (09-097)

SEJARAH BATAK
MANDAILING
Kitab Nagarakretagama yang mencatat
perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365
M, menyebut nama Mandailing.
Munculnya nama Mandailing pada suku
akhir abad ke 14 menunjukkan adanya
satu bangsa dan wilayah bernama
Mandailing, yang barangkali telah muncul
sebelum abad itu lagi.

I.1. ASAL USUL NAMA


MANDAILING
Beberapa

pendapat telah dikemukakan


mengenai asal-usul nama Mandailing:

didasarkan pada persamaan bunyi kata.


"..ada yang menduga berasal dari kata:
Mande Hilang (dalam bahasa Minang),
yang berarti ibu yang hilang."

Ada pula pendapat yang mengatakan


bahwa nama Mandailing berasal dari
nama satu kerajaan, iaitu Mandala
Holing. Kerajaan tersebut, kemungkinan
sudah muncul sejak abad ke 12, yang
wilayahnya terbentang dari Portibi di
Padang Lawas sampai ke Pidoli dekat
Panyabungan sekarang.

Meuraxa mengatakan bahwa nama Mandailing


berasal dari kata Mandalay yaitu nama sebuah
kota besar di Burma. Menurut Tarigan dan
Tambunan (1974) seperti yang dikutip Lubis
(1999 : III, 13-14) di Burma utara terdapat
sebuah kota kebudayaan atau pusat peradaban
dan pemerintahan yang bernama Mandalay yang
hampir sama dengan Mandailing. Perpindahan
bangsa Munda dari Mandalay ke Sumatera dapat
dihubungkan dengan terjadinya perpindahan
bangsa-bangsa dari Asia Selatan ke wilayah
Indonesia pada tahun 1000 sebelum Masehi.

Menurut Mangaraja Lelo Lubis seperti


yang dikutip oleh Lubis (1999 : III, 14)
nama Mandailing berasal dari kata
Mandala Holing, yaitu nama kerajaan
yang wilayahnya meliputi Portibi di
Gunung Tua Padang Lawas hingga Piu
Delhi (sekarang Pidoli) di Mandailing

I.2. Asal Usul Marga di


Mandailing
Marga-marga yang ada di Mandailing :
Lubis,
Nasution,
Harahap,
Hutasuhut,
Batubara,
Matondang,
Rangkuti,
Perinduri,
Pulungan
Daulay

Marga-marga mayoritas yang terdapat di


Mandailing adalah marga Lubis dan Nasution
sekaligus juga marga yang paling besar jumlah
warganya.
Pada masa lalu, kawasan Mandailing Godang
yang meliputi Penyabungan dan sekitarnya
dikuasai oleh raja-raja bermarga Nasution
sedangkan kawasan Mandailing Julu yang
meliputi Kotanopan dan sekitarnya dikuasai oleh
raja-raja bermarga Lubis.

I.3. Sejarah Huta Adat dan Alaman Bolak


Pengertian

kampung di Tapanuli Selatan


dibedakan atas beberapa jenis atau tingkatan
yang dapat menunjukkan status kampung
tersebut melalui acara adat tertentu
(Depdikbud, 1983 : II, 551) :

1.Huta, suatu kampung yang sudah diadatkan.


2.Bona bulu, huta yang sudah memiliki
pecahan atau anak kampung dan menjadi
tempat berdirinya kediaman raja.

3. Pagaran (anak ni huta), pecahan


suatu kampung dan status hukumnya
sama dengan kampung induknya.
Pagaran dapat berubah statusnya menjadi
huta melalui adat.
4. Lobu, perkampungan lama yang tidak
pernah mendapat status sebagai huta.
5. Sosor, suatu perkampungan yang baru
didirikan dan belum diadatkan.

Ada beberapa motivasi untuk dapat


berdirinya suatu kampung di Mandailing Julu
(1983 : II, 47), yaitu

seseorang yang merupakan pendatang


mula-mula ke suatu tempat dan berniat
membuka kampung, seperti Huta Sianjur
Mula-mula di Samosir yang merupakan
perkampungan Batak yang pertama

tanah pertanian yang makin sempit,


sehingga terjadi penyebaran satu keluarga
atau marga untuk mencari tanah pertanian
baru mencari tanah yang lebih subur

karena ada bala atau bencana alam


karena penyakit sampar yang
dihubungkan dengan kepercayaan bahwa
suatu kampung atau desa kurang bertuah
peperangan, sehingga suatu kampung
diduduki oleh pihak musuh atau
dimusnahkan
lalu lintas, sehingga orang lebih cenderung
untuk berdiam di tepi jalan besar dan
keingingan menjadi raja.

Adapun gambaran tentang proses berdirinya


sebuah perkampung untuk orang-orang
pendatang dapat dilakukan dengan memenuhi
beberapa syarat, yaitu

mangido tano,
marjamita hona Ia sahorbo,
sada horbo mambaen goar ni huta,
sada horbo pajonjong adat,
sada horbo pamuli bayo-bayo, padomu-domu
tondi ni raja dan
mangalangsei.

Untuk

mendirikan rumah rakyat biasa,


terdapat beberapa tatacara yang harus
dilaksanakan dengan adat tertentu
(1983 : II, 52) yaitu
mangalap tiang jabu bona,
mangalap parhayu,
mangalap hayu bungkulan,
mamayakkon tu panca-panca,
ipispis dohot santan dan itak gurgur,
mangan santan,
marbongot bagas

Adapun

tata cara adat dalam


mendirikan rumah raja (1983 : II, 53)
adalah sebagai berikut :
martahi,
marlandasan,
bungkulan,
mamasuhi,
mangkuling godang

2. Budaya Mandailing

2.1. Sistem Sosial, dan Adat Istiadat


Pelaksanaan adat dan hukum adat dalam
kehidupan masyarakat Mandailing,
menurut Lubis (1999 : IV, 29) dilakukan
berdasarkan struktur dan sistem hukum
adat yang disebut dengan Dalihan na
Tolu

Hal ini mengandung arti bahwa masyarakat


Mandailing menganut sistem sosial yang tergabung
dalam satu tatanan struktur yang terdiri atas
kahanggi, mora dan anak boru.

Kahanggi adalah kelompok keluarga semarga atau


yang mempunyai garis keturunan yang sama satu
dengan lainnya di dalam sebuah huta atau
kampung dan merupakan bona bulu, yaitu pendiri
kampung. Kahanggi ini terdiri atas 3 bagian besar
yang biasanya disebut namora-mora huta, yaitu
suhut, hombar suhut dan kahanggi pareban.

Anak boru adalah kelompok keluarga yang


dapat atau yang mengambil istri dari
kelompok suhut. Anak boru juga berarti
keluarga penerima anak perempuan.

Mora merupakan kelompok keluarga


pemberi anak perempuan

2.3. Sistem Religi


Sebelum Islam masuk dan menjadi agama
mayoritas di daerah ini, masyarakat Mandailing
memiliki kepercayaan bahwa alam ini terbagi atas
tiga bagian atau disebut dengan Banua, yaitu :
a.Banua Parginjang (dunia atas), yaitu dunia tempat
sang pencipta, penguasa manusia yang disebut
Datu Natumompa Tano Nagumorga Langit yang
dipercaya sebagai pencipta dan penguasa langit
dan bumi. Bumi ini dilambangkan dengan warna
putih;

b.Banua Tonga (dunia tengah), yaitu dunia


tempat manusia menjalani aktivitas
kehidupan sehari-hari. Dunia ini
dilambangkan dengan warna merah
c.Banua Partoru (dunia bawah), yaitu dunia
tempat manusia yang sudah meninggal
atau disebut juga dunia roh. Dunia ini
dilambangkan dengan warna hitam

3.KEBUDAYAAN FISIK
ARSITEKTUR ATAU BINA SENI
arsitektur atau seni bina bangunan adat
berupa istana raja yang dinamakan Sopo
Sio Dalam Mangadong atau Bagas
Godang

Bagas Godang

sidang

adat yang dinamakan Sopo Sio


Rancang Magodang atau Sopo Godang.

Sopo Godang

Bagas Godang Dan


Sopo Godang

Bagian depan
dan bagian
belakang dari
atap kedua
bangunan
tersebut yang
dinamakan bindu
matoga-matogu
atau tutup ari
dihiasi dengan
ornamen tiga
warna (putih,
merah dan
hitam) yang
disebut bolang

Bona Bulu
melambangkan sistem pemerintahan Huta
Makna: Suatu wilayah pemukiman telah dapat dikategorikan
sebagai huta atau bona bulu apabila sarana dan prasarananya
telah lengkap antara lain: unsur-unsur Dalian Na Tolu (Mora,
Kahanggi dan Anak Boru), Raja Pamusuk, Namora Natoras,
Ulubalang, Bayo-bayo Nagodang, Datu dan Sibaso.

Suro dan Mesjid

Huta selalu dilengkapi dengan sarana peribadatan berupa


bangunan masjid yang dapat dipakai untuk shalat Jumat
berjamaah. Bangunan masjid biasanya ditempatkan dilokasi
yang mudah dicapai oleh penduduk, dan dilengkapi dengan
sumber air. Selain dari mesjid terdapat pula tempat
sembahyang yang disebut suro. Kebiasaannya, suro banyak
dibangunkan oleh penduduk ditempat-tempat berdekatan
dengan tepian mandi di sungai.

Perkuburan & Lobu

Setiap Huta mempunyai sebidang tanah


perkuburan. Kebiasaannya letaknya di luar
Huta, tampi masih mudah didatangi. Selain
daripada tanah perkuburan, di sekitar Huta
biasanya terdapat pula tanah perkuburan
makam-makam leluhur yang mula-mula
membuka Huta tertentu.


BOLANG Ornamen Tradisional Mandailing
Pembuatan bolang pada Sopo
Godang dan Bagas Godang ini
dilakukan dengan cara menganyam
atau menjalin dan ada pula yang
diukir. Bahan yang dipakai sebagai
bahan anyaman adalah lembaranlembaran bambu yang telah diarit
dengan bentuk-bentuk terentu dan
kemudian dipasang pada bagian
tutup ari. Ornamen-ornamen itu
sebagian besar diberi warna na
rara (merah), na lomlom (hitam)
dan na bontar (putih) yang erat
kaitannya dengan kosmologi
Mandailing

Bindu / Pusuk ni Robung

melambangkan sistem organisasi sosial


Makna: Kehidupan sosial-budaya masyarakat
Mandailing berlandaskan Adat Dalian Na Tolu
(Tiga Tungku Sejarangan) atau Adat
Markoum-Sisolkot (adat berkaum-kerabat)

Burangir / Aropik

melambangkan fungsi Raja dan Namora Natoras


Makna: Segala sesuatu perihal, baik itu menyangkut
pelaksanaan upacara adat dan ritual harus terlebih
dahulu meminta pertimbangan dan ijin kepada Raja
dan Namora Natoras.

Sipatomu-tomu

melambangkan hak dan kewajiban Raja dan


rakyatnya
Makna: Raja berkewajiban menjaga dan
memelihara ketertiban dalam masyarakat agar
mereka dapat hidup aman dan damai serta saling
menghormati antar sesama demi tegaknya
hukum dan adat.

Bintang na Toras

melambangkan pendiri huta


Makna: Huta tersebut didirikan oleh Natoras yang
sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan pemerintahan
dan pimpinan adat yang dilengkapi dengan Hulubalang,
Bayo-bayo Nagodang, Datu, dan Sibaso.

Rudang

melambangkan suatu Huta yang sempurna


Makna: Huta tersebut lengkap dengan segala atribut
kebesaran adatnya seperti pakaian adat, uning-uningan,
senjata dan lain sebagainya.

Raga-raga

melambangkan keteraturan dan keharmonisan hidup


bersama
Makna: Hubungan antar kekerabatan sangat erat dan
berlangsung secara harmonis dengan terjadinya hubungan
perkawinan antar marga (klan), baik sesama warga huta
maupun dengan orang yang berasal dari huta lain.

Sancang Duri

melambangkan suatu kejadian yang tak terduga


Makna: Seseorang yang datang ke suatu huta dan ia
langsung ke Sopo Godang, maka Namora Natoras wajib
memberinya makan selama ia berada di huta itu, dan apabila
ia meninggalkan huta harus diberi bekal makanan.

Jagar-jagar

melambangkan kepatuhan masyarakat terhadap adat-istiadat


Makna: Dalam setiap huta telah ada ketentuan mengenai
adat Marraja, adat Marmora, Markahanggi, Maranak boru, dan
adat Naposo Nauli Bulung.

Bondul na Opat

melambangkan ketentuan dalam berperkara


Makna: Setiap perkara adat akan diselesaikan di Sopo
Godang (Balai Sidang Adat) oleh Namora Natoras, dan
keputusan yang diambil harus adil sehingga tidak
merugikan para pihak yang berperkara

Alaman Bolak

(Alaman Silangse Utang) melambangkan wewenang dan


kekuasaan Raja
Makna: Kalau terjadi perkelaian misalnya dan salah seorang
diantaranya berlari ke Alaman Bolak yang terdapat di depan
Bagas Godang (Istana Raja), maka orang tersebut tidak
boleh diganggu oleh siapapun. Kalau ada orang lain yang
mengganggu, maka yang menjadi lawannya adalah semua
warga huta.

Bulan

Bulan melambangkan pelita hidup


Makna: Bulan yang bersinar pada malam hari
dapat menerangi mata hati segenap warga huta
itu akan membawa mereka menuju taraf hidup
yang lebih baik yaitu keberuntungan, kemuliaan
dan kesejahteraan

Mataniari

melambangkan Raja yang adil dan bijaksana


Makna: Seorang Raja yang memerintah dengan adil dan
bijaksana akan membuat segenap warga huta merasa
bahagia. Raja harus menjadi pelindung rakyatnya dalam
segala hal, baik dalam adat maupun menyangkut kehidupan
sehari-hari. Sikap Raja yang demikian disebut marsomba di
balian marsomba di bagasan.

. Gimbang

melambangkan tingkat kepedulian sosial Raja yang tinggi


Makna: Kepemilikan Raja atas sawah yang cukup luas dan
persediaan bahan makanan (padi) yang cukup itu menjadi
parsalian (tempat memohon bantuan) bagi setiap warga
huta yang kekurangan bahan makanan

Takar

melambangkan keadilan social-ekonomi bagi setiap


orang
Makna: Setiap warga huta yang sedang mengalami
kesusahan baik masalah makanan maupun hal-hal
lainnya dapat meminta bantuan Raja. Demikian pula
setiap orang wajib menolong orang lain yang
kesusahan, baik pertolongan moril maupun materil.

Lading / Upak

melambangkan kesiap-siagaan
Makna: Benda tajam ini cukup penting ini dalam berbagai
aktifitas kehidupan sehari-hari. Selain itu juga dapat berguna
sebagai senjata ketika pergi ke tengah hutan untuk berburu
atau untuk kepentingan lainnya.

Podang

melambangkan penegakan hukum


Makna: Terhadap seseorang yang melanggar hukum, raja
memiliki wewenang untuk memumutuskan apakah
seseorang yang telah terbukti bersalah itu di hukum mati
atau hukum gantung maupun hukuman buang (Pahabang
Manuk Na Bontar).

Tanduk ni Orbo

melambangkan kebangsawanan dan kekuasaan


Makna: Setiap rumah yang memiliki tanduk kerbau pada
bagian atas atap rumahnya menandakan bahwa yang
punya rumah adalah Raja atau kaum Bangsawan yang
memiliki pengaruh atau kekuasaan di dalam suatu huta.

Lipan

melambangkan asas permusyawaratan untuk mufakat


Makna: Setiap keputusan yang dihasilkan berdasarkan
musyawarah bersama untuk mufakat merupakan landasan
hukum yang memiliki kekuatan tetap dan bersifat
memaksa.

Ulok

melambangkan kedudukan dan fungsi Raja


Makna: Raja pada setiap Huta memiliki kemuliaan
dan kebesaran yang berfungsi sebagai pelindung
dan pemersatu bagi segenap rakyatnya.

Hala

melambangkan asas permusyawaratan untuk


mufakat
Makna: Keputusan bersama yang disebut Janjian
adalah dasar hukum yang paling kuat dan tidak
dapat dibantuk oleh pihak manapun juga. Maknanya
kurang lebih sama dengan pengertian lipan.

Barapati / Parapoti

melambangkan kegiatan mencari nafkah


Makna: Kegiatan mencari nafkah hidup seperti burung
merpati yang terbang di pagi hari untuk mencari nafkah,
dan pada sore hari kembali ke rumah dengan membawa
nafkah yang diperolehnya untuk dimakan bersama-sama
keluarganya.

Manuk na Bontar

melambangkan sanksi hukum yang berat


Makna: Setiap orang yang melanggar adat, misalnya kawin
semarga (incest) dikenakan hukuman dengan memotong seekor
kerbau
dan memberi makan orang banyak serta melepaskan seekor ayam
putih (pahabang manuk na bontar). Orang yang melanggar adat ini
selanjutnya diusir dari Huta dan hubungan kekerabatannya dengan
warga Huta diputuskan pula.

Timbangan

melambangkan kebenaran dan keadilan


Makna: Dalam memeriksa, membahas, menimbang serta
memutuskan suatu perkara harus berdasarkan kebenaran dan
keadilan serta bijaksana agar tidak menimbulkan perasaan
tidak senang bagi pihak yang berperkara.

Bintang

melambangkan Natoras
Makna: Dengan adanya lambang ini suatu pertanda
bahwa di Huta tersebut ada Natoras sebagai pendiri
Huta yang pertama sekali (Pamungka Huta).

Horis

melambangkan kesejahteraan, keselamatan dan


kedamaian
Makna: Raja dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera,
jauh dari segala gangguan marabahaya

Gancip

melambangkan tugas dan kewajiban Raja


Makna: Raja melaksanakan adat dan hukum secara adil
dan bijaksana. Apabila rakyat memerlukan bantuan, maka
Raja wajib menolongnya, baik itu bantuan moril maupun
materil. Selain itu Raja harus bersikap tegas dan konsisten
terhadap siapapun yang melakukan kesalahan diberi
hukuman berdasarkan keputusan adat.

Loting Pak-pak

melambangkan kesungguhan dalam berusaha dan bekerja


Makna: Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka
setiap orang harus bekerja dan berusaha dengan menggunakan
seluruh tenaga dan pikiran sehingga setiap pekerjaan tidak siasia dilakukan, tak ubahnya seperti besi dan batu yang apabila
diadu akan menghasilkan percikan api (membuahkan hasil yang
nyata

Gumbot

melambangkan Raja sebagai suri tauladan dan panutan rakyat


Makna: Sebagai seorang pemimpin yang beradat dan
mengetahui hukum, maka seorang Raja harus memiliki sifat
welas asih, lapang dada, respek dan memiliki etika yang tinggi
sehingga ia selalu menjadi panutan rakyatnya.

Parbincar Mataniari

melambangkan matahari sebagai sinar penerangi dalam


kehidupan
Makna: Matahari diumpamakan sebagai penerangi dalam
kehidupan, sumber rezeki dan penghidupan, kebahagiaan,
kesejahteraan bagi Namora-Natoras dan seluruh rakyatnya.
Ornamen ini terdapat di atas pintu masuk ruang tengah
Bagas Godang.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai